Kemiskinan Filsafat

Karl Marx (1847)


BAB I

SEBUAH PENEMUAN ILMIAH

3. Penerapan Hukum Proporsionalitas Nilai

 

A) Uang

 

Emas dan perak adalah barang-barang dagangan pertama yang ditentukan nilainya. [I 69]

 

Demikian emas dan perak menjadi terapan-terapan pertama “nilai yang dibentuk ...” oleh M. Proudhon. Dan karena M. Proudhon menentukan nilai produk-produk dengan menetapkannya dengan jumlah kerja komparatif yang terkandung di dalamnya, maka satu-satunya yang mesti dilakukannya yalah membuktikan bahwa “variasi-variasi” dalam nilai emas dan perak selalu dijelaskan dengan variasi-variasi waktu kerja yang dipakai untuk memproduksi emas dan perak itu. M. Proudhon tidak berniat melakukan itu. Ia berbicara tentang emas dan perak bukan sebagai barang-barang dagangan, tetapi sebagai uang.

 

Satu-satunya logikanya, kalau mau disebut logika, adalah bermain sulapan dengan kapasitas emas dan perak yang dipakai sebagai uang demi keuntungan semua barang dagangan yang memiliki sifat dinilai dengan waktu kerja. Jelas ada lebih banyak kepandiran daripada kejahatan dalam main-sulapan ini.

 

Sebuah barang berguna, begitu ia telah dinilai dengan waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksinya, selalu menjadi dapat diterima dalam pertukaran; saksikan, teriak M. Poudhon, emas dan perak, yang berada dalam kondisi-kondisi “dapat dipertukarkan” sebagaimana yang kuhasratkan! Maka, emas dan perak adalah nilai yang telah mencapai suatu keadaan keterbentukan: mereka telah menjadi perwujudan gagasan M. Proudhon. Ia tak-mungkin lebih bahagia lagi dalam pilihannya akan sebuah contoh. Emas dan perak, kecuali kapasitas mereka sebagai barang-barang dagangan, dinilai seperti barang-barang dagangan lainnya, dalam waktu bekerja, juga memiliki kapasitas sebagai agen-agen pertukaran universal, sebagai uang. Dan kini, dengan memandang emas dan perak sebagai sebuah penerapan “nilai yang terbentuk” oleh waktu kerja, tiada yang lebih mudah daripada membuktikan bahwa semua barang dagangan yang nilainya dibentuk dengan waktu kerja akan selalu dapat dipertukarkan, akan merupakan uang.

 

Sebuah pertanyaan sederhana timbul pada M. Proudhon. Mengapa emas dan perak memiliki kedudukan istimewa sebagai tipifikasi “nilai bentukan”?

 

“Fungsi khusus yang pemakaian telah limpahkan atas logam-logam berharga, yaitu diberlakukan sebagai suatu medium untuk perdagangan, adalah semurninya konvensional, dan setiap barang dagangan lainnya dapat, mungkin secara kurang dalam kemudahannya, tetapi sama-sama dapat diandalkan, memenuhi fungsi ini Para ahli ekonomi mengakui hal ini dan bisa menyebutkan lebih daripada satu misal. Lalu apakah sebab preferensi universal ini bagi logam-logam sebagai uang? Dan apakah keterangan mengenai pengkhususan fungsi-fungsi uang ini – yang tiada analoginya dalam ekonomi politik? ... Mungkinkah merekonstruksi deretan-deretan dari mana uang agaknya telah melepaskan diri, dan dengan begitu melacaknya kembali pada azasnya yang sesungguhnya?” [I 68-69)

 

 

Secara langsung, dengan merumuskan pertanyaannya dalam pengertian-pengertian seperti ini, M. Proudhon telah mengandaikan keberadaan “uang” itu. Pertanyaan pertama yang semestinya ia ajukan pada diri sendiri adalah, mengapa, dalam pertukaran-pertukaran dengan mana mereka itu sesungguhnya dibentuk, telah menjadi perlu untuk mengindividualisasi nilai yang dapat dipertukarkan, begitulah agaknya, dengan penciptaan suatu agen /alat pertukaran khusus. Uang bukanlah benda, ia adalah suatu hubungan masyarakat. Mengapa hubungan ruang adalah suatu hubungan produksi seperti semua hubungan ekonomi lainnya, seperti pembagian kerja, dsb.? Kalau M. Proudhon telah memberikan perhatian yang selayaknya mengenai hubungan ini, ia tidak akan melihat pada uang itu suatu kekecualian, suatu unsur yang terpisah dari suatu deretan yang tidak diketahui atau yang memerlukan rekonstruksi.

 

Sebaliknya, ia akan menyadari bahwa hubungan ini adalah suatu kaitan dan sebagai kaitan ia sangat erat terkait dengan sreangkaian penuh hubungan-hubungan ekonomi lainnya; bahwa hubungan ini bersesuaian dengan suatu cara produksi tertentu –tidak lebih dan tidak kurang–seperti pertukaran individual. Apakah yang “ia” lakukan? Ia berangkat dengan melepaskan uang dari cara produksi yang sesungguhnya sebagai suatu keseluruhan, dan kemudian menjadikannya anggota pertama dari suatu deretan imajiner, dari suatu deretan untuk dikonstruksikan-kembali.

 

Begitu kebutuhan akan suatu agen pertukaran khusus, yaitu uang, telah diakui, maka semua yang masih harus diterangkan adalah mengapa fungsi khusus ini telah melimpahi emas dan perak dan bukannya atas barang-dagangan lainnya. Ini adalah sebuah pertanyaan sekunder, yang diterangkan bukannya oleh rangkaian hubungan-hubungan produksi, tetapi dengan kualitas-kualitas khusus yang inheren (terkandung sebagai bawaan) emas dan perak sebagaui substansi-substansi. Jika semua ini telah membuat para ahli ekonomi untuk sekali saja “ke luar dari wilayah-wilayah ilmu-pengetahuan mereka sendiri, untuk berceburan dalam fisika, mekanika, sejarah dan sebagainya,” seperti teguran M. Proudhon yang ditujukan pada mereka, mereka itu cuma melakukan yang terpaksa mesti mereka lakukan. Pertanyaan itu tidak lagi di dalam wilayah ekonomi politik.

 

Yang tidak dilihat atau difahami oleh seorang-pun ahli ekonomi, demikian M. Proudhon berkata, adalah alasan ekonomik yang telah menentukan, demi keuntungan logam-logam berharga, keuntungan yang mereka nikmati. [I 69]

 

Alasan ekonomik yang tiada seorang pun –dengan beralasan sekali– lihat atau fahami, telah dilihat, difahami oleh M. Proudhon dan diwariskannya kepada anak-keturunan.

 

“Yang tidak diperhatikan oleh siapapun adalah, dari semua barang-dagangan, emas dan perak adalah yang paling pertama yang nilainya telah mencapai pembentukan. Di periode patriarkal, emas dan perak masih di barter-kan dan dipertukarkan dalam (bentuk) biji-bijian, tetapi sudah ketika itu pun emas dan perak memperlihatkan suatu kecenderungan yang kasat-mata untuk menjadi dominan dan menikmati derajat preferensi yang nyata. Sedikit-demi-sedikit para kuasa berdaulat itu menguasainya dan membubuhkan tera mereka di atasnya: dan dari pentahbisan kuasa-berdaulat ini lahirlah uang, yaitu barang-dagangan par excellence, yang, dengan segala guncangan perdagangan, mempertahankan suatu nilai proporsional tertentu dan menjadikan dirinya diterima untuk segala pembayaran ... Sifat khusus emas dan perak disebabkan, aku ulangi, karena kenyataan bahwa, berkat sifat-sifat logamnya, berkat kesulitan-kesulitan dalam memproduksinya, dan terutama sekali karena intervensi otoritas negara, secara dini mereka mendapatkan stabilitas dan otentisitas sebagai barang-barang dagangan.”

                                                 

Mengatakan bahwa, dari semua barang-dagangan, emas dan perak adalah yang pertama mendapatkan nilainya dibentuk, adalah mengatakan, setelah semua yang diterangkan sebelumnya, bahwa emas dan perak adalah yang pertama mencapai status (sebagai) uang. Inilah pengungkapan besar M. Proudhon, inilah kebenaran yang tiada diungkapkan oleh seorqang pun sebelumnya.

 

Jika, dengan kata-kata ini, M. Proudhon mengartikan bahwa dari semua barang-dagangan, emas dan perak adalah yang waktu produksinya diketahui paling dini, maka ini akan menjadi sebuah suposisi lain lagi yang dengannya ia siap menghibur para pembacanya. Jika kita ingin mengulang-ulang tentang erudisi partriarkal ini, kita akan memberitahukan pada M. Proudhon bahwa adalah waktu yang diperlukan untruk memproduksi objek-objek yang sangat dibutuhkan, seperti besi, dsb., yang adalah yang paling pertama diketahui. Biarlah kita tidak usah menyebutkan padanya mengenai busur klasik Adam Smith.

 

Namun, betapapun, bagaimana M. Proudhon bisa terus berbicara tentang pembentukan suatu nilai, karena suatu nilai itu tidak pernah dibentuk oleh nilai itu sendiri? Ia dibentuk, bukan oleh waktu yang diperlukan untuk memproduksinya olehnya sendiri, tetapi dalam hubungan dengan kuota masing-masing dan setiap produk lainnya yang dapat diciptakan dalam waktu yang sama. Dengan demikian maka pembentukan nilai emas dan perak mengandaikan sudah dilengkapkannya pembentukan sejumlah produk lainnya.

 

Maka, oleh karenanya, bukan barang-dagangan yang mendapatkan, dalam emas dan perak, status sebagai “nilai bentukan,” tetapi adalah “nilai bentukan” M. Proudhon yang telah mendapatkan, dalam emas dan perak, status sebagai uang itu.

 

Sekarang, mari kita meneliti secara lebih cermat “sebab-sebab ekonomik” ini, yang, menurut M. Proudhon telah memberkati emas dan perak dengan keuntungan diangkat pada status uang secara lebih dulu daripada produk-produk lainnya, yaitu berkat telah dilaluinya tahap nilai berikutnya.

 

Sebab-sebab ekonomik ini ialah: “kecenderungan yang tampak untuk menjadi dominan, preferensi yang mencolok” bahkan pada “periode patriarkal,” dan keadaan-keadaan lain mengenai faktum aktual – yang meningkatkan kesulitan, karena mereka menggandakan faktuim dengan menggandakan insiden-insiden yang dikerahkan M. Proudhon untuk menjelaskan kenyataan itu. M. Proudhon belum juga kehabisan apa yang disebutkannya sebab-sebab ekonomik itu. Ini ada sebuah dengan kekuatan berwenang yang tidak terbantahkan:

 

Uang lahir dari pentahbisan kuasa-berdaulat: para raja menguasai emas dan perak dan membubuhkan tera mereka di atasnya. [I 69]

 

Demikian ulah-ulah para raja/kuasa berdaulat menjadi sebab tertinggi dalam ekonomi politik bagi M. Proudhon.

 

Sungguh, orang mestilah dirundung kemiskinan dari semua pengetahuan historis hingga tidak mengetahui bahwa adalah para raja yang di semua abad telah menjadi subjek kondisi-kondisi ekonomi, tetapi mereka tidak pernah mengimlakkan undang-undang padanya. Legislasi, yang politik ataupun yang sipil, tidak pernah lebih daripada sekedar memproklamasikan, menyatakannya dalam kata-kata, kehendak dari hubungan-hubungan ekonomi.

 

Adakah sang raja yang menguasai emas dan perak untuk menjadikannya agen-agen universal dari pertukaran, dengan membubuhkan teranya pada logam itu? Atau, tidakkah justru agen-agen pertukaran universal itu yang menguasai sang raja dan memaksanya membubuhkan teranya dan dengan demikian melakukan suatu pentahbisan politik?

 

Impresi yang telah dan masih diberikan pada uang itu bukannya hal nilainya, tetapi hal bobotnya. Stabilitas dan otentisitas yang dibicarakan M. Proudhon itu hanya berlaku pada standar uang; dan standar ini menunjukkan berapa banyak materi metalik yang terdapat dalam sepotong uang logam. “Satu-satunya nilai kandungan dari satu mark perak,” demikian Voltaire berujar dengan kebiasaan akal-sehatnya, “adalah satu mark perak, yang setengah pon beratnya delapan ons. Bobot dan standar itu saja yang membentuk nilai kandungan ini.” (Voltaire, Systeme de Law)[21] Tetapi pertanyaan: berapa harganya satu ons emas atau perak, tetap saja menjadi pertanyaan. Jika cashmare dari toko-toko Grand Colbert dibubuhi tanda dagang wol-murni, maka tanda

perdagangan ini akan memberitahukan mengenai nilai cashmere itu. Tetapi akan tetap saja pertanyaan itu: berapakah harganya wol itu? “Philip I, raja Perancis,” demikian M. Proudhon berkata, “menyampurkan pada pound emas Charlemagne, sepertiga bagian alloy, dengan membayangkan bahwa, setelah memegang monopoli memproduksi uang, ia dapat melakukan yang harus dilajkukan oleh setiap pedagang yang memonopoli sebuah produk. Apakah sesungguhnya penghancuran mata-uang yang begitu banyak dipersalahkan pada Philip dan peneruspenerusnya? Adalah penalaran yang sepenuhnya sempurna dari sudut pandangan praktek komersial, tetapi merupakan ilmu ekonomi yang sangat tidak sehat, yaitu untuk menhgira bahwa, karena persediaan dan permintaan mengatur nilai, maka adalah mungkin, atau dengan memproduksi suatu kelangkaan buatan atau dengan memonopoli manufaktur, untuk meningkatkan perkiraan dan dengan begitu nilai barang-barang; dan bahwa ini benar sekali mengenai emas dan perak seperti halnya bagi jagung, anggur, minyak atau tembakau. Tetapi begitu tercium penipuan Philip itu, secepat itu pula uangnya merosot ke nilai yang sebenarnya, dan ia sendiri kehilangan yang diharapkan/dikiranya akan diperolehnya dari warganya. Yang serupa telah terjadi sebagai hasil setiap usaha yang seperti itu.” [I 70-71]

 

Telah terbukti, entah berapa bilangan kali, bahwa, jika pada seorang raja timbul pikiran dalam benaknya untuk memerosotkan mata-uang, adalah ia sendiri yang akan rugi/kehilangan. Yang pernah diperolehnya pada pengeluaran pertama mata-uang itu akan menjadi kerugiannya sendiri setiap kali mata uang yang dipalsukan itu kembali padanya dalam bentuk pajak-pajak dsb. Tetapi Philip dan para penerusnya telah mampu melindungi diri mereka –kurang-lebih– terhadap kerugian ini, karena, begitu mata uang yang dihancurkan itu masuk dalam peredaran, mereka buru-buru memerintahkan suatu pencetakan kembali mata-uang berdasarkan standar lama.

 

Dan, di samping itu, jika Philip I telah benar-nbenar bernalar seperti M. Proudhon, maka ia telah tidak bernalar dengan baik “dari sudut pandangan komersial.” Philip I maupun M. Proudhon tidak memperagakan suatu kegeniusan dagang dengan membayanbgkan bahwa adalah mungkin untuk mengubah nilai emas ataupun nilai setiap barang dagangan lainnya, semata-mata karena nilai mereka itu ditentukan oleh hubungan antara persediaan dan permintaan.

 

Jika Raja Philip mendekritkan bahwa satu quarter (1,14 liter) gandum diwaktu mendatang harus disebut dua quarter gandum, maka jadilah sang raja itu seorang penipu. Ia akan (telah) menipu semua kaum rentier, semua orang yang berhak menerima seratus quarter gandum. Ia akan menjadi sebab bahwa semua orang itu cuma menerima lima puluh dan bukannya seratus quarter. Andaikan sang raja itu memiliki seratus quarter gandum; ia akan harus membayar hanya lima puluh quarter. Tetapi di dalam perdagangan, seratus quarter seperti itu tidak akan pernah berharga lebih daripada limapuluh quarter. Kuantitas gandum, baik itu berupa persediaan ataupun permintaan, tidak akan berkurang atau bertambah hanya dengan sekedar perubahan namanya. Demikian, hubungan antara persediaan dan permintaan tetaplah sama sekalipun adanya perubahaan nama itu, harga gandum itu tidak akan mengalami suatu perubahan nyata. Manakala kita berbicara mengenai persediaan dan permintaan barang, kita tidak berbicara mengenai persediaan dan permintaan nama barang-barang itu. Philip I bukanlah pembuat emas ataui perak, seperti yang dikatakan M. Proudhon; ia cuma seorang pembuat nama-nama bagi uang-uang logam. Katakanlah cashmere Perancis anda sebagai cashmere Asiatik, dan anda mungkin menipu seorang atau dua orang pembeli; tetapi begitu penipuan itu ketahuan, maka yang anda sebut cashmere Asiatik itu akan jatuh harganya ke cashmere Perancis. Ketika ia memasang label palsu atas emas dan perak, Raja Philip hanya berhasil menipu selama penipuan itu tidak ketahuan orang. Seperti halnya pedagang (toko) lainnya, ia telah menipu pelanggannya dengan memberikan uraian palsu bagi barang-barangnya, yang tentu saja tidak bisa berlangsung selamanya. Ia –mau-tidak-mau lambat atau cepat akan menderita keketatan hukum-hukum perdagangan. Inikah yang hendak dibuktikan oleh M. Proudhon? Tidak. Menurut M. Proudhon, adalah dari sang raja dan bukan dari perdagangan bahwa uang itu mendapatkan nilainya. Dan apakah yang sebenarnya telah dibuktikannya? Bahwa perdagangan itu lebih berdaultan daripada sang raja. Biarlah sang raja mendekritkan bahwa satu mark di waktu mendatang menjadi dua mark, perdagangan akan tetap mengatakan bahwa dua mark ini tidak berharga lebih daripada satu mark yang sebelumnya itu.

 

M. Proudhon melanjutkan:

 

“Haruslah diingat bahwa, apabila –sebagai gantinya menghancurkan mata-uang, telah berada dalam kekuasaan sang raja untuk melipat-gandakan jumlah banyaknya, maka nilai tukar emas dan perak akan segera jatuh dengan separohnya, selalu karena sebab/alasan proporsi dan ekuilibrium.” [I 71]

 

Apabila pendapat ini, yang dimiliki M. Proudhon bersama para ahli ekonomi lainnya, sahih adanya, maka itu berargumentasi secara menguntungkan doktrin yang disebut belakangan mengenai persediaan dan permintaan, dan sama sekali tidak menguntungkan bagi (doktrin) proporsionalitas M. Proudhon. Karena, berapapun kuantitas kerja yang terwujudkan dalam jumlah banyak emas dan perak, nilainya mesti jatuh dengan separohnya, karena permintaan tetap sama sedangkan persediaannya telah berlipat ganda. Atau dapatkah, secara kebetulan, “hukum proporsionalitas” telah dikacaukan kali ini dengan hukum persediaan dan permintaan yang begitu diremehkan? Proporsi M. Proudhon yang benar ini demikian elastiknya, begitu mampu bervariasi, berkombinasi dan berpermutasdi demikian banyaknya, sehingga ia mungkin saja bertepatan sekali ini dengan hubungan antara persediaan dan permintaan.

 

Menjadikan setiap barang-dagangan dapat diterima di dalam pertukaran, jika tidak dalam prakteknya, maka sekurang-kurangnya berdasarkan hak, atas dasar peranan emas dan perak adalah, karenanya, salah-memahami peranan ini. Emas dan perak menjadi dapat diterima berdasarkan hak hanyalah karena mereka dapat diterima dalam praktek; dan mereka dapat diterima dalam praktek karena organisasi produksi dewasa ini membutuhkan suatu medium pertukaran yang universal. Hak itu hanyalah pengakuan resmi atas kenyataan.

 

Kita telah melihat bahwa contoh uang sebagai suatu penerapan nilai yang telah mencapai pembentukan telah dipilih oleh M. Proudhon hanya untuk menyelinap lewat seluruh doktrin dapat-dipertukarkan (layak pertukaran) itu, yaitu, untuk membuktikan bahwa setiap barangdagangan yang dinilai berdasar ongkos produksinya mesti mencapai status (sebagai) uang. Semua ini akan sangat baik-baik saja, seandainya tidak terganjal oleh kenyataan yang ganjil, bahwa justru emas dan perak, sebagai uang, adalah dari semua barang-dagangan satu-satunya yang tidak ditentukan oleh ongkos produksinya; dan ini sedemikian benarnya, sehingga dalam peredaran mereka itu dapat digantikan denan kertas. Selama dapat diamati suatu proporsi tertentu antara keperluan-keperluan peredaran dan jumlah uang yang diterbitkan, baik itu uang kertas, emas, platinum atau tembaga, maka tiada yang dinamakan suatu proporsi yang dapat dilihat antara nilai kandungan (ongkos produksi) dan nilai nominal dari uang. Tak pelak lagi, dalam perdagangan internasional, uang ditentukan, seperti barang-barang dagangan lainnya, oleh waktu kerja. Tetapi juga benar bahwa emas dan perak dalam perdagangan internasional adalah alat-alat pertukaran sebagai produk-produk dan tidak sebagai uang. Dengan lain kata-kata, mereka kehilangan karakteristik “kestablian dan otentisitas,” karakteristik “pentahbisan kuasa-berdaulat,” yang, bagi M. Proudhon, merupakan karakteristik khusus mereka. Ricardo memahami kebenaran ini sedemikian baiknya, sehingga, setelah mendasarkan seluruh sistemnya mengenai nilai ditentukan oleh waktu kerja, dan setelah mengatakan: “Emas dan perak, seperti barang-dagangan lainnya, hanyalah bernilai dalam proporsi dengan kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksi mereka, dan membawa mereka ke pasar,” ia toh menambahkan, bahwa nilai “uang” tidaklah ditentukan oleh waktu kerja yang diujudkan oleh substansinya, tetapi oleh hukum persediaan dan permintaan saja.

 

“Sekalipun ia (uang kertas) tidak mempunyai nilai intrinsik (kandungan), namun, dengan membatasi kuantitasnya, nilainya dalam pertukaran adalah sama besarnya seperti suatu denominsi mata uang yang setara, atau jumlah lantakan dalam mata-uang itu. Berdasarkan azas yang sama, juga, yaitu dengan membatasi kuantitasnya, mata-uang yang ‘dirusak harganya’ akan beredar pada

nilai yang ditanggungnya, jika ia dari bobot dan kehalusan yang resmi, dan tidak pada nilai kuantitas liogam yang secara aktual dikandungnya. Dalam sejarah permata-uangan Inggris kita mendapatkan, sesuai denan itu, bahwa mata uang tidak pernah didepresiasi (dikurangi nilainya) dalam proporwsi yang sama dengan mana ia dirusak-nilainya (dijatuhkan-nilainya); yang sebabnya adalah, bahwa ia tidak pernah ditingkatkan dalam kuantitasnya, dalam proporsinya dengan nilai kandungannya yang berkurang.” (Ricardo, loc.cit. [hal.206-207])

 

Inilah yang dinyatakan J.B.Say mengenai pasase Ricardo itu:

 

“Kupikir contoh ini mestinya mencukup, untuk meyakinkan sang pengarang bahwa basis dari semua nilai bukanlah jumlah kerja yang diperlukan untuk membuat sebuah barang-dagangan, tetapi kebutuhan yang dirasakan bagi barang-dagangan itu, diseimbangkan dengan kelangkaannya.”[22]

 

Dengan demikian uang itu, yang bagi Ricardo tidak lagi sebuah nilai yang ditentukan oleh waktu kerja, dan yang oleh karenanya dipakai sebagai contoh J.B. Say untuk meyakinkan Ricardo bahwa nilai-nilai lainnya tidak dapat ditentukan oleh waktu kerja juga, uang ini, kataku, yang dipakai oleh J.B. Say sebagai sebuah contoh dari suatu nilai yang ditentukan secara khusus oleh persediaan dan permintaan, bagi M. Proudon menjadilah contoh par exellence bagi penerapan nilai bentukan ... dengan waktu kerja.

 

Sebagai kesimpulan, jika uang bukan suatu nilai yang “dibentuk” oleh waktu kerja, maka semakin kecil kemungkinannya ia mempunyai kesamaan apapun dengan “proporsi” benarnya M. Proudon. Emas dan perak senantiasa dapat dipertukarkan, karena mereka mempunyai fungsi khusus untuk berlaku sebagai agen pertukarang universal, dan sama sekali bukan karena mereka ada dalam suatu kuantitas yang proporsional dengan jumlah toal kekayaan; atau, untuk lebih tepatnya, mereka selalu proporsional karena, sendiri dari semua barang-dagangan (lainnya mereka itu berlaku sebagai uang, agen pertukarang universal, berapapun kuantitas mereka dalam hubungan dengan jumlah total kekayaan. “Suatu peredaran tidak akan mungkin sedemikian berlebihan hingga sampai melimpah-ruah; karena dengan berkurang nilainya, dalam proporsi yang sama dengan nilainya, berkurang pula kuantitasnya.” [II 205]

 

“Betapa kacau-balau (imbroglio) ekonomi politik ini!” Teriak M. Proudhon [I 72]

 

Emas terkutuk! Teriak seorang Komunis dengan lancang-mulut (lewat mulut M. Proudhon). Orang sama saja mengatakan: Daging terkutuk, anggur terkutuk, domba terkutuk! – karena presis seperti emas dan perak, “setiap nilai komersial mesta mencapai ketentuan tepatnya secara ketat.” [I 73]

 

Gagasan membuat domba dan anggur mencapai status uang, tidaklah baru. Di Perancis itu termasuk pada samannya Louis XIV. Pada periode itu, dengan uang yang mulai menegakkan ke-maha-kuasaannya, depresiasi semua barang-dagangan lainnya telah dikeluhkan, dan waktu ketika “setiap nilai komersial” dapat memperoleh ketentuan tepatnya secara ketat, status uang, sedang dengan bersemangat dibangkitkan. Bahkan dalam tulisan-tulisan Boisguillenbert, salah seorang ahli ekonomi Perancis tertua, kita menjumpai: “Maka uang, dengan kedatangan pesaing yang tiada terhitung banyaknya dalam bentuk barang-barang dagangan itu sendiri, ditegakkan kembali dalam nila-inilai mereka yang sebenarnya, akan didesak kembali ke dalam batas-batas wajarnya.” (Economistes financiers du dix-huitieme siecle, edisi Daire, hal. 422.)

 

Dapatlah disaksikan, bahwa ilusi-ilusi pertama dari borjuasi adalah juga yang terakhir……

 

B. Kerja Lebih ( surplus labour)

 

“Dalam karya-karya ekonomi politik kita membaca hipotesis konyol ini: ‘Jika harga segala sesuatu dilipat-gandakan ...’ Seakan-akan harga segala sesuatu itu bukan proporsi barang-barang – dan seorang dapat melipat-gandakan suatu proporsi, suatu hubungan, suatu undang-undang!” (Proudhon, Vol.I, hal.81)

 

Para ahli ekonomi telah terjerembab dalam kesalahan ini karena tidak mengetahui bagaimana penerapkan “hukum proporsionalitas” dan “nilai bentukan.”

 

Celakanya dalam karya yang sama itu juga –oleh M. Proudhon– vol.I, hal. 110, kita membaca hipotesis yang konyol bahwa, “jika upah naik secara umum, maka harga segala seuatu akan naik (pula).” Lebih jauh, jika kita menjumpai kalimat bersangkutan itu dalam karya-karya mengenai ekonomi politik, maka kita juga mendapatkan penjelasan mengenai hal itu. “Manakala orang berbicara tentang harga semua barang-dagangan naik atau tureun, orang selalu mengecualikan sesuatu barang-dagangan. Barang-dagangan yang dikecualikan itu adalah, pada umumnya, uang atau kerja.” (Encyclopaedia Metropolitana ator Universal Dictionary of Knowledge, Vol. IV, “Article Political Economy,” oleh Senior,[23] London 1836. Mengenai kalimat yang didiskusikan itu, lihat juga J. St. Mill: Essays on Some Unsettled Questions of Political Economy, London 1844, dan Tooke: A History of Prices, etc., London 1838.[24]

 

Mari kita sekarang beralih pada “penerapan kedua” dari “nilai bentukan,” dan proporsi-proporsi lainnya, yang cacad satu-satunya mereka adalah justru ketiadaan proporsi. Dan mari kita melihat apakah M. Proudhon disini lebih bahagia daripada dalam monetisasi domba (menjadikan domba berstatus sebagai uang).

 

“Sebuah aksioma yang umum diakui oleh para ahli ekonomi adalah bahwa semua kerja mesti meninggalkan suatu surplus. Menurut pendapatku proposisi ini bersifat universal dan sepenuhnya benar: ia merupakan korolari/akibat dari hukum proporsi, yang dapat dipandang sebagai ringkasan dari keseluruhan ilmu ekonomi. Tetapi, jika para ahli ekonomi memperkenankan saya mengatakannya, maka azas bahwa semua kerja mesti meninggalkan suatu surplus adalah tidak ada artinya menurut teori mereka, dan tidak juga dapat didemonstrasikan dengan cara apapun.” (Proudhon [I 73])

 

Untuk membuktikan bahwa semua kerja mesti meninggalkan suatu surplus, M. Proudhon mempribadikan masyarakat; ia mengubahnya menjadi “person,” “Masyarakat” – sebuah masyarakat yang sama sekali sebuah masyarakat person-person, karena ia mempunhai hukum-hukumnya sendiri, yang sama sekali tidak mempunyai kesamaan apapun dengan person-person yang menjadi komposisi masyarakat itu, dan memiliki “inteligensinya sendiri,” yang bukan inteligensi orang biasa, melainkan suatu inteligensi yang tanpa akal-sehat. M. Proudhon mencela para ahli ekonomi karena tidak memahami personalitas mahkluk kolektif ini. Kita dengan gembira mengkonfrontasikan M. Proudhon dengan pasase berikut ini dari seorang ahli ekonomi Amerika, yang menuduh para ahli ekonomi atas kesalahan yang justru sebalikanya:

 

“Keutuhan moral – mahkluk gramatikal yang disebut suatu nasion, padanya telah dikenakan atribut-atribut yang tidak memiliki keberadaan nyata kecuali dalam imajinasi mereka-mereka yang memetamorfosis sebuah kata menjadi sebuah benda ... Ini telah menimbulkan banyak kesulitan dan salah-pengertian yang tercela dalam ekonomi politik.” (Th. Cooper, Lectures on the Elements

of Political Economy, Columbia 1826.[25])

 

“Prinsip kerja surplus ini,” demikian M. Proudhon melanjutkan, “benar adanya bagi individual-individual semata-mata karena ia memancar dari masyarakat, yang dengan demikian mengalihkan pada mereka itu kemujuran akan hukum-hukumnya sendiri.” [I 75]

 

Apakah dengan itu M. Proudhon hanya memaksudkan bahwa produksi individual sosial itu melampaui produksi dari individual yang tersendiri/terisolasi? Adakah M. Proudhon merujuk pada ekses produksi individuindividu yang bergabung melebih produksi individu-individu yang tidak bergabung? Jika benar begitu, maka kita dapat menyebutkan baginya seratus ahli ekonomi yang telah menyatakan kebenaran sederhana ini tanpa sedikitpun mistisisme yang dengannya M. Proudhon mengelilingi dirinya. Inilah, misalnya, yang dikatakan oleh Mr. Sadler:

 

Kerja terpadu membuahkan hasil-hasil yang tidak pernah dapat dicapai oleh ikhtiar individual. Karena umat-manusia, karenanya, berlipat ganda dalam jumlah, produk-produk industri terpadu bersama- sama akan sangat, sangat melampaui jumlah penjumlahan yang dikalkulasi secara aritmetikal semata-mata mengenai pertambahan seperti itu ... Di dalam ilmu mekanikal, seperti halnya dalam ikhtiar-ikhtiar ilmu pengetahuan, seseorang dapat mencapai lebih dalam sehari ... daripada seorang individual ... seorang diri ... dapat melakukannya selama seluruh hidupnya ... Geometri mengatakan ... bahwa yang keseluruhan hanya sama dengan jumlah semua bagiannya; sebagaimana diterapkan pada subjek di hadapan kita, aksioma ini akan palsu jadinya. Mengenai kerja, pilar utama dari eksistensi manusia, dapat dikatakan bahwa seluruh produk usaha terpadu hampir secara tidak terbatas melampaui yang dapat/mungkin dihasilkan oleh semua usaha individual dan yang tak-berkaitan satu-sama-lainnya. (T. Sadler, The Law of Population, London 1830. [26] )

 

Untuk kembali pada M. Proudhon. Kerja surplus, katanya, dijelaskan oleh person itu, Maryarakat. Kehidupan p[erson ini dipandu oleh undang-undang, berlawanan dengan yang mengatur kegiatan-kegiatan manusia sebagai seorang individu. Ia berhasrat membuktikan hal ini dengan “fakta.”

 

Penemuan suatu proses ekonomi tidak akan pernah memberikan sang penemu suatu keuntungan/laba yang menyamai yang ia dapatkan untuk masyarakat ... Ada yang menyatakan, bahwa perusahaan-perusahaan perkereta-apian kurang merupakan sumber kekayaan bagi para kontraktornya daripada bagi negara ... Ongkos transportasi barang-barang dagangan lewat jalan raya adalah 18 sentim per ton per kilometer, dari pengumpulan barang hingga penyerahannya. Telah dikalkulasi, bahwa pada tingkat ini, sebuah perusahaan perkereta-apian biasa tidak akan memperoleh 10% laba bersih, sebuah hasil yang kurang-lebih sama dengan yang didapatkan sebuah perusahaan transport jalan raya. Tetapi, mari kita andaikan bahwa kecepatan transportasi di atas ril jika dibandingkan dengan transportasi jalan raya adalah 4 : 1. Karena dalam masyarakat waktu itu adalah nilai itu sendiri, maka perkereta-apian akan, dengan harga-harga disamakan, mempersembahkan suatu keuntungan sebesar 400 persen di atas transportasi jalan raya. Namun keuntungan luar-biasa ini, yang adalah sangat nyata bagi masyarakat, jauh daripada disadsari dalam proporsi yang sama bagi pengangkut barang, yang, sambil menghadiahkan suatu nilai ekstra sebesar 400%, bagi bagian dirinya sendiri tidak menarik 10%. Agar masalah ini dipahami secara lebih tepat, marilah kita andaikan, dalam kenyataan, bahwa perkereta-apian menaikkan ongkosnya menjadi 25 sentim, sedang ongkos transport jalan raya tetap 18 sentim: ia akan seketika kehilangan semua muatannya. Para pengirim, para penerima, semua orang akan kembali pada kendaraan van, bahkan kalau perlu kembali pada kereta primitif. Lokomotif akan ditinggalkan. Suatu keuntungan sosial sebesar 400% akan dikorbankan bagi suatu kerugian partikelir yang sebesar 35%. Sebabnya mudah ditangkap: keuntungan berupa kecepatan perkereta-apian adalah sepenuhnya bersifat sosial, dan setiap peserta individual di dalamnya hanya dalam proporsi kecil k(harus diingat, bahwa pada saat itu kita berurusan hanya dengan transportasi barang), sedantgkan kerugikan menghantam para konsumer secara langsung dan secara personal. Suatu keuntungan sosial yang menyamai 400 bagi sang individu mewakili, –jika masyarakat itu hanya terdiri atas satu juta orang– empat-per-sepuluh-ribu; sedangkan suatu kerugian sebesar 33% bagi konsumer akan mengandaikan suatu defisit sosial sebesar 33 juta. (Proudhon [I 75, 76])

 

Sekarang kita bahkan dapat mengabaikan kenyataan bahwa M. Proudhon menyatakan suatu kecepatan yang diempat-kalikan sebagai 400 persen dari kecepatan aslinya; tetapi bahwa ia menghubungkan persentase kecepatan dan persentase keuntungan dan menetapkan suatu proporsi antara duia hubungan yang, sekalipun diukur secara terpisah/sendiri-sendiri dengan persentase, namun adalah tidak dapat diperbandingkan satu sama lainnya, adalah menentukan suatu proporsi antara persentase-persentase tanpa rujukan pada denominasi-denominasi.

 

Persentase-persentase tetaplah persentase-persentase, 10 persen dan 400 persen dapat diperbandingkan; mereka satu-sama-lain adalah sebagai 10 terhadap 400. Karenanya, demikian M. Proudhon menyimpulkan, suatu keuntungan sebesar 10% bernilai 40 kali lebih kecil daripada suatu kecepatan yang di-empat-kalikan.

 

Agar tidak kehilangan muka, ia mengatakan bahwa, bagi masyarakat, waktu adalah uang. Kesalahanm ini timbul dari ingatannya yang samara-samar bahwa terdapat suatu hubungan antara nilai dan waktu kerja, dan ia buru-buru mengidentifikasi waktu kerja dengan waktu transportasi; yaitu, ia mengidentifikasikan beberapa orang pemadam kebakaran, pengemudi dan lain-lainnya, yang waktu kerjanya memang benar-benar waktu transport, dengan seluruh masyarakat. Dengan demikian, dengan sekali-pukul, kecepatan telah menjadi modal, dan dalam kasus ini ia sepenuhnya benar dalam pernyataannya: “Suatu laba sebesar 400% akan dikorbankan pada suatu kerugian sebesar 35%.”

 

Setelah membuktikan proposisi ganjil ini sebagai seorang ahli matematika, ia memberikan penjelasan mengenai itu pada kita sebagai seorang ahli ekonomi.

 

Suatu keuntungan sosial yang menyamai 400 bagi seorang individu mewakili, dalam sebuah masyarakat yang terdiri atas hanya sejuta orang, empat-per-sepuluh-ribu. OK; tetapi kita berurusan bukan dengan 400, tetapi dengan 400 persen, dan suatu keuntungan sebesar 400% bagi seorang individu mewakili 400, tidak pernah lebih atau kurang. Bagaimanapun modalnya, dividen-dividen akan selalu dalam rasio 400%. Apa yang dilakukan oleh M. Proudhon? Ia mencampur-adukkan persentase-persentase itu dengan modal, dan, sepertinya ia takut tidak cukup jelas dengan kebingungannya itu, tidak cukup tajam, ia melanjutkan:

 

“Suatu kerugian sebesar 33% bagi konsumer akan menandaikan suatu defisit sosial sebesar 33 juta.” Suatu kerugian sebesar 33% bagi sang konsumer tetaplah suatu kerugian sebesar 33% bagui sejuta konsumer. Lalu, bagaimana bisanya M. Proudhon dengan ngotot menyatakan bahwa defisit sosial dalam kasus suatu kerugian sebesar 33% adalah 33 juta besarnya, padahal ia tidak mengetahui modal sosial ataupun bahkan modal dari seorang saja dari orang-orang bersangkutan? Demikian ternyata bahwa M. Proudhon tidak hanya mengacaukan “modal” dengan “persentase”; ia melampaui dirinya sendiri dengan mengidentifikasikan “modal” yang ditanam dalam sebuah perusahaan dengan “jumlah” pihak-pihak yang berkepentingan.

 

Untuk menandaskan masalahnya secara lebih tajam lagi, masrilah kita mengandaikan secara sungguh-sungguh suatu modal tertentu. Suatu keuntungan sebesar 400% dibagi di antara sejuta peserta, masing-masing dari mereka berkepentingan hingga satu franc, akan memberikan keuntungan 4 franc per kepala – dan bukannya 0.0004, seperti yang dikatakan M. Proudhon. Demikian pula suatu kerugian sebesar 33% bagi setiap peserta mewakili suatu defisit sosial sebesar 330.000 franc dan bukannya 33 juta (100:33=1.000.000:330.000).

 

M. Proudhon begitu disibukkan dengan teorinya mengenai person, yaitu Masyarakat itu, lupa untuk membaginya dengan 100, yang menghasilkan suatu kerugian sebesar 330.000 franc; tetapi 4 franc laba per kepala menjadikannya 4 juta franc keuntungan bagi masyarakat. Perhitungan secarmat-cermatnya ini membuktikan justru kebalikan dari yang hendak dibuktikan oleh M. Proudhon: yaitu, bahwa laba-laba dan kerugian-kerugian masyarakat tidaklah berada dalam rasio terbalik dengan laba-laba dan kerugian-kerugian para individu.

 

Setelah membetulkan kesalahan-kesalahan sederhana dalam perhitungan semurninya ini, mari kita melihat akibat-akibatnya yang akan dialami, jika kita menakui hubungan antara kecepatan dan modal dalam kasus perkereta-apian, sebagaimana yang dipaparkan oleh M. Proudhon – menius kesalahan-kesalahan dalam kalkulasi itu. Mari kita mengandaikan bahwa suatu transportasi yang empat kali lipat kecepatannya ongkosnya adalah empat kali lipat (pula); transportasi ini tidak akan mendapatkan keuntungan yang kurang daripada pengangkutan jalan raya, yang adalah empat kali lebih lamban dan ongkosnya seperempat kali jumlah di atas. Demikian, jika transportasi jalan raya ongkosnya 18 sentim, transportasi kereta-api dapatlah menjadi 72 sentim. Inilah yang akan menjadi – berdasarkan ketatnya matematika” – akibat dari suposisi-suposisi M. Proudhon, tentu dengan selalu minus kesalahan-kesalahannya dalam kalkulasi. Tetapi , di sini ia mendadak sontak mengatakan pada kita bahwa, jika gantinya 72 sentim itu, pengangkutan dengan kereta-api Cuma 25 sentim, maka perkereta-apian itu akan dkehilangan seluruh pelanggannya. Sudah pasti kita akan harus kembali pada kendaraan van, hbahkan pada kendaraan primitif! Hanya, kalau kita ada nasehat untuk diberikan pada M. Proudhon, agar jangan dilupakan dalam Programme of the Progressive Association-nya, untuk membagi dengan 100! Tetapi, yah! Nyaris tidak dapat diharapkan bahwa nasehat kita akan didengar, karena M. Proudhon begitu terpesona oleh kalkulasi “progresif”-nya, yang sesuai dengan “asosiasi progresif” itu, sehingga ia dengan sangat penuh empati berseru: “Telah kutunjukkan dalam Bab II, dengan pemecahan antinomi nilai, bahwa keuntungan setiap penemuan yang berguna adalah sangat kurang bagi penemunya, apapun yang diperbuatnya, jika dibandingkan dengan keuntungan bagi masyarakat.. Telah kubawa peragaan mengenai hal ini hingga ‘keketatan ilmu matematika!’”

 

Mari kita kembali pada kisah person itu, Masyarakat, sebuah kisah yang tidak bertujuan lain kecuali pembuktian kebenaran sederhana ini – bahwa suatu penemuan baru yang memungkinkan suatu jumlah kerja tertentu memproduksi sejumlah lebih banyak barang-dagangan , menurunkan nilai pemasaran produk itu. Jadi, Masyarakat membuat suatu laba, bukannya dengan mendapatkan lebih banyak nilai tukar, tetapi dengan mendapatkan lebih banyak barang-dagangan untuk nilai yang sama. Sedangkan bagi sang penemu, persaingan membuat keuntungannya jatuh secara berturut-turut ke tingkat umum laba-laba. Sudahkah M. Proudhon membuktikan proposisinya ini seperti yang dikehendakinya? Tidak. Ini tidak mencegahnya menegur/menyesalkan para ahli ekonomi karena telah gagal untuk membuktikannya. Untuk membuktikan yang sebaliknya pada M. Proudhon, yaitu bahwa para ahli ekonomi itu telah membuktikannya, kita akan mengutib saja Ricardo dan Lauderdale – Ricardo, kepala ajaranan yang menentukan nilai dengan waktu kerja, dan Lauderdale, salah seorang pembela yang paling tidak mengenal kompromi dari penentuan nilai dengan persediaan dan permintaan. Kedua-duanya telah menguraikan proposisi yang sama:

 

Dengan terus-menrerus meningkatkan fasilitas produksi, kita terus-menerus mengurangi nilai dari beberapa barang-dagangan sebelum produksinya, sekalipun dengan cara-cara yang sama kita tidak saja menambah kekayaan nasional, melainkjan juga menambah kekuatan produksi di masa depan ... Secepat dengan bantuan mesin, atau dengan pengetahuan mengenai filsafat alam, orang mewajibkan agen-agen alamiah melakukan pekerja yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, maka nilai yang dapat dipertukarkan pekerja seperti itu ikut jatuh secara bersesuaian. Jika sepuluh orang memutar sebuah penggilingan gandum, dan ditemukan bahwa dengan bantuan angin, atau bantuan air, kerja dari sepuluh orang itu dapat dihemat, maka gandum yang sebagian dihasilkan oleh pekerjaan yang dilakukan oleh penggilingan itu, akan segera jatuh dalam nilainya, dalam proporsi pada kuantitas kerja yang dihemat; dan masyarakat akan menjadi lebih kaya dengan barang-barang dagangan yang dapat dihasilkan oleh kerja sepuluh orang tadi, dan danadananya yang diperuntukkan bagi perawatan mereka sama sekali tidak diganggu oleh karenanya. (Ricardo [II 59])

 

Lauderdale, pada gilirannya, mengatakan:

 

Pada setiap kesempatan, ketika modal dikerjakan sedemikian rupa untuk menghasilkan suatu keuntungan, itu secara seragam lahir, atau – karena ia menggantikan sebagian kerja, yang mestinya bisa dilakukan oleh tangan manusia; atau – karena dilakukannya sebagian kerja, yang berada di luar jangkauan pengerahan manusia secara personal untuk melaksanakannya. Keuntungan yang kecil, yang lazimnya diperoleh ioleh para pemilik mesin, jika dibandingkan dengan upah-iupah kerja, yang digantikan oleh mesin, mungkin akan menciptakan kecurigaan mengenai kebenaran pendapat ini. Sejumlah mesin pemadang kebakaran, misalnya, menyedot lebih banyak air dari sebuah sumur batu-bara dalam sehari, daripada yang dapat diangkut oleh bahu-bahu tiga ratus orang, bahkan yang dibantu dengan ember-ember; dan sebuah mesin-pemadam kebakaran tak disangsikan lagi melakukan kerjanya dengan biaya yang jauh lebih kecil daripada jumlah upahupah mereka yang kerjanya digantikannya. Inilah, sebenarnya, kenyataannya dengan semua permesinan. Semua mesin mesti melaksanakan kerja yang sebelumnya dilakukan dengan lebih murah daripada yang dapat dikerjakan dengan tangan manusia ... Jika privilese seperti itu diberikan bagi penemuan sebuah mesin, yang melakukan, dengan kerja seorang saja, suatu kuantitas kerja yang biasanya memerlukan kerja empat orang; apabila pemilikan privilese mencegah segala persaingan dalam melakukan pekerjaan itu, kecuali yang dihasilkan oleh kerja para pekerja, upah-upah mereka, selama patennya berkelanjutan, jelas mesti merupakan ukuran dari tuntutan sang pemegang paten; yaitu untuk menjamin pekerjaan, ia cuma mesti menuntut sedikit kurang daripada upah-upah kerja yang digantikan oleh mesin itu. Tetapi jika paten itu habis waktu berlakunya, mesin-mesin lain yang bersifat sama disertakan ke dalam persaingan; maka tuntutannya itu mesti diatur berdasarkan azas yang sama seperti nbagi semua lainnya, sesuai dengan berlimpahnya mesin-mesin itu ... Keuntungan dari modal yang dipakai (ditanam) ..., sekalipun ia lahir dari menggantikan tenaga kerja, mesti diatur, bukan lewat nilai kerja yang digantikannya, tetapi – seperti dalam semua kasus lainnya – lewat persaingan di antara para pemilik modal; dan besar atau kecilnya akan dalam proporsi dengan kuantitas modal yang mewakilinya dalam melaksanakan tugas itu, dan permintaan akannya. [hal.119, 123, 124, 125, 134]

 

Maka, akhirnya, selama laba itu lebih besar daripada dalam industri-industri lainnya, modal akan menyerbu ke dalam industri baru itu, sampai tingkat laba jatuh ke tingkat yang umum.

 

Kita baru saja telah menyaksikan bahwa contoh dari perkereta-apian nyaris tidak cocok untuk memberi kejelasan pada kisahnya mengenai person, Masyarakat itu. Namun begitu, M, Proudhon dengan nekad meneruskan uraiannya: “Dengan soal-soal ini menjadi jelas, tidak ada yang lebih mudah daripada menjelaskan bagaimana kerja mesti meninggalkan suatu surplus bagi setiap produser.” [I 77]

 

Yang berikut ini termasuk pada kepurbaan klasik. Ia adalah sebuah naratif puitik yang dimaksud untuk menyegarkan kembali sang pembaca setelah kelelahan mencekam dirinya diakibatkan keketatan peragaan matematikal. M. Proudhon memberikan pada person itu, Masyarakat, nama Prometheus, yang perbuatan-perbuatan besarnya diagungagungkannya dalam istilah-istilah berikut ini:

 

Pertama-tama sekali, Prometheus muncul dari lubuk alam bangun dalam kehidupan, dalam suatu kelembaman mempesona, dsb. dsb. Prometheus mulai bekerja, dan pada hari pertama ini, hari pertama dari penciptaan kedua, produk Prometheus, yaitu, kekayaannya, kesejahteraannya, sama dengan sepuluh. Pada hari kedua, Prometheus membagi kerjanya, dan produknya menjadi sama dengan seratus. Pada hari ketiga dan pada setiap hari di hari-hari berikutnya, Prometheus merancang mesin-mesin, menemukan utilitas-utilitas baru dalam badan-badan, kekuatan-kekuatan baru dalam alam ... Dengan setiap langkah aktivitas industrialnya, terdapat suatu peningkatan dalam jumlah produk-produknya, yang menandakan suatu peningkatan kebahagiaan bagi dirinya. Dan karena, betapapun, berkomsumsi baginya adal;ah berproduksi, menjadi jelaslah bahwa konsumsi setiap hari, dengan hanya menghabiskan produik dari hari sebelumnya, meninggalkan suatu produk surplus bagi hari berikutnya. [I 77-78]

 

Prometheusnya M. Proudhon ini memang suatu watak yang aneh, sama lemahnya dalam logika seperti dalam ekonomi politik. Selama Prometheus itu Cuma mengajarkan pada kita mengenai pembagian kerja,penerapan mesin-mesin, eksploitasi daya alam dan daya ilmu pengetahuan, menggandakan tenaga manusia dan memberikan suatu surplus dibandingkan dengan produksi kerja dalam keterpencilan, maka Prometheus baru ini mempunyai satu kekurangan saja, yaitu datangnya terlalu terlambat. Begitu saatnya Prometheus mulai berbicara tentang produksi dan konsumsi, ia menjadi sungguh-sungguh konyol. Berkonsumsi, baginya, adalah berproduksi; ia mengonsumsi hari berikutnya yang diproduksinya pada hari sebelumnya, sehingga ia selalu satu hari di depan; hari di depan itu adalah “kerja surplusnya.” Tetapi, apabila ia mengonsumsi pada hario berikut yuang ia produksi pada hari sebelumnya, ia mesti, pada hari pertama yang tiada hari sebelumnya, telah melakukan kerja dua hari atgar bisa –kemudian– satu hari di depan. Bagaimana Prometheus mendapatkan surplus ini pada hari pertama ketika beluym ada baik pembagian kerja maupun mesin, bahkan juga tiada pengetahuan apapun mengenai daya-daya fisikal kecuali api? Demikian pertanyaa, dengan segala penjejakan-kembalinya pada “hari pertama atau penciptaan kedua,” tidak ada kemajuan selangkah tunggal pun.. Cara menjelaskan hal-hal seperti itu mengesankan Yunani dan mengesankan Hebrew, ia sekaligus mistikal dan alegorikal. Ia memberikan pada M. Proudhon hak sempurna untuk berkata: “Telah kubuktikan secara teori dan dengan fakta azas bahwa semua kerja mesti meninggalkan suatu surplus.”

 

“Fakta” itu adalah kalkulasi progresif yang termashur itu; teori itu adalah mitos Prometheus.

 

Tetapi, demikian M. Proudon melanjutkan, azas ini, sementara telah pasti sebagai sebuah proposisi aritmetikal, masih jauh daripada disadari oleh setiap orang. Sedangkan, dengan kemajuan industri kolektif, kerja individual setiap harinya memproduksi produk yang besar dan semakin besar, dan manakala karenanya, oleh suatu konsekuensi kemestian, si pekerja dengan upah yang sama mestinya menjadi lebih kaya setiap harinya, dalam kenyataan terdapatlah estat-estat dalam masyarakat yang berlaba dan lainnya yang membusuk (bangkrut). [I 79-80]

 

Di tahun 1770 penduduk Kerajaan Britania Raya adalah 15 juta, dan penduduk produktif adalah 3 juta. Daya produktif ilmiah menyampai kependudukan kira-kira lebih dari 12 juta individual. Karenanya, terdapatlah, seluruhnya, 15 juta tenaga produktif. Dengan demikian daya produktif baagi penduduk itu adalah 1 banding 1; dan daya ilmiah adalah 4 banding 1 bagi tenaga manual.

 

Di tahun 1840 penduduk itu tidak melebihi 30 juta: penduduk produktif adalah 6 juta. Tetapi daya ilmiah adalah sebesar 650 juta; yaitu, dalam perbandingan dengan seluruh penduduk adalah 21 : 1, dan pada tenaga manual adalah 108 banding 1.

 

Dalam masyarakat Inggris maka hari kerja telah mencapai –dalam tujuh puluh tahun– suatu surplus produktivitas sebesar 2.700%; yaitu, pada tahun 1840 ia telah memproduksi 27 kali banyaknya dari tahun 1770. Menurut M. Proudhdon, pertanyaan berikut ini yang harus diajukan: mengapa pekerja Inggris di tahun 1840 tidak dua puluh- tujuh kali lebih kaya daripada pekerja di tahun 1770? Dengan mengajukan sebuah pertanyaan seperti itu orang dengan sendirinya mengandaikan bahwa orang Inggris dapat memproduksi kekayaan ini tanpa kondisi-kondisi historis dalam mana ia berproduksi, sepertinya: akumulasi modal partikelir/perseorangan, pembagian kerja modern, pabrik-pabrik otomatik, anarki dalam persaingan, sistem pengupahan – seingkat, segala sesuatu yang didasarkan pada antagonisme klas. Padahal, itu semualah justru kondisi-kondisi yang diharuskan bagi keberadaan perkembangan tenaga-tenaga produksi dan kerja surplus. Karenanya, untuk mencapai perkembangan tenaga-tenaga produktif ini dan kerja surplus ini, haruslah ada klas-klas yang mendapatkan untung dan klas-klas yang merana.

 

Jadi, pada akhirnya, apakah Prometheus yang dibangkitkan kembali oleh M Proudhon ini? Ialah masyarakat, hubungan-hubungan sosial yang berdasarkan antagonisme klas. Hubungan-hubungan ini bukanlah hubungan-hubungan antara individu dengan individu, antara petani dan tuan tanah dsb. Hapuskan hubungan-hubungan ini dan anda melenyapkan seluruh masyarakat, dan Prometheus anda bukan apapun kecuali cuma jejadian tanpa lengan dan kaki; yaitui tanpa pabrik-pabrik otomatik, tanpa pembagian kerja – singkat kata, tanpa apapun yang anda berikankan padanya untuk memulai agar membuatnya memperoleh kerja surplus ini.

 

Jadi, kalau, di dalam teori adalah cukup untuk menafsirkan, seperti yang dilakukan M. Proudhon, perumusan kerja surplus dalam pengertian ekualitarian itu, tanpa memperhitungkan kondisi-kondisi produksi aktual, maka haruslah cukup, di dalam praktek, untuk membagikan secara merata di antara para pekerja, seluruh kekayaan yang diperoleh pada waktu sekarang, tanpa sedikitpun mengubah kondisi-kondisi produksi dewasa ini. Pembagian seperti itu sudah pasti tidak menyamikin suatu derajat kemudahan yang tinggi bagi para peserta idnvvidual.

 

Namun M. Poroudhon tidaklah sepesimistik yang orang duga. Karena proporsi itu segala-galanya bagi dirinya, ia mesti melihat pada Prometheusnya yang diperlengkapi dengan selengkap mungkin, yaitu, dalam masyarakat masa kini, permulaan-permulaan dari suatu realisasi ide kegemarannya itu.

 

Tetapi, di mana-mana juga, kemajuan/peningkatan kekayaan, yaitu proporsi nilai-nilai, merupakan hukum yang dominan; dan apapun para ahli ekonomi menghadapkan pada keluhan-keluhan partai sosial perkembangan progresif kekayaan publik itu, dan kondisi-kondisi yang membaik dari bahkan kelas-kelas yang palidng tifdak beruntung, maka mereka secara pandai dan cerdas telah menyatakan suatu kebenaran yang adalah pengutukan teori-teori mereka. [I 80]

 

Apakah sebenarnya kekayaan kolektif, keberuntungan publik itu? Ialah kekayaan kaum borjuis – bukan kekayaan masing-masing borjuis khususnya. Ya, para ahli ekonomi tidak berbuat apapun kecuali menunjukkan bagaimana, dalam hubungan-hubungan produksi yang berlaku, kekayaan borjuasi mesti bertumbuh dan mesti terus bertumbuh lebih lanjut. S3edangkan bagi kelas-kelas pekerja, masih menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah kondisi mereka telah membaik sebagai hasil peningkatan apa yang disebut kekayaan publik itu. Jika para ahli ekonomi, dalam mendukung optimisme mereka, menyebutkan contoh kaum pekerja Inggris yang bekerja dalam industri katun, mereka melihat keadaan yang tersebut belakangan itu hanya pada saat-saat langkah dari kemakmuran perdagangan. Saat-saat kemakmuran ini bagi periode-periode krisis dan kemacatan adalah dalam “proporsi yang benar” dari 3 banding 10. Tetapi mungkin jufga, dalam berbicara mengenai perbaikan, para ahli ekonomi sedang memikirkan jutaan kaum buruh yang harus merana di Hindia Timur agar memberikan pada sejuta setengah buruh yang bekerja di Inggris dalam industri yang sama, tiga tahun kemakmuran dari 10 tahun bekerja.

 

Sedangkan bagi pesertaan sementara dalam peningkatan kekayaan publik, itu adalah soal lain. Kenyataan mengenai pesertaan sementara dijelaskan oleh teori para ahli ekonomi. Yaitu konfirmasi/penguatan mengenai teori ini dan bukan “pengutukannya,” sebagaimana M. Proudhon menyebutkannya. Kalaupun ada sesuatu yang mesti dikutuk, itu pasti adalah sistem M. Proudhon, yang akan mereduksi si pekerja, sebagaimana terlah kita tunjukkan, pada upah minimum, walaupun terjadi peningkatan dalam kekayaan. Hanyalah dengan menurunkan kaum pekerja pada upah minimum ia dapat menerapkan proporsi nilai yang benar itu, dari “nilai bentukan” – dengan waktu kerja. Ialah karena upah-upah, sebagai akibat persaingan, berayun sebentar di atas, dan sebentar di bawah, harga makanan yuang diperlukan untuk keberlanjutan para pekerja, agar ia dapat ikut-serta sampai batas tertentu dalam pengembangkan kekayaan kolektif, dan dapat juga mampus karena kekurangan. Inilah seluruh teori para ahli akponomi yang tidak mempunyai ilusi apapun mengenai permasalahan ini.

 

Setelah penyimpangan-penyimpangan berkepanjangan dari pokok pembicaraan mengenai perkereta-apian, mengenai Prometheus, dan mengenai masyarakat baru yang mesti dibentuk kembali atas nilai bentukan, M. Proudhon sadar kembali; emosi melanda dirinya dan ia berseru dengan nada-nada kebapakan:

 

Aku menghimbau para ahli ekonomi untuk bertanya pada diri sendiri, untuk sesaat saja, dan dalam keheningan kalbu mereka – jauh dari prasangka-prasangka yang mengganggu mereka dan tanpa menghiraukan pekerjaan ang melibatkan mereka atau yang mereka harap memperolehnya, jauh dari kepentingan-kepentingan yang mereka abdi, atau pujian-pujian yang mereka hasratkan, jauh dari kehormatan-kehormatan yang menimang-nimang kekenesan mereka – biar mereka mengatakan apakah sebelum ini azas bahwa semua kerja mesti meninggalkan suatu surplus telah mereka lihat dengan rangkaian premis-premis dan konsekuensi-konsekuensi yang telah kita ungkapkan. [I 80]

 


[21] Marx mengutib satu bab dari karya Voltaire Histoire du parlement. Ini berjudul France in the Period of the Regency and Law’s System.

[22] Rujukannya yalah pada catatan Say mengenai edisi Perancis dari buku Ricardo, Vol.II, hal.206-207.

[23] Inisial Senior adalah N.W.

[24] Referensi yang tersebut belakangan secara penuh adalah: Th. Tooke: A History of Prices, and of the State of the Circulation, from 1793 to 1837. Vol.I-II, London, 1838.

[25] Edisi pertama buku itu telah diterbitkan di Colobia di tahun 1826. Suatu edisi kedua yang diperluas muncul di London di tahun 1831.

[26] Referensi sepenuhnya adalah:M. Th. Sadler, The Law of Population, Vol. I, London, 1830, hal.83 dan 84.