Tentang Tan Ling Djie-isme


Sumber: Bintang Merah. Tahun ke-IX, 1954, 2-3, Februari/Maret. Kongres Nasional Ke-V Partai Komunis Indonesia. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1954.

Bintang Merah, Majalah Teori dan Politik Marxisme-Leninisme. Penanggungjawab: Djaetun. Diterbitkan oleh Yayasan "Pembaruan", Jalan Perunggu J. 4 - Galur, Jakarta, dengan surat izin pembagian kertas No. 1176/I/B2/247.


Ada kawan-kawan yang bertanya, apakah Tan Ling Djie-isme itu penyakit yang baru saja di dalam partai? Sedang pertanyaan lain ialah, apakah sebelum ada putusan sidang Pleno Central Comite dalam bulan Oktober tahun 1953 pimpinan dengan sengaja membiarkan Tan Ling Djie-isme berkembang di dalam Partai?

Jawab atas pertanyaan-pertanyaan di atas ialah, bahwa sejak sebelum sidang Pleno Central Comite bulan Oktober 1953, perjuangan terhadap Tan Ling Djie-isme sudah lama dilakukan di dalam Partai kita dalam bermacam-macam bentuk. Perjuangan terhadap Tan Ling Djie-isme adalah perjuangan ideologi yang terpenting di dalam Partai kita di dalam tahun-tahun yang lampau maupun untuk waktu-waktu yang akan datang.

Sidang Pleno Central Comite pada bulan Oktober tahun 1953 mempunyai arti yang istimewa dalam perjuangan terhadap Tan Ling Djie-isme, karena sidang tersebut sudah berhasil mengambil sikap yang resmi terhadap Tan Ling Djie-isme. Peristiwa ini membawa perjuangan terhadap Tan Ling Djie-isme kepada tingkat yang baru, tingkat dimana soal Tan Ling Djie-isme tidak lagi hanya menjadi persoalan di dalam Central Comite, tetapi sudah menjadi persoalan yang terang-terangan diperbincangkan oleh seluruh Partai. Ini akan sangat memudahkan dan seluruh Partai dapat dimobilisasi dalam perjuangan melawan Tan Ling Djie-isme ini. Ini adalah penting bagi perjuangan untuk memperkuat persatuan Partai di lapangan organisasi,politik dan ideologi.

Tan Ling Djie-isme sudah berkuasa di dalam Partai sejak kawan Tan Ling Djie memegang rol penting di dalam Partai kita, sebagai Sekretaris Jenderal Partai Sosialis merangkap sebagai anggota terkemuka daripada Politbiro “PKI ilegal”, kemudian sejak bulan Agustus 1948 sebagai Wakil Sekretaris Jenderal PKI, dan sesudah Kawan Musso meninggal dengan sendirinya menjadi orang pertama di dalam Central Comite Partai. Singkatnya, Tan Ling Djie sudah berkuasa di dalam Partai selama revolusi 1945-1948 dan sampai permulaan 1951. Dengan sendirinya Tan Ling Djie-isme telah sangat memengaruhi perkembangan Partai di lapangan organisasi, politik dan ideologi, dan dengan demikian ia juga memengaruhi jalannya revolusi.

Mungkin ada orang yang akan berkata, bahwa semua kesalahan di lapangan organisasi, politik dan ideologi yang dikritik di dalam Resolusi Konferensi Partai bulan Agustus 1948 (“Jalan Baru Untuk Republik Indonesia”) bukan kesalahan Kawan Tan Ling Djie, tetapi kesalahan kolektif pimpinan Partai ketika itu. Soalnya di sini bukan mau memungkiri bahwa kesalahan ketika itu adalah kesalahan yang dibikin secara kolektif oleh pemimpin Partai. Dan semuanya ini dikemukakan tidak untuk kepentingan perseorangan, tetapi semata-mata untuk kepentingan Partai dan kepentingan kelas keseluruhannya. Satu hal yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun, bahwa kemudian, sesudah revolusi “Jalan Baru” diterima oleh Konferensi Partai bulan Agustus 1948, sesudah Partai mendapat pukulan dalam “Peristiwa Madiun”, sesudah Kawan Musso meninggal, sesudah revolusi mengalami kekalahan yang menyebabkan orang-orang yang tidak teguh menjalankan kapitulasi, dari semua anggota Central Comite yang masih ada, hanya Kawan Tan Ling Djie sendiri yang mati-matian mau kembali kepada keadaan seperti sebelum ada resolusi “Jalan Baru”.

Sesudah revolusi mengalami kekalahan, yang terpenting di dalam Partai, terutama di dalam Central Comite, ialah persoalan pro dan kontra “Jalan Baru”, artinya pro dan kontra prinsip-prinsip organisasi, politik dan ideologi yang dimuat dalam resolusi tersebut. Satu kenyataan di dalam sidang Pleno Central Comite pada permulaan tahun 1951 ialah, bahwa yang pro dan konsekuen membela prinsip-prinsip organisasi, politik dan ideologi “Jalan Baru” ialah sayap Lenin-Stalin di dalam Central Comite, sedangkan yang dalam omongan maupun dalam perbuatan kontra “Jalan Baru” ialah sayap likuidator yang diwakili oleh kawan Tan Ling Djie dengan bantuan pasif beberapa orang sentris, yang kemudian meninggalkan Kawan Tan Ling Djie setelah ternyata sayap likuidator mengalami kekalahan.

Dari sikap Kawan Tan Ling Djie yang mati-matian mau kembali kepada keadaan seperti sebelum ada resolusi “Jalan Baru” itu, dapat kita tarik kesimpulan umum bahwa Tan Ling Djie-isme sebenarnya sudah berkuasa di dalam PKI selama revolusi tahun 1945-1948 dan sampai pada permulaan tahun 1951, dan bahwa “Jalan Baru” pada hakikatnya tidak lain daripada penelanjangan terhadap Tan Ling Djie-isme.

Apakah Tan Ling Djie-isme di lapangan organisasi?

Tan Ling Djie-isme di lapangan organisasi telah menempatkan PKI sebagai buntut Partai Sosialis, buntut Sayap Kiri dan kemudian buntut Front Demokrasi Rakyat. Tan Ling Djie-isme telah mengecilkan peran PKI sebagai pelopor revolusi, telah melenyapkan sifat bebas daripada PKI di lapangan organisasi. Tentang ini Konferensi Partai bulan Agustus 1948 telah mengatakan bahwa:

“PKI sebagai Partai kelas buruh dan pelopor revolusi telah diperkecil. PKI ditempatkan pada tempat yang tidak semestinya, sehingga sebagai partai dan organisasi sama sekali tidak mewujudkan kekuatan yang berarti”.

Selanjutnya tentang ini dikatakan lagi: “Adanya tiga Partai kelas buruh sampai sekarang (PKI legal, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis), yang semuanya dipimpin oleh Partai Komunis ilegal, mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme dan sekarang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta menjalankan aksi bersama berdasarkan program bersama, telah mengakibatkan ruwetnya gerakan buruh seumumnya. Hal ini sangat menghalangi kemajuan dan perkembangan kekuatan organisasi kelas buruh, juga sangat menghalangi meluas dan mendalamnya ideologi Marxisme-Leninisme yang konsekuen. Dengan demikian telah memberi banyak kesempatan kepada musuh kelas buruh untuk menghalangi kemajuan gerakan Komunis dengan jalan mendirikan bermacam-macam Partai Kiri yang palsu dan memakai semboyan-sembayan yang semestinya menjadi semboyan PKI”.

Sikap seperti di atas oleh Konferensi Partai bulan Agustus 1948 dinyatakan sebagai sikap yang anti-Leninis, dan karena sikap anti-Leninis inilah maka di lapangan serikat buruh Komunis telah sangat menghalangi tumbuhnya kesadaran kesadaran politik kaum buruh pada umumnya sebagai tenaga pemimpin revolusi nasional.

Berhubung dengan kesalahan-kesalahan yang mengenai azas di lapangan organisasi seperti tersebut di atas, Konferensi Partai bulan Agustus 1948 memutuskan untuk mengadakan perubahan radikal, yang bertujuan: 1) selekas-lekasnya mengembalikan kedudukan PKI sebagai pelopor kelas buruh; 2) selekas-lekasnya mengembalikan tradisi PKI yang baik pada waktu sebelum dan selama Perang Dunia ke-2; 3) PKI mendapat hegemoni dalam pemimpin revolusi nasional.

Jelaslah sekarang, bahwa konsep yang diajukan oleh Kawan Tan Ling Djie dalam Pleno Central Comite pada permulaan tahun 1951 untuk mempertahankan Partai Sosialis sebagai “partai penampung”, yaitu partai untuk menampung orang-orang yang pro-Komunis tetapi “tidak berani masuk PKI”, adalah konsep anti-“Jalan Baru”, konsep anti-Leninis di lapangan organisasi.

Disamping mengemukakan alasan tentang perlunya Partai Sosialis sebagai “partai penampung”, Kawan Tan Ling Djie dalam sidang Pleno Central Comite pada permulaan tahun 1951 juga mengemukakan bahwa tidak selamanya Partai kelas buruh memakai nama “Partai Komunis”. Sebagai contoh antara lain dikemukakannya, bahwa di Jerman ada Partai kelas buruh yang memakai nama Partai Persatuan Sosialis Jerman dan di negeri-negeri Eropa Timur ada yang memakai nama Partai Pekerja. Dengan mengemukakan ini sebenarnya Kawan Tan Ling Djie sudah memungkiri sendiri “teorinya” tentang “partai penampung”. Dengan mengemukakan ini menjadi terang apa yang sebenarnya dimaksudkannya dengan Partai Sosialis sebagai “partai penampung”, bahwa dalam fikirannya, “partai penampung” itu tidak lain daripada Partai kelas buruh, tetapi yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang pro-Komunis tetapi “tidak berani masuk PKI”. Jadi, partai kelas buruh atau partai Marxis-Leninis yang bukan PKI! Jadi, pemungkiran terhadap PKI sebagai satu-satunya partai kelas buruh!

Tidak seorang pun yang membantah, bahwa di beberapa negeri partai kelas buruh atau partai Marxis-Leninis ada yang tidak memakai nama “Partai Komunis”, tetapi memakai nama Partai Persatuan Sosialis atau Partai Pekerja. Kenyataan ini tidak hanya digunakan oleh Kawan Tan Ling Djie untuk membenarkan “teorinya” tentang Partai Sosialis sebagai “Partai Marxis-Leninis”, tetapi digunakan juga oleh kaum Trotkis untuk membenarkan “teorinya” tentang “Partai Murba” sebagai “Partai Komunis yang asli”. Di siniliah bertemunya Tan Ling Djie-isme di lapangan organisasi dengan Tan Malaka-isme di lapangan organisasi. Kedua-duanya sama-sama memungkiri PKI sebagai satu-satunya partai kelas buruh. Bedanya hanyalah, bahwa penganut-penganut Tan Malaka-isme berada di luar partai dan mengemukakan pendiriannya yang anti-PKI secara terang-terangan, sedangkan Kawan Tan Ling Djie berada di dalam partai dan mengemukakan pendiriannya yang anti-PKI dengan berbelit-belit. Di sinilah lebih berbahanya Tan Ling Djie-isme daripada Tan Malaka-isme, karena musuh Partai yang terang-terangan lebih mudah diketahui oleh massa daripada musuh Partai yang tidak terang-terangan.

Adalah satu kebenaran, bahwa berdasarkan keadaan yang nyata di sesuatu negeri, partai kelas buruh atau partai Marxis-Leninis di negeri itu bisa dan perlu memakai nama yang lain. Tetapi, Kawan Tan Ling Djie maupun pengikut-pengikut trotskis Tan Malaka tidak bisa dan tidak mungkin bisa memberi jawaban yang benar jika ditanya keadaan nyata yang manakah yang mengharuskan partai kelas buruh di Indonesia memakai nama lain kecuali PKI, keadaan nyata yang manakah yang mengharuskan kelas buruh Indonesia menamakan partainya “Sosialis” atau “Murba”? Apakah partai-partai ini sudah begitu berakarnya sehingga akan menimbulkan “pemberontakan” jika partai diberi nama yang bukan Partai Sosialis atau Partai Murba? Kenyataannya adalah tidak demikian, baik Partai Sosialis maupun Partai Murba sama-sama tidak mempunyai tradisi dan sama-sama tidak berakar dan tidak mungkin berakar di kalangan massa. Sebaliknya, sebagaimana juga disebut dalam “Jalan Baru”, PKI adalah partai yang mempunyai tradisi baik dan popular di kalangan massa rakyat Indonesia. PKI adalah nama sewajarnya, nama yang obyektif, cocok dengan tradisi kelas buruh Indonesia dan cocok dengan kebutuhan yang nyata daripada perjuangan kelas buruh dan rakyat Indonesia. Nama lain untuk partai kelas buruh Indonesia adalah subyektif, adalah tidak cocok dengan tradisi kelas buruh Indonesia dan tidak cocok dengan kebutuhan yang nyata daripada perjuangan kelas buruh dan rakyat Indonesia.

Penganut Tan Malaka-isme terang-terangan mengatakan, bahwa nama PKI tidak tepat dipertahankan, bahwa nama PKI “sudah rusak oleh pemberontakan tahun 1926” atau “oleh Peristiwa Madiun”. Dengan ini penganut-penganut Tan Malaka-isme merusak nama baik PKI dan mencegah peluasan pengaruh PKI. Cara Kawan Tan Ling Djie tidak terang-terangan seperti kaum trotskis, tetapi akibatnya sama saja, yaitu sama-sama sangat menghalangi peluasan pengaruh PKI. Kawan Tan Ling Djie ada kalanya menggambarkan, bahwa keanggotaan PKI adalah “tidak sembarangan”, yang menjadi anggota hanya “orang-orang hebat” saja, dan organisasi PKI “bukan organisasi sembarangan”. Tetapi, jangan ditanya apakah Kawan Tan Ling Djie berbuat, mengorganisasi dan mendidik orang-orang supaya menjadi orang-orang yang tidak sembarangan dan menjadi orang-orang yang hebat supaya bisa menjadi anggota PKI. Jangan pula ditanya apakah dia benar-benar menyusun organisasi PKI sehingga benar-benar menjadi organisasi yang tidak sembarangan. Kawan Tan Ling Djie tidak berbuat untuk semuanya ini! Sebaliknya, ia selalu menghalangi pemasukan orang-orang yang baik ke dalam PKI dan menarik orang-orang yang baik ini ke dalam Partai Sosialis. Dengan gambarannya ini dia membikin PKI menjadi angker dan seram, menjadi ditakuti dan dijauhi orang, dan dengan demikian PKI menjadi terisolasi, dan selanjutnya, mereka yang “tidak berani masuk PKI” itu diharapkan dapat ditampung dalam Partai Sosialis. Jelaslah bagaimana perbedaan cara Tan Malaka-sime dengan Tan Ling Djie-isme, tetapi jelas pula di mana persamaannya, yaitu sama-sama mencegah perluasan pengaruh PKI, sama-sama likuidatorisme. Jelaslah bagaimana Kawan Tan Ling Djie berbuat yang sama sekali bertentangan dengan omongannya.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa tidak ada perbedaan hakikat antara Tan Ling Djie-isme dan likuidatorisme yang terdapat dalam Partai Buruh Sosial-Demokratis Rusia. Konferensi ke -5 daripada partai Buruh Sosial-Demokratis Rusia, yang dilangsungkan dalam bulan Desember 1908, atas usul Lenin telah menghukum likuidatorisme, yaitu usaha daripada sebagian kaum intelektual di dalam Partai (kaum mensyewik) “untuk melikuidasi organisasi Partai Buruh Sosialis-Demokratis Rusia yang sudah ada dan untuk bagaimana pun juga menggantinya, walaupun berakibat terang-terangan melepaskan program, taktik dan tradisi partai, dengan suatu perkumpulan yang tak tentu bentuknya, yang bekerja legal” (Sejarah PKSU, bahasa Inggris, FLPH Moskow 1939, halaman 134). Konferensi ke-5 Partai Buruh Sosial-Demokratis Rusia menyerukan kepada semua organisasi Partai untuk berjuang dengan tidak kenal ampun terhadap kaum likuidator.

Kesimpulan: Tan Ling Djie-isme di lapangan organisasi ialah suatu aliran di dalam Partai yang menghendaki adanya “partai kelas buruh” disamping PKI, yang menghendaki adanya “partai kelas buruh” yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang kelas tengah, yaitu apa yang dinamakan orang-orang yang pro-Komunis tetapi “tidak berani masuk PKI”. Singkatnya Tan Ling Djie-isme adalah aliran di dalam Partai yang mengecilkan rol PKI sebagai pelopor revolusi, yang melenyapkan sifat bebas daripada Partai, dan yang pada hakikatnya melikuidasi Partai.

Apakah Tan Ling Djie-isme di lapangan politik?

Di lapangan politik Tan Ling Djie-isme telah menjadi perintang yang besar dalam meningkatkan kesadaran politik massa dan telah membikin politik Partai tidak popular di kalangan massa. Sebagaimana di lapangan organisasi Tan Ling Djie-isme menganggap PKI “terlalu keras” dan oleh karena itu harus diganti dengan Partai Sosialis yang lunak, demikian pula di lapangan politik Tan Ling Djie-isme menganggap program komunis “terlalu keras” dan oleh karena itu harus diganti dengan program sosialis. Hegemoni Partai Sosialis yang didapat dengan melewati Politbiro “PKI ilegal” dan Sayap Kiri (kemudian Front Demokrasi Rakyat), adalah sebab pokok mengapa PKI tidak mempunyai dan tidak melaksanakan programnya sendiri, programnya yang sesungguhnya. Dalam politik PKI menjadi buntut Partai Sosialis, buntut Sayap Kiri dan kemudian buntut Front Demokrasi Rakyat.

Tan Ling Djie-isme di lapangan politik bersumber pada sikap tidak percaya kepada kekuatan massa di satu pihak dan terlalu membesarkan kekuatan reaksi di fihak lain. Akibatnya tidak bisa lain daripada mengurangi program Partai yang sesungguhnya dan hanya menjalankan politik “yang mungkin-mungkin saja” dalam lingkungan undang-undang dan kekuasaan yang sedang berlaku. Tan Ling Djie-isme pada hakikatnya sama dengan “Marxisme legal” di Rusia pada akhir abad ke-19, yaitu “Marxisme” yang dianut oleh golongan intelektual borjuis yang berjubah Marxis. Tan Ling Djie-isme menggunakan panji-panji Marxisme untuk membikin gerakan buruh menjadi tergantung pada dan menyesuaikan diri dengan kepentingan masyarakat borjuis, dengan kepentingan borjuasi. Tan Ling Djie-isme, sebagaimana juga “Marxisme legal”, tidak lain daripada pemakaian “Marxisme” dengan membuang bagian-bagian yang terpenting daripada ajaran-ajaran revolusioner daripada Marx, sehingga, sebagaimana juga “Marxisme legal”, Tan Ling Djie-isme adalah tidak lain daripada liberalisme borjuis. Politik reformis daripada liberalisme borjuis ini jugalah yang menyebabkan Partai Sosialis meneruma persetujuan Linggarjati dan Renville, dan dengan melewati Politbiro “PKI ilegal” serta Sayap Kiri, dan kemudian Front Demokrasi Rakyat, PKI juga telah menerima politik reformis daripada Partai Sosialis.

Sifat legalis daripada Tan Ling Djie-isme di lapangan politik juga nampak dalam kebiasaan Kawan Tan Ling Djie mengupas soal-soal politik yang lebih mengutamakan dan mendahulukan pertimbangan-pertimbangan dan alasan-alasan yang berdasarkan undang-undang dan bukan alasan-alasan serta pertimbangan-pertimbangan politik. Dengan demikian Tan Ling Djie-isme sudah membawa kaum buruh dan rakyat Indonesia tenggelam ke dalam lautan undang-undang borjuis, tidak membawa kelas buruh ke persoalan politik yang sesungguhnya, dan dengan demikian juga tidak membawanya kepada kesengitan realitas perjuangan kelas. Apakah dengan ini berarti bahwa kita pada umumnya menentang digunakannya alasan-alasan hukum untuk menguatkan kebenaran sikap Partai? Tentu saja tidak mungkin kita bersikap demikian. Sebaliknya, kita harus menggunakan secara tepat alasan-alasan hukum yang bisa menguatkan sikap Partai. Yang kita tentang ialah kalau alasan-alasan hukum digunakan sebagai satu-satunya alasan yang pokok, dan karena itu menjauhkan massa dari kenyataan-kenyataan politik dan kesengitan perjuangan kelas. Terlalu banyak dan terlalu sering menggunakan pasal-pasal dari undang-undang untuk membela sikap Partai, dan disamping itu kurang atau tidak mengemukakan alasan-alasan politik yang kuat, tidak bisa lain kecuali turut menanamkan kepercayaan kepada massa, bahwa undang-undang borjuis juga baik untuk proletariat.

Sebagai contoh, ialah keterangan Kawan Tan Ling Djie yang dikeluarkan atas nama Central Comite dan berkepala “Ir. Sukarno sebagai presiden belum sah” (Bintang Merah, 15 September 1950). Keterangan ini hanya terdiri dari beberapa kalimat. Isinya menerangkan bahwa Ir. Sukarno belum sah karena belum disumpah menurut Undang-Undang Dasar pasal 47, dan oleh karena kabinet Natsir ketika itu dilantik oleh presiden yang belum sah ini, maka kabinet Natsir adalah juga tidak sah.

Tidak lama kemudian Presiden Sukarno disumpah menurut Undang-Undang Dasar. Apakah dengan penyumpahan, formalitas yang tidak sulit untuk dipenuhi ini, Kawan Tan Ling Djie mau mengatakan kepada massa bahwa presiden sudah sah menurut Undang-Undang Dasar dan dengan demikan, jika kabinet Natsir dilantik oleh presiden yang sah ini, maka kabinet Natsir juga sah dan rakyat harus taat kepada yang sah ini. Kalau massa mendengarkan keterangan Kawan Tan Ling Djie ketika itu, maka massa akan percaya, bahwa dengan adanya penyumpahan, semuanya adalah sah dan wajib ditaati. Apakah ini yang mau dididikkan kepada massa? Alangkah baiknya didikan ini!

Sebagai contoh lagi, atas nama Central Comite, Kawan Tan Ling Djie mengeluarkan pernyataan dalam bulan Desember 1950 tentang Irian Barat. Dalam pernyataannya ini Kawan Tan Ling Djie mengemukakan “teorinya” tentang “Statenbond antara Republik Demokrasi Irian yang bebas dari persetujuan KMB dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih belum dibebaskan dari persetujuan KMB”. Dari pernyataan ini jelas sekali kepercayaan Kawan Tan Ling Djie kepada kemungkinan-kemungkinan dalam lingkungan undang-undang dan kekuasaan yang ada, bahwa secara damai undang-undang dan kekuasaan yang ada akan “mengizinkan” berdirinya satu Republik Demokrasi Irian yang bebas dari Belanda-Amerika. Tetapi secara undang-undang pula Kawan Tan Ling Djie telah mengembalikan “Republik Demokrasi Irian yang merdeka penuh” menjadi suatu negeri setengah jajahan dengan jalan mengawinkannya dengan Republik Indonesia yang masih terikat oleh persetujuan KMB. Pernyataan Kawan Tan Ling Djie ini telah menyebabkan kemarahan umum kepada Partai, dan jika tidak segera diambil tindakan yang keras untuk membatalkan pernyataan Kawan Tan Ling Djie tentang Irian, maka akan berakibat sangat mengisolasi Partai dari Rakyat Indonesia yang demokratis dan patriotik.

Kesenangan subyektif Kawan Tan Ling Djie kepada undang-undang jugalah yang menyebabkan ia memberi nama “Pasal 33” kepada majalah sentral Partai Sosialis. Akibatnya, majalah ini tidak menjadi majalah yang popular. Perasaan massa cukup tajam untuk mengetahui, bahwa pasal 33 adalah demagogi borjuasi yang ditempelkan di dalam Undang-Undang Dasar.

Satu kenyataan yang sangat menyedihkan ialah, bahwa selama Tan Ling Djie-isme berkuasa di dalam Partai, yaitu selama revolusi 1945-1948 sampai pada permulaan tahun 1951, perhatian dan kegiatan pimpinan sentral daripada Partai secara berlebih-lebihan ditumpahkan pada perjuangan parlementer. Dan yang lebih jauh lagi ialah, bahwa sesudah revolusi mengalami kegagalan, Kawan Tan Ling Djie secara ngotot mempertahankan “teorinya” tentang “membangun Partai dari parlemen”. Keadaan ini telah menimbulkan ilusi pada anggota-anggota Partai dan pada massa, seolah-olah perjuangan parlementer adalah satu-satunya bentuk perjuangan, adalah perjuangan yang terpenting dan mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas. Keadaan ini telah menyebabkan pimpinan sentral daripada Partai tidak menyiapkan Partai untuk mempertahankan diri terhadap tindakan-tindakan dan pengejaran-pengejaran baru yang mungkin datang. Inilah pula sebabnya, kenapa Partai kurang siap menghadapi tindakan-tindakan pemerintah reaksioner Sukiman dalam tahun 1951.

Kesimpulan: Tan Ling Djie-isme di lapangan politik adalah suatu aliran di dalam Partai yang mengecilkan kekuatan massa dan terlalu membesarkan kekuatan reaksi, yang mengurangi program Partai, yang membikin perjuangan kelas buruh menjadi perjuangan undang-undang dan perjuangan parlementer semata-mata, yang membikin kelas buruh jauh dari soal-soal politik, dan semuanya ini berarti membikin PKI tidak mempertahankan kebebasan politiknya sendiri.

Apakah Tan Ling Djie-isme di lapangan ideologi?

Tan Ling Djie-isme di lapangan ideologi bersumber pada subjektivisme. Ini dibuktikan oleh dua penyakit yang besar pengaruhnya pada Partai kita selama revolusi 1945-1948 sampai permulaan tahun 1951, penyakit oportunis kanan dan “kiri”, penyakit kapitulatorisme dan avonturisme. Keduanya ini bersumber pada dua penyelewengan ideologi, yaitu dogmatisme dan empirisisme, yang kedua-duanya subjektif, kedua-duanya sama-sama berat sebelah.

Tan Ling Djie-isme adalah dogmatisme, karena apa yang dibaca dari buku atau apa yang didengar dari luar negeri dengan begitu saja dijiplak di Indonesia, dengan tidak melihat kondisi-kondisi yang ada di Indonesia. Usaha untuk dengan sungguh-sungguh mengetahui keadaan yang nyata di Indonesia tidak diadakan.

Pada satu masa, ketika peperangan melawan agresi kolonial Belanda pertama tahun 1947 sedang menghebat, di dalam Partai kita dan di dalam Sayap Kiri dimana PKI tergabung ada anjuran untuk membikin indusko (industri-koperasi), yaitu koperasi daripada perusahaan kerajinan tangan kecil, berupa perusahaan tempe, perusahaan tahu, perusahaan kecap, dan sebagainya. Anjuran ini sumbernya dari Kawan Tan Ling Djie, dengan tidak didiskusikan terlebih dulu di dalam pimpinan pusat Partai, tidak didiskusikan apakah itu indusko sebenarnya, syarat-syarat apa yang ada di Indonesia untuk melaksanakannya, bagaimana cara pelaksanaannya, dan terutama bagaimana supaya kegiatan-kegiatan yang digunakan untuk membikin koperasi-koperasi industri tidak mengurangi kekuatan berperang rakyat, tetapi sebaliknya menambah kekuatan berperang. Satu pikiran dari satu orang, yang timbulnya mendadak, spontan, karena kebetulan baru habis membaca buku yang menceritakan tentang pentingnya koperasi industri, pikiran yang belum diuji dengan keadaan yang nyata, telah berakibat sangat merugikan revolusi.

Anjuran indusko Kawan Tan Ling Djie telah menyebabkan banyak kader-kader Partai ngomong tentang indusko, tetapi begitu banyak yang ngomong tentang indusko, begitu banyak pula yang tidak mengerti apakah indusko, bagaimana melaksanakannya supaya dengan indusko bisa menguatkan revolusi dan bagaimana hubungannya dengan pekerjaan Partai. Dengan anjuran secara berat sebelah tentang indusko ini, perhatian anggota dan kader-kader Partai dipindahkan dari persoalan-persoalan politik. Persoalan politik tinggal menjadi persoalan beberapa orang pemimpin besar. Dan yang paling menyedihkan lagi ialah, bahwa omong kosong yang banyak tentang indusko ini telah menyimpangkan pikiran kader-kader Partai dari tugas perjuangan bersenjata, tugas melatih diri di lapangan gerilya, tugas belajar memperbaiki senjata yang rusak, tugas membikin senjata sendiri, dan sebagainya. Secara berat sebelah perhatian ditujukan kepada pembikinan kecap, pembikinan tahu, pembikinan tempe, pembikinan jamur, dan sebagainya. Yang lain-lain dianggap tidak penting. Hanya indusko yang paling penting, pembikinan kecap paling penting, pembikinan tahu paling penting, pembikinan tempe paling penting.

Apakah kita menentang adanya kegiatan-kegiatan untuk memperbesar produksi bahan makanan? Sama sekali tidak demikian! Kita cukup mengerti bahwa revolusi tidak mungkin menang jika makanan tentara dan rakyat yang berjuang tidak terjamin. Kita tidak mungkin menang dalam revolusi, jika kita tidak memperhatikan kepentingan langsung daripada rakyat, seperti kebutuhan kaum tani akan tanah, kebutuhan rakyat akan beras, minyak, garam, ikan asin, kayu bakar, dan sebagainya. Yang kita tentang ialah, cara mengambil dan menggunakan pengalaman dari luar negeri yang sepotong-potong dan tidak kritis, tidak menyesuaikannya dengan kebutuhan konkret daripada revolusi kita, tidak melihat hubungan sesuatu dengan hubungan kegiatan revolusi keseluruhannya, terutama tidak melihat hubungannya dengan perjuangan bersenjata rakyat.

Adalah juga pandangan dogmatis Kawan Tan Ling Djie yang menyebabkan ia menggunakan kenyataan-kenyataan di Jerman dan di Eropa Timur, yang menunjukkan bahwa tidak selamanya Partai kelas buruh memakai nama “Partai Komunis”, dalam membela Partai Sosialisnya. Ia mendasarkan kesimpulannya kepada apa yang dilihatnya di luar Indonesia dan tidak kepada analisa keadaan yang nyata di Indonesia.

Tan Ling Djie-isme adalah empirisisme, karena tidak mementingkan pekerjaan di lapangan mempertinggi teori anggota-anggota Partai. Belajar teori dianggap tidak penting, dianggap tidak praktis. Yang penting bukan membaca buku dan mengerti dalil-dalil revolusioner dari Marx, Engels, Lenin, dan Stalin. Yang penting ialah mengetahui berapa harga telur bebek, harga beras, harga kain belacu, agar dengan mengetahui harga semuanya ini kita bisa membantu rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya. Rakyat bukan mau dalil-dalil Marxis-Leninis tapi mau perbaikan nasib, mau tahu, mau jamur, mau kecap, tempe, dan sebagainya. Demikianlah beberapa ucapan yang sering keluar dari mulut Kawan Tan Ling Djie selama revolusi. Kader-kader sering kecewa kalau menanyakan arti daripada tulisan Lenin, misalnya. Mereka sering kecewa karena mendapat jawab bahwa isi buku itu tidak penting. Pertanyaan ini terus diputar oleh Kawan Tan Ling Djie ke arah pembicaraan tentang “soal-soal praktis”. Seolah-olah teori bukan soal praktis bagi kader Partai yang ambil bagian dalam revolusi.

Apakah dengan ini berarti kita menentang praktik dan menentang diperhatikannya kebutuhan-kebutuhan langsung daripada rakyat? Sama sekali tidak demikian, malahan kita menghendaki praktik lebih banyak dan memperhatikan kebutuhan langsung daripada rakyat lebih sungguh-sungguh. Yang kita tentang ialah apa yang berat sebelah, sehingga mengecilkan dan meremehkan teori sebagai pedoman dalam pekerjaan praktis. Pendeknya Kawan Tan Ling Djie tidak menanamkan pentingnya rol teori untuk perjuangan revolusioner, dia mengecilkan rol teori, dia meremehkan rol teori dan tempo-tempo dia mengejek anggota-anggota Partai yang mau belajar teori. Kira-kira pada pertengahan tahun 1950 sebagian anggota Central Comite mengemukakan tentang pentingnya menerbitkan majalah Bintang Merah agar dapat mempertinggi teori Partai dan dapat menghimpun seluruh Partai yang ketika itu tidak merasa adanya pimpinan sentral daripada Partai. Kawan Tan Ling Djie tidak menerima usul ini dan lebih mementingkan majalah yang “bersifat umum”, yang diterbitkan oleh fraksi Partai dalam parlemen, dimana di dalamnya banyak ditulis tentang perundang-undangan.

Tetapi untung, bahwa walaupun masih banyak kekurangan-kekurangannya, majalah “Bintang Merah” toh akhirnya terbit juga dan oleh seluruh Partai dirasakan betapa pentingnya, penting dalam meninggikan tingkat teori anggota Partai dan penting dalam memusatkan seluruh Partai pada satu pimpinan sentral.

Akibat daripada dua ideologi subyektivis, yaitu dogmatisme dan empirisisme, Partai kita terombang-ambing di antara dua penyakit. Subyektivisme telah menyebabkan Partai kita tidak bisa mengambil sikap yang tepat, sikap yang obyektif, yang benar menurut ilmu. Dalam satu hal Partai kita membikin kesalahan-kesalahan menjalankan politik kanan, politik reformis, berjalan di belakang massa yang sudah lebih maju. Tetapi dalam hal lain Partai kita membikin kesalahan “kiri”, menjalankan avonturisme, berjalan jauh di muka massa yang masih terbelakang. Oleh karena itulah, sejarah Partai kita selama Tan Ling Djie-isme berkuasa adalah sejarah kesalahan-kesalahan kanan dan “kiri” sekaligus, sejarah kapitulatorisme dan avonturisme bersama-sama.

Kesimpulan: Tan Ling Djie-isme di lapangan ideologi adalah subyektivisme, adalah aliran dogmatis dan empiris di dalam Partai, yang telah menyebabkan Partai membikin kesalahan-kesalahan kanan dan “kiri” yang sangat merusak pertumbuhan Partai dan pertumbuhan gerakan revolusioner.

*

Ada kawan-kawan yang bertanya: Karena Kawan Tan Ling Djie sudah begitu besar kesalahannya dan Tan Ling Djie-isme sudah menimbulkan kerusakan-kerusakan besar di dalam Partai, mengapa Central Comite dalam sidangnya bulan Oktober tahun 1953 hanya mengeluarkan Kawan Tan Ling Djie dari Central Comite dan tidak dari keanggotaan Partai sama sekali? Satu-satunya alasan kenapa putusan ini yang diambil ialah karena Kawan Tan Ling Djie menerima putusan Central Comite dan berjanji untuk memperbaiki semua kesalahannya. Ini diucapkannya dalam sumpah ketika menerima putusan Central Comite. Putusan Central Comite adalah putusan yang tepat, karena jika seseorang sudah mengakui kesalahannya dan berjanji untuk memperbaiki kesalahannya, maka kesempatan untuk membuktikan janjinya harus diberikan kepadanya. Jika Kawan Tan Ling Djie dikeluarkan sama sekali dari Partai, maka berarti kepadanya tidak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya sebagai anggota Partai.

Demikianlah dengan singkat Tan Ling Djie-isme pada umumnya dan Tan Ling Djie-isme di lapangan organisasi, politik, dan ideologi.

Likuidasi Tan Ling Djie-isme!