Hasil dan Prospek

Leon Trotsky (1906)


IX. Eropa dan Revolusi

 

Pada Juni 1905, kita menulis:

“Lebih dari setengah abad telah berlalu semenjak 1848, setengah abad dimana kapitalisme dengan tak henti-hentinya menaklukkan seluruh dunia; setengah abad adaptasi mutual antara kekuatan reaksi borjuis dan kekuatan reaksi feodalisme; setengah abad dimana kaum borjuasi telah menampakkan nafsu gilanya untuk mendominasi dan kesiapannya untuk berjuang secara kejam untuk dominasi ini.”

“Seperti halnya seorang pencari gerak-kekal (perpetual motion)[1] yang selalu menemui halangan-halangan yang baru dan menumpuk mesin-mesin untuk mengatasi halangan-halangan ini, kaum borjuasi juga telah mengubah dan merekonstruksi aparatus negaranya sembari menghindari konflik ‘ekstra-legal’ dengan kekuatan-kekuatan yang melawannya. Tetapi seperti halnya pencari gerak-kekal yang akhirnya menghadapi sebuah halangan yang tak bisa dia atasi (hukum konservasi energi), kaum borjuasi juga menghadapi sebuah halangan yang tidak dapat dia atasi: antagonisme kelas, yang harus diselesaikan dengan konflik.”

“Dengan mengikat semua bangsa-bangsa dengan sistem produksinya dan sistem perdagangannya, kapitalisme telah mengubah seluruh dunia menjadi sebuah organisme ekonomi dan politik yang tunggal. Seperti halnya sistem kredit moderen mengikat ribuan perusahaan dengan ikatan-ikatan yang tak-terlihat dan memberi kapital sebuah mobilitas yang luar biasa yang mencegah banyak kebangkrutan kecil tetapi pada saat yang sama menyebabkan sapuan krisis ekonomi yang menyeluruh, maka seluruh usaha ekonomi dan politik kapitalisme, perdagangan dunianya, sistem hutang negaranya yang luar biasa besar, dan kelompok-kelompok politik yang menyatukan semua kekuatan reaksi ke dalam sebuah perusahaan saham-gabungan global, bukan hanya telah mencegah krisis-krisis politik individual, tetapi juga telah mempersiapkan basis untuk sebuah krisis sosial yang besarnya sama sekali belum pernah terdengar. Mendorong semua penyakit ke bawah karpet, menghindari semua kesulitan, menunda semua permasalahan politik internal dan internasional yang penting, dan tidak mengindahkan semua kontradiksi, kaum borjuasi telah berhasil menunda hari-akhirnya, dan maka dari itu telah mempersiapkan sebuah likuidasi radikal dan global terhadap kekuasaannya. Kaum borjuasi telah dengan serakah merangkul setiap kekuatan reaksioner tanpa mempertanyakan asal-usulnya. Paus Katolik dan Sultan adalah sahabatnya. Satu-satunya alasan mengapa kaum borjuasi tidak membentuk hubungan ‘persahabatan’ dengan Kaisar Cina adalah karena dia tidak mewakili kekuatan apapun. Lebih menguntungkan bagi kaum borjuasi untuk menjarah daerah-daerahnya Kaisar Cina daripada mempertahankannya sebagai pelayan mereka dan membayarnya dengan hartanya sendiri. Maka dari itu, kita telah saksikan bagaimana kaum borjuasi dunia sangat mengandalkan kelompok-kelompok pra-borjuis reaksioner yang tidak stabil untuk menjaga kestabilan sistem Negara mereka sendiri.”

“Ini segera memberikan peristiwa-peristiwa yang sekarang sedang bergulir sebuah karakter internasional, dan membuka sebuah prospek yang luas. Emansipasi politik Rusia yang dipimpin oleh kelas buruh akan mengangkat kelas ini ke ketinggian yang tak pernah terdengar di dalam sejarah, akan memberinya kekuatan dan sumberdaya-sumberdaya yang luar biasa besar, dan akan membuatnya menjadi inisiator likuidasi kapitalisme dunia, dimana sejarah telah menciptakan semua kondisi objektif untuk ini.”[2]

Bila kaum proletar Rusia, setelah meraih kekuasaan secara sementara, tidak membawa revolusi ini ke tanah Eropa dengan inisiatifnya sendiri, maka ia akan dipaksa untuk melakukan hal ini oleh kekuatan reaksi feodal-borjuis Eropa. Tentu saja akan sia-sia bila kita sekarang mencoba menentukan metode-metode bagaimana Revolusi Rusia akan menyerang kelas kapitalis Eropa. Metode-metode ini mungkin akan menampakkan diri mereka dengan tidak disangka-sangka. Mari kita ambil contoh negeri Polandia sebagai jembatan penghubung antara revolusi di Timur dan revolusi di Barat, walaupun kita mengambil contoh ini hanya sebagai ilustrasi gagasan kita dan bukan sebagai prediksi yang sesungguhnya.

Kemenangan revolusi di Rusia akan berarti kemenangan tak-terelakkan dari revolusi di Polandia. Tidaklah sulit untuk membayangkan bagaimana keberadaan sebuah pemerintahan revolusioner di sepuluh provinsi Polandia Rusia akan menyebabkan pemberontakan di Galicia (Eropa Tengah – Ed.) dan Poznan. Pemerintahan Hohenzollern dan Habsburg akan merespon ini dengan mengirim pasukan militer ke perbatasan Polandia, supaya kemudian bisa menyeberangi perbatasan ini untuk menghancurkan musuhnya di pusatnya – yakni kota Warsaw. Cukup jelas kalau revolusi Rusia tidak dapat membiarkan garda-depan Baratnya jatuh ke tangan tentara Prusso-Austria. Perang melawan pemerintahan Wilhem II dan Franz Josef[3] di bawah situasi seperti ini akan menjadi sebuah aksi bela-diri pemerintahan revolusioner Rusia. Apa yang akan menjadi sikap kaum proletar Austria dan Jerman? Jelas bahwa mereka tidak akan tetap tenang di saat tentara-tentara negeri mereka melakukan peperangan kontra-revolusioner. Sebuah perang antara Jerman yang feodal-borjuis dan Rusia yang revolusioner secara tak-terelakkan akan menyebabkan sebuah revolusi proletar di Jerman. Kita akan katakan kepada mereka-mereka yang merasa bahwa pernyataan ini terlalu kategorikal (pasti) untuk mencoba membayangkan peristiwa sejarah lain yang akan lebih mungkin mendorong kaum buruh Jerman dan kaum reaksioner Jerman untuk mengadu kekuatan secara terbuka.

Ketika kabinet Oktober[4] kita tiba-tiba menetapkan hukum darurat militer di Polandia, sebuah rumor beredar bahwa ini dilakukan di bawah instruksi langsung dari Berlin. Sebelum pembubaran Duma[5], koran-koran pemerintah mempublikasikan komunikasi-komunikasi mengenai negosiasi antara pemerintahan Berlin dan Vienna yang berbicara mengenai intervensi militer di dalam urusan internal Rusia, guna mencegah insureksi. Dan koran-koran tersebut mempublikasikan ini sebagai ancaman. Tidak ada penyangkalan apapun dari pemerintah yang dapat menghapus pengaruh kejutan yang disebabkan oleh komunikasi ini. Jelas terlihat bahwa di istana-istana tiga negeri bertetangga ini sebuah balas dendam kontra-revolusioner sedang dipersiapkan. Mengapa tidak? Mungkinkah monarki-monarki semi-feodalis yang bertetangga berdiam diri secara pasif ketika api revolusi menjilat perbatasan mereka?

Revolusi Rusia, walaupun masih jauh dari kemenangan, telah mempengaruhi Galicia melalui Polandia. Pada konferensi Partai Sosial-Demokrat Polandia di Lvov pada bulan Mei tahun ini, Daszynski[6] mengatakan “Satu tahun yang lalu, siapa yang dapat menyangka apa yang sekarang sedang terjadi di Galicia? Gerakan tani yang luar biasa ini telah menyebarkan kekaguman ke seluruh negara Austria. Kota Zbaraz memilih seorang Sosial-Demokrat sebagai wakil pemimpin dewan regional. Kaum tani menerbitkan koran sosialis-revolusioner untuk kaum tani, yang berjudul Bendera Merah. Pertemuan-pertemuan massa raksasa, dengan 30 ribu orang, dilaksanakan dengan parade bendera-bendera merah dan lagu-lagu revolusioner melalui desa-desa Galicia, yang dulunya sangat tenang dan apati … Apa yang akan terjadi ketika dari Rusia pekik nasionalisasi tanah mencapai kaum tani miskin ini?” Lebih dari dua tahun yang lalu, di dalam argumennya dengan Lusnia, seorang Sosialis Polandia, Kautsky berpendapat bahwa Rusia tidak boleh lagi dilihat sebagai sebuah bola pemberat kaki Polandia, atau Polandia dilihat sebagai pasukan Timur dari Eropa revolusioner yang merangsek ke dalam rumah barbarisme orang Moskow. Bila kemenangan revolusi di Rusia terjadi, maka menurut Kautsky permasalahan Polandia “akan menjadi akut kembali, tetapi bukan seperti yang dipikirkan oleh Lusnia. Bukan melawan Rusia tetapi melawan Austria dan Jerman, dan selama Polandia akan membantu revolusi maka tugasnya adalah bukan melawan Rusia tetapi membawa revolusi ini ke Austria dan Jerman.” Ramalan ini jauh lebih dekat ke realisasi daripada yang Kautsky pikirkan.

Tetapi revolusi di Polandia bukanlah satu-satunya titik tolak untuk revolusi di Eropa. Kita telah menunjukkan di atas bahwa kaum borjuasi secara sistematik telah absen dari penyelesaian banyak permasalahan yang kompleks dan akut yang mempengaruhi politik dalam dan luar negeri. Walaupun telah mempersenjatai banyak tentara, pemerintahan borjuis tidak mampu memotong dengan pedang kekusutan politik internasional. Hanya sebuah pemerintahan yang memiliki dukungan seluruh bangsa yang kepentingan-kepentingan utamanya terpengaruhi, atau sebuah pemerintahan yang telah kehilangan pijakan dan terdorong oleh kenekatan putus-asa, dapat mengirim ratusan dan ribuan manusia ke dalam perang. Di dalam kondisi-kondisi moderen kebudayaan politik, ilmu militer, pemilihan umum universal, dan wajib militer universal, hanya kepercayaan-diri yang dalam atau avonturisme yang gila yang dapat mendorong dua bangsa ke dalam konflik. Di dalam perang Franco-Prussia[7] tahun 1870, di satu sisi adalah Bismarck yang berjuang untuk membawa Jerman ke bawah Prussia, yang berarti persatuan nasional, suatu keperluan utama yang diakui oleh setiap penduduk Jerman, dan di sisi yang lain adalah pemerintahan Napoleon III[8], yang lancang, tak berdaya, dibenci oleh bangsanya sendiri, siap untuk petualangan apapun guna menjamin kelangsungan hidupnya selama 12 bulan lagi. Pembagian peran-peran yang sama dapat dilihat di peperangan Russo-Jepang. Di satu sisi adalah pemerintahan Mikado[9], yang belum ditentang oleh kaum proletar revolusioner, yang berjuang untuk dominasi kapital Jepang di Timur Jauh, dan di sisi yang lain adalah sebuah pemerintahan otokrat yang telah kadaluwarsa dan sedang berusaha keras untuk menebus kekalahan-kekalahan internalnya dengan meraih kemenangan di luar negeri. 

Di negeri-negeri kapitalis tua, tidak ada tuntutan-tuntutan ‘nasional’, dalam kata lain, tuntutan-tuntutan dari kaum borjuasi secara keseluruhan, dimana kaum borjuasi penguasa dapat mengklaim sebagai pejuang utama dari tuntutan-tuntutan tersebut. Pemerintahan Prancis, Inggris, Jerman, dan Austria tidak mampu memimpin peperangan nasional. Kepentingan-kepentingan vital rakyat, kepentingan-kepentingan bangsa-bangsa yang tertindas, atau politik-politik internal yang barbar dari negeri tetangga tidak dapat mendorong satupun pemerintah borjuis ke dalam sebuah perang yang dapat memiliki karakter pembebasan dan maka dari itu karakter nasional. Di pihak lain, kepentingan kapitalis untuk merebut pasar, yang dari waktu ke waktu mendorong pemerintah-pemerintah – hari ini pemerintah yang itu, esok hari pemerintah yang lain – untuk melakukan aksi-aksi provokasi di hadapan dunia, tidak dapat membangkitkan reaksi dari rakyat. Untuk alasan ini, kaum borjuasi tidak dapat atau tidak akan menyerukan atau memimpin peperangan nasional apapun. Akibat dari peperangan anti-nasional yang moderen telah terlihat dari dua pengalaman baru-baru ini – di Afrika Selatan dan di Timur Jauh.

Kekalahan besar kaum imperialis Konservatif di Inggris bukanlah karena pengalaman perang Boer[10]. Sebuah konsekuensi yang lebih penting dan lebih berbahaya dari kebijakan imperialis (berbahaya bagi kaum borjuasi) adalah kebebasan politik kaum proletar Inggris, yang, bila sudah mulai, akan maju dengan langkah yang besar. Mengenai konsekuensi dari perang Russo-Jepang bagi Pemerintah Petrograd, ini sangatlah diketahui dan kita tidak perlu membahasnya. Tetapi bahkan tanpa kedua pengalaman ini, pemerintah-pemerintah Eropa – semenjak kaum proletar mulai berdiri di kakinya sendiri – selalu takut untuk memilih antara perang atau revolusi. Ketakutan terhadap pemberontakan kaum proletar inilah yang mendorong partai-partai borjuasi, bahkan ketika mereka mendukung anggaran militer yang besar, untuk membuat deklarasi-deklarasi yang serius mengenai perdamaian, memimpikan sebuah Sidang Arbitrasi Internasional dan bahkan organisasi Uni Eropa. Deklarasi-deklarasi yang menyedihkan ini tentu saja tidak dapat menghapus antagonisme antar bangsa ataupun konflik-konflik bersenjata.

Perdamaian di Eropa setelah Perang Franco-Prussia adalah berdasarkan perimbangan kekuatan di Eropa yang mensyaratkan bukan hanya keutuhan Turki, partisi Polandia, dan keutuhan Austria, tetapi juga keutuhan despotisme Rusia yang tersenjatai sepenuhnya sebagai polisi reaksioner Eropa. Akan tetapi, perang Russo-Jepang menghantarkan sebuah pukulan yang besar pada sistem artifisial yang dipimpin oleh otokrasi ini. Rusia untuk sementara jatuh dari singgasana negeri-negeri adidaya. Perimbangan kekuatan hancur. Di pihak lain, keberhasilan Jepang membangkitkan insting agresif kaum kapitalis borjuis, terutama bursa-bursa saham yang memainkan peran yang sangat besar di dalam politik kontemporer. Kemungkinan pecahnya perang di Eropa meningkat dengan sangat besar. Konflik-konflik semakin memanas dimana-mana, dan bila sampai sekarang mereka telah terhindari melalui diplomasi, tidak ada jaminan kalau diplomasi ini dapat bertahan lama. Tetapi peperangan di Eropa secara tak terelakkan berarti revolusi di Eropa.

Selama perang Russo-Jepang, Partai Sosialis Prancis menyatakan bahwa bila pemerintah Prancis mengintervensi di sisi otokrasi, ia akan menyerukan kepada kaum proletar untuk mengambil langkah-langkah yang paling tegas, bahkan sampai memberontak bila perlu. Pada Maret 1906, ketika konflik Franco-Jerman mengenai Moroko meruncing, Biro Sosialis Internasional[11] memutuskan, bila bahaya peperangan hadir, untuk “memformulasikan metode-metode aksi yang paling menguntungkan bagi seluruh partai sosialis internasional dan bagi seluruh kelas buruh yang terorganisir guna mencegah perang atau mengakhirinya”. Tentu saja ini hanyalah sebuah resolusi. Dibutuhkan sebuah perang untuk menguji kesungguhan dari resolusi ini[12], tetapi kaum borjuasi ingin menghindari ujian tersebut. Akan tetapi, sayangnya bagi kaum borjuasi, logika relasi-relasi internasional adalah lebih kuat daripada logika diplomasi.

Kebangkrutan Negara Rusia – tidak peduli bila ini adalah akibat dari kelanjutan pemerintahan oleh para birokrat atau ini dideklarasikan oleh sebuah pemerintahan revolusioner yang akan menolak membayar dosa-dosa rejim yang lama – akan memiliki pengaruh yang sangat buruk bagi Prancis. Kaum Radikal Prancis (partai borjuis liberal – Ed.), yang sekarang menggenggam nasib politik Prancis di tangan mereka, dalam mengambil kekuasaan juga telah mengambil semua fungsi melindungi kepentingan kapital. Oleh sebab itu, ada alasan untuk berasumsi bahwa krisis ekonomi yang disebabkan oleh kebangkrutan Rusia akan mengulangi dirinya secara langsung di Prancis dalam bentuk sebuah krisis politik yang akut yang dapat diakhiri hanya dengan pemindahan kekuasaan ke tangan kaum proletar. Bagaimana pun juga, melalui sebuah revolusi di Polandia atau melalui konsekuensi perang di Eropa, atau sebagai akibat dari kebangkrutan Negara Rusia, revolusi akan menyeberang ke wilayah-wilayah kapitalis tua di Eropa.

Tetapi, bahkan tanpa tekanan dari luar seperti perang atau kebangkrutan, revolusi dapat bangkit di masa yang mendatang di salah satu bangsa Eropa sebagai akibat dari menajamnya perjuangan kelas secara ekstrim. Kita tidak akan mencoba membangun asumsi-asumsi mengenai bangsa Eropa mana yang pertama akan mengambil jalan revolusi. Satu hal yang tidak bisa diragukan, yakni bahwa kontradiksi-kontradiksi kelas di semua negeri-negeri Eropa belakangan ini telah mencapai tingkat intensitas yang sangat tinggi.

Pertumbuhan Sosial Demokrasi di Jerman yang luar biasa, di dalam kerangka konstitusi yang semi-absolutisme, akan menyebabkan sebuah konflik terbuka antara kaum proletar dengan monarki feodal-borjuis. Dalam satu tahun belakangan ini, masalah melawan kudeta politik dengan pemogokan umum telah menjadi salah satu pertanyaan utama di dalam kehidupan politik kaum proletar Jerman. Di Prancis, transisi kekuasaan ke tangan kaum Radikal (partai borjuis liberal – Ed.) telah membuka tali pengikat tangan kaum proletar, yang dulunya terikat oleh kerjasamanya dengan partai-partai borjuis dalam perjuangan melawan nasionalisme dan kekuasaan gereja. Partai Sosialis, yang kaya dengan tradisi empat revolusi yang tidak pernah padam, dan kaum borjuasi konservatif, yang bersembunyi di balik topeng Radikalisme, sekarang saling berhadap-hadapan. Di Inggris, dimana selama satu abad, kedua partai borjuis (Partai Konservatif dan Partai Liberal – Ed.) telah bergantian menguasai parlemen, kaum proletar di bawah pengaruh berbagai macam faktor baru saja mengambil jalan perceraian politik. Sedangkan di Jerman proses ini berlangsung selama 4 dekade, kelas buruh Inggris, yang memiliki serikat-serikat buruh yang kuat dan kaya dengan pengalaman perjuangan ekonomi, dengan beberapa loncatan dapat memimpin pasukan sosialisme benua Eropa.

Pengaruh Revolusi Rusia pada kaum proletar Eropa sangatlah besar. Selain menghancurkan absolutisme Rusia, yang merupakan kekuatan reaksioner utama di Eropa, revolusi ini akan menciptakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk revolusi di dalam kesadaran dan karakter kelas buruh Eropa.

Fungsi partai-partai sosialis adalah untuk merevolusionerkan kesadaran kelas buruh, seperti halnya perkembangan kapitalisme merevolusionerkan relasi-relasi sosial. Tetapi kerja agitasi dan pengorganisiran di antara kaum proletar memiliki inersia internal. Partai-partai Sosialis Eropa, terutama yang paling besar yakni Partai Sosial Demokrat Jerman, telah menjadi semakin konservatif seiring dengan semakin eratnya massa merangkul sosialisme dan semakin massa ini terorganisir dan disiplin. Sebagai akibatnya, Sosial Demokrasi sebagai organisasi yang mengejawantahkan pengalaman politik kaum proletar dapat pada satu ketika menjadi rintangan bagi konflik terbuka antara kaum buruh dan borjuasi. Dalam kata lain, konservatisme propagandis-sosialis dari partai-partai proletar dapat pada satu ketika menghalangi perjuangan kaum proletar untuk merebut kekuasaan. Pengaruh Revolusi Rusia yang luar biasa ini mengindikasikan bahwa ia akan menghancurkan rutinitas dan konservatisme partai, dan mendorong ke depan konflik terbuka antara kelas proletar dan kelas borjuasi reaksioner. Perjuangan untuk pemilu universal di Austria, Saxony, dan Prussia telah menjadi akut di bawah pengaruh langsung pemogokan-pemogokan Oktober di Rusia. Revolusi di Timur akan menulari kaum proletar Barat dengan sebuah idealisme revolusioner dan membangkitkan hasrat untuk berbicara kepada musuhnya dengan ‘bahasa Rusia’. Bila kaum proletar Rusia menemui dirinya berada di dalam kekuasaan, bila hanya sebagai akibat dari sebuah kombinasi situasi-situasi yang sementara di dalam revolusi borjuis kita, mereka akan menghadapi serangan terorganisir dari kaum reaksioner sedunia. Di pihak lain, mereka akan menemui kesiapan kaum proletar sedunia untuk memberikannya dukungan yang terorganisir.

Terisolasi dengan sumberdayanya sendiri, kelas buruh Rusia pasti akan diremukkan oleh kontra-revolusi ketika kaum tani meninggalkan mereka. Mereka tidak punya pilihan lain selain menghubungkan nasib kekuasaan politiknya dan nasib seluruh Revolusi Rusia dengan nasib revolusi sosialis di Eropa. Dengan kekuatan politik-negara yang luar biasa, yang diperolehnya karena kombinasi kondisi-kondisi sementara di dalam revolusi borjuis Rusia, ia akan mengubah perimbangan perjuangan kelas di seluruh dunia kapitalis. Dengan kekuasaan negara di tangannya, dengan kekuatan kontra-revolusi di belakangnya dan kekuatan reaksioner Eropa di mukanya, kelas buruh Rusia akan mengirim sebuah pekik perjuangan yang tua kepada kamerad-kameradnya di seluruh dunia, yang sekarang akan menjadi sebuah seruan untuk serangan yang terakhir: Buruh Sedunia, Bersatulah!  


Catatan

[1] Perpetual Motion (gerak-kekal) adalah sebuah konsep utopis dimana sebuah benda dapat bergerak selamanya, dimana konsep ini melanggar hukum konservasi energi.

[2] Baca kata pengantar saya untuk Address To The Jury oleh F. Lassalle, diterbitkan oleh Molot – L.T.

[3] Franz Josef I Karl (1830 – 1916) adalah Kaisar Austria dari keluarga dinasti Habsburg

[4] Kabinet Oktober yang dimaksud disini adalah pemerintahan Tsar Rusia yang melahirkan Manifesto Oktober yang diproklamirkan karena tekanan dari Revolusi 1905. Manifesto Oktober ini diproklamirkan pada 17 Oktober 1905, dan menjamin dan meluaskan kebebasan demokrasi rakyat Rusia.

[5] Duma adalah bahasa Rusia untuk dewan munisipal di bawah pemerintahan Tsar, yang dbentuk pada 1905.

[6] Ignacy Daszynski (1866-1936) adalah seorang politisi Polandia, dan pemimpin dari Partai Sosialis Polandia. Dia adalah seorang anti-Bolshevik.

[7] Perang Franco-Prussia adalah perang yang berlangsung dari 1870 hingga 1871 yang menelan korban sekitar 250 ribu jiwa. Prancis kalah di dalam peperangan ini, dan kemarahan akibat perang ini membuat kaum pekerja Prancis berang, terutama karena merekalah korban dari perang ini dan dipaksa membayar ganti-rugi perang kepada Prussia. Ini memercikkan Revolusi Komune Paris 1871

[8] Napoleon III (1808-1873) atau dikenal juga sebagai Louis Napoleon Bonaparte adalah keponakan dari Napoleon I. Dia adalah presiden dari Republik Kedua Prancis (1848-1852), setelah Revolusi Prancis 1848, lalu Kaisar dari Kerajaan Prancis Kedua (1852-1870) setelah dia meluncurkan kudeta yang menghancurkan Revolusi Prancis 1848. Marx menulis banyak mengenai dia, dalam karyanya Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte mengenai Revolusi Prancis 1848, dan lalu Civil War and France mengenai perang Franco-Prussia dan Komune Paris yang menyusulinya.

[9] Mikado adalah istilah tua untuk Kaisar Jepang.

[10] Perang Boer (1899-1902) adalah perang yang terjadi di Afrika Selatan, antara negeri-negeri di Afrika Selatan (South African Republic dan Orange Free State) dengan negeri imperialis Inggris. Kaum Boer adalah orang-orang keturunan Eropa di Afrika Selatan yang berimigrasi sejak abad ke-17 dan lalu membentuk negeri-negeri yang independen. Mereka berjuang untuk mempertahankan negeri mereka dari Inggris yang ingin menjajah mereka. Kaum Boer kalah dalam peperangan ini, dan lalu negeri-negeri mereka dianeksasi dan disatukan menjadi Union of South Africa pada 1910.

[11] Biro Internasional Sosialis adalah organisasi permanen dari Internasional Kedua. Biro ini dibentuk pada 1900 di kongres Paris. Sebelum Biro ini terbentuk, tidak ada infrastruktur organisasi di dalam Internasional Kedua yang sudah eksis sejak 1889.

[12] Ternyata resolusi ini tidak efektif. Pada 1914, partai-partai sosial demokrasi Internasional Kedua mendukung Perang Dunia Kedua.