Kuhandel di Kaliurang

Tan Malaka (1948)


Kesekian kalinya soal Indonesia Belanda di perundingkan, sekarang di Kaliurang. Disini delegasi Indonesia berhadapan muka dengan Delegasi Belanda, ialah Kadir dan Husein, yang dimandori oleh Dr. Van Vresdenburgh.

Soal yang akan dipapar diperundingan, kita sekalian dari sudut-mata borjuis-kecil buat kapitalis imperialis Belanda.

Dan buat orang di pihak ketiga, lebih dari pada setahun lampau soal itu sebenarnya sudah selesai.

Lupakah kita kepada perkataan “WASIT” Sir Archibald Clark Karr, yang berpisah dengan soal Indonesia-Belanda dengan perkataan: It is not a difficult one but a slow one”! (Tidak sukar, tetapi lambat)!?? Bahwa sesunggunya, maka dengan maklumat Wakil Presiden pada tanggal 1 November 1945, yang berjanji akan mengembalikan HAK-MILIK-ASING (Musuh atau sahabat, ceroboh atau pendamai) dan membayar “HUTANG-HINDIA-BELANDA”, maka soal Indonesia-Belanda dalam pokok besarnya sudah beres.

Perjanjian Linggarjati sudah memastikan pengembalian HAK-MILIK-ASING dan pembayaran HUTANG “HINDIA BELANDA” itu, hitam di atas putih, menurut fasal 14, “Renville Principles” pun tidak lagi akan merundingkan pokok dasar pengembalian dan pembayaran itu. Paling banyaknya cuma buat menentukan garis kecil yang mengenai pelaksanaan pencarian hidup Belanda atas pengakuan Hak-Milik dan Perusahaannya itu. Dengan perkataan lain, dengan kebun, pabrik tambang, pengangkutan, toko, bank-asuransi dan gedung yang dikembalikan kepadanya itu, bagaimana menjamin supaya Belanda terus mendapatkan tanah, air dan tenaga buruh serta kuli dengan tak ada kesukaran. Bagaimana undang-undang negara dapat menjamin supaya orang Belanda jangan mendapat gangguan dari pihak “KAUM EXTREMIS”, kalau dia keluar masuk pabrik, kebun dan tambangnya, kalau dia dengan nyonya dan nonanya pulang pergi dari desa ke kota, masuk bioskop restoran dan kamar dansa?

Jangan hendaknya tidurnya diganggu oleh letusan granat atau oleh Momok Bambu Runcingnya kaum extrimis.

“Rechts-en bedrijfs-zakerheid”, Kepastian Hukum dan Pencarian, itulah yang masih diperundingkan setelah HAK MILIKNYA Belanda dikembalikan dan hutang “Hindia Belanda” dijanjikan oleh Moh. Hatta dan para Delegasi akan dibayar oleh Rakyat Indonesia.

Syahdan dipandang dari sudut mata Borjuis-Kecil Indonesia, maka soal pengembalian HAK MILIK dan pembayaran Hutang itu, adalah soal yang semestinya jadinya perkara kecil saja, itulah menurut filsafat “hutang dibayar dan piutang diterima”.

Tetapi soal “menduduki kursi” dalam pemerintahan Indonesia dimana borjuis kecil di Indonesia akan “kerja sama” dengan pemeras Belanda, yang dengan Bangsa Asing lainnya memiliki 99,9 % sumber perekonomian modern, adalah perkara yang paling penting buat borjuis kecil kita.

Dalam hati kecilnya maka borjuis kecil juga insyaf, bahwa tak semua kursi (dalam BIS-pun) boleh didudukinya, dia mengakui HAK-MILIK-ASING yang menguasai 99,9 % dari sumber perekonomian modern itu. Tetapi “voor dan schijn” pada lahirnya, berhubung dengan Proklamasi 17 Agustus dan pengorbanan Rakyat/pemuda, maka mereka terhadap Rakyat/pemuda mau memperhatikan, bahwa bangsa Indonesialah yang memegang kunci-pemerintahan BIS itu.

Biarlah 99,9 % sumber perekonomian modern itu dimiliki dan dikuasai oleh orang asing, asal saja mereka yang duduk dalam pemerintahan itu adalah semua orang yang berkulit coklat. Kalau belum semua kursi itu boleh diduduki oleh warna coklat, baiklah sebagian besar saja dahulu.

Soal “Berapa orang” berkulit coklat kelak diizinkan oleh Kapitalist, Imperialist Belanda menduduki NIS, itulah yang dipapar diperundingan oleh kedua Delegasi selama lebih kurang dua tahun berdiplomasi ini. Buat borjuis kecil Indonesia, soal ini, walaupun buat “schijn” saja, adalah soal yang paling penting.

Tetapi buat Belanda soal demikian adalah soal remeh, bukan soal HAK-MILIK dan HUTANG-PIUTANG. Tetapi penting pula buat Belanda soal KEAMANAN dalam pencahariannya. Berhubung dengan itu, maka soal PERBANDINGAN BANYAK, antara yang berkulit coklat dengan yang berkulit-putih, yang patut menduduki kursi dalam pemerintahan NIS adalah soal yang tak boleh diabaikannya saja. Banyak sentimen borjuis kecil yang harus dilintasi atau ditutupi lebih dahulu.

Memangnya kalau Rakyat/pemuda Indonesia mau menerima saja pemerintahan Indonesia di “QUISLING-KAN”, di "Henry-puji"kan atau di “Wang-Chi-Wei”kan, Belanda tak akan menghadapi soal yang ruwet. Tetapi rakyat/pemuda Indonesia sudah 3 ½ tahun mengalami sendiri pembonekaan Jepang.

Sesungguhnya dengan hitung-menghitung-jari menurut filsafat kruidenier saja, Belanda dengan “nuchter realiteitnya” sudah lebih dahulu dapat menentukan “PERBANDINGAN BANYAK” yang akan menduduki kursi-pemerintahan itu. Karena 99,9 % sumber pencaharian modern berada di tangan asing, maka menurut filsafat dengan ahli warung, 99,9 % pulalah bangsa asing harus mengendali politik pemerintahan Indonesia. Tetapi memang sentiment “kebangsaan” dan "question of face" (soal muka) adalah penting buat Asia umumnya dan bangsa Indonesia khususnya. Perundingan Indonesia-Belanda kesekian kali ini ialah mencari satu “face saving method”, satu cara buat menutup “muka malu” para pemimpin Indonesia.

Janganlah hendaknya para pemimpin Indonesia malu kelak menghadapi kaum oposisi yang akan menteriakkan “kalah bertekuk lutut” kalau terlampau banyak kursi diserahkan kepada Belanda. Pun Belanda sendiri tahu, walaupun semangatnya adalah semangat kruindenier, bahwa satu “stable doverment”, een “ordelyke regering” yang sangat di butuhkan itu tak akan diperoleh, kalau di mata rakyat Indonesia, para pemimpinnya menduduki “terlampau sedikit kursi” atau cuma memegang kekuasaan yang tiada penting saja. “Face-saving methode” ini (sebenarnya perkara remeh saja) belum juga didapatkan sampai dua tahun lebih ini. Dulu dengan Linggarjati soal “menutup muka” itu hampir tercapai. Dalam lima perkara yang dikemukakan dalam perundingan maka borjuis kecil Indonesia sehabisnya perang lidah dan perang pena yang hebat dahsyat, sudah menerima 4 perkara. Kandas pada “gendarmeris-bersama”.

Seandainya kruidenier dari Roterdam dan makelar dari Amsterdam bours, sedikit berpandangan jauh dan berhati lapang dan undurkan saja buat sementara waktu “gendarmerie-bersama” itu dan buat menutup malu “para pemimpin dan diplomat” Indonesia, biarkan saja Republik menjaga keamanan, maka linggarjati sudah dapat dilaksanakan. Belanda akan dapat pinjaman uang dari Wall Street New York; pabrik, toko dan pelabuhan dapat dibuka dengan lebih leluasa; Belanda akan dapat kesempatan memperbaiki perekonomian sendiri.

Dengan begitu, maka pemeras-penindas Belanda mendapat kesempatan yang lebih luas buat meninabobokan semangat BAMBU RUNCING dengan kemerdekaan dan kemakmuran palsu.

Kalau dalam hal itu BAMBU RUNCING TOH MELAYANG maka Belanda bisa berteriak-teriak. Dalam hal itu Wall Street tentu akan datang membantu dan menggerakkan UNO dan “public-opinion” di dunia buat membusukkan ketentraman di dalam Republik. Ikut serta dengan Belanda menteriakkan keempat penjuru alam, bahwa Republik tak bisa memegang “stable government”.

Dalam keadaan demikian, tentulah borjuis kecil Indonesia akan “kehilangan muka”, karena pemerintahannya “tidak stable”. Memang tidak ada yang lebih ditakuti oleh borjuis kecil dari pada “kritik” internasionaaaaaaaaaaaaaaaaaal ! ! !

Tetapi Belanda sebagai ahli warung pegang teguh kecurigaannya, dengan kecurigaan tukang warung, dia terus mendesak mengadakan “gendarmerie bersama”, walaupun dengan pengakuan “MAHKOTA BELANDA”  itu dalam hakekatnya urusan ketentraman dalam Republik itu sudah di bawah pengawasan (supervision) pemerintah Agung di negeri BELANDA.

Rupanya Belanda sudah merasa dekat yang disetujuinya ialah :

  1. Semua Hak-Milik akan kembali dan hutang-piutang “Hindia Belanda akan dibayar oleh NIS.”
  2. Di “Batavia” akan berada pusat pemerintahan-boneka (NIS) yang pegang rol penting dalam sandiwaranya enam atau tujuh Negara Boneka kecil-kecil yang satu sama lainnya boleh diadu dombakan dan di Nederland akan duduklah Raja Belanda dengan para menterinya (UNI) yang mengendalikan para Boneka di Indonesia ini.
  3. Sekurangnya Urusan Luar Negeri, kemiliteran dan keuangan supaya diserahkan kepada UNI-Nederland-Indonesia, ialah kepada kapitalis-imperialis-Belanda, dengan segelintir atau dua gelintir inlanders-Alat.

Semua tuntutan ini sebenarnya sudah terdapat pada Linggarjati. Dengan kosongnya “kantong” di Jawa dan Sumatra dan dengan “perjanjian” plebisit, yang boleh diinjak-injak, diputar-balikkan atau dibatalkan sama sekali; dengan pertolongan KTN ialah para Tengkulaknya Marshall-Plan, maka rupanya Belanda sudah percaya bahwa di Kaliurang Kapal Renville akan membawa Belanda dan Indonesia ke bawah haribaannya kapitalis Amerika Cs yang sedang menantang Sosialis-Rusia dan negara sahabatnya.

Tetapi para wakil dari “Kroon” dihina, diejek dan diludahi oleh Rakyat di stasiun Yogya ketika mereka menuju Kaliurang.

Sekali lagi menunjukkan instink (naluri) Rakyat yang tepat dalam hal diplomasi-pun. Rakyat menunjukkan pelayanan semacam itu bukan kepada bangsa Asing, walaupun dia insyaf sungguh akan maksudnya semua bangsa asing itu. Rakyat Murba menunjukkan penghinaan itu kepada bangsanya sendiri, ialah mereka yang meninggalkan barisan-Rakyat-berjuang membela kemerdekaannya dan memihak kepada barisan yang memperkosa kemerdekaan itu. Dalam perkataan tegas, Rakyat melayani bangsanya sendiri yang dengan terang-terangan sudah BERKHIANAT. Belum tentu bangsa lain yang lebih sadar dan kurang sabar dari pada “het zachtstevolk der aarde” ini melayani pengkhianatannya seperti Rakyat Indonesia Yogya. Dan belum tentu pula bangsa Belanda sendiri, teristimewa pula anggota KTN sendiri memandang Kolonel Abdul Kadir Widjaya Atmadja dan Prof. Hussein Djajadiningrat lebih tinggi dari pada pandangan Rakyat Indonesia sendiri terhadap mereka.

Tetapi di samping itu memangnya Belanda tiada pernah banyak mengacuhkan penghinaan batin itu. Tak perlulah kita kupas sejarahnya pedagang Belanda di Jepang dan Tiongkok kurang lebih 300 tahun lampau. Masih segar pula peringatan kita tentang sikap “Tuan & Nyonya Besar” Belanda selama 3 ½ tahun di bawah bendera Jepang. Lebih mementingkan kehormatan diri dari pada keuntungan dagang adalah bertentangan sangat dengan “kruindeniers-geest”, semangat tukang warung.

Tetapi pelayanan Abdul Kadir dan Hussein itu memangnya pula boleh dipakai untuk mendapatkan keuntungan diplomasi. Inilah maka Belanda berteriak-teriak setinggi langit dan memprotes sekeras-kerasnya terhadap pelayanan yang di masa Jepang akan di terimanya dengan senyuman seorang “beer, die kiespijn hooft”.

Hilanglah sebenarnya amarah dan ketakutan Belanda terhadap Murba di stasiun Tugu itu, karena pelayanan para bonekanya, apabila autonya Belanda mendengung-dengung melalui desa dan sawah dikiri-kanan, ketika menuju Kaliurang. Teristimewa apabila dia sampai di salah satu gedung besar yang bersih dalam suasana yang sejuk segar di Kaliurang seolah-olah di negerinya sendiri untuk menghentikan lelahnya. Dari Kaliurang di pinggang Gunung Merapi yang menyanjung ke angkasa dengan segala kemegahannya ketika memandang ke bawah ke lembah yang luas, subur, digarisi oleh kali yang mengairi sawah dan ladang; lembah yang ditaburi oleh desa, penuh sesak dengan tenaga murah, patut taat …..en , c, zoe treus aan hun meesters en hun werk ! ………….hasil dari kebudayaan feodal yang “cemerlang”, maka timbullah kembali hasratnya: Akh, sekali lagi kami bangsa Belanda akan menguasai tanah, tenaga dan kekayaan Alam dari swarga Loka ini.

Bangkitlah dia kembali dan berjalan menuju ke medan perundingan dengan kartu baru dikantongnya. Memakai peristiwa Stasiun Tugu sebagai zet buat lebih keras lagi mendesakkan “gendarmerie bersama” untuk bersama-sama menjaga ketentraman di dalam daerah Republik. Kalau diterima oleh Delegasi Indonesia maka jatuhlah semua kekuasaan ekonomi, militer, keuangan, politik dan diplomasi ke tangan Belanda.

Kalau ditolak, maka dapatlah Belanda suatu sebab lagi, buat mengadakan “aksi polisionil” baru dengan alasan yang mungkin akan diterima oleh KTN dengan maksud merobohkan lima atau enam daerah-minus yang masih berada di bawah Republik.

Dengan persitiwa Stasiun Tugu sebagai Kartu Tinggi dengan Kadir-Hussein, sebagai umpan; dengan KTN sebagai MOMOK internasional, maka Belanda akan memusatkan pembicaraannya kepada gendarmerie-bersama disamping pelucutan senjata sebagian besar dari Tentara Republik; penghapusan uang ORI dan Pembatalan pengakuan Negara Arab atas Republik dan akhirnya menyodorkan pembentukan NIS dan UNI seperti yang sudah lama disediakan oleh kepitalis-imperialis Belanda, dimana 99,9 % kekuasaan yang sebenarnya jatuh ke tangan Kapitalis-Imperialis Asing.

Tawar menawar tentang banyaknya kursi dan besarnya kekuasaan yang akan terus dipegang oleh Belanda dan tawar menawar tentang banyak dan sifatnya Kursi yang akan diserahkan kepada borjuis kecil Indonesia di dalam NIS dan UNI itulah sekarang dilakukan di Kaliurang.

Tetapi yang menjadi sasaran dan taruhan dalam hal tawar-menawar ini, yang menjadi SAPI-PERAHAN, kelak, kalau KUHANDEL itu berhasil ialah MURBA, buruh-tani dan Rakyat-Jembel juga.

Sampailah pula perjuangan kemerdekaan Indonesia ini kepada tingkat, dimana MURBA dengan FILSAFAT, ORGANISASI, TAKTIK-STRATEGI, yang dilakukan oleh Borjuis Kecil Indonesia dengan Kapitalis-Imperialis Asing, di atas punggungnya MURBA Indonesia ini, yakni kalau MURBA Indonesia tiada ingin kembali menjadi SAPI-PERAHAN Kapitalis-imperialis itu. Sebaliknya pula MURBA harus membatalkan semua akibatnya kegagalan atau pembatalan perundingan Kaliurang itu dengan segala PERSIAPAN-MURBA yang dijalankan dengan teratur, ketenangan, kebijaksanaan, serta dengan PERSATUAN ORGANISASI, PERSATUAN MAKSUD dan PERSATUAN TEKAD MURBA!

16/04/1948.