Kemiskinan Filsafat

Karl Marx (1847)


BAB II

METAFISIKA EKONOMI-POLITIK

3. Persaingan dan Monopoli

 

Sisi baik: "Persaingan Persaingan adalah sama esensialnya bagi kerja seperti bagi pembagian ... Ia diharus kan menjelang persamaan." [I 186, 188]

 

Sisi buruk: "Persaingan (Azasnya adalah negasi dirinya sendiri. Akibatnya yang paling pasti adalah menghancurkan semua yang diseret mengiringinya.)" [I 185]

 

Refleksi umum: "(Kekurangan-kekurangan yang mengikuti alurnya, presis seperti kebaikan yang menyertainya ... Keduanya mengalir secara logis dari azas itu. [I 185-186] (Mencari azas akomodasi, yang mesti ditarik dari suatu hukum yang mengungguli kemerdekaan itu sendiri." [I 185]

 

Masalah yang mesti dipecahkan:  "(Karenanya, di sini tidak ada persoalan mengenai penghancuran persaingan, sesuatu yang sama mustahilnya seperti menghancurkan kemerdekaan; kita Cuma perlu menemukan keseimbangannya, bisa juga ku katakan polisinya." [I 223]

                                               

M. Proudhon memulai dengan membela keharusan abadi akan persaingan terhadap pihak-pihak yang ingin menggantikannya dengan “emulasi” (usaha menandingi)*

 

Tiada yang disebut “emulasi tanpa tujuan ,” dan karena

 

“obyek setiap nafsu mau tidak mau adalah analog dengan nafsu itu sendiri – seorang wanita bagi sang kekasih. Kekuasaan bagi yang berambisi, emas bagi si kikir, untaian bunga bagi sang penyair – obyek dari emulasi industrial tidak bisa tidak adalah laba. Emulasi tidak lain dan tidak bukan adalah persaingan itu sendiri.” [I 187]

 

Persaingan adalah emulasi dengan bersasaran laba. Adakah emulasi industrial mau-tak-mau emulasi dengan berarahkan laba, yaitu persaingan? M. Proudhon membuktikannya dengan meneguhkannya. Kita telah melihat bahwa, baginya, meneguhkan adalah membuktikan, presis sebagaimana mengandaikan adalah menyangkal.

 

Apabila “obyek” langsung si kekasih adalah wanita, maka obyek langsung emulasi industrial adalah produknya dan bukan labanya.

 

Di zaman kita emulasi industrial hanya ada berkenaan dengan perdagangan. Bahkan terdapat tahapan-tahapan dalam kehidupan ekonomi nasion-nasion modern, ketika setiap orang dirasuki semacam kegilaan untuk membuat laba tanpa berproduksi. Kegilaan spekulasi ini, yang secara periodik berulang-terjadi, menelanjangi sifat sebenarnya dari persaingan, yang berusaha lolos dari kebutuhan akan emulasi industrial.

 

Jika anda memberitahukan pada seorang tukang abad ke XIV bahwa hak-hak istimewa ( privilese) dan seluruh organisasi feodal dari industri akan ditiadakan demi untuk emulasi industrial, yang disebut persaingan, maka ia akan menjawab bahwa hak-hak istimewa

 

berbagai korporasi, gilde dan persaudaraan adalah persaingan terorganisasi. M. Proudhon tidak melakukan perbaikan atas hal ini ketika ia meneguhkan bahwa

 

“emulasi tidak lain dan tidak bukan adalah persaingan itu sendiri. Dekritkan bahwa mulai tanggal 1 Januari, 18437, kerja dan upah akan dijamin bagi setiap orang; seketika suatu kelegaan luar-biasa akan mengantikan ketegangan tinggi industri itu.” [I 189]

 

Gantinya sebuah pengandaian, sebuah peneguhan dan sebuah negasi, kita kini mendapatkan sebuah dekrit yang sengaja dikeluarkan M. Proudhon untuk membuktikan keharusdan persaingan, kekekalannya sebagai suatu kategori dsb.

 

Jika kita membayangkan bahwa cuma dekrit-dekrit saya yang diperlukan untuk bisa bebas dari persaingan, maka kita tidak akan pernah bebas darinya. Dan apabila kita melangkah hingga sejauh menyarankan untuk menghapuskan persaingan sedangkan terus mempertahankan upah-upah, kita akan menyarankan omong-kosong belaka lewat dekrit kerajaan. Tetapi, nasion-nasion tidaklah berproses lewat dekrit kerajaan. Sebelum merancang maklumat-maklumat seperti itu, mereka paling tidak mesti mengubah kondisi-kondisi keberadaan industrial dan politik mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan secara konsekuen (juga) seluruh gaya keberadaannya.

 

M. Proudhon akan menjawab, dengan keyakinan yang tak sedikitpun goyah, bahwa itu adalah hipotesis mengenai “suatu transformasi sifat kita tanpa anteseden-anteseden historis,” dan bahwa ia akan benar dalam “mengucilkan kita dari diskusi itu,” tanpa kita mengetahui berdasarkan maklumat yang mana.

 

M. Proudhon tidak mengetahui bahwa semua sejarah tidak lain dan tidak bukan adalah suatu transformasi terus-menerus dari sifat manusia.

 

Mari kita berkukuh pada fakta. Revolusi Perancis adalah sama-sama demi kemerdekaan industrial seperti demi kemerdekaan poliotik dan sekalipun Perancis, di tahun 1789, tidak memahami – biarlah kita mengatakan ini secara terang-terangan– semua konsekuensi azas yang realisasinya dituntutnya, ia sama sekali tidak salah dalam keinginan-keinginan maupun dalam harapan-harapannya. Siapapun yang mencoba mengingkari ini, kehilangan –menurut pandanganku– hak untuk mengritik. Aku tidak akan pernah berselisih dengan seorang lawan yang menjadikan sebagai azasnya, kesalahan spontan dari duapuluh-lima juta orang ... Jadi, mengapakah, jika persaingan bukan satu azas dari ekonomi sosial, sebuah dekrit takdir, suatu keharusan roh manusia, mengapakah, gantinya menghapuskan korporasi-korporasi, gilde-gilde dan persaudaraan-persaudaraan, tidak seorangpun berpikiran untuk mereparasi/memperbaiki keseluruhan itu? [I 191, 192]

 

Maka, sejak orang Perancis abad ke XVIII menghapuskan korporasi-korporasi, gilde-gilde dan persaudaraan-persaudaraan dan bukannya memperbaikinya, orang Perancis abad ke XIX mesti memodifikasi/memperbaiki persaingan dan bukannya menghapus-kannya. Karena persaingan dinubuhkan (established) di Perancis pada abad ke XVIII sebagai buah kebutuhan-kebutuhan historis, maka persaingan ini jangan dihancurkan di abad ke XIX karrena kebutuhan-kebutuhan historis yang lain. M. Proudhon, yang tidak mengerti bahwa penubuhan persaingan itu pembawaan perkembangan aktual manusia abad ke XIX, menjadikan persaingan itu suatu keharusan “roh manusia, in partibus infidelium.[38] Apakah yang akan dijadikannya dari Colbert besar bagi abad ke XVII?

 

Setelah revolusi tibalah keadaan sekarang ini. M. Proudhon secara sama menarik fakta darinya untuk membuktikan kekekalan persaingan, dengan membuktikan bahwa semua industri di mana kategori ini belum berkembang secukupnya, seperti halnya dalam agrikultura, adalah dalam suatu keadaan inferior dan kerungkuhan (ke-tua-lontokan).

 

Mengatakan bahwa terdapat industri-industri yang belum mencapai tahap persaingan, bahwa yang lain-lainnya lagi berada di bawah tingkat produksi borjuis, adalah omong-kosong yang sama sekali tidak memberikan sedikitpun bukti mengenai kekekalan persaingan.

 

Seluruh logika M. Proudhon adalah yang berikut ini: persaingan adalah suatu hubungan sosial di mana kita sekarang mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif kita. Pada kebenaran ini, ia tidak memberikan perkembangan logis, melainkan hanya bentuk-bentuk, yang seringkali dikembangkan sangat baik, ketika ia mengatakan bahwa persaingan adalah emulasi (usaha menandingi) industrial, gaya kebebasan masakini, tanggungjawab dalam kerja, pembentukan nilai, suatu kondisi bagi lahirnya persamaan/keadilan, suatu azas ekonomi sosial, suatu dekrit takdir, suatu keharusan roh manusia, suatu ilham keadilan kekal, kemerdekaan dan pembagian, pembagian dalam kemerdekaan, suatu kategori ekonomi.

 

“Persaingan dan perkongsian saling mendukung satu-sama-lain. Jauh daripada saling mengucilkan satu-sama-lain, keduanya itu bahkan tidak berpencar. Siapaun yang mengatakan persaingan sudahlah mengandaikan suatu tujuan bersama.Persaingan karenanya bukan egoisme, dan suatu kesalahan besar telah dilakukan oleh sosialisme dengan memandangnya sebagai penumbangan masyarakat.” [I 233]

 

Siapapun yang berkata persaingan berkata pula tujuan bersama, dan itu membuktikan –di satu pihak– bahwa persaingan adalah perkongsian; di lain pihak, bahwa persaingan bukanlah egoisme. Dan siapapun yang berkata “egoisme,” tidakkah ia berkata tujuan bersama? Setiap egoisme beroperasi di dalam masyarakat dan dengan kenyataan masyarakat. Karena ia mengandaikan masyarakat, yaitu berarti, tujun-tujuan bersama, kebutuhan-kebutuhan bersama, cara-cara produksi bersama, dsb. dsb. Maka, adakah –semata-mata secara kebetulan– bahwa persaingan dan perkongsian yang menjadi pembicaraan kaum Sosialis, bahkan tidak berpencaran?

 

Kaum Sosialis mengetahui benar bahwa masyarakat masa-kini dibangun atas persaingan. Bagaimana mereka dapat menuduh bahwa persaingan menumbangkjan masyarakat yang mereka sendiri hendak tumbangkan? Dan bahgaimana mereka bisa menuduh persaingan menumbangkan masyarakat masa-mendatang, yang di dalamnya mereka melihat – sebaliknya– penumbangan persaingan itu?

 

M. Proudhon belakangan mengatakan, bahwa persaingan adalah “kebalikan dari monopoli,” dan karenanya tidak dapat menjadi “kebalikan dari perkongsian.”

 

Feodalisme –sedari asal-usulnya– berlawanan dengan monarki patrarkal; dengan demikian ia tidak berlawanan dengan persaingan, yang ketika itu belum ada/eksis. Apakah itu berarti bahwa persaingan tidak berlawanan dengan feodalisme?

 

Dalam kenyataan aktual “masyarakat, perserikatan/asosiasi-/perkongsian” adalah denominasi-denoiminasi yang dapat diberikan pada setiap masyarakat, pada masyarakat feodal maupun pada masyarakat borjuis, yang adalah perserikatan yang dibangun atas persaingan. Maka mengapa bisa ada kaum Sosialis, yang, dengan kata tunggal “asosiasi,” bisa berpikir bahwa mereka dapat menolak persaingan? Dan bagaimana M. Proudhon sendiri bisa berkeinginan membela persaingan terhadap sosialisme dengan menguraikan persaingan dengan kata tunggal “asosiasi”?

 

Semua yang baru saja kita katakan adalah sisi indah dari persaingan sebagaimana M. Proudhon melihatnya. Sekarang baiklah kita beralih pada sisi buruknya, yaitu sisi negatif, dari persaingan, kelemahan-kelemahannya, unsur-unsur subversif dan destruktifnya, kualitas-kualitas ketidak-adilannya.

 

Ada sesuatu yang suram mengenai gambaran yang dibuat M. Proudhon darinya.

 

Persaingan menimbulkan kesengsaraan, ia menuami perang saudara, ia “mengubah zona-alamiah,” mencampur-aduk nasionalitas-nasionalitas, menyebabkan kegaduhan dalam keluarga-keluarga, mengorupsi hati nurani publik, “mensubversi makna persamaan, keadilan,” moralitas, dan yang lebih buruk lagi, ia menghancurkan pekerjaan bebas, yang jujur, dan bahkan tidak memberikan “nilai sintetik,” harga tetap dan jujur sebagai gantinya. Ia menghancurkan ilusi-ilusi semua pihak, bahkan kaum ahli ekonomi. Ia mendorong segala sesuatu sebegitu jauhnya hingga menghancurkan dirinya sendiri.

 

Setelah segala keburukan yang dikatakan M. Proudhon mengenainya, masih adakah bagi hubungan-hubungan masyarakat borjuis, bagi azas-azas dan ilusi-ilusinya, unsur-unsur yang lebih mendisintegrasikan, lebih menghancurkankan daripada persaingan?

 

Haruslah diperhatikan dengan cermat bahwa persaingan selalu menjadi lebih destruktif bagi “hubungan-hubungan” burjuis dalam proporsi dengan desakannya pada demam penciptaan tenaga-tenaga produktif baru, yaitu, kondisi-kondisi material dari suatu masyarakat baru. Dalam hal ini, setidak-tidaknya, sisi buruk persaingan mempunyai segi-segi baiknya.

 

“Persaingan sebagai suatu posisi atau tahapan ekonomi, dipandang dari asal-muasalnya, adalah hasil tak-terelakkan ... Dari teori mengenai reduksi biaya-biaya umum.” [I 235]

 

Bagi M. Proudhon, peredaran darah mestilah menjadi suatu konsekuensi dari teori Harvey.

 

“Monopoli adalah kesudahan tak-terelakkan dari persaingan, yang melahirkannya dengan suatu negasi dirinya sendiri secara terus-menerus. Kelahiran monopoli itu sendiri adalah pembenarannya ... Monopoli adalah kebalikan alamiah/wajar dari peraingan ... Tetapi segera setelah persaingan itu diharuskan, ia menandakan ide monopoli itu, karena monopoli adalah, sepertinya, dudukan setiap individualitas yang bersaing.” [I 236, 237]

 

Kita bersuka-hati bersama M. Proudhon bahwa ia –setidak-tidaknya untuk satu kali– secara sepantasnya dapat menerapkan perumusannya pada tesis dan antitesis. Semua orang mengetahui bahwa monopoli modern dilahirkan oleh persaingan itu sendiri.

 

Yang berkenaan dengan isinya, M. Proudhon bergayut pada imagi-imagi puitik. Persaingan menjadikan “setiap subdivisi kerja semacam kedaulatan yang di dalamnya setiap individu tegak dengan kekuasaan dan kebebasannya.” Monopoli adalah “dudukan setiap individualitas yang bersaing.” Kedaultan berharga –sedikitnya– sama tingginya seperti dudukan itu.

 

M. Proudhon cuma semata-mata berbicara tentang monopoli modern yang ditimbulkan oleh persaingan. Tetapi kita semua mengetahui bahwa persaingan dilahirkan oleh monopoli feodal. Dengan demikian maka persaingan pada asalnya merupakan lawan monopoli dan bukannya monopoli lawan dari persaingan. Sehingga monopoli modern bukanlah suatu antitesis sederhana, ia sebaliknya adalah sintesis yang sebenarnya.

 

“Tesis”: Monopoli feodal, sebelum persaingan.

 

“Antitesis”: Persaingan.

 

“Sintesis”: Monopoli modern, yang adalah negasi dari monopoli feodal, sejauh ia berarti sistem persaingan dan negasi dari persaingan sejauh ia adalah monopoli.

 

Dengan demikian monopoli modern, monopoli borjuis, adalah monopoli sintetik, negasi dari negasi, kesatuan dari yang berlawanan. Ia adalah monopoli dalam keadaan rasional, normal, semurninya.

 

M. Proudhon berlawanan dengan filsafatnya sendiri ketika ia mengubah monopoli borjuis menjadi monopoli dalam keadaan kejang, bertentangan, “primitif,” kasar. M. Rossi yang berkali-kali dikutip M. Proudhon mengenai hal-ikhwal monopoli, agaknya mempunyai pemahaman lebih baik mengenai sifat sintetik dari monopoli burjuis. Dalam Course d’economie politique,[39] ia membedakan antara monopoli-monopoli artifisial dan monopoli-monopoli alamiah. Monopoli-monopoli feodal, demikian katanya, adalah artifisial (dibuat-buat/buatan) yaitu, sewenang-wenang/sembarangan/semau-nya; monopoli borjuis adalah wajar, yaitu rasional.

 

Monopoli itu sesuatu yang baik, demikian M. Proudhon bernalar, karena ia adalah suatu kategori ekonomi, suatu pancaran/terbitan “dari nalar impersonal dari kemanusiaan.” Persaingan, sekali lagi, adalah sesuatu yang baik karena ia juga suatu kategori ekonomi. Namun yang tidak bagus adalah realitas monopoli dan realitas persaingan. Yang lebih buruk lagi adalah, bahwa persaingan dan monopoli saling melahap satu-sama lain. Apakah yang harus diperbuat? Carilah sintesis dari kedua pikiran kekal ini, renbggutlah dari lubuk Tuhan, di mana ia telah diletakkan sejak masa keabadian.

 

Dalam kehidupan praktis kita tidak hanya menjumpai persaingan, monopoli dan antagonisme di antara mereka, melainkan juga sintesis dari keduanya itu, yang bukanlah sebuah perumusan, melainkan adalah suatu gerakan. Monopoli memproduksi persaingan, persaingan memproduksi monopoli. Kaum monopol dibuat dari persaingan; pesaing-pesaing menjadi monopol. Jika kaum monopol membatasi persaingan di antara mereka lewat cara perserikatan-perserikatan persial, persaingan meningkat di antara kaum buruh; dan semakin massa proletariat bertumbuh sebanding kaum monopol suatu bangsa/nasion, semakin mati-matian persaingan menjadi di antara kaum monopol berbagai nasion. Sintesisnya adalah dari suatu sifat yang sedemikian rupa, sehingga monopoli hanya dapat mempertahankan diri sendiri dengan secara terus-menerus masuk ke dalam pergulatan persaingan itu.

 

Untuk melakukan peralihan dialektikal pada “pajak-pajak” yang menyusul setelah monopoli, M. Proudhon berbicara pada kita tentang jenius “sosial” yang, setelah “ber-zig-zag, berani maju terus, setelah melangkah dengan satu tindakan berani, tanpa sesalan, dan tanpa berhenti, mencapai sudut monopoli itu, melempar sekilas pandang melankolik ke belakang, dan, setelah merenung secara mendalam, menyerang semua obyek produksi dengan pajak-pajak, dan menciptakan sebuah organisasi administratif yang menyeluruh, agar supaya semua pekerjaan diberikan ke pada proletariat dan dibayar oleh orang-orang bermonopoli.” [I 284, 285]

 

Apa yang bisa kita katakan mengenai jenius ini, yang, sambil berpuasa, berjalan kian-kemari dalam suatu zig-zag? Dan apakah yang dapat kita katakan mengenai jalan-mondar-mandir ini, yang tiada mempunyai sasaran lain kecuali untuk menghancurkan borjuasi dengan pajak-pajak, sedangkan pajak-pajak adalah justru alat yang memberikan pada borjuasi cara untuk melestarikan diri mereka sendiri sebagai klas yang berkuasa?

 

Sekedar untuk memberikan sekilas pandang mengenai cara M. Proudhon memperlakukan rincian-rincian ekonomi, cukuplah dikatakan, bahwa, menurut M. Proudhon, “pajak atas konsumsi” itu ditetapkan dengan tujuan akan keadilan, dan untuk meringankan proletariat.

 

Pajak atas konsumsi telah mencapai perkembangannya yang sesungguhnya hanya sejak kebangkitan borjuasi. Dalam tangan kapital industrial, yaitu, kekayaan ekonomikal dan ugahari, yang memelihara, mereproduksi dan meningkatkan diri sendiri lewat eksploitasi langsung atas kerja, pajak atas konsumsi adalah suatu alat/cara mengeksploitasi kekayaan pemborosan, berhura-hura, riah para ningrat yang tidak berbuat apapun kecuali mengonsumsi. James Stuart dengan jelas mengembangkan tujuan asal dari pajak atas konsumsi ini di dalam karyanya Recherches des principes de l’economie politique,[40]  yang diterbitkannya sepuluh tahun sebelum Adam Smith.

 

“Di bawah monarki semurninya, sang pangeran tampaknya cemburu –sepertinya– akan tumbuhnya kekayaan, dan karenanya mengenakan pajak-pajak atas orang-orang yang semakin bertambah kaya. Di bawah pemerintahan terbatas, mereka diperhitungkan utamanya untuk mempengaruhi mereka yang dari kaya menjadi semakin miskin. Dengan demikian sang raja memaksakan suatu pajak atas industri, di mana setiap orang diperingikatkan dalam proporsi keuntungan yang dianggap diperoleh seseorang dengan profesinya. Pajak perorangan (poll-tax) dan taille (sejenis pajak zaman dulu/pajak sesuai ‘ukuran’) juga diproporsikan pada kegemukan/kemakmuran setiap orang yang bisa dikenai pajak jenis ini ... Dengan pemerintahan-pemerintahan tertbatas, pengenaan-pengenaan (pajak) lebih umum diberlakukan atas konsumsi.” [II 190-191]

 

Yang mengenai “urutan logis” dari pajak-pajak, dari neraca perdagangan, dari kredit –dalam pengertian M. Proudhon– kita akan hanya menyinggung bahwa burjuasi Inggris, dalam mencapai konstutusi politiknya di bawah William of Orange, menciptakan sekaligus sebuah sistem perpajakan baru, kredit publik dan sistem cukai-cukai perlindungan, sesegera ia dalam suatu posisi kebebasan untuk mengembangkan kondisi-kondisi keberadaannya.

 

Ikhtisar ringkas ini akan mencukupi dalam memberikan kepada para pembaca suatu gambaran sebenarnya mengenai perenungan-perenungan M. Proudhon tentang kebijakan atau tentang perpajakan, neraca perdagangan, kredit, komunisme dan kependudukan. Kita menantang kritik yang paling lunak untuk memperlakukan bab-bab ini dengan serius.

 


[38] Secara harfiah, di wilayah-wilayah kaum kafir. Di sini kalimat ini berarti: di luar alam realitas. In partibus infidelium merupakan tambahan pada judul para uskup Katolik yang diangkat untuk jabatan yang semurninya nominal di negeri-negeri jahiliah.

[39] P. Rossi, Course d’economie politique, T. I-II, Paris, 1840-41.

 

* Kaum Fourieris. [Catatan oleh Engels pada Edisi Jerman tahun 1885.)