Aksi Massa

Tan Malaka (1926)


VI

KEADAAN SOSIAL

Kecurangan tukang waning Belanda yang sudah tiga ra­tus tahun dalam dunia imperialistis yang disebut kolo­nisator menciptakan pertentangan sosial dan kebangsaan yang satu-satunya di seluruh Asia. Di satu pihak tampak kapital yang beranak pinak dalam pertanian yang sangat modern, dengan produksi yang sangat tinggi dan dengan jalinan hubungan internasional yang bersatu dalam se­jumlah sindikat dan trust yang memberi untung yang berlipat ganda. Di lain pihak, tampak kaum tani, pedagang­-pedagang kecil dijadikan buruh. Mereka berjubel-jubel sebagai buruh industri di kota-kota dan buruh tani di ke­bun-kebun. Semua ini melahirkan kesengsaraan, perbu­dakan dan kegelisahan.

Jika pertentangan kelas yang sebenarnya menyerupai satu jurang yang tak dapat ditimbun, yang di negeri-ne­geri Barat dan Jepang menimbulkan sosialisme, anarkisme dan bolsyevisme, di Indonesia jurang itu diperdalam lagi oleh pertentangan bangsa Belanda kontra Indonesia. Pertentangan ini, meskipun bukan satu sebab yang terpenting, tetapi mungkin sekali dapat memancing perang-perang kemerdekaan. "Pertentangan" Belanda kapitalist dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital modern dar bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa, bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah.

Di negeri-negeri kapitalis yang maju, pertentangan sosial terbagi atas dua kelas: kelas kaum kapitalis dengar para pengikutnya dan kelas buruh. Kaum kapitalis ialah yang mempunyai tanah, pabrik, kereta api, kapal dan bank, dan menambah kekayaan dalam keadaan biasa dengan jerih payah kaum buruh yang tidak dibayar, yang dilukiskan oleh Marx "met de zijn kapitaal geaccumuleenk meerwaarde". Kaum buruh ialah mereka yang kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang dulunya adalah petani dan pedagang kecil, tetapi waktu ini segala miliknya punah sama sekali kecuali tenaga, badan dan nyawa. Harga tenaga ini "tunduk" kepada turun naiknya harga di pasar tenaga. Kaum kapitalis hidup dari pemerasan dan kaum buruh dari upah kerjanya. Upah ini disebabkan oleh "undang-undang besi" dalam "tawar-menawar" di pasar tenaga — tidak dapat menutup harga kerja yang dilakukan (karena persaingan hebat di pasar tenaga dan kecemasan akan mati kelaparan, terpak­sa buruh itu menerima upah yang serendah-rendahnya).

Supaya dapat mengadakan pemerasan atas kelas bu­ruh yang jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jum­lahnya kecil, mempergunakan "senjata gaib", seperti se­kolah, gereja atau masjid, dan surat kabar, juga perkakas kelas seperti polisi, tentara, penjara, dan justisi. Parlemen, masjid, gereja, sekolah dan surat-surat kabar berdaya upaya menidurkan dan melemahkan hati buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila mere­ka tak dapat berlaku seperti itu, dipergunakanlah penja­ra, polisi dan militer.

Persaingan ekonomi sesama kaum kapitalis menye­babkan timbulnya kongsi. Mereka dapat melawan mu­suh-musuhnya yang terpencil. Kalau kongsi dalam per­saingan "mati-matian" tak dapat menaklukkan lawannya, ia mencoba mengadakan kompromi. Kedua kongsi yang dulunya bermusuhan, sekarang menjadi satu sindikat. Demikianlah mereka dapat menaikkan harga barang­barangnya dengan sesuka hati, sehingga merugikan si pembëli (buruh dan tani miskin).

Jadi, sindikat itu adalah gabungan dari beberapa kongsi. Akan tetapi kongsi bekerja itu menurut caranya sendiri dan merdeka seperti biasa. Supaya kekuatannya bertambah besar dan terpusat ke satu pimpinan untuk per­juangan ekonomi, dibentuklah satu trust. Jadi, sindikat mempunyai banyak ketua, sedangkan trust seorang saja, dan begitu juga cara kerjanya, sebuah trust dapat secara lebih sempurna menguasai pasar dunia daripada sindikat.

Di pasar negeri-negeri Barat, terutama Amerika, kita lihat sejumlah tambang arang, industri besi, pabrik-pab­rik minyak dan maskapai kapal yang dulunya terpecah-­pecah sekarang bersatu dalam trust yang besar, dikepa­lai oleh raja-raja trust. Kita dengar nama-nama seperti Mor­gan Raja Bank, Rockefeiler Raja Minyak, Carnagie Raja Baja dan Ford Raja Mobil.

Di Jerman kita lihat bagaimana trust yang banyak itu diikat menjadi satu "gabungan trust". Pabrik-pabrik besi, arang dan kertas, maskapai kapal dan kereta api se­muanya tunduk di bawah pimpinan Stinnes yang baru meninggal dunia. Demikianlah, Stinnes dapat menguasai harga bahan-bahan mentah dan barang-barang pabrik, se­lanjutnya ongkos pengangkutan dan advertensi dari ba­rang-barang pabrik itu. Pembentukan trust seperti ini di­tiru pula oleh bank-bank yang menyatukan diri dari mas­kapai menjadi sindikat, dari sindikat ke trust dan dari trust ke gabungan trust.

Bank meminjamkan uang kepada industri dan perke­bunan; bank itu senantiasa bertambah kaya oleh bunga uang yang tinggi, yang dibayar oleh si peminjam. Akan tetapi, bunga uang yang tinggi itu ditarik si peminjam da­ri buruh mereka, dan si buruh menarik hanya dari keri­ngat dan tenaganya. Kepada negara, bank juga memin­jamkan uang yang mesti dibayar dengan bunga yang ti­dak rendah. Bank negara pada gilirannya menarik pajak yang banyak sekali dari kaum buruh (sebab merekalah yang terbanyak jumlahnya) untuk membayar utang itu beserta bunganya. Ke negeri-negeri asing, bank memimjamkan uangnya dengan bunga yang serupa. Bank, "benteng kapitalisme", jadi penguasa industri, pertanian dan pemerintahan suatu negeri, dan dengan penanaman modal di negeri asing itu, ia juga menguasai negeri-negeri itu.

Supaya tetap memperoleh bunga, maka ia jugalah yang mengangkat dan memberhentikan kepala-kepala industri, ahli negara dan ahli politik, dan langsung atau tidak menggaji atau menyuap mereka. Dengan adanya trust maka ditaruhnya pimpinan perusahaan bank ke tangan beberapa bankir. Jadi, bangkirlah pada hakikatnya yang jadi pemimpin industri, pengangkutan, pertanian perdagangan, negara dan politik, pendeknya masyarakat kapitalis modern.

Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, tampaklah kepada kita bahwa makin maju kapitalisme, makin sedikit orang yang berharta dan jumlah kaum buruh miskin menjadi lebih besar. Di negeri-negeri kapitalistis yang cerdas seperti Inggris, Jerman dan Amerika, jumlah buruh yang pandai dan yang tidak kurang lebih 75% dari penduduk. Jumlahnya pemangku tangan, tetapi berkapital dan produksi makin lama makin sedikit. Kekuasaan dan kekayaan mereka semakin besar. Jumlah buruh, tapi tak mempunyai apa-apa, makin lama makin banyak, dan organisasi mereka demikian pula. Pertentangan kaum pemangku tangan dengan buruh miskin makin lama semakin tajam dan akhirnya menimbulkan revolusi sosial.

Di Indonesia proses kapitalisasi itu hampir tidak berbeda dengan garis-garis besar yang diuraikan di atas. Sau­dagar-saudagar Indonesia dan perusahaan yang kecil-ke­cil sudah lama lenyap dari masyarakat.

Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi makan, petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Ke­kuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan badan perdagangan, kini semuanya dipesatkan dalam ta­ngan beberapa sindikat seperti Avros, Suikersyndikaat, Handeslvereeniging Amsterdam dan lain-lain. Pimpinan sindikat-sindikat besar itu tergantung di tangan beberapa orang kapitalis.

Pertentangan sosial antara kapitalis dan buruh di In­donesia — berhubungan dengan satu dan lain hal — le­bih tajam daripada apa yang kelihatan oleh mata. Keun­tungan besar dari gula, minyak, karet, kopi, teh dan lain-lain sebagian besar mengalir ke Eropa, ke kantong bang­sa Belanda, dan sebagian kecil ada juga kembali ke Indo­nesia, tetapi bukan sebagai kenaikan gaji buruh, melain­kan sebagai penambah "kapital" yang sudah ada, buat jadi "alat penghisap" yang baru pula. Sebagian besar ke­untungan itu ada di negeri Belanda sebagai gaji uang ver­lof atau pensiun pegawai-pegawai Belanda.

Kemalangan nasib buruh Indonesia hanya dapat di­perbaiki dengan jalan menaikkan gaji mereka yang sepa­dan (dengan memperhatikan) harga barang keperluan se­hari-hari. Dengan pembukaan beberapa kebun besar, me­mang ada kaum buruh atau penganggur yang mendapat pekerjaan, tetapi sebaliknya tanah mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang kehilangan miliknya. Tambahan lagi, karena perluasan kapitalisasi itu, barang keperluan sehari-hari bertambah tinggi harganya. Sung­guh tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga barang dalam sepuluh tahun belakangan ini tidak sejalan dengan kenaikan gaji buruh.

Demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa (malahan ke­rapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal. Dan oleh persaingan yang makin lama makin hebat, karena cacah jiwa cepat sekali bertambah­nya dan kuat, berkuranglah kepastian akan mendapat pe­kerjaan.

Jika kaum kapitalis itu bangsa Indonesia, tentulah ke­miskinan dan kemelaratan tak akan sepedih itu sebab si­sa keuntungan yang sangat banyak itu mungkin dilem­parkan pada rakyat. Gaji buruh boleh jadi dinaikkan; pe­ngajaran, koperasi rakyat, industrialisasi dan kesehatan mungkin diperhatikan dan diperbaiki. Sekarang tak se­mua itu terjadi, sebab untung yang berlipat ganda terus menerus diangkut dari Indonesia keluar negeri.

Selain dari proses pengeringan ini, pertentangan so­sial dipertajam oleh perbedaan bangsa dan apa saja yang bersangkutan dengan hal itu. Kaum kapitalis berbahasa lain dari rakyat dan pemerintah bukan pemerintah rak­yat. Kaum kapitalis dan pemerintah memeluk agama lain, mempunyai kesusilaan dan kebiasaan lain, serta ideo­loginya berbeda dengan rakyat. Dalam pergaulan seha­ri-hari antara kapitalis dan buruh, antara pemerintah dan rakyat, yang tersebut tadi penting sekali. Kapitalis Belan­da tidak mengenal buruhnya, pemerintah Belanda mengenal rakyatnya. Bukan dia tak ingin mengenal rak­yat.

Meskipun dia sekiranya mau berbuat serupa itu, tidaklah mudah bagi Belanda akan menyelami batin peng­huni khatulistiwa ini sebab mereka tidak menyiapkan faktor-faktor yang perlu, seperti pendidikan, bahasa per­gaulan sosial dan kepercayaan rakyat. Oleh karena itu­lah, Belanda yang katanya "sopan" kerapkali mengeluar­kan kata-kata yang kotor terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan menyukai pemerintah Be­landa. Sebagaimana Filipina yang tak langsung merasa­kan kekuasaan Gubernur Jenderal Amerika dan boleh di­katakan tidak mendapat kesusahan dari pembesar-pem­besar Amerika, masih saja terus mereka menuntut kemer­dekaannya, demikian jugalah bangsa Indonesia-selatan akan tetap menagih kemerdekaan yang mutlak dan se­luas-luasnya. Sebagaimana seorang manusia tak suka di­ganggu dan dikuasai oleh orang lain, demikian pula rak­yat. Mereka lama-kelamaan tak akan membiarkan dirinya dijajah atau dikuasai oleh bangsa lain.

Terserah kepada kita memperhatikan, apakah perten­tangan Belanda kapitalis dan Indonesia buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara waktu saja!

Pertentangan ini lambat laun berkurang bila pemerin­tah sekarang, bukan nanti, mengadakan perubahan besar, perbaikan ekonomi, politik dan sosial yang memperbaiki keadaan seluruh rakyat Indonesia.

Hak ini hanya terjadi dengan mendirikan industri ba­ru (kapas, karet, pabrik-pabrik mesin, perkapalan, tam­bang dan lain-lain), membuka pertanian besar-besar dan memperbanyak jalan-jalan raya, mendirikan koperasi rakyat dengan bunga yang rendah, memberi bantuan pi­kiran dan bahan kepada kaum tani, tanah kepada bekas­-bekas petani yang miskin, menaikan gaji buruh dan mengurangkan jam bekerja, meringankan atau menghapus­kan pajak dan membesarkan pajak perkebunan atau ke­bun-kebun besar, dan industri dijadikan hak bersama, yai­tu pemerintah, memberikan hak dalam pemilihan umum yang seluas-luasnya kepada bumiputra, mendirikan perwakilan rakyat yang "sejati" yang daripadanya dipilih sa­tu badan yang bertanggung jawab sepenuh-penuhnya ke­pada rakyat Indonesia, menghapuskan segala badan birokrasi yang tak berfaedah, seperti Raad van Indie, de Al­t gemeene Secretaris dan lain lain.

Tentu tak akan terjadi!

Setengah dari itu pun tak akan terjadi. Taruhlah secara tiba-tiba imperialis Belanda melemparkan "politik warung kecilnya" dan mempergunakan politik kolonial sesungguhnya, itu sudah terlambat! Sekali lagi terlambat! Imperialisme Belanda tak punya cita-cita, keberanian dan alat-alat untuk mengadakan perubahan yang berarti sedikit. Ia terlalu "daif" (lemah) untuk melakukannya dan tidak ada pula borjuasi bumiputra modern dapat membantunya.

Adapun "kapital luar negeri" yang bertitik-titik beberapa dollar dari wallstreet hanya seumpama beberapa butir kerikil yang dilemparkan untuk menimbuni jurang yang sangat dalam antara imperialisme Belanda dan rakyat Indonesia.

Perbaikan radikal seperti di Filipina dapat dan mau Amerika jalankan, bila ia menerima kekuasaan politik di Indonesia dari Belanda si tukang warung itu. Jika terjadi yang seperti ini, Amerika dalam waktu yang singkat nis­caya akan datang di Indonesia dengan beberapa ribu juta rupiah. Tetapi mustahil! Sebab bertentangan dengan ke­pentingan dan "kehormatan" Belanda. Sebab kapital Amerika yang besar di Indonesia akan mendesak kapital Belanda ke sisi! Dan kalau keuangan terikat, kapital Be­landa tak berarti (dan tukang warung Belanda terpaksa jadi boneka-boneka Paman Sam).

Tentu saja "Meneerge" tidak mau! Tambahan lagi yang tak kurang pentingnya, ini berarti kekuasaan eko­nomi dan politik Amerika akan bertambah besar di bagian yang strategis dan penting sekali di Pasifik. Hal itu tentulah dengan sekuat-kuatnya akan ditentang oleh Inggris dan Jepang yang dengki, dan mungkin akan menimbulkan perang dunia yang lama dan dahsyat.

Oleh sebab itu, bagi Belanda cilik yang enggan mus­nah, lebih baik ia berbuat sesukanya sambil menunggu keruntuhannya. Lagi pula, penjajah lain (Inggris, Amerika dan Jepang) lebih baik membiarkan Belanda bergumul dengan jajahannya yang mulai durhaka.


BAB V: KEADAAN RAKYAT INDONESIA
DAFTAR ISI
BAB VII: KEADAAN POLITIK