Pokok-Pokok Ajaran Tan Malaka (Murbaisme)

Biro Pendidikan Partai Murba (1960)


II. Analisa Masyarakat, Tingkat dan Sifat Revolusi Indonesia

(Massa Aksi: Hal 7, 8, 9, 10, 11, 13-15, 21-24, 33, 38, 41, 42, 44, 45)

Dapat pula dipastikan bahwa Indonesia belum pernah melangkah keluar dari masyarakat feodalisme, dan bahwa ia jauh tercecer dari feodalisme di Eropa. Bangsa Yunani jauh lebih tinggi dari bangsa Indonesia dalam hal pemerintah negeri, politik, ilmu hisab dan kebudayaan daripada kerajaan Majapahit bila kerajaan ini dianggap sebagai tingkatan setinggi-tingginya. Ya, rakyat Majapahit sebenarnya tak pernah mengenal cita-cita pemerintahan negeri. Berabad-abad pemerintah itu tidak dengan, untuk dan kepunyaan rakyat. Perkataan “bagi Tuankulah ya, Junjunganku, kemerdekaan, kepunyaan dan nyawa patik”, pernah dan berulang-ulang diucapkan rakyat Indonesia terhadap raja-rajanya! Di sana tak ada Orachus, magna Charta dan tak ada pengetahuan yang diselidiki dengan betul-betul seperti yang dipergunakan Aristoteles, Pytagoras, Photomeus dll. Pengetahuan mendirikan gedung-gedung dan ilmu obat-obatan kita masih dalam tingkatan percobaan. Keanehan Borobudur kita tak seaneh segitiga Phytagoras, sebab yang pertama berarti jalan mati, sedang yang kedua menuntun manusia menuju pelbagai macam pengetahuan. Di mana-manapun tak ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak kecerdasan pikiran!

Biarlah, tak usah kita ceritakan ilmu kebatinan Timur! Hal ini ada di luar batas pikiran: tambahan lagi bangsa Barat di jaman kegelapan (abad pertengahan) pun sudah mengenal itu. Kemudian dari itu tidaklah bersandarkan kepada kebenaran sedikit jua, bahwa masyarakat kita senantiasa beroleh dari luar dan tak mempunyai cita-cita sendiri. Agama Hindu, Budha dan Islam adalah barang-barang yang dimporkan, bukan keluaran negeri sendiri.

Selain dari itu cita-cita ini tak begitu subur tumbuhnya seperti kekristenan di Eropa Barat. Mesin yang menggerakkan (dinamo) sekalian pemasukan agama Hindu, Budha dan Islam sampai pada masa kedatangan kapitalisme Belanda serta dengan sekalian perang saudara di waktu itu adalah bertempat di luar negeri. Indonesia, adalah wayangnya senantiasa, dan luar negeri dalangnya (yang memainkan wayang kulitnya).

Bangsa Indonesia yang Asli

Di jaman dahulu, tatkala bangsa Indonesia didesak oleh bangsa Tinghoa dan hindu keluar negerinya, Hindia-Belakang, dan melarikan diri ke Nusantara Indonesia, mereka telah mempunyai peradaban yang tertentu. Pak tani di jaman itu menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas dan ditakuti orang. Dengan vintas (semacam perahu) kecilnya mengedari seluruh kepulauan antara dua lautan yang besar, antara Amerika dam Afrika. Penduduk asli dari India dan oceania ditaklukannya. Rimba raja hingga puncak gunung dijadikan huma. Rumah-rumah yang bagus didirikannya, permainan dan pengetahuan dimajukannya. Tatkala bangsa Barat dan Timur menyembah kepada pedang Jengis Khan  dan Timurleng serta lari ketakutan, waktu itu mereka bukan saja menentang, tetapi dapat pula mengundurkan laskar Mongolia. Bajak laut bernama Pakodato dari kerajaan Singha Phore di Semenanjung Tanah Melayu pada tahun 500 dapat menggeletarkan kerajaan Tiongkok dan Hindustan dengan angkatan armada serta pedangnya.

Pengaruh Hindu

Agaknya hawa tropika di lingkungan katulistiwa, yang terutama menyebabkan teknik kita tak maju. Hawa yang subur dan melemahkan itu serta ksedikitan penduduk menjadikan kaum tani yang senang hidupnya itu tinggal diam dan menerima, sedang kepulauan yang sangat banyak itu menarik hati penduduk di pantai-pantai, kepada perantauan dan pengalaman. Menurut riwayat dapat diketahui, sesudah dibawa pengaruh Hindu, kebudayaan mereka bertambah naik dan mereka mulai berkenalan dengan perampas. Kejadian ini sesudah bangsa kita bercampur darah dengan penjajah-penjajah bangsa Hindu. Kini terbayanglah dalam otak kita kejadian-kejadian yang dapat digambarkan oleh kekejaman-kekejaman itu, yang membangkitkan tenaga terpendam jadi dinamis. Bukan oleh percaturan hidup kita sendiri (melawan atau antara kelas-kelas) maka penguraian kita perihal teknik kebudayaan feodalistis seperti tersebut di atas, tetapi disebabkan pengaruh yang datang dari luar.

Bangsa yang lebih pintar itu mengajarkan pemerintahan negeri , teknik dan kebudayaan yang lebih sempurna. Penduduk pulau Jawa yang suka damai itu belum mempunyai pertentangan kelas dalam arti yang seluas-seluasnya, tidak memberi kesempatan kepada pengikut-pengikut agaama Hindu untuk mempertaruhkan pertentangan kepercayaan mereka, yakni Hiduisme yang aristokratis dan Budhisme yang lebih demokratis. Ketajaman pertentangan agama oleh masyarakat Jawa yang tidak mengenal kelas itu dapat ditariknya. Banyak sedikitnya semua filsafat Hindu diterima oleh penduduk pulau Jawa yang asli. Siwa, Wisnu dan dewa-dewa agama Budha yang dalam negeri asalnya satu dan lainnya bermusuhan serta berpisah-pisah hidup bersama di pulau Jawa dengan damainya.

Penduduk Jawa sekarang adalah “kristalisasi” dari bermacam-macam agama ketuhanan dan agama dewa-dewa (Animisme). Ia bukan seorang animis, bukan seorang Hindu, bukan seorang Budha, bukan seorang kristen dan bukan seorang Islam yang sejati.

Tetapi Indonesia menurut alam, dan Hindu-Arab dalam pikirannya. Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa Tionghoa makai lama bertambah besar.

Telah pada tempatnya bangsa Tionghoa itu seboleh-bolehnya mempergunakan bangsawan Jawa sebagai perkakas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Bila maksud ini tak berhasil dengan pengaruhnya itu, adakalanya dengan jalan revolusi mereka mencoba-coba merebut pemerintahan negeri. Tetapi supaya mereka dapat tetap memperoleh kemenangan mestilah mereka lebih kuat atau mendirikan satu kelas. Mereka haruslah menjadi anak negeri atau bercampur darah dengan bumiputera. Barulah mereka dapat menaklukkan raja dengan perantaraan kaum tani yang tidak senang itu. Karena bangsa tionghoa dalam hal sosial tetap tinggal dalam ketionghoaannya dan tak memperoleh pertolongan militer dari tanah air mereka, maka tak lamalah mereka sanggup mempertahankan kemenangan atas raja-raja Jawa itu.

Sudah tentu, penduduk bandar-bandar yang makin lama makin maju itu merasa beroleh rintangan dari kaum bangsawan di ibukota. Sebagaimana terjadi di negeri Eropah, penduduk bandar meminta hak politik dan ekonomi lebih banyak. Dari pertentangan antara pesisir dengan darat, perdagangan dengan pertanian, penduduk dengan pemerintahan timbullah satu revolusi yang membawa pulau Jawa ke puncak ekonomi dan pemerintahan.

Bila bandarnya mempunyai industri dan perdagangan nasional yang kuat, niscaya Jawa akan mengalami satu revolusi sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin oleh tenaga-tenaga nasional seperti terjadi di Eropa Barat, jadi revolusi borjuis terhadap feodalis.

Tetapi Jawa sesungguhnya dikungkung oleh ramalan Empu Sedah: “orang asing akan memimpin”.

Seorang keturunan Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun 1419 dengan membawa agama yang belum dikenal orang di pulau Jawa datang di Gresik yang ketika itu penduduknya banyak orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi boleh dikatakan kedatangannya ketika itu dengan membawa agama Islam bumiputera bagaikan beroleh “durian runtuh”, karena ketika itu sedang berapi-api pertentangan penduduk pesisir dengan ibukota.

Keadaan bertambah kusut, dan pada akhirnya sampai ke puncaknya, penyerangan terhadap raja-raja yang dipimpin oleh seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah, sehingga perbuatannya (Raden Patah) menghancurkan kerajaan yang ada. Hal itu menunjukkan lagi bahwa, seorang asing dengan membawa faham baru (agama Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan saudagar-saudagar asing di pesisir itu,berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan setengah Hindu. Kerajaan Demak berdiri dengan kemasyhurannya! Tetapi akhirnya terpecah-belah oleh perang saudara yang dinyala-nyalakan orang asing yang cerdik jahat.

Jipang bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram. Semua perang saudara ini, besar atau kecil, untuk kepentingan bangsa asing, dalam waktu singkat berakhir dengan kemenangan seorang Tionaghoa-Jawa bernama Mas Garendi.

Dengan datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai kemerdekaan. Pengaruh bangsa asing dan percampuran darah dengan bangsa Asia lain-lain, menyebabkan gencetan yang sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik “ditelan” bangsa itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan seperti yang belum pernah dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban) serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!

Jika sekiranya pulau Jawa mempunyai borjuasi yang revolusioner dan Diponegoro dalam perjuangan melawan Mataram dan Kumpeni pastila ia akan berdiri di sisi borjuasi itu, niscaya dapatlah menciptakan satu perbuatan yang mulia dan tertentu. Tetapi itu tak ada, borjuasi yang berbau keislaman dalam lapangan ekonomi dihancurkan oleh kapital Belanda samasekali. Dalam kekecewaan yang hebat itu terhadap Mataram dan Kumpeni dapatlah ia mempersatukan diri di bawah pimpinan Kyai Mojo seorang ahli agama Islam yang fanatik dan bersemboyan “perang sabilillah”, bukan kebangsaan.

Membentang satu kesimpulan terhadap pemberontakan Diponegoro bukanlah satu pekerjaan yang sangat mudah. Karena ini sesungguhnya satu perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa menentang kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam (Mataram).

Akibatnya sungguh terang. Tak ada seorang manusia kuasa yang bagaimana pintar sekalipun dapat menolong satu kelas yang lemah, baik teknik maupun ekonomi melawan satu kelas yang makin  lama makin kuat.

Satu kelas baru mesti didirikan di Indonesia buat melawan imperialisme Barat yang modern.

Apakah kesimpulan dari riwayat-riwayat tersebut di atas? Pertama, bahwa riwayat kita ialah riwayat Hindu atau setengah Hindu, kedua bahwa perasaan sebagai kemegahan nasional jauh dari tempatnya, dan yang penghabisan, bahwa setiap pikiran yang menyangkakan pembangunan (renaissance) samalah artinya dengan menggali aritokratisme dan penjajahan bangsa Hindu dan setengah Hindu yang sudah terkubur itu.

Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu dan sekarang masih tetap merupakan budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok bangsa asing. Kebangsaan Indonesia yang sejati tidak ada selain dari dengan maksud melepaskan bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka itu.

Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain dari perbudakan.

Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai, setelah mereka terlepas dari tindasan imperialis.

Beberapa Macam Imperialisme

I) Beberapa cara pemerasan dan gencetan

“Tuhan mengadakan dunia menurut gambarnya sendiri.”

Orang-orang yang menjajah 300 tahun di Asia adalah memenuhi sifat kebutuhan mereka masing-masing dan memerintah negeri taklukannya dengan berbagai cara itu (ekonomis) yang dari dulu sampai sekarang bolehlah dibagi:

1. Perampokan terang-terangan dahulu di Asia dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.

2. Monopoli, yang dalam prakteknya sama dengan perampokan masih terus sampai sekarang dilakukan oleh belanda di Indonesia.

3. Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India.

4. Persaingan merdeka, mulai dilakukan di Filipina (cara-cara imperialis lain hampir boleh disamakan dengan yang di atas ini).

Apabila kita ikuti cara-cara penggencetannya dalam politik seperti di bawah ini:

1. Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputera dan menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang (Spanyol di Filipina).

2. Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut di fasal a) – seperti Belanda.

3. Imperialisme setengah liberal, yakni membrikan kekuasaan yang sangat terbatas kepada bumipetera yang  berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang turun-temurun seperti Inggris di India).

4. Imperialisme liberal, yakni memberikan sepenuh-penuhnya kemerdekaan kepada tuan tanah yang besar-besar serta kepada borjuasi bumiputera yang mulai naik seperti Amerika di Filipina.

II) Sebab-Sebab Perbedaan

Perbedaan dalam cara pemerasan dan penggencetan terhadap si terjajah disebabkan bukan karena perbedaan tabiat manusia di antara negri-negeri imperialis yang tersebut. Tetapi karena kedudukan kapital dari negeri masing-masing – waktu mereka sampai di Asia, pun juga cara menjalankan kapitalnya.

Waktu Spanyol dan Portugis kira-kira tahun 1500 datang di Asia mereka belum terlepas dari feodalisme. Portugis dan Spanyol adalah negeri pertanian, pekerjaan tangan, kaum bangsawan dan kaum agama (jadi belum ada industri).

Barang-barang industri yang dapat dijual di pasar-pasar tanah jajahan belum ada. Mereka datang berkoloni-koloni akan merampok hasil-hasil di sana untuk dijual di pasar Eropa dengan harga tinggi. Karena mereka sangat keras memeluk agama katolik yang baru saja mengusir islam dari Spanyol, itulah sebabnya maka bangsa Indonesia yang memeluk agama animis di Filipina itu dipaksa menjadi orang kristen. Siapa yang tidak suka mengikut dipancung dengan pedang.

Waktu Belanda mengikuti Spanyol dan Portugis sampai ke Indonesia kira-kira tahun 1600, sebagian besar dari feodalisme Belanda telah didesak oleh borjuasinya. Mereka telah melepaskan diri dari tindakan feodalisme dan katolikisme dan mengambil jalan menuju perdagangan merdeka, liberalisme dan protestanisme. Negeri Belanda ada di dalam jaman kapitalisme muda.

Inggris sebenarnya pada tahun 1750 dapat berdidri tetap di India dan telah 100 tahun lamanya menyelami revolusi borjuasi  di bawah pimpinan Cromwell.

Setelah itu kapitalisme Inggris semakin maju dengan sangat cepatnya, disertai dengan paham-paham perdagangan mereka, liberalisme, konstitusionalisme, dan kepercayaan merdeka.

Amerika sampai di Filipina pada tahun 1898 setelah mengalami dua revolusi borjuasi (1775 dan 1860). Ia kokoh memegang paham Monru, demokrasi dan terhadap Asia, politik pintu terbuka.

III) Akibat dari Berbagai Macam Cara Itu

Sebagai buah dari cara perampokan itu, maka Portugis dan Spanyol akhirnya dihalau dari jajahannya.

(Siapakah yang akan dihalaukan sekarang?) Sekalipun semangat revolusioner di Indonesia sudah matang dan menyala-nyala sedangkan persediaan belum cukup, maka imperialisme Belanda masih berdiri.

Dengan jalan memberikan konsesi yang besar-besar, kalau terpaksa serta politik kompromis kepada segolongan orang India, maka imperialisme Inggris masih berdiri di sana.

Dengan bertopengkan pengasuh, penolong dan mengasihi manusia serta memberikan otonomi-ekonomi, politik ekonomi yang besar-besar kepada bumiputera di Filipina maka Imperialisme Amerika masih dapat menahan kegegeran di sana.

IV) Kapitalisme Indonesia

 Kapitalisme Indonesia adalah satu cangkokan dari Eropa yang di dalam beberapa hal tidak sama dengan kapitalisme yang tumbuh dan dibesarkan dalam negerinya sendiri, yakni Eropa dan amerika Utara.

a. Kapitalisme yang masih muda.

Hal ini berakibat, produksi dan pemusatannya belumlah meencapai tingkatan yang semestinya.

Industri Indonesia terutama industri pertanian yang masih tetap terbatas di Jawa dan beberapa tempat di Sumatera.

b. Tumbuh tidak dengan semestinya.

Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputera yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputera.

Di Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak teratur sebagai mana mestinya, tidak seperti di atas halnya (di Eropa). Kota-kota kita kita tidak bisa dianggap sebagai konsentrasi dari teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan barang-barang baik untuk desa maupun untuk perdagangan luar negeri, dari kaptalis-kapitalis bumiputera. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumahtangga, bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia, tetapi didatangkan dari luar negeri oleh badan-badan perdagangan imperialistis. Desa-desa kita tak menghasilkan untuk kota-kota karena untuk mereka sendiripun tak mencukupi. Beras misalnya, makanan rakyat yang terutama mesti didatangkan dari luar, di tahun 1921 seharga f. 114.160.000, meskipun bangsa kita umumnya sangat pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat untuk menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula mengeluarkan berasnya yang berlebih. Desa-desa kita mengeluarkan gula, karet, teh, dll. barang dagangan yang mengayakan saudagar asing, tetapi memiskinkan dan memelaratkan kaum tani, kota-kota kita bukanlah jadi pusat ekonomi bangsa Indonesia tetapi terus-terusan ekonomi yang mengalirkan keuntungan untuk setan-setan Uang luar negeri.

Sudah kita lihat bahwa politik perampok bangsa Belanda, memusnahkan sekalian benih-benih industri bumiputera yang modern. Hongi, cultur stelsel, monopoli stelsel dan gencetan pajak yang tak ada ampunnya. Dan pemasukan saudagar Tionghoa yang teratur di jaman Kompeni Timur Jauh (VOC) menghancurluluhkan sekalian alat-alat sosial, ekonomi dan teknik nasional yang kuat.

c. Kapital indonesia itu internasional.

Keadilan Sosial

Kecurangan tukang warung Belanda yang sudah 300 tahun di dalam dunia imperialis dinamai kolonisator, menciptakan pertentangan sosial dan kebangsaan yang satu-satunya di seluruh Asia. Di satu pihak kelihatan kapital yang yang beranak-anak dalam pertanian, yang sangat modern, dengan produksi yang sangat tinggi dan perhubungan internasional, yang bersatu dalam beberapa sindkat dan trust yang memberi untung yang berlipat ganda. Di lain pihak tampak kaum tani, pedagang-pedagang kecil dijadikan buruh serta mereka ditumpuk-tumpukkan sebagai buruh indudtri  di dalam kota-kota dan buruh tani ke kebun-kebun. Semua hal ini melahirkan kesengsaraan, perbudakan dan kegelisahan.

Keadaan Politik

Tolehan ke belakang.

“Politik” di Indonesia belum pernah jadi  a common good kepunyaan umum rakyat. Faham Kenegaraan tak melewati segerombolan kecil penjajah Hindu atau setengah Hindu.

Sebagai dalam kebanyakan negeri feodalistis di Indonesia pemerintahan negeri dipegang oleh seorang raja dan komplotannya. Seorang raja sesudah berhasil menjalankan rol “jagoan”, terus mengangkat dirinya jadi raja yang bertuan. Anaknya yang bodohnya lebih dari seokor kerbau atau seorang tukang pelesir , di belakang hari menggantikan ayahnya sebagai yang dipertuan dalam negeri. Peraturan turun-temurun ini “lenyap” apabila seorang “jagoan” baru datang menjatuhkan yang lama, dan mengangkat dirinya pula jadi raja.

Konstitusi tidak ada yang menentukan penebalan atau pemakzulan seorang raja dengan menteri-menterinya, serta menetapkan dengan saksama kekuasaan dan lapangan pengaruhnya semuanya bersandarkan kekerasan dan kemauan raja, kepercayaan dan perhambaan masa. Pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, oleh sebab rakyat sebagai yang dikatakan Lincoln tak pernah di Indonesia.

Kadang-kadang ada seorang rajalela yang “agak adil” di panggung politik, tetapi ini suatu kekecualian, dan luar biasa. Tidak ada yang dapat dilakukan rakyat jika yang begitu terjadi selain daripada berontak . Indonesia hanya mengenai pemerintahan beberapa orang dan tak mengenal hukum-hukum yang tertulis.

Indonesia belum pernah mengenal “demokrasi”. Dan karena borjuasi bumiputera yang kuat tak ada buat sementara waktu indonesia tidak akan berkenalan dengan demokrasi itu. Semua daya upaya untuk memperolehnya tidak akan berhasil, dan boleh dikata semua cita-cita seperti itu – diktatur – demokrasi borjuis – tidak mungkin; hanya kelas buruh Indonesia saja yang dapat memegang diktatur (bila ia tetap insyaf dan bekerja). Ia  menguasai kehidupan ekonomi.

Dan di waktu sekarang salah satu kelas yang mempunyai organisasi yang terkuat di Indonesia. Kita tak usah menyesal jika kita langkahi jaman “demokrasi tipuan” itu.

Kekokohan politik dari Republik Indonesia dapat dipertahankan oleh diktatur buruh yang kekuasaan semangatnya terkandung dalam satu partai revolusioner yang “kuat”. Lama-kelamaan kekuasaan politik dapat diperluas kepada tiap-tiap buruh Indonesia. Jika kita tak mau diperdayakan dengan nama-nama yang bagus dan janji  yang manis-manis oleh pemerintah ini, dapatlah kita menyimpulkan semua politik kolonial Belenda tersebut:

1. Bangsa Indonesia yang 55.000.000 itu tak memiliki hak suara tentang politik (tahun 1926).

2. Kapital besar memerintah dengan perantaraan kaum birokrat yang tak berjantung dan militaris yang picik.

3. Dewan rakyat itu “seekor lintah” yang melekat di punggung rakyat Indonesia.

Sifat Revolusi Indonesia yang Bakal Timbul

Pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia merupakan syarat terutama untuk mendapat perkakas revolusi, dan itu pulalah yang menjadi syarat pertama yang mendatangkan kemenangan revolusi kita.

Jika pengupasan itu tidak sempurna atau kita keliru dengan ramalan dan kesimpulan kita, kemenangan itu tidak akan pasti atau untuk sebentar saja. Tetapi dengan Marx dan Lenin sebagai penunjuk jalan dapatlah kita tentukan sdikit garis-garis besar dari revolusi Indonesia (melihat tingkat kecerdasan kapitalisme pada waktu itu).

Tentulah akan berbeda dengan ‘Pemberontakan Maroko”. Banar sekali, sebab Indonesia dengan tenaga produksinya yang lebih tinggi (industri), pertanian, pengangkutan dan keuangan yang besar (kuat) dari pada negeri tani kecil dan gembala domba sebagai Maroko. Juga Indonesia, terutama Jawa, tidak berpegunungan yang tak dapat didiami dan gurun pasir luas-luas di mana kaum revolusioner menyembunyikan diri bertahun-tahun dan setiap masa dapat meneruskan perang gerilya.

Dan lagi ia tak akan berupa revolusi proletar sejati seperti di Jerman, Inggris dan Amerika (yang penduduknya sebagian besar terdiri dari kaum buruh), karena kapitalIndonesia masih terlalu muda, belum subur dan masih daif. Karena itu kaum buruh kita kalau dibandingkan dengan kaum buruh di negeri Barat jauh ketinggalan baik kuantitet maupun kualitetnya. Tambahan pula keadaan kaum yang bukan buruh yang juga akan turut mengadakan revolusi masih ada di jaman borjuasi dan revolusi nasional.

Juga tidak akan menyamai revolusi borjuasi seperti di Perancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih terlampau lemah dan feodalisme sebagain besar sudah dimusnahkan oleh imperialisme Belanda. Juga ia tidak akan menyamai revolusi Perancis tahun 1870, karena kita agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas tambahan lagi, nisbah sosial sangat berlainan.

Akan berlainan pula dengan revolusi Rusia dengan feodalisme yang boleh dikatakan lemah dan borjuisnya muda, yang oleh perang bertahun-tahun menjadi sangat mundur , sedangkan kaum buruhnya muda, gembira dan dididik menurut aturan Lenin.  Kita harus berjuang melawan imperialisme Barat, meskipun kecil tapi tak boleh diabaikan sebab ia mempunyai tipu kelicikan dan suka pula menjadi “pelayan” imperialis Inggris yang besar itu.

Ia akhirnya tidak akan menjadi revolusi politik semata-mata yang biasa akan terjadi di India, Mesir dan Filipina yaitu borjuasi bumiputera merebut kekuasaan politik saja (kekuasaan parlemen) karena kaasitas nasionalnya kuat dan inteleknya sudah banyak darpada di Indonesia.

Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim ditambah lagi oleh dorongan kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menggencet dan menghinakan mereka.

Pati  revolusi (sekurang-kurangnya di Jawa) harus dibentuk oleh kaum buruh industri modern, perusahaan dan pertanian (buruh mesin dan tani). Benteng-benteng politik terutama ekonomi imperialisme Belanda hanya dapat dipukul oleh kaum buruh. Di sekitar kaum buruh itu berbaris kaum borjuasi kecil yang mundur maju tak pungguh hala (kaum borjuis akan menurut bila mereka tahu akan beroleh kemenangan, dan di belakang sekali. Itupun kalau mereka sungguh suka turut. Lebih dari itu “tidak” dan jangan diharap).

Revolusi Indonesia yang beroleh kemenangan akan mendatangkan perubahan yang jitu dalam perekonomian, politik dan sosial pada waktu kecerdasan kapitalistis menghadapi krisis. Bila kaum buruh kita tetap giat dapatlah mereka memegang rol yang terpenting.

Perusahaan Indonesia di jaman Belanda ialah perindustrian dan pertanian bahan mentah dan barang mewah. Bahan mentah dan bahan mewah itu tiadalah diadakan buat rakyat Indonesia melainkan buat diperdagangkan oleh Belanda dengan negara yang membutuhi. Barang mewah seperti teh, kopi, gula, tembakau dll. sebagaian besar dipakai oleh Belanda sendiri di Negeri Belanda, sebagian kecil oleh rakyat Indonesia, tetapi sebagian terbesar untuk diperdagangkan ke semua penjuru dunia. Bahan barang seperti kapuk, getah, kopra, sisal, palm-olie dll. sebagian ukan karena tak ada bahan buat membikin mesin, seperti besi dan campuran bauxite, alamunium dll., atau bukan pula karena tak ada modal, tenaga ataupun pasar dalam negeri, tetapi pertama sekali berhubungan dengan kecakapan dan semangatnya si penjajah Belanda, sebagai penduduk negara pertanian dan pedagang. Kedua berhubungan dengan terikatnya Belanda dalam hal ekonomi , politik dan diplomasi kepada Inggris. Balanda, yang sudah tak berkecakapan dan bersemangat perindustrian itu, tentulah tak akan mengganggu perindustrian Inggris, tuan besarnya, dengan menimbulkan persaingan membikin berbagai-bagai mesin di Indonesia ini, maka di belakang tanda nama (naambord) Dutch-Indies itu sebenarnya tertulis ‘Anglo-Dutch-Indies”.

Di sekitarnya kapital “Anglo-Dutch” itulah terdapat kapital Amerika, tiongkok, Perancis, jepang dan sebagainya.

Sudah diketahui bahwa “untung” modal Belanda di Indonesia dipukul rata F. 500.000.000 (uang lama) setahun. Sedangkan begrooting (anggaran uang) negara pukul ratanya belum lagi F. 400.000.000.

Dalam ini sudah termasuk pula pensiun pegawai Belanda. Untung F.500.000.000 ditambah sebagian F.400.000.000 terus mengalir ke negeri Belanda. Uang itu ditabungkan atau dibungakan dengan jalan memindahkan ke Amerika. Jerman atau lain tempat. Sisanya untung tadi dipakai buat spekulasi di pasar (bursa) di Amsterdam dan di Rotterdam. Kalau sebagaian saja uang F. 500.000.000 itu dipakai buat “industrialisasi”di Indonesia, sudah lama Indonesia mempunyai industri enteng dan berat cukup buat kemakmuran dan pertahanan Indonesia setinggi-tingginya dan sehebat-hebatnya. Tetapi kemakmuran Indonesia itu sudah cukup digambarkan oleh Departemen Ekonomi dengan hasil perhitungan Huender. Menurut perhitungan itu, maka pencarian si “inlander” Cuma sebenggol sehari. Si Belanda lain memutar-mutar “kecelakaan” si ”inlander” ini menjadi “kebahagiaan” dengan mengatakan: bahwa si inlander bisa “bisa hidup dengan sebenggol sehari....”

Didikan sekolah Belanda, propaganda surat kabar dan buku kesusasteraan akhirnya, tetapi tak kurang pentingnya di beberapa puluh tahun belakangan ini “Christening Politik” yang dijalankan imperialisme Belanda, menghasilkan satu golongan bangsa Indonesia, yang karena kurang perkataan yang lebih tepat kami sebutkan saja dengan nama baru ialah “inlanders-alat” . Dia antara jenis sejawatnya, “inlanders-alat” kita ini tak ada taranya di seluruh dunia ini, baik pun di jajahan atau di negeri merdeka. “Inlander-alat” ini terdapat dalam Badan Pemerintah, kepolisian dan kemiliteran imperialisme Belanda. Reserve besar dari “inlander-alat” ini terdapat pada golongan intelgensia, ber atau tak bertitel.

Titel ini buat mereka “inlander-alat” Cuma memberi jaminan kecerdasan dalam vak yang berhubungan dengan teknik dan ilmu yang tak bersangkutan dengan masyarakat teristimewa politik dan ekonomi.

Dalam semua ilmu yang berhubungan dengan masyarakat, teristimewa politik dan ekonomi  mereka menunjukkan sifat mereka yang teristimewa pula sebagai “inlanders-alat”. Tidak ada di seluruh dunia ini yang lebih gampang dipakai oleh imperialisme asing buat melakukan kemauannya dari pada “inlanders-alat”, ialah hasil pendidikan sekolah Belanda dan sekolah zending yang dibantunya dengan segala tipu dustanya.

Imperialisme Jepang mendapatkan alat yang baik sekali pada “inlanders-alat” ini, yang memang berada dalam keadaan budak yang kehilangan tuan. Manusia yang biasa menerima perintah semacam ini sudahlah tentu menderita kesengsaraan dan membutuhkan “tuan”. Sedikit saja lagi usaha yang perlu dilakukan oleh tuan baru, yang menggelari dirinya “saudara tua”. Beri makan secukupnya pada “inlanders-alat” yang ditinggalkan tuannya tadi dan tukar saja perkataan “bevel” (perintah) dengan kata “merei”. Sendirinya jawab “inlanders-alat” yang dulu berbunyi “ya meneer” bertukar “hei”. Semua pekerjaan sebagai alatnya imperialisme asing akan berjalan terus.... Sudah siap para “inlanders-alat” , para pemimpin rakyat dan intelgensia sebagai reserve, buat menjalankan administrasi, perindustrian, pertanian Indonesia, warisan dari imperialisme Belanda.... buat dipakai imperialisme Jepang menegakkan “Asia Timur Raya” tadi, Pamong Praja, Syuuo Sangi-In, Para Kakka made in Japan, Pemimpin Besar, Tengah dan Kecil atas “Panca Darma”, semuanya “kirei” berdiri “Komando” dari Tenno Heika di Tokyo.... “Inlanders-alat” tetap konsequen dengan watak dan sejarahnya sebagai alat imperialisme asing.

Sikap melempem di tengah revolusi itu bukanlah monopolinya kaum tengah Indonesia saja. Memang itu sifatnya kaum tengah, ialah maju mundur lebih memilih pihak yang kiranya akan menang. Borjuis tengah Indonesia, seperti saudagar tengah, Pamong Praja dan intelgensia memang tak bisa konsequen baik dalam revolusi nasional ataupun dalam revolusi sosial.

Sifat memilih dan membidik siapa yang kuat dan akan menang dalam pergulatan itu memangnya terbawa oleh susunan ekonomi dan sosial Indonesia. Kaum tengah Indonesia tak mempunyai tempat bersandar  maupun dalam ekonomi ataupun dalam politik. Saudagar tengah Indonesia tak kenal sama saudagar importir sendiri, fabrikan Indonesia sendiri ataupun bankir sendiri. Mereka bersandar pada importir asing, fabrikan asing. Demikian pula Pamong Praja dan resevernya, ialah kaum intelgensia bersandar pada imperialisme asing. Tak ada parlemen atau pemerintah nasional yang bisa dijadikan tujuan dalam usaha mereka mencari pangkat.

Di mana ada kapital nasional dan borjuis nasional yang kukuh kuat, maka dalam masa revolusi kaum tengah sangsi bolak-balik di antara borjuis atas dan proletar nasional. Akhirnya di tengah-tengah kesukaran perjuangan mereka membelok kepada yang kiranya akan menang. Di Indonesia kapital dan borjuis yang kuat kukuh itu terdiri dari bangsa asing. Mungkin pada permulaaan perjuangan para inlanders memihak kepada rakyat murba. Tetapi kalau perjuangan itu sedikit lama dan tampaknya sukar, maka mereka akan mengabdi kepada kapital dan borjuis asing manapun juga.

Semenjak tangkapan Madiun dengan radio Hilversumnya, nyatalah sudah bahwa Persatuan Perjuangan dan Minimum Program sudah meningkat ke periode (musim)kedua dalam perjuangan anti-imperialisme dan revolusi nasional ini. Dalam periodekedua ini kaum setengah-kesini setengah kesana, setengah revolusioner dan setengah kompromistis itu mesti disingkirkan samasekali. Karena mereka telahnyata menyimpang dan memegang terus mereka itu berarti melemahkan barisan perjuangan. Persatuan perjuangan bukanlah berarti kumpulan kaum revolusioner dan kaum kompromis yang lengkap siap dengan 1001 perkataan buat menyelimuti politik komprominya. Sesudah tangkapan Madiun maka revolusi Indonesia mesti dikembalikan ke tangan mereka yang tegas terang mengakui kemerdekaan 100% menolak perundingan yang tiada berdasarkan pengakuan 100% itu dari tegas terang menolak kapitalisme asing dengan siasat menyita perusahaan musuh. Pembersihan dilakukan.

Dan dalam masa pembersiahan itu mesti dilakukan, dengan cepat dan kalau perlu dengan deras tangkas. Kalau tidak maka kaum kompromis akan jaya melembekkan semangat perjuangan, membelokkan dan mematahkan perjuangan itu samasekali dan mengembalikan Indonesia ke status penjajahan dengan atau dengan tidak dengan nama “Republik”.

Setengah kaum tengah bagian atas yang dipelopori oleh “ahli” politik dan “ahli” diplomasi serta para Pamong Praja dan intelligensia sudah terjerumus atau sengaja menerjunkan dirinya ke tengah-tengah barisan NICA. Kaum pembelok, yang sudah menjalankan rolnya dengan terbuka, setengah tertutup atau tertutup harus samasekali diberantas dari perjuangan revolusioner. Persatuan Perjuangan revolusioner mesti terdiri dari kaum dan golongan revolusioner saja. Dalam periode kedua ini, sesudah ujian dua setengah bulan ini, maka golongan yang tetap revolusioner ialah: pertama golongan proletariat perindustrian, yakni buruh pabrik, bengkel, tambang, pengangkutan, listrik, percetakan, PTT  dll.nya.

Kedua proletariat tani, ialah buruh kebun bersama dengan kaum tani biasa, kaum tani menengah, sampai ke tani sederhana (kerja dan cukup buat keluarga sendiri saja) terus ke setengah tani. Ketiga kaum marhaen ialah pedagang kecil, warga kecil seperti jurutulis, guru, dan intelgensia miskin di kota-kota. Semua golongan ketiga ini menghendaki sungguh lenyapnya imperialisme asing dan berdirinya terus Republik Indonesia, dan banyak sekali memberikan pengorbanan harta dan jiwa dalam semua garis pertempuran. Ketiga golongan yang masih revolusioner dalam periode kedua di masa revolusi nasional ini lebih kurang terikat oleh tiga aliran pula, yakni aliran keislaman, kebangsaan dan keproletaran (sosialisme, komunisme, ataupun anarkisme-sindikalisme). Ketiga aliran ini terus-menerus mempengaruhi pergerakan anti-imperialisme di Indonesia selama lebih 40 tahundi belakang ini. Dalam periode kedua inipun ketiga aliran itu bisa diabaikan.

Ketiga aliran itu masing-masingnya lebih kurang mempengaruhi masing-masing ketiga golongan tadi. Tetapi boleh jadi sekali dan sepatutnyalah pula keislaman lebih tebal pada kaum tani, kebangsaan lebih tebal pada kaum marhaen dan keproletariatan pada golongan proletariat.

Buat periode kedua ini cukuplah sudah minimum ProgramnyaPersatuan Perjuangan, yang kalau dirasa perlu bisa ditambah di sana sini, dengan tiada mengurangi semangatnya yang revolusioner. Setelah kemerdekaan 100% tercapai, maka akan berlakulah Maksimum Program, yang maksudnya menuju kepada Indonesia berdasarkan sosialisme...bersandarkan kekuatan diri dan mengingat keadaan di sekitar Indonesia.... (21, 22-23 Thesis)

Dari Penjara ke Penjara III (bl. .................thn. 1947)

(Hal. 77, 78, 98, 99 dan 101)

Berhubungan dengan pertentangan tajam itulah, maka demarkasi revolusi Indonesia ini dapatlah ditarik dengan sejelas-jelasnya.

Dari bermula sekali saja anggap demarkasi revolusi Indonesia itu bukanlah satu amban (girdle, band) melainkan satu garis . Artinya bukanlah satu garis yang mempunyai panjang dan mempunyai lebar, melaunkan satu garis yang mempunyai panjang tetapi tidak mempunyai lebar. Bukanlah satu amban, di mana borjuis imperialis bisa berjabat tangan dengan borjuis jajahan, buat kerjasama memeras dan menindas murba di Indonesia. Melainkan satu garis, di mana borjuis imperialis belanda dengan memperkudakan inlander alat, memeras dan menindas murba Indonesia.

Di Hindustan, Tiongkok dan Filipina memangnya memangnya ada amban sosial yang bisa dijadkan demarkasi  antara kaum penjajah dengan murba terjajah. Di sana kepentingan bersama dalam ekonomi antara borjuis imperialis dengan borjuis jajahan dapat dijadikan dasar untuk mengadakan kerjasama dalam politik. Di sana pertentangan antara borjuis imperialis dengan rakyat jajahan atau setengah jajahan (Tiongkok) boleh diperdamaikan. Dengan demikian, maka pergerakan revolusioner dapat dihalang-halangi atau dibelokkan kepada reformisme dan ke dalam status, di mana borjuis imperialis menyerahkan sebagian besar kekuasaan politiknya kepada borjuis jajahan (Hindustan dan Filipina). Bahkan pada lahirnya semua kekuasaan politik oleh borjuis imperialis boleh diserahkan kepada borjuis jajahan  sambil tetap mengendali “Negara Merdeka “ itu dengan “perjanjian” keuangan, “perjanjian” kemiliteran, “perjanjian” ekonomi dan “perjanjian” urusan luar negeri. Keadaan semacam itu terdapat lebih kurang pada perhubungan Amerika Serikat dengan Mexico dan dengan beberapa negara di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, dengan Kanada, Filipina, Tiongkok, Turki, dll.

Karane tak adanya borjuis besar dan borjuis menengah yang kuat di Indonesia, dalam arti ekonomi, maka borjuis imperialis tak bisa mengadakan amban sebagai demarkasi di indonesia. Borjuis imperialis cuma bisa  “kerjasama” dengan bangsa Indonesia, yang bisa diperalat semata-mata, dengan inlanders alat untuk memeras dan menindas murba Indonesia. Inlanders alat ini di jaman “Hindia-Belanda” sebelumnya Belanda menyerah kalah kepada Jepang berpusat pada “Binnenlands Bestuur Amtenaren”, Pangreh Praja namanya di masa jepang. BB. Amtenaren itu adalah turunan dari Ningrat Takluk, yang akan menjadi enganggur (murba), kalau sekiranya tiada diperalatkan oleh Belanda. Dengan didikan sekolah Amtenaar, serta dipersenjatai dengan “Undag-Undang Bumiputera” (Inlandsche Reglement) dan dengan politie, maka BB. Amtenaar, inilah intinya kekuatan borjuis Indonesia. Merekalah yang sudi “kerjasama” dengan pelayannya untuk memeras manisan tebu.

Ringkasnya di ndonesia tak dapat diadakan amban-demarkasi, ialah garis yang mempunyai lebar, yang dapat mempermainkan borjuis-imperialis dengan borjuis nasional. Di Indonesia Cuma ada garis demarkasi, ialah garis yang tiada mempunyai lebar, garis yhang tajam, yang menghimpit, ialah borjuis alat, bernaba BB. Amtenaar, garis yang dengan terang-tajam memisahkan borjuis imperialis belanda dengan MurbaTerjajah Indonesia.

Barangsiapa yang berada di sebelah sananya garis demarkasi itu adalah kelas pemeras penindas. Barang siapa yang berada di sbelah sininya garis demarkasi itu adalah kelas murba terperas-tertindas. Ketika gerakan kemerdekaan itu berlaku dalam waktu damai, maka garis demarkasi itu cuma dapat diketahui dengan filsafat revolusioner.

Filsafat revolusi saja tak dapat memastikan lebih dahulu. Cuma prakteklah yang dapat memastikan. Bukan sedikit anak murba, yang meningalkan front murba. Bukan satu dua orang pula anggota yang bukan murba, yang sampai pada nafas terakhir berada di kalangan murba, seperti Marat, Marx, Engels, Lenin, Karl Leibnecht, Rosa Luxemburg dll., semunya berasal dari golongan yang bukan murba? Ada yang mendapatkan faham kemurbaan dengan melalui otak pikiran serta jantung erasaan saja. Tetapi sampai pada nafas terakhir, mereka setia kepada kelas yang dibelanya dan faham kelas yang dianutnya itu; adapula yang memangnya lebih banyak bagi mereka yang berasal dari kelas murba sendiri, yangsampai titik darah penghabisan membela kelasnya dan kepentingan serta faham kelasnya sendiri.

Bahwasanya jika kelak kapital asing akan terus bermarajalela di Indonesia, seperti sebelum tahun 1942, maka politik imperialisme pula yang akan bermarajalela di Republik Indonesia di hari kemudian. Dalam hal itu, maka kelak kemerdekaan  Republik adalah kata yang tiada isi, kata kosong satu omong kosong! Kemerdekaan 100% yang diproklamirkan oleh rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka oleh semua pengembalian milik asing (negara sahabat ataupun negara musuh!) segera kelak akan merosot entah sampai berapa persen.

Jika sebaliknya semnjak permulaan berdirinya Republk, sebagaian besar dari perekonomian Indonesia (perindustrian, perkebunan, pertambangan,  keunagan, ekspor-impor dll.) dimiliki, dikuasai, dan dikerjakan (owned, managed and operated) oleh rakyat Indonesia sendiri, untuk rakyat Indonesia sendiri maka adalah pengharapan bahwa kelak kekuasaan tertinggi kedaulatan rakyat Indonesia ke dalam dan ke luar negeri tak akan terancam.

Lain daripada dua puluh tahun lampau saja keraskan pula cara massa aksi buat mencapai kemerdekaan dari republik tadi, dan menolak sekeras-kerasnya jalan yang saya namai parlementarisme semata-mata, ataupun jalan putch.

Dalam waktu lebih daripada tiga puluh tahun itu belumlah sedikit berubah pandangan saya tentang sifat kapitalisme imperialisme Belanda, tiadalah berubah pula tujuan saya dalam politik dan ekonomi, serta akhirnya tiadalah sdikitpun berubah paham saya tenag caranya rakyat Indonesia harus mencapai tujuannya itu. 

Sampai sekarang saya tidak percaya, bahwa akan bisa ada perdamaian kekal, atau dengan istilah baru, akan mungkin terdapat “kerjasama” yang kekal antara kapitalis imperialis Belanda dengan rakyat Indonesia selama asing umumnya masih memegang  kekuasaan kapitalnya seperti dahulu.

Saya masih yakin, bahwa kekuasaan kapital asing umumnya dan kekuasaan kapital Belanda khususnya, dan belanda khususnya, di tengah-tengah rakyat dan di atas bumi Indonesia harus dilenyapkan lebih dahulu sampai ke akar-akarnya, barulah rakyat Indonesia bisa bernafas dengan lega dan mulai menginjak jalan kemajuan dalam semua lapangan. (tentulah modal asing, yang iada memegang kekuasaan politik dan tidak mempengaruhi jalannya politik dalam dan luar negeri Indonesia akan dipertimbangkan. Tetapi ini cuma berlaku, kalau negara Indonesia sudah mendapatkan jaminan cukup buat kemerdekaan!).

Sayapun dari dulu insyaf, bahwa kapital asing dari negara sahabat tiada begitu saja dapat dilenyapkan! Tetapi kecerobohan Belanda terhadap  Republik Indonesia ini, bagi saya adalah satu “golden opportunity”, satu saat baik, buat bertindak dan menempatkan Belanda pada tempat yang cocok dengan lakonnya sebagai negara penjajah yang sudah terbanting pada 8 Maret 1942.

Dengan lenyapnya kapitalisme Belanda dari bumi indonesia ini, dengan senjata ekonomi yang akan pindah ke tangan rakyat Indonesia dari tangan kapitalisme Belanda itu, maka rakyat Indonesia akan mendapatkan “modal bermula” (initial capital) untuk membela dan memperdalam kemerdekaan serta mempertinggi kemakmurannya. Dengan demikian dan secara damai, secara jual beli, maka rakyat Indonesia kelak akan sanggup membeli kembali sisa perusahaan asing sekaligus atau berangsur-angsur dan mengadakan perhubungan diplomasi dan dagang dengan bangsa Belanda atas dasar kemerdekaan dan persetujuan ikhlas dari kedua belah pihak.

Tetapi dengan membiarkan bulat kembalinya kapital Belanda, maka rakyat Indonesia, walaupun “digelari” merdeka , nasibnya akan sama saja dengan para pedagang kelontong, yang mau bersaingan dengan para pedagang besar-besaran. Dalam teori bisa dipikirkan persaingan semacam itu akan dapat memberikan hasil . Mungkin atu dua orang tukang kelontong bisa jaya, tetapi sebagai golongan, maka golongan tukang kelontong akan tetap berada di bawah haribaan golongan golongan saudagar besar-besaran. Demikianlah pula, jika semuanya kebun, tambang, pabrik, pengangkutan dan bank asing, yang menurut dasar ekonomi sudah mengambil tempat yang strategis dalam perekonomian di Indonesia akan diduduki kembali oleh bangsa asing, maka semua percobaan saudagar kecil dan perusahaan kecil Indonesia dengan cara apapun juga untuk bersaingan dengan kapital asing yang bekerja besar-besaran dan modern itu, akan sia-sia belaka. Atau denagn perkataan asing akan berarti Don Quisottery! Satu Don Quisotterylah pula pahamnya beberapa ekonomis borjuis kecil Indonesia, atau paham mereka yang menamai dirinya “sosialis”, bahwa dengan mengadakan 13 macam undang-undang, maka kelak kapitalis asing akan bisa ditundukkan atau dikendali. Saya terlampau banyak menyaksikan contoh yang hidup di negeri lain, tak bisa lagi percaya pada omongan borjuis kcil dan sosialis Indonesia seperti itu. Pertentangan kapitalis imperalis belanda dengan rakyat terjajah Indonesia saya anggap irreconcilable, tak bisa diperdamaikan. Salah satunya harua menang atau lenyap dalam perjuangan yang tak kenal damai.

Maka berhubungan dengan kapital imperialis Belanda dengan rakyat terjajah Indonesia, antara pemeras-penindas Belanda dengan terperas-tertindas Indonesia inilah, maka satu pemerintahan yang berdasarkan parlementarisme tulen, satu pemerintahan yang berdasarkan suara terbanyak (majority) satu pemerintahan demokratis dalam masyarakat Indonesia, di mana kapital belanda dan asing lain kembali bermerajalela adalah satu khayal belaka. Dengan cara rekenkundig ataupun dengan perhitungan jari saja, boleh dikatakan bahwa sekepal dua kepal belanda kapitalis imperialis itu tak akan mau diperintahi, diatur kepentigan ekonominya oleh 70 juta bangsa Indonesia, yang 99% terdiri dari burger-kecil dan rakyat murba ialah golongan rakyat yang tak berpunya apa-apa lagi, kecuali tenaganya. Belanda mustahil akan percayakan kepada pemerintahan demokratis semacam itu dan Belanda akan mendapatkan 1001 malam akal bulus buat memperkosa dam memalsukan demokrasi dan parlementarisme dengan maksud hendak melakukan kekuasaan ekonomi mereka, yang sesungguhnya, yakni: melaksanakan paksaan golongan yang terkecil, tetapi berpunya atas golongan terbanyak, tetapi tiada berpunya.

Demikianlah pula sebagai materialis, sambil menghampiri sesuatu persoalan masyarakat dengan cara dialektis kami seharusnya dapat berkata: Beritahukanlah kepada kami, bagaimana perhubungan ekonomi antara kedua bangsa dan kedua kelas itu! Kami akan dapat membentuk bingkai politik antara kedua bangsa atau kedua golongan itu.    

“Economic relation creates political and legal relation etc;  perhubungan ekonomi menciptakan perhubungan politik dan hukum... dsb,”kata Marx dalam salah satu tempat.

Timbul Tumbuhnya republik Indonesia

(Pandangan Hidup Halaman 82 s/d 91/Oktober 1948)

Revolusi indonesia berbeda dengan revolusi Perancis (tahun 1979, 1848 atau 1971) dan berbeda dengan revolusi Rusia pada tahun 1917. Sifat kelas, yang memegang kekuasaan di Indonesia, sususan dan sifat beberapa golongan dalam masyarakat, sifat dan tingkat kemajuan perekonomian, serta akhirnya sifat keadaan bumi iklim serta teknik yang menjadi pendodrong semua perubahan dan dasarnya ekonomi, sosial politik dan kebudayaan berlainan sekali di pelbagai tempat yang tersebut di atas.

Berpegang untuk Indonesia ini, kepada kesimpulan (conclusion) yang ditetapkan oleh Marx dan engels 100 tahun yang lampau, kesimpulan mana dipertimbangkan menurut teknik-ekonomi, sosial politik serta kebudayaan-jiwa manusia di Eropa Barat di masa itu; ataupun berpegangan kepada semua kesimpulan Lenin yang dipertimbangkan menurut kupasan (analyse)masyarakat rusia pada tahun 1917 serta mengapalkan semua kesimpulan tersebut buat dilakanakan di Indonesia sekarang, bukanlah menjalankan hasilnya cara berpikirnya yang dialektis bersandar pada teori materialisme. Seorang Marxis yang mau mendapatkan sesuatu kesimpulan (conclusion) buat dijadikan obor dalam menentukan sikap dan tindakan di Indonesia sekarang, haruslah mempertimbangkan kesimpulan itu atas bahan berpikir (premises) yang diperoleh di indonesia sekarang pula. Bahan berpikir itu adalah bayangan (reflexion) dari semua faktornyua masyarakat Indonesia kini sendiri: teknik ekonomi Indonesia sendiri, sosial politik serta kebudayaan-jiwa (psychology) rakyat Indonesia sendiri. Dengan berbedanya hampir semua faktor ini bagi Indonesia dengan Perancis dan Rusia pada waktu yang berlainan pula, maka kesimpulan (conclusion) yang diperoleh seorang Marxis di Indonesia sekarang tentulah berbeda pula dengan kesimpulan Marx dan Lenin seperti tersebut di atas, mungkin ada terdapat persamaan nama tetapi belum tentu sekali persamaan isi.

Yang bersamaan dan tetap bersamaan bagi sekalian Marxis Pada semua tempat dan semua tempo ialah:

Pertama: cara (metode) menyelesaikan dan memahamkan soal masyarakat (social problem) ialah dengan cara dielektika (hukum bertentangan).

Kedua: tafsiran, paham atau teori tentang kejadian (fenomena) dalam masyarakat itu didasarkan atas teori materialisme (kebendaan).

Ketiga: semangat pemeriksaan dan penyelesaian soal masyarakat serta sikap dan tindakan yang disandarkan kepada kesimpulan itu haruslah semangat kemajuan yang revolusioner.

Belum tentu sekali seorang yang menepuk dada dan mengakui dirinya seorang Marxis, Leninis dan Stalinis, karena sudah menghapalkan semua kesimpulan Marx dan lenin dalam keadaan masyarakat di lain tempat dan di lain tempo, belum tentu tentu sekali kesimpulan juga dihafalkan itu cocok dengan kesimpulan yang diperoleh atas masyarakat Indonesia dengan cara, tafsiran dan semangat yang Marxis. Ingat kita kalimat yang dijunjung tinggi oleh kaum bolshevik tua di Rusia, yang berbunyi: “Marxisme itu bukan suatu dogma (apalan), melainkan suatu pedoman untuk bertindak.” (Marxism is not a dogma but a guide to action).

Yang boleh jadi memberi jaminan kepada kesimpulan, sikap dan tindakan yang Marxistis, terutama dalam sesuatu revolusi, ialah (1) cara penyelesaian yang dialektis (cocok dengan hukum pertentangan) bukannya mekanis (seperti mesin), (2) tafsiran yang materialistis (berdasarkan kebendaan), bukan yang idealistis (khayal) dan (3) semangat yang revolusioner, bukan kontrarevolusioner, maju ke depan, bukan mundur kembali kepada keadaan lama.

Maka ujian yang terakhir tentangan salah benarnya kesimpulan, sikap dan tindakan itu akan ditentukan oleh golongan yang berkepentingan sndiri  yakni:

Pertama: dalam soal revolusi nasional, apakah bangsa yang terjajah yang berjuang untuk membela kemerdekaannya itu sesungguhnya menjadi bangsa yang merdeka dalam segala lapangan kehidupannya terhadap bangsa lain atau kembali dijajah dengan cara lama atau cara baru.

Kedua: dalam hal revolusi borjuis yang tertekan oleh kelas feodal dalam masyarakat feodal tadi dan berujung untuk mendirikan masyarakat borjuis sesungguhnya mendapatkan kekuasaan bagi menindas-memeras kaum proletar dan untuk membela kaum borjuis.

Ketiga: dalam hal revolusi proletar, apakah kelas proletar itu sanggup melepaskan dirinya dari pemerasan tindasan borjuis (feodal) dan mendirikan masyarakat yang sosialistis, yang menuju ke arah komunisme.

Demikianlah pentingnya interpretasi (interpretation) tentang revolusi, yang harus kita utarakan kepada revolusi Agustus di Indonesia ini, pada tiap-tiap tingkat perjuangan kita, karena pada tfsiran itulah kelak kita harus menyandarkan taktik strategi serta sikap dan tindakan yang akan diambiluntuk membela revolsi itu.

Memperhatikan semua revolusi, baik revolusi kelas melawan kelas (kelas borjuis melawan feodal, seperti  di Perancis tahun 1789; prolrtar melawan feodal-borjuis , seperti di Rusia tahun 1917); ataupun revolusi kolonial (terjajah melawan penjajah, seperti Amerika tahun 1776-1782), maka selayang pandang tampaklah:

“Bahwa timbulnya revolusi itu adalah pada suatu krisis, di mana pertentangan dua pihak (yang pada tingkat akhirnya berdasarkan pertentangan ekonomi), sedikit demi sdikit bertukar menjadi pertempuran. Revolusi itu jaya, apabila di masa krisi tadi nyata, yang lama tak sanggup membangun dan siap sedia untuk berkorban sebesar-besarnya.”

Saya tegaskan lagi: definisi di atas ialah sekedarnya untuk meliputi semua jenis revolusi! Kalau dilakukan pada masyarakat Indonesia maka kita akan memperoleh seperti berikut:

Yang Lama: yakni belanda dan Jepang tak sanggup lagi emgatur dan Yang Baru (terutama pemuda Indonesia) pada kriris, 17 Agustus sanggup menyusun dan mengerahkan murba dan membangunkan Republok dengan tiada memandang korban.

Proses pertentangan dalam kebangsaan, politik dan kebudayaa Indonesia berlaku setelah masyarakat komunisme asli dari bangsa Indonesia semenjak permulaan tarikh masehi, lama-kelamaan Kkarena pengaruh saudagar hindu) bertukar menjadi negara feodal berdasarkan`hinduisme, ialah negara Sriwijaya dan negara Majapahit . Kedua negara feodal tersebut tentulah tiada berapa beda sususan sosial dan politiknya yang lain-lain di atas bumi ini. Dalam masyarakat komunisme asli, maka “masyarakat bersenjata” itu “bertindak sendiri” atass dasar kekeluargaan , permusayawaratan dan tolong bertolong. Di masa masyarakat feodal, maka negara itu sudah tiada luput lagi dari sifat penindas, oleh satu gologa atas golongan yang lain, seperti sifatnya suatu negara menurut tafsiran Marx, Engels dan Lenin. Cuma yang menjadi rakyat murba di jaman Sriwijaya dan Majopahit itua ialah bangsa Indonesia , sedangkan di kelas atasnya ialah pada perdagangan, pemerintah (sebagai alat penidas) dan urusan-urusan terdapat bangsa hindu asli atau campuran dengan bangsa Indonesia.

Pada masa runtuhnya Majapahit, maka pada kelas atas itu terdapat pula bangsa Arab, asli dan campuran. Berturut-turut hindu dan Indo-hindu serta Arab dan Indo-Arablah pula yang mengendalikan dan mempengaruhi perekonomian, terutama perdagangan Indonesia denga negara luar.

Pada permulaan abad ke 17 imperialisme fagang Belanda mengakibatkan hancurnya perekonoman feodal hindu Arab di indonesia dan menimbulkan  perekonomian kolonial, yang tak ada bandingannya di dunia ini. Produksi tingkat manufaktur yang terdapat di Indonesia dirobohkan oleh produksi kapitalisme awal (pre-capitalism) di Eropah yang lebih tinggi derajatnya daripada sietem produksi yang terdapat di indonesia di masa itu, lantaran tekniknya sedikit lebih tinggi pula. Perdagangan dalam dan luar Indonesia dilenyapkan oleh perdagangan monopoli Belanda. Produksi cengkeh, pala, lada, kopi dan indigo dipaksakan oleh belanda kepada rakyat Indonesia. Pengangkatan barang dagang dari pulau ke pulau dan dari Indonesia ke Eropa dimonopoli oleh Belanda. Pada masa menyerahnya Belanda kepada Jepang, maka semua kebun modern, semua tambang, semua pabrik, semua alat pengangkutan, semua bank dan asuransi dan semua perdagangan ekspor dan impor boleh dikatakan berada samasekali di tangan Belanda, Tionghoa dan Arab, Amerika, Inggris, Belgia, dll.

Dengan timbulnya pemerasan oleh bangsa Belanda atas bangsa Indonesia dengan sistem roofbow (perampokan tenaga) menurut sistem Daendels, maka timbulla satu negara jajahan, yang tiada mengenal perikemanusiaan samasekali. Pekerjaan membikin jalan dari anyer ke Banyuwangi buat melancarkan jalannya alat penindas Belanda, ialah tentara penjajahnya, dipaksakan dengan kejam dan zonder bayaran oleh belanda atas bangsa Indonesia. Perampokan tenaga dan jiwa ribuan bangsa Indonesia di masa itu memerlukan satu negara kolonial, dengan alat penindas yang amat kejam dan keji.

Alat penindas negara jajahan tak berkurang keji kejamnya dengan pertukaran sistem rodi ala Daendels tadi dengan sistem rodi cuultur stelsel ala van den Bosch. Memang ada peraturan yang tertulis di atas kertas, berhubung dengan cuultur stelsel itu, (berapa tanahnya yag diharuskan ditanami kopi dll.  dan berapa yang boleh ditanami dengan padi dan dll., tetapi dalam praktenya tani Indonesia terpaksa menamai semua tanahnya buat barang-barang Belanda dan mengerahka semua tenaganya buat mengisi kantongnya Belanda. Oleh sistem monopoli dalam perdagangan, maka hancurlah perdagangan indonesia sebelumnya Belanda. Oleh sistem politik jajahan, petani Indonesia 0jawa) bertukar menjadi kuli dan kaum sunan, sultan, raja dan ningrat di seluruh Indonesia bertukar menjadi mandor kebun pabrik.

Sisten cultuur stelsel, yang lambat laun didorong oleh perubahan teknik di Eropa, terpaksa pula dirubah menjadi sistem vrije-rbeid (kerja merdeka) ala Malafeit. Seperti sudah kita sebut lebuh dahulu maka pada jaman budak-slave, kaum budak, karena tidak berhak atas apa-apa, bahkan tidak berhak atas badan dan jiwanya sendiri itu tiada memperdulikan alat, pekerjaan serta hasil pekerjaannya. Sedikitpun tidak ada tidak ada mereka memperlihatkan inisiatif . bersama dengan sistem kerja merdeka, ala borjuis, maka kaum proletariat lebih memperhatikan pekerjaannya dan lebih menunjukkan inisiatif, oleh karena jamian hidupnya lebih banyak pula. Demikianlah pula pertukaran sistem cultuur stelsel dengan sistem vrije-rbeid itu membawa perubahan semangat kerja kuli Indonesia. Seperti pula proletariat industri di Eropa memerlukan sekolah dan latiat buat proletariat, yang harus melayani mesin itu, begitulah pula rakyat Indonesia harus sekedarnya diberi latihan dan pelajaran sekolah.

Bersama dengan tumbangnya kekuasaan feodal di Indonesia, maka tumbanglah pula alat penindasnya, yakni, yakni negara feodal. Dengan demikian (dalam bahasa Indonesia sekarang) maka jatuhlah kaum ningrat itu ke lembah pengangguran. Sebagaimana dalam jaman kapitalisme, para penganggur itu terpaksa menerima rimah yang dilemparkan oleh kaum kapitalis kepadanya itu, demikianlah pula para ningrat-penganggur sudi menerima sembarang “pekerjaan” yang dilemparkan oleh Belanda penjajah kepadanya. Mereka dijadikan BB. Amtenaren (Pangreh Praja). Dari bupati sampai ke lurah, dari sersan sampai ke serdadu sewaan, jaksa, kepala penjara dan algojo semuanya itu adalah inlanders-alat untuk penindas bangsanya sendiri. Di mana pada semua badan alat pemerintahan diperlukan satu reserve (cadangan) demikianlah pula alat penindas di Indonesia memerlukan reserve rendah, menengah dan tinggi. Cadangan itu setiap tahun dicetak oleh berjenis-jenis  sekolah rendah, menengah dan tinggi pula, buat inlanders-alat dalam produksi, perdagangan, administrasi, ketentaraan, kepolisisan, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial.

Syahdan dalam garis besarnya kita melihat pertentangan yang ada dalam masyarakat Indonesia (sebelum 8 Maret 1942) seperti berikut:

Kaum berpunya, yang terdidri dari bangsa Belanda, Asia dan Eropa lainnya, yang kerja dengan ujung lidah dan telunjuknya, tetapi memiliki lata dan hasil, berhadapan dengan yang tak berpunya ialah bangsa Indonesia asli, yang membanting tulang buat bangsa asing tetapi hidup dengan rimah yang dilemparkan kepadanya.

Gambaran yang lebih kongkrit, tentangan perbandingan bangsa Indonesia dan Belanda dalam masyarakat Indonesia, dalam waktu sebelum jatuhnya itu dapat ditegaskan dengan dua tiga kalimat di bawah ini:

Dalam perekonomian: sedangkan si inlander, menurut si Belanda bisa hidup sehari dengan sebenggol (heusch de inlanders kunnen wel met een benggol per dag leven!), maka tiap-tiap tahun mengalir fl. 500 juta rupiah ke negeri Belanda, sedangkan seorang pengemis di negeri Belanda bisa dengan mudah menjadi “tua besar” di kebun atau tambang Indonesia.

Dalam kesosialan: di antara kaum tani di Jawa, yang berpenduduk 50 juta itu, sudah murah taksiran kita, kalau dikatakan, bahwa hanya lebih kurang 3% tani, yang mempunyai tganah cukup buat penghidupannya (ialah lebih kurang 3 bahu). Yang mempunyai tanah cuma 1/3 bahu mungkin sekali lebih daripada 50%. Tani proletar yang tak berpunya apa-apa yang lontang lantung mencari pekerjaan kian kemari, sedikitnya 25%. Di antara sisanya penduduk asli di Jawa, ialah sedikit saudagar tengahan sebagian besar pedagang kecil, pangreh praja, juru tulis dan intelek gembel.

Dalam politik: 70 juta rakyat Indonesia cuma memekai dua tiga orang wakil saja dalam gedung sandiwara (Volksraad) di Jakarta sedangkan semua “key position” (kekuasaan penting) dalam pemerintahan dan ketentaraan berada di tangan Belanda.

Dalam perguruan: kata Belanda, bahwa utuk membasmi buta huruf dan mengadakan undang-undang wajib belajar(compulsory education) Indonesia memerlukan usaha lebih kurang 150 tahun. Sedangkan Nederland dengan penduduknya yang 7 juta mempunyai 5 universitas dan sekolah tinggi lainnya, maka Indonesia dengan 70 juta penduduknya, belum lagi mempunyai satu universitas dan cuma 4 sekolah tinggi. (menurut ukuran perguruan di negeri Belanda, maka Indonesia mentinya mempunyai 50 universitas dan 50 sekolah tinggi).

Pertentangan takam antara rakyat Indonesia dengan imperialisme Belanda dalam segala-gala itu tiada dapat didamaikan, cuma dapat sementara waktu dininabobokkan oleh gerakan seperti PEB dan Legiun v.d. Greest (Gerakan Belanda inlanders-alatnya).

Maka apabila topan kemiliteran dari suatu bangsa berkulit kuning dan kecil-kecil, bertiup dari utara, maka pemerintah “Hindia-Belanda” ditiup oleh tentara Jepang, sama mudahnya dengan angin meniup pasir dari atas batu. Tidak ada seorangpun diantara pecinta nusa dan bangsa Indonesia yang merasa sedih melihat lenyapnya imperialisme Belanda dengan alat penindasnya pada tanggal 8 Maret 1942.

Lebih kurang 30.000 serdadu Jepang yang menyeberangi lautan sejarak 5000 km yang telah letih dapat menghalaukan dan mempertekuk-lututkan 95.000 serdadu yang bersenjata lebih lengkap dalam 8 hari saja. Mungkin sekali 3000 biji Jibakutai Jepang sanggup melakukan pekerjaan yang tersebut . imperialisme Belanda tidak mempunyai urat sosial dan politik yang dalam dan sehat  pada masyarakat Indonesia.  Seandainya urat sosial-politik itu ada, sebab adanya kerjasama dan derajat sama dalam perekonomian, dan seandainya pula dalam 350 tahun itu Belanda berusaha membangunkan kekuatan yang ada dalam tanah, air dan rohani-jasmani 70 juta rakyat Indonesia, tentulah Jepang tak mempunyai harapan samasekali buat menghampiri tanah, air dan udara Indonesia, jangankan pula hendak merampas tenaga, harta, benda dan manusia Indonesia.

Dalam tiga setengah yahun Jepang merampas sisa kekayaan yang dipaksakan belanda dan merampas tenaga, sedemikian rupa, hingga yang tinggal pada rakyat jelata cuma rombengan celana karung dan tulang kering romusha, sebagai sisa dari 3 dan 4 juta romusha yang musnah di dalam dan di luar Indonesia.

Jepang mewarisi dan memperkokoh alat penindas yang dipusakakan oleh Belanda dan yang ditukar oleh alat penindas Jepang, yakni Pemerintah Kempei, di bawah Seiko sikikan dengan alat peninabobokkan seperti Chuo sangi In, 3A, Putera, Hokokai, dan Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia. Tetapi ada pula organisasi, yang dibangun oleh Jepang untuk Jepang yang masih bisa membalik melawa Jepang seperti organisasi Keibodan, Seinendan, Peta, heiho da Jibakutai, yang mendapat latihan  kemiliteran yang tepat hebat...imperialisme Jepang pun menggali kuburnya sendiri!

Setelah Jepang di-atom-i dan menyerah kepada sekutu, maka Yang baru di Indonesia, yakni pemuda, yang insyaf dan sanggup menyusun dan mengerahkan rakyat murba mengambil kesempatan yang baik itu untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 agustus tahun 1945.

Rencana Ekonomi  (28 Nopember 1945)

(halaman 10, 63, 64, 90 s/d 104)

Tiga paham yang sekarang berjuang bahu membahu: paham keislaman, kebangsaan dan sosialistis. Semuanya pada tingkat merebut kemerdekaan nasional ini adalah berhak buat diakui. Marilah kita berharap supaya ketiga paham itu bisa mengadakan persatuan yang teguh tetap.

Tetapi tak dapat disingkirkan kemungkinan bahwa kelak sesudah kemerdekaan nasional ini tercapai, boleh jadi ketiga paham itu, yang secara garis besarnya mewakili kaum tani, borjuis tengah dan proletar, bercekcokan satu sama lain. Berhubug dengan itu maka perlulah dicari “persmaan” sebagai semen yang mempersatukan batu tembok. Persamaan itu didapat pada persamaan keperluan. Persamaan keperluan saya kira bisa didapat dalam satu rencana ekonomi yang sosialistis.

Rencana ekonomi, ialah daya upaya memasyarakatkan alat penghasilan, pembagia hasil, gaji dan hidup sosial.

Ekonomi anarkistis itu di Amerika dicoba ditukar dengan ekonomi (sedikit) teratur, ialah dengan New Dealnya Roosevelt. Berhubung dengan derajatya pemusatan kekusaan di negara demokratis dan tidak demokratis, maka pemusatan kekusaan buat mengatur ekonomi adalah bertinggi berendah pula. Di negara komunis semua mata pencaharian disita oleh negara. Di Amerika dan negara fasistis hak milik diakui terus.

Di negara Amerika Serikat itu pada lahirnya, ialah meurut undang-undang , maka hak dan kekuasaan itu memang dibagi-bagi: pertama antara rakyat dan pemerintah, kedua antara tiiga pemerintah, ialah kekuasaan membikin undang-undang, menjalankan undang-undang dan pengawasan undang-undang. Ketiga masing-masing Staat dan Amerika Serikat.

Jadi di Amerika kekuasan itu tidak begitu terpusat pada pemerintah. Sebagian juga ada di tangan rakyat, terutama di tangan para hartawan.

Itulah sebabnya maka di Amerika pemerintah itu tidak berani campur tangan langsung ke dalam rencana ekonomi di sana. Para kapitalis menerima usulnya peerintah Roosevelt , tetapi mereka, kapitalislah, yag mempraktekkan ekonomi itu.

Di masyarakat fasistis, kekuasaan itu terpaut pada pemerintahnya borjuis kecil. Pemerintah fasistis memaksa kaum kapitalis menjalankan rencana yang dibikin pemerintah secara fasistis. Di masyarakat fasistis simpulan di atas sedikit lebih berlaku daripada di Amerika.

Di masyarakat sosialistis, ialah Rusia, memesyarakatkan alat penghasil, pembagian hasil, gaji dan hidup sosial memangnya cocok dengan yang dimaksudkan di atas tadi.

Jumlah harga hasil mesti sama dengan jumlah gaji. Makin tinggi gaju makin bisa ditinggikan hsil, makin rendah gaji, makin sussah meninggikan hasil bukan?

Simpulan ini boleh kita pakai sebagai pedoman. Simpulan yang kedua: sebelumnya cukup banyaknya industri enteng, susahlah kita menimpbulkan industri beraty, industri induk.

Sebelumnya belum lagi cukup banyaknya pabrik teh, pabrik kina, pabrik kain, obat-obatan, minuman dan sebagainya, sebelum itu, tentu susah buat mengadakan mesin induk, yang mesti bikin mesin buat pabrik teh, kina, kain, obat-obatan, minuman dan lainnya itu.

Bukankah pula hasil pabrik ibu mestinya seimbang dengan hasil yang berupa mesin buat industri ringan?

Petunjuk yang ketiga ialah industrialisasi, atau rencana menukar megara-pertanian itu menjadi negara-perindustrian lambat jalannya pada permulaan, tetapi semakin lama semakin cepat.

Penting pula artinya buat Indonesia ialah: negara kecil tak bisa mengadakan rencana yang sempurna, terpisah dari negara besar. Negara kecil itu mesti bergabung dengan negara besar.

Jadi buat negara kecil susahlah kalau tak mustahil mengadakan ekonomi teratur itu.

Satu rencana penghasilan yang pasti, mesti didasarkan pula atas pembelian, ialah pemakaian yang mesti. Terlampau kurang pembeli kalutlah rencana yang semolek-moleknya diatas kertas itu!

Karena sarinya rencana itu ialah menaksir hasil yang cocok dengan pemakaian, maka perlulah di-rencanakan:

1. Industri umumnya

2. Mesin, ialah khususnya. Keduanya mesti dicocokan dengan,

3. ialah gaji dan

4. Perdagangan masuk dan keluar negara

Mestinyalah yang 1. yaitu industri itu (termasuk juga pertanian), yang tentulah bergantung pada kekuatan mesin (2) itu, di-imbangkan, dicocokan dengan 3. ialah gaji. Bukankah jumlah harga hasil mesti sama dengan jumlah gaji? Dalam kekurangan mesin maka hendaklah kita periksa hasil atau barang bahan yang bisa dijual diluar negara (export). Ringkasnya kita cocokan dengan 4.

Pertama, periksalah industri yang ada, pun periksalah lebih dahulu apakah suatu pabrik, boleh ditukar menghasilkan barang yang lain. Bukankah pabrik oto itu kalau sedikit ditukar bisa menjadi pabrik mesin kapal terbang? Periksa lagi apakah satu cabang industri anak menghasilkan lebih atau kurang buat keperluan negara. Apakah harga itu kurang buat keperluan negara. Apakah harga itu kurang dari harga barang asing yang dijual dalam negeri. Kalau hasil itu memang lebih murah dan melebihi keperluan negara, maka hasil lebih itu boleh dijual diluar negeri buat membeli barang yang kurang.

Pendeknya ukurlah kekuatan industri awak. Kalau hasilnya bisa lebih dari keperluan awak dan harganya cukup murah, maka keluarkanlah hasil-lebih itu buat pembeli yang kurang, mesin atau barang dipakai.

Kalau perlu buat dipakai sendiri atau dijual diluar negara tukarlah – kalau bisa –satu pabrik buat barang ini menjadi pabrik buat menghasilkan barang lain.

Sesudahnya ditinjau kekuatan industri awak itu, cocokkanlah jumlah pekerja dengan jumlah industri yang ada atau akan diadakan.

Kemudian periksalah pula apakah ada pabrik lapuk. Yang saya maksudkan dengan pabrik lapuk itu, ialah pabrik yang lebih banyak memakai ongkos kalau dipakai dari pada merusakan pabrik itu sama sekali. Yang lapuk itu baik diruntuhkan saja. Anggaran ongkosnya pabrik-lapuk itu buat mengadakan hasil baik dipakai saja buat mendirikan pabrik baru.

Kita susun saja begini: Pabrik buat bangunan rumah, gedung, jembatan dan lain-lain. Pabrik buat perhiasan rumah, tikar, cat dinding dan sebagainya, jam, makanan, minuman dan sebagainya. Pabrik buat kain, benang-pencelupan dan lain-lain. Pabrik buat pengangkutan, kereta, oto, kapal air dan udara, baja, besi dan lain-lain. Tambang arang, minyak, besi, timah, tembaga, bausite dan sebagainya.

Pabrik obat-obatan dan lain-lain. Di Indonesia juga pabrik teh, kina, kopi, gula, karet dan lain-lain.

Cukuplah rasanya kita meninjau kekuatan-kekuatan industri awak. Jadi pabrik yang kurang ditambah dan pabrik yang menghasilkan lebih, dijual hasil lebihnya itu buat pembeli pabrik yang kurang. Sekarang tinjaulah permintaan (demand) berhubung dengan keperluan pembeli.

Ingatlah bahwa keperluan itu bertukar kalau takaran hidup itu bertukar pula.

Kalau seandainya gaji seseorang Cuma Rp. 0,50 sehari, bukankah yang dipikirkannya Cuma makanan saja? Kalau gajinya menjadi Rp. 2 ,– barulah dipikirkannya membeli kain. Kalau takaran-hidupnya bertambah pula barulah dia memikirkan membeli pulpen, speda, oto dan sebagainya. Sepadan dengan naiknya takaran-hidup setingkat demi setingkat bertukarlah keinginan dan keperluan si pembeli.

Memang, bermula sekali dipikirkan oleh si pembeli ialah barang yang paling dibutuhi. Kemudian baru dipikirkan membeli barang buat setengah kemewahan. Akhirnya barang buat kemewahan semata-mata.

Cuma ada satu lagi peninjauan ialah meninjau apakah barang yang dihasilkan industri-awak itu cukup ataukah tidak buat kita?

Jika perbedaan ongkos sesuatu barang yang awak bikin dengan harga pasarnya barang itu tetapi dimasukkan dari luar, lebih besar dari perbedaan ongkos awak dengan harga barang itu dipasar awak, maka baiklah barang itu dibikin di negara awak, walaupun ongkos pada permulaan membikinnya sedikit besar.

Kalau sebaliknya, bukankah ini berarti barang-barang itu, lantaran bermacam-macam sebab, tak mengandung harapan akan bisa kita bikin lebih murah dari barang aisng, walaupun pengalaman diperbanyak. Barangkali lantaran bahannya susah didapat, atau lain-lain sebab. Dalam hal nini, baiklah barang semacam itu kita datangkan dari luar negeri saja! Toh tak ada salahnya bertindak begitu asal saja cocok dengan undang-undang ekonomi ?

Manfaatnya juga banyak buat perhubungan baik antara satu negara dengan negara lain. Perdagangan itu adalah satu perkara yang merapatkan bangsa dengan bangsa, negara dan negara. Tak perlu semuanya barang itu kita sendiri yang membikin. Asal industri ibu sempurna ditangan kita, tak ada salahnya kalau hasil barang industri enteng kita datangkan dari luar. Yaitu kalau ongkos sendiri membikinnya akan terlampau tinggi dibanding dengan ongkos luar negeri. Tetapi baiklah jangan kita lanjutkan persoalan ini. Baiklah kita rundingkan sekarang perkara cara membagikan gaji. Penting bukan?

Bermula maka pembagian gaji itu boleh dijalankan atas dua macam: Pertama pada tingkat sosialisme yang sudah sampai ketingkat komunisme. Kedua pada tingkat sosialisme itu sendiri.

Pada tingkat komunisme: Tiap-tiap orang itu bekerja menurut kecakapannya, dan mengambil hasil usahanya menurut kebutuhannya.

Inilah tingkat tertinggi dan belum tampak akantercapainya tingkat ini. Tetapi sebagai pedoman hidup maka ideal, idaman pembagian secara komunistis itu perlu senantiasa dipercemin.

Tingkat ini kita capai, apabila kita sampai ketingkat sosialisme, ialah apabila semua alat penghasilan dalam masyarakat kapitalisme sudah dimiliki oleh masyarakat. Pada tingkat ini mungkin dipakai uang dan gaji dibayar “menurut kecakapan si pekerja”.

Jadi si pekerja masih menerima gaji. Tetapi mungkin pula pembagian itu sebagian berupa gaji yakni menurut kecakapan, dan sebagian lagi berupa “bagian sosial”.

Yang terakhir ini berarti bahwa pembagian itu rata buat orang dewasa serta rata pula buat kanak-kanak. Bagian ini ialah bagian tiap-tiap anggota masyarakat yang kera. Ini misalnya saja tiap-tiap negara sosialistis dalam keadaan istimewa boleh pula mengambil tindakan istimewa. Asal saja kita jangan lupa akan pedoman komunisme diatas.

Kita andaikan saja, kita memakai sistem-kembar ini, yakni sebagian dibayar sebagai gaji dan sebagian “bagian sosial”. Barangkali ini cocok dengan tingkat pertengahan (compromis).

Tetapi bagaimana menaksirnya?

Andaikan satu negara! Andaikan dalam negara itu ada 25.000.000 keluarga, terdiri dari ibu-bapa dan 2 orang anak belum balig.

Andaikan jumlah pencaharian negara itu setahun Rp. 4.500.000.000

Andaikan “bagian sosial” jumlahnya seharga Rp. 2.000.000.000.—

Andaikan buat kelunturan mesin setahun Rp. 500.000.000.—

Andaikan bunga uang dan sewa dihapuskan jadi 0.—

Untung yang dibagikan pada kapitalis sudah dihapuskan pula.

Jadi sisa buat gaji Rp. 2.000.000.000.—

Yang Rp. 2.000.000.000.— itulah yang akan dibagikan kepada pekerja menurut kecakapan, kepada 25.000.000 keluarga tadi.

Jadi gaji itu masih bertinggi berendah menurut kecakapan, bukan? Memang kalau tak begitu yang rajin jadi malas, sebab manusia sekarang masih mempunyai semangat perseorangan. Tetapi kalau hasil sudah melambung dan didikan sosialisme sudah lebih mendalam, maka sistem-gaji ini bisa dihapuskan sama sekali. Jadi nanti tiap-tiap pekerja akan menerima “bagian sosial”nya.

Tentangan suasana itu banyak persamaan Indonesia ini dengan Rusia. Pertama, Rusia tak mempusakai sistem parlementer. Indonesia juga tidak. Kedua, Rusia tidak mempunyai kelas-tengah yang kuat buat menghalang-halangi btindakan sosialistis. Pun Indonesia tidak mempunyai. Rusia boleh dikatakan tak mempunyai mesin induk. Demikianlah juga Indonesia.

Dasarnya rencana itu ialah mencocokkan produksi dengan konsumsi. Teknisnya meninjau keadaan: 1e. industri, 2e. kemesinan, 3e. gaji dan 4e. perdagangan luar negeri.

Baik dalam hal industri berat, ataupun dalam industri ringan kita banyak sekali kekurangan mesin. Barang bahan kita benar pula lebih dari cukup buat dijual diluar negeri. Jualan itu bisa dibelikan mesin yang kurang. Lagi pula perindustrian Indonesia sebagai pusaka dari imperialisme Belanda amat pincang. Pabrik buat barang dipakai seperti kain dan lain-lain baru pada tingkat permulaan. Tetapi tambang, pabrik dan kebun buat penghasilan barang yang dijual diluar negeri, seperti teh, kopi, gula, minyak, timah, emas dan lain-lain lebih dari pada cukup. Dibawah telapak serdadu Jepang banyak pula mesin yang dirusak atau diangkut keluar Indonesia.

Indonesia dan dunia luar seolah-olah dipisahkan dari jurang yang dalam dan lebar. Indonesia kekurangan mesin dan kain, tetapi kebanyak barang bahan. Dunia luar ada sanggup menjualkan mesin pada kita dan membutuhkan bahan dari kita. (Tetapi perniagaan sama sekali terhenti). Jurang tadi tak bisa atau belum bisa dijembatani selama Inggris-Nica menyerang Indonesia dan menghancur-leburkan kota Indonesia.

Rencana yang akan membawa kita kezaman sentosa ialah apabila kita sudah mempunyai industri berat, industri ibu. Apabila kita sudah mempunyai mesin membikin mesin, ialah mesin membikin lokomotif membikin mesin oto, kapal air dan kapal terbang, barulah boleh kita tidur dengan perasaan lebih aman dan meninggallkan anak cucu dan negara kita dengan hati aman-tenteram. Sebelumnya keadaan itu tercapai, belumlah berapa artinya sesuatu kemerdekaan, walaupun kita memperoleh kemerdekaan 100% yang kita tuntut itu.