Perang Tani di Jerman

Engels (1850)


BAB IV

Pemberontakan Kaum Bangsawan

Sementara Serikat Sepatu yang keempat sedang ditindas di Rimba Hitam, Luther, di Wittenberg, memberikan sinyal pada sebuah gerakan yang ditujukan untuk menyeret semua kelas ke dalam arus deras ini, dan untuk mengguncang seluruh daerah kekuasaan kaisar. Tesis dari penganut doktrin St. Augustinus dari Thuringia ini mempunyai pengaruh seperti nyala api di gudang mesiu. Perjuangan yang penuh kontradiksi dan bermacam-macam dari para ksatria dan kelas menengah, para petani dan plebeian, para pangeran yang haus akan kekuasaan, pejabat gereja rendahan, yang secara sembunyi-sembunyi memainkan mistisisme dan kaum oposisi dari pengarang terpelajar yang bersifat menyindir tetapi jenaka, semuanya itu mendapatkan di dalam tesis Luther suatu ungkapan yang sama sehingga mereka dapat berkumpul di sekelilingnya dengan kecepatan yang luar biasa. Persekutuan dari semua unsur-unsur yang saling bertentangan ini, meskipun baru terbentuk satu malam dan dalam rentang waktu yang sangat singkat, namun tiba-tiba mereka dapat mengungkapkan kekuatan yang luar biasa untuk bergerak, sehingga dapat memberikan daya dorong yang jauh.

Tetapi, perkembangan gerakan yang sangat cepat ini juga ditakdirkan untuk menimbulkan benih pertikaian yang tersembunyi di dalamnya. Demikianlah, gerakan ini ditakdirkan untuk pecah tercabik-cabik sekurang-kurangnya bagian-bagian dari massa yang telah bangkit, yang, karena situasi yang sebenarnya dalam kehidupan, secara langsung menjadi saling bertentangan satu sama lain, dan menempatkan mereka yang dalam keadaan normal saling bermusuhan. Sudah sejak awal tahun-tahun pertama reformasi, berkumpulnya massa oposisi yang heterogen di sekitar dua titik sentral telah menjadi suatu kenyataan. Kaum bangsawan dan kelas menengah mengelompokkan diri mereka sendiri secara tanpa syarat di seputar Luther. Sedangkan para petani dan kaum plebeian, yang tidak dapat melihat apa pun di dalam diri Luther yang menjadi musuh langsung, justru membentuk partai oposisi revolusioner yang terpisah. Ini bukanlah merupakan hal baru, karena sekarang gerakan itu telah menjadi jauh lebih bersifat umum, jauh lebih luas dan lebih dalam ruang lingkupnya jika dibandingkan dengan yang ada di jaman sebelum Luther, yang harus membawakan antagonisme yang tajam dan perjuangan yang terbuka antara kedua kelompok. Oposisi secara langsung ini segera menjadi tampak nyata. Luther dan Muenzer, yang berlaga di media pers maupun di mimbar, juga sangat berseberangan satu sama lain seperti pasukan dari para pangeran, para ksatria, dan kota-kota (yang terdiri atas, seperti yang memang terjadi, terutama para pengikut Luther, atau kekuatan-kekuatan yang paling sedikit kecenderungannya ke arah ajaran atau aliran Luther), dan lautan massa petani dan kaum plebeian yang dibuat kocar-kacir dan dikalahkan secara mutlak oleh pasukan itu.

Perbedaan kepentingan dari berbagai unsur yang menerima reformasi ini menjadi tampak nyata bahkan sebelum Perang Tani di mana kaum bangsawan berusaha keras untuk mewujudkan tuntutan-tuntuannya dalam upaya mereka menentang para pangeran dan pejabat gereja.

Situasi kaum bangsawan Jerman pada awal abad ke-16 telah dilukiskan di atas. Kaum bangsawan kehilangan kemerdekaannya akibat semakin terus meningkatnya kekuasaan para pangeran awam dan para pangeran gereja. Mereka menyadari bahwa dalam derajat yang sama mereka semakin menurun sebagai sebuah kelompok dalam masyarakat, kekuasaan kaisar pun semakin menurun pula, sehingga mereka membubarkan diri mereka sendiri dalam sejumlah kepangeranan yang berdaulat. (Kepangeranan = negara atau daerah yang diperintah oleh seorang pngeran.) Tumbangnya kaum bangsawan ini, menurut pendapat mereka sendiri, terjadi bersamaan dengan tumbangnya bangsa Jerman. Lagi pula, terdapat kenyataan bahwa kaum bangsawan, terutama sebagian dari mereka yang ada di bawah kaisar, berkat kedudukan mereka dalam militer dan sikap mereka terhadap para pangeran, secara langsung mewakili kaisar dan kekuasaan kaisar. Kaum bangsawan adalah kelas yang paling nasionalis, dan mereka tahu bahwa semakin kuat kekuasaan kaisar dan persatuan Jerman, serta semakin lemah dan semakin sedikit jumlah para pangeran, maka akan semakin berkuasa pula jadinya kaum bangsawan ini. Dengan alasan inilah sebenarnya kaum ksatria pada umumnya tidak puas dengan situasi politik yang menyedihkan di Jerman, dengan ketidakberdayaan kaisar dalam urusan luar negeri, yang semakin meningkat dalam derajat yang sama dengan, berdasarkan keturunannya, istana yang menambahkan pada kaisar satu provinsi demi satu provinsi, dengan intrik-intrik dari kekuatan asing di Jerman dan dengan komplotan-komplotan dari para pangeran Jerman dengan negara-negara asing untuk melawan kaisar. Dengan alasan ini pulalah sebenarnya tuntutan-tuntuan kaum bangsawan senantiasa mengambil bentuk tuntutan untuk mereformasi kekaisaran, yang korban-korbannya adalah para pangeran dan pejabat tinggi gereja. Ulrich dari Hutten, ahli teori dari kaum bangsawan Jerman, berusaha merumuskan tuntutan ini dengan menggabungkannya dengan pendapat Franz von Sickingen, yang menjadi wakil diplomatik dan militer mereka.

Reformasi kekaisaran seperti yang dituntut oleh kaum bangsawan itu dibayangkan oleh Hutten dalam semangatnya yang sangat radikal dan diungkapkan secara jelas. Hutten tidak lain hanya menuntut penghapusan semua pangeran, sekularisasi semua kepangeranan dan tanah hak milik gereja, dan pengembangan demokrasi kepada kaum bangsawan yang dikepalai oleh monarki atau oleh kaisar — yang merupakan suatu bentuk pemerintahan yang mengingatkan orang pada jaman keemasan bekas republik Polandia. Hutten dan Sickingen percaya bahwa kekaisaran Jerman akan menjadi bersatu lagi, merdeka dan kuat, kalau kekuasaan kaum bangsawan, yaitu kelas yang didominasi oleh militer, didirikan lagi, sementara para pangeran, yang merupakan unsur pemecah belah, dibuang, kekuasaan para pastor dihilangkan, dan negeri Jerman dilepaskan dari kekuasaan Gereja Roma. (Sekularisasi = perihal menggunakan sesuatu untuk kepentingan duniawi.)

Demokrasi kaum bangsawan yang didirikan di atas perhambaan atau perbudakan, yang prototipe atau bentuk pertamanya dapat dijumpai di Polandia dan, di kekaisaran-kekaisaran yang dikalahkan oleh suku-suku Jerman, setidak-tidaknya di abad-abad pertama tarikh Masehi, merupakan satu bentuk masyarakat yang paling primitif, dan yang arus perkembangannya secara normal adalah menjadi negara dengan hierarki feodal yang paling ekstensif, dan yang merupakan suatu kemajuan yang sangat besar. Demokrasi kaum bangsawan yang sangat berkuasa seperti itu telah menjadi suatu kemustahilan di Jerman abad ke-16 ini, yang pertama-tama karena pada waktu itu ada kota-kota Jerman yang sangat kuat dan penting, dan tidak ada hari depan untuk terjadinya persekutuan antara kaum bangsawan dan kota-kota semacam itu seperti transformasi atau perubahan bentuk yang terjadi di Inggris dari feodalisme menjadi monarki konstitusional borjuis. Di Jerman, kaum bangsawan lama masih mampu bertahan hidup, sementara kaum bangsawan di Inggris telah dibasmi oleh perang mawar, sehingga hanya dua puluh delapan keluarga yang masih ada, dan digantikan oleh kaum bangsawan baru yang mempunyai kecenderungan kelas menengah dan berasal dari kelas menengah. Di Jerman, perhambaan atau perbudakan masih umum dipraktekkan, di mana kaum bangsawan memperoleh pendapatannya dari sumber-sumber feodal, sementara perhambaan atau perbudakan di Inggris benar-benar telah disingkirkan, sehingga kaum bangsawan telah menjadi pemilik tanah kelas menengah yang sederhana, dengan sumber pendapatan kelas menengah — yaitu, sewa tanah. Akhirnya, sentralisasi kekuasaan monarki mutlak, yang di Prancis telah ada dan terus berkembang sejak Louis XI, sebagai akibat dari benturan kepentingan antara kaum bangsawan dan kelas menengah, justru tidak mungkin muncul di Jerman, di mana syarat-syarat untuk sentralisasi nasional hanya ada dalam bentuk yang sangat sederhana atau terbelakang, kalau pun ada.

Di bawah kondisi seperti ini, semakin besar tekad Hutten untuk mewujudkan ide-idenya dalam praktek, semakin besar pula konsesi-konsesi yang terpaksa harus ia buat, sehingga semakin kabur juga rencananya untuk mereformasi kekaisaran itu jadinya.

Kaum bangsawan saja, tanpa kelas yang lain, akan kekurangan kekuatan untuk melaksanakan reformasi itu. Ini dapat dilihat dari kelemahannya jika dibandingkan dengan para pangeran. Sekutu-sekutu harus dicari, dan ini hanya dapat dijumpai di kota-kota, atau di kalangan kaum petani dan para pembela reformasi yang berpengaruh. Tetapi kota-kota sangat mengenal sekali kaum bangsawan ini, sehingga tidak mungkin mempercayainya, dan mereka memang dengan tegas menolak segala bentuk aliansi dengannya. Sedangkan para petani secara tepat menganggap kaum bangsawan, yang mengeksploitasi dan memperlakukan mereka secara sewenang-wenang itu, sebagai musuh mereka yang paling dibenci, dan mengenai para ahli teori reformasi, mereka berpihak atau bekerja sama dengan kelas menengah, para pangeran, atau para petani. Sesungguhnya, apakah keuntungan yang dapat dijanjikan oleh kaum bangsawan kepada kelas menengah atau para petani dari reformasi kekaisaran yang tujuan utamanya hanya untuk mengangkat kaum bangsawan itu ke kedudukan yang lebih tinggi? Dalam keadaan demikian, Hutten hanya dapat diam saja dalam tulisan propagandanya tentang hubungan masa depan di antara kaum bangsawan, kota-kota, dan para petani, atau dengan hanya menyebutkan mereka secara singkat, sambil melemparkan segala yang jahat ke kaki para pangeran, pastor-pastor, dan ketergantungan negeri ini kepada Roma, dan menunjukkan kepada kelas menengah bahwa demi kepentingan mereka sendirilah untuk setidak-tidaknya tetap netral dalam pergulatan yang akan datang antara kaum bangsawan dan para pangeran itu. Tidak pernah disebutkan oleh Hutten tentang penghapusan perhambaan atau perbudakan, maupun beban-beban lainnya yang dikenakan pada para petani oleh kaum bangsawan.

Sikap kaum bangsawan Jerman terhadap para petani pada waktu itu tepat sama dengan bangsawan Polandia terhadap para petaninya dalam pemberontakan-pemberontakan sejak tahun 1830. Seperti halnya dalam pemberontakan di Polandia pada jaman modern ini, gerakan itu akan dapat mendatangkan hasil yang sukses hanya melalui aliansi dari semua partai-partai oposisi, terutama kaum bangsawan dan para petani. Tetapi dari semua aliansi, aliansi yang satu ini benar-benar tidak mungkin meskipun dilihat dari sisi mana pun. Karena kaum bangsawan belum siap melepaskan hak-hak istimewa politiknya maupun hak-hak feodalnya atas para petani, sementara kaum petani revolusioner tidak dapat ditarik ke hari depan yang samar-samar melalui aliansi dengan kaum bangsawan, yaitu kelas yang paling aktif dalam menindas mereka. Kaum bangsawan tidak dapat menaklukkan petani Jerman dalam tahun 1522, seperti kegagalan yang juga dialaminya di Polandia dalam tahun 1830. Hanya penghapusan sama sekali perhambaan, perbudakan, dan semua hak-hak istimewa lainnya dari kaum bangsawan saja yang dapat menyatukan penduduk pedesaan. Akan tetapi, kaum bangsawan, seperti semua kelas yang mempunyai hak-hak istimewa lainnya, sedikit pun tidak mempunyai keinginan untuk melepaskan hak-hak istimewanya, keadaan yang menguntungkannya, maupun berbagai bagian utama dari sumber pendapatannya.

Demikianlah yang terjadi ketika pertempuran itu pecah, kaum bangsawan sendirian di medan perang melawan para pangeran. Jelaslah bahwa para pangeran, yang selama dua abad telah memiliki landasan dari bawah kaki kaum bangsawan, kali ini juga akan memperoleh kemenangan tanpa terlalu banyak bersusah payah.

Jalannya pertempuran itu sendiri sangat terkenal. Hutten and Sickingen, yang sudah dikenal sebagai panglima militer dan politik dari kaum bangsawan menengah di Jerman, mengorganisasikan di Landau, tahun 1522, sebuah serikat kaum bangsawan dari Rhine, Suabia dan Franconia untuk jangka waktu selama enam tahun, yang jelas-jelas untuk pertahanan diri. Sickingen mengerahkan pasukan, yang sebagian dari miliknya sendiri, dan sebagian lagi merupakan gabungan dari ksatria-ksatria tetangganya. Ia juga mengorganisasikan pasukan dari tenaga-tenaga baru dan bala bantuan di Franconia, di sepanjang Sungai Rhine Hilir, di Belanda, dan di Westphalia, dan di bulan September 1522, ia memulai pertempuran dengan menyatakan permusuhan terhadap Pangeran yang sekaligus juga menjadi Uskup dari Trier. Sementara ia menempatkan pasukannya di dekat Trier, bala bantuannya dipotong oleh campur tangan yang cepat dari para pangeran. Landgrave dari Hesse dan Pangeran Palatine pergi membantu Uskup dari Trier, dan Sickingen terpaksa buru-buru mundur ke istananya, Landstuhl. Meskipun sudah berusaha keras dengan segala daya upaya, yang dilakukan oleh Hutten dan teman-temannya yang masih tinggal, namun gabungan dari kaum bangsawan itu, begitu diancam oleh gerakan yang cepat dan terpusat dari para pangeran, justru meninggalkan Hutten yang sedang berada dalam kesulitan. Sickingen yang luka parah akhirnya menyerah di Landstuhl, dan kemudian meninggal segera setelah itu. Hutten terpaksa melarikan diri ke Swiss, dan di sana meninggal setelah beberapa bulan kemudian di Pulau Ufnau, di Danau Zurich.

Dengan kekalahannya, dan dengan kematian kedua pemimpin itu, kekuasaan kaum bangsawan sebagai satu badan, yang merdeka dari para pangeran, hancurlah. Dari saat itu, kaum bangsawan hanya mengabdi dan tunduk di bawah kepemimpinan para pangeran. Perang Tani, yang segera pecah, masih terus mendorong para bangsawan menjdi semakin dalam di bawah perlindungan para pangeran, baik langsung maupun tidak langsung. Terbukti bahwa kaum bangsawan Jerman lebih suka melanjutkan eksploitasinya terhadap kaum petani di bawah kekuasaan para pangeran, daripada menggulingkan para pangeran dan pastor-pastor melalui aliansi secara terbuka dengan para petani yang dibebaskan.


BAB III
DAFTAR ISI
BAB V