Jalan Keluar dari Krisis Ekonomi

Ir. Sakirman (1953)


Penerbit: Yayasan "Pembaruan", Jakarta, 1954. Scan PDF.


Pidato diucapkan dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Pada tanggal 16 Desember 1953

 

Saudara Ketua, saya selaku Ketua fraksi pada dalam ini akan memberikan pemandangan secara umum tentang Nota Keuangan dan Laporan Devisa.

Adapun soal-soal yang berkenaan dengan pekerjaan dari Kementerian masing-masing sepanjang itu ditetapkan di dalam Nota Keuangan akan dibentangkan oleh kawan-kawan lainnya dari fraksi kami.

 

I

Sifat Setengah-Kolonial Anggaran Belanja 1952-1953

Saudara Ketua, dalam Nota Keuangan 1950-1951 halaman 7 Mr. Sjafruddin, Menteri Keuangan dalam pemerintahan Republik Indonesia Serikat, menyatakan pendiriannya terhadap penyusunan anggaran belanja 1950. Antara lain diterangkannya bahwa selama menunggu pengesahan anggaran tahun 1950, semua pengeluaran harus didasarkan pada kredit-kredit yang bersesuaian dan yang telah ditetapkan pada tahun 1949.

Pendirian Sjafruddin ini didasarkan pada pasal-pasal dalam “Wet op de Staatsinrichting van Indonesie” yang menetapkan bahwa selama anggaran sesuatu tahun belum disahkan, maka dipakai sebagai dasar pemeliharan keungan, anggaran tahun yang mendahului tahun dinas yang bersangkutan.

  Pendirian Sjafruddin ini membawa akibat: bahwa politik anggaran belanja tahun 1950 dan juga tahun 1951 dari Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia berpokok pada politik anggaran belanja kolonial tahun 1949 dari pemerintah federal Van Mook.

Dari sini dapat kita lihat bahwa Republik Indonesia Serikat yang kemudian menjelma menjadi Republik Indonesia Kesatuan yang menurut perjanjian Konferensi Meja Bundar telah menerima apa yang dinamakan “kedaulatan yang penuh dan tidak bersyarat”, itu, ditinjau dari sudut politik anggaran belanja, adalah tidak lain dari pada suatu negara setengah-kolonial.

Sebagaimana kita lihat pada anggaran belanja tahun 1949, maka beberapa corak yang  khusus bagi anggaran kolonial  atau setengah-kolonial tampak jelas dengan jelas pada anggaran tahun 1950-1951, yaitu:

(1) Sebagian besar dari pendapatan negara diperoleh dari hasil pemungutan pajak-pajak;

(2) Sebagian besar dari pendapatan ini dipergunakan untuk keperluan administrasi Pemerintah Sipil, untuk keperluan ketentaraan, kepolisian, penjara, dan pengadilan;

(3) Sebagian dari pendapatan  negara dipakai untuk membayar pinjaman dari luar negeri  beserta dengan bunganya;

(4) Hanya sebagian yang sangat kecil saja dari pendapatan negara digunakan untuk memenuhi kebutuhan materiil dan kulturil dari Rakya kita;

(5) Tempat-tempat yang penting dalam lapangan keuangan dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan dan bank-bank modal asing;

(6) Adanya defisit atau kekurangan anggaran belanja yang menimbulkan takanan-tekanan inflasi yang luar biasa;

(7) Tekanan-tekanan deflasi sebagai akibat dari pada politik masa ontslag semakin meluaskan pengangguran dan kemiskinan.

Apakah yang dipakai sebagai dasar oleh Dr. Sumitro bekas Menteri Keuangan dalam Kabinet Wilopo, untuk menyusun anggaran belanja tahun 1952 dan tahun 1953?

Meskipun bagi Sumitro terbuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk menetapkan prinsip-prinsip baru juga demokrasi dalam menyusun anggaran 1952-1953. Tetapi menurut kenyataannya budget politik dan kebijaksanaan moneter yang dilakukan oleh Sumitro pada hakikatnya adalah lanjutan semata-mata dari pada politik anggaran belanja Sjafruddin-Wibisono. Dalam Nota Keuangan Negara 1952-1953 Menteri Sumitro dulu mencoba menutupi kenyataan ini dengan keterangan yang panjang lebar, tetapi yang lebih bersifat demagogis dari pada wetenschappelijk.

1. Tentang Pendapatan Negara

Marilah kita kupas lebih lanjut kelemahan-kelemahan dari pada anggaran 1952-1953 untuk membuktikan bahwa anggaran ini pada hakikatnya masih juga bercorak setengah-kolonial dan belum nenunjukkan tanda-tanda perubahan corak ini menjadi corak yang nasional.

Pendapatan negara tahun 1952 dan tahun 1953 sebagian besar diperoleh dari hasil pemungutan pajak-pajak langsung atau tidak langsung dan hanya sebagian kecil saja berupa keuntungan perusahaan negara.

Menurut perkiraan tahun 1952, jumlah pendapatan negarra seluruhnya adalah sebessar Rp 9.178.860.000,-, terdiri dari Rp 6.636.875.000,- atau 72% dari pendapatan negara, berupa penghasilan pajak; Rp 2.248.947.000,- atau 24,5% dari pendapatan negara, berupa berbagai-bagai penerimaan; Rp 293.038.000,- atau ±  3,5% dari pendapatan negara berupa keuntungan perusahaan-perusahaan Pemerintah.

Perkiraaan sementara tahun 1953 memberikan angka-angka sebagai berikut:

Seluruh pendapatan negara berjumlah = Rp 7.580.269.400,-

Penghasilan dari pajak-pajak atau sama dengan ± 73% = Rp 5.555.243.000,-

Berbagai-bagai penerimaan atau sama dengan 24,5% = Rp 1.830.098.000,

Keuntungan Perusahaan Pemerintah  atau 2,5% dari seluruh pendapatan negara = Rp 194.928.400,-

Dari angka-angka di atas jelaslah bahwa sebagian besar dari pada pendapatan negara didapat dari pajak-pajak sedangkan hanya sebagian kecil saja diperoleh dari keuntungan perusahaan pemerintah.

Hasil pemungutan pajak untuk tahun 1952 dan tahun 1953 masing-masing bukan hanya hanya berjumlah 72% dan 73%, tetapi lebih banyak dari pada itu. Sebab dalam halaman IV/22 dapat kita lihat bahwa apa yang dinamakan berbagai-bagai penerimaan itu buat sebagian besarnya terdiri dari hasil kotor sertifikat devisa tahun 1952 sebesar Rp 2.070.000.000,- atau lebih dari 90% dari jumlah seluruhnya rupa-rupa pendapatan dan dari sebesar Rp 1.649.969.000,- atau kurang lebih 90% dari jumlah rupa-rupa pendapatan tahun 1953. Ini berarti bahwa jumlah dari pada pendapatan yang didapat dari pajak-pajak merupakan suatu jumlah yang lebih besar dari pada 70% dan dapat ditaksir tidak kurang dari 95% dari seluruh pendapatan negara, karena baik hasil sertifikat devisa maupun indusemen adalah pada hakikatnya tidak lain dari pajak tidak langsung.

Selanjutnya dapat kita lihat dari daftar  VIII B, bahwa pendapatan-pendapatan yang didapat dari pajak-pajak peralihan, perseorangan, penjualan, bea masuk, bea keluar umum, bea keluar tambahan, cukai tembakau dan lain-lain adalah pendapatan-pendapatan yang masing-masing jumlahnya lebih dari Rp 500.000.000,-. Ini berarti bahwa justru pajak-pajak yang langsung atau tidak langsung menjadi beban Rakyat banyak memainkan rol yang sangat besar dalam penerimaan negara.

Jadi, lebih dari 90% dari pada pendapatan negara diperoleh dari hasil pemungutan pajak-pajak rakyat banyak dan hanya sebagian kecil daja berupa keuntungan-keuntungan perusahaan-perusahaan pemerintah.

2. Tentang Pengeluaran Negara

Sifat setengah-kolonial dari anggaran belanja tahun 1952 dan tahun 1953 dapat kita lihat dengan jelas pada pengeluaran negara yang digambarkan dalam daftar X daftar XI dan daftar XIII.

Menurut daftar XI, maka jumlah pengeluaran berulang neto dalam tahun 1952 adalah Rp 11.845.335.380,-.

Dari jumlah ini Rp 7.239.481.000,- atau 61,1% dipergunakan untuk apa yang dinamakan sektor keamanan yang meliputi sektor-sektor pertahanan, kepolisian, kehakiman dan dalam negeri Rp 2.104.699.100,- atau 17,8% dipergunakan untuk keperluan sektpr kemakmuran yang meliputi sektor-sektor perekonomian, pertanian, dinas perbelanjaan, perhubungan pelajaran dan pekerjaan  umum dan tenaga, sedangkan 8,3% dipergunakan untuk keperluan kebudayaan yang meliputi sektor-sektor penerangan, pendidikan, pengajaran dan hanya 3,7% disediakan untuk keperluan sosial yaitu perburuhan, kesehatan, urusan pegawai, dan jaminan sosial.

Jumlah pengeluaran berulang-ulang neto dalam tahun 1953 adalah Rp 8.105.806.325,- dan dari jumlah ini Rp 5.430.352.000,- atau 67% disediakan untuk sektor keamanan; Rp 924.477.725,- atau 11,4% untuk kemakmuran; Rp 347.348.750,- atau 4,3% untuk keperluan sosial.

Kalau kita bandingkan angka-angka tahun 1952 dengan tahun 1953, dapatlah kita ambil kesimpulan sebagai berikut:

 (a) Meskipun pengeluaran tahun 1953 untuk keperluan sektor keamanan menjadi kurang dibandingkan dengan jumlah pengeluaran yang bersangkutan tahun 1952, tetapi dalam perbandingan persentase, pengeluaran tahun 1952 adalah lebih besar yaitu 67% tahun 1953 dibandingkan dengan 61% tahun 1952;

(b) Disamping itu kita lihat bahwa pengeluaran untuk keperluan kemakmuran tahun 1952 sebesar Rp 2.104.699.100,- atau 17, 8% dari jumlah pengeluaran tahunitu, turun dalam tahun 1953 menjadi Rp 924.477.725,- atau 11,4% dari jumlah pengeluaran 1953;

(c) Pengeluaran untuk keperluan kebudayaan tahun 1952 sebesar Rp 893.947.300,- turun menjadi Rp 858.644.100,- tahun 1953 sedangkan

(d) Pengeluaran untuk keperluan sosial tahun 1952 sebesar Rp 96.675.500,- tururn menjadi Rp 88.741.500,- tahun 1953.

Jadi jelaslah bahwa politik mengeluarkan berulang-ulang tahun 1953 adalah pada hakikatnya tidak berbeda dibandingkan dengan politik tahun 1952 yaitu bahwa sebagian besar dari pada pengeluaran-pengeluaran itu dipergunakan untuk keperluan sektor keamanan yaitu pertahanan, kepolisian, kehakiman dan dalam negeri, seddangkan hanya sebagian kecil saja yang dipergunakan untuk keperluan kemakmuran Rakyat, kebudayaan dan sosial. Malahan seperti diterangkan di atas pengeluaran untuk sektor keamanan tahun 1953 merupakan 67% dari seluruh jumlah pengeluaran berulang-ulang tahun ini.

Disamping pengeluaran-pengeluaran yang bersifat berulang-ulang maka Menteri Sumitro menyediakan juga pengeluaran modal meskipun jumlahnya sangat sedikit yaitu Rp 2.898.775.100,- tahun 1952 dan Rp 1.657.673.600,- tahun 1953 atau sesudah dikurangi dengan penerimaan modal yang bersangkutan menjadi Rp 1.602.482.400,- dan Rp 1.210.436.200,-

Kalau kita pelajari daftar XIII yang menggambarkan sesuatu perangkaan pengeluaran-pengeluaran modal maka mungkin akan timbul kesan seakan-akan politik pengeluaran modal tahun 1953 adalah lebih maju dari pada politik yang dijalankan tahun 1952, terutama jika kita hanya melihat kepada angka-angka persentase saja. Sebab menurut angka-angka persentase ini, pengeluaran modal tahun 1952 untuk keperluan perusahaan, kepolisian, kehakiman dan dalam negeri sebesar 23,2% dari seluruh pengeluaran modal neto turun menjadi 17,8% sedangkan pengeluaran modal untuk keperluan kemakmuran naik dari 64,3% dalam tahun 1952 menjadi 76% dalam tahun 1953.

Kenaikan angka-angka ini hanya bersifat relatif dan pada hakikatnya tifak mempunyai arti apa-apa, malahan sebaliknya dapat kita tarik kesimpulan bahwa politik pengeluaran modal tahun 1953 adalah kurang maju dibandingkan dengan politik tahun 1952. Sebab jumlah pengeluaran modal bruto seluruhnya dalam tahun 1952 adalah Rp 2.898.775.100,- dan kurang menjadi Rp 1.657.673.600,-dalam tahun 1953, sedangkan untuk keperluan kemakmuran tahun 1952 dan tahun 1953 dipergunakan masing-masing Rp 2.326.815.200,- dan Rp 1.365.990.100,-

Sebagaimana nanti akan kami terangkan lebih lanjut, maka politik pengeluaran modal yang dilakukan oleh Sumitro baik dalam tahun 1952 maupun dalam tahun 1953 adalah berdasarkan kepada suatu teori kapitalis yang reaksioner, yang sudah tidak pada tempatnya lagi dijalankan di Indonesia.

Menjalankan politik pengeluaran modal seperti yang dianjurkan dan buat sebagian telah dijalnkan oleh Sumitro di Indonesia tidak bisa berati lain dari pada menjalankan suatu politik mempertahankan sistem ekonomi yang agraris dan setengah-kolonial dan menutup kemungkinan-kemungkinan mengadaan persiapan-persiapan industrialisasi dengan membangun industri nasional yang dapat menghasilkan barang-barang kebutuhan Rakyat.   

3. Tentang Defisit Anggaran Belanja

Masalah defisit anggaran belanja tidak dapat ditinjau secara formil dari angka-angka tentang besar kecilnya defisit itu semata-mata. Ia adalah suatu masalah yang sepenuhnya ditentukan oleh sistem ekonomi dan keuangan dan dengan sendirinya oleh pihak politik anggaran belanja yang dijalankan oleh pemerintah sesuatu negara.

Meskipun secara formil menurut angka-angka yang disajikan dalam Nota Keuangan, defisit tahun 1953 adalah jauh lebih kurang dari pada defisit tahun 1952, ini tidak berarti bahwa keadaan ekonomi dan keuangan di Indonesia sudah menjadi jauh lebih baik dari pada keadaan tahun 1952. Begitulah, sebagaimana kita alami keadaan tahun 1951 tidak lebih baik dari pada tahun 1950, meskipun anggaran belanja tahun 1951 tidak menunjukkan defisit, tetapi sebaliknya malahan menunjukkan suatu surplus sebesar Rp 1.195.000.000,-.

Apakah sebabnya defisit tahun 1952 sebesar Rp 4.327.000.000,- menjadi kurang dalam tahun 1953 sampai Rp 1.794.000.000,-?

Menteri Sumitro mengatakan bahwa berkurangnya defisit anggaran tahun 1953 dengan suatu jumlah yang tidak kurang besarnya dari Rp 3,5 miliar akan membawa akibat melunakkan tekanan-tekanan inflasi dalam tahun 1953.

Meskipun harus diakui bahwa bahaya inflasi memang menjadi kurang untuk sementara, tetapi kalau kita lihat bagaimana cara Sumitro mengurangi defisit itu, maka teranglah bahwa usaha mengurangi defisit itu kecuali membawa akibat melunakkna tekanan-tekanan inflasi juga membawa akibat semakin kurangnya tenaga pembeli Rakyat, termasuk golongan bekas tenga pejuang dan masa tentara yang menerima sokongan maupun gaji dari Pemerintah dan Kementerian Pertahanan. Sebab sebagaimana kita lihat dalam daftar-daftar X, XI, XII, dan XIII, maka berkurangnya defisit itu disebabkan karena pengeluaran berulang-ulang neto dan pengeluaran modal dalam semua sektor, yaitu sektor keamanan, sektor kemakmuran, kebudayaan, dan sosial.

Lagi pula kemungkinan berkurangnya tekanan-tekanan inflasi itu membawa akibat menjadi kurangnya persediaan devisa negara, oleh karena menurut keterangan Sumitro defisit tahun 1953 sebesar Rp 1.794 miliar buat sebagian besar yaitu jumlah Rp 1.300.000.000,- akan ditutup denagn secara tidak langsung dengan menggeser kekurangan jumlah Rp 1.300.000.000,- itu kepada kekrunagn pembayaran dengan luar negeri. Dan ini berarti bahwa persediaan devisa negara menurut rencana Sumitro selama tahun 1953 akan berkurang dengan Rp 1.300.000.000,-.

Para ahli ekonomi kapitalis memang sangat ketakutan akan angka-angka yang menggambarkan kekurangan anggaran belanja dan mencoba untuk melenyapkan angka-angka ini dengan jalan yang merugikan negara dan Rakyat.

Sebetulnya masalah “devisit” itu, meskipun untuk sementara memang bisa membawa akibat yang buruk terhadap keadaan ekonomi dan keuangan negara, tetapi pengalaman di negeri-negeri yang telah dapat membebaskan diri dari kekuasaan ekonomi imperalis, menunjukkan bahwa “defisit” yang dialami untuk satu atau dua tahun merupakan suatu jembatan untuk menuju keadaan yang lebih baik. Asal saja defisit itu timbul sebagai akibat dari pada investasi mosal secara besar-besaran dan menurut rencana yang ditentukan.

 

II

Krisis Ekonomi dan Keuangan di Indonesia yang Semakin Mendalam

 

1. Sepintas lalu tentang keadaan Ekonomi dan Keuangan Internasional

Dalam Nota Keuangan Dr. Sumitro mencoba mengupas keadaan ekonomi dan keuangan internasional dan akhirnya mengambil kesimpulan dalam halaman III/15 bahwa “dengan tetap berlangsungnya perimbangan-perimbangan pada pasar dunia seperti sekarang ini, maka tidak dapat dihindarkan akan adanya kekurangan-kekurangan lagi dalam anggaran belanja tahun 1953”.

Dari seorang yang menamakan diri “ahli keuangan” dan seorang pentolan soska di lapangan keuangan, orang sesungguhnya mengharapkan akan kupasan secara kapitalis yang lebih lengkap dan mendalam mengenai perimbangan-perimbangan dalam pasar dunia sekarang. Tetapi apa saja yang telah dikupas secara sepintas lalu oleh Dr. Sumitro itu bukanlah keadaan sewajarnya dari pada pasar dunia sekarang dan hanya sekedar merupakan pemberitahuan bahwa harga-harga barang-barang mentah “di pasar dunia” atau lebih tepat dikatakan di sebagian pasar dunia, menjadi merosot dan secara mekanis Dr. Sumitro lalu mengambil kesimpulan bahwa selama keadaan tidak berubah, adanya suatu defisit lagi dalam anggaran belanja tahun 1953 tidak dapat dihindari.

Karena dalam pemecahan masalah ekonomi dan keuangan dalam negeri, adanya suatu pengetahuan yang tepat tentang perimbangan-perimbangan yang sewajarnya dalam pasar dunia sekarang adalah sangat penting, maka baiklah kita bahas lebih dulu keadaan ekonomi dan keuangan internasional pada waktu ini.

Perang dunia II yang direncanakan oleh kaum imperalis dan yang ditimbulkan oleh negeri-negeri fasis Jerman dan Itali di Eropa dan oleh Jepang di Asia, terbukti tidak berakhir dengan hasil-hasil imperalis Amerika-Inggris-Perancis maupun oleh negara-negara fasis Jerman-Itali-Jepang.

Negeri-negeri fasis telah hancur selama perang dunia II dan neger-negeri imperalis terutama Inggris dan Perancis menjadi bangkrut karena sangat banyak menderita kerusakan-kerusakan dan kerugian-kerugian. Hanya imperalis Amerika sajalah yang muncul sebagai satu-satunya negara imperalis yang masih kuat.

Disamping kenyataan-kenyataan ini, maka kita lihat suatu kenyataan lagi yaitu bahwa perang dunia II tidak berakibat semakin menjadi lemahnya apalagi hancurnya negara sosialis Soviet Uni, tetapi bahwa sebaliknya malahan berakibat semakin menjadi kuatnya Soviet Uni  dan timbulnya negeri-negeri baru    yang dapt membebaskan diri dari kekuasaan modal monopoli asing, yaitu Republik Tiongkok, negeri-negeri Demokrasi Rakyat di Eropa Timur, Republik Demokrasi Vietnam dan Republik Rakyat Korea. Dengan demikian kekuatan sosialisme dan demokrasi yang dulu sebelum perang dunia II hanya meliputi seperenam dari dunia ini dengan penduduk kurang lebih 200.000.000, sekarang setelang perang dunia Ii telah berkembang dan meluas sehingga meliputi daerah yang sangat luas dengan penduduk yang banyaknya lebih dari sepertiga jumlah penduduk dunia.

Jelasnya perang dunia II tidak berakhir dengan lahirnya kekuasaan monopoli atas seluruh dunia dari kaum imperalis yang dipelapori oleh Amerika, tetapi sebaliknya dunia telah terpecah menjadi dua kubu atau front,   yaitu: kubu sosialis, demokrasi dan perdamaian yang dipelapori oleh Soviet Uni dan kubu imperalis yang agresif yang dipelapori oleh Amerika.

Dan dengan pecahnya dunia ini menjadi dua kubu, maka membawa akibat terbaginya pasar dunia yang dulu meliputi seluruh dunia, minus Soviet Uni, menjadi dua pasar dunia yang besar; disatu pihak pasar dunia kapitalis yang lama yang selalu menderita krisis, yang sekarang semakin diperkecil dan yang mengandung pertentangan-pertentangan di dalamnya dan di pihak lain pasar dunia yang baru yang demokratis, stabil dan yang tidak mengenal krisis.

Berlainan dengan watak dari pada pasar dunia kapitalis yang lapuk dan yang semakin terancam oleh bahaya krisis, maka pasar dunia yang baru tidak tidak mengenal krisis dan kesulitan-kesulitan untuk menjual produksinya, karena: pertama bertambahnya produksi tidak didasarkan pada nafsu untuk mencari untung sebanyak-banyaknya, tapi ditujukan pada memenuhi  secara maksimal kebutuhan materiil dan kulturil dari seluruh Rakyatnya; kedua kekuatan membeli dari pada Rakyat karenanya semakin bertambah besar dan ketiga perdagangan diantara negeri-negeri yang berada dalam pasar dunia yang demokratis itu dilakukan atas dasar persamaan hak dan atas prinsip saling menguntungkan. Jadi kedua pasar dunia itu mempunyai sifat dan arah perkembangan yang bertentangan satu sama lain dan ini adalah suatu kenyataan pokok yang kita lihat di lapangan ekonomi dan keuangan internasional setelah perang dunia II, suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi oleh oleh siapapun juga, termasuk golongan-golongan yang berkuasa di negeri-negeri kapitalis, sebagaimana dapat  kita baca dalam “Laporan P.B.B tahun 1951-1952” yang dimuat dalam “World Economic Report”, United Nations, Department of Economic Affairs, New York 1953. Dr. Sumitro dalam uraiannya hanya membuka mata terhadap pasar dunia kapitalis dan menutup matanya serapat-rapatnya terhadap kenyataan-kenyataan tentang adanya pasar dunia yang lain seperti diterangkan di atas, dan oleh karenanya tidak melihat perbedaan besar antara perimbangan pasar dunia sebelum dan pasar dunia sesudah perang dunia II.

Kesimpulan kita: uraian Dr. Sumitro tidak objektif dan oleh karena itu tidak mungkin benar. 

 2. Politik Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan Luar-negeri yang Reaksioner dari Sjafruddin-Wibisono-Sumitro

Pengalaman selama tiga tahun ini telah membuktikan bahwa politik luar negeri pemerintah-pemerintah Indonesia, mulai dari jaman Kabinet Hatta sampai ke jaman Sumitro dalam Kabinet Wilopo, hanya merugikan ekonomi nasional kita karena politik ini hanya berorientasi pada negara-negara imperalis dan membatasi diri pada mengadakan hubungan-hubungan dengan pasar dunia kapitalis yang sempit dan bangkrut. Disamping itu kelihatan sekali politik ekonomi, keuangan, dan perdagangan luar negeri Sjafruddin-Wibisono-Sumitro yang berusaha secara sistematis mengisolasi Indonesia dari pasar dunia yang baru, stabil dan demokratis yang timbul sesudah perang dunia dan yang meliputi negeri-negeri Soviet Uni, Republik Rakyat Tiongkok dan negeri-negeri Demokrasi Rakyat lainnya.

Dan inilah sebab yang pokok mengapa sudah lama nampak tanda-tanda akan adanya “afglijdingsproses”, seperti yang disinyalir oleh program Kabinet Wilopo satu setengah tahun yang lalu.

Apakah akibat-akibat yang langsung kita alami karena politik yang reaksioner dari Sjafruddin-Wibisono-Sumitro?

Sebagaimana kita ketahui, maka dalam usahanya untuk mengatasi krisis ekonomi dan keuangan dari pada sistem kapitalisme, negeri-negeri imperalis terutama Amerika berusaha menimbulkan peperangan dunia baru dengan merubah politik ekonomi dan keuangan yang damai menjadi politik ekonomi perang, mendirikan pangkalan-pangkalan militer di negeri-negeri lain dan melakukan agersi terhadap beberapa negeri lainnya.

Dengan melalui organisasi-organisasi yang sekarang ini boleh dikatakan dikuasai sepenuhnya atau sebagian oleh imperalis Amerika, seperti PBB, GATT, IMF, IBRAD, ECA, TCA, dan perjanjian-perjanjian militer seperti NATO dan ANZUS yang telah dikuasai sepenuhnya oleh Amerika. Amerika mencoba menguasai keadaan ekonomi dan keuangan dan akhirnya keadaan politik negara-negara lain yang menjadi anggota atau menerima bantuan dengan melalui organisasi-organisasi tersebut.

Terhadap Indonesia, sebagai negara yang menjalankan apa yang dinamakan “politik bebas” dan belum pernah menyatakan terang-terangan memihak sepenuhnya kepada Amerika, dijalankan politik ekonomi dan keuangan yang bersifat perang sebagai berikut:

(a) Di bawah kedok “bantuan” teknik dan ekonomi Amerika telah dapat mengirimkan agen-agen atau mata-matanya ke Indonesia;

(b) Dengan menggunakan Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai alat politik, maka Amerika telah memaksakan Indonesia supaya menjalankan embargo terhadap Republik Rakyat Tiongkok dan dengan demikian melarang Indonesia menjalankan perdagangan yang normal dengan Republik Tiongkok;

(c) Dengan memaksa Indonesia supaya menjalankan embargo terhadap Republik Rakyat Tiongkok itu Amerika bermaksud menjadikan diri sebagai single buyer dalam beberapa bahan strategis, terutama karet dan timah;

(d) Dengan melalui GATT, Amerika dapat menentukan menurut kehendaknya sendiri rendah dan tingginya bea keluar dan bea masuk sehingga dengan demikian Amerika dapat membeli barang-barang yang dibutuhkan dengan harga semurah-murahnya, menolak atau mengurangi masuknya barang-barang yang tidak dibutuhkan oleh Amerika dan menjual barang-barang ke luar negeri dengan harga yang semahal-mahalnya.

Tidaklah mengherankan bahwa negeri-negeri imperalis eropa Barat yang pada permulannya sangat gembira menerima apa yang dinamakan “bantuan” dari Amerika, sekarang sesudah mengalami praktik dari pada politik luar negeri Amerika mulai menjerit dan berteriak supaya “politik membantu” dari Amerika diganti dengan “politik menjalankan perdagangan yang normal” berdasarkan prinsip persamaan saling menguntungkan. Semboyang “trade but not aid”,   sekarang sudahlah menjadi semboyan kaum politisi burdjuis di negeri-negeri imperalis dalam gerakan menentang politik luar negeri Amerika.

Juga politik “bantuan” Amerika terhadap Indonesia yang mula-mula diharapkan oleh sebagian kaum politisi Indonesia akan dapat memberikan jalan keluar dari kesulitan-kesulitan di lapangan ekonomi dan keuangan, sekarang terbukti membawa akibat-akibat yang sebaliknya dari pada apa yang mereka harapkan.

Di samping kerugian-kerugian berjumlah beratus-ratus juta rupiah yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat turunnya harga karet dan timah, maka berkurangnya export bahan-bahan mentah ke negeri-negeri kapitalis, termasuk juga Amerika, akan sangat mempengaruhi neraca pembayaran luar negeri Indonesia, ke arah turunnya nilai tukar rupiah kita terhadap valuta asing, kecuali jika Indonesia dapat menutup kekurangan pembayaran dengan luar negeri itu dengan emas atau devisa. Tetapi usaha menutup kekurangan pembayaran ini dengan emas atau devisa, berarti mengurangi sumber dari pada alat pembayaran yang penting dari pada negara.

Jalan lain untuk dapat menutup kekurangan pembayaran ialah dengan mengurangi harga import dan ini berarti masuknya barang-barang konsumsi yang dibutuhkan oleh Rakyat banyak. Dan ini akan membawa akibat naiknya harga barang kebutuhan yang didatangkan dari luar negeri dan kenaikan harga barang-barang ini sudah tentu akan membawa akibat juga naiknya barang-barang yang dihasilkan di dalam negeri.

Tindakan-tindakan yang telah dijalnkan oleh Sjafruddin, Wibisono dan Sumitro di lapangan ekonomi dan keuangan seperti politik gunting uang; tindakan-tindakan mengadakan sistem devisa sertifikat yang membawa akibat bea export menjadi lebih dari 40% yaitu 8% normal ditambah dengan 33,3% berupa sertifikat devisa, tindakan untuk menjalankan apa yang dinamakan “bukti indusemen baru” dalam bulan Maret 1951, pembagian barang-barang dalam golongan dan peraturan golongan-golongan dengan 100%, 200%, tambahan bayaran, setoran 40% yang kemudian dinaikkan menjadi 75% dari harga improt adalah pada hakikatnya merupan tindakan-tindakan yang  mempunyai latar belakang politik yang lebih jahat, yaitu politik yang tidak berorientasi  kepada kepentingan Rakyat dan bangsa Indonesia tetapi kepada kepentingan imperalis berdasrkan prinsip politik ekonomi dan perdagangan perang yang diterapkan oleh Amerika.

Jadi jelaslah bahwa politik ekonomi, keuangan dan perdagangan luar negeri yang mengasingkan Indonesia dari pasar dunia yang demokratis dan stabil membawa akibat yang sangat luas dan yang sangat merugikan negara dan Rakyat di lapangan ekonomi dan keuangan.

3. Kesulitan-kesulitan yang semakin bertambah besar di lapangan Keuangan dan ekonomi

Mr. Sjafruddin yang terkenal dengan politik gunting uangnya yang sangat kejam itu, belakangan ini dalam  “Laporan De Javasche Bank” 1952-1953, mulai bertanya-tanya apakah keadaan ekonomi dan keuangan sekarang ini yang dicerminkan dalam anggaran belanja 1952-1953 masih berada dalam batas-batas kemampuan masyarakat Indonesia.

Meskipun jawaban Sjafruddin itu atas pertanyaannya sendiri kurang tepat dan banyak mengandung kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan, tetapi bagaimanapun juga, sekarang sudah menjadi kenyataan bahwa di kalangan umum politisi yang menurut pengalaman selalu berpegang kepada garis politik yang merugikan Rakyat banyak sudah terpaksa mengakui adanya kenyataan bahwa beban hidup yang harus dipikul oleh Rakyat adalah sangat berat dan semakin hari semakin menjadi berat.

Untuk mengetahui sampai dimana besarnya kesulitan-kesulitan yang dialami oleh Rakyat banyak dan ke arah mana kesulitan-kesulitan itu akan berkembang sampai ke puncaknya, maka dapat dipakai sebagai dasar faktor-faktor sebagai berikut:

(a) Berapa pendapatan nasional dari pada negara kita;

(b) Peranan dari pada Rakyat dalam proses produksi;

(c) Pengaruh keadaan internasional terhadap perkembangan dalam negeri;

(d) Beban yang harus dipikul oleh Rakyat dalam bentuk pinjaman-pinjaman luar dan dalam negeri serta bunganya dan pajak;

(e) Politik ekonomi dan keuangan yang dijalankan oleh Pemerintah baik ke luar maupun ke dalam.

Dalam Nota Keuangan, daftar XVI, dapat kita ikuti perkembangan dari pada hutang Indonesia semenjak tercapainya perjanjian Konverensi Meja Bundar pada akhir tahun 1949.

Jumlah hutang yang dioper Republik Indonesia Serikat dulu dan dari pemerintah federal Van Mook sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian Konverensi Meja Bundar adalah sebesar Rp 3.888.000.000,-, belum termasuk pinjaman peninggalan bekas negara-negara bagian, antara lain pinjaman dari Republik Indonesia yang diproklamirkan tahun 1945.

Hutang sebesar Rp 3.888.000.000,- pada akhir tahun 1949 itu naik pada akhir tahun 1950 menjadi Rp 4.054.000.000,- dan kemudian pada akhir tahun 1951, 1952 dan 1953 beturut-turut naik menjadi Rp 4.462.000.000,-,  Rp 5.360.000.000,- dan Rp 5.514.000.000,-.

Bertambah besarnya hutang ini disebabkan adanya hutang baru setelah akhir tahun 1949, yaitu pinjaman Republik Indonesia 1950 dalam negeri, pinjaman Nederland, pinjaman Exim Bank dan pinjaman Jepang dulu Scap.   

Menurut daftar XVII, maka jumlah dari pada bunga dan cicilan yang telah dibayar  oleh Pemerintah dalam tahun 1952 ialah Rp 155.610.735,- (bunga) + Rp 189.755.759,- = Rp 345.366.494,-

Jumlah cicilan dan bunga yang harus dibayar oleh Pemerintah makin lama akan makin bertambah besar, karena ada beberapa pinjaman yang cicilan baru dimulai setelah akhit tahun 1952, misalnya pinjaman ECA yang cicilannya dimulai pada tanggal 30 Juni 1956, pinjaman Exim Bank, cicilannya dimulai 1 Maret 1956, pinjaman Nederland, cicilannya dimulai 1953 dengan bunga yang semakin bertambah besar.

Dengan demikian jelaslah bahwa omongan banyak orang bahwa Republik Indonesia – Konvernsi Meja Bundar ini semakin tua usianya akan semakin menjadi kuat dan stabil adalah suatu demagogi belaka yang bertentangan dengan kenyataan.

Menurut kenyataan maka semakin Republik Indonesia – Konverensi Meja Bundar ini tua usianya semakin beratlah kewajibannya untuk membayar hutang beserta dengan bunganya dan ini sudah tentu akan membawa pengaruh yang sangat besar pada perkembangan anggaran belanja kita, pada perkembangan ekonomi dan keuangan. Keadaan yang menyedihkan ini hanya bisa dihindari jika Pemerintah Indonesia suka dan berani mengubah politik ekonomi dan keuangan yang reaksioner dengan politik ekonomi dan keuangan yang demokratis dan progresif.

Lain dari pada itu tiap-tiap hutang yang kita terima dari kaum imperalis, menurut pengalaman yang nyata mesti diatur dalam perjanjian-perjanjian yang merugikan Rakyat banyak dan merusak kepentingan ekonomi nasional kita.

Perjanjian Konverensi Meja Bundar yang sangat terkutuk itu adalah suatu contoh mengenai soal pinjaman luar negeri, yang mempunyai tujuan politik yang sangat jahat.

Dan pinjaman yang oleh Indonesia diterima dari Amerika dengan melalui Exim Bank pada hakikatnya bukanlah suatu pinjaman tetapi suatu alat bagi amerika untuk turut campur dalam menentukan pembangunan ekonomi di Indonesia dan untuk menggunakan devisa Republik Indonesia di amerika dalam jangka waktu yang tertentu untuk kepentingan Amerika sendiri.

Juga “bantuan”   yang diberikan oleh Amerika kepada Indonesia sebesar $ 4.000.000,- atau $ 5.000.000,-, seperti diterangkan di atas adalah suatu bentuk usaha Amerika untuk memasukkan spion-spionnya ke Indonesia, sedangkan dengan menekan harga karet dan timah Indonesia, Amerika dapat menggaruk keuntungan ratusan juta rupiah, dan dengan demikian Amerika membikin Indonesia menjadi lebih melarat dengan maksud agar Indonesia lebih menggantungkan diri pada Amerika.

Sebagaimana telah diterangkan di atas, maka lebih dari 90 persen dari pendapatan negara diperoleh dari hasil pemungutan pajak-pajak Rakyat.

Menurut Tabel I dalam halaman 27 “Laporan De Javasche Bank” maka jumlah pendapatan negara selama 4 tahun ialah:

Tahun 1950 ........................................................Rp   4.093.000.000,-

Tahun 1951 ........................................................Rp 10.303.000.000,-

Tahun 1952 ........................................................Rp   9.179.000.000,-

Tahun 1953 ........................................................Rp   7.580.000.000,-

Jumlah = Rp 31.155.000.000,-

            Kalau kita misalkan, jumlah penduduk Indonesia 75.000.000, maka selama 4 tahun itu setiap orang rata-rata telah membayar pajak 0,9 x Rp 31.155.000.000,- : 75.000.000 = kurang lebih Rp 380,- atau Rp 95,- setiap tahunnya. Ini adalah suatu jumlah yang sangat besar apabila kita mengingat bahwa sebagian besar dari Rakyat Indonesia terdiri dari kaum buruh dan tani kiskin yang selama perang dunia II dan selama revolusi telah banyak mengorbankan harta benda serta tenaganya.

Mr. Sjafruddin dalam “Laporan De Javasche Bank” tersebut di atas, telah memberikan anjuran supaya jumlah penerimaan negara tidak melebihi 60% dari hasil export.  Ini berarti menurut Mr. Sjafruddin bahwa apabila dalam tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang hasil export  ditaksir sebesar Rp 8.000 atau Rp 9.000 juta maka pemungutan pajak tidak boleh melebihi dari Rp 6.000 juta.

Ada suatu hal yang sengaja dilupakan oleh Mr. Sjafruddin yatitu bahwa hasil export tidak seluruhnya dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengukur rendah dan tingginya tingkat hidup Rakyat Indonesia. Sebab sebagaimana kita lihat dalam Tabel 42 “Laporan De Javasche Bank” 1952-1953, maka jumlah export seluruhnya dalam tahun 1952 sebesar Rp 10.386.750.000,- termasuk hasil-hasil minyak, terdiri dari dua golongan, yaitu golongan hasil-hasil perusahaan dan perkebunan modal asing sebesar Rp 6.344.300.000,- dan golongan hasil-hasil perusahaan dan perkebunan Rakyat yaitu sebesar 4 miliar rupiah lebih.

Meskipun menurut Ordonasi devisa tahun 1940 pemerintah mempunyai hak untuk menguasai seluruh hasil devisa tetapi dalam kenyataannya hak Pemerintah  ini tidak mempunyai arti ekonomis yang penting oleh karena kemungkinan transfer keuntungan luar negeri tetap terjamin dan sebagian besar dari pada devisa dipergunakan oleh importir-importir modal monopoli asing.

 Dengan demikian mungkin sekali terjadi bahwa pada suatu ketika jumlah hasil export  adalah besar tetapi sebagian besar keuntungan dari hasil export itu ditransfer ke luar negeri sehingga angka-angka sama sekali tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa kemakmuran Rakyat telah bertambah.

Jadi sudah terang bahwa besar dan kecilnya jumlah pajak-pajak yang dapat kita pungut tidak dapat ditetapkan berdasarkan hasil-hasil export yang buat sebagian besar dikuasai oleh modal monopoli asing. Jumlah pajak-pajak yang dapat kita pungut dapat kita dasrkan kepada pendapatan nasional yang nyata dari Rakyat banyak, kaum buruh, kaum tani, pengusaha kecil, kaum intelektual dan kaum pengusaha nasional dan bukan pendapatan “nasional” dari perusahaan-perusahaan perkebunan, pertambangan, dan bank-bank modal monopoli asing.

Keadaan ekonomi dan keuangan yang sangat sulit dan yang sudah mencapai puncaknya ini semakin bertambah sulit lagi karena politik luar negeri. Pemerintah-pemerintah Hatta- Natsir- Sukirman dan politik ekonomi dan keuangan Sjafruddin- Wibisono- Sumitro yang reaksioner dan yang telah memperkuat sifat tergantungnya Indonesia kepada negara-negara imperalis Amerika dan Eropa Barat. 

Dan usaha Dr. Sumitro untuk memperbanyak produksi nasional dengan memberikan “injeksi” berupa modal sebesar Rp 1.647.000.000,- tidak akan dapat merubah keadaan, sebaliknya malahan akan menambah kesulitan-kesulitan di lapangan ekonomi dan keuangan, sebagaimana akan kita uraikan lebih lanjut. Seorang yang menderita penyakit malaria tidaklah mungkin bisa menjadi sembuh karena mendapat suntikan untuk penyakit desentri umpamanya, menurut konsepsi Dr. Sumitro.

Demikianlah keadaan ekonomi dan keuangan pada waktu ini yang cukup memberi gambaran tentang banyaknya kesulitan-kesulitan yang kita hadapi yang semakin bertambah hebat. Suatu keadaan yang yang menunjukkan adanya bahaya inflasi besar-besaran, adanya tanda-tanda meningkatnya harga-harga kebutuhan Rakyat, meluasnya pengangguran dan kemelaratan, suatu keadaan ekonomi dan keuangan yang terancam oleh bahaya krisis yang semakin mendalam dan menghebat.

 

III

Jalan keluar dari kesulitan-kesulitan di lapangan Ekonomi dan Keuangan

Sekarang sampailah kita pada persoalan-persoalan, apakah jalan keluar yang bisa membawa kita dari kesulitan-kesulitan ini?

Dalam Nota Keuangannya, Dr. Sumitro mencoba memajukan suatu konsepsi tentang cara-cara mengatasi atau sekurang-kurangnya mengurangi kesulitan-kesulitan yang sekarang kita alami di lapangan ekonomi dan keuangan.

Meskipun Dr. Sumitro tidak memberikan alasan-alasan yang cukup jelas mengapa ditetapkan jumlah Rp 1.657.000.000,- sebagai jumlah yang paling tepat untuk investasi dalam tahun 1953 tetapi kemudian ternyata bahwa jumlah ini ditetapkan berdasarkan perhitungan yang dibuat oleh apa yang dikatakan golongan tenaga “ahli” dari PBB (baca Amerika). Menurut golongan “ahli” dari PBB ini maka jumlah investasi yang seharusnya ditetapkan oleh sesuatu negara yang terbelakang dan yang tiap-tiap tahunnya mendapat tambahan penduduk 1 persen, adalah kurang lebih 2 samapai 5 persen dari “pendapatn nasional”

Berdasarkan  prinsip yang dianjurkan oleh golongan “ahli’ dari PBB itu, maka Sumitro menetapkan bahwa jumlah 3 a 7,5% dari “pendapatan nasional” untuk Indonesia adalah yang paling tepat pada tingkatan sekarang ini.

“Pendapatan nasional” ditaksir oleh Dr. Sumitro sebesar Rp 50.000.000.000,- sehingga dengan demikian dapat ditetapkan jumlah pengeluaran modal termasuk financieeringsdienst sebesar Rp 1.657.000.000,- yaitu kurang lebih 3,3 persen dari Rp 50.000.000.000,-.

Tidak perlu diterangkan lagi bahwa perhitungan secara mekanis dan dogmatis dari para “ahli’ PBB itu yang rupanya akan dipakai selanjutnya oleh Sumitro untuk memecahkan masalah ekonomi dan keuangan adalah keliru sama sekali dan juga sangat memalukan.

Perhitungan semacam itu mungkin sekali dapat berlaku di negeri-negeri kapitalis yang telah maju dulu sebelum perang dunia II dan sudah logis bahwa konsepsi itupun hanya akan menguntungkan segolongan kecil kaum atasan yang berkuasa di negeri-negeri itu dan tidak menguntungkan Rakyat banyak terutama massa pekerja di kota-kota dan di desa-desa.

Marilah kita buktikan bahwa jalan yang ditempuh Dr. Sumitro untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di lapangan ekonomi dan keuangan menurut konsepsi para “ahli” PBB yang bankrut itu, dalam tempo dua atau tiga tahun saja akan membawa Indonesia ke dalam jurang kemiskinan dan kemelaratan yang lebih luas dan akan menimbulkan bahaya inflasi besar-besaran yang tidak mungkin dapat diatasi lagi.

Menurut keterangan Dr. Sumitro dalam Nota Keuangannya,maka jumlah devisa pada 1 Januari 1952 adalah sebesar Rp 6.000.000.000 dan pada akhir tahun 1952 akan berkurang menjadi Rp 4.000.000.000. 

Dari jumlah ini sebesar Rp 1.000.000.000 akan dipergunakan sebagai modal usaha guna pembayaran pemasukan barang-barang sedangkan sebagai bufferstock akan disediakan Rp 750.000.000, sehingga persediaan devisa yang dapat dipakai sebagai cadangan untuk “menutup” defisit neraca pembayaran adalah sebesar Rp 4.000.000.000 – Rp 1.750.000.000 = Rp 2.250.000.000,-

Menurut apa yang dinamakan “plan tiga tahun” Sumitro, maka jumlah ini akan dipergunakan untuk “menutup” sebagian defisit yang masih dapat dipertanggungjawabkan dalam tahun-tahun 1953, 1954 dan 1955, yaitu Rp 1.300.000.000,- untuk tahun  1953, Rp 600.000.000,- untuk tahun 1954 dan Rp 350.000.000,- untuk tahun1955.

Meskipun belum dapat diketahui sebagaimana susunan anggaran belanja untuk tahun 1954 dan 1955 itu, tetapi sudah dapat dipastikan bahwa anggaran belanja untuk tahun-tahun itu akan mengalami kekurangan yang semakin besar, karena pendapatan negara sampai sekarang ini hanya diperoleh dari pemungutan pajak-pajak dan tergantung semata-mata kepada keadaan ekonomi dan perdagangan dengan pasar dunia kapitalis yang telah bankrut dan lapuk itu.

Sekarang timbullah pertanyaan, dapatkah kita membenarkan “dalil” Dr. Sumitro yang diformulasi dalam halaman III/49 Nota Keuangan Negara, yaitu bahwa “dalam keadaan sekarang dengan cara memasukkan barang-barang dari luarr negeri dengan jalan memperbesar defisit kita pada neraca pembayaran serta dengan mempergunakan devisa dan cadangan moneter kita mungkin akan dapat mengimbangi defisit budget yang sepadan?”.

Sebagaimana telah diterangkan di atas, maka “dalil” itu mungkin dapat berlaku di negeri-negeri kapitalis dulu di jaman sebelum perang dunia II.

Tetapi sekarang tidaklah mungki “dalil” itu dipraktikkan di Indonesia sebagai negara setengah-jajahan, dimana:

(a) Produksi bahan-bahan export yang sangat kita butuhkan untuk membayar harga import sudah banyak berkurang yaitu turun sampai pada tingkat 60 persen dari pada produksi sebelum perang;

(b) Harga barang-barang export yang penting dapat ditetapkan dengan sewenang-wenang oleh kaum raja uang yang berkuasa di Wallstreet dan

(c) Sebagian dari pada harga export berupa keuntungan, gaji, dan hasil-hasil export yang dibebaskan dari Ordonansi Devisa tahun 1940, tidak dikuasai oleh Pemerintah. 

Dengan demikian bisa terjadi bahwa karena keadaan-keadaan yang tidak termasuk rencana Pemerintah (baca Dr. Sumitro) neraca pembayaran menunjukkan defisit yang sangat besar berhubung dengan sangat merosotnya harga export itu.

Jadi jelasnya: di negeri du mana, perdagangan luar dan dalam negeri, seperti Indonesia, sepenuhnya dikuasai oleh modal monopoli asing, maka kekurangan pembayaran dengan luar negeri tidak mesti membawa akibat bertambah banyak masuknya barang-barang dari luar negeri, sehingga dapat melunakkan akibat-akibat moneter terhadap keadaan dalam negeri.

Konsepsi Sumitro itu mengandung bahaya yang sangat besar apabila terjadi bahwa defisit pembayaran jauh lebih besar jika dibandingkan dengan persediaan devisa yang hendak kita pergunakan untuk menutup defisit itu. Kalau misalnya dalam tahun depan terdapat defisit anggaran dan dengan demikian juga defisit pembayaran yang lebih besar dari pada defisit tahun ini, padahal persediaan devisa untuk tahun depan sebesar Rp 600.000.000,- adalah jauh lebih kurang dari pada jumlah yang disediakan tahun ini, maka keadaan tahun depan kan lebih buruk dari pada keadaan tahun ini: tekanan inflasi akan sangat bertambah hebat, sedangkan pada akhir tahun depan persediaan devisa kita tinggal Rp 350 juta.

Dan bagaimanakah keadaan tahun 1955, apabila kita dengan konsekuensi menjalankan konsepsi Dr. Sumitro?

Karena politik perdagangan luar dan dalam negeri dari Sumitro tidak mungkin membawa akibat yang radikal ke arah perbaikan-perbaikan dalam anggaran belanja, maka sudah dapat dipastikan bahwa anggaran belanja tahun 1955 akan menunjukkan juga defisit yang besar, sedangkan persediaan devisa kita pada akhir tahun itu sudah habis sama sekali. Ini berarti bahwa tidaklah mungkin lagi menutup sebagian dari pada defisit tahun 1956 dengan cara seperti yang telah kita lakukan dalam tahun-tahun 1953, 1954 dan 1955. Akibat dari pada ini semua ialah bahwa negara kita menjadi bankrut karena sudah kehabisan devisa sama sekali sedangkan disamping itu belum dapat dicapai suatu “way-out” yang dapat menjamin bahwa anggaran belanja tidak akan menunjukkan defisit lagi. Dalam keadaan begini menurut Dr. Sumitro, satu-satunya jalan untuk “menutup” kekurangan anggaran ialah dengan memperbanyak persediaan uang kertas atau dengan menjalankan politik penghematan yang lebih tepat dinamakan politik massa ontslag, sehingga akibatnya tidak bisa lain kecuali meluas dan meratanya kemiskinan, kemelaratan serta pengangguran.

Jadi jalan keluar yang ditunjukkan oleh Dr. Sumitro dalam Nota Keuangannya dan yang dibelanja dengan panjang lebar berdasarkan dalil-dalil “ahli” ekonomi kapitalis tidaklah mungkin dapat membawa hasil sebagaimana kita harapkan, sebaliknya “jalan keluarnya” Dr. Sumitro malahan akan membawa negara kita kepada tepi jurang kemiskinan dan kesengsaraan dan inflasi secara besar-besaran yang tidak dapat kita atasi lagi.

Sudah berkali-kali Pemerintah Ali- Wongsonegoro menerangkan di depan sidang ini, bahwa Pemerintah telah menginflasi akan jahatnya persetujuan Konverensi Meja Bundar yang menyebabkan bahwa di Indonesia masih tetap berlaku sistem ekonomi kolonial dan bahwa Pemerintah akan berusaha sekuat tenaga untuk mengubah sistem ekonomi kolonial ini menjadi sistem ekonomi nasional.

Menurut pendapat Partai Komunis Indonesia, maka salah satu alat yang penting untuk melaksanakan sistem peralihan dari sistem ekonomi kolonial ke sistem ekonomi nasional itu ialah dengan menghilangkan sifat-sifat setengah-kolonial dari anggaran belanja kita. Pokoknya supaya dalam menyusun anggaran belanja lebih diperhatikan kepentingan Rakyat banyak. Sebaliknya terhadap modal monopoli asing harus diambil tindakan yang menguntungkan Rakyat dan menguntungkan Republik Indonesia.

  Menurut pendapat kami, suatu anggaran belanja negara bukanlah hanya merupakan registrasi semata-mata dari pada hutang yang dipinjam oleh Pemerintah kepada luar negeri dan kepada Rakyat, bukanlah suatu registrasi semata-mata dari pada setoran pajak-pajak Rakyat kepada Pemerintah dan juga bukan suatu catatan dari pada pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan militer, kepolisian, Pemerintah sipil, kehakiman dan lain-lain, tetapi suatu anggaran belanja seharusnya dijadikan dasar untuk melaksanakan suatu rencana ekonomi secara berangsur-angsur, setahun demi setahun, menurut plan yang tertentu.

Marilah kita tinjau lebih lanjut tindakan-tindakan apakah yang perlu ditetapkan dalam anggaran belanja negara Republik Indonesia, untuk merubah sifat setengah-kolonial dari anggaran belanja ini. Tindakan-tindakan itu pada umumnya dapat kita bagi menjadi dua golongan, yaitu tindakan dalam jangka panjang dan tindakan dalam jangka pendek.

Tindakan dalam jangka panjang harus ditujukan untuk membebaskan Indonesia sepenuhnya dari kekuasaan imperalisme dengan jalan menasionalisasi:

(1) Perkebunan asing berteknik modern, pabrik-pabrik besar, termasuk perusahaan-perusahaan pertambangan;

(2) Alat-alat perhubungan dan transport seperti kereta api, penerbangan, pos, telegram dan radio, pelayaran, dan lain-lain;

(3) Perusahaan-perusahaan bank dan perusahaan-perusahaan asuransi.

Disamping itu harus pula diambil langkah-langkah yang tegas untuk mempertinggi derajat hidup kaum tani dengan jalan memberikan tanah kepada kaum tani yang tidak bertanah atau yang tidak cukup mempunyai tanah dan dengan mempertinggi dan memodernisasi teknik pengairan dan pertanian.

Untuk menetapkan tindakan-tindakan dalam jangka pendek seharusnya dipakai sebagai dasar (a) kemungkinan-kemungkinan yang berhubungan dengan situasi politik dalam dan luar negeri; (b) kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak dan tidak dapat ditunda-tunda lagi penyelesaiannya, dan (c) akibat-akibat di lapangan ekonomi dan keuangan negara.

Salah satu tindakan yang sangat tepat dan dapat kami hargai sepenuhnya ialah tindakan dari Pemerintah untuk mengadakan orientasi baru dalam politik perdagangan luar negeri dengan mengirimkan misi perdagangan ke Republik Rakyat Tiongkok sebagai salah satu usaha untuk berkenalan dan kemudian berhubungan dengan pasar dunia yang baru dan demokratis.

Juga tindakan-tindakan Pemerintah untuk segera membuka kedutaan besar di Moskow dan untuk memperluas perhubungan dagang dengan negeri-negeri Demokrasi Rakyat di Eropa Timur kami sambut dengan gembira dan dengan penuh kepercayaan bahwa lambat laun Pemerintah Indonesia akan melepaskan politik luar negeri yang reaksioner yang dijalankan oleh Pemerintah-pemerintah Hatta- Natsir- Sukirman.

Tindakan-tindakan Pemerintah yang maju itu hendaknya diikuti dengan tindakan-tindakan lain untuk lebih menyempurnakan dan mengkongkritkan hasil-hasil yang diharapkan di lapangan perekonomian. Sudah waktunya Pemerintah meninjau Ordonansi devisa tahun 1949 dan menggunakan suatu politik pemakaian devisa yang lebih menguntungkan bagi negara dan Rakyat.

Hak yang diberikan oleh peraturan itu kepada Pemerintah untuk dapat menggunakan devisa dari hasil-hasil export pada hakikatnya tidak menguntungkan ekonomi kita, tetapi sebaliknya malahan bisa dipakai oleh kaum modal monopoli asing sebagai kedok untuk menggerogoti kekuasaan Pemerintah di lapangan ekonomi dan keuangan. Politik pemakaian devisa yang didasarkan pada Ordonansi devisa tahun 1949 itu dalam praktiknya malahan mendorong lahirnya apa yang dinamakan “stroomannen” dan mengakibatkan bahwa Pemerintah semakin lama malahan semakin kekurangan devisa, yang pada hakikatnya ditentukan oleh pengusaha-pengusaha import modal besar asing bisa menjadi lebih banyak dari pada persediaannya.

Dengan membatalkan Ordonansi devisa itu maka Pemerintah kemudian dapat menetapkan barang-barang yang mana tidak boleh diimport oleh importir partikulir karena akan diimport oleh Pemerintah sendiri dengan menggunakan devisa hasil export perusahaan-perusahaan Pemerintah dan perusahaan-perusahaan Rakyat. Pemerintah harus membantu sepenuhnya usaha dari kaum exportir dan importir nasional dengan memberikan pimpinan dan kredit secukupnya, sedangkan kepada kaum importir modal asing untuk sementara diberi kebebasan mengimport barang-barang dengan menggunakan devisa hasil export perusahaan-perusahaan perkebunan-perkebunan, pertambangan dan pertanian modal asing.

    Dengan berbagai-bagai jalan Pemerintah harus berusaha menguasai harga barang-barang kebutuhan yang pokok dari Rakyat dan dengan begini maka lambat laun Pemerintah akan bisa mengambil tindakan untuk menghapus perjanjian dengan negeri Belanda mengenai A-Rekening dan dapat mengiliminir pengaruh modal besar di lapangan perdagangan yang vital.

Sebagai tindakan untuk melenyapkan sifat setengah-kolonial anggaran belanja kita perlu dijalankan usaha-usaha untuk memperbanyak produksi makanan dan pakaian dengan menyediakan sebanyak-banyaknya pengeluaran untuk investasi modal di lapangan perindustrian sedang, dan ringan dan pengeluaran-pengeluaran berupa kredit bagi kaum tani dalam jangka pendek.

Dalam anggaran belanja hendaknya ditetapkan pula tindakan-tindakan untuk menasionalisasi beberapa perusahaan yang vital misalnya perusahaan minyak Sumtera Utara dan Cepu, GIA, KPM dan lain-lain. Juga harus dilaksanakan rencana menanami tanah-tanah yang kosong dengan tanaman-tanaman makanan Rakyat atau memberikan tanah itu kepada kaum tani yang tidak bertanah, dan kepada kaum tani yang tidak cukup mempunyai tanah.

Demikian kami menutup pemandangan umum tentang Nota Keuangan Negara 1952-1953 ini dengan pengharapan agar dalam anggaran belanja negara 1954:

(a) Pemerintah lebih banyak memperhatikan kebutuhan materiil dan kulturil dari pada Rakyat, kaum buruh, tani, pengusaha kecil, kaum intelektuil, pelajar dan pengusaha nasional dengan menyediakan sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh anggaran untuk pos-pos kemakmuran, pertanian, perhubungan, kebudayaan, pendidikan dan pelajaran, sosial, perburuhan dan urusan pegawai.

(b) Pemerintah menjalankan politik penanaman modal yang progresif dengan menyediakan modal yang cukup untuk menasionalisasi beberapa perusahaan ynag penting, mendirikan dan memperbanyak hasil perusahaan perindustrian dan kerajinan, memperbanyak hasil-hasil pertanian dengan menanami tanah-tanah yang kosong oleh kaum tani yang tidak bertanah, atau yang tidak cukup mempunyai tanah;

(c) Pemerintah menjalankan politik perekonomian dan keuangan yang maju dengan melanjutkan dan menyempurnakan tindakan-tindakannya di lapangan perdagangan luar negeri, lapangan pemakaian devisa, pengawasan harga dan secara berangsur-angsur membebaskan diri dari ikatan-ikatan dan perjanjian-perjanjian ekonomi dan keuangan yang merusak ekonomi nasional kita.