Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa

(Laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Jawa Barat)

D.N. Aidit (1964)


Sumber: Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1964. Scan PDF Brosur


ISI

Pendahulan

I. Pentingnya pekerjaan riset dan pentingnya kaum tani

II. Pembagian kelas-kelas di desa dan bentuk-bentuk penghisapan terhadap kaum tani dan nelayan di Jawa Barat

III. Kekuasaan politik setan-setan desa dan aksi-aksi kaum tani terhadapnya

IV. Perjuangan kaum tani terhadap setan-setan desa di bidang ekonomi

V. Taraf pengorganisasian dan aksi-aksi kaum tani dan nelayan mengganyang “7 setan desa"

VI. Kesadaran politik kaum tani dan propaganda politik revolusioner di desa

VII. Kaum tani dari “serba salah” menjadi “serba benar”

VIII. Kebudayaan dan moral revolusioner di kalangan kaum tani dan nelayan

IX. Lawan koperasi palsu, jadikan koperasi senjata di tangan kaum tani dan nelayan

Lampiran I: Pembagian kelas-kelas di desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu

Lampiran II: Anggaran belanja buruh tani, tani miskin, tani sedang, dan tani kaya di desa Tegalsari, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut

 

PENDAHULUAN

Risalah ini saya tulis di suatu tempat di daerah pegunungan Jawa Barat. Ketika menulis ini, saya berhadapan dengan Gunung Pangrango yang menjulang tinggi, di sebelah kiri saya tampak Gunung Gede dan di sebelah kanan Gunung Salak. Tempat yang tenang dan sejuk ini sungguh baik sekalu untuk menulis risalah atu untuk pekerjaan-pekerjaan lain yang menghendaki ketenangan.

Selama 7 minggu, mulai tanggal 2 Februari sampai dengan 23 Maret 1964, saya telah memimpin serombongan petugas-petugas riset (research) terdiri dari lebih daripada 40 orangn dan tiap orang telah bekerja dengan dibantu oleh sebuah tim (team) terdiri dari pemimpin-pemimpin kaum tani tingkat kecamatan dan desa.

Para petugas riset umumnya terdiri dari kader-kader yang banyak pengalaman dalam gerakan tani, di antara mereka terdapat kawan-kawan yang telah teruji dalam memimpin aksi-aksi kaum tani yang sengit dan sukses. Mereka umumnya berasal dari keluarga buruh tani, tani miskin, dan tani sedang, sebagian dari kelas buruh, borjuis kecil kota, dan seorang dari keluarga tani kaya. Pendidikan umum mereka bermacam-macam. Yang dari keluarga buruh tani dan tani miskin, umumnya hanya berpendidikan Sekolah Dasar, ada yang tidak tamat, sedang lainnya dari Sekolah Menengah Pertama dan Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan, dan beberapa orang di antaranya mahasiswa.

Desa-desa yang diriset ialah desa-desa di kecamatan-kecamatan: Rancah dan Padaherang (Kabupaten Ciamis), Cisompet dan Wanaraja (Garut), Karangnunggal (Tasikmalaya), Jatitujuh (Majalengka), Cipeundeuy dan Ciwidey (Bandung), Cimalaka (Sumedang), Bojong Picung (Cianjur), Sagaranten dan Nagrak (Sukabumi), Haurgeulis dan Kandanghaur (Indramayu), Lemahabang (Cirebon), Segalaherang (Subang), Rengasdengklok (Karawang), Cimanggis, Ciomas, dan Cijeruk (Bogor), Serpong dan Legok (Tangerang), Warunggunung (Lebak), dan Labuhan (Pandeglang).

Di seluruh Jawa Barat terdapat lebih dari 350 kecamatan. Jadi tidak semua kecamatan diriset. Tetapi kecamatan-kecamatan yang diriset telah dipilih begitu rupa sehingga hasil riset dapat mencerminkan keadaan desa, kaum tani, dan gerakan tani di seluruh Jawa Barat, karena ia meliputi desa-desa di mana terdapat tuan tanah bumiputera, juragan perahu pencari ikan, perkebunan, kehutanan, bekas tanah partikelir, bekas daerah basis gerombolan kontra revolusioner DI-TII, aksi-aksi kaum tani yang sedang berlangsung dengan hebat dan desa-desa di mana kaum tani baru mulai bangkit dan baru menyusun organisasinya (BTI). Untuk mengetahui keadaan burung gereja atau kelinci, tidak perlu semua burung gejera atau kelinci dibunuh dan diperiksa, cukup membunuh dan memeriksa beberapa ekor saja. Demikian pula untuk mengetahui keadaan desa-desa Jawa Barat, tidak perlu semua desa diriset.

Pada tanggal 1, 2, dan 3 Maret, saya telah mendengarkan laporan sementara dan berdiskusi secara mendalam dengan kepala-kepala tim riset daru Kecamatan Rancah, Cipeundeuy, Ciwidey, Bojong Picung, Cijeruk, dan Cimanggis. Dari mereka, saya mengetahui bahwa petunjuk-petunjuk riset yang diberikan, pada pokoknya sudah tepat, mereka bisa bekerja atas dasar petunjuk-petunjuk itu. Tetapi di antara petugas-petugas ada yang kurang konsekuen melaksanakan prinsip “3 sama”, yaitu sama bekerja, sama makan, dan sama tidur dengan buruh tani atau tani miskin. Sama bekerja berarti mengerjakan apa saja yang dikerjakan petani tempat menginap, sama makan berarti makan apa saja yang dimakan petani, dan sama tidur berarti tidur di tempat petani dan secara petani. Praktik “3 sama” harus dilakukan dengan buruh tani dan tani miskin. Untuk melengkapi bahan, juga di rumah tani sedang. Riset dengan menempuh “tanya-jawab” secara dangkal telah dikritik keras dalam diskusi itu. Juga ada petugas yang terlalu memberi tekanan pada pengumpulan angka-angka tentang tanah dan penghidupan kaum tani, tetapi kurang memberikan perhatian pada kehidupan organisasi, kesadaran politik, keadaan moral, dan kebudayaan kaum tani. Kekurangan-kekurangan ini segera disampaikan kepada semua petugas riset di seluruh Jawa Barat supaya mendapat perhatian, supaya tidak ditiru, dan jika ada yang membikin kesalahan yang sama, supaya segera diatasi.

Supaya soal pengorganisasian kaum tani mendapat perhatian yang sebesar-besarnya, karena tujuan mengadakan riset tidak lain adalah untuk memperhebat gerakan tani, saya telah memberikan petunjuk agar desa-desa dan kecamatan-kecamatan diklasifikasi. Desa-desa yang keluarga taninya sudah 75 % terorganisasi dalam BTI dinamakan desa kelas I, yang 50 % sampai 75 % kelas II, yang 25 % sampai 50 % kelas III, yang di bawah 25 % kelas IV, dan yang belum ada BTI sama sekali kelas V. Tetapi klasifikasi berdasarkan keanggotaan BTI belumlah mencerminkan kekuatan politik kaum tani, oleh karena itu perlu sekali diriset taraf kesadaran politik, keadaan moral, dan kebudayaan kaum tani.

Dari tanggal 18 sampai dengan 23 Maret, saya telah mengadakan pembicaraan perseorangan secara langsung, mengadakan diskusi-diskusi dan rapat-rapat dengan semua petugas riset. Segera sesudah itu, tanggal 24 Maret, saya mulai menulis risalah ini. Risalah ini tidak lain maksudnya ialah untuk memberikan laporan singkat tentang berbagai keadaan dan kesimpulan yang ditarik dari pembicaraan-pembicaraan, diskusi-diskusi, dan rapat-rapat tentang laporan petugas-petugas riset.

Risalah ini tidak dimaksudkan untuk memberikan laporan lengkap, karena jika demikian akan menjadi buku yang tebal yang tidak diperlukan oleh kader-kader gerakan tani dalam kegiatannya sehari-hari. Risalah ini ditujukan untuk membantu kader-kader dalam memperbaiki pekerjaan mereka memimpin gerakan tani, khususnya gerakan tani di Jawa Barat.

Riset di Jawa Barat yang saya pimpin kali ini dilangsungkan di bawah semboyan “Perhebat pengintegrasian dengan penelitian!”

 

I

PENTINGNYA PEKERJAAN RISET DAN PENTINGNYA KAUM TANI

PKI sudah agak lama memadukan kegiatan politik dan organisasinya dengan pekerjaan riset. Inilah salah satu sebab penting mengapa PKI maju dengan pesat dalam masa belasan tahun belakangan ini. Saya berpendapat, Partai Komunis yang tidak melakukan riset, pantas diragukan kemurniannya sebagai Partai Marxis-Leninis. Tidak melakukan riset berarti tidak mengenal keadaan, tidak mencari kebenaran dari kenyataan-kenyataan.

Sejak tahun 1951, kaum Komunis Indonesia sudah berusaha menggunakan metode riset dalam pekerjaan Partai. Misalnya, kita pernah berusaha untuk mengetahui persoalan agraria, kaum tani dan gerakan tani secara “tanya-jawab”, secara angket (questionnaires), dengan jalan mengedarkan formulir-formulir yang memuat daftar pertanyaan dengan kolom-kolom yang harus diisi oleh kader-kader Partai tertentu. Kebanyakan dari formulir-formulir ini tidak kembali kepada Komite-Komite yang mengirimkannya, hanya sedikit yang kembali dengan memuat angka-angka resmi dari kelurahan, kecamatan, atau jawatan. Metode demikian ini adalah keliru, karena tidak mengadakan kontak langsung dengan kenyataan-kenyataan konkret, maka itu tidak mungkin memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai soal yang ingin kita ketahui. Apalagi jika sumbernya semata-mata dari jawatan, kecamatan, atau kelurahan, tentu saja tidak mungkin memberikan gambaran yang benar mengenai hubungan kelas-kelas dan cara-cara penghisapan di desa. Memang metode yang demikian ini bukanlah metode kaum Marxis-Leninis mengadakan riset, dan oleh karenannya metode ini segera kita tinggalkan.

Meskipun demikian, metode riset yang salah inipun telah membawa pengaruh yang baik terhadap sementara kader-kader PKI. Mereka mulai berorientasi kepada kaum tani dan di antaranya mulai memperbaiki pekerjaannya di kalangan kaum tani. Dalam kontak langsung dengan massa kaum tani ini, mereka telah memperhatikan dan mencatat perasaan dan pikiran kaum tani yang sebetulnya tidak menyetujui semboyan “nasionalisasi semua tanah” dan “hak negara atas semua tanah” dari BTI dan RTI ketika itu. Rasa milik atas tanah pada kaum tani Indonesia adalah sangat kuat, dan “nasionalisasi semua tanah” atau “hak negara atas semua tanah” diartikan oleh mereka sebagai usaha merampas tanah yang sudah mereka miliki. Berhubung dengan itu, menjelang Kongres Nasional ke-V (1954), Partai telah mengadakan banyak diskusi tentang soal-soal agraria dan kaum tani, dan sebagai kesimpulannya politik agraria Partai dirumuskan dalam Program Partai sebagai berikut: “Semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing maupun tuan-tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma.” Sebagai semboyan ditetapkan: “tanah untuk kaum tani” dan “milik perseorangan tani atas tanah”. 

Dalam Kongres Nasional ke-VI Partai (1959) telah disimpulkan bahwa kader-kader Partai “harus bekerja berdasarkan hasil-hasil riset atau bekerja secara ilmiah untuk memperbaiki pekerjaan praktis mereka dalam membangkitkan, memobilisasi, dan mengorganisasi massa, terutama massa kaum buruh dan kaum tani”. Semenjak itu, pekerjaan riset Partai di kalangan kaum tani telah menempuh jalan yang tepat, yaitu dengan melaksanakan metode “3 sama”. Dengan menggunakan metode ini, telah banyak pekerjaan riset dilakukan dengan mengirimkan kader-kader penting ke desa-desa.

Dengan bersandar pada hasil-hasil riset tentang soal-soal agraria dan gerakan tani, makin lama makin mampulah Partai menganalisis dan menyimpulkan secara tepat pekerjaannya di kalangan kaum tani. Ini sangat membantu dalam memperbaiki pekerjaan Partai di kalangan kaum tani. Sebagai akibatnya, kalau anggota BTI-RTI ketika berfusi dalam tahun 1953 seluruhnya hanya berjumlah 400.000, sekarang telah meningkat menjadi lebih dari 7 juta anggota BTI.

Kita telah menyimpulkan dengan baik tentang mahapentingnya kaum tani atau desa dalam revolusi. Berdasarkan pengalaman-pengalaman kita sendiri selama Revolusi Agustus 1945, kita telah menarik kesimpulan bahwa kaum tani atau desa-desa di negeri kita memainkan 4 peranan penting dalam revolusi, yaitu sebagai: 1) sumber bahan makanan; 2) sumber prajurit revolusioner; 3) tempat mundur apabila terpukul di kota-kota; 4) pangkalan untuk melakukan serangan-serangan dan merebut kembali kota-kota. Inilah pelajaran mahapenting dari Revolusi Agustus 1945. Pelajaran ini kita bayar dengan banyak korban. Oleh karena itu, kita tidak boleh melupakan pelajaran itu.

Pentingnya peranan kaum tani dalam kehidupan bangsa makin lama makin dirasakan dan diakui oleh semua golongan. Di waktu ini, masalah tani sudah diakui secara luas sebagai masalah yang paling pokok dalam kehidupan politik dalam negeri. Tidak ada masalah nasional yang besar yang bisa diselesaikan tanpa menghubungkannya dengan penyelesaian masalah tani. Hal ini bukan hanya keyakinan PKI saja, tetapi makin lama makin menjadi keyakinan setiap Manipolis yang jujur dan konsekuen. Dalam dokumen-dokumen resmi Pemerintah sudah ditekankan berkali-kali tentang pentingnya pertanian dan perkebunan sebagai dasar perekonomian negeri, tentang pentingnya landreform, sedangkan kaum tani sudah diakui di dalam Manipol sebagai sokoguru Revolusi Indonesia di samping kaum buruh.

Walaupun di satu pihak peranan penting kaum tani sudah diakui secara resmi dan makin banyak orang-orang kota yang bersimpati pada gerakan tani, tetapi di pihak lain di kota-kota masih cukup banyak kaki tangan tuan tanah dan setan-setan desa lainnya yang secara memuakkan memfitnah dan menyalah-nyalahkan kaum tani. Bajingan-bajingan tengik ini seenaknya saja menyalahkan kaum tani jika produksi padi berada di bawah taksiran mereka yang ngelantur, jika ada banjir atau kemarau, jika kaum tani tidak mau diusir sewenang-wenang dari tanah garapannya dan sampai berani melawan pentraktoran yang dikawal dengan bedil, jika ada lurah jahat yang didaulat kaum tani, dan sebagainya. Dan semuanya ini mereka hubungkan dengan kaum Komunis. Sudah tentu, kaum Komunis harus merasa gembira dan bangga, karena ini merupakan pengakuan tentang sudah tak terpisahkannya kaum Komunis dengan kaum tani. Di samping gembira dan bangga, kita harus membuktikan bahwa kaum Komunis memang tidak terpisahkan dari kaum tani, bahwa walau bagaimanapun kaum Komunis harus membela kaum tani, karena kaum tani tidak mungkin bersalah dalam segala yang difitnahkan oleh penyambung lidah-lidah setan setan desa itu.

Mengingat perkembangan gerakan tani dewasa ini yang sudah tidak bisa ditahan-tahan lagi, setiap pemimpin dan anggota PKI harus lebih memperdalam pengetahuannya mengenai soal tani dan gerakan tani. Oleh karena itulah pekerjaan riset tentang soal agraria, soal kaum tani dan gerakan tani harus lebih diperhebat dalam seluruh barisan Partai.

Sudah tentu harus diperingatkan, berhubung dengan adanya antusiasme yang besar dalam barisan Partai kita untuk pekerjaan riset, bahwa dengan memperhebat pekerjaan riset bukanlah maksudnya untuk memerosotkan Partai kita menjadi “lembaga riset”. Pekerjaan riset tidak boleh menarik terlalu banyak kader sekaligus sehingga pekerjaan sehari-hari di bidang politik, ideologi, dan organisasi daripada Partai menjadi terlantar. Lagipula, riset harus selalu dihubungkan dengan taraf perjuangan pada saat riset itu dilakukan.

Pelaksanaan riset harus didasarkan atas kegiatan, pengalaman, dan pengetahuan kaum tani sendiri, dengan disertai persiapan yang menyeluruh dan terperinci. Persiapan yang baik merupakan jaminan suksesnya pekerjaan riset dengan tidak banyak mengganggu pekerjaan Partai sehari-hari.

Seperti juga dalam mempersiapkan pekerjaan-pekerjaan Partai lainnya, dalam melakukan riset di Jawa Barat juga terbukti, bahwa yang pertama-tama harus dilakukan ialah menentukan secara jelas tujuan, sasaran, dan cara-cara mengorganisasi riset. Jika hal-hal ini tidak dirumuskan secara jelas, maka tidak mungkin petugas-petugas riset melaksanakan pekerjaannya dengan sukses. Bagi petugas-petugas yang telah ambil bagian dalam pekerjaan riset di Jawa Barat, sudah jelas bahwa tujuan riset adalah untuk mengetahui keadaan kaum tani dan gerakan tani di Jawa Barat, artinya mereka harus mengumpulkan bahan-bahan yang terbaru mengenai keadaan-keadaan di desa. Sebagai sasaran risetnya ialah semua desa di sesuatu kecamatan. Untuk mencapai tujuan riset, yang sangat penting ialah adanya pedoman riset yang terperinci, dan berdasarkan pedoman ini para petugas diindoktrinasi selama beberapa hari. Dalam menetapkan desa-desa mana saja yang akan diriset, oleh CDB terlebih dulu diadakan penggolongan daerah-daerah kabupaten menurut kekhususannya masing-masing, yaitu di mana terdapat tuan tanah bumiputera, juragan perahu pencari ikan, perkebunan, kehutanan, bekas tanah partikelir, daerah bekas basis DI-TII, aksi-aksi kaum tani yang sedang menghebat dan yang baru mulai, dan sebagainya. Berdasarkan kekhususan-kekhususan ini, oleh CDB ditetapkan kecamatan-kecamatan yang tipikal sebagai daerah sasaran riset. Dengan meriset kecamatan-kecamatan ini, maka akan diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di seluruh Jawa Barat.

Pekerjaan selanjutnya adalah menetapkan jadwal riset yang harus dilaksanakan oleh petugas-petugas. Dalam melakukan riset di Jawa Barat, ternyata dibutuhkan waktu seluruhnya 7 minggu, mulai dari persiapan sampai kepada penyimpulannya, di mana riset yang sesungguhnya di desa-desa dilakukan selama rata-rata 1 bulan. Jadwal seperti ini penting, agar Komite-Komite Partai yang daerahnya diriset dapat mengadakan persiapan-persiapan dan penyesuaian dengan pekerjaan sehari-hari masing-masing.

Setelah kecamatan-kecamatan yang tipikal ditetapkan, maka pekerjaan yang sangat penting adalah memilih dan menetapkan petugas-petugas riset. Riset di Jawa Barat dilakukan dengan menetapkan dua orang petugas untuk tiap kecamatan yang masing-masing dibantu oleh satu tim riset terdiri dari pemimpin-pemimpin tani tingkat kecamatan dan desa.

Menarik pelajaran dari pengalaman Jawa Barat, petugas-petugas riset sebaiknya terdiri dari (1) fungsionaris-fungsionaris Partai, (2) fungsionaris-fungsionaris ormasrev (buruh, tani, wanita, pemuda, kebudayaan), serta (3) kader-kader intelektual Komunis (sarjana, pekerja-pekerja teori Partai, mahasiswa, guru, dan pelajar), yang jumlahnya masing-masing kira-kira sepertiga dari jumlah seluruh petugas yang ditetapkan. Ikut sertanya kader-kader wanita sangat membantu pelaksanaan riset, khususnya yang berhubungan dengan masalah wanita dan keadaan keluarga kaum tani. Dalam menempatkan petugas riset di desa, juga harus diperhatikan kecocokan petugas dengan iklim, bahasa, dan adat-istiadat penduduk desa yang akan diriset.

Sebagaimana juga berlaku untuk pekerjaan Partai lainnya, untuk suksesnya pekerjaan riset harus dilaksanakan metode memimpin yang tepat dan dipadu dengan langgam kerja Partai, baik dari CDB kepada petugas-petugas riset maupun dari petugas riset kepada tim pembantunya. Tiap petugas riset, di samping harus langsung meriset, adalah pemimpin riset yang mempunyai pembantu-pembantu di semua desa dari kecamatan yang dirisetnya, dan sebagai pemimpin riset ia harus melaksanakan metode memimpin sebaik-baiknya.

Dari pengalaman riset di Jawa Barat dapat ditarik kesimpulan, betapa pentingnya masalah memilih tempat tinggal petugas riset selama ia berdiam di desa. Tanpa pilihan yang tepat, riset bisa gagal sama sekali. Petugas riset yang bertempat tinggal di rumah tani kaya, apalagi tuan tanah, akan tidak dapat kepercayaan dari buruh tani dan tani miskin. Karena itu tuan rumah yang harus dipilih ialah buruh tani dan tani miskin yang keluarganya berada dalam keadaan normal, misalnya, bukan yang sedang menderita hongerudim (busung lapar). Jika keadaan keluarga yang ditempati tidak normal, maka petugas riset tidak akan mendapat keterangan dan bantuan yang secukupnya dari tuan rumah.

Ada pengalaman di mana petugas riset begitu datang di rumah buruh tani atau tani miskin, segera saja menyerahkan semua bekalnya kepada tuan rumah dengan permintaan supaya dibelikan beras, tanpa terlebih dulu mengetahui apa yang dimakan sehari-hari oleh keluarga itu. Jika tuan rumah sehari-hari sudah tidak makan nasi lagi, maka ini adalah tindakan pertama dari petugas riset yang memisahkan dirinya dari tuan rumah, jadi melanggar prinsip “3 sama”. Ada pula petugas-petugas riset yang karena tidak tahan melihat penderitaan buruh tani dan tani miskin, lantas membelanjai ongkos-ongkos keperluan hidup keluarga yang bersangkutan untuk beberapa hari supaya bisa meningkat sedikit dari biasa. Sudah tentu ini juga bukan cara yang tepat, sebab dengan berbuat demikian bukanlah petugas riset yang menyesuaikan diri dengan buruh tani dan tani miskin, melainkan keluarga tuan rumah yang menyesuaikan diri dengan petugas riset. Dengan berbuat “dermawan” demikian, kesulitan-kesulitan kaum tani tidak akan teratasi, sedangkan petugas riset akan gagal, karena di samping melanggar prinsip “3 sama”, ia harus cepat pulang berhubung kehabisan bekal. Seharusnya, sebelum menyerahkan bekalnya kepada tuan rumah, petugas riset harus berusaha mengetahui terlebih dulu apa yang dimakan sehari-hari oleh tuan rumah dan memberikan belanja untuk makanan yang biasa dimakan tuan rumah. Ini langkah pertama dalam mempraktikkan “3 sama”. Dengan mempraktikkan “3 sama”, petugas riset bukan hanya tidak memberatkan beban hidup petani yang ditempati, bahkan sebaliknya, petani tersebut merasa dibantu dan dibesarkan hatinya.

Untuk dapat mengetahui soal tani dan gerakan tani di desa, petugas riset harus bertempat tinggal di satu desa paling kurang 1 minggu. Untuk dapat membuka hati tuan rumah saja, umumnya dibutuhkan waktu 2 sampai 4 hari. Tetapi dalam hal ini, banyak tergantung kepada tepatnya memilih tuan rumah dan tepatnya sikap petugas riset dalam menghadapi tuan rumah. Sikap rendah hati dan sopan santun penting sekali. Kalau ingin membuka isi hati buruh tani dan tani miskin, sekali-kali janganlah menggurui mereka. Petugas riset harus bersikap tepat sebagai orang Komunis yang menganggap kaum tani dan Rakyat pekerja pada umumnya sebagai guru besarnya. Hanya dengan demikianlah bisa dipraktikkan pengintegrasian dengan kaum tani.

Dalam melakukan “3 sama”, petugas riset harus betul-betul berusaha jangan sampai merugikan tuan rumah atau kaum tani lainnya, betapapun kecilnya. Sebaliknya, harus berusaha supaya membantu tuan rumah mengatasi kesulitan-kesulitannya, demikian pula kesulitan-kesulitan kaum tani di desa dan kesulitan-kesulitan Partai dan BTI setempat.

Dalam tidur di rumah buruh tani dan tani miskin, petugas tidak boleh berpindah-pindah semalam di rumah si Ujang dan semalam lagi di rumah si Atong, meskipun mereka sama-sama buruh tani atau tani miskin. Dengan berpindah-pindah demikian, petugas tidak akan berhasil meresapi sungguh-sungguh segala penderitaan buruh tani dan tani miskin dan juga tidak akan bisa membuka hati mereka dalam waktu semalam saja.

Dalam melakukan “3 sama”, juga tidak tepat untuk memilih keluarga fungsionaris Partai sebagai tempat tinggal, walaupun ia adalah buruh tani atau tani miskin. Fungsionaris Partai adalah elemen yang paling maju di desa, sehingga tidak merupakan pencerminan mayoritas penduduk desa. Riset harus bersandar kepada kenyataan-kenyataan sebagaimana dicerminkan oleh keadaan dan oleh pikiran massa buruh tani dan tani miskin.

Satu hal yang sangat penting dalam melakukan riset adalah untuk mengetahui tanggapan buruh tani dan tani miskin mengenai hubungan soal-soal tani dan gerakan tani dengan Partai, serta tanggapannya mengenai soal-soal di luar desanya.

Riset berhasil baik apabila petugas melihat sendiri keadaan dan mendengarkan sendiri pikiran-pikiran buruh tani dan tani miskin langsung dari hatinya. Dalam mencatat semua ini, ada pengalaman yang baik ketika riset di Jawa Barat. Misalnya, untuk mencatat isi rumahnya, alat kerja, milik tanahnya, apalagi pikiran-pikirannya, ternyata tidak tepat untuk mengadakan pencatatan di hadapan buruh tani dan tani miskin. Pencatatan terlalu mengingatkan mereka kepada cara-cara yang lazim digunakan terhadap mereka oleh tuan tanah, lintah darat, penguasa jahat, atau setan-setan desa lainnya, yang akibatnya pasti membikin susah mereka. Cara yang tepat adalah omong-omong biasa, ngobrol yang tampaknya tanpa acara tertentu dan tanpa pencatatan. Pencatatan bisa dilakukan kemudian dari ingatan dengan tidak perlu diketahui oleh buruh tani dan tani miskin.

Dalam mengumpulkan angka-angka, petugas riset harus mencatat dari mana sumbernya. Dalam hal ini, kita tidak boleh pertama-tama mendasarkan diri pada angka-angka atau daftar-daftar dari pemerintah desa, lurah, jawatan kehutanan, dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa daftar-daftar atau angka-angka ini tidak perlu. Ia perlu dan petugas harus berusaha mendapatkannya untuk dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan terhadap bahan-bahan yang dikumpulkan sebagai hasil riset sendiri.  

Dalam melakukan tugas-tugas riset, petugas sudah pasti akan menghadapi kesulitan-kesulitan, kesulitan bagi dirinya sendiri, kesulitan keluarga, kesulitan-kesulitan Rakyat di desa, serta kesulitan-kesulitan Partai dan BTI setempat. Dalam mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan tersebut, petugas harus menyandarkan diri pada kolektif organisasi dan pada massa.

Mengenai kesulitan-kesulitan petugas sendiri harus segera didiskusikan dan diselesaikan dengan Komite Partai bersama pimpinan ormasrev-ormasrev setempat. Mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi tuan rumah, petugas harus seperlunya menjelaskan sebab-sebabnya kesulitan dengan bertitik tolak dari pengalaman  dan keadaan kaum tani sendiri. Menurut pengalaman, petugas riset biasa didatangi dan dikerumuni oleh massa buruh tani dan tani miskin. Hal ini sudah tentu harus dihadapi sebaik-baiknya. Dalam pertemuan demikian, petugas riset tidak boleh banyak bicara, tetapi harus mendorong para petani mengajukan pendapat-pendapatnya dalam bentuk omong-omong biasa dengan selalu mencegah cara tanya-jawab formal.

Dari pengalaman riset di Jawa Barat, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan “3 sama” harus dipegang teguh “4 jangan” dan “4 harus”. “4 jangan” ialah: 1) jangan tidur di rumah kaum penghisap di desa; 2) jangan menggurui kaum tani; 3) jangan merugikan tuan rumah dan kaum tani; 4) jangan mencatat di hadapan kaum tani. “4 harus” ialah: 1) harus melaksanakan “3 sama” sepenuhnya; 2) harus rendah hati, sopan santun, dan suka belajar dari kaum tani; 3) harus tahu bahasa dan mengenal adat istiadat setempat; 4) harus membantu memecahkan kesulitan-kesulitan tuan rumah, kaum tani, dan Partai setempat.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa soal mengintegrasikan diri dengan kaum tani adalah soal tekad revolusioner. Tekad revolusioner kita belumlah bulat kalau masih segan membantu kerja produksi dan kerja rumah tangga kaum tani, kalau masih segan memakan apa yang dimakan oleh kaum tani, dan masih tidak kerasan tidur di atas tikar tua kaum tani dengan bantal yang kumal, berdaki, dan keras karena diisi dengan sabut atau tumbukan sulur jagung (janggel), dan bahkan mungkin tidak berbantal sama sekali. “Ya, untuk mengintegrasikan diri dengan kaum tani, kaum Komunis harus bertekad: kalau perlu harus mau menceboki anak petani. Praktik “3 sama” ikut membentuk watak kader-kader Komunis.

 

II

PEMBAGIAN KELAS-KELAS DI DESA DAN BENTUK-BENTUK PENGHISAPAN TERHADAP KAUM TANI DAN NELAYAN DI JAWA BARAT

Laporan-laporan hasil riset dari semua daerah yang diriset memberikan bahan-bahan yang kaya mengenai pembagian kelas dan bentuk-bentuk penghisapan di desa. Analisis dan kesimpulan PKI yang sudah lama mengenai pembagian kelas-kelas di desa Indonesia dan bermacam-macam bentuk penghisapan feodal dan kapitalis ternyata menjadi senjata yang ampuh bagi para petugas riset untuk mengenal secara konkret keadaan desa-desa yang diriset. Dalam pada itu, sikap para petugas yang bertitik tolak dari kenyataan konkret, yang melaksanakan semboyan belajar dan bekerja PKI “Tahu Marxisme dan kenal keadaan”, banyak memperkaya analisis-analisis itu dan memperlihatkan keadaan kelas-kelas dan bentuk-bentuk penghisapan-penghisapan di desa-desa Jawa Barat dalam segala keanekaragamannya. Seperti sudah dijelaskan di atas, daerah-daerah yang diteliti sangat bermacam-macam. Ada daerah-daerah yang terutama terdapat pertanian persawahan, ada daerah-daerah kehutanan, daerah-daerah perkebunan, daerah-daerah pantai, daerah-daerah di mana belum lama berselang teror-teror DI-TII masih merajalela, daerah-daerah tanah subur dan daerah-daerah tanah tandus, dan daerah-daerah di mana terdapat kombinasi dari berbagai kekhususan-kekhususan itu. Tetapi semua daerah itu memperkuat kesimpulan PKI bahwa di desa-desa Indonesia, jadi juga di desa-desa Jawa Barat, masih terdapat sisa-sisa feodalisme yang berat, bahwa ekonomi Indonesia, di samping masih bersifat kolonial juga masih setengah feodal.

1. PEMBAGIAN KELAS-KELAS DI DESA

Di desa-desa Jawa Barat terdapat kaum penghisap seperti tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak, kapitalis birokrat, dan tani kaya. Kaum tani pekerja terbagi dalam buruh tani, tani miskin, dan tani sedang. Di daerah-daerah pantai di mana jumlah terbanyak penduduk adalah nelayan, juragan perahu atau tuan nelayan memegang peranan penghisap yang sejenis dengan tuan tanah. Kaum nelayan terbagi dalam kelas-kelas: nelayan kaya (penghisap seperti tani kaya), nelayan sedang, nelayan miskin, dan buruh nelayan. Dan di daerah-daerah, juga terdapat kelas-kelas penghisap lain seperti lintah darat, tukang ijon, tengkulak, dan kapitalis birokrat.

Di samping itu, di desa-desa masih terdapat berbagai kelas dan golongan lain seperti guru-guru desa yang merupakan kaum intelektual desa, pandai besi, tukang-tukang kerajinan tangan dan tukang-tukang lainnya, pedagang-pedagang kecil, buruh kehutanan, perkebunan, atau industri. Suatu gambaran tentang bermacam-macamnya kelas di desa dapat dilihat pada pembagian kelas di desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu (Lampiran I, hal. 92).

Di bawah ini akan disorot berbagai kelas dan golongan di desa, khususnya dalam perwujudannya sebagaimana dapat disimpulkan dari hasil-hasil riset di Jawa Barat.

Tuan tanah. Tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh tuan tanah di desa ada yang berjumlah beberapa hektar, ada yang beberapa puluh, beberapa ratus, atau beberapa ribu ha (umpamanya tanah kesultanan di Lemahabang yang berjumlah ribuan ha). Tetapi walaupun ada tuan tanah yang milik tanahnya hanya 3 -4 ha, penghasilannya sangat besar karena tanahnya subur sekali dan penghisapannya intensif, selain dengan sewa tanah, juga lewat ijon, gadai, dan renten. Hal ini kita lihat misalnya di daerah Garut, Kecamatan Wanaraja di mana seorang tuan tanah bernama M. memiliki tanah sawah 3 ha, waduk (kolam besar) seluas 500 tambak (1 bau = 0,7 ha) yang dalam saban tiga bulan menghasilkan dua ton ikan, dan sawah seluas 2 ha yang diperolehnya dengan gadai. Tuan tanah ini juga menjalankan praktik lintah darat dengan meminjamkan uang yang berbunga majemuk.

Hasil-hasil riset membuktikan bahwa tuan-tuan tanah yang memiliki luas tanah yang relatif kecil, melakukan penghisapan yang sama kejamnya seperti mereka yang memiliki luas tanah yang besar, bahkan ada kalanya justru karena pemilikan yang kecil itu, lebih kejam.

Perlu dicatat pula, bahwa hasil-hasil riset tentang pemilikan tanah tuan-tuan tanah di desa-desa yang diriset sering tidak lengkap karena tuan tanah bersangkutan juga memiliki tanah di tempat lain, baik atas namanya sendiri maupun dengan nama orang lain.

Mengenai tuan tanah, kaum tani sudah mengerti akan kejahatannya sebagai penghisap kejam, tetapi kaum tani membedakan antara tuan tanah yang patriotik, anti-DI-TII, yang tidak berkepala batu menentang UUPBH dan UUPA, dengan “tuan tanah jahat” yang aktif menentang gerakan tani dan menentang politik negara yang maju (UUPBH, UUPA, konfrontasi dengan “Malaysia” dan sebagainya).

Pada umumnya, kaum tuan tanah di desa-desa Jawa Barat adalah tuan tanah jahat yang dengan segala daya upaya menentang gerakan tani revolusioner. Hanya sebagian kecil tuan tanah bersikap pasif terhadap gerakan tani revolusioner dan tidak menentang politik Pemerintah yang maju. Kaum tuan tanah jahat dengan aktif menyebarkan propaganda anti-Manipol, banyak haji tuan tanah yang menyalahgunakan agama untuk memperluas milik tanahnya dan memperhebat penghisapan terhadap kaum tani. Karena menurut ajaran Islam sistem gadai adalah haram, maka ada tuan tanah yang melakukan praktik gadai terhadap pohon buah-buahan di Kecamatan Cimanggis, Bogor, dengan memakai nama “sistem sewa titip pohon.”

Tuan-tuan tanah jahat itu biasanya adalah bekas anggota-anggota partai terlarang Masyumi-PSI, penyokong aktif gerombolan-gerombolan DI-TII ketika masih merajalela, dan penganjur serta peserta aktif tindakan-tindakan rasialis kontra revolusioner yang terjadi dalam bulan Mei tahun 1963. Kini mereka bersarang dalam Majelis Ulama (MU), yaitu yang sesungguhnya merupakan “Masyumi gaya baru”, dan mencari perlindungan pada alat-alat kekuasaan sipil dan militer setempat seperti lurah, Koramil (Komando Rayon Militer, setingkat kecamatan), Bintara Pembina Wilayah, Hansip (Pertahanan Sipil), OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat), dan lain-lain.

Kaum tuan tanah jahat dengan keras melawan pelaksanaan UUPBH dan UUPA. Mereka dengan buru-buru “menghibahkan” tanah-lebihnya kepada sanak keluarganya supaya tidak terkena oleh UUPA. Bahkan ada tuan tanah yang untuk mempertahankan tanahnya sampai menceraikan istrinya secara formal dan dengan demikian “membagi” tanah miliknya. Di dalam hasil riset telah diperoleh banyak bukti, bahwa tanah-tanah-lebih yang “dihibahkan” itu tetap dikuasai oleh tuan tanah yang tetap menerima segala hasil dari penghisapan terhadap kaum tani yang mengerjakan tanah itu. Di banyak tempat, perbuatan-perbuatan curang tuan tanah itu dapat dibongkar oleh kaum tani yang sudah bangkit. Di Wanaraja (Garut), misalnya, kaum tani telah membongkar kejahatan tuan tanah H. yang “menjual” 60 ha tanah darat dengan segel tahun 1959. Perbuatan ini bisa dibongkar karena camat yang menandatangani segel itu baru menjadi camat di tempat itu pada tahun 1962. Riset yang dilakukan di desa-desa Jawa Barat menunjukkan bahwa UUPBH dan UUPA hanya mau dilaksanakan oleh tuan-tuan tanah jika dipaksa oleh gerakan tani yang revolusioner.

Di antara tuan-tuan tanah, ada gejala-gejala bahwa mereka memindahkan sebagian kegiatannya ke usaha-usaha kapitalis. Umpamanya di Kecamatan Rancah, Ciamis, seorang tuan tanah menjual sebagian tanahnya untuk dijadikan modal perdagangan dan setelah 10 tahun ia sudah memiliki 11 buah toko di kota. Tetapi ia tidah sepenuhnya melepaskan penghisapan secara feodal, ia masih tetap memiliki tanah di desa yang disewakan dengan bagi hasil dan kemudian juga menggunakan sebagian dari keuntungannya yang diperoleh dari usaha-usaha dagang untuk membeli tanah lagi. Ada pula tuan tanah yang tidak mau lagi menyewakan sawahnya, tapi menggunakan tenaga upahan buruh tani. Hal ini pada satu pihak dilakukan untuk mengelakkan UUPBH dan pada pihak lain juga menambah keuntungan materiil tuan tanah akibat inflasi, karena kenaikan upah buruh tani sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan kenaikan harga padi. Tetapi walaupun mereka menggunakan tenaga upahan dan dengan demikian penghisapan mereka mengandung sifat kapitalis, tetapi penghisapan mereka atas buruh tani masih banyak mengandung sifat-sifat feodal. Buruh tani yang mereka pergunakan itu boleh dikatakan bekerja tanpa batas jam kerja dan melakukan berbagai kerja paksa sehingga menjadi setengah budak atau hamba.

Penelitian di desa-desa Jawa Barat membuktikan bahwa ekonomi di desa masih betul-betul dicengkeram oleh tuan tanah yang juga masih sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat desa.

Tani kaya. Pada umumnya, kaum tani kaya masih turut dalam pekerjaan produksi pertanian dan tanahnya sebagian dikerjakan dengan menggunakan tenaga upahan buruh tani. Tetapi sebagai akibat terbelakangnya ekonomi desa, maka penghisapan kaum tani kaya juga banyak mengandung sifat-sifat feodal. Misalnya, buruh tani yang dipekerjakan itu bukan buruh yang bebas, tapi sedikit banyak masih ada ikatan yang bersifat penghambaan. Begitu pula ada tani-tani kaya yang sebagian tanahnya digarapkan dengan cara menyewakan.

Banyak tani kaya juga melakukan praktik lintah darat, ijon, dan tengkulak. Mereka mempunyai kecenderungan kuat untuk memusatkan tanah dan ada yang berkembang menjadi tuan tanah.

Tetapi peranan tani kaya di desa berbeda dengan tuan tanah. Mereka tidak langsung bermusuhan dengan gerakan tani revolusioner dan dalam soal-soal tertentu bisa bersatu dengan gerakan tani, umpamanya dalam melawan kebiasaan-kebiasaan dan kewajiban-kewajiban feodal di desa. Pada umumnya, tani kaya bisa dinetralisasi dalam perjuangan melawan tuan tanah.

Tani sedang. Pada umumnya memiliki tanah yang dikerjakan sendiri dan penghasilannya sekadar cukup untuk hidup sekeluarga. Dalam keadaan ekonomi sekarang, di antara tani sedang terdapat dua kecenderungan perkembangan. Sebagian kecil tani sedang, yaitu tani sedang lapisan atas, berkembang menjadi tani kaya dengan mengombinasikan penggarapan tanah dengan usaha-usaha lain seperti dagang, dan dengan menggunakan hubungan-hubungan dengan penguasa-penguasa setempat. Tetapi sebagian besar tani sedang tidak stabil ekonominya dan terus terancam kebangkrutan. Peraturan-peraturan ekonomi 26 Mei 1963 sangat memukul tani sedang, sehingga usaha dagangnya umumnya hancur. Tani sedang juga bisa jatuh ke tangan tengkulak jahat atau lintah darat. Maka ia harus hidup sangat hati-hati. Misalnya di Kecamatan Sagaranten (Sukabumi), tani sedang pada musim kemarau hanya makan satu kali sehari supaya dapat menghemat persediaannya dan tidak usah memburuh pada tani kaya atau tuan tanah.

Sebagai akibat kemajuan gerakan tani revolusioner dan hasil-hasil aksi kaum tani, maka di desa-desa Indonesia juga di desa-desa Jawa Barat ada petani-petani yang menjadi tani sedang baru. Mereka tadinya adalah buruh tani atau tani miskin dan memperoleh tanah garapan sebagai hasil kemenangan aksi-aksi. Umpamanya buruh tani U. di Kecamatan Sagaranten memperoleh tanah sawah 200 tumbak dan kebun 300 tumbak karena berhasilnya aksin kaum tani di bawah pimpinan BTI untuk mengesahkan tanah garapan kaum tani yang berasal dari tanah kehutanan. Maka U. berpindah kelas dari buruh tani menjadi tani sedang.

Kaum tani sedang, baik yang lama maupun yang baru, sangat memerlukan pengoperasian di bawah pimpinan orang-orang revolusioner agar kepentingan mereka tetap terjamin dan mereka tetap dapat berjuang dalam barisan-barisan tani yang revolusioner.

Tani miskin. Tani miskin atau semiproletar desa memiliki tanah yang hasilnya tidak cukup bagi keperluan hidupnya. Misalnya, tani miskin K. di desa Cidadap, Kecamatan Sagaranten, hanya memiliki tanah 100 tumbak dan alat-alat kerja 1 cangkul, 1 parang, 1 garpu, dan 1 golok. Penghasilan dari tanahnya hanya cukup untuk makan 6 bulan, sedangkan untuk 6 bulan lainnya ia harus memburuh pada orang lain. Tani miskin D. di desa Paledah, Kecamatan Padaherang, menggarap sawah tuan tanah Dul. Seluas 400 bata dengan cara maro, dan mempunyai alat kerja 1 cangkul dan 1 arit. Makannya sehari-hari ojèk (nasi singkong) dan jagung, jarang makan nasi.

Ada pula tani miskin yang tidak mampul lagi menyediakan modal untuk mengerjakan tanah miliknya, maka tanahnya diserahkan kepada tani sedang, tani kaya, ataupun tuan tanah dengan sistem bayur. Dengan sistem ini, tanah itu jatuh ke tangan pemegang bayur, misalnya selama 2 – 3 tahun, tanpa membayar sewa sama sekali kepasa tani miskin. Sesudah 2 – 3 tahun itu hasilnya diparo dengan tani miskin yang bersangkutan. Tetapi karena tani miskin selalu kekurangan uang, ia sering menghutang kepada yang memegang tanahnya. Pada akhirnya karena terjerat oleh hutang-hutangnya yang tak dapat dibayar kembali, tanah yang dibayurkan itu menjadi milik pemegang tanah bayur. Jadi, sistem bayur merupakan semacam gadai tanah.

Untuk menyambung hidupnya, tani miskin harus juga memburuh atau melakukan bermacam-macam pekerjaan sambilan. Misalnya, tani miskin A. di Kecamatan Warunggunung (Lebak), memiliki tanah sawah 8 petak, yang 5 petak digarapnya , sedangkan 3 petak digadaikan untuk memodali usaha dagang kecil-kecilan guna mencukupi kebutuhan beras. Ada juga yang mengerjakan berbagai macam kerajinan tangan, seperti membuat bongsang (keranjang) buah-buahan), tali, kukusan, dan lain-lain. Banyak pula yang terpaksa meninggalkan desanya dan pergi ke kota, daerah lain, atau pulau lain. Di tempatnya yang baru, mereka mengharapkan bisa hidup dari hasil bawonnya, hasil upah kerja pada tuan tanah atau tani kaya dan kelas-kelas penghisap lainnya serta pada perkebunan swasta atau negara. Mereka pergi ke kota-kota untuk bekerja menjadi kuli, tukang becak, buruh pelabuhan, tukang jual es, jual jamu, dan lain sebagainya, sedangkan wanita-wanita muda karena gagal mencari pekerjaan di kota, ada yang sering terpaksa melacurkan diri. Di tempat-tempat kerja yang baru pun, mereka tidak bisa terlepas dari berbagai macam bentuk penghisapan. Pada musim panen di desa asalnya, banyak di antara mereka pulang kembali ke kampungnya.

Buruh tani. Buruh tani atau proletar desa tidak memiliki tanah sama sekali dan sepenuhnya hidup dari penjualan tenaga kerjanya. Karena ia tidak selalu mendapat pekerjaan menggarap sawah, maka terutama di musim paceklik, ia mengerjakan bermacam-macam pekerjaan sambilan, seperti misalnya mencari dan menjual kayu bakar, dan sebagainya. Misalnya buruh tani M. di Kecamatan Rancah, Ciamis, tidak memiliki tanah dan alat-alat kerjanya hanya berupa 1 cangkul, 1 golok, 1 sabit, dan 1 pisau. Pekerjaan sehari-harinya mencangkul dengan upah Rp. 70, - sehari dengan dua kali makan. Pekerjaan sambilannya ialah membikin ayakan, kukusan, tudung, dan lain-lain dari bambu. Biasanya keluarga buruh tani hanya bisa makan nasi 2 kali sehari selama tiga bulan sesudah panen. Pada bulan-bulan berikutnya, mereka makan nasi hanya 1 – 2 kali sehari atau sama sekali tidak makan nasi, tapi jagung dan gaplek. Pada musim paceklik yang lamanya juga tergantung pada musim kemarau, kehidupan buruh tani sangat sulit, makannya bersifat “korek-korek cok”, artinya seperti ayam, mencari makanan buah-buahan, daun-daunan, dan apa saja yang ditemukan terus dimakan. Dengan demikian makannya tidak menentu, kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak ada sama sekali, dan makan apa saja yang dapat ditemukan dan bisa dimakan. Sama seperti kaum tani miskin, kaum buruh tani sering meninggalkan desa pergi ke kota, daerah lain, dan pulau lain. Umpamanya di daerah Banten, banyak yang menyeberang ke Sumatera Selatan (Lampung), ada yang pergi dari Indramayu ke Karawang, dari Sindanglaut ke Jakarta mencari makan setiap hari tanpa persediaan bahan makanan. Pada musim panen banyak yang kembali ke desa asalnya, tapi banyak juga yang sudah mengubah pekerjaannya yang pokok. Misalnya di daerah Pantai Eretan Wetan, Indramayu, banyak buruh tani meninggalkan pekerjaan bercocok tanam dan menjadi buruh nelayan.

Lintah darat. Mereka ialah kaum beruang yang merentenkan uangnya dengan bunga yang sangat tinggi. Pinjaman secara renten (riba) ini langsung merusak daya produksi kaum tani dan menjerumuskan mereka ke dalam tumpukan hutang yang tak ada habis-habisnya.

Tukang ijon. Mereka ialah orang-orang yang mengambil keuntungan dari kebutuhan kaum tani akan uang tunai dengan membeli hasil-hasil bumi secara murah pada waktu tanaman masih belum matang (masih hijau). Dengan demikian, mereka menguasai hasil produksi kaum tani.

Praktik lintah darah dan tukang ijon merupakan praktik penghisapan yang jahat sekali yang langsung merusak daya produksi kaum tani dan mempercepat proses pembangkrutan mereka.

Tengkulak. Mereka ialah pedagang-pedagang yang membeli hasil produksi kaum tani pada waktu panen dan juga menjual barang-barang keperluan sehari-hari dari kota kepada kaum tani. Di antara tengkulak-tengkulak terdapat “tengkulak-tengkulak jahat”, yaitu mereka yang menjalankan usaha-usaha dagangnya dengan mengeruk keuntungan-keuntungan sangat besar berkat kedudukannya yang bersifat monopoli (pembeli tunggal). Tengkulak-tengkulak jahat juga menggunakan sistem ijon dan tempah (panjar) untuk menguasai dan memonopoli hasil produksi kaum tani termasuk hasil-hasil kerajinan tangan, dan juga menjual kepada kaum tani barang-barang keperluan sehari-hari secara cicilan atau kredit dengan harga yang sangat ditinggikan.

Kapitalis birokrat. Kaum kapitalis birokrat (kabir) di desa menekan kaum tani untuk menjual hasil produksinya kepada perusahaan-perusahaan kabir di kota dengan menggunakan uang negara, antara lain dengan menyalahgunakan nama PDN-PDN, PN-PN, dan PPN. Hubungan mereka erat terjalin dengan kepentingan tuan tanah jahat, tengkulak jahat, dan tukang ijon.

Bandit-bandit desa adalah mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan di desa untuk membela kepentingan kelas-kelas penghisap, terutama tuan tanah dan kabir. Dalam golongan ini termasuk centeng-centeng jahat tuan tanah, tukang-tukang pukul, jawara-jawara (juara-juara) jahat, dan lain-lain.

Pekerja-pekerja kerajinan tangan dan pertukangan juga terdapat di desa-desa Jawa Barat seperti tukang bikin barang-barang anyaman, tukang bikin topeng, wayang, payung, kelom, dan sebagainya, pandai besi, tukang kayu, tukang jahit, dan lain-lain. Pekerjaan tukang dan kerajinan tangan dan pertukangan juga biasa dilakukan oleh tani miskin dan buruh tani untuk mendapat penghasilan tambahan.

Kaum intelektual dan seniman desa. Dalam kategori intelektual desa termasuk terutama guru-guru Sekolah Dasar. Karena hidup guru-guru ini dari gaji tetap yang kenaikannya jauh tercecer jika dibandingkan dengan kenaikan harga dalam inflasi, maka tidak sedikit yang mencari tambahan dari kerja produksi, perdagangan kecil, dan sebagainya. Seniman desa hidupnya juga tidak menentu.

Gambaran mengenai pembagian kelas-kelas di desa memperlihatkan bagaimana Rakyat pekerja di desa mengalami penghisapan dan penindasan yang kejam dari (1) tuan tanah jahat,(2) lintah darat, (3) tukang ijon, (4) kapitalis birokrat, (5) tengkulak jahat, (6) bandit desa. Di samping itu ada lagi: (7) penguasa jahat, yaitu penguasa desa yang membela kepentingan-kepentingan kaum penghisap desa atau ia sendiri adalah juga penghisap. Mereka sungguh-sungguh merupakan tujuh setan desa  yang menghisap darah kaum tani. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi tuan tanah jahat merangkap lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat, dan lain-lain sehingga merupakan setan dasamuka. Hanya dengan mengakhiri penghisapan dan penindasan setan-setan desa ini, kaum tani dapat mencapai pembebasan yang sungguh-sungguh. Tanpa berbuat demikian, adalah omong kosong berbicara tentang penyelesaian revolusi nasional-demokratis, apalagi tentang masyarakat adil dan makmur.

2. BENTUK-BENTUK PENGHISAPAN ATAS KAUM TANI DAN NELAYAN

Hasil-hasil riset memperkuat kesimpulan PKI bahwa di Indonesia terdapat empat ciri feodalisme yang berat, yaitu: (1) monopoli tuan tanah atas tanah; (2) sewa tanah dalam wujud hasil bumi; (3) sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah; dan (4) hutang-hutang yang mencekik leher kaum tani. Fakta-fakta yang ditemukan selama riset di Jawa Barat memperlihatkan ciri-ciri itu dalam segala variasi dan kombinasinya.

(A) Monopoli tuan tanah atas tanah. Sekalipun sudah ada Undang-Undang Pokok Agraria, proses pemusatan tanah ke dalam tangan tuan tanah berlangsung terus di desa-desa dan dilakukan lewat sistem gadai tanah (gadai biasa, jual akad, atau jual sandak), hutang, sistem bayur, sistem kedok, dan lain-lain. Tuan tanah D. di Kecamatan Karangnunggal, Tasikmalaya, memiliki 11 ha tanah sawah dan palawija. Sebagian tanah itu dirampasnya dari petani A. dan I. karena mereka tidak mampu membayar hutang.

(B) Bentuk penghisapan feodal yang terpokok ialah sewa tanah. Yang paling luas tersebar ialah sewa tanah berwujud hasil bumi dengan bermacam-macam sistemnya, seperti: maparonan atau maron, marampat, mertilu, merlima, dan lain-lain. 

Sistem maparon atau maron: pada pokoknya hasil panen dibagi dua, satu bagian untuk pemilik tanah dan satu bagian untuk penggarap. Tapi ada berbagai macam ketentuan mengenai pemotongan pajak, bibit, pancen, dan sebagainya. Ada yang pemiliknya minta separuh bersih, artinya segala biaya harus ditanggung penggarap, ada yang biaya itu dibagi dua juga (ini antara lain dibuktikan oleh laporan riset Kecamatan Padaherang).

Sistem marapat: menurut sistem ini penggarap pada hakikatnya hanya menerima seperlima dari hasil panen. Yaitu pemilik tanah mendapat tiga bagian, penggarap mendapat satu bagian, dan satu bagian lagi diterima oleh yang “ngepak”. Orang yang “ngepak” ialah tani miskin atau buruh tani kepercayaan tuan tanah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan tidak pokok di sawah, seperti memperbaiki pematang, nandur, dan nyiangi.

Sistem mertilu: hasil panen dibagi: dua bagian untuk penggarap dan satu bagian untuk pemilik tanah.

Sistem merlima: hasil panen dibagi: dua bagian untuk pemilik tanah dan tiga bagian untuk penggarap.

Ada juga tuan tanah yang menetapkan sewa tanah dalam bentuk hasil bumi yang tetap, misalnya untuk satu hektar selama satu tahun 1 caeng 12 gedeng (1 caeng = 100 gedeng, 1 gedeng padi = kira-kira 5 – 6 liter beras). Bila ada kegagalan panen, misalnya karena bencana alam, hama, dan lain sebagainya, maka kerugian ditanggung sepenuhnya oleh penggarap.

Di samping sewa berwujud hasil bumi, juga terdapat sewa berupa kerja, yaitu bentuk sewa tanah yang lebih bersifat penghambaan. Umpamanya di Banyubiru (Pandeglang) ada petani yang menggarap 8 petak tanah tuan tanah, untuk yang 3 petak berlaku sistem maron, tapi untuk yang 5 petak hasil seluruhnya menjadi milik tuan tanah. Maka kerja tani di 5 petak itu adalah tak lain daripada tambahan sewa tanah dalam wujud kerja.

Ada pula sewa tanah berupa uang, misalnya antara lain di Kecamatan Lemahabang, yaitu untuk 1 bau (0,7 ha) sewanya Rp. 60.000, - setahun.

Oleh karena sewa tanah merupakan sumber penghisapan yang pokok bagi tuan tanah, maka mereka dengan segala daya melawan aksi-aksi kaum tani untuk turun sewa, baik di dalam maupun di luar rangka pelaksanaan UUPBH. Boleh dikatakan bahwa di daerah Jawa Barat, semua perjanjian bagi hasil yang sesuai dengan UUPBH dilaksanakan sebagai hasil aksi-aksi sepihak kaum tani.

(C) Dalam keadaan di mana terdapat kemerosotan ekonomi secara umum dan meningkatnya inflasi, maka penghisapan terhadap kaum tani juga makin menghebat. Terutama yang paling menonjol ialah bentuk-bentuk penghisapan yang langsung menarik keuntungan dari keadaan inflasi, dan ketidakstabilan harga-harga dan dari keadaan bahwa kaum buruh tani, tani miskin, dan tani sedang selalu membutuhkan uang secara mendesak baik untuk kebutuhan-kebutuhan produksi maupun untuk kebutuhan-kebutuhan konsumsi. Bentuk-bentuk penghisapan itu ialah:

1) Praktik-praktik lintah darat yang bunga pinjamannya sampai beberapa ratus persen sebulan dan sering bersifat bunga majemuk. Umpamanya lintah darat H. S., Desa Kawunglarang, Kecamatan Rancah, meminjamkan uang Rp. 100, - yang dalam satu bulan harus dikembalikan Rp. 400, -. Di desa Cibogo, Kecamatan Padaherang, seorang tuan tanah merangkap lintah darat, H. A., bekas anggota Masyumi menghutangkan uang Rp. 1.000, - dengan ketentuan tiap minggu harus mengangsur dengan bunga Rp. 150, - selama 11 minggu. Ada lagi yang merentenkan kepada kaum tani dan pedagang kecil di pasar dengan bunga 4 % dalam waktu 12 jam. Seorang tuan tanah merangkap lintah darat di Kecamatan Wanaraja meminjamkan Rp. 10.000, - dengan renten 1 pikul padi yang dibayar selama satu musim panen (6 bulan). Jika pada musim panen itu bunga belum bisa dibayar, maka bunga itu ditambahkan menjadi pokok (bunga majemuk). Seorang lintah darat di salah satu desa Kecamatan Karangnunggal meminjamkan uang Rp. 4.000, - dengan janji akan bisa dibayar kembali dalam bentuk hasil bumi (ubi kayu). Setelah panen, ubi tak jadi diambil oleh lintah darat dan ia meminta hutang dibayar dengan uang yang jauh melebihi hutang semula. Karena tidak mampu membayar jumlah itu, si petani akhirnya menyerahkan tanahnya sebanyak 40 batur dan juga rumahnya kepada lintah darat. Maka praktik-praktik penglepas uang panas ini sungguh merupakan penghisapan yang sangat kejam yang menjerat leher kaum tani.

2) Sistem ijon, baik ijon hasil produksi pertanian, hasil kerajinan tangan, maupun tenaga kerja buruh tani. Di Kecamatan Sagaranten, Sukabumi, pada tahun 1963, pembelian padi secara ijon dilakukan dengan harga Rp. 1.000, - sekuintal pada waktu dua bulan sebelum panen. Pada waktu panen harga padi ialah Rp. 2.000, - sekuintal. Untuk tahun ini, tukang ijon membeli padi secara ijon dengan harga Rp. 3.000, - sekuintal, sedangkan pada musim paceklik sekarang harganya Rp. 8.500, - sampai Rp. 10.000, - sekuintal. Karena tukang ijon sudah menguasai hasil produksi pada panen tahun yang lalu, maka ia dapat menjual padi yang dibelinya dengan harga Rp. 1.000, - sekuintal (harga ijon tahun 1963) dengan harga musim paceklik (Rp. 8.500, - — Rp. 10.000, -). Maka keuntungan yang diperolehnya adalah besar sekali.

Ijon juga dilakukan terhadap jagung, dan buah-buahan seperti jeruk, rambutan, pisang, dan sebagainya. Bahkan tenaga kerja seorang buruh tani juga diijon. Pada waktu musim paceklik ketika tidak ada pekerjaan dan buruh tani berada dalam kesulitan, ia diberi upah sebesar Rp. 60, - sehari untuk pekerjaan yang akan dilakukan nanti pada waktu panen, sedangkan pada waktu panen upah harian adalah Rp. 150, -.

3) Sistem tempah yang dilakukan oleh tengkulak-tengkulak. Pemberian tempah atau panjar bisa berwujud barang atau uang. Tempah ini dilakukan dengan maksud untuk menguasai hasil produksi, baik hasil-hasil pertanian seperti padi, kelapa, gula aren, jagung, dan palawija lainnya, maupun hasil-hasil kerajinan tangan seperti samak, tikar, dan lain-lain barang anyaman, dan sebagainya. Misalnya, tengkulak gula aren menempah untuk membeli gula aren dengan harga Rp. 70, - sampai Rp. 80, - sebonjor (1 bonjor = kurang lebih 1 ¾ kg), sedangkan harga sebonjor gula aren di pasar Rp. 125, - sampai Rp. 130, -. Tempah itu biasa juga dilakukan dalam bentuk memberikan bahan-bahan baku yang diperlukan pekerja kerajinan tangan.

4) Bermacam-macam cara gadai. Pada umumnya penggadaian tanah dilakukan secara gelap, di bawah tangan seperti yang dinamakan “jual akad” atau “jual sandak”. Juga pohon buah-buahan dan ternak sering digadai. Misalnya, di Desa Sukamaju, Kecamatan Cimanggis, pohon buah-buahan digadai dengan Rp. 500, - dan hasil pohon kemudian diparo. Kalau misalnya hasilnya ternyata Rp. 2.000, -, maka si pemilik pohon menerima Rp. 1.000, -, tapi dengan ini tidak berarti bahwa ia dengan sendirinya terlepas dari ikatan gadai, untuk melepaskan diri, si pemilik pohon harus juga mengembalikan RP. 500, -. Ada kalanya, pemilik pohon sama sekali tidak memperoleh bagian daripada hasil pohon, semua diambil oleh pemegang gadai. Karena kaum tani sering tidak mampu menebus gadainya pada waktu yang ditentukan, maka tanah atau pohon buah-buahan menjadi milik pemegang gadai yang biasanya tuan tanah, lintah darat, atau tengkulak.

5) Peningkatan harga secara sewenang-wenang dari barang-barang keperluan hidup sehari-hari yang dijual oleh tengkulak-tengkulak jahat kepada kaum tani. Misalnya sehelai kain yang berharga Rp. 750, - dijual kepada tani dengan harga Rp. 1.000, - yang harus dibayar 40 hari kemudian pada waktu panen dengan harga 1 kuintal padi, sedangkan pada musim paceklik harga padi itu sudah Rp. 8.500, - sekuintal.

Hasil-hasil riset mengenai masalah gadai, ijon, tempah, dan lain-lain cara penghisapan yang pada hakikatnya merupakan bentuk-bentuk hutang menunjukkan suatu variasi yang sangat berbeda mengenai besarnya bunga yang dibayar oleh kaum tani. Bukan hanya terdapat perbedaan-perbedaan mengenai besarnya bunga antara desa-desa dan kecamatan-kecamatan, tapi bahkan juga di satu desa. Ini membuktikan betapa kaum tani dihisap secara sewenang-wenang oleh pemegang gadai, tukang ijon, lintah darat, dan tengkulak. Dan dengan kemerosotan daya beli kaum tani yang semakin keras, maka setiap kebutuhan termasuk kebutuhan paling minimal, apalagi jika ada hal-hal yang luar biasa seperti khitanan, perkawinan, kematian, dan sebagainya, memaksa kaum tani untuk tergesa-gesa mencari pinjaman dengan menggadaikan sekadar miliknya yang masih ada. Semakin terdesak keadaan ekonomi kaum tani, maka semakin sewenang-wenang kaum penglepas uang.

6) Bermacam-macam bentuk hutang lainnya, antara lain dengan borg tanah, sehingga jika hutang tidak dilunasi pada waktunya, tanah itu menjadi milik dari orang yang meminjamkan.

(D) Praktik-praktik ijon, tempah, dan hutang-hutang yang tak dapat dilunasi oleh kaum tani mengakibatkan bahwa di desa-desa terdapat monopoli atas hasil-hasil produksi sehingga sangat menurunkan harga penjualan hasil-hasil produksi kaum tani. Pada umumnya, pemonopolian itu dilakukan oleh tengkulak-tengkulak jahat, kaum kapitalis birokrat yang beroperasi atas nama “juragan” PDN-PDN dan PPN, atau oleh “koperasi” palsu kaum penghisap seperti KPP (Koperasi Pembelian Padi) yang oleh Rakyat lebih dikenal sebagai “Koperasi Perampas Padi” dan KPL (Koperasi Perikanan Laut).

Dengan demikian kaum tani sudah menjadi sasaran penghisapan mulai dari ketika mereka menanam padi sampai pada panennya dan juga waktu mereka mau menjual hasil panennya dan membeli barang-barang keperluan hidup sehari-hari dan barang-barang untuk berproduksi kembali, seperti alat-alat pertanian, pupuk, dan sebagainya. Maka syarat-syarat produksi kaum tani dikuasai betul oleh kaum tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat, dan tengkulak.

(E) Di daerah-daerah pantai, kaum nelayan pekerja mengalami penghisapan yang bersifat feodal dari juragan perahu atau tuan nelayan. Hingga kini belum ada undang-undang yang mengatur pembagian hasil secara agak adil bagi kaum nelayan. Peraturan-peraturan yang berlaku dalam praktik adalah sangat rumit dan memberi kesempatan manipulasi yang besar bagi tuan nelayan. Di Kecamatan Eretan Wetan misalnya, jika hasil penangkapan ikan dari satu perahu berharga Rp. 10.000, - maka seorang buruh nelayan hanya mendapat Rp. 289,20 yang belum dipotong ongkos untuk makan di perahu. Jadi bagian seorang buruh nelayan itu belum sampai 3 % dari hasil seluruhnya.

Sedangkan bagian juragan atau tuan nelayan walaupun resminya berjumlah kurang lebih 15 %, tetapi pada hakikatnya berjumlah kurang lebih 40 % dari seluruh hasil, karena berbagai potongan seperti cicilan hutang kepada juragan (10 %, dengan tidak peduli buruh nelayan itu mempunyai hutang kepada juragan atau tidak) dan macam-macam “celengan” serta simpanan wajib (12 %) yang dalam praktiknya masuk kantong juragan. Potongan-potongan untuk apa yang dinamakan “celengan” itu juga berarti mengikat kaum nelayan kepada juragan nelayan sebab “celengan” itu hanya akan dikembalikan (tidak penuh!) pada waktu yang ditentukan oleh juragan dan jika nelayan berbuat sesuatu yang tak disukai oleh juragan maka hak atas “celengan” itu dinyatakan batal.

Selain daripada itu, kaum nelayan juga menderita penghisapan tukang ijon, lintah darat, kapitalis birokrat, dan tengkulak. Pelelangan hasil-hasil penangkapan ikan sepenuhnya dikuasai oleh “koperasi” yang keanggotaannya terbatas pada juragan-juragan. Juragan-juragan juga memegang monopoli atas persediaan dan penjualan garam melalui apa yang dinamakan “Koperasi Garam Rakyat”. KGR ini melakukan berbagai kejahatan seperti penghisapan kejam atas kaum buruh upahan, mematikan usaha-usaha garam Rakyat, menentukan harga garam yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat dasamuka menonjol sekali di kalangan juragan yang melakukan berbagai penghisapan dalam bentuk pemilikan perahu-perahu penangkap ikan, pemilikan tanah garapan, penguasaan atas perdagangan ikan dan garam, atas “koperasi”, praktik lintah darat, dan sebagainya.

(F) Di daerah-daerah kehutanan dan daerah-daerah perkebunan, di mana kaum tani sudah bertahun-tahun menggarap sebagian dari tanah perkebunan dan kehutanan, mereka selalu menghadapi ancaman pengusiran dan pencabutan tanah garapannya. Banyak di antara kaum tani sudah menggarap tanah-tanah itu sejak sebelum Revolusi Agustus 1945, dan selama revolusi mereka menjamin bahan makanan untuk tentara, laskar, dan pengungsi. Dulu perkebunan-perkebunan itu merupakan perwujudan langsung dari penguasaan imperialis atas ekonomi di desa Indonesia. Setelah sebagian besar dari perusahaan-perusahaan imperialis itu diambil alih, tangan imperialis telah diganti oleh kaum kapitalis birokrat (kabir). Sebab dengan ambil alih itu, hubungan imperialisme dengan perkebunan kita belum putus. Pasaran tradisional dari hasil-hasil perkebunan itu adalah tetap pasaran yang dikuasai imperialis, dan kaum kapitalis birokrat yang menguasai PDN-PDN dan PPN yang memonopoli hasil-hasil perkebunan itu tetap berorientasi pada pasar imperialis. Maka perjuangan melawan kaum kapitalis birokrat adalah juga perjuangan langsung melawan imperialisme. Dalam pada itu, perlu kita lebih teliti menetapkan siapa-siapa kapitalis birokrat di desa. Umpamanya, mandor-mandor kehutanan seringkali menyalahgunakan kedudukannya untuk memaksa kaum tani membayar “uang kunci” sampai Rp. 4.000, - untuk bisa menggarap 1 ha tanah kehutanan dengan cara tumpang sari. Tindakan ini sudah barang tentu merupakan perbuatan yang merugikan kaum tani. Tetapi tindakan ini saja tidak bisa dianggap cukup untuk mencap mandor itu “kapitalis birokrat”. Lain halnya, jika mandor atau pegawai kehutanan lainnya itu menggunakan hasil korupsinya untuk memiliki alat-alat produksi dengan mendirikan suatu perusahaan kapitalis, misalnya perusahaan penggergajian atau perusahaan pertanian yang dikerjakan secara kapitalis, maka dengan demikian ia menjadi kapitalis birokrat yang sesungguhnya. Kalau mandor atau pejabat kehutanan lainnya mempersewakan tanah kehutanan secara besar-besaran kepada kaum tani, maka dalam keadaan demikian itu ia dapat juga disebut tuan tanah birokrat.

(G) Di samping bentuk-bentuk penghisapan yang disebut di atas, masih banyak bentuk-bentuk penghisapan tambahan lainnya yang sangat bermacam-macam. Antara lain dapat disebut Pajak Hasil Bumi (PHB), kerja rodi atau “hirasan”, pancen, tugur tundan, nganteran wajib kaum tani yang punya hajat kepada lurah dan sumbangan wajib kaum tani kepada lurah jika lurah punya hajat, pemberian daging yang paling baik (“kèrèdan” atau “lamosir”) kepada lurah jika tani memotong hewan, penyalahgunaan “gotong royong” sebagai kerja paksa, iuran untuk Hansip, ronda malam, OPR, dan 1001 macam pungutan atau kerja wajib lainnya. Istilah “gotong royong” memang baik jika isinya demokratis, tetapi dalam masyarakat desa yang masih setengah feodal dan otokratis, istilah ini sangat mudah disalahgunakan untuk menutupi penghisapan dan penindasan. Hanya gerakan tani revolusioner yang dapat melawan penyalahgunaan ini.

(H) Walaupun di berbagai daerah Jawa Barat yang diriset, ada pula penduduk dari golongan keturunan asing (Tionghoa), tetapi di kalangan kaum tani tidak terdapat sama sekali perasaan rasialisme. Ketika bulan Mei 1963 terjadi huru-hara rasialis di Jawa Barat, yang ambil bagian adalah pemuda dan mahasiswa kontra revolusioner dibantu oleh orang-orang gelandangan kota, sedangkan kaum tani tidak ikut. Perasaan rasialis hanya hidup di kalangan kelas-kelas penghisap dan disebarkan untuk membelokkan perhatian kaum tani dari musuh-musuhnya yang sesungguhnya, yaitu setan-setan desa. Ternyata pula bahwa pengintegrasian kaum tani keturunan asing sudah lama berjalan lancar di mana banyak di antara mereka memegang peranan aktif dalam organisasi BTI di desa-desa, di antaranya juga sebagai pemimpin-pemimpin. Masalah yang dihadapi oleh kaum tani ialah penghisapan dan dalam hal ini kaum tani, termasuk yang dari golongan keturunan Tionghoa seperti di daerah Tangerang, merasakan bahwa penghisapan tuan tanah bumiputera tidak kalah kejamnya, malahan sering lebih kejam daripada yang dilakukan oleh beberapa gelintir tuan tanah atau tengkulak keturunan asing. Kaum penghisap bumiputera mempunyai alat-alat ekstra dalam melakukan praktiknya, antara lain kebiasaan-kebiasaan feodal, penyalahgunaan agama, hubungan keluarga, dan lain-lain.

Dilenyapkannya pedagang-pedagang eceran keturunan asing dari kecamatan-kecamatan ternyata sangat mempengaruhi kelancaran perdagangan antara kota dan desa, di samping memperkuat kedudukan monopoli lintah darat-lintah darat dan tengkulak-tengkulak yang umumnya juga dirangkap oleh tuan-tuan tanah bumiputera. Pengrusakan-pengrusakan kendaraan-kendaraan bermotor yang dilakukan oleh kaum rasialis pada tahun yang lain dan politik yang menghapuskan trayek-trayek pendek kereta api pasar dan tidak memecahkan serta mengurus secara baik onderdil-onderdil untuk alat-alat pengangkutan, lebih-lebih lagi mengacaukan lalu lintas barang antara kota dengan desa. Kesulitan angkutan ini menyebabkan pedagang-pedagang kecil tidak bisa sampai ke kota, sehingga memberi kesempatan lebih besar kepada tengkulak-tengkulak dan kapitalis-kapitalis birokrat untuk memonopoli pasar.

Demikianlah lukisan yang diberikan oleh hasil-hasil riset mengenai bentuk-bentuk penghisapan feodal dan kapitalis yang diderita oleh kaum tani dan nelayan. Lukisan ini membantah sepenuhnya ocehan kaum sarjana ekonomi borjuis terutama soska, yang menyatakan seakan-akan di Indonesia penghisapan feodal tidak terlalu jahat karena “tidak terdapat” tuan-tuan tanah besar yang memiliki tanah beribu-ribu hektar seperti di India, Amerika Latin, Tiongkok lama, dan sebagainya. Padahal justru pemilikan tanah oleh tuan tanah yang relatif kecil itu merupakan salah satu faktor sangat intensifnya penghisapan yang dilakukan oleh tuan tanah.

Lukisan dari hasil-hasil riset menunjukkan bahwa penghisapan atas kaum tani Indonesia adalah sangat hebat dan bertingkat-tingkat. Lukisan itu memperkuat sekali lagi pendirian kaum Komunis Indonesia bahwa revolusi Indonesia adalah pertama-tama revolusi kaum tani dan bahwa tanpa pembebasan kaum tani dari penghisapan yang sudah dideritanya berabad-abad itu, tidak mungkin berbicara tentang kemenangan revolusi tahap pertama, apalagi tahap kedua.

  1. TARAF HIDUP RAKYAT DI DESA DAN KECENDERUNGAN PERKEMBANGAN EKONOMI DI DESA

Dari hasil-hasil riset dapat juga diketahui taraf hidup berbagai kelas dan golongan di desa. Suatu gambaran tentang taraf hidup Rakyat di desa dapat dilihat dari anggaran belanja buruh tani, tani miskin, dan tani kaya di Desa Tegalsari, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut (Lampiran II, halaman 93).

Taraf hidup kaum buruh tani dan tani miskin Jawa Barat adalah sangat rendah dan terus merosot. Perumahan, perabot rumah, dan pakaiannya serba kurang dan buruk. Buruh tani dan tani miskin sering tidak mempunyai pakaian untuk ganti, sehingga dengan menyindir pakaian woleta dari orang-orang berpunya di desa, mereka mengatakan bahwa yang dipakainya adalah “jolèta”, yaitu “jol deui èta deui” (tiap-tiap kali tampil, pakaiannya itu-itu juga), atau juga dikatakan pakaian mereka sama seperti “pakaian wayang”, artinya siang dan malam itu, di rumah dan bepergian itu, pendeknya tidak pernah berganti. Makanan mereka juga sangat kurang, jika bukan musim panen jarang makan nasi dan jika makan nasi hanya satu kali sehari. Apalagi pada musim paceklik atau untuk nelayan pada musim Barat (angin kencang). Menurut istilah nelayan “cul dayung, adol sarung”, artinya sudah tidak ada pekerjaan, harus menjual pakaian.

Tani sedang juga makin sulit penghidupannya, walaupun mereka umumnya memiliki tanah dan alat-alat produksi yang dapat mencukupi kebutuhan makanan mereka yang pokok. Selama riset dijumpai tani sedang yang, walaupun masih memiliki persediaan makanan, namun hanya makan sekali sehari untuk menjaga jangan sampai barang miliknya yang masih ada harus dijual atau digadaikan jika persediaan makan telah habis sebelum panen.

Sebaliknya, tuan tanah dan tani kaya tetap hidup mewah di segala musim. Golongan-golongan inilah yang tahun-tahun belakangan ini membikin banyak gedung-gedung baru di desa-desa dengan perabot-perabot rumah yang mewah dan dengan membawa barang-barang mewah seperti transistor, pick-up, dan piringan-piringan hitam ala “ngak-ngik-ngok” sehingga “kebudayaan” imperialis mulai bikin berisik di desa-desa. Perbandingan antara taraf hidup buruh tani dan tani miskin di satu pihak dengan tuan tanah dan tani kaya di pihak lain, mempertajam kontradiksi-kontradiksi antara kelas-kelas yang menghisap dengan kelas-kelas yang dihisap di desa-desa.

Kaum kerajinan tangan dan tukang-tukang juga mengalami kemerosotan taraf hidup, demikian pula guru-guru sekolah sebagai penerima gaji tetap, karena harga-harga barang-barang pokok terus membubung. Gaji seorang guru ada kalanya lebih rendah daripada upah seorang buruh cangkul, sedangkan guru memerlukan standar hidup yang lebih tinggi.

Kemelaratan dan kemerosotan taraf hidup yang dialami oleh mayoritas penduduk desa, yaitu buruh tani, tani miskin, dan juga tani sedang, serta tukang-tukang kerajinan tangan, kaum intelektual, dan seniman desa, dan lain-lain dengan jelas membuktikan bahwa selama sisa-sisa feodalisme di desa belum dikikis habis, tidak mungkin terdapat pasaran nasional yang kuat dan stabil sebagai syarat mutlak untuk memperkembangkan industri nasional yang modern. Oleh karena itulah, betapa omong kosongnya mereka yang berbicara tentang mengindustrialisasi dan memodernisasi negeri, tetapi bungkam seribu bahasa tentang pengikisan sisa-sisa feodalisme.

Kemerosotan taraf hidup kelas-kelas yang merupakan tenaga produktif pokok di desa mengakibatkan kemerosotan daya produksi pertanian. Di samping kekurangan makanan yang menurunkan daya kerja buruh tani dan tani miskin, kemampuan tani miskin dan tani sedang untuk mengongkosi produksi terus merosot. Hal ini langsung membahayakan proses produksi pertanian itu sendiri.

Kaum tani terpaksa mencari pekerjaan sambilan, dan dalam musim paceklik, kerja sambilan malahan menjadi kerja pokok. Urbanisasi, yaitu mengalirnya penduduk desa ke kota-kota, menjadi masalah besar karena mereka belum tentu mendapat lapangan kerja di kota, sehingga menambah jumlah penduduk yang terlepas dari kerja produktif.

Hasil-hasil riset membuktikan bahwa kemerosotan taraf hidup merupakan akibat daripada struktur ekonomi Indonesia yang kolonial dan setengah feodal, dan proses kemerosotan itu semakin dipercepat dengan adanya inflasi hebat yang dialami akhir-akhir ini, terutama setelah teror ekonomi 26 Mei 1963.

Berbeda dengan pandangan cetek dan reaksioner yang disebar-sebarkan oleh sarjana-sarjana ekonomi borjuis yang jahat, seperti Profesor Sadli, yang menganggap bahwa kaum tani tidak dirugikan oleh inflasi, karena mereka tidak termasuk golongan yang berpendapatan tetap, kenyataannya ialah bahwa justru kaum tani, khususnya kaum buruh tani dan tani miskin yang merupakan mayoritas dari penduduk desa, langsung menjadi korban dari peningkatan harga-harga, karena mereka harus membeli sebagian besar dari kebutuhan-kebutuhan pokok mereka di pasar.

Ketidakmampuan kaum tani dan nelayan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling elementer memaksa mereka untuk semakin sering meminjam uang atau mengijonkan hasil-hasil produksi mereka. Hutang dan ijon yang dalam keadaan tidak ada inflasi sudah merupakan penghisapan yang berat, lebih-lebih bersifat memeras dalam keadaan inflasi di mana pinjaman atau ijon diberikan misalnya dalam bentuk uang dan harus dibayar kembali dengan bunga yang tinggi atau dalam bentuk natura sewaktu harga-harga pasar jauh lebih tinggi.

Inflasi serta kemerosotan taraf hidup kaum tani mengakibatkan bahwa sistem ijon semakin merajalela dan tengkulak-tengkulak jahat semakin keras mencekik leher kaum produsen melalui cara-cara perdagangan yang bersifat monopoli.

Keadaan-keadaan tersebut memaksa kaum tani miskin dan juga sebagian tani sedang untuk menggadaikan tanahnya yang biasanya menyebabkan tanah itu praktis menjadi milik tani kaya atau tuan tanah. Dengan demikian, inflasi dan kemerosotan taraf hidup memperkuat pemusatan pemilikan tanah di tangan tuan tanah dan tani kaya. Malah banyak tani kaya yang dalam proses ini berkembang menjadi tuan tanah.

Berhubung dengan faktor-faktor tersebut di atas, dan dalam keadaan inflasi serta macetnya pelaksanaan UUPBH dan UUPA, maka dapat disimpulkan bahwa penghisapan sisa-sisa feodalisme di desa bukannya berkurang, tapi bahkan lebih diintensifkan.

Unsur-unsur kapitalis juga sudah tumbuh di mana-mana di desa-desa, terutama di kalangan tani kaya dan tuan tanah. Tuan tanah sering mengombinasikan penghisapan feodal dengan penghisapan kapitalis melalui kegiatan-kegiatan sebagai tengkulak. Dalam keadaan inflasi, tuan tanah juga berusaha menggantikan sistem bagi hasil dengan penggunaan tenaga upahan, hal mana dilawan keras oleh kaum tani miskin dan buruh tani karena menyebabkan kemerosotan lebih lebih lanjut dalam pendapatan riil mereka. Ada pula tuan-tuan tanah yang memindahkan usahanya ke bidang industri atau perdagangan di kota. Usaha-usaha ini antara lain didorong oleh keinginan menghindari UUPBH dan UUPA dan aksi-aksi kaum tani.

Dalam usaha mengatasi kemelaratan dan kemerosotan taraf hidup, kelas-kelas lain di desa juga menunjukkan kecenderungan untuk bergeser ke produksi atau pertukaran barang dagangan, seperti misalnya kerajinan tangan, perdagangan kecil-kecilan, dan sebagainya. Untuk buruh tani dan tani miskin yang sama sekali tidak mempunyai modal, usaha-usaha mereka dimodali oleh kelas-kelas yang beruang, terutama melalui cara tempah, pemberian pinjaman dengan borg tanah, dan cara-cara penghisapan kapitalis lainnya.

Tetapi walaupun unsur-unsur kapitalis ini terus-menerus muncul secara spontan,  namun dalam keadaan di mana perkembangan tenaga-tenaga produktif dirintangi oleh hubungan produksi feodal, hubungan-hubungan kapitalis itu tidak dapat berkembang dengan subur dan luas. Juga tuan-tuan tanah yang sudah menanam modalnya di sektor industri dan perdagangan di kota, umumnya tidak melepaskan sepenuhnya kedudukannya sebagai tuan tanah, sehingga mereka mempunyai satu kaki kapitalis dan satu kaki lagi feodal, mereka terkatung-katung antara desa dan kota. Berbarengan dengan kecenderungan ke arah kapitalisme di kalangan tani kaya, ada juga kecenderungan kuat ke arah pemilikan tanah secara feodal. Bahkan kaum kapitalis birokrat di kota banyak yang membeli tanah dan menjadi tuan tanah. Kecenderungan semacam ini, yaitu ke arah pemilikan tanah yang diusahakan secara feodal juga merupakan akibat dari adanya inflasi karena OKB-OKB di kota-kota menanam kekayaannya yang berlimpah-limpah dalam pemilikan tanah untuk menjaga nilai riil daripada kekayaan itu. Dengan demikian lahirlah dari dua jurusan, yaitu dari jurusan desa dan kota, kaum feodal kapitalis birokrat.

Struktur ekonomi yang kolonial, yaitu perpaduan antara ekonomi imperialis dan ekonomi feodal, merupakan rintangan yang pokok bagi perkembangan unsur-unsur kapitalis di desa. Penghisapan imperialis tetap meresap ke desa-desa, karena bekas-bekas perusahaan imperialis (terutama “the Big Five”) sekarang pada pokoknya dikuasai oleh kaum kapitalis birokrat yang melanjutkan penghisapan melalui sistem perdagangan ekspor-impor dan moneter yang tetap menggantungkan ekonomi Indonesia pada pasaran imperialis.

Kontradiksi-kontradiksi tajam antara hubungan-hubungan produksi feodal dan hubungan-hubungan produksi kapitalis, serta kemacetan dalam perkembangan kapitalis seperti yang diketemukan di dalam riset, membuktikan bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan tenaga-tenaga produktif dalam ekonomi Indonesia ialah dengan mengganyang semua setan desa dalam rangka mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, untuk dapat membangun ekonomi nasional yang merdeka sebagai landasan dalam menuju ekonomi sosialis.

 

III

KEKUASAAN POLITIK SETAN-SETAN DESA DAN AKSI-AKSI KAUM TANI TERHADAPNYA

Sisa-sisa feodalisme di desa menampakkan diri di bidang politik pada susunan pemerintah desa yang menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal dan yang pembiayaannya sepenuhnya dibebankan kepada penduduk desa. Karena susunan pemerintah desa yang demikian itu, maka corak pemerintah desa banyak tergantung pada aliran politik kepala desa dan pada penguasa-penguasa di atasnya.

Sejak zaman kolonial Belanda dan Jepang sampai sekarang, susunan pemerintah desa di Jawa Barat belum mengalami perubahan fundamental, sesuai dengan belum adanya perubahan fundamental daripada kelas-kelas yang berdominasi di desa. Perubahan kecil-kecilan, yang tidak fundamental, telah terjadi. Misalnya kalau dulu pada zaman kolonial, kepala desa hanya dipilih oleh pemilik tanah, sekarang dipilih oleh semua penduduk dewasa pria dan wanita yang berumur 18 tahun ke atas; kalau dulu orang yang terang-terangan revolusioner tidak mungkin menjadi kepala desa atau pamong desa lainnya, sekarang sudah mungkin; kalau dulu kaum wanita dilarang menduduki jabatan pamong desa, belum lama berselang sudah diperbolehkan, berkat perjuangan revolusioner untuk emansipasi wanita.

Susunan pemerintah desa di Jawa Barat biasanya adalah sebagai berikut: lurah desa atau kuwu, wakil lurah atau ngabihi, juru tulis terdiri dari seorang atau dua orang, raksabumi atau ulu-ulu, kepala kampung (atau wakil atau lugu blok) yang banyaknya menurut jumlah kampung, polisi-polisi desa, dan lebe (lebai).

Jumlah pegawai desa tergantung pada luasnya dan banyaknya penduduk. Misalnya di Desa Pilangsari, Kecamatan Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, jumlah pegawai desa 19 orang, terdiri dari: seorang lurah, dua orang juru tulis, 10 orang kepala kampung, 1 orang lebe, 5 orang polisi desa. 

Pegawai-pegawai desa menerima penghasilan dari sumber-sumber sebagai berikut:

(a) Di Kabupaten-Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, Karawang, Subang, beberapa tempat di Priangan Timur, dari bengkok (kelungguhan) kira-kira 5 sampai dengan 30 ha untuk lurah, 2,5 sampai dengan 7 ha untuk wakil lurah dan juru tulis, 1 sampai dengan 2 ha untuk pengawai desa lainnya. Ada daerah-daerah di mana di samping bengkok, masih dapat tambahan dari sistem pologoro seperti pancen, ngahiras, dan pungutan-pungutan lainnya seperti: kolekteloon, uang surat keterangan, uang saksi 10 % dari jual beli, uang surat nikah, talak dan rujuk (NTR), bagian dari daging hewan yang dipotong penduduk (biasanya yang paling enak), dan sebagainya;

(b) Di banyak kabupaten lainnya, tidak mendapat bengkok. Pegawai-pegawai desa menerima penghasilan dari pologoro dan pungutan-pungutan lainnya seperti tersebut dalam (a).

Di Desa Haur Koneng, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, misalnya, berlaku pancen, yang perinciannya sebagai berikut:

1. untuk lurah ……………………………………............…………….. 2.000 kg padi

2. untuk juru tulis ………………………………………..............…….. 1.200 kg padi

3. kokolot 3 orang ………………………………………….............….. 2.100 kg padi

4. ulu-ulu …………………………………………………………..........   700 kg padi

5. polisi desa ……………………………………………………............   700 kg padi

6. lebe …………………………………………………………….....….   350 kg padi

TOTAL......................................................................................................7.050 kg padi

Sumber-sumber penghasilan ini yang sesungguhnya didapat lewat penghisapan yang bersifat feodal menyebabkan pejabat-pejabat pemerintah desa mempunyai kepentingan ekonomi yang sama dengan tuan tanah. Dengan demikian, dalam bidang politik pun mereka seringkali langsung membela kepentingan politik tuan tanah jahat dan setan-setan desa lainnya. Hanya dengan gerakan tani yang kuat, dapat dilaksanakan pendemokrasian pemerintah desa, yang pertama-tama harus berarti hapusnya penghisapan yang bersifat feodal oleh pejabat-pejabat pemerintah desa. Di sinilah pentingnya segera dilaksanakan otonomi tingkat desa.

Sejak pertengahan 1963, di desa-desa Jabar dibentuk Hansip (Pertahanan Sipil) yang susunannya biasanya adalah sebagai berikut: Di tiap RT ada 1 regu pasukan Hansip terdiri dari 5 – 10 orang, dipimpin oleh komandan regu; komandan Hansip desa adalah seorang polisi desa; pasukan Hansip terdiri dari pemuda-pemuda desa termasuk bekas OPR; dan pelatih Hansip adalah Pembina (Bintara Pembina Wilayah, dari Angkatan Darat). Tugas Hansip resminya mengenai bidang keamanan, tetapi dalam praktik apabila tidak ada kekuatan progresif di dalamnya, Hansip dipergunakan untuk mengawasi dan menindas gerakan kaum tani.

Misalnya susunan Hansip di Desa Tegalsari, Kecamatan Wanaraja (Garut) adalah sebagai berikut: penasihat adalah lurah; komandan adalah polisi desa; wakil komandan dari pemuda; indoprop dari Front Nasional; dan pasukan sebanyak 24 orang terdiri dari bekas-bekas OPR.

Perjuangan revolusioner kaum tani dalam melawan sisa-sisa feodalisme dan melawan gerombolan DI-TII di Jabar telah mencapai hasil-hasil tertentu, juga dalam menimbulkan perubahan-perubahan demokratis di sebagian desa, misalnya, jatuhnya kepala desa yang reaksioner dan diganti dengan kepala desa yang maju atau agak maju.

Adanya kepala desa atau pegawai desa lainnya yang masuk ke dalam barisan revolusioner menimbulkan perubahan-perubahan pada pemerintah desa yang bersangkutan, yang menguntungkan kaum tani.

Berdasarkan aliran politik kepala desa dan pegawai-pegawai desa lainnya serta hakikat kekuasaan politik di dalam negeri kita, pemerintah desa dewasa ini dapat dibagi:

a) pemerintah desa yang reaksioner, yang sepenuhnya menjadi alat kaum tuan tanah, lintah darat, kapitalis birokrat, dan setan-setan desa lainnya.

b) pemerintah desa yang mempunyai dua segi, yaitu segi pro-Rakyat dan segi anti-Rakyat. Termasuk dalam kategori ini ialah pemerintah desa yang kepala desanya progresif. Betapapun kuatnya segi pro-Rakyat sesuatu pemerintah desa, tak mungkin dikatakan sebagai “pemerintahan Rakyat” karena masih dibatasi oleh kekuasaan di atasnya (kecamatan, kabupaten, dan seterusnya). Pemerintah desa juga dengan pendirinya, secara mutlak dibatasi oleh kekuasaan politik negara Republik Indonesia yang mengandung dua segi.

Walaupun sistem pemerintahan desa sekarang ini adalah sistem setengah feodal, dan dari sistem ini kepala desa ditempatkan sebagai penguasa feodal tunggal di desa, tetapi tidak semua kepala desa mewakili kepentingan kaum tuan tanah. Ada yang kedudukan kelasnya tuan tanah (sudah sejak sebelum menjadi kepala desa atau sesudah menjadi kepala desa), ada yang kedudukan kelasnya tani kaya, dan ada yang tani sedang, sedangkan aliran politiknya ada yang kanan, tengah, dan kiri.

Sikap kaum tani terhadap pemerintah desa berbeda-beda, terutama ditentukan oleh sikap politik kepala desa yang bersangkutan. Kaum tani sangat tajam mengikuti perbuatan-perbuatan pamong-pamong di desanya, mereka tahu persis siapa yang jahat, yang agak baik, dan yang baik.

Karena dalam kenyataan, tidak semua kepala dan pegawai desa lainnya mewakili kepentingan kaum penghisap dan aliran politik reaksioner, maka adalah perlu dan mungkin untuk mendorong maju sebagian dari pamong-pamong desa, agar sedapat mungkin membantu perjuangan kaum tani untuk melawan tuan tanah jahat, lintah darat, kapitalis birokrat, dan musuh-musuh kaum tani lainnya. Sedangkan sebagian lagi dari pamong desa harus diritul.

Pamong desa yang baik dapat juga mendukung dan menyokong tuntutan kaum tani untuk mendemokrasikan pemerintah desa, dan bersamaan dengan itu, kaum tani pun bersedia menyokong tuntutan-tuntutan tunjangan kepada pemerintah oleh pamong desa yang tidak mendapat bengkok atau yang bengkoknya tidak mencukupi untuk hidup.

Kepala desa yang reaksioner tidak saja menjadikan kekuasaan politik di desa sebagai alat untuk membantu tuan tanah, lintah darat, kaum kapitalis birokrat, dan kaum penghisap dan penindas lainnya, tetapi melalui kekuasaannya juga melakukan penindasan langsung kepada kaum tani untuk memperkaya diri. Oleh karena itu, kaum tani sangat berkepentingan terhadap adanya pemerintah desa yang Manipolis, yang dalam batas-batas tertentu dapat membantu kaum tani melawan musuh-musuh mereka.

Tetapi tidak mudah untuk menjatuhkan kaum reaksioner dari kekuasaannya dalam pemerintahan desa, karena kedudukan ini akan dipertahankan mati-matian oleh setan-setan desa yang banyak jumlahnya. Setan-setan desa akan memobilisasi kekuasaan dan kekuatannya untuk mempengaruhi penguasa atasan guna mempertahankan kedudukan kepala desa yang reaksioner anti-Rakyat dan anti-Manipol. Oleh karena itu, aksi-aksi kaum tani untuk meritul lurah jahat harus memperhitungkan: (a) kebulatan tekad massa Rakyat; (b) kebulatan pikiran dan tekad pimpinan; dan (c) sikap penguasa atasan. Sudah semestinya terhadap aksi-aksi yang demikian itu, organisasi atasan memberikan pimpinan yang sebaik-baiknya.

Menurut pengalaman di Jawa Barat, perjuangan meritul lurah-lurah jahat dapat berhasil apabila terlebih dulu lurah reaksioner itu dijatuhkan secara politik, misalnya ditelanjangi perbuatan-perbuatannya yang anti-Manipol, yang menyabot UUPBH dan UUPA, yang menipu Rakyat, yang korup, dan sebagainya.

Di berbagai tempat, sudah terjadi bahwa kaum tani yang sudah mengetahui kecurangan-kecurangan kepala desa reaksioner, dalam rapat desa menuntut supaya kepala desa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jika kaum tani sudah bersatu padu dan gigih dalam melakukan perjuangan dalam rapat desa itu, maka kepala desa reaksioner akan terpaksa memberikan pertanggungjawaban atas perbuatannya yang merugikan Rakyat, dan dengan demikian kecurangan terbongkar di hadapan kaum tani. Kemudian rapat menuntut lurah itu diberhentikan dan camat diminta memenuhi tuntutan rapat yang adil itu. Peristiwa demikian, misalnya terjadi di salah satu desa di Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi, dan di tempat-tempat lain lagi.

Apabila penguasa atasan tidak memberhentikan lurah yang sudah dituntut oleh Rakyat supaya berhenti, maka Rakyat yang sudah bersatu padu memboikotnya sampai tuntutannya terpenuhi. Dalam keadaan tidak ada rapat desa, kaum tani mengajukan tuntutan untuk memberhentikan lurah jahat melalui organisasi mereka, misalnya BTI, Front Nasional, dan lain-lain. Aksi-aksi demikian ada yang sudah berhasil, misalnya di salah satu desa di Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, di mana lurah berdasarkan tuntutan Rakyat terpaksa “menyerahkan mandatnya” kepada camat, karena terbukti telah melakukan kecurangan-kecurangan. Selain memperhatikan syarat seperti tersebut di atas, pimpinan harus menjaga agar jangan sampai aksi berlarut-larut tanpa batas. Perlu ditekankan menurut pengalaman-pengalaman kaum tani di Jawa Barat, bahwa yang harus diritul secara demikian hanya lurah-lurah yang kejahatannya sudah terbongkar di hadapan Rakyat. Lurah-lurah yang tidak terlalu jahat, cukup dituntut supaya berjanji di hadapan Rakyat untuk memperbaiki diri.

Oleh karena pada hakikatnya yang berkuasa di desa-desa yang pemerintah desanya dikuasai oleh orang-orang reaksioner itu adalah setan-setan desa, maka dalam hubungan menjatuhkan kekuasaan politik reaksioner di desa, penting sekali menjatuhkan tuan tanah jahat secara politik, dengan jalan: (a) menelanjangi tuan tanah jahat sebagai penyabot pelaksanaan UUPA dan UUPBH; (b) menelanjangi perbuatan-perbuatan lainnya yang korup dan menipu Rakyat; (c) menelanjangi perbuatan-perbuatannya yang melanggar moral (biasanya banyak sekali); (d) menelanjangi kegiatan tuan tanah jahat yang masih meneruskan politik Masyumi-PSI yang sudah dilarang serta hubungannya dengan gerombolan DI-TII di waktu yang lalu atau dengan gerakan rasialis kontra revolusioner.

Keberanian kaum tani melawan tuan tanah jahat itu saja sudah mengubah pandangan umum terhadap tuan tanah. Tiap kemenangan dari perjuangan kaum tani terhadap tuan tanah, akan lebih memerosotkan “martabat” tuan tanah dan berangsur-angsur akan memisahkan penguasa-penguasa politik di desa yang tidak reaksioner dari pengaruh tuan tanah jahat.

Kaum reaksioner berusaha mencegah terpilihnya orang-orang progresif sebagai kepala desa dengan menjatuhkan calon-calon progresif di dalam ujian-ujian calon yang diselenggarakan oleh sebuah komisi yang terdiri dari pejabat-pejabat yang anti-Rakyat (yang diketahui oleh camat atau wedana di waktu masih ada jabatan ini), yaitu dengan mangajukan pertanyaan-pertanyaan yang bukan-bukan.

Berhubung dengan itu, untuk mendapatkan pemerintah desa yang agak demokratis, perlu pula diperjuangkan perubahan-perubahan peraturan pemilihan kepala desa, supaya di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang susunan komisi ujian calon dan komisi pemilihan yang berporoskan Nasakom. Perlu dituntut supaya ujian diadakan mengenai pemerintahan desa yang demokratis serta “9 Wejangan” Presiden Sukarno, jadi tidak ngelantur mengenai soal-soal yang tidak ada hubungannya dengan pemerintahan desa dan Manipol, dan yang sengaja diajukan untuk menjatuhkan calon-calon yang progresif.

Diajukannya tuntutan perubahan-perubahan demikian itu tidak berarti melepaskan tuntutan prinsipiil untuk mengubah susunan pemerintah desa dengan mencabut sama sekali peraturan kolonial IGO dan membentuk daerah otonomi tingkat tiga yang demokratis. Tuntutan-tuntutan tersebut diajukan sepanjang IGO belum dicabut seluruhnya. Perjuangan untuk pencabutan IGO perlu dilakukan baik melalui tuntutan-tuntutan organisasi-organisasi massa maupun melalui pemerintah-pemerintah daerah tingkat II dan tingkat I, melalui badan-badan legislatif dan eksekutif. Dalam pada itu, perlu didorong agar supaya para bupati dan walikota melarang bekas-bekas anggota Masyumi, PSI, GPII, dan bekas-bekas anggota gerombolan DI-TII serta “PRRI-Permesta” ikut dalam pencalonan pemilihan kepala desa.

Demi kepentingan mayoritas penduduk desa yang terdiri dari buruh tani, tani miskin, dan tani sedang, kaum Komunis harus dengan gigih memperjuangkan supaya Manipolis-Manipolis sejati yang menjadi kepala desa, agar pemerintah desa yang hidup atas biaya kaum tani itu tidak lagi menjadi alat penindas kaum tani seperti sudah berlangsung berabad-abad hingga sekarang.

Pengalaman dan bahan-bahan yang dikumpulkan selama riset di Jawa Barat membuktikan, bahwa dalam menghadapi pemilihan kepala desa adalah penting sekali kebulatan dalam Partai, dalam ormas-ormas revolusioner, dan kebulatan di antara kaum Manipolis dalam menetapkan calon yang akan diajukan. Tidak adanya kebulatan dalam menetapkan calon dapat menimbulkan kerugian bagi kaum tani dan Rakyat pekerja lainnya di desa, misalnya dengan akibat dikalahkannya calon Manipolis karena massa pemilihnya terpecah-pecah.

Berbeda dengan pemilihan umum untuk Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di mana para pemilih tidak langsung memilih seorang calon, dalam pemilihan kepala desa, para pemilih langsung memilih calon. Karena itu pribadi calon yang diajukan sangat menentukan dapat atau tidaknya memobilisasi sebanyak-banyaknya pemilih. PKI menuntut kepada setiap calon Manipolis, Komunis atau bukan Komunis, untuk mengikat janji kepada kaum tani yang akan memilihnya, tentang tindakan-tindakan apa yang akan dilakukannya apabila terpilih, sebagaimana seharusnya seorang kepala desa yang baik.

Berdasarkan pengalamannya sendiri, kaum tani dapat membedakan kepala desa yang baik dari yang jahat. Kepala-kepala desa yang baik ialah mereka yang: 1) mengembangkan demokrasi di desa, melakukan musyawarah-musyawarah secara periodik dengan organisasi-organisasi Rakyat untuk membicarakan persoalan-persoalan penting desa; 2) mengurangi beban pologoro, misalnya mengurangi atau membebaskan tani sedang ke bawah dari kewajiban pancen, pungutan paksa dan gelap, dan sebaliknya menambah beban tuan tanah dan tani kaya; 3) melaksanakan UUPBH dan UUPA dengan mengutamakan kepentingan kaum tani; 4) menggunakan kekuasaan untuk mengabdi kepada Rakyat; 5) memperhatikan kesulitan-kesulitan hidup penduduk, dan melakukan usaha-usaha untuk mengatasinya; 6) menghidupkan Front Nasional yang berporoskan Nasakom; 7) menjaga supaya koperasi-koperasi Rakyat berjalan baik dan membantu kaum tani untuk meningkatkan produksi; dan 8) mengadakan usaha-usaha untuk mempertinggi tingkat kebudayaan kaum tani.

Kepala-kepala desa yang jahat ialah mereka yang: 1) mengekang demokrasi, tidak suka bermusyawarah dengan organisasi-organisasi Rakyat untuk memecahkan soal-soal penting desa; 2) selalu berusaha mengintensifkan bermacam-macam pologoro seperti pancen dan pungutan-pungutan lainnya yang bersifat paksa dan gelap; 3) tidak melaksanakan UUPBH dan UUPA, dan membantu tuan tanah dalam menghadapi aksi-aksi kaum tani; 4) menggunakan kekuasaan untuk mengintensifkan penghisapan feodal, melakukan penipuan-penipuan dan korupsi, seperti makan uang kas desa, uang PHB (Pajak Hasil Bumi), dan sebagainya; 5) tidak memperhatikan kesulitan-kesulitan hidup Rakyat; 6) membiarkan macetnya Front Nasional dan menentang prinsip Nasakom; 7) merusak nama koperasi guna keuntungan diri sendiri; 8) membiarkan dirusaknya kebudayaan Rakyat oleh tuan tanah dan kapitalis birokrat.

Kaum kapitalis birokrat yang tumbuh pesat selama berlakunya SOB, berusaha keras untuk mempertahankan kedudukannya sesudah SOB dicabut dengan menguasai desa-desa, dengan membentuk apa yang dinamakan “Pembina”, yang dalam praktiknya adalah kekuasaan militer atas pemerintah desa. Ini adalah usaha untuk “men-SOB-kan” tertib sipil.

Di banyak desa terbukti, bahwa makin banyak tenaga “keamanan”, makin tidak aman jadinya desa itu, karena tenaga-tenaga “keamanan” ternyata melindungi berbagai tindakan jahat. Praktik-praktik “Pembina” di banyak desa yang menakut-nakuti kaum tani agar tidak melawan tuan tanah, ikut mengintensifkan pungutan-pungutan paksa dan gelap terhadap kaum tani, mengingatkan kaum tani pada kejahatan-kejahatan Keibodan ketika pendudukan Jepang. Praktik-praktik ini mengakibatkan renggangnya hubungan Rakyat dengan Angkatan Perang. Adanya “Pembina” yang mengontrol pemerintah desa di Jawa Barat bukan hanya tidak mempunyai dasar hukum, tetapi juga tidak diperlukan menurut perundang-undangan yang mengatur susunan pemerintah daerah sekaran ini. Lebih-lebih sesudah berlakunya penyerahan wewenang Pemerintah Umum kepada daerah. Jika pengawasan yang diperlukan, maka pemerintah desa cukup diawasi dari atas, yaitu oleh pemerintah kecamatan dan kabupaten, dan dari bawah, yaitu oleh Rakyat yang membelanjai pemerintah desa yang mempunyai hak memilih dan hak memberhentikan kepala desa apabila terjadi penyelewengan.

Oleh karena itu “Pembina”, yang oleh kaum tani di Jawa Barat sudah dinamakan “pembinasa”, harus dibubarkan. Perjuangan untuk membubarkan “Pembina” dapat dilakukan melalu jalan: a) tuntutan-tuntutan secara massal dari ormas-ormas, terutama ormas tani. Aksi ini harus dilakukan bersama-sama organisasi pamong desa dan polisi yang umumnya tidak suka dengan tertib sipil yang di-SOB-kan; b) tuntutan-tuntutan melalui DPRD Tingkat II dan Tingkat I, dan dalam forum “Panca Tunggal”; c) mengingat sangkut paut soalnya dengan politik reaksioner tingkat nasional, perlu pula dilakukan kegiatan di tingkat pusat, misalnya di DPRGR, DPA, dan sebagainya.

Rakyat Indonesia di luar Jawa Barat harus memberikan perhatian pada SOB gaya baru model “Pembina” ini, karena jika eksperimen Jawa Barat ini berhasil, para konseptornya bermaksud mem-Pembina-kan semua desa Indonesia, dan ini benar-benar merupakan bencana bagi kaum tani dan demokrasi Indonesia.

 

IV

PERJUANGAN KAUM TANI TERHADAP SETAN-SETAN DESA DI BIDANG EKONOMI

Walaupun kekuasaan politik di desa banyak masih di tangan penguasa-penguasa jahat, tetapi pengalaman gerakan tani revolusioner menunjukkan bahwa kekuatan kaum tani yang sudah bangkit, terorganisasi, dan terpimpin mampu memberikan pukulan yang cukup berat kepada setan-setan desa baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi.

Hasil-hasil riset yang telah menyediakan bahan-bahan yang banyak mengenai keadaan ekonomi di desa, memperlihatkan bahwa di desa-desa Jawa Barat terdapat objek aksi yang berlimpah-limpah. Semangat kaum tani adalah baik sekali dan kini terdapat kebangkitan daripada keberanian kaum tani yang menanjak berkat garis dan pimpinan tepat dalam mengganyang setan-setan desa. Di semua kabupaten di Jawa Barat, kaum tani sudah melakukan aksi-aksi yang pada pokoknya berporos pada Gerakan 6 Baik (1. turun sewa tanah; 2. turun bunga pinjaman; 3. naik upah buruh tani; 4. naik produksi pertanian; 5. naik tingkat kebudayaan kaum tani; 6. naik tingkat kesadaran politik kaum tani).

Aksi-aksi pelaksanaan UUPA secara sepihak (tidak setor kepada tuan tanah jahat yang membangkang terhadap UUPA) mulai berkembang dan ada syarat-syaratnya untuk diluaskan dalam musim panen tahun 1964. Di samping  itu, aksi-aksi menggugat dan membongkar kecurangan pelaksanaan UUPA telah berlangsung, dan ini menunjukkan bahwa aksi-aksi kaum tani telah meningkat dari menuntut pelaksanaan ke tingkat ofensif membongkar kecurangan-kecurangan pelaksanaan, seperti antara lain terjadi di Kabupaten-Kabupaten Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Karawang, dan lain-lain.

Juga aksi pelaksanaan UUPBH secara sepihak mulai meluas. Dalam musim panen tahun ini, aksi-aksi sepihak pelaksanaan UUPBH dengan pengertian minimum 6 bagian untuk penggarap dan sisanya dibagi dua, masing-masing untuk pemerintah dan tuan tanah, dapat lebih diluaskan.

Walaupun kedua undang-undang, yaitu UUPA dan UUPBH, tidak bermaksud menghapuskan sistem pemilikan dan penghisapan feodal di desa, tapi pelaksanaan kedua undang-undang itu secara konsekuen dengan menguntungkan kaum tani, dapat memberikan pukulan-pukulan di bidang ekonomi kepada kaum tuan tanah dan menghasilkan keuntungan ekonomi tertentu bagi kaum tani. Pembagian tanah-lebih kepada kaum tani penggarap dapat untuk sebagian memenuhi kebutuhan tani akan tanah, sedangkan pembagian hasil yang agak adil akan meringankan penghisapan lewat sewa tanah dan dengan demikian daya produksi kaum tani juga dapat meningkat.

Tetapi pelaksanaan yang sampai sekarang sangat terbatas daripada suatu landreform yang juga sifatnya amat terbatas (berdasarkan UUPA yang tidak menghapuskan sisa-sisa feodal tapi hanya membatasinya), pun akan segera kehilangan segala efeknya yang agak baik selama kaum tani masih tetap menjadi mangsa lintah darat, tukang ijon, dan setan-setan desa lainnya, karena tanah garapan yang baru diperoleh para penggarap akan segera jatuh ke tangan tuan tanah, tani kaya, kaum penglepas uang, dan sebagainya, melalui satu atau lain bentuk yang tidak terang-terangan.

Pada dewasa ini, berhubung dengan kesulitan-kesulitan pangan, antara lain karena lamanya musim kemarau yang membikin keadaan kurang pangan lebih parah lagi, telah meluas aksi-aksi pinjam atau aksi-aksi boboko, yaitu aksi-aksi menuntut pinjaman padi, beras, atau bahan makanan lain dari tuan tanah dan tani kaya yang persediaannya berlebih-lebihan. Aksi-aksi ini yang bersemangat menuntut hak dan bukan mengemis, mempunyai daya mobilisasi yang besar dan telah timbul di banyak tempat, seperti Rengasdengklok (Karawang), Subang, Bandung, dan lain-lain. Jika sasaran aksi tepat, yaitu tuan tanah dan tani kaya yang persediaannya berlebih-lebihan sebagai hasil penghisapan yang berlebih-lebihan, maka aksi ini mendapatkan dukungan dari lapisan-lapisan masyarakat yang luas dan menggagalkan tipu muslihat kaum reaksioner yang memfitnah gerakan tani. Sesungguhnya, yang dituntut adalah tidak lain daripada hak kaum tani dan yang dipinjam itu hanya merupakan sebagian kecil sekali dari hasil kerja kaum tani yang dirampas oleh tuan tanah dengan jalan maro, ijon, renten, dan sebagainya.

Tanah garapan kaum tani di daerah-daerah kehutanan dan perkebunan perlu dibela terhadap usaha-usaha kaum kapitalis birokrat dan penguasa-penguasa jahat untuk mengusir kaum tani dan mencabut tanah garapannya. Di samping itu, perlu disadari bahwa aksi-aksi kaum tani membela tanah garapannya di tanah kehutanan dan perkebunan perlu diimbangi dengan aksi-aksi melawan tuan tanah. Sebab pada umumnya, kontradiksi pokok di desa adalah antara kaum tani dengan tuan tanah dan bukan dengan Jawatan Kehutanan atau Perusahaan-Perusahaan Perkebunan Negara. Musuh pokok kaum tani di desa bukanlah perkebunan atau kehutanan, tetapi tuan tanah.

Perjuangan untuk menurunkan bunga pinjaman uang panas juga mempunyai arti ekonomi yang penting. Bunga yang sangat berat dari lintah darat atau penglepas uang panas itu, ditambah lagi oleh sistem ijon, telah dengan hebat memeras kaum tani dan telah lebih memerosotkan penghasilan kaum tani. Pengalaman berbagai desa menunjukkan bahwa para penglepas uang panas dapat dipaksa menurunkan bunganya dengan aksi-aksi turun bunga dari kaum tani. Di samping itu, aksi-aksi ini harus disertai dengan usaha-usaha saling bantu dan koperasi-koperasi kredit (simpan pinjam) untuk memenuhi keperluan kaum tani akan uang tunai.

Banyak lagi soal-soal yang merupakan objek aksi kaum tani. Penelitian ilmiah tentang soal agraria dan keadaan kaum tani dapat memberikan bantuan besar dalam membongkar keadaan yang sesungguhnya di desa. Penelitian ilmiah demikian itu hanya berguna jika ditujukan untuk mengabdi pada aksi revolusioner kaum tani, untuk membikin aksi terpadu dengan ilmu sehingga menemukan sasarannya yang lebih tepat lagi. Dengan demikian, aksi-aksi akan cepat meningkat dan kreatif, tidak semata-mata bersifat empiris, bersifat mengulangi pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah tanpa peningkatan secara kualitatif.

Perjuangan kaum tani dan nelayan melawan setan-setan desa di bidang ekonomi adalah alat dan jalan yang penting bagi kaum tani dan nelayan untuk dapat melihat musuh-musuhnya dan memahami bahwa “segala yang jelak bagi kaum tani” berasal dari setan-setan desa itu.

Dengan bertekad “segala yang baik untuk kaum tani”, kaum Komunis Indonesia akan dapat memperhebat pengintegrasiannya dengan kaum tani dan bersama-sama kaum tani mengembangkan ofensif mengganyang setan-setan desa. Hanya dengan kaum Komunis yang tekun membela kepentingan sehari-hari kaum tani, yang tampaknya kecil dan remeh, pengintegrasian PKI dengan kaum tani dapat diperhebat.

 

V

TARAF PENGORGANISASIAN DAN AKSI-AKSI KAUM TANI DAN NELAYAN MENGGANYANG “7 SETAN DESA”

1. TENTANG PENTINGNYA KLASIFIKASI DESA

Kaum tani di Jawa Barat yang merupakan mayoritas penduduk sejak lama sudah terorganisasi. Jumlah penduduk Jawa Barat kira-kira 18.739.000 jiwa dan 70 % daripadanya atau 13.117.300 adalah kaum tani. Jumlah tani dewasa diperkirakan 6.558.650 orang. Dari jumlah ini sudah terorganisasi sebanyak 1.810.750 kaum tani, yang tergabung dalam organisasi massa tani seperti BTI, Petani, Pertanu, Getasi, Perta, dan lain-lain. BTI sebagai organisasi massa revolusioner tani menghimpun 1.250.750 kaum tani atau kira-kira 19 % dari jumlah kaum tani dewasa. Dengan demikian, bagian terbesar daripada kaum tani di Jawa Barat yang telah terorganisasi tergabung dalam BTI.

Di daerah Jawa Barat terdapat 23 kabupaten dan kotapraja, 347 kecamatan, dan 3.756 desa pertanian. Ranting-Ranting BTI telah tersebar di 2.675 desa pertanian atau kira-kira 70 % dari desa pertanian seluruhnya. Di 321 kecamatan dari 347 kecamatan pertanian yang ada di Jawa Barat, telah didirikan Anak Cabang atau kira-kira 90 %, sedangkan Cabang-Cabang BTI sudah didirikan di semua Daerah Tingkat II (kabupaten atau kotapraja).

Sampai sekarang di Jawa Barat masih ada 1.081 desa di mana BTI belum ada sama sekali. Desa-desa selebihnya umumnya menduduki kelas IV, sebagian menempati kedudukan kelas III dan II, dan sebagian kecil desa menempati kedudukan kelas I. Dilihat dari segi pengorganisasian kaum tani, Propinsi Jawa Barat termasuk kelas IV, karena belum sampai 25 % dari kaum tani dewasa terorganisasi dalam BTI.

Di desa-desa di mana belum ada BTI, pimpinan revolusioner terhadap kaum tani tetap terjamin jika di desa-desa itu sudah ada PKI. Di banyak desa di mana BTI belum ada, PKI dan Pemuda Rakyat atau ormasrev lainnya sudah ada.

Adanya BTI sebagai organisasi tani revolusioner dan adanya PKI di desa-desa adalah sangat penting untuk menjamin tergalangnya front persatuan tani antifeodal di desa serta menjamin perkembangan perjuangan kaum tani melawan tuan-tuan tanah dan setan-setan desa lainnya.

Kaum nelayan yang di seluruh Jawa Barat tidak kecil jumlahnya, pada umumnya pengorganisasiannya belum baik. Mereka juga menjadi korban penghisapan yang berat dari setan-setan desa yang merajalela di pantai-pantai.

Penetapan klasifikasi desa mempunyai arti penting sekali untuk bisa secara konkret menentukan sasaran perluasan anggota dan organisasi PKI dan BTI. Ia juga dapat mendorong adanya kompetisi sosialis dalam mengembangkan organisasi dan keanggotaan antardesa, kecamatan, kabupaten, dan antarpropinsi, dan dengan demikian merupakan dorongan yang kuat bagi suksesnya Plan 4 Tahun Partai dan Plan BTI. Untuk seluruh Jawa Barat, tugas PKI dan BTI sekarang adalah meningkatkan taraf pengorganisasian kaum tani agar meningkat dari kelas IV menjadi kelas III.

2. TENTANG KADER TANI DAN NELAYAN

Setelah jelas tugas-tugas organisasi yang harus dilaksanakan oleh PKI dan BTI di desa-desa, maka yang sangat menentukan pelaksanaannya adalah masalah kader, yaitu masalah memilih kader, penempatan, pendidikan, promosi dan mutasi, serta masalah penghidupan mereka sehari-hari.

Pengalaman membuktikan bahwa aksi-aksi kaum tani yang 1001 macam ragamnya dan berporoskan pada Gerakan 6 Baik harus dipimpin oleh kader-kader tani dan nelayan dengan semangat 5 lebih: lebih berani, lebih pandai, lebih waspada, lebih gigih, lebih tekun. Apalagi di tempat-tempat di mana terjadi aksi-aksi buruh tani dan tani miskin yang sangat sengit, di situ lebih-lebih diperlukan pimpinan dengan syarat-syarat tersebut.

Pada umumnya, kader-kader Partai yang bekerja di kalangan kaum tani dan nelayan di Jawa Barat memenuhi syarat-syarat sebagai kader gerakan tani dan nelayan revolusioner. Dengan semangat Komunis yang tinggi, mereka memimpin aksi-aksi dan organisasi kaum tani di desa-desa sehingga sekarang BTI merupakan organisasi massa yang tersebar di Jawa Barat. Meskipun demikian, di kalangan kader tani dan nelayan masih terdaoat kekurangan-kekurangan yang harus diatasi dengan segera.

Laporan petugas-petugas riset menunjukkan bahwa masih cukup banyak komposisi badan-badan pimpinan Partai dan BTI tingkat kecamatan atau desa yang sebagian masih berada di tangan kader-kader yang kedudukan sosialnya tani kaya. Hal ini tidak sesuai dengan komposisi keanggotaan BTI yang umumnya terdiri dari buruh tani dan tani miskin serta sebagian kecil tani sedang. Tani kaya dan apalagi tuan tanah tidak diterima menjadi anggota BTI. Komposisi pimpinan BTI yang tidak tepat membikin aksi-aksi kaum tani dalam Gerakan 6 Baik, khususnya dalam melaksanakan UUPBH dan UUPA, menjadi macet di berbagai tempat.

Sebab pokok mengapa ada tani kaya menempati kedudukan dalam pimpinan PKI dan BTI antara lain sebagai berikut: Mula-mula mereka menjadi anggota Partai dan BTI karena mencari perlindungan menghadapi pasangnya gerakan tani revolusioner. Akan tetapi karena tingkat kebudayaan mereka lebih maju dibandingkan dengan buruh tani dan tani miskin, maka mereka dalam waktu singkat dapat menempati kedudukan dalam pimpinan PKI dan BTI dan untuk sementara mendapat kepercayaan kaum tani. Kecuali itu juga, terdapat kader-kader yang dilahirkan dalam kancah Revolusi Agustus 1945 atau bahkan sebelumnya, yang memang sebelum ada Program Agraria Kongres Nasional ke-V Partai, termasuk kader yang cukup baik, dan umumnya menjalankan politik Partai dengan semangat anti-imperialis yang tinggi, serta ambil bagian aktif dalam menumpas gerombolan DI-TII. Tetapi mereka bukan kader untuk revolusi agraria, dan karena itu mereka harus cepat-cepat diberi tugas lain.

Dalam mengakhiri keganjilan tersebut di atas, maka kita harus dengan teguh memegang garis kelas Partai mengenai Komite-Komite Partai dan pimpinan BTI, tetapi harus luwes dalam pelaksanaannya. Untuk ini, anggota-anggota Partai dan pemimpin-pemimpin BTI yang berasal dari tani kaya, tetapi belum sepenuhnya mengintegrasikan diri dengan gerakan revolusioner kaum tani, harus didorong supaya mau dimutasi ke lapangan olahraga, kebudayaan, atau lapangan-lapangan lain yang tidak langsung berhubungan dengan soal agraria.

Pimpinan BTI dan Partai kemudian harus berada di tangan kader-kader yang berasal dari atau yang sudah teruji sepenuhnya dalam mengintegrasikan diri dengan kepentingan buruh tani dan tani miskin yang bertekad bulat untuk melaksanakan Gerakan 6 Baik, khususnya dalam pelaksanaan UUPBH dan UUPA.

Untuk dapat tepat pada waktunya melaksanakan promosi dan mutasi tersebut di atas, perlu diintensifkan pendidikan Marxisme-Leninisme terhadap kader-kader dalam Komite Partai dan pimpinan BTI terutama di tingkat kecamatan dan desa, serta terhadap aktivis-aktivis yang lahir dari aksi-aksi. Pengalaman di Jawa Barat membuktikan bahwa untuk ini harus diperluas Kursus-Kursus Kilat Aksi, Kursus-Kursus Rakyat, Panti Pengetahuan Rakyat (Panpera), dan Sekolah-Sekolah Politik di daerah-daerah pertanian, serta memberikan prioritas yang tinggi kepada kader-kader tani dan nelayan untuk memasuki Sekolah-Sekolah Partai dan Sekolah Kader Tani di tingkat kabupaten dan propinsi.  

Di samping itu, penting sekali ditingkatkan terus-menerus pengetahuan umum kader yang bekerja di kalangan tani dan nelayan dengan jalan memperluas penyelenggaraan kursus-kursus PBH, Panpera, Bapera, dan Unra, dan di mana mungkin kursus-kursus kejuruan, seperti pertanian dan perikanan. Laporan-laporan petugas riset membuktikan bahwa kader-kader Partai dan BTI yang telah ditingkatkan taraf kebudayaannya merupakan pejuang-pejuang yang gigih dan cekatan dalam membela kebenaran politik Partai dan Manipol.

Keadaan penghidupan kader yang terlalu sulit tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Komite Partai atasan harus segera turun tangan dan memberikan bantuan sekuat mungkin untuk mengatasi kesulitan atau meringankan beban penghidupan mereka. Sikap acuh tak acuh harus dibuang jauh-jauh. Di samping itu, Komite-Komite bawahan dan BTI harus ditingkatkan kemampuannya supaya bisa berdiri sendiri dalam mengatasi kesulitan penghidupan kader di daerahnya dengan berbagai usaha produktif secara gotong royong. Sedangkan Komite dan kader atasan harus menunjukkan solidaritas Komunis yang tinggi dengan berpedoman kepada garis Sidang Pleno ke-II CC (Kongres Nasional ke-VI Partai), yaitu bahwa: bantuan materiil masih sangat terbatas tetapi bantuan moril tidak terbatas.

3. PENGALAMAN AKSI KAUM TANI DAN NELAYAN DI JAWA BARAT

Gerakan tani di Jawa Barat mengalami gelombang pasang sesudah berhasil tertumpasnya gerombolan DI-TII dan setelah tergembleng dalam perjuangan melawan 7 setan desa. Sedangkan gerakan nelayan masih dalam tingkat pembangunan organisasinya. Dari laporan hasil riset telah ditemukan berbagai macam bentuk perlawanan kaum tani dan nelayan melawan bermacam-macam penghisapan dan ketidakadilan yang menimpa dirinya. Objek-objek aksi berlimpah-limpah, sedang semangat berlawan kaum tani dan nelayan berkobar-kobar. Ini sangat menggembirakan bagi perspektif perjuangan kaum tani dan perkembangan organisasi tani revolusioner di Jawa Barat.

Kaum tani dan nelayan di Jawa Barat selama ini telah melancarkan 1001 macam aksi berporoskan Gerakan 6 Baik melawan 7 setan desa. Beberapa pengalaman di antaranya adalah seperti di bawah ini.

Kaum tani selalu memberikan perlawanan yang gigih dan berani dalam mempertahankan tanah garapan bekas tanah kehutanan atau bekas tanah perkebunan, baik di tanah garapannya maupun di pengadilan. Aksi tersebut mendapat dukungan dari kaum buruh kehutanan dan agraria, dan aksi-aksi umumnya sudah dapat dikoordinasi dan dipimpin dengan baik. Dalam aksi tersebut, kaum tani sekaligus melawan penyalahgunaan gerakan penghijauan yang di dalam praktiknya membiarkan tanah yang seharusnya dihijaukan, tetapi mengusir kaum tani dari tanah garapannya yang sudah menjadi sawah, ladang, dan desa, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan hidrologi dan mencegah erosi.

Di Jawa Barat, ada kira-kira 51.750 penggarap yang sudah melaksanakan UUPBH di atas luas tanah kira-kira 11.500 ha (angka-angka BTI Jawa Barat), dan pada umumnya ini adalah hasil aksi sepihak. Angka-angka Pemerintah Daerah Jawa Barat mengenai pelaksanaan UUPA yang kebenarannya sangat diragukan, yaitu bahwa dari luas tanah-lebih 57.000 ha yang telah terdaftar, sudah dilaksanakan redistribusi atas 21.182, 0796 ha kepada 33.573 penggarap, menunjukkan bahwa lebih dari separuh luas tanah-lebih yang sudah terdaftar belum diredistribusikan. Hasil aksi kaum tani dalam melaksanakan UUPA yang betul-betul menguntungkan kaum tani, semuanya adalah hasil aksi sepihak. Dengan aksi sepihak ini, di banyak daerah dapat ditemukan penggelapan-penggelapan tanah-lebih oleh tuan tanah. Dalam aksi-aksi sepihak melaksanakan UUPBH dan UUPA, kaum tani sekaligus melakukan aksi mempertahankan tanah garapannya, karena dalam rangka melawan aksi sepihak ini, tuan tanah juga kemudian melakukan tindakan-tindakan pengusiran. Dalam melaksanakan UUPBH dan UUPA, kaum tani selalu gigih memberikan perlawanan-perlawanan terhadap tuan tanah, baik di atas sawah garapannya maupun di depan pengadilan.

Aksi-aksi sepihak dalam rangka melaksanakan UUPBH yang dilakukan oleh kaum tani sejak tahun 1962 telah berlangsung di berbagai daerah seperti di Kabupaten-Kabupaten Bandung, Cirebon, Indramayu, Karawang, dan lain-lain, yang sudah menghasilkan lebih kurang 52.000 perjanjian bagi hasil, 21.750 dengan surat sedangkan selebihnya tanpa surat. Padahal perjanjian bagi hasil untuk Jawa Barat harus meliputi kira-kira 700.000 perjanjian (berdasarkan perkiraan luas tanah yang tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya kira-kira 350.000 ha dan setiap penggarap rata-rata menyewa 0,5 ha). Ini di satu pihak membuktikan sabotase besar-besaran terhadap pelaksanaan UUPBH, tetapi di pihak lain menunjukkan gerakan tani di Jawa Barat sudah tidak bisa ditahan-tahan lagi dan sedang menghadapi gelombang pasang baru.

Aksi-aksi untuk meningkatkan upah buruh tani sudah berjalan agak merata, malahan di daerah Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, tuan tanah dan tani kaya setempat harus berhubungan dengan BTI jika mereka mau mendapatkan tenaga kerja buruh tani, karena kaum buruh tani hanya mau bekerja jika diminta lewat BTI. Dengan demikian, harga tenaga kerja buruh tani dapat sedikit dinaikkan.

Aksi bebas gadai yang sudah berjalan antara lain di daerah Indramayu, yang umumnya juga dilakukan secara sepihak.

Dalam menghadapi musim paceklik, di samping melakukan saling bantu di kalangan kaum tani sendiri, gerakan boboko juga sudah berjalan di banyak daerah. Dalam aksi-aksi ini, kaum tani telah berhasil bekerja sama dengan pamong desa yang berkemauan baik.

Di sementara desa, kaum tani sudah berhasil meritul penguasa-penguasa jahat di desa melalui aksi-aksi massa.

Di kalangan kaum nelayan, kegiatan yang sudah agak merata adalah arisan atau saling tolong-menolong untuk menghadapi berbagai keperluannya (khitanan, kematian, dan lain-lain).

Dari berbagai macam aksi di Jawa Barat selama ini, dapat dilihat bahwa kaum tani sudah berani melakukan aksi-aksi sepihak melawan setan-setan desa. Berdasarkan pengalaman aksi melawan setan-setan desa tersebut di atas, selanjutnya perlu dikembangkan aksi-aksi: melaksanakan tuntutan 6: 2: 2 dalam rangka pelaksanaan UUPBH terhadap pemilik-pemilik tanah yang masih belum melaksanakannya; meluaskan pelaksanaan UUPBH dan UUPA secara konsekuen dengan mengutamakan kepentingan buruh tani dan tani miskin; meritul penguasa jahat dan me-Manipol-kan kekuasaan desa; meringkus dan membasmi bandit-bandit desa; dan lain-lain.

Untuk dapat mengembangkan aksi-aksi tersebut, pengalaman yang baik perlu diluaskan dan yang kurang tepat harus dijadikan pelajaran.

4. MEMPERSIAPKAN, MELAKSANAKAN, DAN MENGONSOLIDASI AKSI

Garis aksi “adil, menguntungkan, tahu batas” dan pelaksanaan tuntutan “kecil hasil” dengan mengombinasikan kerja berkobar dan tekun adalah pegangan di dalam mengorganisasi aksi-aksi. Dengan berpedoman kepada garis-garis ini, Komite Partai dan organisasi massa revolusioner didorong untuk melakukan persiapan yang sebaik-baiknya, terutama dalam menentukan kader-kader pimpinan aksi yang berpengalaman dan militan. Untuk tiap aksi perlu dibentuk tim-tim aksi. Tim-tim ini bisa dibentuk mulai tingkat propinsi sampai desa atau mulai tingkat kabupaten sampai tingkat desa. Komposisi anggota tim aksi terdiri dari anggota Komite dan anggota-anggota pimpinan organisasi-organisasi massa revolusioner. Dalam melakukan aksi-aksi perlu diikutsertakan sebagai “magang”, artinya tanpa diberi tanggung jawab yang berat, kader-kader muda yang belum berpengalaman, supaya bisa belajar dari pengalaman aksi.

Kunci pimpinan kegiatan aksi berasa di CSS yang dibantu oleh pimpinan organisasi-organisasi massa revolusioner tingkat kecamatan. Selanjutnya dalam menyimpulkan aksi-aksi yang telah dilancarkan, perlu dibentuk tim-tim khusus di beberapa daerah yang maju guna menganalisis dan menyimpulkan aksi-aksi, baik yang menang maupun yang gagal dalam segala bentuknya. Penyimpulan ini penting untuk diratakan ke daerah-daerah lainnya. Menurut pengalaman di Jawa Barat, yang bisa dijadikan daerah-daerah contoh dalam aksi-aksi kaum tani antara lain ialah Kabupaten Bandung, Ciamis, Subang, dan lain-lain.

Pengalaman membuktikan bahwa aksi-aksi akan bisa berjalan lancar, apabila sebelumnya kader-kader aksi diindoktrinasi dengan menyampaikan 4 jelas, yaitu: (1) jelas sasaran aski; (2) jelas sandaran dan kekuatan yang melakukan aksi; (3) jelas cara melaksanakan aksi; dan (4) jelas saat dimulai dan diakhirinya aksi. Untuk dapat menyampaikan 4 jelas kepada massa yang akan melakukan aksi, perlu diadakan rapat-rapat penjelasan atau rapat-rapat tuntutan. Dalam rapat-rapat tersebut, segala fitnahan kepada kaum tani dan nelayan supaya dijawab dan sikap munafik mereka terhadap gerakan tani dan nelayan supaya ditelanjangi habis-habisan. Di samping itu, selama aksi berjalan juga diperlukan adanya rapat-rapat dengan massa yang sedang beraksi, untuk memberikan penjelasan tentang perkembangan situasi aksi dan taktik-taktik baru yang harus segera dilaksanakan. Menghadapi aksi-aksi yang berat, perlu dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan Komite-Komite Partai satu tingkat lebih atas. Untuk lebih memperlancar jalannya aksi, perlu diadakan kontak yang terus-menerus antara tim aksi atasan dengan tim aksi bawahan. Kekuatan aksi tergantung kepada pengorganisasian KTK (Kelompok Tempat Kerja) dan KTT (Kelompok Tempat Tinggal) serta dalam menjalankan propaganda secara mendalam di kalangan massa yang melakukan aksi. Untuk itu, sebelum membangkitkan aksi, perlu lebih dulu dilakukan riset singkat mengenai berbagai masalah yang bersangkutan dengan aksi tersebut. Perhatian dan bantuan serta penjelasan tentang situasi politik harus diberikan kepada kader-kader yang langsung memimpin aksi, termasuk ketua-ketua KTK dan KTT, agar dengan demikian mereka lebih diperteguh sikap dan tindakannya.

Dalam tiap aksi perlu dicegah terjadinya kecenderungan menyerah kepada lawan karena tekanan-tekanan, ancaman-ancaman, pengejaran-pengejaran atau penangkapan-penangkapan dan suap-suapan, atau melakukan tindakan-tindakan nekat dan anarki. Kader-kader aksi supaya dibantu dan didorong untuk lebih dalam lagi memahami masalah pentingnya organisasi dalam aksi, memegang teguh disiplin, konsekuen melaksanakan garis-garis pimpinan, tetapi tidak boleh birokratis dan kaku serta kurang inisiatif.

Pengalaman membuktikan bahwa aksi-aksi bisa berhasil baik, apabila aksi massa dikombinasikan secara tepat dengan usaha-usaha lewat perundingan-perundingan, dengan pengertian bahwa sandaran pokok adalah aksi massa. Dalam perundingan-perundingan, pimpinan aksi harus siap dengan fakta-fakta dan argumentasi-argumentasi yang melumpuhkan alasan-alasan setan-setan desa. Aksi yang hanya dilakukan oleh pimpinan harus dicegah. Tiap-tiap aksi harus benar-benar bersandar pada kebangkitan dan kekuatan massa. Dengan bersandar kepada kekuatan buruh tani dan tani miskin atau buruh nelayan dan nelayan miskin sebagai basis kekuatan aksi di desa, kita menarik tani sedang atau nelayan sedang ke dalam aksi, menetralisasi tani kaya atau nelayan kaya, dan menarik pejabat-pejabat yang Manipolis, sehingga terhimpun di sekitar aksi lebih dari 90 % kekuatan di desa, untuk memencilkan dan melawan setan-setan desa. Pengalaman menarik massa yang luas ke dalam aksi sudah terjadi di berbagai desa di Kabupaten Bandung, di mana telah dapat dimobilisasi semua anggota keluarga kaum tani sampai ke anak-anaknya ke dalam aksi. Inti kekuatan dari sesuatu aksi adalah kegiatan daripada golongan massa yang berkepentingan. Untuk meluaskan dukungan dan memperkuat aksi, penting sekali diadakan aksi-aksi di bagian-bagian lain dari daerah yang bersangkutan.

Menentukan saat-saat yang tepat untuk dimulai dan diakhirinya sesuatu aksi sangat penting untuk dapat memobilisasi massa seluas-luasnya secara berdisiplin dan untuk mencegah usaha-usaha provokasi setan-setan desa. Agar dapat memberikan tuntunan konkret dan memberikan contoh serta dorongan kepada kader-kader yang sedang memimpin aksi, kader-kader atasan supaya ikut aktif dalam sesuatu kegiatan aksi. Untuk dapat melaksanakan hal-hal tersebut supaya dilakukan secara teratur gerakan turun ke bawah oleh kader-kader pimpinan dengan tidak mengabaikan tugas-tugas Partai lainnya.

Pengalaman kaum tani di Jawa Barat memperlihatkan kekurangan-kekurangan penting dalam mengonsolidasi dan meningkatkan hasil-hasil aksi tersebut. Ini antara lain dibuktikan oleh kenyataan, bahwa di banyak daerah sudah terjadi banyak aksi yang berhasil, tetapi perluasan organisasi massa revolusioner tani dan perluasan Partai masih belum seimbang. Rasa puas diri karena aksi berhasil atau patah hati jika aksi tidak mencapai hasil, masih terdapat di lingkungan sementara kader. Oleh karena itu, pedoman 4 menang, yaitu: menang politik, menang organisasi, menang ideologi, dan menang sosial-ekonomi, harus dipegang sejauh mungkin di dalam melakukan aksi-aksi. Pekerjaan berkobar-kobar harus benar-benar dikombinasi dengan pekerjaan tekun.

Di atas segala-galanya, harus bisa dicapai menang politik, yaitu meningkatnya kesetiaan kaum tani kepada organisasinya, kepada pimpinan, dan program agraria Partai. Untuk itu harus diadakan kampanye mengenai hasil aksi melalui rapat-rapat, plakat-plakat, poster-poster, dan surat-surat kabar. Kader-kader yang lahir dalam aksi harus segera ditingkatkan pengertian dan kemampuannya dengan memberikan pendidikan dan menariknya untuk memperkuat grup pimpinan. Di kalangan massa, harus dilancarkan kampanye memperluas keanggotaan Partai dan ormasrev, dalam rangka pelaksanaan Plan 4 Tahun Partai dan ormasrev. Menang politik pertama-tama berarti tambah Komunis dan tambah anggota BTI.

Aksi-aksi sosial-ekonomi harus selalu dihubungkan dengan aksi-aksi politik seperti mendemokrasikan desa, rituling penguasa jahat dan me-Manipol-kan pemerintahan desa, perjuangan mengganyang “Malaysia”, menentang Armada ke-VII Amerika Serikat, dan sebagainya. Hasil aksi yang baik harus segera dikonsolidasi, misalnya, aksi kaum tani yang berhasil untuk mendapat tanah garapan dari tanah perkebunan, kehutanan, atau tanah-lebih, harus disusul dengan aksi untuk mendapat kredit murah, mudah, dan berjangka panjang, untuk mendapat alat-alat pertanian, bibit, pupuk, pengairan, dan lain-lain, di samping membangkitkan swadaya dan mengorganisasi kaum tani yang bersangkutan dalam koperasi-koperasi kaum tani. Dengan demikian, kita selalu mengembangkan kekuatan kaum tani untuk lebih konsekuen lagi mengganyang setan-setan desa.

 

VI

KESADARAN POLITIK KAUM TANI DAN PROPAGANDA POLITIK REVOLUSIONER DI DESA

KESADARAN POLITIK MELUAS DAN MENINGKAT DI DESA-DESA

Hasil penelitian lebih meyakinkan kita, bahwa kebangkitan kesadaran politik di kalangan kaum tani dan nelayan adalah sejalan dengan perkembangan PKI dan gerakan revolusioner di desa-desa. Di desa-desa, di gunung-gunung, lembah-lembah, dan pantai-pantai di mana PKI sudah menginjakkan kakinya dan kemudian melakukan propaganda politik revolusioner serta membantu kaum tani mengorganisasi diri dan memimpinnya, kesadaran politik di kalangan kaum tani dan nelayan segera berkembang dengan cepat. Kejahatan-kejahatan kaum penghisap dibongkar, kemunafikan dan ketakhayulan ditelanjangi. Berangsur-angsur kaum tani dan nelayan melepaskan diri dari perbudakan mental setan-setan desa.

Sebelum gerakan revolusioner masuk ke desa, kaum tani memandang kekuasaan feodal di desa sebagai sesuatu yang keramat, langgeng, dan tak tergoyahkan, dan bahwa kemelaratan dan keterbelakangan mereka adalah sudah takdir dan nasib mereka yang celaka tidak bisa berubah. Setelah mereka mengenal PKI, mengenal semangat, politik, dan programnya, dan kemudian mengenal Manipol, mereka mengenal lebih baik keadaan yang sesungguhnya dan melihat jalan keluarnya. Bahkan di desa-desa yang sudah maju, kaum tani telah memahami peranan mereka dalam penyelesaian tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya dan melihat kepada PKI sebagai pemimpinnya yang sejati. Kaum tani yang sudah ambil bagian dalam gerakan revolusioner di desa-desa yang tersebar di semua kabupaten di Jawa Barat sudah mulai memahami soal-soal pokok revolusi Indonesia, memahami peranan Rakyat pekerja dan khususnya kaum tani dalam revolusi, memahami politik revolusioner Republik Indonesia, terutama yang dikemukakan oleh Presiden Sukarno lewat pidato-pidato 17 Agustus. Pendeknya, kaum tani Jawa Barat sudah sadar politik sehingga tidak akan ada lagi satu macam perbudakan pun yang tidak akan diganyang oleh kaum tani di Jawa Barat. Kaum tani Jawa Barat yang sudah sadar politik ini, bangkit dan melawan bersama-sama kaum tani di seluruh Indonesia.

Di desa-desa di mana gerakan revolusioner belum berkembang, kaum tani baru mengenal sebutan Manipol atau baru membaca papan-papan yang bertuliskan Manipol. Mereka belum mengenal isinya, dan para penguasa tidak memperkenalkan isi “Manipol”, apalagi semangatnya. Tetapi di kebanyakan desa di mana PKI sudah membentangkan sayapnya, Manipol sudah diperkenalkan, baik isinya maupun semangatnya. Pejabat-pejabat di desa-desa pada umumnya tidak merasa berkepentingan untuk melaksanakan Manipol, bahkan jika dilaksanakan secara konsekuen, merekalah yang dirugikan. Oleh karena itu, tidak hanya di kota-kota, tetapi juga di desa-desa berkeliaran Manipolis-Manipolis munafik.

Demikian pula halnya dengan UUPA dan UUPBH. Di desa-desa di mana PKI dan gerakan revolusioner belum berkembang, kaum tani belum mengenal isi UUPA dan UUPBH. Pamong praja, pamong desa, dan pejabat-pejabat lain, tidak berusaha untuk mengerti kedua undang-undang negara ini, bahkan banyak yang tidak memiliki kedua undang-undang ini, dan yang berkemauan baik meminta undang-undang tersebut dari pimpinan BTI. Tetapi sebaliknya, di desa-desa yang sudah ada PKI dan maju gerakan revolusionernya, kedua undang-undang tersebut bukan hanya dikenal oleh kaum tani, melainkan sudah diperjuangkan pelaksanaannya. Bahkan kaum tani sudah sampai kepada kesadaran bahwa hanya pelaksanaan program agraria yang radikal, yaitu “Tanah Untuk Kaum Tani” sebagaimana dirumuskan dalam Program PKI, yang akan mengakhiri kemelaratan dan keterbelakangan mereka. Di desa-desa ini, kaum tani berdasar pengalamannya sendiri meyakini, bahwa pelaksanaan UUPA dan UUPBH, lebih-lebih lagi pelaksanaan landreform yang radikal, sepenuhnya tergantung pada kekuatan kaum tani sendiri di bawah pimpinan PKI. Mereka berkeyakinan, bahwa pelaksanaan UUPBH dan UUPA bukan urusan bupati, camat, lurah, atau pejabat-pejabat lain, karena jika digantungkan pada mereka, sampai kiamat pun tidak akan ada pelaksanaannya. Pelaksanaan semuanya tergantung pada kaum tani sendiri dan kaum Komunis. Di desa-desa ini, kaum tani telah melakukan aksi-aksi sepihak untuk melaksanakan kedua undang-undang ini, untuk membatasi milik tuan tanah atas tanah dan mengurangi penghisapan tuan tanah atas dirinya.

Jika UUPA dan UUPBH di banyak desa tidak atau kurang dikenal kaum tani dan pada umumnya macet pelaksanaannya, maka sebabnya ialah karena pada pokoknya para pejabat desa umumnya dirugikan oleh kedua undang-undang tersebut. Tetapi di atas segala-galanya, karena di desa-desa itu gerakan tani revolusioner dan PKI belum meluas dan terkonsolidasi.

Dengan keluarnya kedua undang-undang tersebut, tuan tanah di desa mulai runtuh “kewibawaan”nya di depan kaum tani. Tuan tanah mulai dikenal oleh petani-petani penggarap tanahnya sebagai penipu, karena mereka menggelapkan luas tanah dengan cara-cara yang kotor, yang semuanya diketahui oleh kaum tani. Tuan tanah yang biasanya menakut-nakuti kaum tani dengan undang-undang, sekarang justru mereka yang telanjang bulat di hadapan kaum tani sebagai orang-orang yang membangkang terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan negara. Bersamaan dengan itu, “pembesar-pembesar” di kota-kota yang mempunyai tanah di desa dan para pejabat desa yang ikut membantu kejahatan tuan tanah telah jatuh pula “martabat”nya di kalangan kaum tani.

Di mata kaum tani, mereka bukan pembesar atau juragan lagi, tapi penipu-penipu yang sudah diberi julukan “setan desa”.

Sejalan dengan kebangkitan kaum tani melawan tuan tanah, mulai juga bangkit kesadaran melawan kabir-kabir yang memainkan peranan sebagai kaki tangan imperialis atau kabir-kabir kota di desa-desa.

Perlawanan kaum tani terhadap kabir lebih nyata lagi di daerah-daerah di mana terdapat PPN. Perjuangan kaum tani di daerah-daerah ini ditujukan untuk melawan pengusiran dari tanah-tanah bekas perkebunan oleh kabir berbaju “Perkapen” atau “Soksi” alias “PSI gaya baru”. Perjuangan itu sekarang ini masih berlangsung untuk mempertahankan tanah-tanah garapan bekas tanah kehutanan dan perkebunan yang sudah lama digarap kaum tani dan untuk memperjuangkan hal-hal yang bersangkutan dengan sistem tumpang sari. Hal ini terjadi di daerah-daerah Garut Selatan, Pangalengan (Bandung), Cianjur Selatan, dan di bagian-bagian lain dari Jawa Barat.

Perlawanan-perlawanan mulai tumbuh terhadap lurah-lurah desa yang menyalahgunakan kekuasaan sebagai tengkulak. Lurah-lurah jahat ini ada yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memonopoli hasil-hasil produksi pertanian lewat “koperasi” palsu untuk menekan harga produksi kaum tani, misalnya sampai di bawah 50 % dari harga pasar, merampas kelebihan uang hasil penjualan kaum tani di pasar yang melampaui ketetapan harga yang ditentukannya atas nama “koperasi”, serta melakukan sistem ijon.

Kesadaran politik kaum tani di Jawa Barat untuk membasmi kaum kontra revolusioner tidak hanya meluas tetapi juga mendalam. Hal ini dapat dibuktikan dari kegiatan kaum tani pada waktu yang lalu dengan mengambil bagian aktif dalam perjuangan bersama ABRI dan dalam mengambil bagian aktif dalam operasi “pagar betis” untuk menumpas gerombolan DI-TII. Dalam keadaan kaum kontra revolusioner sekarang ini mau melakukan kegiatan melalui “Majelis Ulama” (MU), yang dalam pengertian kaum tani adalah “Masyumi gaya baru” atau “DI gaya baru”, kaum tani melawannya dengan segala jalan. Sedang gerakan rasialis bukan hanya tidak mendapat dukungan, melainkan mendapatkan perlawanan dari kaum tani. Gerakan rasialis yang membakari truk-truk dan bus-bus menambah kesulitan transportasi yang sudah sulit dan mengganggu lalu lintas barang yang akibat-akibatnya sangat merugikan kaum tani, seperti yang terjadi di Bandung, Bogor, Cianjur, Garut, Sukabumi, dan beberapa tempat lainnya pada tahun yang lalu.

Di desa-desa sedang tumbuh kesadaran yang makin dalam tentang pengganyangan “Malaysia”. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa kaum tani aktif bersama kaum buruh mengambil alih perusahaan-perusahaan Inggris dan oleh kesadaran yang makin dalam akan perlunya mengatasi sendiri kesulitan-kesulitan pangan. Walaupun di banyak desa, para pejabat telah melakukan tekanan-tekanan terhadap kaum tani dan bahkan ada yang melarang semboyan “mengganyang Malaysia” serta melakukan propaganda bahwa perjuangan ini menimbulkan kesulitan hidup, tetapi semuanya ini tidak menurunkan kesadaran politik kaum tani Jawa Barat.

Dari desa-desa telah lama mengalir tuntutan-tuntutan berupa resolusi-resolusi dan petisi-petisi yang ditandatangani oleh massa kaum tani, baik sendiri-sendiri maupun beramai-ramai, tentang pembentukan Kabinet Gotong Royong berporoskan Nasakom, tentang pe-Nasakom-an pemerintah-pemerintah daerah, pendemokrasian pemerintah desa, penggantian peraturan-peraturan “26 Mei” dengan yang menguntungkan kaum tani, penggantian pamong desa yang jahat, pelaksanaan UUPBH dan UUPA secara konsekuen dengan mengutamakan kepentingan kaum tani penggarap, dan lain-lain.

Perjuangan ke arah pendemokrasian pemerintah desa mulai berkembang dengan adanya tuntutan-tuntutan kaum tani agar wakil-wakil PKI, BTI, dan golongan-golongan revolusioner lainnya di desa yang dikenal sebagai orang-orang terkemuka, ikut serta dalam pemerintahan desa. Kaum tani di berbagai desa mulai menuntut diselenggarakannya rembuk-rembuk desa secara demokratis dan menuntut pemecatan lurah-lurah jahat serta rituling penguasa-penguasa jahat lainnya. Sedang organisasi Front Nasional yang merupakan organisasi kerja sama partai-partai Nasakom dan perseorangan-perseorangan mulai dituntut untuk diaktifkan, juga Panitia-Panitia Landreform dituntut supaya diaktifkan dan Pengadilan Landreform yang berporoskan Nasakom supaya dibentuk. Di desa-desa di mana PKI dan BTI sudah berkembang dan berpengaruh, kerja sama Nasakom lebih mudah digalang.

Makin meningkatknya kesadaran politik kaum tani merupakan jaminan bagi diperkokohnya front nasional yang berbasiskan persekutuan buruh dan tani. Ia merupakan jaminan bagi kaum tani untuk membebaskan dirinya dari penghisapan feodal yang membelenggu mereka selama ini.

Sejalan dengan meningkatnya kesadaran politik kaum tani, meningkat pula kesadaran wanita tani dalam perjuangan untuk emansipasi revolusioner. Kaum wanita tani bersama-sama dengan laki-laki mempertahankan tanah garapan dan melawan tuan-tuan tanah jahat serta setan-setan desa lainnya. Perjuangan telah mempertebal keyakinan wanita tani bahwa perjuangan untuk emansipasi wanita tidak terpisahkan dari perjuangan melawan imperialisme dan feodalisme.

Dengan makin meningkatnya kesadaran politik kaum tani, gerakan “6 Baik” meningkat pula dan makin terjamin syarat guna mematahkan setiap usaha kaum rasialis dan reaksioner lainnya yang hendak menggunakan masalah suku bangsa dan perbedaan warna kulit (rasialisme) untuk memecah belah front persatuan nasional.

Dengan berubahnya keadaan desa yang terbelakang berangsur menjadi maju berkat meningkatnya kesadaran politik kaum tani sebagai akibat berkembangnya dan terkonsolidasinya PKI dan BTI di lapangan politik, organisasi dan ideologi, secara berangsur-angsur melenyap pula gejala-gejala jelek, seperti perjudian, jawara-jawara jahat, takhayul, dan lain-lain di banyak desa di Jawa Barat.

Kesemuanya itu sudah menggoyangkan dan akhirnya akan menghancurkan kekuasaan setan-setan desa yang di antaranya sudah ada yang mulai segan menampakkan diri di siang hari, tetapi masih terus mengganggu dan hanya kalau diganyang terus, mereka akan menghilang untuk selama-lamanya.

USAHA-USAHA KAUM REAKSIONER UNTUK MEMBENDUNG KESADARAN POLITIK KAUM TANI

Untuk membendung kesadaran politik kaum tani di desa, kaum reaksioner telah menempuh berbagai macam cara, baik berupa membatasi kebebasan demokratis, ancaman-ancaman terhadap pemimpin-pemimpin kaum tani, menyabot putusan-putusan yang maju dari pemerintah pusat, memperalat agama dan kebudayaan, sampai kepada fitnahan, kemunafikan, dan teror.

Untuk membendung kebangkitan kesadaran politik kaum tani agar kekuasaan desa dapat tetap sepenuhnya mengabdi kepentingan tuan tanah dan kabir, rapat-rapat desa telah dilaksanakan dengan tidak periodik dan tidak demokratis. Rapat-rapat desa dilaksanakan tanpa mengikutsertakan tokoh partai-partai Nasakom dan wakil organisasi tani revolusioner, karena takut dibongkar “borok-borok” pamong-pamong desa yang jahat. Sedang rapat-rapat tahuann desa lebih banyak bersifat menyampaikan instruksi-instruksi. Usul-usul yang datang dari kaum tani bukannya ditampung, melainkan ditindas dengan kemarahan dan keberingasan. Oleh karena itu, tuntutan-tuntutan agar rapat-rapat desa diadakan periodik dan diselenggarakan secara demokratis makin meluas di desa-desa Jawa Barat.

Organisasi Front Nasional di desa ada yang belum dibentuk, ada yang sudah dibentuk tetapi tidak dihidupkan, dan ada pula yang tidak mengikutsertakan wakil-wakil Nasakom. Untuk memacetkan organisasi Front Nasional, sementara pejabat desa atas instruksi “atasan” telah membentuk lembaga-lembaga baru seperti “Majelis Ulama” (MU), “Lembaga Kesejahteraan Umat” (LKU), dan sebangsanya. Tindakan-tindakan mereka ini mulai mendapatkan perlawanan-perlawanan dari kekuatan-kekuatan revolusioner.

Karena PKI telah terbukti merupakan Partai yang menyebabkan berkembangnya gerakan revolusioner di desa, maka kaum reaksioner dari pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, sampai ke desa, mencoba merintangi pertumbuhan PKI. Dengan berbuat demikian, mereka berusaha mencegah adanya penguasa desa yang Manipolis, mencegah jangan sampai desa-desa dapat dikonsolidasi secare revolusioner di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Tetapi bertentangan dengan keinginan mereka, berkat pembelaan-pembelaan PKI yang teguh dan terus-menerus terhadap kepentingan-kepentingan kaum tani, PKI malahan makin mendapat tempat dalam hati kaum tani dan ofensif Manipol makin meluas ke desa-desa. Sungguh, dasar-dasar masyarakat lama sedang goncang di desa-desa Jawa Barat!

Untuk mempertahankan kedudukannya, kaum reaksioner tidak segan-segan melakukan ancaman, pengejaran, dan penangkapan dengan meminjam tangan sementara Koramil dan Pembinan serta pejabat-pejabat desa lain yang reaksioner sampai pada suapan dan fitnahan terhadap kader-kader PKI dan BTI. Tetapi usaha-usaha ini ternyata tidak berhasil dan tidak akan berhasil memadamkan kebangkitan kesadaran politik kaum tani.

Dengan tidak segan-segan, kaum reaksioner memperalat agama dengan menggunakan langgar-langgar dan masjid-masjid. Mereka antara lain mengkhotbahkan bahwa kehidupan kaum tani yang semakin berat dewasa ini disebabkan karena kaum tani sudah melupakan tablih-tablih dan banyak ikut-ikut politik. Maksud khotbah-khotbah mereka itu di samping untuk membikin kaum tani pasif terhadap Manipol, pengganyangan “Malaysia”, dan lain-lain, juga dimaksudkan untuk menutup-nutupi penghisapan kaum tuan tanah, imperialis, kapitalis birokrat, dan setan-setan desa lainnya yang menjadi sebab pokok dari kemelaratan dan keterbelakangan bagian yang sangat besar dari kaum tani. Walaupun demikian, berdasar pengalamannya sendiri, kaum tani Jawa Barat sudah cukup mengenal, bahwa khotbah-khotbah tersebut adalah merupakan kegiatan “Masyumi gaya baru” atau “DI gaya baru”.

Kaum tani dengan tajam sekali menyindir berbagai gejala buruk dewasa ini. Mereka lukiskan dengan rasa amarah, keadaan pincang yang mereka saksikan dan alami itu dengan perantaraan kesenian seperti reog, kidung, bebodoran, dan lain-lain. “Salah tapi kaprah, benar belum lumrah”, “Undang-Undang kalah karena kadang, peraturan kalah karena bebaturan, wet kalah karena dompet”, “Membawa beras sekati harus berhati-hati, sekuintal kebintal-bintal (terlunta-lunta), satu ton tidak katon (kelihatan)”, demikian antara lain ucapan-ucapan mereka. Sementara Bintara Pembina Wilayah yang reaksioner oleh kaum tani telah diberi nama “Pembinasa”.

Ini semua adalah pernyataan kesadaran politik revolusioner kaum tani dan nelayan terhadap kepincangan-kepincangan dan ketidakadilan yang berlaku dewasa ini di desa-desa Jawa Barat.

PROPAGANDA POLITIK REVOLUSIONER DI DESA

Akibat penindasan dan penghisapan imperialisme, tuan tanah dan setan-setan desa lainnya yang sudah lama  berkuasa di desa, dan yang tahun-tahun belakangan ini ditambah lagi dengan kaum kabir, telah menyebabkan kebudayaan kaum tani dan nelayan sangat terbelakang. Dengan demikian, pekerjaan propaganda politik di kalangan kaum tani dan nelayan, wajib dilakukan dengan tekun dan berkobar, dengan secara luas dan mendalam. Partai harus menempuh segala jalan dan cara untuk melakukan propaganda politik revolusioner di kalngan kaum tani dan nelayan.

Dari hasil-hasil riset terbukti, bahwa walaupun penghidupan kaum tani sangat berat, tetapi di mana PKI menyelenggarakan kursus-kursus PBH, Sekolah-Sekolah Politik, Kursus-Kursus Rakyat, dan Panpera, kaum tani telah mengikutinya dengan tekun dan gairah. Mereka menyambut kader-kader PKI yang sedang bertugas turun ke bawah dengan penuh kehangatan. Bahkan kader-kader PKI tersebut telah diperebutkan oleh kaum tani untuk berkunjung ke rumahnya, walaupun penghidupan mereka sangat sulit. Dalam melakukan propaganda politik revolusioner di desa, adalah penting untuk melakukan anjangsana. Pada waktu anjangsana, kader-kader PKI dapat membicarakan berbagai hal dan melakukan propaganda politik revolusioner secara mendalam dengan kaum tani dan nelayan.

Gerakan “3 sama”, walaupun ditujukan pertama-tama untuk riset, tetapi ia mengandung segi-segi propaganda dan mobilisasi yang penting. Pada waktu melaksanakan “3 sama”, buruh tani dan tani miskin mengetahui betapa tingginya moral kader-kader PKI, dan oleh karena itu mereka memberikan segala keterangan dan bantuan yang diperlukan, dan di antara keterangan-keterangan itu merupakan bahan-bahan hidup untuk pekerjaan propaganda.

Dengan melalui ceramah-ceramah dan rapat-rapat massa di desa, kesadaran kaum tani dan nelayan meningkat cepat. Dalam waktu yang amat singkat, kaum tani dan nelayan tidak hanya mengenal lebih baik desanya, tetapi mereka mulai kenal keadaan negerinya. Bahkan mereka mulai mengerti beberapa soal internasional, seperti antara lain dibuktikan dengan pengiriman petisi-petisi mendukung perjuangan Rakyat Kuba melawan agresi AS, perjuangan Rakyat Kalimantan Utara, perjuangan kemerdekaan Rakyat Anggola dan Vietnam Selatan, seperti yang dilakukan oleh kaum tani daerah-daerah Kabupaten-Kabupaten Bandung, Sukabumi, Tasikmalaya, dan lain-lain.

Berbagai Kursus Rakyat dan seminar mengenai masalah-masalah tertentu di desa, ternyata juga merupakan cara untuk melakukan propaganda politik revolusioner. Dengan seminar-seminar tersebut, kebenaran tuntutan-tuntutan revolusioner kaum tani dapat diyakini secara mendalam oleh kaum tani bersama-sama golongan lain yang maju di desa.

Kaum buruh yang sudah sadar, terutama buruh transportasi dan buruh agraria, sudah mulai merasa sebagai kewajibannya untuk membantu meluaskan propaganda politik revolusioner ke desa-desa. Pekerjaan ini juga banyak dilakukan oleh kaum buruh kota yang sedang bercuti ke desa-desa. Untuk meningkatkan kesadaran politik kaum tani di sekitar daerah perkebunan, kehutanan, dan pabrik-pabrik, adalah penting kerja sama kaum buruh dengan kaum tani dan nelayan dalam bentuk aksi-aksi bersama (aksi-aksi dengan tuntutan yang sama), aksi-aksi paralel (aksi-aksi dengan tuntutan berlainan berdasar kepentingan masing-masingm tetapi sasarannya sama), atau aksi-aksi imbangan (aksi-aksi dengan tuntutan yang sasarannya berlainan, tetapi bersamaan waktunya).

Kegiatan kebudayaan merupakan alat perjuangan yang kuat untuk melakukan propaganda politik revolusioner di desa-desa. Kegiatan kebudayaan, di samping kegiatan politik dan organisasi, di desa-desa yang tadinya dikuasai bandit-bandit DI atau Masyumi, adalah sangat penting dalam rangka me-Manipol-kan desa-desa.

Dalam pekerjaan propaganda politik revolusioner di desa, ternyata penting sekali artinya memperkenalkan semboyan-semboyan politik revolusioner lewat spanduk, poster, plakat, gambar karikatur, lewat tulisan-tulisan pada dinding, pada bangunan, batu-batu besar, pohon besar, dan sebagainya. Juga dapat dilakukan dengan menuliskannya pada kertas-kertas untuk dipasang di sanggar-sanggar desa atau, atas permintaan kaum tani, dipasang di rumah-rumah mereka. Para pelajar dan mahasiswa revolusioner yang sedang turun ke bawah bisa membantu pekerjaan ini. Semboyan-semboyan revolusioner ini berangsur-angsur dijelaskan maknanya dan diuraikan isinya dalam ceramah-ceramah, rapat-rapat dan kursus, serta melalui pembicaraan-pembicaraan perseorangan di tempat kerja atau pada waktu anjangsana.

Walaupun belum luas, hasil penyelenggaraan koran-koran tempel dan penyebaran koran-koran revolusioner di desa-desa adalah baik sekali. Penyebaran lektur revolusioner ternyata mempunyai peranan yang besar dalam pekerjaan propaganda politik di kalangan kader-kader revolusioner di desa.

Dengan pekerjaan propaganda politik revolusioner yang tekun dan berkobar, dengan luas dan mendalam, kesadaran politik kaum tani akan terus-menerus meningkat. Kesadaran politik dan tingkat kebudayaan kaum tani dan nelayan akan menjadi lebih meningkat lagi dengan berkembangnya aksi-aksi mengganyang setan-setan desa di bidang ekonomi dan politik. Pekerjaan propaganda politik revolusioner di desa-desa akan menjadi lebih baik dengan lahirnya kader-kader baru dari aksi-aksi kaum tani dan nelayan. Dengan demikian desa yang tadinya terbelakang, di bawah telapak kaki kaum reaksioner, berangsur-angsur akan menjadi desa revolusioner yang terkonsolidasi di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Usaha tuan tanah, kabir, dan setan-setan desa lainnya untuk mempertahankan kekuasaan mereka yang penuh dan untuk mempertahankan keterbelakangan desa akan sia-sia, meskipun mereka berbuat apa saja, termasuk melakukan fitnahan dan teror terhadap kaum tani.

 

VII

KAUM TANI DARI “SERBA SALAH” MENJADI “SERBA BENAR”

Dalam keadaan di mana belum ada kebangkitan revolusioner dari kaum tani, kaum tani berada dalam kedudukan “serba salah”, “serba kalah”, dan “serba tidak mempunyai hak”. Di zaman kolonial dulu, petani yang berurusan dengan polisi, tanpa ada pemeriksaan sudah dianggap “salah”, karena kaum tani “tidak mungkin berada di pihak yang benar”. Tidak hanya itu, anak cucunya dianggap anak cucu orang yang bersalah, karena mereka anak cucu orang yang pernah berurusan dengan p0lisi.

Setan-setan desa selalu mengkhotbahkan, bahwa kemelaratan dan keterbelakangan kaum tani sudah merupakan takdir dan suatu keharusan masyarakat seperti dinyatakan oleh mereka: “rejeki geus dipanci-panci” (rezeki sudah ditakar). Mereka juga mengatakan bahwa kemelaratan dan keterbelakangan adalah karena kemalasan dan kebodohan kaum tani sendiri. Mereka juga mengatakan: sebagaimana halnya ada siang dan malam, maka kalau ada orang kaya harus ada orang miskin, kalau ada orang yang memiliki tanah harus ada orang lain yang mengerjakan.

Oleh karena itu, melihat kebangkitan gerakan tani sekarang, setan-setan desa sangat marah dan selalu melakukan fitnah terhadap kaum tani.

Mereka mengatakan: “Sesudah ada BTI, kaum tani menjadi kurang ajar”, “BTI tukang bikin huru-hara”, dan “BTI rewel”. Dalam hubungan ini, kaum Komunis perlu memberikan jawaban, bahwa menurut Manipol kaum tani adalah sokoguru atau tenaga pokok revolusi. Sedang imperialisme dan feodalisme adalah musuh-musuh revolusi Indonesia. Kalau kaum tani “kurang ajar”, “tukang bikin huru-hara”, dan “rewel” terhadap tuan tanah, lintah darat, dan setan-setan desa lainnya, apakah ini salah? Ini tidak salah! Ini benar sekali! Bahkan ini kewajiban. Menurut Manipol, kaum imperialis dan tuan tanah adalah musuh revolusi Indonesia dan harus dihapuskan. Jadi sebenarnya tak cukup hanya sekadar dikurangajari atau direweli atau dibikin huru-hara terhadap musuh-musuh revolusi ini. Sikap kaum tani sekarang masih terlalu lunak terhadap setan-setan desa.

Mereka mengatakan: “Sesudah ada BTI, kaum tani membikin kita tidak tenang”. Kaum Komunis hanya dapat berkata, bahwa kalau demikian kaum tani sudah bertindak benar. Apa jadinya revolusi Indonesia ini kalau kepada musuh-musuhnya diberikan kesempatan untuk bisa hidup tenang, “ayem-tentrem”, seperti zaman penjajahan dulu, padahal mestinya mereka harus dihancurkan, dan menurut Dekon harus “dikikis habis”. Mereka yang harus dikikis habis tidak seharusnya bisa tenang, sudah sewajarnya mereka gelisah. Kaum tani sekarang masih terlalu lunak, tuan tanah dan lintah darat serta setan-setan desa lainnya masih terlalu banyak yang bisa tidur nyenyak.

Mereka mengatakan: “Kaum tani tahunya hanya menuntut”. Dalam hubungan dengan ini, kaum Komunis harus memberikan jawaban, bahwa hasil riset memberikan bukti bahwa bangunan Sekolah Dasar yang didirikan oleh kaum tani sendiri di desa-desa se-Jawa Barat adalah jauh lebih besar jumlahnya jika dibanding dengan yang didirikan oleh Pemerintah Daerah. Menurut angka resmi, sampai akhir Februari 1964, di Jawa Barat bangunan Sekolah Dasar yang didirikan oleh Pemerintah berjumlah 2.235 bangunan terdiri atas 7.160 lokal. Sedang yang didirikan oleh Rakyat, dengan sendirinya terutama kaum tani, berjumlah 7.782 bangunan terdiri atas 24.170 lokal. Kaum tani ternyata memiliki semangat swadaya yang tinggi. Ini juga dibuktikan terutama oleh kegiatan kaum tani yang dengan susah payah telah berusaha sendiri mengatasi kesulitan pangan dewasa ini, dalam rangka memperhebat konfrontasi total mengganyang proyek neokolonialis “Malaysia”. Lagi pula, apa salahnya kaum tani menuntut? Yang dituntut kaum tani adalah haknya sendiri dan hak nenek moyangnya yang sudah berabad-abad dan terus-menerus dirampas oleh setan-setan desa. Oleh karena itu, kaum tani adalah benar dan tidak bersalah. Kaum tani sekarang masih terlalu lunak dalam menuntut hak-haknya ini.

Mereka mengatakan: “Kaum tani garong tanah” dan “penyerobot hutan sehingga menyebabkan banjir”. Dalam hubungan dengan ini, kaum Komunis perlu memberikan jawaban, bahwa tanah-tanah hutan yang digarap kaum tani yang akhir-akhir ini dihebohkan oleh kabir-kabir dan setan-setan desa lainnya adalah tanah-tanah datar. Sedangkan tanah hutan lama yang digarap memang ada tanah-tanah miring, tetapi bukan hasil babatan baru kaum tani.

Kaum tani mengerti benar bahwa banjir membahayakan dirinya dan tanamannya, oleh karena itu tidak mungkin kaum tani sengaja berbuat sesuatu untuk membikin banjir yang akan membahayakan dirinya. Tanah-tanah kehutanan yang dikerjakan oleh kaum tani adalah tanah-tanah gundul yang kayunya ditebangi atas perintah penguasa fasis Jepang untuk keperluan pertahanan dan perampokan mereka, atas perintah tentara kolonial Belanda untuk membasmi gerilya Republik, ketika perang kemerdekaan untuk memperbesar produksi pangan, atau pada masa membasmi kontra revolusi bersenjata DI-TII diperintahkan untuk ditebangi agar mudah mengontrol lalu lintas DI-TII. Ada juga hutan-hutan dan kebun-kebun yang ditebangi atas perintah pejabat-pejabat kehutanan atau penguasa-penguasa perkebunan sendiri untuk dijual kayunya dan tidak dihutankan atau ditanami kembali, ditelantarkan oleh penguasa-penguasa tertentu dari kehutanan atau perkebunan.

Kaum tani selalu bersedia untuk melaksanakan penghijauan daerah dan penghutanan kembali tanah-tanah gundul dengan tanaman keras, bahan makanan, tanaman kayu untuk bangunan, dan bahan-bahan ekspor, ataupun dengan menggunakan sistem tumpang sari dan sistem zebra antara tanaman-tanaman kayu dengan tanaman bahan makanan. Dengan demikian, usaha-usaha untuk menghijaukan daerah dan penghutanan kembali tanah gundul dapat dikombinasi dengan usaha untuk meningkatkan produksi pangan. Jadi juga dalam hal tanah kehutanan dan perkebunan yang gundul, kaum tani adalah benar dan tidak bersalah. Kaum tani masih terlalu lunak dalam melawan tukang-tukang fitnah, terutama pejabat-pejabat kehutanan yang tani-fobia.

Mereka mengatakan: “Kaum tani adalah musuh negara dan harus ditangkap”. Tentang musuh negara, di atas sudah dijelaskan bahwa menurut Manipol, musuh revolusi atau musuh negara adalah imperialisme dan feodalisme. Sedang kaum tani bukan hanya bukan musuh revolusi, melainkan sokoguru atau tenaga pokok revolusi. Tentang siapa yang musuh negara dan harus ditangkap, kenyataan menunjukkan bahwa tuan-tuan tanah telah membangkang terhadap UUPBH dan UUPA, telah menggelapkan dan memalsukan luas tanah mereka, telah mengadakan “salah bagi” dan “hibah” palsu. Mereka sudah menipu negara dengan membikin surat-surat bersegel yang palsu. Juga kaum kabir telah mencoleng harta kekayaan negara dan merusak alat-alat produksi. Bukan kaum tani yang melanggar undang-undang negara dan harus ditangkap, melainkan tuan tanah jahat, kaum kapitalis birokrat, dan setan-setan desa lainnya, serta “Masyumi gaya baru”, “DI gaya baru”, dan “PSI gaya baru” yang terus-menerus merongrong negara dengan propaganda jahat dan kegiatan-kegiatan subversifnya. Oleh karena itu juga dalam hal ini, kaum tani di pihak yang benar dan tidak bersalah. Sampai sekarang, kaum tani masih terlalu lunak dalam mengganyang perbuatan-perbuatan setan-setan desa yang melanggar undang-undang negara yang maju dan anti-Republik Indonesia.

Mereka mengatakan: “BTI antiagama dan anti-Pancasila”. Mengenai soal ini, kaum Komunis perlu memberikan jawaban, bahwa setan-setan desalah yang telah memperalat agama dan Pancasila untuk memecah belah persatuan nasional guna merobohkan RI dan tujuan-tujuan yang jahat lainnya. Lagi pula yang membakar masjid-masjid dan mengorup kotum haji bukanlah anggota-anggota BTI atau PKI, tetapi setan-setan desa dan penjahat-penjahat lain yang mengaku beragama dan ber-Tuhan. Kalau makin lama makin kurang jumlah kaum tani yang mendengarkan khotbah di langgar-langgar atau masjid-masjid adalah karena tempat tersebut sering dijadikan mimbar tokoh-tokoh “Majelis Ulama”, yaitu “Masyumi gaya baru” atau “DI gaya baru”. Dalam hubungan dengan ini, BTI dan kaum tani juga benar dan tidak salah. BTI dan kaum tani menerima dan mempertahankan Pancasila sebagai alat pemersatu seluruh bangsa. Kebenaran BTI dibuktikan oleh makin meluasnya organisasi BTI di desa-desa Jawa Barat. Justru penghisap-penghisap besar di desa dan orang-orang bekas gerombolan DI-TII yang terang-terangan menentang atau menyalahgunakan Pancasila. Kaum tani masih terlalu lunak dalam mengganyang kaum Pancasilais-munafik dan Manipolis-munafik di desa-desa.

Mereka mengatakan: “Kaum tani menyabot Koperasi Pembelian Padi (KPP)”. Kaum Komunis mengemukakan kenyataan, bahwa dalam melakukan pembelian padi telah terjadi paksaan dan penyalahgunaan. Buktinya ialah, bahwa akhirnya pembelian padi secara paksa telah dihentikan. Sedang KPP kenyataannya adalah koperasi palsu yang dipaksakan dari atas oleh penguasa reaksioner Jawa Barat, yang sama sekali tidak mewakili kepentingan kaum tani. Hanya namanya saja “Koperasi Pembelian Padi”, tetapi kenyataannya adalah “Koperasi Perampas Padi”, dan demikianlah badan ini dinamakan oleh petani-petani Jawa Barat. Adalah hak kaum tani untuk meminta pertanggungan jawab terhadap penggunaan uang negara untuk pembelian padi. Juga dalam hal “koperasi” ini, kaum tani berada di pihak yang benar dan sama sekali tidak salah. Kaum tani selama ini masih terlalu lunak dalam mengganyang penipu-penipu dalam pembelian padi dan dalam koperasi palsu.

Mereka mengatakan: “PKI dan BTI tukang palsu fakta dengan mengatakan bahwa UUPBH dan UUPA macet”. Tentang ini tidak perlu komentar, karena fakta-fakta hasil riset berbicara sendiri. Meja-meja kaum birokrat di daerah-daerah dan di pusat boleh penuh dengan laporan-laporan palsu tentang “lancarnya” pelaksanaan UUPBH dan UUPA, tetapi fakta-fakta membantah semuanya itu. Jadi jelaslah siapa yang memalsu fakta, pasti bukan PKI, bukan BTI, dan bukan kaum tani.

Dengan masuknya PKI dan BTI serta gerakan revolusioner pada umumnya ke desa-desa, kebangkitan kaum tani mendukung politik revolusioner makin menghebat. Keyakinan yang sudah berabad-abad ditanamkan oleh kelas-kelas penghisap, bahwa “orang bodoh tidak mungkin jadi pintar” dan “orang kecil tidak bisa jadi besar”, berangsur-angsur makin terkikis dari pikiran kaum tani. Berurusan dengan polisi tidak lagi dianggap otomatis bersalah, malahan tidak sedikit kaum tani yang turun naik pengadilan dengan mendapat simpati luas sampai jauh di luar batas desanya, mereka dikalungi bunga dan sajak-sajak pujaan diciptakan dan dideklamasikan untuk mereka. Hasil-hasil riset menunjukkan bahwa dengan kebangkitan kaum tani, banyak hal yang baik dan maju dapat diciptakan oleh kaum tani. Dengan kesadaran politik revolusioner di kalangan kaum tani dan nelayan, kejahatan, kemesuman, dan kebejatan moral berangsur-angsur dilawan dan ditelanjangi di desa-desa. Dengan bangkitnya gerakan revolusioner, kaum tani dan nelayan yang selama berabad-abad ditempatkan oleh setan-setan desa dalam kedudukan “serba salah” menjadi “serba benar”.

Kaum tani makin hari makin tajam penglihatannya dalam mengikuti sikap partai-partai dan tokoh-tokoh perorangan serta segera mengenal siapa-siapa yang berdiri di depan kaum tani dan memimpinnya, siapa-siapa yang berdiri di belakang atau di samping kaum tani sambil mencela dan memaki-makinya, dan siapa-siapa pula yang berdiri berhadap-hadapan dengan mereka dengan sangkur terhunus melawan kaum tani.

Segala usaha dapat dicoba untuk membendung gerakan tani Jawa Barat, baik dari Jakarta, dari Bandung, maupun dari semua desa Jawa Barat. Tetapi dengan kaum tani yang sudah sadar politik dan sudah bangkit dengan tekad revolusioner yang bulat, tidak ada bendungan yang dapat menahan ofensif Manipol ke desa-desa.

 

VIII

KEBUDAYAAN DAN MORAL REVOLUSIONER DI KALANGAN KAUM TANI DAN NELAYAN

Kehidupan kebudayaan dan moral di desa-desa Jawa Barat tidak lepas dari pengaruh perpaduan sistem eksploitasi feodal dan imperialis serta masuknya kapitalisme. Tuan-tuan tanah dan tani-tani kaya lapisan atas mendirikan gedung-gedung baru, banyak yang model “jengki”, untuk tempat tinggal, membeli mobil atau kendaraan bermotor lainnya, dan alat-alat rumah tangga yang modern, termasuk transistor-transistor dan pick up. Kebudayaan neokolonialis menyusup ke desa dalam bentuk majalah-majalah hiburan yang banyak terbit di kota-kota, musik ngak-ngik-ngok serta irama-irama India dan Malaya lewat transistor-transistor, pick up-pick up, maupun orkes-orkes yang dibiayai oleh sementara tuan tanah, tani kaya lapisan atas, kabir, dan penguasa-penguasa jahat, yang digunakan sebagai hiburan para tamu pada pesta-pesta khitanan, perkawinan, dan kesempatan-kesempatan lain. Pendukung-pendukung pokok dari kebudayaan neokolonialis, yaitu kaum kabir, koruptor, dan kaum komprador, pada umumnya bertempat tinggal menetap di kota, sehingga desa belum mengenal malam-malam dansa-dansi, seperti malam-malam twist, dan lain-lain.

Moral bejat, yang secara relatif berkembang dalam masyarakat desa dewasa ini, seperti beristri banyak dan sering-sering tukar istri, pelacuran tertutup, perjudian, mabuk-mabukan, umumnya terbatas di kalangan tuan tanah, tani kaya tingkat atas, penguasa-penguasa jahat, dan setan-setan desa lainnya. Dalam hal pelacuran di kalangan buruh tani dan tani miskin, adalah sebagai akibat kemerosotan ekonomi, sedang wanita-wanita tani yang terjerumus ke jurang pelacuran ini mencari pasaran di kota-kota dan menjadi terlepas dari masyarakat desa. Kebanyakan di antara mereka, di samping karena kesulitan ekonomi, juga karena korban perkawinan kanak-kanak yang bercerai muda, sebagai mangsa tuan tanah, tani kaya, lintah darat, dan setan-setan desa lainnya.

Di sementara desa Jawa Barat, perjudian di kalangan sebagian kaum tani dan nelayan merupakan kebiasaan jelek sebagai warisan zaman kolonial. Kebiasaan ini, yang sejak dulu-dulu dipupuk oleh kaum penghisap, adalah senjata kaum penghisap untuk meracuni kaum tani, untuk membikin kaum tani tetap terikat pada mereka dan dengan demikian dapat menguasai tenaga kerja dan produksinya.

Dominasi sisa-sisa feodalisme di desa mengakibatkan sangat terbelakangnya kaum wanita tani. Cara hidupnya dan alam pikirannya pada umumnya sangat sederhana, dipengaruhi takhayul dan mistik. Mereka menjadi korban diskriminasi di lapangan hak waris, perkawinan, dan perceraian, korban perkawinan di bawah umur, poligami, korban kebejatan kebudayaan, dan moral sisa-sisa feodal.

Anak-anak juga turut menjadi korban. Anak-anak buruh tani dan tani miskin kebanyakan tidak bisa menyelesaikan Sekolah Dasar karena tekanan ekonomi. Anak-anak yang mestinya mendapat asuhan taman kanak-kanak berkeliaran di desa dan terlantar sama sekali di musim turun ke sawah.

Peranan organisasi massa wanita revolusioner penting sekali artinya dalam meningkatkan derajat kaum wanita dan anak-anak desa. Meningkatkan derajat kaum wanita tani dan anak-anak ini berarti meningkatkan kebudayaan di desa.

Untuk membela kaum tani dan nelayan serta mengembangkan kesenian Rakyat, dalam periode sebelum dan sesudah revolusi agraria, di desa-desa harus dikembangkan gerakan kebudayaan revolusioner, yang mencerminkan kebangkitan kaum tani dan nelayan dalam bentuk-bentuk kesenian sebagai manifestasi perjuangan melawan eksploitasi feodal. Pengembangan gerakan kebudayaan revolusioner dan pengganyangan terhadap kecabulan dalam hiburan murah yang relatif berpengaruh di desa sekarang ini harus langsung ditanggulangi oleh Partai dan ormas-ormas revolusioner.

Revolusi Agustus 1945 memang telah membawa perubahan-perubahan di desa, terutama dalam meningkatkan kesadaran politik maupun moral kaum tani. Tetapi khusus di Jawa Barat, situasi revolusioner dalam gelombang Revolusi Agustus 1945 terhalang perkembangannya karena tentara kolonial dan kaum feodal serta komprador di Jawa Barat dalam waktu singkat dapat menguasai kembali daerah ini. Tradisi “Sarekat Hedjo” sebagai aparat kolonial diteruskan oleh kekuatan kontra revolusi DI-TII, sehingga banyak desa dihambat perkembangannya.

Akibat tidak lancarnya komunikasi, maka Jawa Barat mempunyai variasi perkembangan yang tidak sama, seperti daerah-daerah antara Jakarta-Bandung yang relatif maju, dibandingkan dengan daerah-daerah tanah partikelir seperti Ciasem-Pamanukan ataupun Banten. Bahkan daerah Banten Selatan merupakan daerah yang hampir terisolasi. Juga di Jawa Barat terdapat berbagai variasi suku bangsa sebagai akibat historis dan geografis, misalnya kekhususan suku bangsa di daerah Cirebon membentang ke barat di pesisir utara, daerah Priangan Selatan dan Barat, serta daerah Banten, di mana terdapat suku-suku Sunda dan Jawa, daerah-daerah sekitar Jakarta Raya sebagai kota campuran berbagai suku bangsa memberikan pengaruh tersendiri terhadap daerah sekitarnya. Demikian pula daerah sekitar Tangerang mempunyai beberapa kekhususan sebagai hasil perkembangan pengintegrasian kaum tani keturunan Tionghoa dengan kaum tani setempat.

Merembesnya sistem eksploitasi kapitalis ke desa-desa Jawa Barat sampai batas tertentu mengubah pikiran dari “tidak zakelijk” menjadi “agak zakelijk” karena pengaruh peranan uang, meskipun belum sampai membongkar sisa-sisa feodalisme seluruhnya. Merembesnya hubungan kapitalis dan pengaruh gerakan revolusioner di zaman kolonial dan pengaruh Revolusi Agustus 1945 telah membuka kemungkinan bagi tumbuhnya pikiran-pikiran baru, juga tentang emansipasi wanita. Kehendak untuk maju dicerminkan oleh semangat pemuda-pemuda tani untuk belajar, juga pemuda-pemuda dari keluarga tani miskin dan buruh tani. Pada waktu sekarang, kesempatan bersekolah bagi pemuda-pemuda buruh tani dan tani miskin masih sangat terbatas, oleh karena itu mereka sangat berterima kasih pada Partai dan ormas-ormas revolusioner yang mengadakan kursus-kursus PBH, Kursus-Kursus Rakyat, Panti-Panti Pengetahuan Rakyat, dan sebagainya. Pemuda-pemuda yang bersekolah lanjutan, umumnya anak-anak tuan tanah, tani kaya, dan tani sedang, di satu pihak memberikan pengaruh positif terhadap perubahan pikiran di desa, sedangkan di pihak lain, pemuda-pemuda itupun membawa pengaruh kebudayaan neokolonialis ke desa-desa. Mereka ikut menjalin kebudayaan dekaden feodal dan borjuis di desa dengan kebudayaan dekaden borjuis kota. Sikap maju terhadap ilmu dan belajar ditunjukkan oleh desa-desa Jawa Barat yang relatif ekonomis agak baik, di mana kaum tani mendirikan sendiri bangunan-bangunan untuk Sekolah Dasar, karena kaum buruh tani dan tani miskin ingin memajukan anaknya, sesuai dengan kemampuan ekonomisnya. Pengaruh-pengaruh ilmu, meskipun masih belum meluas dan mendalam ke desa, telah membawa kemajuan pikiran di kalangan kaum tani, termasuk semakin berkurangnya kepercayaan terhadap takhayul. Tetapi di pihak lain, kaum tuan tanah dan kaum reaksioner di desa berkepentingan untuk mempertahankan takhayul dalam hubungan dengan kepentingan penghisapannya terhadap kaum tani. Misalnya, dengan cara-cara yang menggelikan, seorang tuan tanah di daerah Kabupaten Bandung telah membayar seorang centeng yang berbadan tegap supaya berpura-pura marah kepada tuan tanah di hadapan kaum tani. Begitu ditampar oleh tuan tanah, centeng itu berpura-pura gemetar dan jatuh pingsan, supaya kaum tani mengira bahwa si tuan tanah itu sakti. Tetapi rahasia ke-”sakti”-an ini segera tertelanjangi ketika dalam suatu aksi, si tuan tanah gemetar seperti kucing kehujanan dan lari tunggang langgang, jatuh tergelincir dari galangan masuk ke dalam lumpur sampah, karena dari satu jurusan diburu oleh kaum buruh tani laki-laki yang kurus-kurus, sedangkan dari jurusan yang sebaliknya dihadang oleh wanita-wanita tani. Makin berkembang gerakan revolusioner di desa, makin banyak takhayul yang terbongkar.

Adat istiadat tata cara selamatan-selamatan juga makin berkurang, baik karena akibat ketidakmampuan ekonomis maupun karena gerakan revolusioner. Peningkatan kemelaratan di desa menyebabkan gelombang urbanisasi, terutama dari daerah-daerah yang periodik mengalami paceklik.

Untuk mempertahankan kedudukannya, supaya tetap terpandang, kaum tuan tanah dan setan-setan desa lainnya telah menggunakan kesenian yang tadinya berasal dari kaum tani sambil mencabulkannya. Kesenian-kesenian Rakyat, misalnya wayang golek yang merupakan sandiwara boneka yang sangat digemari Rakyat, telah mereka cabulkan dengan jalan “membeli suara sinden”, sehingga dengan demikian mendesak kedudukan dalang sebagai orang pertama dan menonjolkan kedudukan sinden yang menggiurkan mereka, sekalipun suaranya tidak seberapa. Mereka juga berbuat merusak ronggeng, tayub, dongbret, dan sebangsanya. Kaum reaksioner, juga berusaha memasukkan kebudayaan neokolonialis ke desa-desa. Untuk itu antara lain kaum reaksioner di Jawa Barat mengorganisasi apa yang dinamakan badan kebudayaan “Puspadaya” yang menyebarkan paham “seni untuk seni”, “seni harus bersih dari politik”, sesuai benar dengan haluan “Manikebu”, yang dalam kenyataannya mempertahankan kebudayaan feodal-neokolonial dan melawan perkembangan kebudayaan revolusioner.

Kebejatan moral seperti perjudian, pencabulan kesenian, kemunafikan, adalah sisa-sisa feodalisme dan akibat pengaruh borjuasi kota yang mengadakan kontak dengan borjuasi dan kaum feodal di desa.

Di samping masih bercokolnya kebejatan moral di desa-desa, sekarang sudah ada dan tumbuh kesadaran baru sebagai hasil Revolusi Agustus 1945 dan makin meluasnya PKI dan BTI serta gerakan revolusioner lainnya di desa. Adanya PKI dan BTI serta ormasrev-ormasrev lainnya di desa, telah memberikan darah segar dalam kehidupan dan sikap kaum tani, sehingga sampai batas-batas tertentu telah memberikan pukulan terhadap adat istiadat feodal, ketakhayulan, buta huruf, kesenian feodal dan cabul, serta lain-lainnya.

Demikian juga perjudian, pelacuran, dan perkelahian-perkelahian antarpetani, sebagai hasil politik adu domba dan pecah belah setan-setan desa, berangsur-angsur melenyap. Bahkan di desa-desa Jawa Barat sekarang timbul moral baru di mana sifat jelek dilukiskan sebagai tuan tanah, kabir, dan imperialis, sebagai setan-setan desa. Kaum tani sudah menyadari bahwa tuan tanah, kabir, dan imperialis, tidak hanya memonopoli tanah-tanah garapan yang terbaik, tetapi juga memonopoli segala macam kejahatan, kemesuman, kecabulan, kebejatan moral, dan kemaksiatan, seperti permaduan, perjudian, pelacuran, adu ayam, pemborosan, mabuk-mabukan, dan sebagainya, yang sama sekali asing bagi buruh tani dan tani miskin. Kalau dulu semua kejahatan dan kemesuman setan-setan desa dapat ditutup dengan satu kali “naik haji”, sekarang hati yang hitam dan tangan yang kotor sudah tidak bisa lagi ditutup-tutupi dengan memperalat agama. Nyanyian-nyanyian patriotik dan revolusioner mulai terdengar dan meluas di desa-desa Jawa Barat, juga di daerah-daerah di mana pernah merajalela “Sarekat Hedjo” dan DI-TII. Sedang kegiatan kesenian di desa sudah banyak yang isinya progresif. Kesemuanya ini membantu meningkatkan kesadaran politik kaum tani.

Bentuk-bentuk kesenian seperti reog, pencak silat, wayang golek, dan wayang kulit dengan isi revolusioner seperti lakon “Astrajingga Juta”, kecapi suling, tari klasik dan modern seperti topeng dan tari tani, sandiwara, bebodoran, dan lain-lain, telah memainkan peranan yang sangat positif.

Di tempat-tempat di mana gerakan revolusioner sudah kuat, kesadaran politik di kalangan kaum tani dan nelayan meningkat. Ini mendorong maju sikap-sikap baru terhadap pendidikan, adat istiadat, takhayul, maupun kesenian. Oleh karena itu, sikap yang lebih sadar dan lebih sistematis memperbaiki pekerjaan agitasi-propaganda, pendidikan pengetahuan umum dan pemberantasan buta huruf dengan pemeliharaan melalui memperbanyak lektur lulusan PBH dalam Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, serta kegiatan sastra dan seni revolusioner, akan memberikan bantuan penting terhadap pengrevolusioneran pikiran penduduk desa.

Memperbanyak kegiatan sastra dan seni revolusioner dengan mengombinasikan dengan pekerjaan di front politik dan ideologi serta dengan aksi-aksi kaum tani dan nelayan, terutama aksi-aksi sepihak melawan tuan tanah dan setan-setan desa lainnya, akan mengubah wajah kebudayaan di desa. Pengalaman Jawa Barat membuktikan bahwa pembentukan sanggar-sanggar di desa adalah mungkin dan telah sangat membantu dalam mendorong maju kegiatan tersebut.

Kelemahan borjuasi nasional Indonesia, yang belum sampai melahirkan borjuasi industri yang memproduksi “seni barang dagangan” secara besar-besaran, seperti misalnya di Jepang, membuat desa-desa pada pokoknya tetap didominasi oleh sisa-sisa kebudayaan lama. Sifat agraris dan keterbelakangan komunikasi di satu pihak menghambat perkembangan, sedangkan di pihak lain ketidakmampuan borjuasi nasional Indonesia menyebabkan juga ketidakmampuan menghancurkan Rakyat di desa-desa. Faktor tradisi kesenian yang kuat di daerah Jawa Barat juga merupakan faktor memungkinkan adanya daya tahan yang kuat di samping tradisi perjuangan antikolonialisme yang sejak awal-awal abad ke-20 sudah bersinggungan dengan desa (Sarekat Islam, Sarekat Rakyat, dan lain-lain).

Pada umumnya situasi di desa sangat memungkinkan gerakan revolusioner tampil untuk memimpin perjuangan kebudayaan dan menjadikannya senjata di tangan kaum tani dan nelayan, baik dalam perjuangan untuk pendemokrasian di bidang politik maupun perjuangan untuk mendapatkan tanah garapan sampai kepada pelaksanaan landreform yang radikal. Kecakapan kaum Komunis mengembangkan tradisi kesenian yang baik dengan semangat revolusioner dewasa ini akan merupakan bantuan besar dalam memperkuat front politik dan front ideologi di desa-desa.

IX

LAWAN KOPERASI PALSU, JADIKAN KOPERASI SENJATA DI TANGAN KAUM TANI DAN NELAYAN

Bahan-bahan mengenai perkembangan koperasi di Jawa Barat yang didapat dari hasil-hasil riset menunjukkan bahwa pada umumnya gerakan koperasi Rakyat pekerja belum cukup berkembang dan bahwa koperasi-koperasi yang sudah ada itu kebanyakan dikuasai oleh kelas-kelas penghisap, seperti tani kaya, tengkulak, dan bahkan oleh tuanh tanah, kapitalis birokrat, dan di daerah nelayan oleh juragan. Koperasi di tangan kelas-kelas penghisap merupakan alat monopoli yang jahat, alat untuk melakukan penghisapan terhadap kaum tani sedang, tani miskin dan buruh tani, serta kaum nelayan pekerja.

Beberapa contoh mengenai koperasi-koperasi di desa yang dikuasai oleh kaum penghisap dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. KOPERASI DESA KEMANG, KECAMATAN BOJONG PICUNG, KABUPATEN CIANJUR

Koperasi desa ini dibentuk dari atas, yaitu dengan instruksi pejabat atasan yang sekaligus mengajukan susunan pengurus yang terdiri dari tani kaya dan tengkulak. Koperasi ini dan susunan pengurusnya seharusnya disahkan dalam rapat anggota koperasi. Tetapi kenyataannya tidak demikian, melainkan disahkan secara formal dalam rapat desa, karena semua penduduk desa secara otomatis dianggap menjadi anggota. Cara demikian ini bertentangan sama sekali dengan prinsip-prinsip koperasi, terutama dengan prinsip keanggotaan sukarela dan demokratis.

Koperasi ini merupakan pembeli tunggal dari tiga jenis hasil bumi, yaitu padi, jagung, dan gula aren, dengan harga yang ditetapkan di bawah harga pasar bebas. Jika ada petani yang menjual hasil bumi itu tidak kepada koperasi, maka kelebihan harga yang diperolehnya harus disetorkan kepada koperasi. Koperasi ini dapat melakukan kontrol atas penjualan hasil bumi dengan membentuk semacam regu pengawas terdiri dari 24 orang, antara lain terdiri dari jawara-jawara jahat, Hansip, dan Bintara Pembina Wilayah. Jika petani kedapatan tidak menjual hasil buminya kepada koperasi, maka ia sering dipukuli oleh pengawas-pengawas tersebut. Tani kaya dan tengkulak yang menguasai koperasi ini mendapat keuntungan besar dalam menjual hasil bumi yang dapat dikumpulkan secara monopoli ke pasaran luar desa, biasanya kepada tengkulak-tengkulak di kota kabupaten. Tetapi koperasi hanya mendapat keuntungan sedikit dan inipun tidak mudah dibuktikan, karena tidak terbukanya koperasi itu untuk diperiksa oleh penduduk sekalipun mereka otomatis dianggap anggota koperasi. Di samping melakukan monopoli pembelian hasil bumi dan penjualannya, koperasi ini juga menjual barang-barang konsumsi kepada penduduk dengan harga-harga yang umumnya lebih mahal daripada pedagang-pedagang pengecer di desa, sedangkan persediaan barang-barang itupun sangat tidak lengkap.

2. KOPERASI PERIKANAN LAUT MISAYA MINA, DESA ERETAN WETAN, KECAMATAN KANDANGHAUR, KABUPATEN INDRAMAYU

Koperasi ini dikuasai oleh para juragan yang merupakan penghisap-penghisap besar kaum nelayan. Semua nelayan yang bekerja pada juragan-juragan dipotong secara otomatis sebagian dari penghasilannya sebagai celengan koperasi, tetapi yang sebenarnya menjadi anggota koperasi hanyalah juragan-juragan saja. Kaum buruh nelayan dihisap secara hebat oleh juragan, dan penghisapan itu dilakukan di bawah bendera koperasi. Misalnya, ada ketentuan bahwa kurang lebih 22 % dari hasil penangkapan ikan disetorkan kepada koperasi dengan nama cicilan hutang kepada juragan, simpanan manasuka, simpanan wajib, dan lain-lain, tetapi dalam praktik dan hakikatnya, pungutan-pungutan tersebut sebagian besar menjadi bagian juragan perahu. Hasil penangkapan ikan setelah dipotong ongkos lelang 5 %, koperasi 22 %, dan 10 % lagi untuk semacam ongkos eksploitasi (beras bekal dan perbaikan jaring atau jala yang seharusnya ditanggung oleh juragan), sisanya ditentukan pembagiannya untuk juragan kira-kira 18 %, juru mudi dan juru arus kira-kira 15 %, dan selebihnya kira-kira 30 % baru untuk 14 orang buruh nelayan dari satu perahu. Maka sesungguhnya bagian juragan bukannya 18 % tapi lebih dari 40 %.

Selain penghisapan melalui kesatuan kerja perahu-perahu dan kesatuan organisasi koperasi, juragan-juragan bersama dengan tengkulak-tengkulak dengan melalui pelelangan, melakukan tekanan harga pada hasil penangkapan ikan dengan secara praktis memonopoli pembeliannya.

Salah seorang pengurus koperasi palsu ini, ialah R. R. juga juragan, tuan tanah, dan tuan garam. Ia memiliki 4 buah perahu yang besar lengkap dengan alat-alat penangkap ikan yang ditaksir berharga Rp. 1.400.000, -, tanah pegaraman seluas 1,5 ha, dan tanah G. G. seluas 5 ha. Di samping itu, ia memiliki tanah lebih di Desa-Desa Bugel, Bongas, Ilir yang disewakan, dan juga memiliki perusahaan dagang ikan dengan kedok koperasi pembelian ikan. Dan lagi, ia masih menjabat juga sebagai seorang pengurus “Koperasi Garam Rakyat”.

3. KOPERASI GARAM RAKYAT, DESA ERETAN WETAN, KECAMATAN KANDANGHAUR, KABUPATEN INDRAMAYU

Koperasi ini dikuasai oleh tuan-tuan pegaraman yang menjadi pengurusnya dan melalui sistem monopoli hasil garam Rakyat menetapkan harga pembelian lebih rendah dari pasar bebas. Koperasi ini juga berusaha memonopoli ikan untuk pengasinan dan melakukan penghisapan terhadap kaum tani pegaraman dengan sistem ijon dan gadai empang pegaraman sehingga akhirnya empang-empang itu menjadi milik mereka, dan terhadap buruh tani pegaraman yang menerima upah yang sangat rendah.

Koperasi palsu lain yang juga cukup dikenal oleh Rakyat tentang praktik-praktiknya yang jahat ialah “Koperasi Pembelian Padi” (KPP) yang terdapat di banyak desa. Koperasi ini dikendalikan oleh kaum kapitalis birokrat.

Adalah tidak mengherankan bahwa Rakyat tidak suka pada koperasi-koperasi palsu itu. Koperasi-koperasi itu merugikan kepentingan Rakyat pekerja dan hanya menguntungkan kaum tuan tanah dan kapitalis birokrat. Koperasi semacam itu lebih patut dinamakan “koperasi feodal-kapitalis-birokrat”. Di daerah Indramayu, perpaduan feodalisme, kapitalisme, dan birokrasi itu, oleh umum dikenal dengan perpaduan tiga huruf pertama dari nama tiga tokoh, yaitu “DDT”, yang sungguh-sungguh merupakan setan dasamuka Indramayu.

Di samping koperasi-koperasi palsu alat monopoli kaum penghisap, Rakyat pekerja di desa Jawa Barat juga telah menciptakan sebagai usaha gotong royong dan koperasi yang sungguh-sungguh mengabdi pada kepentingan Rakyat pekerja. Di antaranya dapat disebut:

1. LUMBUNG-LUMBUNG PACEKLIK DAN ARISAN-ARISAN

Lumbung paceklik dan arisan dapat dikatakan merupakan tunas dari koperasi kredit dan terbukti telah dapat berjalan baik di berbagai desa. Lumbung-lumbung paceklik dan arisan-arisan ini terutama dapat membantu kaum tani dalam melawan lintah darat dan dalam mengatasi kesulitan-kesulitannya pada masa paceklik. Pengalaman-pengalaman yang baik dan pengalaman-pengalaman yang gagal perlu dipelajari dengan baik untuk dapat menemukan bentuk-bentuk kegotongroyongan yang lebih baik dalam bidang perkreditan.

2. USAHA LELIURAN (ARISAN ATAU SIMPAN PINJAM), DESA SUKAMAJU, KECAMATAN CIMANGGIS, KABUPATEN BOGOR

Anggotanya 124 orang, simpanan wajib tiap minggu Rp. 10, -, dibuka tiap bulan dan memberi pinjaman kepada anggota yang memerlukan dari Rp. 500, - sampai Rp. 1.000, - dengan bunga 5 % sebulan. Anggota yang mendapat pinjaman menggunakannya untuk membuat bilik. Usaha leliuran ini menyediakan juga dana bantuan untuk anggota-anggota yang kematian.

3. USAHA GOTONG ROYONG, DESA SUKATANI, KECAMATAN CIMANGGIS, KABUPATEN BOGOR 

Didirikan sejak tahun 1948 beranggota 100 orang, dengan mengumpulkan modal sebesar Rp. 40, - membeli dua ekor sapi. Kekayaan usaha gotong royong ini sekarang sudah menjadi tiga ekor sapi, 7 ekor kambing, 2 ekor kerbau, 2 buah timbangan, 4 buah lampu petromaks, 300 buah piring, satu bangunan Balai Pertemuan. Dengan hasil beras perelek diperoleh 2 ekor kambing. Keuntungan bagi anggota-anggota usaha gotong royong ini ialah dapat menggunakan kerbau dan sapi untuk meluku, berhutang kambing, meminjam alat-alat seperti piring, petromaks, dan menggunakan Balai Pertemuan.

4. KOPERASI-KOPERASI KONSUMSI

Di berbagai desa terdapat koperasi-koperasi konsumsi yang pada mulanya sudah agak berkembang, tapi kemudian mengalami kehancuran sebagai akibat memburuknya keadaan ekonomi dan ketidakjujuran pengurus-pengurusnya.

Beberapa gambaran yang dikemukakan di atas sudah tentu belum mencerminkan secara lengkap keadaan koperasi-koperasi sejati di desa-desa Jawa Barat. Masih ada pula koperasi-koperasi kerajinan tangan, koperasi peternakan, dan lain-lain, yang tidak semua jelek dan bahkan ada yang sungguh-sungguh menjadi alat Rakyat pekerja. Tetapi kesimpulan yang dapat diambil ialah bahwa di Jawa Barat sekarang, koperasi-koperasi pada umumnya merupakan koperasi-koperasi palsu alat monopoli kaum penghisap, bukan koperasi yang berwatak dan untuk kepentingan Rakyat pekerja.

Kaum tani sedang dan tani miskin, kaum nelayan sedang dan nelayan miskin, dan juga kaum buruh tani dan buruh nelayan harus mengangkat tinggi-tinggi panji koperasi sejati guna melawan penghisapan yang makin menghebat dari tukang ijon, lintah darat, tengkulak jahat, tuan tanah jahat, juragan jahat, dan kaki tangan kaum kapitalis birokrat di desa. Di samping itu, kaum tani miskin dan tani sedang serta nelayan miskin dan nelayan sedang juga harus mengibarkan panji koperasi sejati untuk peningkatan hasil pertanian dan hasil penangkapan ikan mereka.

Secara khusus, berhubung dengan hasil perjuangan untuk tanah garapan, juga di Jawa Barat telah bermunculan tani sedang baru yang mendapat tanah dari aksi-aksi menggarap tanah bekas perkebunan, tanah bekas kehutanan, dan sedikit dari pelaksanaan UUPA, di samping tani sedang lama dan tani sedang transmigrasi lokal. Mereka semua memerlukan pengkoperasian, selain untuk mempersatukan mereka dalam melawan penghisapan, juga untuk menghambat perkembangan spontan mereka menjadi kelas penghisap atau kejatuhan kembali dengan lepasnya tanah garapan mereka. Juga dilihat dari segi politik dan ideologi, mereka harus dikoperasikan agar mereka tetap berbaris maju dalam gerakan tani revolusioner.

Praktik koperasi-koperasi palsu dan perbuatan-perbuatan pengurus koperasi yang tidak jujur dan tidak cakap telah banyak mengecewakan massa kaum tani dan nelayan sehingga sampai batas-batas tertentu telah melahirkan sikap acuh tak acuh atau mencemoohkan terhadap koperasi. Maka itu, kaum Komunis dan kaum revolusioner lainnya harus tampil ke depan untuk menyelamatkan nama baik koperasi. Kita harus membangkitkan semua golongan yang cinta koperasi sejati untuk melawan koperasi palsu dan membangun koperasi-koperasi Rakyat pekerja.

Perbuatan-perbuatan jahat dan curang dari kaum penghisap di dalam koperasi-koperasi harus ditelanjangi, mereka harus diusir dan diganti dengan pimpinan yang terdiri dari orang-orang Manipolis sejati, jujur, dan cakap, mewakili kepentingan Rakyat pekerja. Di desa-desa yang belum ada koperasinya, perlu secara kreatif dibentuk jenis-jenis koperasi yang diperlukan.

Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang koperasi yang menghambat pengembangan swadaya massa perlu diperjuangkan untuk diubah.

Usaha-usaha gotong royong yang bersifat saling bantu dan saling menguntungkan di kalangan Rakyat pekerja perlu dikembangkan. Sekalipun usaha-usaha itu tidak mempunyai nama resmi “koperasi”, intisari usaha-usaha itu sepenuhnya sesuai dengan jiwa koperasi. Dalam pada itu harus dilawan usaha-usaha menyalahgunakan tradisi dan semangat gotong royong Rakyat untuk kepentingan kelas penghisap.

Tunas-tunas koperasi kredit seperti lumbung paceklik, lumbung desa, lumbung bibit, arisan-arisan, dan lain sebagainya, mempunyai perspektif baik untuk dikembangkan, sedangkan RSB-RSB (Regu-Regu Saling Bantu) sebagai tunas koperasi produksi pertanian, juga sudah mempunyai beberapa pengalaman baik untuk dikembangkan. Koperasi produksi di kalangan kaum tani, yang anggota-anggotanya terdiri dari tani sedang, tani miskin, dan juga di mana mungkin buruh tani, penting untuk meningkatkan produksi kaum tani. Agar koperasi itu bisa berjalan lancar, diperlukan koperasi-koperasi kredit yang dapat menyediakan modal kerja. Penghimpunan dana untuk koperasi kredit di samping dari Rakyat pekerja, harus juga diusahakan penghimpunan dana dari golongan berpunya yang demokratis.

Dengan pengertian yang jelas, bahwa gerakan koperasi tidak dapat dipisahkan dari gerakan tani revolusioner, dan bahwa pemecahan masalah tani dan nelayan serta tukang kerajinan tangan akhirnya adalah pengkoperasian, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan dengan gerakan pendidikan yang lebih intensif di kalangan kader-kader revolusioner untuk:

a) Menjernihkan dan membulatkan pengertian tentang garis politik PKI mengenai koperasi Rakyat pekerja;

b) Menguasai garis dalam menghadapi koperasi-koperasi yang sudah ada dan yang dikuasai oleh kaum penghisap, dan dalam membangun Koperasi-Koperasi Rakyat Pekerja (KRP-KRP) dalam hubungannya dengan peraturan-peraturan pemerintah;

c) Menguasai pengetahuan teknis koperasi (peraturan koperasi, ekonomi perusahaan, pembukuan, dan sebagainya).

Dengan bekerja berplan, kaum Komunis harus mempersiapkan kader-kader yang ideologis baik, kader-kader revolusioner yang jujur dan cakap untuk menyukseskan perjuangan melawan koperasi-koperasi palsu dan menjadikan koperasi senjata di tangan kaum tani dan nelayan! 

 

LAMPIRAN I: PEMBAGIAN KELAS-KELAS DI DESA ERETAN WETAN, KECAMATAN KANDANGHAUR, KABUPATEN INDRAMAYU

1. Jumlah penduduk:

Jumlah penduduk di Desa Eretan Wetan ada 4.249 jiwa, di antaranya orang dewasa berjumlah 3.000 jiwa yang terdiri dari 1.653 orang wanita dan 1.347 orang pria.

2. Sifat Desa Eretan Wetan:

Karena Desa Eretan Wetan terletak di tepi pantai utara Jawa, maka desa ini adalah desa nelayan dan desa pertanian sekaligus. Di antara penduduknya terdapat tuan tanah yang sekaligus juga tuan nelayan (juragan perahu). Separuh dari penduduk terdiri dari buruh nelayan. Tani miskin sesudah selesai mengerjakan sawahnya, banyak yang juga turun ke laut mencari tambahan penghasilan dari penangkapan ikan sebagai buruh nelayan.

3. Pembagian kelas-kelas di Desa Eretan Wetan:

Tuan tanah ........................................................................................................       3

Tuan nelayan (dua di antaranya juga tuan tanah) ............................................      11

Tani kaya .........................................................................................................      13

Nelayan kaya ....................................................................................................     15

Tani sedang .......................................................................................................     64

Nelayan sedang ................................................................................................      37

Tani miskin ......................................................................................................    300

Nelayan miskin ................................................................................................    250

Buruh tani ........................................................................................................    100

Buruh nelayan .................................................................................................  1.500

Pejabat agama (3 guru agama dan 5 orang kyai yang hidup semata-mata dari murid mereka) ...................................................................................         8

Pedagang (terdiri dari pemilik toko ....................... 14

pemilik warung besar ....................................... 50

pemilik warung kecil ........................................ 40) ..................................    104

Pekerja merdeka atau tukang-tukang (terdiri dari tukang cukur ... 3; tukang jahit ...7; tukang kemasan ... 4) ..................................      14

Pengusaha (tenun, kerajinan tangan bambu dan perikanan) ...........................      11

Buruh (buruh perusahaan ... 21; buruh angkutan ... 15; pegawai perikanan ... 20) .................................      56

Lintah darat ......................................................................................................      12

Pelacur .............................................................................................................      14

Lain-lain (umumnya wanita rumah tangga) ....................................................    488 

Jumlah semuanya ............................................................................................ 3.000

 

LAMPIRAN II: ANGGARAN BELANJA BURUH TANI, TANI MISKIN, TANI SEDANG, DAN TANI KAYA DI DESA TEGALSARI, KECAMATAN WANARAJA, KABUPATEN GARUT

1. Buruh tani A., suami-istri dengan dua orang anak:

Penghasilan dalam musim panen 2 bulan dan musim paceklik 4 bulan Rp. 36.000, - dengan perincian:

upah mencangkul (2 bulan dalam musim panen): 2 x 30 x Rp. 100, -:     Rp. 6.000, -

hasil tebang kayu (4 bulan selama musim paceklik): 4 x 30 x Rp. 200, -:    Rp. 24.000, -

hasil gacong (derep) istri dalam 2 bulan musim panen: 2 x 30 x Rp. 100, -:     Rp. 6.000, -

Pengeluaran selama 6 bulan (satu musim) Rp. 67.050, - dengan perincian:

beras 1 ½ kg sehari @ Rp. 230, -/kg, 6 x 30 x Rp. 345, -:   Rp. 62.100, -

ikan asin dan sambal: 6 x 30 x Rp. 25, -: Rp. 4.500, -

biaya sekolah anak di SDN: 6 x Rp. 75, -: Rp. 450, -

Kekurangan yang diderita dalam satu musim: Rp. 31.050, -

Untuk mengatasi kekurangan ini, maka keluarga buruh tani ini terpaksa mengatur makannya 3 hari sekali atau selang 2 hari sekali makan nasi, lainnya makan jagung atau bahan makanan lain.

 

2. Tani miskin K., suami-istri dengan 2 orang anak:

Penghasilan selama satu musim Rp. 42.500, - dengan perincian:

hasil tanah seluas 40 tumbak: 2 x Rp. 16.000, -:       Rp. 32.000, -

upah mencangkul (2 bulan): 1 ½ x 30 x Rp. 100, -:  Rp. 4.500, -

hasil gacong istri selama 2 bulan: 2 x 30 x Rp. 100, -:      Rp. 6.000, -

Pengeluaran selama satu musim Rp. 92.400, - dengan perincian:

beras 2 kg sehari: 6 x 30 x Rp. 460, -:    Rp. 82.800, -

ikan asin dan sambal: 6 x 30 x Rp. 50, -:  Rp. 9.000, -

biaya sekolah anak di SDN: 6 x Rp. 100, -:  Rp. 600, -

Kekurangan yang diderita dalam satu musim: Rp. 49.900, -

Dengan besarnya kekurangan ini, keluarga tani miskin ini juga tidak bisa makan nasi saban hari, dan terpaksa menggadaikan tanah garapan miliknya sendiri yang umumnya jatuh ke tangan pemegang gadai.

 

3. Tani sedang S., suami-istri dengan 2 orang anak:

Penghasilan selama satu musim Rp. 130.000, - dengan perincian:

hasil tanah seluas 200 tumbak: 8 x Rp. 16.000, -: Rp. 128.000, -

Untung yang didapat dari menanam ikan sawah: Rp. 2.000, -

Pengeluaran selama satu musim Rp. 107.100, - dengan perincian:

beras 2 kg sehari: 6 x 30 x Rp. 460, -: Rp. 82.800, -

ikan asin dan sayuran: 6 x 30 x Rp. 100, -: Rp. 18.000, -

ongkos mengerjakan sawah: 25 x Rp. 180, -: Rp. 4.500, -

biaya sekolah anak: 6 x Rp. 200, -: Rp. 1.200, -

Keperluan lain: 6 x Rp. 100, -: Rp. 600, -

Kelebihan tani sedang dalam satu musim: Rp. 22.900, -

Kelebihan ini digunakan untuk memperbaiki rumah dan memperbaharui pakaian. Tapi tani sedang yang anaknya 4 orang atau lebih, pasti akan kekurangan dan harus meminjam dari tuan tanah atau lintah darat.

 

4. Tani kaya I., suami-istri dengan 4 anak:

Penghasilan dalam satu musim Rp. 541.000, - dengan perincian:

hasil tanah sawah seluas 1 ha: 20 x Rp. 16.000, -:                      Rp. 320.000, -

hasil ikan dari waduk, tiap 3 bulan sekali: 2 x Rp. 13.000, -:                          Rp. 26.000, -

hasil dari kelapa dan pohon jeruk:     Rp. 25.000, -

untung dari menanam ikan sawah:     Rp. 10.000, -

hasil berupa renten uang 1 musim: 10 x Rp. 16.000, -:   Rp. 160.000, -

Pengeluaran selama satu musim: Rp. 213.700, -

beras 3 kg sehari: 6 x 30 x Rp. 690, -: Rp. 124.000, -

sayuran, ikan asin, dan lain-lain: 6 x 30 x Rp. 200, -: Rp. 36.000, -

biaya mengerjakan sawah: 100 x Rp. 180, -:   Rp. 18.000, -

biaya sekolah anak: 6 x Rp. 4.000, -:  Rp. 24.000, -

biaya mengurus waduk dan kelapa:      Rp. 1.000, -

keperluan lain-lain:  Rp. 10.500, -

Kelebihan tani kaya dalam satu musim:   Rp. 327.300, -

Kelebihan ini digunakan untuk mengindahkan gedung dan perabot rumah, dan juga direntenkan kepada tani miskin dan tani sedang.

 

ARTI KATA-KATA

AKAD: lihat jual akad

ANARKI: keadaan ketiadaan ketertiban, tanpa kekuasaan, pemerintahan, atau hukum apapun, kekacauan.

ANGKET (QUESTIONNAIRE): enquete (Bahasa Perancis – baca: angket) ialah penyelenggaraan usaha mendapatkan bahan-bahan atau angka-angka mengenai keadaan persoalan-persoalan tertentu dalam masyarakat dengan mengedarkan daftar pertanyaan-pertanyaan, misalnya angket tentang syarat-syarat kerja buruh, tentang keadaan industri, dan lain-lain.

questionnaire (Bahasa Perancis – baca: kestyioner) ialah formulir berisi daftar pertanyaan-pertanyaan.

ANJANGSANA: pergi meninjau, menjenguk, atau menemui tetangga. Suatu kebiasaan baik di desa yang dikembangkan oleh aktivis-aktivis gerakan tani revolusioner untuk memberikan penjelasan dan pendidikan secara mendalam kepada massa kaum tani atau untuk menggali pikiran dan kehendak serta pendapat dan sikap massa mengenai suatu peristiwa.

ARGUMENTASI: argumen ialah bukti, alasan-alasan untuk membuktikan sesuatu, argumentasi ialah pemberian bukti-bukti, pembuktian, penyajian, dan penguraian alasan-alasan untuk membuktikan sesuatu.

AYAKAN: alat-alat dibikin dari sigaran bambu atau kawat halus, dianyam jarang, berbentuk bulat atau empat persegi, untuk menyaring (mengayak) tepung beras, kopi, dan sebagainya, atau untuk menangkap ikan di saluran-saluran air.

AYEM-TENTREM: “ayem” berarti tenang dan nyaman dalam hati. “Tentrem” berarti tenteram. “Ayem-tentrem” berarti tenang dan tenteram. Ayem-tentrem menggambarkan suasana, di mana perasaan seluruh Rakyat tenang dan tenteram, karena penghidupan mereka baik.

BAWON: padi yang diberikan kepada pengetam padi sebagai upah. Besarnya tidak sama bagi sesuatu daerah dengan daerah lain, tergantung pada imbangan jumlah tenaga kerja dengan luas atau banyaknya pekerjaan. Di sesuatu daerah, pengetam padi mendapat bawon ¼ dari hasil padi ketamannya, di daerah lain lagi 1/5, 1/8, atau kadang-kadang sampai hanya 1/20 dari hasil padi ketamannya.

BATA ATAU TUMBAK: = ru persegi, ubin, atau cengkal persegi, luasnya ± 14 m².

Di Indonesia masih berlaku ukuran luas tanah secara lama, dengan nama bata, tumbak, ru-persegi, ubin, cengkal-persegi.

1 cengkal (ukuran panjang, biasanya menggunakan galah) kurang lebih 3 ¾ m.

1 cengkal-persegi atau 1 bata, 1 tumbak, 1 ubin, 1 ru-persegi, berarti 3 ¾ x 3 ¾ m², atau kurang lebih 14 m².

1 bau sama dengan 500 bata atau 7.000 m² (0,7 ha).

BAYUR: sistem bayur yaitu menyerahkan hak mengerjakan tanah yang dilakukan oleh tani miskin kepada tani sedang atau tani kaya dalam batas waktu tertentu, misalnya 2 atau 3 tahun tanpa memungut sewa, karena tanah itu kalau dikerjakan sendiri oleh tani miskin pemilik tanah akan memakan biaya berat yang tidak terpikul oleh tani miskin. Setelah jangka waktu perjanjian lewat, barulah pemilik tanah berhak memungut sewa.

BENGKOK: atau kelungguhan, sebidang tanah desa yang diserahkan kepada kepala desa dan pamong desa sebagai upah.

Kelungguhan (Belanda: ambtsveld) berarti tanah lungguh, atau tanah untuk kedudukan “Lungguh” yang berarti duduk atau kedudukan.

BOBODORAN: dagelan atau tukang membikin lelucon dalam pertunjukan reyog, doger, wayang orang, ketoprak, ludrug, sulap, dan sebagainya.

BOBOKO: berarti bakul. Aksi boboko adalah aksi kaum tani meminjam padi, beras, atau bahan makanan lain kepada tuan tanah pada musim paceklik.

BONJOR: bungkusan gula mangkok dari tebu, gula kelapa, atau enau, terdiri dari kepingan-kepingan gula berbentuk gepeng-bundar, disusun dan dibungkus dengan daun kelapa atau daun tebu kering dan sebagainya, diikat dengan tali bambu. Satu bonjor gula mangkok, gula kelapa, atau enau biasanya berisi 10 keping gula.

BONGSONG ATAU BONGSANG: keranjang tempat buah-buahan dibikin dari irisan bambu tipis, dianyam jarang.

BORG: barang, tanah atau rumah, yang digunakan untuk tanggungan pinjaman.

BUNGA MAJEMUK: artinya: Bunga (rente) tidak tunggal, melainkan bersusun. Misalnya, pinjaman Rp. 1.000, - setiap bulan berbunga majemuk 10 %. Artinya sesudah 1 bulan harus membayar kembali Rp. 1.100, - atau membayar bunganya saja Rp. 100, -. Jika pinjaman beserta bunga sesudah sebulan tidak dibayar lunas dan bunganya juga tidak dibayar, maka bulan yang kedua, jumlah pinjaman tidak lagi Rp. 1.000, - melainkan menjadi Rp. 1.100, -. Dan bunga untuk bulan kedua diperhitungkan 10 % dari Rp. 1.100, -. Begitulah seterusnya sehingga dengan bunga majemuk itu pada sesuatu waktu, bunganya saja menjadi berlipat ganda dari pokok pinjaman semula.

CAENG: ukuran banyaknya padi. 1 caeng berarti 50 gedeng. (1 caeng = 2 madea; 1 madea = 5 sangga; 1 sangga = 5 gedeng; 1 gedeng = 2 pocong (belah).

CELENGAN: tempat untuk menyimpan uang, dibikin dari tabung bambu atau tanah liat.

CENTENG: mandor tuan tanah yang pada umumnya juga menjadi “tukang pukul” tuan tanah.

CETEK: dangkal.

DEKADEN: kemerosotan, keruntuhan.

DONGBRET: berasal dari kata majemuk “seblendong-jambret”. “Seblendong” berarti segobang atau 2 ¼ sen. “Jambret” berarti menjambret atau meraih secara kasar. “Dongbret” adalah nama kesenian sejenis tayub, yang sesudah dicabulkan oleh tuan-tuan tanah jahat, kapitalis birokrat, dan setan-setan desa lainnya dengan uang “seblendong” atau sedikit uang penari-penari laki-laki dapat begitu saja “menjambret” seniwati.

ELEMENTER: yang bersifat paling asasi, paling pokok (elemen = unsur, anasir).

EMANSIPASI: pembebasan (untuk mencapai persamaan dan lain-lain). Misalnya, gerakan emansipasi wanita, yaitu gerakan kaum wanita untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan lama, mencapai persamaan hak sepenuhnya dengan pria.

EMPIRISIS: empiri – pengalaman; empiris – menurut pengalaman, berdasarkan pengalaman; empirisis – yang hanya mementingkan pengalaman-pengalaman secara sempit, kurang memperhitungkan kesimpulan-kesimpulan teori yang merupakan hasil penyimpulan (generalisasi) pengalaman-pengalaman.

GEDENG: berarti ikat (padi). Segedeng padi berarti seikat padi, beratnya kurang lebih 8 kg.

GEDUNG JENGKI: rumah gedung dengan bentuk jengki, yaitu bagian atas lebih besar dari bagian bawah (lantai), dengan atap emperan muka atau atap bagian depan diangkat ke atas, lebih tinggi dari atap bagian belakang.

HAJAT: perayaan untuk mengawinkan atau mengkhitankan. “Punya hajat” atau “punya kerja”, artinya mengadakan perayaan untuk mengawinkan atau mengkhitankan anak, adik, atau anggota keluarga lainnya.

HANSIP: singkatan dari “Pertahanan Sipil” berdasarkan apa yang dinamakan “doktrin perang wilayah”. Hansip adalah nama pasukan-pasukan bersenjata yang lengkapnya disebut pasukan-pasukan Hansip, terdiri dari pemuda-pemuda tani di desa di bawah pimpinan pejabat-pejabat sipil, misalnya Camat dan Angkatan Kepolisian Kecamatan di tingkat kecamatan, Kepala Desa bagi pasukan Hansip desa. Tugasnya ialah bersama ABRI menjamin keamanan desa. Di berbagai tempat, pasukan-pasukan Hansip digunakan oleh tuan tanah jahat dan setan-setan desa lainnya untuk menakut-nakuti dan menindas kaum tani.

HIDROLOGI: pemeliharaan sumber-sumber air dan pencegahan bahaya banjir melalui penghijauan tanah-tanah gundul.

HIRASAN: pekerjaan cuma-cuma tanpa upah untuk “membantu” kepala desa.

Ngahiras: “membantu” kepala desa tanpa upah, atau sama dengan “rodi

JAWARA: juara atau jagoan, yaitu orang yang “disegani” oleh penduduk desa. Pada umumnya, jawara-jawara terdiri dari elemen-elemen gelandangan yang digunakan oleh tuan tanah jahat menjadi centeng-centeng atau tukang-tukang pukul dan bersekongkol dengan penguasa-penguasa jahat dan bandit-bandit desa lainnya.

JUAL AKAD: menjual dengan janji. Akad, artinya: janji. Menjual akad sebidang tanah, artinya menjual sebidang tanah dengan janji, misalnya: akan ditebus pada sesuatu waktu yang ditentukan. Jika tidak ditebus, tanah itu jatuh ke tangan pembeli, kadang-kadang dengan mendapat sedikit uang tambahan, dan tidak jarang pula si penjual masih mempunyai tunggakan pinjaman, karena sesudah tanahnya dijual akad, tiap-tiap kali menghadapi kesulitan penghidupan, ditutup dengan meminjam uang, beras, atau padi kepada pembeli tanah. Jual akad pada hakikatnya adalah gadai tanah, hasil tanahnya diperhitungkan sebagai bunga.

JUAL SANDAK: jual gadai (tanah). Sandak, dari kata sanda, artinya: gadai.

JURAGAN PERAHU PENCARI IKAN: juragan (majikan) perahu penangkap ikan yang besar yang ikut ambil bagian dalam pekerjaan menangkap ikan ke laut, atau pemilik perahu besar yang ikut bekerja menangkap ikan ke laut, di samping menjalankan penghisapan terhadap buruh nelayan. Kedudukannya serupa dengan tani kaya.

KATEGORI: golongan; konsep; pengertian; paham. Contoh: kategori dalam filsafat: ruang dan waktu, sebab dan akibat, keharusan dan kebetulan, dan lain-lain; kategori-kategori ekonomi: upah, uang, kapital, dan lain-lain.

KEREDAN: bagian kulit leher ternak yang harus diserahkan kepada lebai (lebe, modin), termasuk salah satu beban pologoro (pajak luar biasa). Menurut peraturan adat feodal yang diteruskan oleh kaum kolonialis, jika seorang petani memotong ternak, kecuali wajib menyerahkan “lamusir” kepada kepala desa, bagian kaki dari lutut ke bawah kepada kebayan (ordonans desa) dan kepala untuk anggota-anggota pamong desa lainnya, kaum tani juga harus menyerahkan “keredan” kepada lebai yang memotong ternak itu. Lebarnya keredan ditentukan dengan menampelkan telinga ternak ke leher ternak. Kulit leher pada ujung telinga di-“kered” atau dikerat sekeliling leher. Jarak antara “keredan” (keratan) ini dengan luka sembelihan menetapkan lebar kulit leher yang harus diserahkan kepada lebai. Lebar keredan tidak sama. Tergantung pada panjang telinga ternak dan tempat si lebai meletakkan pisau penyembelihan pada leher ternak. Makin dekat pada tenggorokan, keredannya makin lebar.

KIDUNG: nyanyian Sunda atau Jawa. Biasanya dibaca pada malam hari, pada hari-hari gembira, misalnya sehabis anak lahir dengan selamat atau habis mengawinkan anak. Bait-bait kidung pada umumnya berisi harapan-harapan supaya segenap keluarga selamat sehat walafiat, ataupun dibacakan buku-buku sejarah yang digemari oleh Rakyat.

KLASIFIKASI: pembagian dalam golongan-golongan, kelas-kelas.

KOKOLOT ATAU SESEPUH: ketua (kolot artinya tua). Yaitu: seorang yang dipandang oleh penguasa paling ber-“pengaruh” atau ber-“wibawa” di kampung atau di desa dan pantas dijadikan ketua atau sesepuh penduduk kampung atau desa.

KOLEKTELUN (Belanda: collecteloon): upah yang diterima oleh kepala desa dari sebagian hasil pemungutan pajak di desanya.

      Kolektelun itu sejak zaman penjajahan Belanda besarnya 8 % dari hasil pemungutan pajak.

KORAMIL: Komando Rayon Militer, yaitu suatu badan komando Angkatan Bersenjata yang ditempatkan di kecamatan sesudah “SOB” dihapuskan, sebagai pelaksanaan apa yang dinamakan “doktrin perang wilayah”. Berlaku di daerah Jawa Barat.

KORAN TEMPEL: Koran (surat kabar) yang ditempelkan di papan atau gedeg. Biasanya ditempatkan di depan kantor partai, organisasi massa, Jawatan Penerangan, di pabrik, sekolah, dan di tempat-tempat massa berkumpul lainnya. Koran tempel itu juga terdiri dari berita-berita dan pengumuman-pengumuman setempat yang ditulis tangan. Di daerah-daerah di mana kritik dan otokritik sudah berkembang, koran tempel juga memuat kritik dan otokritik dari dan terhadap tindakan pimpinan atau massa setempat.

KUKUSAN: alat untuk menanak nasi, dibikin dari bambu dianyam berbentuk pasung.

KUWU: Kepala Desa atau Lurah.

LAMUSIR: atau lemungsir, ulur-ulur (Jawa). Yaitu daging punggung yang terletak di kanan-kiri tulang punggung. Lamusir adalah bagian daging yang terbaik. Di banyak daerah, lamusir termasuk beban pologoro. Kaum tani yang memotong ternak, diwajibkan menyerahkan daging lamusir, sepotong kepada kepala desa, sepotong lagi kepada wakil kepala desa atau juru tulis desa.

LEBE, LEBAI, AMIL, MODIN: pejabat agama Islam di desa atau pamong desa yang bertugas mengurus soal-soal keagamaan.

LELIURAN: gotong royong atau tolong menolong saling membantu dalam pekerjaan pertanian, membikin rumah, dan sebagainya. “Leliuran” mengumpulkan uang, berarti: mengumpulkan uang, masing-masing menyerahkan sedikit uang, untuk bersama-sama membeli sesuatu.

LUGU BLOK: “lugu” atau ”lulugu” berarti ketua atau kepala. “Blok” berarti dukuh atau bagian desa kira-kira sama dengan Rukun Kampung (RK). “Lugu blok” berarti ketua atau kepala dukuh atau RK.

MAGANG: bekerja tanpa upah di kantor-kantor pemerintahan dengan harapan agar sewaktu-waktu ada lowongan dapat diangkat sebagai pegawai.

MAYORITAS: jumlah terbanyak, suara terbanyak, bagian terbesar.

MAPARO: atau maro, menyeduai, artinya menyewa tanah dengan menyetorkan separuh (seperdua) dari hasil panen, atau bagi hasil dengan pembagian 1 : 1 di antara tuan tanah dengan penggarap.

MELUKU: membajak tanah. Asal katanya: luku atau bajak.

MERLIMA: mengerjakan tanah tuan tanah dengan bagian hanya seperlima dari hasil panen. Sedang 4/5 hasil panen untuk tuan tanah sebagai sewa tanah atau setoran.

MERTILU: mengerjakan tanah tuan tanah dengan bagian sepertilu (sepertiga) dari hasil panenan. Sedang 2/3 hasil panenan untuk tuan tanah sebagai sewa tanah atau setoran.

MENYIANGI: membersihkan rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman padi, jagung, dan tanaman-tanaman lain (dalam Bahasa Jawa matun).

MONOPOLI: penguasaan tunggal oleh suatu golongan atas sesuatu hal. Misalnya: monopoli tuan tanah atas tanah – penguasaan atau pemilikan semua atau sebagian terbesar tanah oleh tuan tanah.

MUSIM BARAT: musim angin datang dari barat (musim penghujan).

MUTASI: perubahan dari macam yang satu menjadi macam yang lain; pemindahan.

NANDUR: menanam bibit padi sawah.

NGABIHI: wakil lurah (kepala desa).

NGANTEURAN: mengantarkan makanan kepada kepala desa untuk minta izin atau memberi tahu akan mempunyai hajat mengawinkan, mengkhitankan, dan sebagainya.

NGEPAK ATAU NYEBLOK: memborong pekerjaan menggarap sawah supaya mempunyai hak sebagai buruh pengetam padi, atau memborong pekerjaan lain.

NORMAL: biasa, lumrah.

OYEK: bahan makanan dibikin dari singkong yang direndam dan kemudian dihancurkan, dikeringkan, dan dimasak. Pada musim-musim paceklik, oyek merupakan bahan makanan pokok bagi buruh tani dan tani miskin di beberapa daerah.

ORIENTASI: penetapan haluan, penentuan arah kepada sesuatu.

OTOKRASI: kekuasaan satu orang, kekuasaan lalim, kekuasaan raja tanpa dibatasi oleh hukum. Umumnya kekuasaan negara-negara feodal bersifat otokratis.

PANJAR: pembayaran di muka sebagian harga barang yang akan dibeli yang bersifat mengikat. Pembayaran panjar pada umumnya disertai ikatan atau janji. Misalnya: dibayar uang panjar dengan syarat “barangnya harus dijual dengan harga tertentu kepada pemberi panjar”, atau dengan syarat “jika pemberi panjar tidak jadi membeli barang tersebut, uang panjar hilang (tak perlu dibayar kembali) atau uang panjar dikembalikan, dan sebagainya”.

PANCEN: kewajiban membayar sejumlah uang kepada kepala desa berdasarkan luas milik tanah. Pada hakikatnya “pajak” luar biasa.

PAGAR BETIS: pagar dari betis. Artinya dikepung rapat oleh manusia, oleh Rakyat. Dilakukan untuk menghancurkan gerombolan-gerombolan bersenjata DI-TII dengan melakukan pengepungan rapat daerah-daerah gerombolan oleh ABRI bersama Rakyat, khususnya kaum tani.

PARALEL: sejajar.

PIKUL: atau dacin (kurang lebih 62,5 kg). 1 Dacin sama dengan 100 kati.

PEMATANG: galengan (Jawa) untuk membatasi petak-petak sawah, agar tanah dan air dapat diratakan.

PEMBINA: Lengkapnya “Perwira Pembina Wilayah”. Yaitu anggota-anggota ABRI yang ditempatkan di desa-desa di Jawa Barat sebagai kelanjutan dari aparat Koramil.

PERELEK: pungutan beras pada setiap menanak nasi. Dalam gerakan perelek, kaum wanita tani memisahkan sedikit beras yang ditanak, dikumpulkan, untuk membantu kaum tani atau daerah lain yang menderita kekurangan makan, ataupun dijual untuk membayar iuran atau sokongan Kongres organisasi.

PETAK ATAU KOTAK: bidang tanah yang dilingkungi oleh pematang (galengan), luasnya tidak sama. Petak-petak tanah di pegunungan lebih sempit dari petak-petak tanah di tanah datar.

PETISI: surat permohonan, biasanya diajukan oleh banyak orang bersama-sama kepada pemerintah untuk menuntut sesuatu.

POLOGORO: bentuk pajak atau beban luar biasa yang harus dipikul oleh Rakyat di desa untuk keperluan pamong desa. Misalnya jika Rakyat menjual atau membeli ternak, rumah, tanah, dan sebagainya harus membayar sejumlah uang. Jika memotong ternak harus menyerahkan sebagian daging. Jika mempunyai hajat mengawinkan atau mengkhitankan, harus mengantar makanan ke rumah Pak Lurah.

PRIORITAS: pengutamaan, pengistimewaan. Memberikan prioritas kepada sesuatu ialah mengutamakan sesuatu, mendahulukan sesuatu daripada yang lain.

PROMOSI: menaikkan tingkat (kedudukan dalam pemerintahan, tingkat kekaderan, dan lain-lain).

RAKSABUMI ATAU ULU-ULU: pamong desa yang tugasnya mengatur pembagian air untuk pertanian di desa.

RASIALISME: ras – induk bangsa. Kesatuan umat manusia yang mempunyai ciri-ciri jasmani yang sama seperti kulit, rambut, mata, dan sebagainya. Rasialisme ialah paham yang didasarkan pada membeda-bedakan, mengunggulkan sesuatu ras. Rasialisme adalah paham reaksioner karena menutupi perjuangan kelas dengan mengadu domba bangsa dengan bangsa, ras dengan ras.

REMBUK DESA: rapat desa, yaitu rapat penduduk desa di bawah pimpinan kepala desa. Dulu hanya pemilik-pemilik tanah saja yang berhak mengunjungi rapat tersebut. Di desa-desa di mana gerakan revolusioner mulai berkembang, semua keluarga berhak hadir dan di desa-desa di mana gerakan revolusioner sudah kuat, semua penduduk dewasa sudah berhak mengambil bagian dalam rapat-rapat atau rembuk-rembuk desa.

RIBA: rente, bunga pinjaman.

RISET (RESEARCH): penyelidikan, penelitian secara ilmiah.

RODI: bekerja tanpa upah untuk keperluan kepala desa dan pamong desa lainnya.

RONGGENG: penari wanita mengiringi gamelan. Ronggeng sekaligus juga penyanyi.

SABIT: arit.

SINDEN: penyanyi wanita mengiringi gamelan. Kadang-kadang sinden juga berkecakapan sebagai ronggeng.

STANDAR HIDUP: taraf penghidupan.

SULUR JAGUNG: tongkol (banggal, janggel) jagung.

SWADAYA: berdiri di atas kaki sendiri atau hidup dengan kekuatan sendiri.

TANAH PARTIKELIR: tanah dengan hak milik penuh bagi tuan-tuan tanah asing. Di tanah partikelir yang luas, Rakyat penduduk daerah itu sama sekali tidak mempunyai hak atas tanah.

TAYUB: tari dengan gamelan. Dalam tari tayub,menari dan menyanyi seorang seniwati. Di depannya menari 2 orang penari lelaki. Di belakangnya juga menari 2 orang penari lelaki. Seharusnya mereka menari dengan berpapasan dan dilarang singgung-menyinggung. Tuan-tuan tanah jahat dan kapitalis birokrat telah mencabulkan seni tayub, dan penari-penari lelaki berbuat “bebas” melakukan tindakan-tindakan cabul dan menghina seniwati tayub.

TEMPAH: persekot atau panjar.

TIM (TEAM): regu, kelompok, rombongan.

TIPIKAL: yang khas, yang mencirikan sesuatu, sifat-sifat yang mewakili hal tertentu.

TUDUNG: topi dibikin dari bambu.

TUGUR TUNDAN: berjaga-jaga di rumah kepala desa (lurah) untuk meneruskan perintah-perintah kepada Rakyat di desa dan menyampaikan laporan-laporan mendadak kepada camat atau kelurahan lain.

TUMPANG SARI: sistem menanam tanaman bahan makanan, seperti padi kering, jagung, sayur-mayur, dan kacang-kacangan di sela-sela tanaman pokok perkebunan (karet, kopi, coklat, kelapa) atau kehutanan (jati, mahoni, akasia).

URBANISASI: pemindahan penduduk dari desa-desa ke kota-kota akibat paceklik dan ketiadaan kesempatan bekerja.

VARIASI: bentuk bermacam-macam.

WADUK: danau bikinan tempat menyimpan air untuk mengurangi bahaya banjir dan memenuhi kebutuhan air pada musim kemarau (untuk mengurangi bahaya kekeringan bagi penduduk, ternak, dan pertanian).

WOLETA: bahan pakaian dibikin dari rayon (kulit tumbuh-tumbuhan).

ZEBRA: cara kombinasi sekurang-kurangnya dua jenis tanaman, misalnya tebu dengan padi, tanaman bahan makanan dengan tanaman keras kehutanan, dan sebagainya. Beberapa meter ditanami padi membujur sepanjang tanah milik kaum tani, beberapa meter lagi ditanami tebu, begitulah seterusnya, sehingga kombinasi kedua jenis tanaman itu berlorek-lorek laksana bulu kuda zebra. Sistem zebra itu sangat baik digunakan di tanah-tanah miring di pegunungan-pegunungan, diseling-seling antara tanaman bahan makanan kaum tani dengan tanaman belukar untuk pupuk atau tanaman keras. Sistem zebra ini dipadukan dengan sistem sengkedan (terrasering, sabuk-galeng). Sistem zebra di tanah-tanah pegunungan, adalah jalan yang tepat untuk memperbesar produksi kayu-kayuan dan buah-buahan, untuk mencegah kelongsoran tanah (erosi) dan memelihara sumber-sumber air, dan untuk memperbesar produksi bahan makanan Rakyat. Dengan menggunakan sistem zebra, dapat dicegah pengusiran sewenang-wenang terhadap kaum tani yang mengerjakan tanah-tanah bekas kehutanan atau perkebunan dengan dalih “untuk mencegah erosi” dan sebagainya.