Keluarga Suci

Marx dan Engels (1845)


BAB IV

KRITIK KRITIS SEBAGAI KETENANGAN PENGETAHUAN ATAU
KRITIK KRITIS DALAM PERSON HERR EDGAR

1) Flora Tristan: Union Ouvrière

Kaum Sosialis Perancis tetap berpendapat bahwa pekerja membuat segala-sesuatu, memproduksi segala-sesuatu dan namun begitu tidak mempunyai hak-hak, tidak memiliki apa-apa, singkat kata, sama sekali tidak mempunyai apa-apa. Kritik Kritis menjawab dalam kata-kata HerrEdgar, yaitu personifikasi “ketenangan pengetahuan: Untuk dapat menciptakan segala sesuatu,diperlukan suatu kesadaran yang lebih kuat daripada kesadaran pekerja; hanya kebalikan dari dalil di atas yang akan benar: pekerja tidak membuat apa-apa, oleh karenanya ia tidak mempunyai apa-apa; tetapi sebab mengapa ia tidak membuat sesuatu adalah bahwa pekerjaannya selalu individual, dengan mempunyai sebagai obyek kebutuhan-kebutuhannya yang paling pribadi, dan pekerjaan setiap harinya.”

Di sini Kritik mencapai suatu ketinggian abstraksi di mana ia hanya memandang ciptaan-ciptaan pikiran-pikirannya sendiri dan keumuman-keumuman yang berkontradiksi dengan semua realitas sebagai “sesuatu,” bahkan sebagai “segala sesuatu.” Pekerja tidak menciptakan apapun karena ia hanya mencipta “individual,” yaitu obyek-obyek yang dapat dilihat, dirasa, yang tidak-ber’roh’ dan tidak-Kritis, yang rupanya membikin ngeri Kritik murni/sejati. Segala-sesuatu yang nyata dan hidup adalah tidak-Kritis, padat, dan karenanya “bukan apa-apa/ketiadaan”; hanya ciptaan-ciptaan yang ideal, yang fantastik dari Kritik Kritis adalah “segala-segalanya.”

            Pekerja tidak menciptakan apa pun, karena pekerjaannya tetap individual, yang hanya mempunyai kebutuhan-kebutuhan indivi-dualnya sebagai obyeknya, yaitu, karena dalam sistem dunia sekarang cabangcabang kerja yang secara individual saling-berkaitan dipisahkan dari, dan bahkan berlawanan satu-sama-lainnya, sing-katnya, karena kerja “tidak terorganisasi.” Dalil Kritik sendiri, jika diartikan dalam satu-satunya pengertian yang masuk akal yang dapat dimilikinya, menuntut pengorganisasian kerja. Flora Tristan, dalam sebuah penilaian mengenai karya siapa dalil besar ini tampil, mengajukan tuntutan serupa dan diperlakukan sebagai “bajingan ( canaille)” karena keangkaraannya dalam mengantisipasi Kritik Kritis. Betapa pun, dalil bahwa pekerja tidak menciptakan sesuatu apapun adalah kegilaan mutlak – kecuali dalam arti bahwa pekerja “individual” tidak memproduksi sesuatu “seutuhnya,” yang adalah pengulangan kata tanpa menambah kejelasan (tautologi) Kritik Kritis tidak menciptakan sesuatu apapun, pekerja menciptakan segalanya; dan sedemikian rupa sehingga bahkan ciptaan-ciptaan spiritualnya mempermalukan keseluruhan Kritik; kaum buruh Inggris dan Perancis memberikan bukti akan hal ini. Pekerja bahkan menciptakan “manusia”; sang pengritik tidak akan pernah menjadi sesuatu kecuali sub-manusia ( Unmensch), tetapi di lain pihak ia akan mendapatkan kepuasan karena menjadi seorang pengritik Kritis.

“Flora Tristan adalah sebuah contoh dari dogmatisme feminin yang mesti mempunyai sebuah formula dan membangun itu dari kategori-kategori dari apa yang ada.”

Kritik tidak berbuat lain kecuali membangun formula-formula dari kategori-kategori dari apa yang ada, untuk tepatnya, dari filsafat Hegelian yang ada dan aspirasi-aspirasi sosial yang ada. Formula-formula, semata-mata hanya formula-formula. Dan sekalipun dengan semua maki-makiannya terhadap dogmatisme, ia mengutuk diri sendiri karena dogmatisme, dan bahkan dogmatisme feminin. Ia adalah dan tetap seorang wanita tua , yang layu, menjadi janda filsafat Hegelian, yang melukis dan menghias abstraksi tubuhnya yang berkerut dan menjijikkan dan mengerling ke seluruh Jerman mencari-carikan seorang peminang.

2) Béraud tentang Prostitusi

Herr Edgar, beriba mengenai masalah-masalah sosial, turut-campur juga dalam Hubungan-hubungan Prostitusi (No.V, hal. 26).

            Ia mengritik buku Béraud, Komisaris Polisi Paris, tentang prostitusi karena ia risau mengenai titik-pandang dari mana Béraud memandang sikap para pelacur terhadap masyarakat. Ketenangan Pengetahuan terperanjat melihat bahwa seorang polisi mengadopsi titik-pandang dari kepolisian, dan menegaskan pada massa bahwa titik-pandang itu salah sekali. Namun ia tidak mengungkapkan titik-pandangnya sendiri. Sudah tentu tidak! Ketika Kritik bermain-main dengan para pelacur, ia tidak dapat diharapkan melakukan itu di depan umum.

3) Cinta

Untuk melengkapi transformasinya menjadi ketenangan pengetahuan Kritik Kritis mesti terlebih dahulu berusaha membuang cinta. Cinta adalah suatu nafsu, dan tiada yang lebih berbahaya bagi ketenangan pengetahuan daripada nafsu. Itulah sebabnya mengapa, berbicara tentang novel-novel Madame von Palzow, yang, ia meyakinkan kita, telah dipelajarinya secara tuntas. Herr Edgar terheran-heran dengan kekanak-kanakan seperti yang disebut cinta itu. Itu sepenuhnya mengerikan dan dibenci dan membuat Kritik Kritis geram, mengaduk empedunya dan nyaris membuatnya gila.

“Cinta..... adalah dewi yang kejam, dan, seperti semua dewa, ingin menaklukkan keseluruhan manusia; ia tidak puas sebelum ia menyerahkan padanya tidak hanya rohnya, tetapi diri fisiknya sendiri. Memuja cinta adalah penderitaan, puncaknya adalah pengorbanan diri, bunuh-diri.”

Untuk mengubah cinta menjadi Moloch, inkarnasi iblis, Herr Edgar terlebih dulu mengubahnya menjadi dewi. Ketika cinta telah menjadi dewi, yaitu sesuatu yang teologi, ia dengan sendiri sebuah obyek kritik teologi; lagi pula, kita mengetahui bahwa dewa dan iblis tidak jauh satu-sama-lainnya. Herr Edgar mengubah cinta menjadi suatu dewi, suatu dewi kejam bahkan, dengan mengubah manusia yang menyintai, cinta manusia, menjadi manusia cinta; dengan membuat cinta menjadi sesuatu yang tersendiri, sesuatu yang terpisah dari manusia dan seperti itu diberkati dengan keberadaan yang bebas. Dengan proses sederhana ini, dengan mengubah predikat menjadi subyek, semua atribut dan manifestasi sifat manusia dapat secara Kritis ditransformasi menjadi kebalikannya (Unwesen) dan pengasingan-pengasingan (keterasingan-keterasingan). Demikian, misalnya, Kritik Kritis membuat dari kritik, sebagai suatu predikat dan aktivitas manusia, suatu obyek tersendiri/terpisah, kritik merujuk dirinya pada dirinya sendiri dan karenanya “Kritik Kritis”: suatu Moloch, yang pemujaannya terdiri atas pengorbanan-diri dan bunuh-diri manusia, dan khususnya “kemampuannya untuk berpikir.”

“Obyek, ketenangan pengetahuan” berseru, “obyek adalah ungkapan yang tepat, karena yang terkasih penting bagi sang kekasih (tidak ada yang feminin) hanya sebagai obyek eksternal ini dari emosi rohnya, sebagai obyek di mana ia ingin memuaskan perasaan egoistiknya.”

“Obyek!” Mengerikan! Tidak ada yang lebih terkutuk, lebih duniawi, lebih solid daripada suatu “obyek” – hancurkan obyek! Bagaimana subyektivitas mutlak, actus purus itu, Kritik “sejati,” tidak bisa melihat dalam cinta bête noire,8 penjelmaan Syaitan itu , dalam cinta, yang pertama-tama sungguh-sungguh mengajarkan pada manusia untuk percaya akan dunia obyektif di luar dirinya, yang tidak hanya menjadikan manusia sebuah obyek, tetapi obyek itu seorang manusia!

Cinta, demikian ketenangan pengetahuan melanjutkan, di samping dirinya, bahkan tidak puas dengan mengubah manusia menjadi “kategori Obyek” bagi orang lain, ia bahkan menjadikan darinya “suatu obyek tertentu,” “obyek nyata,” obyek “eksternal” kejahatan-individual ini (lihat Phenomenologi Hegel tentang kategori-kategori “Ini” dan “Itu,” di mana juga ada suatu polemik terhadap kejahatan “Ini”), yang tidak tinggal internal, tersembunyi di dalam otak, tetapi secara inderawi dimanifestasikan.

Cinta

Tidak hanya hidup terkurung di dalam otak.

Tidak, yang terkasih adalah suatu “obyek inderawi,” dan apabila Kritik Kritis akan merendahkan-diri pada pengakuan akan sebuah obyek, maka ia sekurang-kurangnya menuntut sebuah obyek “bodoh.” Tetapi cinta adalah suatu/seorang materialis yang “tidak-Kritis,” yang “tidak kristiani.” Ahirnya, cinta bahkan menjadikan seorang manusia “obyek eksternal dari emosi roh” dari seorang lain, obyek di mana perasaan “egoistis” dari orang lain itu menemukan kepuasannya, suatu perasaan “egoistis” karena ia “mencari hakekat dirinya sendiri” dalam orang lain itu, dan itu tidak seharusnya. Kritik Kritis “begitu bebasnya” dari semua “egoisme” sehingga untuknya seluruh jajaran hakekat manusia dihabiskan olehdirinya sendiri.

Herr Edgar dengan sendirinya tidak memberitahukan kepada kita dengan cara bagaimana yang terkasih itu berbeda dari lain-lain “obyek eksternal dari emosi roh di mana perasaan-perasaan egoistis manusia itu menemukan kepuasannya.” Obyek cinta yang paling mendalam, sensitif, yang paling ekspresif tidak berarti apapun bagi ketenanganpengetahuan kecuali formula abstrak: “obyek eksternal emosi dari roh ini,” sesuatu sebagaimana komet tidak berarti apa-apa bagi filsuf alam yang spekulatif kecuali “negativitas.” Dengan menjadikan manusia obyek eksternal dari emosi roh, manusia seungguhnya mengaitkan “arti penting” padanya. Kritik Kritis sendiri mengakui tetapi hanya “arti penting obyektif,” boleh dikata, sedangkan arti-penting yang dikaitkan Kritik pada obyek-obyek tidak lain dan tidak bukan adalah yang dikaitkannya pada dirinya sendiri. Karena itu arti-penting ini tidak terletak di dalam “ mahluk eksternal yang jahat,” tetapi di dalam ketiadaan obyek yang secara kritis penting.

Jika ketenangan pengetahuan tidak mempunyai “obyek” dalam manusia, ia sebaliknya mempunyai suatu “maksud” dalam kemanusiaan. Cinta Kritis “di atas segala-galanya yalah untuk tidak melupakan “maksud” di balik personalitas, karena maksud itu tidak lain dan tidak bukan adalah maksud kemanusiaan.” Cinta tidak-Kritis tidak memisahkan kemanusiaan dari manusia personal, manusia individual.

“Cinta itu sendiri, sebagai suatu nafsu abstrak, yang datang entah dari mana dan pergi entah kemana, tidak berkemampuan akan suatu perhatian bagi perkembangan internal.”

Di mata ketenangan pengetahuan, cinta itu suatu nafsu abstrak menurut terminologi spekulatif di mana yang konkrit disebut abstrak dan yang abstrak disebut konkrit.

Gadis itu tidak dilahirkan di lembah itu,

Dari mana datangnya tak seorang pun tahu.

Tak lama kenangan akan dirinya berlambat-lambat,

Ketika ia mengucapkan selamat tinggal.[9]

Bagi abstraksi, cinta adalah gadis dari luar-negeri, yang tidak mempunyai paspor dialektis dan oleh karenanya diusir dari negeri itu oleh polisi Kritis.

Gairah cinta tidak mempunyai perhatian apapun akan perkembangan internal karena itu tidak dapat dibangun a priori, karena perkembangannya adalah sesuatu yang nyata isi metode yang dianimasikan adalah sekaligus awal dari suatu kaitan baru (yang terjadi dalam alam panca-indera dan di antara individu-indvidu nyata. Kepentingan utama dari konstruksi spekulatif, sebaliknnya, adalah “Dari Mana” dan “Ke Mana.” “Dari Mana” adalah “keharusan akan sebuah konsep, buktinya dan deduksinya” (Hegel). “Ke Mana” itu adalah ketetapan-hati “dengan mana setiap kaitan dari gerak spekulatif sirkular, sebagai isi metode yang dianimasikan, adalah sekaligus awal dari sebuah kaitan baru” (Hegel). Oleh karenanya, hanya apabila “Dari Mana” –nya dan “Ke Mana” -nya dapat dikonstruksi a priori, barulah cinta layak mendapatkan “perhatian” kritik spekulatif.

Di sini Kritik Kritis tidak hanya menentang cinta saja, tetapi terhadap segala sesuatu yang hidup, segala sesuatu yang bersifat seketika, setiap pengalaman inderawi, setiap dan semua pengalaman “nyata” yang “Dari Mana” dan “Ke Mana” -nya tidak diketahui sebelumnya.

Dengan mengatasi cinta, Herr Edgar telah sepenuhnya “menandaskan” dirinya sebagai “ketenangan pengetahuan.” Dengan perlakuannya terhadap Proudhon, ia kini dapat memperlihatkan kepandaian besar dalam pengetahuan, yang “obyeknya” tidak lagi “obyek eksternal ini,” dan suatu “kekurangan akan cinta” yang lebih besar bagi bahasa Perancis.

4. Proudhon

Bukan Proudhon sendiri, tetapi “ titik-pandang Proudhon” yang, demikian Kritik Kritis memberitahukan, yang menulis Qu’est-ce que la proprieté? [10]

“Aku memulai pemaparanku mengenai titik-pandang Proudhon dengan mengkarakterisasi (titik pandangnya) karyanya, What is Property (Apakah Hak-milik itu?)?”

Karena hanya karya-karya dari titik-pandang Kritis yang mempunyai suatu karakter/watak mereka sendiri, maka karakter Kritis mesti mulai dengan memberikan karakter/watak pada karya Proudhon. Herr Edgar memberikan pada karya ini suatu karakter dengan menerjemahkannya. Ia dengan sendirinya memberikan suatu karakter buruk padanya, karena ia mengubahnya menjadi sebuah “obyek dari Kritik

Karya Proudhon oleh karenanya dijadikan sasaran suatu serangan rangkap oleh Herr Edgar – sebuah serangan yang “tidak dinyatakan” dalam terjemahan karakterisasinya dan sebuah serangan “yang dinyatakan” di dalam komentar-komentar Kritisnya. Kita akan melihat bahwa Herr Edgar lebih menghancurkan manakala ia menerjemahkan daripada ketika ia berkomentar.

Terjemahan Karakterisasi No. 1

“Aku tidak ingin” (demikian Proudhon yang diterjemahkan secara Kritis berkata) “memberi sesuatu sistem dari yang baru; yang aku maukan hanyalah penghapusan privilese (hak istimewa), peng-hapusan perbudakan...... Keadilan, tidak lain kecuali keadilan, itulah yang kupikirkan.”

Proudhon yang dikarakterisasi membatasi dirinya pada berkeinginan dan berpikir, karena iktikad baik dan berpikir tidak-ilmiah merupakan atribut-atribut karakteristik dari massa yang tidak-Kritis. Proudhon yang dikarakterisasi memperlihatkan suatu kepatuhan yang menjadi massa dan menundukkan yang ia inginkan pada yang tidak diinginkannya. Ia tidak bemaksud memberikan sebuah sistem dari yang baru; ia mengingnkan yang kurang dari itu, ia bahkan tidak menginginkan apapun kecuali penghapusan privilese, dsb. Di samping kepatuhan Kritis dari kehendak dirinya, tiada kepatuhan Kritis pada kehendak dirinya, katakatanya yang paling pertama ditandai oleh suatu kekurangan logika yang karakteristik. Seorang penulis yang memulai bukunya dengan mengatakan bahwa dirinya tidak ingin memberikan sesuatu sistem pada yang baru, semestinya memberi-tahukan pada kita apa yang ingin ia berikan: apakah sesuatu yang lama yang disistematiskan atau sesuatu yang baru yang tidak-disistematiskan. Tetapi adakah Proudhon yang dikarakterisasi itu, yang tidak ingin “memberikan” sesuatu sistem dari yang baru, ingin memberikan penghapusan privilese? Tidak. Ia hanya meng-ingin-kannya..

Proudhon “yang sesungguhnya” mengatakan: “je ne fais pas de système; je demande la fin du privilège,” etc. (“Aku tidak membuat system apapun; aku menuntut diakhirinya privilese, dst.”) Ini berarti bahwa Proudhon yang sebenarnya menyatakan bahwa dirinya tidak mengejar sesuatu tujuan yang abstrak-ilmiah, tetapi mengajukan tuntutan-tuntutan langsung yang praktis pada masyarakat. Dan tuntutan yang diajukannya itu bukan tuntutan sewenang-wenang. Tuntutan itu dimotivasi dan dibenarkan oleh seluruh argumentasinya dan merupakan ikhtisar argumentasi itu: untuk “justice, rien que justice; tel est le resumè de mon discours” (“keadilan, tidak lain kecuali keadilan; demikian itulah kesimpulan wacanaku”). Dengan “Justice, nothing but justice, that is what I mean”-nya itu, Proudhon yang dikarakterisasi menempatkan dirinya dalam suatu posisi yang semakin menyukarkan karena yang dimaksudkan adalah lebih banyak. Menurut Herr Edgar, misalnya, ia “berpikir” bahwa filsafat tidaklah cukup praktis, ia “berpikiran” untuk menolak “Charles Comte,” dan sebagainya.

Proudhon yang Kritis bertanya: “Mestikah manusia itu selalu tidak berbahagia?” Dengan kata-kata lain, ia bertanya apakah ketidakbahagiaan merupakan/menjadi nasib moral manusia. Proudhon yang sesungguhnya adalah seorang Perancis yang berhati-ringan dan ia bertanya apakah ketidak-bahagiaan merupakan suatu keharusan material, suatu “keniscayaan.” ( L’homme doit-il être éternellementmalheureux?)

Proudhon yang padat ( massy) berkata:

“Et, sans m’arrêter aux explications à toute fin des entrepreneurs de réformes, accusant de la détresse générale, ceux-ci la lâcheté et l’impéritie du pouvoir, ceux-là les conspirateurs et les émeutes, d’autres l’ignorance et la corruption générale,” dst.[11]

Dengan ungkapan a toute fin yang merupakan sebuah ungkapan padat yang buruk yang tidak terdapat dalam kamus-kamus Jerman yang solid, Proudhon yang Kritis dengan sendirinya mengabaikan definisi “penjelasan-penjelasan” yang lebih cermat ini. Istilah ini diambil dari jurisprudensi Perancis yang padat, dan explications à toute fin berarti penjelasan-penjelasan yang menghindari setiap keberatan.

Proudhon yang Kritis menyerang “para reformis,” sebuah partai[12] kaum Sosialis Perancis; Proudhon yang padat menyerang para pemrakarsa reform-reform. Proudhon yang padat membedakan berbagai kelas para “pengusaha reform.” Yang ini, (ceux-ci) mengatakan “satu hal,” yang itu, (ceux-là) mengatakan hal lain, yang lain-lain (d’autres) “yang ketiga.” Proudhon yang Kritis, sebaliknya, membuat “para reformis yang sama itu “sekarang menuduh yang satu, lalu yang lain, kemudian yang ketiga,” yang betapapun merupakan bukti dari ketidak-tetapan mereka. Proudhon yang sesungguhnya, yang mengikuti praktek Perancis yang solid, berbicara tentang “para konspirator dan kaum pemberontak,” yaitu, mula-mula tentang para konspirator dan kemudian tentang aktivitas-aktivitas mereka, pemberontakan-pemberontakan. Proudhon yang Kritis, sebaliknya, menumpuk berbagai kelas kaum reformis jadi satu, mengklasifikasi kaum pemberontak dan karenanya mengatakan: para konspirator dan “kaum pemberontak.” Proudhon yang solid berbicara tentang “ketidak-tahuan/kebodohan” dan “ korupsi umum (general corruption).” Proudhon yang Kritis mengubah ketidak-tahuan menjadi ketololan, korupsi menjadi kebejatan moral, dan akhirnya, sebagai seorang pengritik Kritis, membuat ketololan itu umum. Ia sendiri memberikan sebuah contoh seketika dengan menempatkan gènèrale dalam singular gantinya dalam plural. Ia menulis: ketidak-tahuan dan korupsi umum (l’ignorance et la corruption gènèrale) untuk “ketololan dan kebejatan moral umum” ( general stupidity and depravity). Menurut tata-bahasa Perancis yang tidak-Kritis, ini mestinya : l’ignorance et la corruption gènèrales.

Proudhon yang dikarakterisasi, yang berbicara dan berpikir lain daripada Proudhon yang padat, tidak-bisa-tidak menjalani berbagai “proses pendidikan.” Ia “mempertanyakan para sarjana ilmu pengetahuan, membaca ratusan jilid buku filsafat dan hukum, dsb. Dan akhirnya” ia “menyadari bahwa kita masih belum menangkap arti dari kata-kata Keadilan, Persamaan, Kemerdekaan.” Proudhon yang sesungguhnya mengira bahwa ia telah menyadari “pada awalnya, (jecrus d’abord reconnaître) yang disadari oleh Proudhon yang Kritis pada akhirnya.” Pengubahan Kritis d’abord (pada awalnya) menjadi enfin (pada akhirnya) adalah perlu karena massa tidak boleh berpikir bahwa ia menyadari sesuatu “pada awalnya.” Proudhon yang padat secara gamblang sekali menjelaskan betapa dirinya terbengong-bengong dengan hasil studinya yang tidak-disangka-sangka itu dan sangat ragu-ragu mengenainya. Tetapi ia memutuskan untuk melakukan suatu “pembuktian terbalik” dan bertanya pada dirinya sendiri: “Mungkinkah umat manusia telah begitu lama dan begitu universal salah dalam penerapan azas-azas moral?Bagaimana dan mengapa kesalahan itu?” Dsb. Ia membuat ketepatan pengamatannya bergantung pada pemecahan pertanyaan-pertanyaan ini. Ia mendapatkan bahwa dalam moral, seperti dalam semua cabang lainnya dari pengetahuan, kesalahan-kesalahan “adalah derajat-derajat ilmu-pengetahuan.” Secara sebaliknya, Proudhon yang Kritis seketika mempercayai kesan pertama yang ditimbulkan oleh studi ekonomi politik, hukum dan studi-studi yang serupa atas dirinya. Jelas sekali, massa itu mungkin tidak berlangsung “dengan ketuntasan”; ia mesti mengangkat hasil-hasil pertama dari penyelidikan-penyelidikannya ke tingkat kebenaran-kebenaran yang tidak dapat dibantah. Ia telah “mencapai kesudahan sebelum ia dimulai, sebelum ia mengukur/membanding diri sendiri dengan lawannya.” Karenanya “tampak” kemudian “bahwa ia bahkan belum mulai ketika ia mengira telah mencapai kesudahan.”

Oleh karenanya Proudhon yang Kritis meneruskan penalarannya dengan cara yang paling tidak berdasar dan membingungkan.

“Pengetahuan kita mengenai hukum-hukum moral tidak lengkap dari awal; karenanya selama beberapa waktu ia dapat mencukupi bagi kemajuan sosial, tetapi dalam jangka panjangnya ia akan membawa kita ke jalan yang salah.”

Proudhon yang Kritis tidak memberikan alasan sedikitpun mengapa pengetahuan yang tidak lengkap mengenai hukum-hukum moral dapat mencukupi bagi kemajuan sosial bahkan untuk sehari saja. Proudhon yang sesungguhnya, setelah menanyakan dirinya sendiri bagaimana dan mengapa umat-manusia dapat secara universal dan selama itu demikian salahnya, mendapatkan pemecahan bahwa semua kesalahan adalah derajat-derajat ilmu-pengetahuan; bahwa penilaian-penilaian kita yang paling tidak sempurna mengandung sejumlah kebenaran yang cukup bagi sejumlah tertentu induksi dan bagi suatu lingkaran tertentu kehidupan praktis, yang di luar jumlah dan lingkaran itu mereka secara teori membawa pada yang absurd dan secara praktis membusuk. Demikianlah ia berada dalam suatu kedudukan untuk mengatakan bahwa bahkan pengetahuan yang tidak-sempurna mengenai hukum-hukum moral dapat mencukupi kemajuan sosial untuk suatu waktu lamanya.

Proudhon yang Kritis mengatakan:

“Begitu pengetahuan baru menjadi perlu, suatu pergulatan ganas timbul antara prasangka-prasangka lama dan gagasan baru itu.”

Bagaimana dapat timbul suatu pergulatan melawan suatu lawan yang masih belum ada? Memang, Proudhon yang Kritis telah memberitahukan pada kita, bahwa suatu gagasan baru telah menjadi perlu, tetapi ia tidak mengatakan bahwa itu sudah menjadi sebuah kenyataan.

Proudhon yang padat mengatakan:

“Begitu pengetahuan lebih tinggi telah menjadi tidak bisa tiada, ia menjadi tidak pernah tidak ada,” maka itu ia memang sudah siap. “ Ketika itu pergulatan itu dimulai.”

Proudhon yang Kritis menegaskan: “Menjadi nasib manusia untuk belajar selangkah demi selangkah,” seakan-akan manusia tidak mempunyai suatu nasib yang berbeda sekali, yaitu, bahwa sebagai manusia, dan seakan belajar “selangkah demi selangkah” mau tidak mau membawanya selangkah lebih jauh.Aku dapat melangkah selangkah demi selangkah dan sampai pada titik dari mana aku berangkat. Proudhon yang tidak-Kritis berbicara, tidak tentang nasib, tetapi tentang “kondisi” bagi manusia untuk belajar tidak “selangkah demi selangkah” (pas àpas), “tetapi derajat-demi-derajat” (par degrés).

Proudhon yang Kritis berkata pada diri sendiri:

“Di antara azas-azas yang padanya masyarakat bersandar, terdapat azas yang tidak dipahami masyarakat, yang dirusak oleh ketidak-tahuan masyarakat dan menjadi sebab dari semua kebatilan. Tetapi, betapapun, manusia menghormati azas ini dan menghendakinya, karena bila tidak maka ia tidak akan mempunyai pengaruh. Nah, azas ini, yang benar dalam esensinya tetapi palsu dalam cara kita menerimanya ... yang manakah itu?”

Dalam kalimat pertama Proudhon yang Kritis mengatakan bahwa azas itu rusak, disalahpahami oleh masyarakat, karenanya ia tepat pada dirinya sendiri. Dalam kalimat kedua ia melakukan pengulangan kata tanpa menambah sedikitpun maknanya dengan mengatakan bahwa ia itu benar dalam esensinya. Namun begitu ia menyesalkan masyarakat karena menghendaki dan menghormati azas ini. Proudhon yang padat, sebaliknya, menyesalkan masyarakat bukan karena menghendaki dan menghormati azas ini, tetapi azas ini yang dipalsukan oleh ketidaktahuan kita (ce principe ... Tel que notre ignorance l’a fait, est honoré).

Proudhon yang Kritis menganggap esensi dalam bentuknya yang tidak benar itu benar. Proudhon yang padat beranggapan bahwa esensi dari azas yang dipalsukan adalah konsepsi kita yang tidak tepat, tetapi bahwa itu benar dalam obyeknya (objet), tepat sebagaimana esensi dari al-kimia dan astrologi adalah imajinasi kita, tetapi obyek-obyeknya gerak benda-benda angkasa dan sifat-sifat kimia benda-benda itu adalah benar.

Proudhon yang Kritis melanjutkan monolognya:

“Obyek penelitian kita adalah hukum, definisi dari azas sosial. Para politisi, yaitu, para orang ilmupengetahuan sosial, merupakan mangsa dari kekaburan selengkapnya; tetapi karena adanya suatu realitas pada dasar setiap kesalahan, dalam buku-buku mereka akan kita temukan kebenaran, yang telah mereka bawa ke dalam dunia tanpa mengetahuinya.”

Proudhon yang Kritis mempunyai cara penalaran yang paling fantastik. Dari kenyataan bahwa para politisi adalah bodoh ia selanjutnya mengatakan dengan cara yang paling sewenang-wenang bahwa suatu realitas terdapat di dasar setiap kesalahan, yang karenanya semakin tidak dapat diragukan karena adanya realitas di dasar setiap kesalahan dalam ujud pengarangnya. Dari kenyataan bahwa suatu realitas terdapat pada dasar setiap kesalahan ia selanjutnya menyimpulkan bahwa kebenaran dapat ditemukan dalam buku-buku para politisi . Dan akhirnya, ia bahkan membuat para politisi itu melahirkan kebenaran ini ke dalam dunia. Kalau mereka melahirkannya ke dalam dunia, maka kita tidak perlu mencari-carinya di dalam buku-buku mereka.

Proudhon yang padat berkata: “Para politisi tidak bersepakat di antara mereka sendiri (ne s’entendent pas); kesalahan mereka oleh karenanya merupakan sebuah kesalahan subyektif, yang mempunyai asal-usulnya pada diri mereka (donc c’est en eux qu’est l’erreur).”

Ketidak-sepakatan mereka membuktikan keberat-sebelahan mereka., Mereka mengacaukan “pendapat pribadi mereka dengan akal-sehat,” dan “karena,” menurut deduksi sebelumnya, “setiap kesalahan mempunyai suatu realitas yang sebenarnya sebagai obyek, maka buku-buku mereka mesti mengandung kebenaran yang mereka letakkan di sana secara tidak sadar yaitu, dalam buku-buku mereka tetapi tidak melahirkannya ke dalam dunia ( dans leurs livres doit se trouver la vérité, qu’à leur insu ilsy auront mis).”

Proudhon yang Kritis bertanya pada diri sendiri: “Apakah keadilan, apakah esensinya, karakternya, maknanya?” Seakan-akan ia mempunyai sesuatu arti terpisah dari esensi dan karakternya. Proudhon yang tidak Kritis bertanya: “Apakah azasnya, karakternya dan formulanya (formule)?” Dalam bahasa Perancis yang padat terdapat suatu perbedaan mendasar di antara “formule” dan “signification (arti-penting).” Dalam bahasa Perancis yang Kritis tidak ada.

Setelah penyelidikannya yang sangat tidak relevan itu, Proudhon yang
Kritis menguasai dirinya dan berseru:

“Mari kita berusaha lebih mendekati obyek kita.”

Proudhon yang tidak-Kritis, yang telah sampai pada obyeknya lama berselang, mencoba, sebaliknya, memperoleh definisi-definisi yang lebih cermat dan positif mengenai obyeknya (d’arriver à quelque chose deplus précise et de plus positif).

Bagi Proudhon yang Kritis, “hukum” adalah suatu “definisi tentang apa yang hak/benar,” bagi Proudhon yang tidak-Kritis ia adalah suatu statement (déclaration) mengenai itu. Proudhon yang tidak-Kritis menengkari pandangan bahwa hak dibuat oleh hukum. Tetapi suatu “definisi dari hukum” dapat berarti “bahwa hukum itu ditentukan presis sebagaimana ia dapat berarti sebagaimana yang didefinisikannya.” Proudhon yang Kritis sendiri berbicara tentang definisi azas sosial itu dalam pengertian yang tersebut terakhir. Secara kebetulan tidaklah pantas bagi Proudhon yang padat untuk membuat perbedaan-perbedaan sebagus itu. Mengingat perbedaan-perbedaan antara Proudhon yang dikarakterisasi secara Kritis dan Proudhon yang sesungguhnya, tidaklah mengherankan bahwa Proudhon no. 1 berusaha “membuktikan” hal-hal yang beda sekali daripada Proudhon no. 2.

Proudhon yang Kritis “berusaha membuktikan dengan pengalaman sejarah” bahwa “apabila ide yang kita punyai mengenai apa yang adil dan hak telah didefinisikan dengan buruk sekali, apabila itu tidak lengkap atau bahkan palsu, terbukti –(ia coba membuktikannya sekalipun buktinya)– semua penerapannya dalam perundang-undangan/hukum mesti buruk, semua kelembagaan kita mesti tidak sempurna.”

Proudhon yang padat jauh daripada menginginkan pembuktian dari apa yang terbukti. Ia berkata: “Apabila gagasan yang kita punyai mengenai apa yang adil dan benar/hak telah didefinisikan dengan buruk, apabila itu tidak lengkap atau bahkan palsu, maka sudah terbukti bahwa semua aplikasi legislatif (perundang-undangan) kita akan buruk jadinya, dst.”

Lalu, apakah, yang ingin dibuktikan oleh Poudhon yang tidak-Kritis itu?

“Hipotesis,” ia melanjutkan, “mengenai ketidakwajaran keadilan dalam pengertian kita, dan sebagai suatu keharusan akibat dalam perbuatan-perbuatan kita,, akan merupakan suatu kenyataan yang tak terbantahkan jika pendapat-pendapat manusia mengenai konsep keadilan dan penerapannya tidak tetap sama: jika pada berbagai kurun-zaman mengalami perubahan-perubahan; singkat kata, jika telah ada kemajuan
dalam gagasan-gagasan.”

Dan justru ketidak-tetapan itu, perubahan itu, kemajuan itu “adalah yang dibuktikan sejarah dengan kesaksian-kesaksian yang paling mencolok.” Dan Proudhon yang tidak-Kritis mengutip pembuktian-pembuktian mencolok dari sejarah ini. Duplikatnya yang Kritis, yang membuktikan suatu proposisi yang sepenuhnya berbeda dengan pengalaman sejarah, juga mewakili pengalaman itu dengan suatu cara yang berbeda sekali.

Menurut Proudhon yang sesungguhnya “para arif-bijaksana (les sages)” sudah meramalkan kejatuhan Empirium Romawi; menurut Proudhon yang Kritis para filsuf meramalkannya juga. Proudhon yang Kritis sudah tentu dapat memandang hanya para filsuf sebagai orangorang bijak. Menurut Proudhon yang sesungguhnya, “kebenaran telah ditahbiskan oleh sepuluh abad praktek hukum atau pelaksanaan keadilan (cet droits consacrés par une justice dix fois séculaire)”; menurut Proudhon yang Kritis, Roma telah “mentasbihkan kebenaran dengan sepuluh abad keadilan.”

Menurut Proudhon no. 1 yang sama, orang-orang Romawi bernalar sebagai berikut: “Roma ... berjaya melalui kebijakan-kebijakannya dan dewa-dewanya; reform apapun dalam pemujaan atau semangat public akan merupakan ketololan dan ketidak-senonohan” (menurut Proudhon yang Kritis, sacrilège (pelanggaran terhadap hal yang dianggap keramat) tidak berarti pencemaran (profanation) atau desakralisasi sesuatu hal yang keramat/suci, seperti dalam bahasa Perancis yang padat, melainkan hanya pencemaran). “Seandainya ia berkeinginan untuk membebaskan rakyat-rakyat, dengan begitu ia akan menolak haknya. Dengan demikian kenyataan dan kebenaran ada di pihak Roma.” Proudhon no. 1 menambahkan.

Menurut Proudhon yang tidak-Kritis, orang-orang Romawi bernalar jauh lebih logis. “Kenyataan” telah lebih didefinisikan:

“Kaum budak merupakan sumber paling subur dari kekayaannya; emansipasi kaum budak akan –oleh karenanya– menjadi kehancuran keuangannya.”

Dan Proudhon yang padat menambahkan, dengan merujuk pada “hukum: Klaim Roma dibenarkan oleh hukum bangsa-bangsa (droit desgens). Cara pembuktian hak penaklukan (subjugasi) ini sepenuhnya sesuai dengan pandangan Romawi tentang hukum. Lihatlah pandect-pandect (keseluruhan hukum sivil) yang padat: jure gentium servitas invasit (Fr. 4. D.I.I.)[13]

Menurut Proudhon yang Kritis, “idolatri, perbudakan dan kelunakan” merupakan “dasar kelembagaan Romawi,” dari semua kelembagaannya tanpa kecuali. Proudhon yang sesungguhnya mengatakan: “Idolatri dalam agama, perbudakan dalam negara, dan epikurisme (épicurisme dalam bahasa biasa Perancis tidak sinonim dengan mollesse, kelunakan) dalam kehidupan privat adalah dasar lembaga-lembaga itu.” Dalam situasi Romawi itu “muncul,” kata Proudhon yang mistik, “Kalam Tuhan,” tetapi menurut Proudhon yang sungguh-sungguh rasional “seseorang yang menyebut dirinya Kalam Tuhan.” Dalam Proudhon yang sesungguhnya orang itu menyebut para pendeta “ular berbisa (vipères)”: Dalam Proudhon yang Kritis ia berbicara dengan lebih sopan dan menyebutkan mereka “ular (serpent).” Dalam yang tersebut terdahulu ia berbicara dengan cara Romawi dari “para pengacara [Advokaten],” dalam yang tersebut terakhir dalam cara Jerman dari “para sarjana hukum [Rechtsgelehrte].”

Proudhon yang Kritis menamakan semangat Revolusi Perancis suatu semangat kontradiksi dan kemudian menambahkan: “Itu sudah cukup untuk menyadari bahwa yang baru yang menggantikan yang lama, pada dirinya tidak mempunyai apapun yang metodis dan diperhitungkan.” Ia tidak dapat menahan-diri dari mengulang kategori-kategori favorit dari Kritik Kritis, yang “tua” dan yang “baru.” Ia tidak dapat menahan diri dari tuntutan yang tidak masuk akal bahwa yang “baru” mesti mempunyai “pada dirinya [an sich]” sesuatu yang metodis dan diperhitungkan sebagaimana yang dipunyai seseorang, misalnya, suatu noda “pada dirinya sendiri (an sich).” Proudhon yang sesungguhnya mengatakan: “Itu cukup untuk membuktikan bahwa tatanan segala sesuatu yang baru yang menggantikan yang lama adalah pada dirinya sendiri ( an sich) tanpa metode atau perhitungan.”

Terbawa oleh kenangan akan Revolusi Perancis, Proudhon yang Kritis “merevolusionerkan” bahasa Perancis sedemikian rupa hingga ia menerjemahkan une fait physique[14] dengan a fact of physics, dan un faitintellectual[15] dengan a fact of the intellect.

Dengan revolusi dalam bahasa Perancis ini, Proudhon yang Kritis berhasil menempatkan fisika memiliki semua kenyataan yang dapat ditemukan dalam alam. Mengangkat ilmu-pengetahuan alam secara takpada tempatnya di satu sebelah, ia sama memerosotkannya sebelah lainnya dengan melucutinya dari intelek dan pembedaan sebuah kenyataan dari fisika dan suatu kenyataan dari intelek. Hingga batas yang sama ia menjadikan semua penyelidikan psikologis dan logis selanjutnya tidak diperlukan lagi dengan mengangkat kenyataan intelektual secara langsung pada tingkat sebuah kenyataan dari intelek.

Seperti Proudhon yang Kritis, Proudhon no. 1 tidak mempunyai sedikitpun bayangan mengenai apa yang Proudhon yang sesungguhnya, Proudhon no.2 ingin buktikan dengan deduksi historisnya, seperti itu pula isi sesungguhnya deduksi itu ada/eksis baginya, yaitu, bukti mengenai perubahan dalam pandangan-pandangan mengenai kebenaran dan “implementasi” terus-menerus dari keadilan oleh “penegasian” hukum positif yang historis.

“Masyarakat diselamatkan oleh penegasian azas-azasnya ... dan pelanggaran atas hak-haknya yang paling keramat,” kata Proudhon yang sesungguhnya.

Demikian ia membuktikan bagaimana penegasian hak Romawi telah mengakibatkan peluasan hak dalam “konsepsi” Kristiani, penegasian hak penaklukan hingga hak komune-komune dan penegasian seluruh hukum feodal oleh Revolusi Perancis hingga sistem hukum yang lebih komprehensif dewasa ini.

Kritik Kritis tidak mungkin membiarkan kejayaan bagi Proudhon karena telah menemukan hukum penerapan suatu asas dengan penegasiannya. Dalam konsepsi sadar ini bahwa pikiran itu adalah suatu ungkapan sesungguhnya bagi orang Perancis.

Komentar Kritis no. 1

Karena kritik pertama dari sesuatu ilmu-pengetahuan harus mendapatkan dirinya di bawah pengaruh premis-premis ilmu pengetahuan yang dilawannya, demikianlah karya Proudhon Qu’est-ceque la propriété? adalah kritik mengenai “ekonomi politik” dari titikpandang ekonomi politik. –Kita tidak perlu lebih mendalami bagian yuridikal buku itu, yang mengritik hukum dari titk-pandang hukum, karena perhatian utama kita adalah kritik mengenai ekonomi politik karya Proudhon, oleh karenanya, akan dilampaui oleh suatu kritik mengenai “ekonomi politik,” termasuk konsepsi Proudhon mengenai ekonomi politik. Karya ini menjadi mungkin hanya setelah karya Proudhon sendiri, tepat sebagaimana kritik Proudhon mengandaikan kritik kaum fisiokrat mengenai sistem merkantil, kritik Adam Smith mengenai kaum fisiokrat, kritik Ricardo mengenai Adam Smith dan karya-karya Fourier dan Saint Simon.

Semua karya mengenai ekonomi politik menganggap “hak milik perseorangan” sebagai sudah dengan sendirinya. Dasar pikiran ini bagi mereka merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah, yang tidak memperkenankan penelitian lebih lanjut, bahkan lebih dari itu, sebuah kenyataan yang dibicarakan hanya secara “kebetulan,” sebagaimana yang diakui secara naif oleh Say. Tetapi Proudhon melakukan suatu penelitian kritis –penelitian tandas yang pertama, yang tidak mengenal ampun, dan sekaligus penelitian ilmiah– mengenai dasar ekonomi politik, “hak milik perseorangan.” Ini kemajuan ilmiah yang besar yang ia buat, suatu kemajuan yang merevolusikan ekonomi politik dan lebih dulu menjadikan mungkin suatu ilmu eknomi politik yang sesungguhnya. Karya Proudhon Qu’est-ce que la propriété? Sama pentingnya bagi ekonomi politik modern seperti karya Sieyes Qu’estceque le tiers état? bagi perpolitikan modern.

Proudhon tidak membahas bentuk-bentuk lebih lanjut dari hak milik perseorangan, yaitu, upah, perdagangan, nilai, harga, uang, dst., sebagai bentuk-bentuk hak milik perseorangan itu sendiri, sebagai-mana itu semua dibahas, misalnya, dalam Deutsch-Französische Jahrbücher[16] (lihat Notes for a Critique of Political Economy, oleh F. Engels), tetapi memakai premis-premis ekonomi ini sebagai sebuah argumen terhadap kaum ekonomis; ini sepenuhnya sesuai dengan pendiriannya yang dibenarkan secara historis, yang kita jadikan rujukan di atas.

Menerima hubungan-hubungan hak-milik perseorangan sebagai manusiawi dan masuk-akal, ekonomi politik bergerak dalam kontradiksi permanen pada premisnya yang mendasar, hak-milik perseorangan, suatu kontradiksi yang analog dengan kontradiksi teologi, yang, dengan terus menerus memberikan suatu penafsiran manusia pada konsepsi-konsepsi, oleh kenyataan itu sendiri berada dalam konflik tetap dengan premis dasarnya, watak religi yang adi-kodrati. Demikianlah, dalam ekonomi politik upah-upah muncul pada mulanya sebagai bagian proporsional produk berkat kerja. Upah dan laba atas modal berada dalam suatu hubungan manusiawi yang tampak paling bersahabat, saling menguntungkan satu-sama-lain. Kemudian ternyata bahwa mereka berada dalam hubungan yang paling bermusuhan, dalam proporsi “terbalik” satu-sama-lain. Nilai ditentukan pada mulanya dengan suatu cara yang tampak masuk-akal oleh ongkos produksi sesuatu obyek dan kegunaan sosialnya. Besaran upah-upah ditentukan pada mulanya dengan persetujuan “bebas” di antara sang pekerja yang bebas dan sang kapitalis yang bebas. Kemudian ternyata bahwa sang pekerja terpaksa memperkenankan sang kapitalis untuk menentukan itu (besaran upah-upah), tepat sebagaimana sang kapitalis terpaksa menetapkannya serendah mungkin. “Kebebasan” pihak-pihak yang berkontrak itu telah digantikan oleh “paksaan.” Posisi itu sama dalam perdagangan dan semua hubungan ekonomi-politik lainnya. Para ekonom sendiri kadang-kadang merasakan kontradiksi-kontradiksi ini, yang pendiskusiannya merupakan isi utama dari perjuangan di antara mereka.Namun, tatkala para ekonomi itu menjadi sadar mengenai kontradiksi-kontradiksi ini, “mereka sendiri” menyerang “hak-milik perseroangan” dalam salah-satu bentuk khususnya sebagai pemalsu dari apa yang pada dirinya (yaitu, dalam imajinasi mereka) adalah upah-upah yang masuk-akal, pada dirinya nilai yang masuk-akal, pada dirinya perdagangan yang masuk-akal. Adam Smith, misalnya, kadang-kala berpolemik terhadap kaum kapitalis, Destutt de Tracy terhadap para bankir, Sismonde de Sismondi terhadap system pabrik, Ricardo terhadap hak-pemilikan tanah, dan nyaris semua kaum ekonom modern terhadap para kapitalis “non-industri,” bagi siapa hak milik tampak sebagai sekadar suatu “konsumen.”

Demikianlah, sebagai suatu pengecualian tatkala mereka menyerang sesuatu penyalahgunaan istimewa– para ekonom itu kadangkala menekankan kemiripan kemanusiaan dalam hubungan-hubungan ekonomi, sedangkan kadang-kadang, dan acapkali, mereka menerima hubungan-hubungan ini justru dalam “perbedaannya” yang mencolok dari pengertian manusiawi, dalam pengertian mereka yang seketatnya ekonomi. Mereka sempoyongan di dalam kontradiksi itu secara sepenuhnya tidak-menyadarinya.

“Proudhon” mengakhiri ketidak-sadaran ini untuk selamanya. Ia memandang “kemiripan manusiawi” dari hubungan-hubungan ekonomi itu dengan serius dan dengan tajam melawannya hingga “realitas ketidakmanusiawian” mereka .

Ia memaksa mereka agar dalam kenyataan menjadi sebagaimana yang mereka bayangkan diri mereka, atau, lebih tepatnya, agar mereka melepaskan gagasan mereka sendiri tentang diri mereka dan mengakui ketidak-manusiawian mereka yang sesungguhnya. Oleh karenanya, ia konsisten tatkala menyatakan sebagai pemalsu hubungan-hubungan ekonomi itu bukan jenis khusus hak milik perseorangan yang ini atau yang itu, seperti yang dilakukan oleh para ekonomi lainnya, tetapi hak milik perseorangan dalam keseluruhannya. Ia berbuat segala yang bisa dilakukan oleh suatu kritik mengenai ekonomi politik dari sudutpandang ekonomi politik.

Herr Edgar, yang ingin “mengkarakterisasi pendirian” karya Qu’estce que la propriété?, dengan sendirinya tidak mengatakan sepatah katapun mengenai ekonomi politik atau mengenai karakter yang jelas dari karya itu, yang tepatnya adalah bahwa karya itu telah menjadikan “esensi hak-milik perseorangan” persoalan pokok dari ekonomi politik dan yurisprudensi. Ini adalah sepenuhnya jelas bagi Kritik Kritis. Proudhon, katanya, tidak berbuat apapun yang baru dengan penegasiannya terhadap hak-milik perseorangan. Ia hanya membuka salah-satu rahasia Kritik Kritis yang tertutup (rapat).

            “Proudhon,” Herr Edgar segera melanjutkan setelah terjemahannya yang mengkarakterisasi, “oleh karenanya menemukan sesuatu yang Mutlak, suatu dasar abadi dalam sejarah suatu dewa, yang memandu umat-manusia – keadilan.”

Karya Proudhon, yang ditulis dalam bahasa Perancis tahun 1840, tidak menerima sudut-pandang mengenai perkembangan Jerman di tahun 1844.

Adalah pendirian Proudhon, suatu pendirian yang diikuti oleh para penulis Perancis yang tak-terhitung banyaknya yang berlawanan secara diametrikal dan karenanya memberikan Kritik yang Kritis kelebihan/keuntungan telah dengan satu coretan pena saja mengkarakterisasi pendirian-pendirian yang saling berlawanan. Secara kebetulan, untuk berberes dengan yang Mutlak dalam sejarah ini, seseorang hanya mesti secara logika memberlakukan hukum yang dirumuskan oleh Proudhon sendiri, yaitu dari implementasi keadilan dengan penegasiannya. Apabila Proudhon tidak melaksanakan logika hingga sejauh itu, itu hanyalah karena ia malangnya telah dilahirkan sebagai seorang Perancis, bukan seorang Jerman.

Bagi Herr Edgar, Proudhon telah menjadi suatu obyek “teologi” dengan Kemutlakan-nya dalam sejarah dan kepercayaannya akan keadilan; Kritik yang Kritis, yang ex professo adalah suatu kritik teologi, kini dapat menggarapnya agar mengarang mengenai “konsepsi-konsepsi religius.”

“Adalah suatu karakteristik dari setiap konsepsi religius bahwa ia membangun suatu situasi sebagai suatu dogma, di mana pada akhirnya salah satu dari yang bertentangan berjaya sebagai satu-satunya kebenaran.”

Kita akan melihat bagaimana Kritik Kritis yang religius membangun suatu situasi menjadi sebuah dogma, di mana pada akhirnya satu dari yang bertentangan, “Kritik,” berjaya keluar sebagai pemenang atas yang lainnya, “Massa,” sebagai satu-satunya kebenaran. Tetapi Proudhon telah melakukan suatu ketidakadilan yang semakin besar dengan melihat dalam keadilan yang padat suatu Kemutlakan, suatu dewa sejarah karena Kritik yang adil telah secara “jelas-jelas” mencadangkan bagi dirinya sendiri peranan dari yang Mutlak itu, dewa dalam sejarah itu.

Komentar Kritis no. 2

“Kenyataan kesengsaraan, kemiskinan, membuat Proudhon berat-sebelah dalam pertimbangan-pertimbangannya; ia melihat di dalamnya suatu kontradiksi bagi persamaan dan keadilan; itu memberikan padanya sebuah senjata.Karenanya kenyataan ini baginya menjadi mutlak dan dibenarkan sedangkan kenyataan mengenai hak-milik tidak dibenarkan.”

Ketenangan pengetahuan memberitahukan pada kita bahwa Proudhon sesungguhnya, dalam kenyataan kesengsaraan itu, suatu kontradiksi pada keadilan dan karenanya menganggapnya tidak-dibenarkan; namun begitu dalam tarikan nafas yang sama itu menandaskan pada kita bahwa kenyataan menjadi mutlak dan dibenarkan baginya.

Hingga kini ekonomi politik berlangsung dari “kekayaan” yang dianggap diciptakan oleh gerak hak-milik perseorangan bagi nasion-nasion untuk pertimbangan-pertimbangan yang merupakan suatu permaafan (apologi) hak-milik perseorangan. Proudhon bertindak dari sisi berlawanan, yang secara canggih disembunyikan oleh ekonomi politik, bagi pertimbangan-pertimbangannya, yang adalah suatu penegasian hak-milik perseorangan. Kritik pertama mengenai hak-milik perseorangan dengan sendirinya berlangsung dari kenyataan di mana hakekat kontradiktifnya tampil dalam bentuk yang paling mudah ditangkap dan paling mencolok dan secara paling langsung membangkitkan kejengkelan orang –dari kenyataan kemiskinan, dari kesengsaraan.

“Kritik, sebaliknya, menggabungkan kedua kenyataan itu, kemiskinan dan hak milik dalam satu kesatuan tunggal, menangkap kaitan internal di antara keduanya itu dan menjadikan mereka satu keutuhan tunggal, yang diselidikinya untuk menemukan kondisi-kondisi bagi keberadaannya.”

Kritik yang hingga kini tidak mengerti apapun mengenai kenyataan hak milik dan kemiskinan menggunakan, “sebaliknya,” kenyataan handalnya yang imajiner sebagai sebuah argumen terhadap kenyataan sesungguhnya dari Proudhon. Itu menyatukan “dua” kenyataan itu dalam suatu “kesatuan tunggal,” dan setelah menjadikan “satu” dari “dua” itu, menangkap kaitan internal antara yang “dua” itu. Kritik tidak dapat menyangkal bahwa Proudhon juga menangkat suatu kaitan internal diantara kenyataan-kenyataan kemiskinan dan hak-milik, karena justru karena kaitan itu ia hendak menghapuskan hak-milik agar supaya menghapuskan kemiskinan. Proudhon bahkan melakukan lebih dari itu. Ia secara rinci membuktikan “bagaimana” gerakan modal menghasilkan kemiskinan. Tetapi Kritik Kritis tidak memperdulikan masalah-masalah kecil seperti itu. Kritik Kritis mengakui bahwa kemiskinan dan hak milik perseorangan adalah “bertentang-tentangan” suatu pengakuan yang agak beredar luas. Ia “menjadikan” kemiskinan dan hak-milik suatu “keutuhan tunggal,” yang “diselidikinya “sebagaimana adanya” untuk mendapatkan kondisi-kondisi bagi keberadaannya”; suatu penyelidikan yang semakin berlebihan karena ia baru saja “membuat keutuhan itu sendiri sebagaimana adanya” dan karenanya “pembuatan” itu sendiri adalah kondisi bagi keberadaannya.

Dengan menyelidiki “keseluruhan itu sebagaimana adanya” untuk menemukan kondisi-kondisi bagi keberadaannya, Kritik Kritis mencari-cari dengan cara yang sejatinya teologi, di luar keseluruhan itu, bagi kondisi-kondisi untuk keberadaannya. Spekulasi Kritis bergerak di luar obyek yang pura-pura dibahasnya. “Keseluruhan kontradiksi” itu tidak lain dan tidak bukan adalah “gerakan dari kedua sisinya,” dan kondisi bagi keberadaan keseluruhan itu terletak dalam sifat kedua sisi itu sendiri. Kritik Kritis menyalurkan studi mengenai gerakan sesungguhnya yang membentuk/merupakan keseluruhan itu agar dapat menyatakan bahwa ia, Kritik Kritis sebagai ketenangan pengetahuan, berada di atas kedua keekstreman kontradiksi, dan bahwa aktivitasnya, yang telah membuat “keseluruhan sebagaimana adanya” itu saja yang kini berada dalam suatu posisi untuk melenyapkan abstraksi yang darinya ia adalah pembuatnya.

Proletariat dan kekayaan adalah lawan-berlawanan; sebagai itu mereka merupakan suatu keseluruhan tunggal. Mereka berdua adalah bentuk-bentuk dari dunia hak-milik perseorangan. Persoalannya adalah tempat apakah yang diduduki dalam antitesis itu. Tidak cukup untuk menyatakan mereka sebagai dua sisi dari suatu keutuhan tunggal.

Hak-milik perseorangan sebagai hak-milik perseorangan, sebagai kekayaan, terpaksa mempertahankan dirinya sendiri, dan dengan begitu lawannya, proletariat, dalam “keberadaan.” Itulah segi “positif” dari kontradiksi itu, hak-milik perseorangan yang puas diri.

Proletariat, sebaliknya, dipaksa sebagai proletariat untuk menghapuskan dirinya sendiri dan dengan begitu lawannya, kondisi bagi keberadaannya, yang menjadikannya proletariat, yaitu, hak-milik perseorangan. Itulah segi negatif dari kontradiksi itu, kegelisahan di dalam dirinya sendiri itu, hak-milik perseorangan yang dibubarkan dan yang membubarkan diri sendiri.

Kelas yang bermilik dan kelas proletariat mewakili alienasi diri manusia yang sama. Tetapi kelas yang tersebut terdahulu mendapatkan dalam swa-alienasi itu penegasan dirinya dan kebaikannya, “kekuatannya sendiri”; ia mempunyai padanya suatu “kemiripan” dari keberadaannya yang manusiawi. Kelas proletariat merasa dienyahkan dalam swa-alienasinya itu; ia melihat di dalamnya ketidak-berdayaannya sendiri dan realitas dari suatu keberadaan yang tidak-manusiawi. Dalam kata-kata Hegel, kelas proletariat berada dalam “kejengkelan” penghinaan pada penghinaan itu, suatu kejengkelan yang tidak-bisa-tidak didorong oleh kontradiksi antara “sifat” manusiawinya dan kondisi kehidupannya, yang adalah penegasian langsung, menentukan dan lengkap atas sifat itu.

Di dalam antitesis ini pemilik perseorangan itu karenanya adalah sisi yang “konservatif,” sang proletar, sisi yang “destruktif.” Dari yang tersebut terdahulu lahir aksi untuk melestarikan antitesis itu, dari yang tersebut terakhir, aksi untuk pemusnahannya.

Memang, hak-milik perseroangan juga mendorong dirinya sendiri dalam gerakan ekonominya ke arah pembubaran dirinya sendiri, namun hanya melalui suatu perkembangan yang tidak bergantung padanya, yang tidak disadarinya dan yang berlangsung berlawanan dengan kemauannya, melalui sifat keadaan segala sesuatu itu sendiri; hanya sejauh ia memproduksi proletariat sebagai proletariat, kesengsaraan yang sadar akan kesengsaraan spiritual dan fisiknya itu, dehumanisasi yang sadar akan dehumanisasinya dan karenanya -melenyapkan diri sendiri. Proletariat itu melaksanakan hukuman yang diumumkan oleh hak-milik perseroangan atas dirinya sendiri dengan melahirkan proletariat itu, tepat sebagaimana ia menjalankan hukuman yang diumumkan oleh kerja-upahan atas dirinya sendiri dengan menghasilkan kekayaan bagi pihak-pihak lain dan kesengsaraan bagi dirinya sendiri. Tatkala proletariat berjaya, ia sama sekali tidak menjadi sisi mutlak dari masyarakat, karena ia hanya berjaya dengan melenyapkan diri sendiri dan lawannya. Proletariat menghilang maupun pihak lawannya yang menentukannya, hak-milik perse-orangan.

Ketika para penulis sosialis menjulukkan peranan historis ini pada proletariat, itu tidaklah, sebagaimana Kritik Kritis beranggapan, karena mereka memandang kaum proletar itu sebagai “dewa-dewa.” Bahkan yang sebaliknya. Karena pengabstraksian dari semua kemanusiaan, bahkan “kemiripan” akan kemanusiaan, secara praktis sudah lengkap pada proletariat yang telah bertumbuh penuh; karena kondisi-kondisi kehidupan dari proletariat menjumlah semua kondisi kehidupan masyarakat dewasa ini dalam keseluruhan ketajaman mereka yang tidak manusiawi; karena manusia telah kehilangan dirinya sendiri dalam proletariat, namun sekaligus tidak hanya telah memperoleh kesadaran teori akan kehilangannya itu, tetapi melalui “kebutuhan” yang mendesak, yang tidak dapat ditutup-tutupi, yang secara mutlak diharuskan –pernyataan dari “keharusan” praktis itu– didorong secara langsung untuk
memberontak terhadap ketidak-manusiawian itu; maka berartilah bahwa proletariat dapat dan mesti membebaskan dirinya sendiri.Tetapi ia tidak dapat membebaskan dirinya sendiri tanpa menghapuskan kondisi-kondiasi dari kehidupannya sendiri. Ia tidak dapat menghapuskan kondisi-kondisi kehidupannya sendiri tanpa menghapuskan semua kondisi kehidupan masyarakat dewasa ini yang tidak-manusiawi, yang dijumlahkan dalam situasinya sendiri. Tidak sia-sia ia melalui sekolah “kerja” yang keras tetapi membajakan itu. Persoalannya bukanlah apakah “yang dianggap” proletar yang ini atau yang itu, atau bahkan keseluruhan proletariat pada saat ini sebagai tujuannya. Persoalannya adalah “apa proletariat itu adanya,” dan apakah, secara konsekuen mengenai “keberadaan” itu, ia akan dipaksa melakukannya. Tujuan dan aksi historisnya tidak-dapat dibatalkan dan jelas-jelas didemon-strasikan dalam situasi kehidupannya sendiri maupun dalam seluruh organisasi masyarakat borjuis dewasa ini. Tidak perlu lagi diba-has/dipersoalkan di sini mengenai kenyataan bahwa suatu bagian besar dari proletariat Inggris dan Perancis sudah sadar akan tugas sejarahnya dan terus bekerja untuk mengembangkan kesadaran itu menjadi kejelasan yang sempurna.

Kritik Kritis sulit melakukan ini karena ia telah menyatakan dirinya sebagai unsur kreatif khususnya di dalam sejarah. Padanya adalah itu kontradiksi-kontradiksi historis, padanyalah tugas untuk melenyapkannya. Itulah sebabnya ia mengeluarkan “pemberitahuan” melalui penjelmaannya, Edgar:

“Pendidikan dan kurangnya pendidikan, hak-milik dan ketiadaan hak-milik, yang berhadap-hadapan ini, jika mereka jangan diduniawikan, mereka mesti pindah secara seutuhnya dan seluruhnya pada Kritik.”

Hak-milik dan ketiadaan hak-milik telah menerima pentahbisan fisik sebagai yang berhadap-hadapan Kritis secara spekulatif. Itulah sebabnya mengapa hanya tangan Kritik yang Kritis dapat menyentuh mereka tanpa melakukan suatu pelanggaran terhadap hal yang dianggap keramat. Kaum kapitalis dan kaum pekerja jangan campur-tangan dalam saling hubungan mereka.

sebagai yang berhadap-hadapan Kritis secara spekulatif. Itulah sebabnya mengapa hanya tangan Kritik yang Kritis dapat menyentuh mereka tanpa melakukan suatu pelanggaran terhadap hal yang dianggap keramat. Kaum kapitalis dan kaum pekerja jangan campur-tangan dalam saling hubungan mereka.

“Lalu mungkinkah,” lawan imajiner dari Kritik Kritis bertanya, “menggunakan konsep-konsep lain daripada yang sudah ada – kemerdekaan, persamaan, dsb.? Saya menjawab [perhatikan jawaban Herr Edgar] bahwa Yunani dan Latin lenyap sesegera habisnya jangkauan pikiran-pikiran yang mereka abdi pengucapannya.”

Kini telah jelas mengapa Kritik Kritis sama sekali tidak berpikir dalam bahasa Jerman. Bahasa pikiran-pikirannya belum datang, sekalipun segala penanganan Kritis kata-kata asing yang dilakukan oleh Herr Reichardt, dengan penanganannya yang dilakukan terhadap bahasa Inggris oleh Herr Faucher, dan Herr Edgar, dengan penanganannya terhadap bahasa Perancis yang dilakukannya untuk mempersiapkan
bahasa “Kritis yang baru.”

Mengkarakterisasi Terjemahan no. 2

Proudhon yang Kritis berkata: “Kaum petani membagikan tanah diantara mereka sendiri; persamaan hanya menahbiskan pemilikan; pada kesempatan ini ia menahbiskan hak-milik.” Proudhon yang Kritis membuat kepemilikan atas tanah naik serempak dengan pembagian tanah. Ia melaksanakan peralihan dari pemilikan pada hak-milik dengan ungkapan “pada kejadian ini.”

Proudhon yang sesungguhnya berkata:

“Pertanian adalah dasar pemilikan atas tanah ... Tidak cukup untuk menjamin bagi si penggarap hasil dari kerjanya tanpa sekaligus menjamin perkakas-perkakas produksi baginya Untuk menjaga yang lemah terhadap gangguan-ganggguan yang kuat ... Telah dirasa perlu untuk menetapkan garis-garis demarkasi permanen di antara para pemilik.

Pada peristiwa ini, oleh karenanya, adalah pemilikan yang terutama ditahbiskan oleh persamaan.

Setiap tahun menyaksikan penduduk bertambah jumlahnya dan keserakahan para penetap bertumbuh: diperkirakan ambisi akan ditahan oleh penghalang-penghalang baru yang tidak dapat ditanggulangi, yang (dengan dihempaskan) padanya ia mesti dihan-curkan. Demikianlah tanah dijadikan hak-milik karena kebutuhan akan persamaan ... tak diragukan lagi pembagian itu tidak pernah sama/adil secara geografis ... namun azasnya betapapun tetap sama: persamaan yang telah menahbiskan pemilikan, persamaan menahbiskan hak-milik.”

Menurut Proudhon yang Kritis, “para pendiri hak-milik purba, terserap oleh kepedulian akan kebutuhan-kebutuhan mereka, tidak melihat kenyataan bahwa pada hak atas milik sekaligus bersesuaian dengan hak untuk mengalienasi, untuk menjual, untuk diberikan, untuk diperoleh dan untuk kehilangan, yang menghancurkan persamaan dari mana mereka itu berasal.”

Menurut Proudhon yang sebenarnya, bukanlah karena para pendiri hak-milik tidak melihat proses perkembangan ini dalam kepedulian mereka akan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Adalah lebih karena mereka tidak melihatnya sebelumnya; dan bahkan seandainya mereka dapat melihatnya sebelumnya, kebutuhan aktual mereka akan mengunggulinya. Di samping itu, Proudhon yang sesungguhnya terlalu solid untuk mempertentangkan hak untuk mengalienasi, menjual, dsb. pada “hak pemilikan,” yaitu, menentang keberaneka-ragaman pada species. Ia mempertentangkan “hak untuk menjaga warisan seseorang” dengan “hak untuk mengalienasinya, dsb.,” yang merupakan suatu oposisi sesungguhnya dan suatu langkah maju yang sesungguhnya.

Komentar Kritis no. 3

“Pada apakah Proudhon mendasarkan buktinya mengenai kemustahilan hak milik? Betapapun sulit untuk mempercayainya atas asas persamaan yang sama!”

Sekedar pemikiran semestinya cukup untuk membangkitkan kepercayaan Herr Edgar. Ia mestinya menyadari bahwa Herr Bruno Bauer mendasarkan semua argumennya pada “kesadarahn-diri yang tidak terbatas” dan bahwa ia juga melihat dalam azas ini azas kreatif dari kitab-injil, yang, dengan ketidak-sadaran dirinya yang tak-terbatas, tampak berada dalam kontradiksi langsung dengan kesadaran-diri yang tak-terbatas. Secara sama pula Proudhon memandang persamaan sebagai azas kreatif dari hak-milik perseorangan, yang berada dalam kontradiksi langsung dengan persamaan. Jika Herr Edgar membandingkan “persamaan” Perancis dengan kesadaran-diri Jerman untuk sesaat saja, maka ia akan melihat bahwa azas yang tersebut terakhir menyatakan “dalam bahasa Jerman,” yaitu, dalam pikiran abstrak, apa yang dikatakan yang tersebut terdahulu “dalam bahasa Perancis,” yaitu, dalam bahasa politik dan pantauan pemikiran. Kesadaran-diri adalah persamaan manusia dengan dirinya sendiri dalam pikiran murni. Persamaan adalah kesadaran manusia akan dirinya sendiri dalam unsur praktek, yaitu, oleh karenanya, kesadaran manusia akan orang-orang lain sebagai sesamanya dan hubungan manusia dengan orang-orang lain sebagai yang sederajat dengan dirinya. Persamaan adalah ekspresi Perancis bagi kesatuan hakekat manusia, bagi kesadaran manusia akan speciesnya dan sikapnya terhadap speciesnya, untuk identitas praktis dari manusia dengan manusia, yaitu, untuk hubungan sosial atau manusiawi dari manusia dengan manusia. Kalau oleh karenanya kritik destruktif di Jerman, sebelum maju dalam Feuerbach pada pertimbangan mengenai “manusia sesungguhnya,” berusaha memecahkan segala sesuatu yang tertentu dan berada dengan azas “kesadaran-diri,” maka kritik destruktif di Perancis berusaha melakukan yang sama dengan azas “persamaan.”

“Proudhon marah dengan filsafat, yang untuknya, pada dirinya sendiri, tidak dapat kita mempersalahkannya. Tetapi, mengapa ia marah? Filsafat, demikian ia menegaskan, masih belum membuktikan dirinya cukup praktis; ia telah menunggangi kuda tingi dari spekulasi, dan melihat dari atas sana makhluk-makhluk manusia sepertinya terlalu kecil. Saya pikir bahwa filsafat itu terlampau praktis, yaitu, ia hingga sejauh ini tidak lain cuma ekspresi abstrak dari sistem-sistem yang ada; ia telah selalu menjadi tahanan dari dasar-dasar pikiran dari sistem-sistem yang telah diterimanya sebagai yang mutlak.”

Pendapat bahwa filsafat adalah ekspresi abstrak dari situasi-situasi yang ada, secara orijinal bukanlah kepunyaan Herr Edgar. Ia adalah kepunyaan Feuerbach, yang adalah yang pertama yang menerangkan filsafat sebagai empirik-empirik yang spekulatif dan mistis dan membuktikan hal itu sebagaimana adanya. Tetapi Herr Edgar telah berhasil memberikan pada pendapat ini suatu corak Kritis, corak orijinal. Manakala Feuerbach menyimpulkan bahwa filsafat mesti turun dari langit spekulasi ke kedalaman kesengsaraan manusia, Herr Edgar, sebaliknya, mengajarkan pada kita bahwa filsafat itu terlampau-praktis.

Namun, tampak bahwa filsafat, justru karena ia hanya merupakan ekspresi transenden, ekspresi abstrak dari situasi sesungguhnya, maka oleh sebab transendensi dan abstraksinya itu, oleh sebab “perbedaan imajinernya” dari dunia, mesti membayang-kannya telah meninggalkan situasi aktual dan makhluk-makhluk manusia yang sesungguhnya berada terlampau jauh di bawahnya.Di lain pihak, tampak bahwa karena filsafat tidak sungguh-sungguh berbeda dari dunia, ia tidak dapat memberikan suatu “pendapat yang sesungguhnya” mengenainya, ia tidak dapat membawakan suatu daya pemisah/pembeda yang sungguh-sungguh bertindak atasnya dan oleh karenanya secara praktis tidak dapat campurtangan, tetapi paling-paling mesti puas dengan suatu praktek in abstracto. Filsafat hanyalah terlampau-praktis dalam arti bahwa ia menjulang diatas praktek. Kritik Kritis memberikan bukti yang paling mencolok betapa kecil makhluk-makhluk manusia sesungguhnya jika dibandingkan dengan spekulasi dengan menumpuk kemanusiaan menjadi satu dalam
suatu massa spiritual. Dalam hal ini spekulasi tua sepakat dengan Kritik, sebagaimana ditunjukkan oleh kalimat berikut ini dari Rechtsphilosophie-nya Hegel:

“Dari pendirian mengenai kebutuhan-kebutuhan, maka yang konkrit dari ide itu adalah yang dinamakan manusia; masalahnya di sini, dan” berbicara selayaknya hanya “di sinilah, manusia itu adalah –karenanya–manusia dalam pengertian ini.”

Dalam kasus-kasus lain di mana spekulasi berbicara tentang manusia, maksudnya bukanlah manusia “yang konkrit,” tetapi “yang abstrak,” “ide” itu, “roh” itu, dsb. Cara yang dengannya filsafat mengungkapkan situasi aktual secara mencolok dicontohkan oleh Herr Faucher dalam hubungan dengan situasi Inggris yang aktual dan oleh Herr Edgar dalam hubungan dengan situasi aktual dari bahasa Perancis.

“Demikian, Proudhon adalah juga praktis ketika ia mendapatkan bahwa konsep mengenai persamaan adalah dasar dari bukti mengenai hak-milik, dan berargumentasi dari konsep yang sama terhadap hak-milik.”

Proudhon melakukan yang presis sama seperti para pengritik Jerman yang, mendasarkan bukti-bukti mengenai keberadaan Tuhan pada manusia, berargumentasi dari ide mengenai manusia terhadap keberadaan Tuhan.

“Apabila konsekuensi-konsekuensi azas persamaan itu adalah lebih kuat daripada persamaan itu sendiri, bagaimana Proudhon bermaksud membantu azas itu mencapai kekuasaannya secara tiba-tiba?”

Kesadaran-diri, menurut Herr Bauer, adalah dasar semua ide religius. Ia adalah, katanya, azas kreatif dari kitab-injil. Lalu, mengapa konsekuensi-konsekuensi azas kesadaran-diri itu lebih kuat daripada azas itu sendiri. Karena, jawabannya mengikuti gaya Jerman, kesadarandiri memang azas kreatif dari ide-ide religius, tetapi hanya diambil di luar dirinya sendiri, dalam kontradiksi dengan dirinya sendiri, dilucuti dari dirinya sendiri dan dialienasi. Kesadaran-diri yang sampai pada dirinya sendiri, yang memahami dirinya sendiri, yang memahami hakekatnya, oleh karenanya menguasai makhluk-makhluk atas alienasi dirinya sendiri. Proudhon mendapatkan dirinya dalam kasus yang sama, dengan sendirinya, dengan perbedaan bahwa ia berbicara dalam bahasa Perancis sedangkan kita berbicara dalam bahasa Jerman, dan ia oleh karenanya menyatakan dengan suatu cara Perancis yang kita nyatakan dalam suatu cara Jerman.

Proudhon bertanya pada dirinya sendiri mengapa persamaan, sekalipun sebagai asas kreatif dari nalar mendasari kelembagaan hak milik dan sebagai dasar terakhir yang masuk-akal mendasari setiap argumen yang menguntungkan hak-milik, namun tidak eksis, sedangkan negasinya, hak milik perseorangan, eksis. Sesuai dengan itu ia mempertimbangkan kenyataan hak-milik itu sendiri. Ia membuktikan “bahwa, sebenarnya, hak milik, sebagai suatu kelembagaan dan suatu asas, adalah tidak-mungkin” (hal. 34), yaitu, “bahwa ia kontradiktif dengan dirinya sendiri” dan menghapus dirinya sendiri dalam semua hal; bahwa, dengan menyatakannya dengan gaya Jerman, ia adalah keberadaan dari yang terlucuti dari pemilikan, swa-kontradiktif, persamaan yang teralienasi-diri. Kondisi-kondisi sesungguhnya di Perancis, seperti pengakuan akan pengalienasian ini, secara tepat mengisyaratkan keharusan penghapusan pengalienasian itu pada Proudhon.

Selagi menegasi hak-milik perseorangan, Proudhon merasakan kebutuhan untuk membenarkan keberadaan hak-milik perseorangan secara historis. Argumennya, seperti semua argumen pertama jenis ini, adalah pragmatik, yaitu, ia mengasumsikan bahwa generasi-generasi sebelumnya secara sadar menginginkan dan dengan refleksi melaksanakan kualitas itu dalam kelembagaan-kelembagaan mereka, yang baginya mewakili hakekat manusia.

“Kita selalu kembali pada hal yang sama ... Proudhon menulis untuk kepentingan-kepentingan kaum proletar.”

Ia tidak menulis untuk kepentingan Kritik yang berswa-sembada atau karena sesuatu kepentingan abstrak, kepentingan buatan sendiri, tetapi karena suatu kepentingan yang historis, nyata, serba massal, suatu kepentingan yang melampaui kritik, yang akan sampai sejauh sebuah krisis. Proudhon tidak saja menulis untuk kepentingan-kepentingan kaum proletar, ia sendiri adalah seorang proletar, un ouvrier[17] Karyanya adalah sebuah manifesto ilmiah dari proletariat Perancis dan oleh karenanya mempunyai suatu arti-penting historis yang berbeda sekali daripada kecerobohan literer seorang Pengritik yang Kritis.

“Proudhon menulis untuk kepentingan mereka yang tidak mempunyai apa-apa: mempunyai dan tidak mempunyai adalah baginya Kategori-kategori Mutlak. Mempunyai adalah baginya yang tertinggi, karena pada waktu bersamaan tidak mempunyai baginya adalah obyek pikiran yang tertinggi. Setiap orang harus mempunyai, tetapi tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari orang lainnya, demikian pikiran Proudhon. Tetapi, dari semua yang kupunyai hanyalah yang kupunyai secara khusus/ekslusif, yang kupunyai lebih banyak dari orang lain, adalah menjadi kepentinganku. Dengan persamaan, kedua-duanya: mempunyai dan persamaan itu sendiri akan merupakan masalah yang tidak menjadi kepedulianku.”

Menurut Herr Edgar, bagi Proudhon, Mempunyai dan Tidak mempunyai adalah kategori-kategori mutlak. Demikianlah, menurut Herr Edgar, Mempunyai dan Tidak Mempunyai, upah-upah, gaji, kekurangan dan kebutuhan, dan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan itu tidak lain dan tidak bukan hanya kategori-kategori.

Jika masyarakat mesti membebaskan dirinya sendiri hanya dari kategori-kategori Mempunyai dan Tidak Mempunyai itu, maka betapa mudah akan dibuat baginya oleh setiap dialektisian, kalaupun ia lebih lemah dari Herr Edgar, untuk menanggulangi dan menghapus kategorikategori ini! Herr Edgar juga memandang ini sedemikian remehnya, sehingga ia bahkan menganggapnya tidak penting untuk memberikan suatu penjelasan tentang kategori-kategori Mempunyai dan Tidak Mempunyai sebagai suatu argumen terhadap Proudhon. Tetapi, Tidak mempunyai bukan sekedar suatu kategori, ia adalah suatu realitas yang paling memprihatinkan; dewasa ini orang yang tidak mempunyai apa-apa adalah bukan apa-apa (tidak berarti), karena ia itu terpotong dari keberadaan pada umumnya dan lebih-lebih lagi terpotong dari suatu keberadaan manusiawi; karena kondisi tidak mempunyai apa-apa adalah kondisi dari pemisahan manusia secara sepenuhnya dari obyektivitas dirinya. Dan oleh karenanya, Tidak mempunyai agaknya dibenarkan sekali untuk menjadi obyek pikiran yang tertinggi bagi Proudhon; lebih-lebih demikian jadinya karena begitu sedikit hal-ikhwal ini dipikirkan sebelum oleh dirinya dan para penulis sosialis pada umumnya. Tidak Mempunyai adalah spiritualisme yang paling menyedihkan, suatu ketidak-nyataan sepenuhnya dari manusia, suatu realitas sepenuhnya dari yang di-dehumanisasi, suatu Mempunyai yang sangat positif, suatu kelaparan, suatu kedinginan, suatu kepenyakitan, suatu kejahatan, suatu penistaan, semua ketidak-manusiawian dan keganjilan. Tetapi, setiap obyek yang untuk pertama kalinya dijadikan obyek pikiran dengan kesadaran penuh akan arti-pentingnya adalah obyek pikiran yang tertinggi.

Keinginan Proudhon untuk menghapus Tidak Mempunyai dan Mempunyai gaya lama sangat identik dengan keinginan untuk menghapus hubungan manusia yang secara praktis diasingkan dari hakekat obyektif-nya dan pernyataan ekonomi-politik dari pengalienasian-diri manusia. Tetapi, karena kritiknya mengenai ekonomi politik adalah tahanan dari dasar-dasar pikiran ekonomi politik, ia masih memahami pemilikan-kembali dunia obyektif itu sendiri sebagai bentuk “kepemilikan ekonomi-politik.”

Proudhon tidak mempertentangkan Mempunyai dengan Tidak Mempunyai, sebagaimana yang Kritik Kritis membuatnya melakukannya; ia mempertentangan “kepemilikan” pada Mempunyai gaya lama, pada “hak-milik perseorangan,” Ia memproklamirkan kepemilikan menjadi suatu “fungsi sosial.” Namun, apa yang menarik dalam suatu fungsi bukanlah “meniadakan” yang lain, tetapi menempati dan merealisasi kekuatan-kekuatan keberadaan diri(ku) sendiri.

Proudhon tidak berhasil memberikan pikiran ini perkembangan yang selayaknya. Ide “pemilikan sama” adalah suatu ide ekonomi-politik dan karenanya itu sendiri masih suatu pernyataan yang teralienasi bagi asas bahwa “obyek sebagai keberadaan bagi manusia, sebagai keberadaan manusia yang diobyektivikasi,” adalah sekaligus “keberadaan manusia bagi manusia lainnya, hubungan manusiawinya dengan manusia lainnya, hubungan sosial dari manusia dengan manusia.” Proudhon menghapus alienasi ekonomi-politik “di dalam” alienasi ekonomi-politik.

Mengkarakterisasi Terjemahan no. 3

Proudhon yang Kritis juga mempunyai seorang “pemilik Kritis,” yang dengan “pengakuan sendiri bahwa mereka yang harus bekerja untuknya, telah kehilangan apa yang telah dihak-milikinya.” Proudhon yang serbamassal mengatakan pada pemilik yang serba-massal itu: “Kau telah bekerja! Tidak akan pernahkah anda menyuruh orang-orang lain bekerja untuk anda? Lalu, bagaimana mereka dapat kehilangan, dengan bekerja untuk anda, yang dapat anda peroleh dengan tidak bekerja untuk mereka?”

Dengan “kekayaan alamiah” Proudhon yang Kritis membuat Say memahami “kepemilikan-kepemilikan alamiah” sekalipun Say, untuk meniadakan segala kesalahan, dengan tegas-tegas menyatakan di dalam Epitome-nya pada Traité d’Economie Politique bahwa dengan “kekayaan (richesse)” ia tidak mengartikan hak-milik ataupun pemilikan, tetapi suatu “jumlah nilai-nilai.” Sudah dengan sendirinya bahwa Proudhon yang Kritis mesti mereformasi Say tepat sebagaimana dirinya sendiri (Proudhon) telah direformasi oleh Herr Edgar. Ia membuat Say “seketika menyimpulkan haknya untuk mengambil sebidang tanah sebagai hak miliknya,” karena tanah lebih mudah dihak-miliki daripada udara atau air. Tetapi Say, jauh daripada menyimpulkan dari kemungkinan yang lebih besar untuk menghak-miliki tanah itu suatu hak pemilikan atasnya, dengan tegas sekali berkata: “Hak-hak para pemilik atas tanah mesti ditelusuri kembali pada perampokan.” (Traité d’économie.politique. edisi III. Jilid I, hal. 136, Catatan.). Itu sebabnya, mengapa dalam pendapat Say, mesti ada “suatu persetujuan perundang-undangan” dan “hak positif” untuk membenarkan “hak” pada pemilikan tanah. Proudhon yang sesungguhnya tidak membuat Say “seketika menyimpulkan” hak pemilikan tanah dari penghak-milikan atas tanah yang lebih mudah. Ia menyesalkannya karena menganggap kemungkinan sebagai hak dan mengacaukan suatu persoalan kemungkinan dengan suatu persoalan hak:

“Say menganggap peluang sebagai hak. Masalahnya bukanlah mengapa tanah telah dihak-miliki lebih daripada laut atau udara, tetapi dengan hak apa manusia telah menghak-miliki kekayaan itu.”

Proudhon yang Kritis melanjutkan: “Satu-satunya pernyataan mengenai ini adalah bahwa dengan penghak-milikan atas sebidang tanah, maka unsur-unsur lainnya –udara, air dan api– juga dihak-miliki: terra,aqua, aëra et igne interdicti sumus.”

Jauh daripada “hanya” membuat pernyataan ini, Proudhon yang sesungguhnya mengatakan, sebaliknya, bahwa ia menarik “perhatian” pada penghak-milikan udara dan air secara kebetulan /sambil-lalu ( en passant). Proudhon yang Kritis melakukan penggunaan yang tak-bisa dimengerti dari formula Romawi mengenai eksil (pembuangan). Ia lupa mengatakan siapa kita yang telah dibuang itu. Proudhon yang sesungguhnya menyebutkan para yang bukan-pemilik: “Kaum proletar ... hak-milik membuang kita: terra, etc. interdicti sumus.”

Proudhon yang Kritis berpolemik terhadap Charles Comte sebagai berikut:

“Charles Comte beranggapan bahwa agar supaya hidup, manusia membutuhkan udara, pangan dan sandang. Beberapa dari benda itu, seperti udara dan air, adalah tidak bisa habis dan karenanya tetap hak-milik umum; tetapi yang lain-lainnya tersedia dalam kuantitas-kuantitas lebih sedikit dan menjadi hak-milik perseorangan. Oleh karenanya, Charles Comte mendasarkan buktinya pada konsep-konsep mengenai keterbatasan dan ketidak-terbatasan; ia dapat sampai pada kesimpulan yang berbeda seandainya ia menjadikan konsep-konsep mengenai bisa-ditiadakan dan tidak-bisaditiadakannya kategori-kategorinya yang utama.”

Betapa kekanak-kanakan polemik Proudhon yang Kritis itu! Ia mengharapkan Charles Comte melepaskan kategori-kategori yang dipakai untuk bukti-buktinya dan untuk melompat menyeberang pada yang lain-lainnya atau supaya sampai pada, bukan pada kesimpulan-kesimpulannya sendiri, tetapi barangkali pada kesimpulan-kesimpulan dari Proudhon yang Kritis.

Proudhon yang sesungguhnya sama sekali tidak mengajukan tuntutan seperti itu pada Charles Comte; ia menenangkan-nya/berdamai dengannya dengan suatu barangkali, ia mengalahkan Charles Comte dengan kategori-kategorinya sendiri.

Charles Comte, demikian Proudhon berkata, berawal dari tidak-bisa- tiadaanya udara, pangan dan, di iklim-iklim tertentu, sandang, bukan agar supaya hidup, tertapi agar supaya tidak berhenti hidup. Untuk mempertahankan dirinya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan (menurut Charles Comte) hak-pemilikan berbagai macam barang. Barang-barang ini tidak semuanya ada dalam proporsi yang sama.

“Cahaya bintang-bintang, udara dan air ada dalam kuantitas-kuantitas yang sedemikian rupa hingga manusia tidak dapat menambah ataupun menguranginya secara inderawi; setiap orang dapat menghak-miliki sebanyak-banyaknya sebagaimana yang diperlukan kebutuhan-kebutuhannya tanpa merugikan kenikmatan pihak-pihak lain

Karenanya, Proudhon berawal dari definisi-definisi Comte sendiri.

Pertama-tama sekali ia membuktikan padanya bahwa tanah adalah juga suatu obyek kebutuhan primer, hak menikmati guna dan keuntungan orang lain yang mesti tetap bebas bagi semua orang, di dalam batas-batas ketentuan Comte, yaitu “tanpa merugikan kenikmatan pihak-pihak lain.” Lalu, mengapa tanah telah menjadi hak-milik perseorangan? Charles Comte menjawab: karena tanah itu “tidak tak-terbatas.” Ia mestinya, sebaliknya, menyimpulkan bahwa karena tanah itu “terbatas,” maka ia tidak boleh dihak-miliki. Penghak-milikan udara dan air tidak menyebabkan kerugian bagi siapapun karena, karena udara dan air itu tidak terbatas, maka selalu ada cukup yang tersisa. Penghak-milikan tanah secara sewenang-wenang, sebaliknya, merugikan kenikmatan orang- orang lain justru karena tanah itu “terbatas.” Oleh karenanya, penggunaan tanah mesti diatur sesuai kepentingan “semua orang.” Metode Charles Comte dalam pembuktian menyangkal tesisnya sendiri.

“Charles Comte,” demikian Proudhon (yang Kritis, untuk tepatnya) bernalar, “mulai dari pandangan bahwa suatu nasion dapat menjadi pemilik tanah; namun begitu, jika hak-milik melibatkan hak untuk menggunakan dan salah-menggunakan – jus utendi et abutendi re sua[18] – bahkan suatu nasion tidak dapat memutuskan hak untuk menggunakan dan menyalah-gunakan tanah.”

Proudhon yang sesungguhnya tidak berbicara tentang jus utendi et abutendi yang “dilibatkan” oleh hak atas pemilikan .Ia terlalu padat untuk berbicara tentang suatu hak pemilikan yang melibatkan hak pemilikan. Jus utendi et abutendi re sua adalah, sesungguhnya, hak pemilikan itu sendiri. Karenanya Proudhon secara langsung menolak hak pemilikan orang atas wilayahnya (sendiri). Pada semua pihak yang menganggap itu berlebihan, Proudhon menjawab dengan pedas bahwa dalam semua kurun-zaman, hak pemilikan nasional yang imajiner itu telah melahirkan kekuasaan raja, upeti, prerogatif raja, korve, dsb.

Proudhon yang sesungguhnya bernalar sebagai berikut terhadap Charles Comte: Comte ingin menguraikan bagaimana hak-milik lahir dan mulai dengan hipotesis mengenai suatu nasion sebagai pemilik. Dengan demikian itu terjatuh dalam suatu petitio principii. Ia membuat negara menjual tanah-tanah, ia membiarkan para industrialis membeli tanah-tanah ( estates) itu, yaitu, ia mengandaikan/-mempersyaratkan “hubungan hak-milik” yang hendak dibuktikannya.

Proudhon yang Kritis mencoret “sistem desimal” Perancis. Ia mempertahankan franc tetapi menggantikan centime dengan Dreier.

“Bila aku menyerahkan sebidang tanah,” Proudhon (yang Kritis) melanjutkan, “maka aku tidak hanya merampok diriku sendiri dari panenan itu; aku merampas anak-anakku dan anak-anak anakku dari suatu kebaikan yang kekal. Tanah mempunyai nilai tidak hanya hari ini, ia juga mempunyai nilai atas kapasitas dan hari-depannya.”

Proudhon yang sesungguhnya tidak berbicara mengenai kenyataan bahwa tanah tidak hanya hari ini mempunyai nilai, tetapi juga di masa depan: ia mempertentangkan nilai penuh hari ini dengan nilai kapasitas dan hari-depannya yang bergantung pada keahlianku dalam mengeksploitasi tanah. Ia mengatakan: “Hancurkan tanah itu, atau yang berarti sama bagimu, juallah tanah itu: anda tidak mengalienasi satu, dua atau lebih panenan; anda memusnahkan semua produk yang
semestinya dapat anda peroleh darinya, anda, anak-anak anda dan anakanak anak-anak anda.”

Bagi Proudhon soalnya bukanlah menonjolkan kontras antara satu panenan dan kebaikan yang kekal itu –uang yang kuperoleh untuk ladang itu dapat, sebagai modal, juga menjadi suatu “kebaikan kekal” – tetapi kontras antara nilai sekarang dan nilai yang dapat diperoleh tanah itu melalui pembudi-dayaan yang terus-menerus.

“Nilai baru itu,” Charles Comte berkata, “yang kuberikan pada suatu barang dengan kerjaku adalah milikku, Proudhon” (yang Kritis) berpikir bahwa dirinya dapat menolak dengan cara berikut: “Kalau begitu” seseorang mesti berhenti menjadi seorang pemilik pada saat ia berhenti bekerja. Pemilikan produk sama sekali tidak dapat “melibatkan kepemilikan atas material yang darinya produk itu dibuat”

Proudhon yang sesungguhnya berkata:

“Biarkan si pekerja menilai produknya, tetapi aku tidak mengerti bagaimana kepemilikan produk itu melibatkan kepemilikan atas bahannya. Apakah sang nelayan yang berhasil menangkap lebih banyak ikan daripada nelayan lainnya di tepi sungai yang sama, dengan keahliannya sendiri menjadi pemilik atas tempat di mana ia menangkap ikan itu? Pernahkah keahlian sang pemburu dianggap sebagai suatu hak kepemilikan binatang buruan dalam sebuah wilayah? Yang sama berlaku dalam agrikultura. Agar mengubah pemilikan menjadi hak-milik, suatu kondisi lain diharuskan di samping kerja, atau seseorang akan berhenti menjadi pemilik seketika ia berhenti menjadi seorang pekerja.”

Cessante causa, cessat effectus. Manakala pemilik itu adalah pemilik “sebagai” seorang pekerja, maka ia berhenti menjadi seorang pemilik sesegera ia berhenti menjadi seorang pekerja. “Menurut hukum, adalah ketentuan yang menciptakan kepemilikan; kerja hanyalah suatu tanda yang tampak, tindak fisik yang dengannya pekerjaan dimanifestasikan.”

“Sistem penghak-milikan melalui kerja,” Proudhon melanjutkan, “oleh-karenanya adalah berlawanan dengan hukum; dan apabila para pendukung sistem itu mengklaimnya sebagai suatu penjelasan dari hukum-hukum mereka, maka mereka berkontradiksi dengan diri mereka sendiri.”

Untuk mengatakan lebih lanjut, sesuai pendapat ini, bahwa budi-daya tanah, misalnya, “menciptakan kepemilikan sepenuhnya atas tanah itu” adalah suatu petitio principii. Merupakan suatu kenyataan bahwa suatu kapasitas produktif baru dari materi telah diciptakan. Tetapi yang mesti dibuktikan adalah bahwa kepemilikan atas materi itu sendiri dengan demikian telah diciptakan. Manusia tidak menciptakan materi itu sendiri. Dan ia bahkan tidak dapat menciptakan kapasitas produktif apapun
apabila materi itu sebelumnya tidak ada.

Proudhon yang Kritis menjadikan Gracchus Baboeuf seorang partisan dari “kebebasan,” tetapi dalam Proudhon yang padat ia adalah seorang partisan dari persamaan (partisan de l’égalité).

                “Proudhon yang Kritis,” yang bermaksud menaksir bayaran Homer untuk karyanya Iliad, berkata: “Biaya yang mesti kubayarkan pada Homer mesti sama dengan yang ia berikan padaku. Tetapi, bagaimanakah nilai dari yang ia berikan itu mesti ditentukan?”

Proudhon yang Kritis adalah terlalu tinggi di atas hal-hal remeh ekonomi politik untuk mengetahui bahwa “nilai” sebuah obyek dan yang “diberikan” obyek itu pada seseorang lain adalah dua hal yang berbeda. Proudhon yang sesungguhnya berkata: “Bayaran seorang penyair mesti sama dengan produk-nya: lalu, apakah nilai dari produk itu?” Proudhon yang sesungguhnya mengira bahwa Iliad mempunyai suatu harga tidak terbatas (atau nilai-tukar, prix), sedangkan Proudhon yang Kritis mengira bahwa yang dipunyai Iliad adalah suatu nilai tak-terbatas. Proudhon yang sesungguhnya mempertentangkan nilai dari Iliad, “nilainya” dalam pengertian “ekonomi (valeur intrinsèque),” dengan nilai-tukarnya (valeurèchangeable); Proudhon yang Kritis mempertentangkan “nilainya untuk pertukaran” dengan “nilainya yang intrinsik,” yaitu, nilainya sebagai sebuah sajak .

Proudhon yang sesungguhnya berkata: “Di antara ganti-rugi material dan bakat tidak terdapat ukuran yang umum. Dalam hal ini situasi dari semua produsen adalah sama. Sebagai konsekuensinya, setiap perbandingan di antara mereka, setiap klasifikasi menurut rezeki adalah tidak-mungkin.” (“Entre une récompense matérielle et le talent iln’exsiste pas de commune mesure; sous ce rapport la condition de tousles producteurs est égale; conséquemment toute comparasion entre euxet toute distinction de fortunes est impossible.”)

Proudhon yang Kritis berkata: “ Secara relatif, posisi semua produsen adalah sama. Bakat tidak dapat ditimbang secara ragawi ... Setiap perbandingan di antara para produsen itu sendiri, setiap perbedaan eksterior adalah tidak mungkin.”

Dalam Proudhon yang Kritis kita membaca bahwa “manusia ilmu mesti merasa dirinya setara dalam masyarakat, karena bakatnya dan wawasannya hanya suatu produk dari wawasan masyarakat.” Proudhon yang sesungguhnya di mana pun tidak berbicara tentang perasaan-perasaan bakat. Ia mengatakan bahwa bakat mesti merendahkan diri ketingkat masyarakat. Ia tidak lagi menegaskan bahwa manusia berbakat “hanya” suatu produk dari masyarakat. Sebaliknya, ia berkata: “Manusia berbakat telah menyumbang untuk memproduksi pada dirinya sendiri suatu perkakas yang berguna ... Terdapat dalam dirinya sekaligus seorang pekerja bebas dan suatu modal yang diakumulasi secara sosial.”

Proudhon yang Kritis selanjutnya berkata: “Lagi pula, ia mesti berterima kasih pada masyarakat yang telah membebaskan dirinya dari pekerjaan lain sehingga ia dapat mengerahkan dirinya pada ilmupengetahuan.”

Proudhon yang sesungguhnya tiada berpaling pada terima-kasihnya manusia berbakat. Ia berkata: “Sang seniman, sang ilmuwan, sang penyair, menerima pahala mereka semata-mata karena kenyataan bahwa masyarakat memperkenankan mereka untuk mengerahkan diri mereka khususnya pada ilmu-pengetahuan dan seni.”

Akhirnya, Proudhon yang Kritis melakukan keajaiban dengan membuat suatu masyarakat dari 150 pekerja mampu memelihara seorang “pemimpin ( marshal)” dan karenanya, mungkin, sebuah “tentara (army).” Pada Proudhon yang sesungguhnya, marshal itu seorang “pande-kuda (farrier = maréchal).”

Komentar Kritis no. 4

“Jika ia [Proudhon] mempertahankan konsep gaji, jika ia melihat dalam masyarakat suatu lembaga yang memberikan pekerjaan pada kita dan membayar kita untuk itu, maka ia semakin kurang haknya untuk mengakui waktu sebagai ukuran pembayaran karena baru saja ia, dengan menyetujui Huga Grotius, mengajarkan bahwa waktu tidak menghiraukan kesahihan sesuatu obyek.”

Ini satu-satunya masalah di mana Kritik Kritis berusaha memecahkan problemnya dan untuk membuktikan pada Proudhon bahwa dari sudut pandang ekonomi politik, ia (Proudhon) berargumentasi secara salah terhadap ekonomi politik. Di sini Kritik “mempermalukan” dirinya sendiri dalam gaya Kritis sejati.

Proudhon sepakat dengan Hugo Grotius dan berargumentasi bahwa “ketentuan” bukan hak untuk mengubah “kepemilikan” menjadi “hak milik” atau suatu “azas legal” menjadi sebuah azas lainnya, tiada bedanya sebagaimana waktu tidak dapat mengubah kebenaran bahwa ketiga sudut dari sebuah tiga-segi secara bersama-sama adalah sama/setara dengan dua sudut siku-siku menjadi kebenaran bahwa mereka adalah sama dengan tiga sudut siku-siku. “Anda tidak akan pernah,” Proudhon berteriak, “berhasil membuat panjangnya waktu, yang dari sendirinya tidak menciptakan apapun, tidak mengubah apapun, tidak memodi-fikasi apapun, mampu mengubah pemakai itu menjadi seorang pemilik.”

Kesimpulan Herr Edgar adalah: Karena Proudhon mengatakan bahwa sekedar waktu tidak dapat “mengubah” satu azas legal menjadi sebuah asas tunggal lain, bahwa dengan sendirinya ia tidak dapat mengubah atau memodifikasi apapun, ia menjadi tidak-konsisten ketika ia menjadikan “waktu kerja” ukuran dari nilai ekonomi-politik dari produk kerja. Herr Edgar mengelola pernyataan Kritis ini secara Kritis dengan menerjemahkan nilai (valeur)[19] dengan validitas (Geltung),[20] sehingga ia dapat memakai kata itu bagi validi-tas/kesahihan dari suatu asas legal dalam pengertian sama bagi nilai komersial sebuah produk kerja. Ia melakukannya dengan meng-identifikasi panjangnya waktu yang kosong dengan waktu yang diisi dengan kerja. Seandainya Proudhon mengatakan bahwa waktu tidak dapat mengubah seekor lalat menjadi seekor gajah, maka Kritik yang Kritis dapat berkata dengan pembenaran yang sama: karenanya ia tidak berhak menjadikan waktu kerja sebagai ukuran upah-upah.

Bahkan Kritik Kritis mestinya mampu menangkap bahwa waktu kerja yang harus dicurahkan dalam produksi sesuatu obyek sudah termasuk di dalam ongkos produksi dari obyek itu, bahwa ongkos produksi sebuah obyek adalah ongkos obyek itu dan untuk apa obyek itu dapat dijual, dengan membuat abstraksi dari pengaruh persaingan. Di samping waktu kerja dan bahan kerja, para ahli ekonomi memasukkan dalam ongkos produksi itu sewa yang dibayar oleh pemilik tanah, bunga dan laba dari
si kapitalis . Yang tersebut terakhir itu tidak dimasukkan oleh Proudhon karena ia tidak memasukkan hak-milik perseorangan. Karenanya hanyatersisa waktu kerja dan ongkos-ongkos itu. Dengan menjadikan waktu kerja, keberadaan langsung dari kegiatan manusia sebagai kegiatan, sebagai ukuran upah dan penentuan nilai dari produk, maka Proudhon menjadikan segi manusia itu menjadi faktor yang menentukan. Dalam ekonomi politik lama, sebaliknya, faktor yang menentukan adalah kekuasaan modal dan kekuasaan pemilikan atas tanah yang dipertimbangkan/diper-hitungkan. Dengan kata lain, Proudhon menegakkan kembali manusia dalam hak-haknya, tetapi masih dalam suatu cara ekonomi-politik dan karenanya cara yang kontradiktif. Hingga seberapa benarnya Proudhon dari pendirian ekonomi politik dapat dilihat dari kenyataan bahwa Adam Smith, pendiri ekonomi politik modern, mengembangkan pada halaman-halaman pertama dari bukunya, An Inquiryinto the Nature and Cause of the Wealth of Nations, gagasan bahwa sebelum penemuan hak-milik perseorangan, yaitu, dengan mengandaikan “ketidak-beradaan [non existence] hak-milik perseorangan, waktu kerja” adalah ukuran dari “upah” dan dari “nilai produk kerja,” yang belum dibedakan dari upah.

Tetapi bahkan biarkanlah Kritik Kritis untuk sesaat menganggap bahwa Proudhon tidak mulai dari dasar-pikiran upah-upah. Apakah ia percaya bahwa “waktu” yang disyaratkan produksi dari sebuah obyek “pernah” bukan suatu faktor penting dalam “validitas” obyek itu? Adakah ia percaya bahwa waktu akan kehilangan “kemahalannya?”

Sejauh yang bersangkutan dengan produksi material secara langsung, keputusan apakah suatu obyek mesti diproduksi atau tidak, yaitu, keputusan mengenai “nilai” obyek itu, akan secara pokok bergantung pada waktu kerja yang diperlukan untuk produksinya. Karena bergantung pada waktu itulah masyarakat mempunyai waktu untuk berkembang secara manusiawi atau tidak.

Dan bahkan dalam kasus produksi “pikiran,” tidak mestikah aku, jika aku secara masuk-akal mulai dalam hal-hal lainnya, mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk produksi suatu karya intelektual ketika aku menentukan jangkauan, watak dan rencananya? Sebaliknya, aku sekurang-kurangnya mengambil resiko bahwa obyek yang ada dalam ideku tidak pernah menjadi suatu obyek dalam realitas, dan akan –oleh karenanya– memperoleh tidak lebih daripada nilai suatu obyek imajiner, yaitu, suatu “nilai imajiner.”

Kritik atas ekonomi politik dari pendirian ekonomi politik mengakui semua definisi esensial dari aktivitas manusia, tetapi hanya dalam suatu bentuk teralienasi, suatu bentuk yang terasingkan. Di sini, misalnya, ia mengubah makna waktu kerja untuk “kerja manusia” menjadi maknanya bagi “upah,” bagi kerja-upahan .

Herr Edgar melanjutkan: “Untuk memaksa bakat agar menerima ukuran itu, Proudhon menyalahgunakan konsep mengenai kontrak bebas dan menandaskan bahwa masyarakat dan para anggota individualnya mempunyai hak untuk menolak produk-produk bakat.”

Bakat pada “para pengikut Fourier” dan “Saint Simon” mendasarkan dirinya pada asas-asas ekonomi-politik dan mengajukan “klaim-klaim bebas” yang berlebih-lebihan, memberikan imajinasinya mengenai nilainya yang tak-terbatas sebagai ukuran dari “nilai-tukar” produk-produknya; Proudhon menjawabnya dengan cara yang sama seperti ekonomi politik menjawab klaim akan suatu harga yang jauh lebih tinggi daripada yang dinamakan harga wajar, yaitu, lebih tinggi daripada ongkos produksi dari sesuatu obyek yang ditawarkan. Ia menjawab dengan kontrak bebas. Tetapi Proudhon tidak “menyalahgunakan” hubungan ini dalam arti ekonomi-politik; sesungguhnya, ia menganggap itu sungguh-sungguh yang dianggap oleh para ekonom sebagai nominal dan ilusif – “kebebasan” dari pihak-pihak yang berkontrak.

Mengkarakterisasi Terjemahan no. 4

Proudhon yang Kritis akhirnya merombak masyarakat Perancis sedalam suatu transformasi kaum proletar Perancis seperti kaum borjuasi Perancis.

Ia menyangkal “kekuatan” kaum proletar Perancis karena Proudhon yang sesungguhnya menegur mereka karena mereka kurang bajik/berjasa (vertu). Ia menjadikan “keahlian” mereka dalam bekerja problematik – “kalian boleh jadi ahli dalam bekerja”– karena Proudhon yang sesungguhnya tanpa syarat mengakui keahlian mereka dalam bekerja (Prompts au travail vous êtes, dsb.) Ia menjadikan burjuasi Perancis kaula-kaula menjemukan, sedangkan Proudhon yang sesungguhnya mempertentangkan burjuasi yang hina (bourgeois ignobles) dengan para bangsawan yang tercela ( nobles flétris). Ia mengubah para kaula menengah-ria (bourgeois juste-millieu) menjadi “kaula-kaula kita yang baik,” untuk itu borjuasi Perancis mesti berterima-kasih. Karenanya, di mana Proudhon yang sesungguhnya mengatakan bahwa “iktikad buruk (la malveillance de nos bourgeois)” dari borjuasi Perancis sedang bertumbuh, maka Proudhon yang Kritis dengan kukuh menjadikan “keriangan para kaula kita” bertumbuh. Borjuasi Proudhon yang sesungguhnya sedemikian jauhnya dari keriangan sehingga ia berteriak pada dirinya sendiri: “Kita jangan takut! Kita jangan takut!” Itu katakata seseorang yang hendak menalarkan dirinya sendiri terbebas dari ketakutan dan kecemasan.

Dengan menciptakan Proudhon yang Kritis dalam penerjemahannya mengenai Proudhon yang sesungguhnya, Kritik yang Kritis telah menunjukkan pada massa apa yang disebut suatu terjemahan yang secara Kritis sempurna. Ia telah memberikan petunjuk-petunjuk bagi “bagaimana terjemahan itu seharusnya.” Oleh karenanya ia langsung bertentangan dengan terjemahan-terjemahan yang padat, yang buruk:

“Khalayak Jerman menginginkan barang-barang para penjual buku semurah-murahnya, sehingga sang penerbit memerlukan sebuah terjemahan yang murah; sang penerjemah tidak mau mati kelaparan dalam pekerjaannya, ia bahkan tidak menjalankannya dengan refleksi dewasa [dengan segala ketenangan pengetahuan] karena sang penerbit mesti mengantisipasi para pesaing dengan penyerahan secepatnya; bahkan sang penerjemah mesti mengkhawatirkan adanya persaingan, takut bahwa seseorang lain memproduksi barang itu secara lebih cepat dan lebih murah; karenanya ia mengimlahkan naskahnya begitu saja pada seseorang tukang tulis yang malang –secepat yang ia bisa agar tidak membayar tukang tulis upah jam-jaman secara sia-sia. Ia lebih daripada bahagia ketika keesokan harinya dapat memuaskan penyusun-huruf (percetakan) yang rewel itu. Sambil lalu, terjemahan yang membanjiri kita cuma sebuah ilustrasi dari impotensi literatur Jerman dewasa ini, dsb.” (Allgemeine Literatur-Zeitung, no.VII, hal. 54).

Komentar Kritis no. 5

“Bukti mengenai ketidak-mungkinan hak-milik yang disimpulkan Proudhon dari kenyataan bahwa umat-manusia secara khusus didera oleh sistem bunga dan laba dan oleh disproporsi/ketimpangan antara konsumsi dan produksi tidak mempunyai rekannya, yaitu, bukti bahwa hak-milik perseorangan secara historis dimungkinkan.”

Kritik yang Kritis bernaluri mujur untuk tidak terjebak dalam penalaran Proudhon mengenai sistem bunga dan laba, dsb., yaitu, ke dalam bagian paling penting dari argumennya. Sebabnya yalah bahwa dalam masalah ini bahkan tiada satupun dalih kritik dapat diajukan oleh Proudhon tanpa pengetahuan positif yang mutlak mengenai gerak hakmilik perseorangan. Kritik yang Kritis berusaha menebus impotensinya dengan menyatakan bahwa Proudhon tidak mem-buktikan kemungkinan historis dari pemilikan. Mengapa Kritik itu, yang tidak mempunyai apapun kecuali kata-kata untuk diberikannya, mengharap pihak-pihak lain memberikan “segala-galanya” ke padanya?

“Proudhon membuktikan ketidak-mungkinan pemilikan dengan kenyataan bahwa pekerja tidak dapat membeli balik produk kerjanya dari upahnya. Proudhon tidak memberikan suatu bukti tuntas akan hal ini dengan menguraikan hakekat modal. Pekerja tidak dapat membeli balik produknya karena ia selalu sebuah produk umum, sedangkan ia tidak pernah apapun kecuali seseorang yang dibayar secara individual.”

Herr Edgar, berbeda dengan deduksi Proudhon, semestinya dapat menyatakan dirinya secara lebih tuntas mengenai kenyataan bahwa pekerja “tidak dapat” membeli balik produknya karena ia “mesti membelinya kembali.” Sudah terkandung dalam definisi pembelian bahwa hubungannya dengan produknya itu suatu hubungan dengan suatu obyek yang bukan miliknya lagi, sebuah obyek yang teralienasi. Di antara lain-lainnya, argumen tuntas Herr Edgar tidak menuntaskan pertanyaan mengapa si kapitalis, yang sendiri “bukan apapun” kecuali seseorang “individual,” dan lebih dari itu, seseorang yang “dibayar dengan bunga dan laba,” dapat membeli kembali tidak hanya produk kerja, tetapi lebih banyak lagi daripada produk itu. Untuk menjelaskan ini Herr Edgar mesti menjelaskan hubungan kerja dan modal, yaitu, menguraikan hakekat modal.

Kutipan dari kritik di atas secara sangat jelas sekali menunjukkan bagaimana Kritik Kritis seketika menggunakan yang dipelajarinya (didapatkannya) dari seorang penulis sebagai kearifan yang ditemukannya sendiri dan memakainya dengan suatu pemelintiran Kritis terhadap penulis yang sama itu. Karena adalah dari Proudhon sendiri Kritik Kritis itu menarik argumen yang katanya tidak diberikan oleh Proudhon, tetapi diberikan oleh Herr Edgar. Proudhon mengatakan:

Divide et impera ... Jika kaum buruh terpisah satu sama lainnya upah-upah yang dibayarkan pada masing-masing pekerja itu dapat melebihi nilai setiap produk individual; tetapi bukan itu masalahnya ... Sekalipun telah dibayar semua tenaga individual itu, yang tidak dibayar adalah tenaga kolektif.”

Proudhon adalah “yang pertama” yang memperhatikan kenyataan bahwa jumlah upah para pekerja individual, bahkan apabila setiap tenaga individual telah dibayar sepenuhnya, tidak membayar tenaga kolektif yang diobyektifikasi dalam produknya; bahwa oleh karenanya pekerja itu tidak dibayar sebagai “suatu bagian dari tenaga kerja kolektif.” Herr Edgar memelintir ini menjadi penegasan, bahwa si pekerja tidak lain dan tidak bukan adalah seseorang yang dibayar secara individual. Kritik Kritis dengan demikian mempertentangkan suatu pandangan “umum” dari Proudhon dengan perkembangan selanjutnya yang “konkrit” yang Proudhon sendiri berikan mengikuti gaya Kritik dan menyuarakan rahasia “sosialisme Kritis” dalam kalimat berikut:

“Pekerja modern hanya memikirkan dirinya sendiri, yaitu, ia hanya menuntut bayaran untuk dirinya sendiri. Ia sendirilah yang gagal memperhitungkan tenaga yang luar biasa besarnya, tenaga yang tidak-terukur besarnya yang timbul dari kerja-samanya dengan tenaga-tenaga lain.”

Menurut Kritik Kritis seluruh kejahatan terletak dalam “benak” kaum buruh. Memang benar bahwa kaum buruh Inggris dan Perancis telah membentuk asosiasi-asosiasi di mana mereka bertukar pendapat tidak hanya mengenai kebutuhan-kebutuhan seketika mereka sebagai “kaum buruh,” tetapi mengenai kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai “makhluk-makhluk manusia.” Dengan demikian mereka menunjukkan kesadaran tuntas dan lengkap mengenai tenaga “yang luar-biasa” dan “tak-terukur besarnya” yang lahir dari kerja-sama mereka. Tetapi para pekerja komunis yang “padat,” yang bekerja, misalnya, di pabrik-pabrik Manchester dan Lyons, tidak percaya bahwa “pikiran sejati” akan mampu membantah tuan-tuan industri mereka dan secara praktis penistaan diri mereka sendiri. Mereka sangat-sangat sadar mengenai “perbedaan” antara “keberadaan” dan “pikiran,” antara “kesadaran” dan “kehidupan.” Mereka mengetahui bahwa hak-milik, modal, uang, kerja-upahan dan sejenisnya bukanlah isapan jempol ideal dari otak, tetapi sumber-sumber yang sangat praktis, yang sangat obyektif dari alienasi-diri mereka dan bahwa mereka mesti dilenyapkan dengan suatu cara yang praktis, suatu cara yang obyektif bagi manusia untuk menjadi manusia tidak hanya dalam “pikiran,” dalam “kesadaran,” tetapi dalam “keberadaan yang padat,” dalam kehidupan. Kritik Kritis, sebaliknya, mengajarkan pada mereka bahwa mereka berhenti dalam realitas sebagai para pekerja upahan jika dalam pikiran mereka berhenti membayangkan diri mereka sendiri sebagai para pekerja-upahan dan tidak lagi menuntut pembayaran untuk pribadi mereka sesuai imajinasi yang berlebih-lebihan itu. Sebagai kaum idealis mutlak, sebagai makhluk-makhluk ethereal (sangat halus), mereka lalu dengan sendirinya akan mampu hidup dari ether-nya pikiran murni. Kritik Kritis mengajarkan pada mereka bahwa mereka menghapuskan modal sesungguh dengan dalam “pikiran” menanggulangi kategori Modal, bahwa mereka “sungguh-sungguh” berganti dan mengubah diri mereka sendiri menjadi makhluk-makhluk manusia sejati dengan menggganti/mengubah “ego abstrak” mereka di dalam kesadaran mereka dan mengecam semua perubahan “sungguh-sunggguh” dalam keberadaan sungguh-sungguh mereka sebagai operasi-operasi tidak- Kritis, dalam kondisi-kondisi sesunggguhnya dari keberadaan mereka, yaitu, dalam “ego” mereka yang “sesungguhnya.” “Roh” (spirit), yang hanya melihat kategori-kategori di dalam realitas, dengan sendirinya mereduksi semua aktivitas dan praktek manusia pada proses berpikir dialektis dari Kritik Kritis. Itulah yang membedakan sosialisme- nya dari sosialisme “padat” dan komunisme.

Sesudah wacana besarnya, Herr Edgar dengan sendirinya mesti menyatakan kritik Proudhon “hampa kesadaran.”

“Tetapi Proudhon ingin juga praktis. Ia menganggap dirinya telah memahami. Dan sekalipun begitu,” demikian ketenangan pengetahuan bersorak menang, “bahkan sekarang kita tidak dapat mengreditnya dengan ketenangan pengetahuan. Kita mengutib beberapa pasase untuk menunjukkan betapa kurangnya ia telah mempertimbangkan sikapnya pada masyarakat.”

Kelak akan kita kutib juga beberapa pasase dari karya-karya Kritik yang Kritis, (lihat Bank for the Poor dan Model Farm) untuk menunjukkan bahwa ia belum mempelajari hubungan-hubungan yang paling pertama dari ekonomi politik, apalagi memikirkannya, dan karenanya merasa dengan kebijakan Kritis yang karakteristik bahwa ia terpilih untuk menjatuhkan penilaian atas Proudhon.

Kini, setelah Kritik yang Kritis sebagai ketenangan pengetahuan telah “menyingkirkan semua lawan-lawan yang padat,” telah menguasai semua realitas dalam bentuk kategori-kategori dan telah membubarkan semua aktivitas manusia menjadi dialektika spekulatif, kita akan melihatnya mereproduksi dunia dari dialektika spekulatif. Jelaslah bahwa, apabila keajaiban-keajaiban dari ciptaan spekulatif secara Kritis dari dunia tidak boleh “diduniawikan/dikotori,” maka mereka hanya dapat disajikan pada massa keduniawian itu dalam bentuk “misteri-misteri.” Kritik Kritis oleh karenanya muncul dalam person Wischnu-Szeliga sebagai “seorang penjual-misteri.”[21]