Pemilihan Majelis Konstituante dan Kediktatoran Proletariat

V.I. Lenin (1919)


Ditulis pada 16 Desember, 1919

Pertama kali diterbitkan pada Desember 1919; diterbitkan sesuai dengan manuskrip.

Sumber: The Constituent Assembly Elections and The Dictatorship of the Proletariat. Lenin Collected Works Volume 30. Moscow, Progress Publishers, 1974. hal. 253-275.

Penerjemah: Ted Sprague (22 April, 2020)


Pengantar Penerjemah: Lenin dan Masalah Majelis Konstituante

Ted Sprague

 

Salah satu tuduhan utama yang kerap dilemparkan terhadap Lenin dan kaum Bolshevik adalah mereka anti-demokratik. Revolusi Oktober dinilai oleh para pengkritik demokrat kita yang terhormat ini sebagai sebuah kudeta oleh segelintir orang yang dipaksakan pada rakyat. Mereka akan menunjuk pada episode dibubarkannya Majelis Konstituante oleh kaum Bolshevik sebagai bukti tak terbantahkan. Namun, kalau kita sungguh memahami apa itu demokrasi, bukan hanya sebagai retorika kosong yang kerap digunakan untuk mengalihkan perhatian kita dari problem-problem konkret kehidupan, maka kita akan bisa memahami mengapa justru pembubaran Majelis Konstituante adalah aksi yang paling demokratik dari Revolusi Oktober.

Mari kita paparkan terlebih dahulu latar belakang Revolusi Rusia, yang tanpanya kita akan terombang-ambing.

Pada Februari 1917, rakyat pekerja Rusia bangkit memberontak dan menumbangkan rejim Monarki Tsar. Rakyat pekerja menuntut diakhirinya keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia I yang telah memakan korban jutaan. Kaum buruh menuntut roti dan kaum tani menuntut tanah. Untuk memenuhi tiga tuntutan utama ini – Perdamaian, Roti dan Tanah – mereka menginginkan terbentuknya sebuah republik demokratik, menggantikan monarki Tsar yang otoriter. Dalam kata lain, rakyat mendambakan demokrasi bukan untuk demokrasi semata, tetapi untuk mencapai tuntutan-tuntutan konkret yang menyentuh kehidupan mereka. Dari sinilah tuntutan diselenggarakannya Majelis Konstituante bermula.

Akan tetapi Revolusi Februari 1917 melakukan sesuatu yang melebihi penumbangan rejim Tsar. Revolusi ini melahirkan sebuah institusi demokratik kelas pekerja yang baru, yakni Soviet – yang dalam bahasa Rusia berarti Dewan. Kaum buruh, tani dan tentara (yang mayoritas adalah buruh dan tani yang direkrut untuk keperluan Perang Dunia) dengan spontan membentuk dewan-dewan di pabrik-pabrik, desa-desa, barak-barak, dan parit-parit perang, yang lalu menyatu menjadi satu organ nasional bernama Kongres Soviet Seluruh Rusia. Soviet-soviet ini menjadi saluran demokrasi rakyat pekerja dalam perjuangan mereka untuk memenuhi tuntutan Perdamaian, Roti dan Tanah. 

Di pabrik-pabrik, soviet mulai mendikte kebijakan para majikan. Tidak boleh lagi ada lembur tanpa bayaran. Gaji-gaji yang tidak dibayar langsung ditagih. Mandor yang sewenang-wenang langsung disingkirkan oleh soviet. Tidak boleh ada PHK tanpa persetujuan soviet. Semua yang terjadi di pabrik intinya harus didiskusikan dan disetujui oleh soviet. Para majikan pun menggerutu: “Pabrik ini sebenarnya milik siapa? Milik saya bukan?” Tetapi mereka tidak berdaya di hadapan buruh-buruh dalam soviet yang semakin percaya diri.

Di desa-desa, kaum tani miskin menggunakan soviet untuk melawan kaum tuan tanah. Mereka sita gandum yang ditumpuk oleh para tuan tanah dan bagikan di antara mereka. Mereka tolak harga sewa tanah tinggi yang mencekik petani. Dan bahkan dalam banyak kesempatan, mereka mulai menyita tanah milik tuan-tuan tanah besar untuk dibagi-bagikan. Soviet tani memulai reforma agraria dengan cara mereka sendiri.

Di barak-barak dan garis depan peperangan, para tentara membentuk soviet yang menjadi tandingan hierarki kedisiplinan militer. Komandan-komandan militer yang lama – yang dibenci oleh para tentara bawahan – dipaksa turun dan digantikan oleh perwakilan terpilih dari soviet. Bila ada komandan yang mencoba mengirim batalionnya ke garis depan, tiba-tiba terjadi “kecelakaan” dimana sang komandan mati “tertembak peluru musuh.” Komandan yang terkenal kejam langsung dieksekusi oleh soviet tentara. Kedisiplinan militer yang lama – yang digunakan untuk mengirim rakyat pekerja ke ladang pembantaian perang – ambruk di hadapan demokrasi soviet. Tentara menginginkan perdamaian. Mereka ingin pulang dan kembali mencangkul sawah mereka. 

Lewat Soviet, untuk pertama kalinya jutaan rakyat pekerja masuk ke arena sejarah, terlibat dalam politik, dan menentukan nasib mereka sendiri. Mereka berkumpul, mendiskusikan problem-problem mereka, menformulasikan solusi, dan memutuskan secara kolektif aksi-aksi untuk menerapkan solusi-solusi tersebut. Di sini kita bisa melihat bahwa soviet adalah institusi demokratik yang jauh lebih unggul dibandingkan semua institusi demokratik yang ada sampai hari ini. Soviet melibatkan massa dengan lebih luas, lebih fleksibel, dan lebih dinamis dibandingkan “pesta-pesta demokrasi lima-tahunan” dan parlemen yang diisi politisi-politisi profesional.

Namun rakyat pekerja masih belum sepenuhnya memahami arti sesungguhnya dari Soviet-soviet yang mereka bentuk ini. Mereka masih memiliki ilusi terhadap bentuk demokrasi yang lama, yakni parlementerisme borjuis. Inilah mengapa, bersandingan dengan keberadaan soviet-soviet, rakyat pekerja juga mengedepankan tuntutan diselenggarakannya Majelis Konstituante, dengan pemilihan umum yang akan memilih anggota-anggota Majelis Konstituante layaknya pemilu-pemilu di banyak negeri demokrasi Barat lainnya.

Ilusi parlementer di antara kaum buruh ini bersumber terutama dari kaum intelektual borjuis kecil yang mendominasi kepemimpinan soviet pada periode awal. Mereka adalah kaum sosialis dari partai Menshevik dan Sosialis Revolusioner (SR). Pada periode awal revolusi, Lenin dan kaum Bolshevik hanyalah minoritas dalam soviet, walaupun mereka punya posisi kuat di sentra-sentra industri besar di Petrograd. Perimbangan kekuatan ini berubah dalam 8 bulan, dan pada bulan Oktober Bolshevik telah menjadi mayoritas dalam soviet-soviet.

Pada saat bersamaan ketika rakyat pekerja membentuk soviet-soviet setelah mereka menumbangkan Tsar, kaum liberal borjuis membentuk Pemerintahan Provisional (Pemerintahan Sementara) untuk mengisi kevakuman kekuasaan. Pemerintahan Provisional ini tidak memiliki mandat dari rakyat. Para menteri dalam Pemerintahan Provisional ini tidak dipilih rakyat, tetapi hanyalah politisi-politisi liberal yang menunjuk diri mereka sendiri. Pemerintahan Provisional ini hanya bisa eksis karena rakyat pekerja belum memahami apa arti soviet yang telah mereka dirikan. Selain itu, para pemimpin Menshevik dan SR dalam soviet justru memberikan dukungan mereka terhadap keberadaan Pemerintahan Provisional karena mereka terus berkubang dalam ilusi parlementerisme borjuasi mereka.

Kita saksikan di sini periode Kekuasaan Ganda, antara Soviet di satu sisi dan Pemerintahan Provisional di sisi lain. Rakyat pekerja belum memahami kalau kekuasaan sesungguhnya sudah ada di tangan mereka lewat soviet-soviet, sehingga mereka membiarkan keberadaan Pemerintahan Provisional, yang dalam setiap langkahnya mencoba menghancurkan kekuasaan soviet. Dalam pertarungan antara dua kekuasaan ini, para pemimpin soviet dari kubu Menshevik dan SR terus berpihak pada Pemerintahan Provisional. Sebaliknya, kaum Bolshevik dalam soviet terus mempropagandakan slogan “Semua Kekuasaan untuk Soviet!”, bahwa sesungguhnya buruh, tani dan tentara bisa mengambil kekuasaan ke dalam tangan mereka lewat soviet-soviet.

Salah satu tuntutan rakyat pekerja adalah diselenggarakannya pemilu untuk memilih Majelis Konstituante, yang mereka harapkan dapat menjadi sarana demokrasi untuk pemenuhan tuntutan Perdamaian, Roti dan Tanah. Namun Pemerintahan Provisional – dan juga para pemimpin Soviet Menshevik/SR – terus menunda penyelenggaraan Majelis Konstituante, karena mereka paham kalau lewat Majelis Konstituante ini rakyat akan menuntut dipenuhinya dengan segera[!] Perdamaian, Roti, dan Tanah. 

Pada kenyataannya Pemerintahan Provisional mewakili kepentingan kaum kapitalis dan tuan tanah. Roti dan tanah adalah dua hal yang tidak bisa mereka berikan pada rakyat pekerja. Kaum kapitalis dan tuan tanah juga terikat pada kepentingan modal asing – terutama negeri-negeri Sekutu – dan oleh karenanya seperti kerbau yang dicocok hidungnya harus mematuhi perintah Tuan-tuan Besarnya di Prancis dan Inggris untuk turut terlibat dalam Perang Dunia I. Kelas penguasa Rusia juga punya ambisi imperialis mereka sendiri untuk mencaplok wilayah-wilayah di Mediterania dan perbatasan Rusia-Jerman.

Ada kontradiksi yang tampaknya kacau balau dalam Revolusi Rusia. Rakyat telah membangun satu institusi demokratik yang paling mutakhir, yakni Soviet. Lewat Soviet rakyat telah memegang kekuasaan di tangannya. Tetapi pada saat yang sama mereka membiarkan keberadaan Pemerintahan Provisional dan juga mengharapkan diselenggarakannya Majelis Konstituante, sebuah institusi demokratik yang jelas lebih inferior dibandingkan Soviet. Demikianlah laju kesadaran kelas, yang tidak bergerak dalam satu garis lurus. Revolusi memang bukan sebuah peristiwa yang rapi dan apik. Mereka-mereka yang mengharapkan Revolusi yang apik akan menunggu selamanya untuk Revolusi macam ini.

Tugas kaum revolusioner oleh karenanya adalah menjelaskan dengan sabar apa arti Soviet kepada rakyat pekerja. Inilah yang dilakukan oleh Lenin dan kaum Bolshevik lewat slogannya “Semua kekuasaan untuk Soviet”. Kaum Bolshevik menemani rakyat dengan sabar, agar lewat pengalaman mereka sendiri rakyat dapat memahami kalau Soviet adalah satu-satunya bentuk demokrasi yang sejati, dan bahwa mereka tidak memerlukan Pemerintahan Provisional ataupun Majelis Konstituante.

Namun ini tidak berarti Lenin mencampakkan tuntutan Majelis Konstituante, karena ini masih merupakan bagian dari tuntutan rakyat. Bagi rakyat pada saat itu, penyelenggaraan Majelis Konstituante terkait dengan pemenuhan aspirasi mereka untuk Perdamaian, Roti dan Tanah. Selain itu Lenin memahami bahwa tuntutan Majelis Konstituante menelanjangi kemunafikan Pemerintahan Provisional dan juga Menshevik dan SR, yang menjanjikan penyelenggaraannya tetapi terus menundanya.

Demikian yang ditulis Lenin di Tesis April-nya yang terkenal itu:

“Saya mengkritik Pemerintahan Provisional karena mereka tidak menetapkan tanggal yang lebih awal, atau bahkan tidak menetapkan tanggal sama sekali, untuk penyelenggaraan Majelis Konstituante, dan hanya berjanji saja. Saya berargumen kalau tanpa Soviet Deputi Buruh dan Tentara penyelenggaraan Majelis Konstituante tidaklah terjamin dan keberhasilannya akan mustahil.” (V.I. Lenin. Tesis April. 7 April, 1917)

Kita lihat di sini bagaimana Lenin menempatkan Soviet di atas Majelis Konstituante, bahwa tanpa Soviet maka Majelis Konstituante tidak akan terjamin dan mustahil keberhasilannya. “Semua kekuasaan untuk Soviet” oleh karenanya menjadi fondasi bagi Revolusi Rusia.

Lenin bahkan mengatakan kepada para pemimpin Menshevik dan SR yang saat itu mendominasi Soviet untuk mengambil kekuasaan lewat Soviet, dan kaum Bolshevik siap menjadi oposisi minoritas. Tetapi kaum Menshevik dan SR terlalu pengecut untuk melakukan ini. Mereka terus mengekor Pemerintahan Provisional.

Hari demi hari, setelah menyaksikan dengan mata mereka sendiri bagaimana Pemerintahan Provisional, serta para pemimpin Menshevik dan SR, tidak akan memenuhi tuntutan-tuntutan mereka, rakyat semakin memahami makna program dan slogan Bolshevik “Semua kekuasaan untuk Soviet”. Dukungan rakyat terhadap Bolshevik dalam Soviet terus meningkat, sementara SR dan Menshevik mulai ditinggalkan rakyat. Sampai akhirnya pada 25 Oktober, 1917, rakyat lewat Soviet -- di bawah kepemimpinan Bolshevik -- merebut kekuasaan dan menumbangkan Pemerintahan Provisional.

Pemerintahan Soviet yang baru ini segera bekerja dengan mengeluarkan dua dekrit pada hari yang sama:

1) Dekrit Perdamaian: “Pemerintah buruh dan tani, yang dibentuk oleh Revolusi pada 24-25 Oktober dan mendasarkan dirinya pada Soviet  Deputi Buruh, Tentara dan Tani, menyerukan kepada seluruh rakyat yang kini sedang berperang dan pemerintahan-pemerintahan mereka untuk memulai perundingan segera untuk perdamaian yang adil dan demokratik. … yakni perdamaian segera tanpa aneksasi.” 

2) Dekrit Tanah: “Kepemilikan pribadi atas tanah mulai dari sekarang akan dihapus untuk selama-lamanya; tanah tidak boleh diperjual-belikan, disewa, dihipotekkan, atau diasingkan. Semua tanah, entah milik negara, monarki, biara, gereja, pabrik, warisan, swasta, publik, tani, dll. akan disita tanpa ganti rugi dan menjadi milik seluruh rakyat, dan akan digunakan oleh semua yang menggarapnya.”

Dengan dua dekrit ini, tuntutan utama rakyat pekerja menjadi kenyataan di bawah kekuasaan Soviet. Di hari-hari berikutnya sejumlah dekrit lainnya diterbitkan: 8 jam kerja, kontrol buruh, nasionalisasi perbankan, hak kaum perempuan, dsb. Perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan buruh dan tani segera menyusul Revolusi Oktober.

Namun kontradiksi dalam laju kesadaran kelas belumlah terselesaikan. Pertama, Revolusi Oktober praktis dimulai di Petrograd, dimana lapisan rakyat pekerja Rusia yang paling maju -- yakni buruh Petrograd -- mengambil langkah pertama untuk merealisasikan “Semua kekuasaan untuk Soviet.” Namun Rusia bukan Petrograd saja, dan sesungguhnya Petrograd hanyalah bagian kecil dari seluruh Rusia, tetapi bagian kecil yang paling penting dan krusial dalam perpolitikan. Revolusi Oktober masih harus menyebar ke provinsi-provinsi, ke desa-desa di antara kaum tani, ke garis depan peperangan di antara tentara, ke seluruh pelosok Rusia sampai ke kedinginan Siberia yang paling terpencil. Akan tetapi, sekali saja rakyat pekerja di pelosok-pelosok mendengar kabar kemenangan Soviet di Petrograd mereka segera mengikuti langkah Petrograd: membubarkan pemerintahan setempat dan menaruh soviet-soviet mereka sebagai pemangku kekuasaan yang baru. Seperti api liar, gelombang Revolusi Oktober menyebar ke seantero Rusia, tidak dengan merata, tidak dengan intensitas yang sama, tetapi yang pasti ia menyebar dan menjungkirbalikkan tatanan yang ada.

Karena Rusia bukan Petrograd saja, maka kesadaran kelas rakyat pekerja juga bukanlah satu blok yang homogen. Kaum tani, terutama, masih memiliki ilusi terhadap Majelis Konstituante dan masih belum memahami secara penuh arti dari kemenangan Soviet. Setelah Pemerintahan Provisional yang menjadi penghalang diselenggarakannya Majelis Konstituante roboh, kaum tani melihat ini sebagai kesempatan untuk akhirnya memiliki Majelis Konstituante, walaupun yang menghancurkan penghalang ini adalah Soviet, sebuah institusi demokratik yang lebih dekat dengan kaum tani itu sendiri. Rakyat pekerja masih harus melihat dengan mata mereka sendiri superioritas Soviet di atas Majelis Konstituante.

Pada 12 November, 1917, pemilu Majelis Konstituante diselenggarakan. Lenin menjelaskan pada rakyat pekerja dan memberi peringatan bahwa:

“Majelis Konstituante, yang diselenggarakan berdasarkan daftar kandidat partai yang diserahkan sebelum revolusi proletariat-tani dan di bawah kekuasaan borjuis, niscaya akan berbenturan dengan kehendak dan kepentingan kelas-kelas tertindas, yang pada 25 Oktober memulai revolusi sosialis melawan kelas borjuasi ... Satu-satunya kesempatan untuk mengamankan solusi yang mulus untuk krisis yang telah muncul karena jurang pemisah antara pemilu Majelis Konstituante di satu sisi dan kehendak dan kepentingan kelas pekerja tertindas di sisi lain adalah dengan secepat-cepatnya memberi rakyat hak seluas-luasnya untuk memilih kembali anggota-anggota Majelis Konstituante. Majelis Konstituante ini harus menerima undang-undang pemilu yang ditelurkan oleh Komite Eksekutif Sentral, memproklamirkan kalau mereka akan mengakui sepenuhnya kekuasaan Soviet, revolusi Soviet, dan kebijakannya mengenai masalah perdamaian, tanah, dan kontrol buruh.” (V.I. Lenin. Tesis Mengenai Majelis Konstituante. 11 Desember, 1917)

Hasil pemilu Majelis Konstituante memberi Bolshevik ~24% suara (mayoritas buruh), Partai Sosialis-Revolusioner ~50% suara (mayoritas tani), dan sisanya terbagi antara Menshevik, Kadet, dan partai-partai kecil lainnya. Hasil ini tidak sesuai dengan perimbangan kekuatan politik yang sesungguhnya karena: 1) Daftar kandidat yang digunakan adalah berdasarkan daftar lama yang diserahkan sebelum Revolusi Oktober, sehingga tidak merefleksikan perpecahan dalam SR menjadi Kiri dan Kanan. Mayoritas kandidat SR yang terpilih adalah kandidat Kanan yang anti-Soviet, sementara SR sesungguhnya sudah bergeser jauh ke kiri dan mendukung Soviet; 2) Berita kemenangan Revolusi Oktober dan Soviet masih terbatas di kota-kota besar. Ini tercerminkan dalam jumlah suara yang diterima Bolshevik, dimana mereka mendapatkan hasil terbaik mereka di sentra-sentra industri dan wilayah sekitarnya, di front-front perang yang dekat dengan kota-kota besar, dan di desa-desa sepanjang rel kereta api.

Jurang pemisah antara Majelis Konstituante dan Revolusi Oktober akhirnya terpampang jelas di mata rakyat pekerja, terutama kaum tani, pada hari pertama – dan hari satu-satunya – rapat Majelis Konstituante pada 5 Januari 1918. Perwakilan Bolshevik dan SR Kiri mengajukan resolusi agar Majelis Konstituante meratifikasi kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh Soviet (Dekrit Perdamaian, Dekrit Tanah, Dekrit Hak Bangsa Menentukan Nasib Sendiri, dsb.), dan ini ditolak Majelis Konstituante dengan 237 suara melawan 138 suara. Dengan tindakan ini, menjadi jelas bahwa Majelis Konstituante tidak ingin mengakui Soviet dan pencapaian-pencapaian Revolusi Oktober. Perwakilan Bolshevik dan SR Kiri melakukan walkout. Perwakilan lainnya terus berdebat sampai dini hari, sampai akhirnya seorang kelasi Anarkis Zhelezniakov menyuruh mereka semua pulang karena “para penjaga sudah letih.” Para perwakilan ini pun bubar dengan kepala tertunduk, dan tak akan pernah lagi kembali.

Dengan gertakan seorang buruh-tentara, berakhirlah parlementerisme borjuis dalam wujud Majelis Konstituante ini. Tidak ada seorangpun dari 40 juta buruh, tani dan tentara, yang sebelumnya mencoblos kertas suara pemilu Majelis Konstituante yang peduli untuk membela badan ini. Dari hari pemilu Majelis Konstituante pada 12 November, 1917, sampai pada pembukaannya pada 5 Januari, 1918, dua bulan berlalu, tetapi ini tidak berlalu begitu saja. Dalam waktu yang pendek tersebut, kabar kemenangan Soviet menyebar ke seantero Rusia. Buruh dan tani, lewat pengalaman konkret mereka, akhirnya memahami apa arti Soviet. Benturan antara Majelis Konstituante dan kehendak Soviet segera membangunkan rakyat pekerja dari ilusi parlementerisme borjuis yang telah menipu mereka.

Kepemimpinan Bolshevik, yaitu lapisan pelopor proletariat, adalah elemen yang krusial untuk menghancurkan ilusi ini. Sejak awal kaum Bolshevik telah dengan sabar dan tegas terus menjelaskan kepada rakyat pekerja mengenai keunggulan Soviet, atau demokrasi buruh, di atas Majelis Konstituante, atau demokrasi borjuis. Tidak hanya menjelaskan, mereka juga mengambil langkah konkret memimpin perebutan kekuasaan oleh Soviet, dan dengan demikian merealisasikan slogan “Semua kekuasaan untuk Soviet”. Lewat Soviet, Lenin dan kaum Bolshevik langsung menerapkan kebijakan-kebijakan yang menjawab problem-problem mendesak yang dihadapi oleh seluruh strata rakyat pekerja, terutama lapisan semi-proletar dan non-proletar. Dengan langkah ini kaum proletar menunjukkan kepada seluruh rakyat bahwa Soviet adalah instrumen kekuasaan buruh yang serius, tegas, dan sigap dalam mengubah kondisi kehidupan rakyat miskin, sementara parlemen borjuis (entah Pemerintahan Provisional atau Majelis Konstituante) hanyalah tempat debat kusir, yang terus menipu dan meninabobokan mereka.

Seperti yang dijelaskan oleh Lenin:

“Kaum proletariat harus terlebih dahulu menumbangkan kaum borjuasi dan memenangkan untuk dirinya kekuasaan negara, dan kemudian menggunakan kekuasaan negara tersebut, yakni, kediktatoran proletariat, sebagai instrumen kelasnya demi tujuan memenangkan simpati mayoritas rakyat pekerja. ... Beberapa jam setelah kemenangan atas kaum borjuasi di Petrograd, kaum proletariat yang menang menerbitkan “dekrit tanah”, dan lewat dekrit tersebut kaum proletariat dengan sepenuhnya, dengan segera, dengan kecepatan, energi dan pengabdian revolusioner, memenuhi semua kebutuhan ekonomi yang paling mendesak dari mayoritas kaum tani, mengekspropriasi kaum tuan tanah, dengan sepenuhnya dan tanpa ganti rugi.” (V.I. Lenin. Pemilihan Majelis Konstituante dan Kediktatoran Proletariat. 16 Desember, 1919)

Kemunafikan Partai Menshevik, SR, dan Kadet terpampang pula. Sebelum Revolusi Oktober mereka terus menunda penyelenggaraan Majelis Konstituante. Mereka terus menunda memberikan roti pada buruh, tanah bagi tani, dan perdamaian bagi semua rakyat pekerja. Bahkan Partai Kadet mendukung usaha kudeta militer Kornilov. Mereka lebih memilih kediktatoran militer daripada demokrasi. Namun setelah Revolusi Oktober, yakni setelah mereka kehilangan kekuasaan, mereka tiba-tiba mendambakan Majelis Konstituante. Ini karena sekarang mereka melihat Majelis Konstituante sebagai peluang untuk merebut kembali kekuasaan yang telah direnggut oleh Soviet di bawah Bolshevik.

Pada saat yang sama, perjuangan kelas telah melampaui norma-norma demokrasi borjuis ketika Jendral Kaledin, pada November 1917, memimpin pemberontakan militer melawan otoritas Soviet. Bahkan sebelum Majelis Konstituante bertemu, kekuatan-kekuatan militer Tentara Putih mulai dimobilisasi oleh kelas penguasa untuk meremukkan Soviet. Kelas penguasa telah mencampakkan demokrasi, dan hanya para intelektual borjuis kecil dan kaum reformis yang masih bermimpi mengenai revolusi yang rapi, dengan parlemennya yang sempurna dan terhormat.

Pada akhirnya, pembubaran Majelis Konstituante adalah hasil tak terelakkan dari pertarungan antara demokrasi buruh dan demokrasi borjuis. Mengakui keabsahan Majelis Konstituante berarti menafikan demokrasi buruh yang telah terekspresikan lewat Soviet dan Revolusi Oktober. Rakyat pekerja, setelah menguji Majelis Konstituante dan menilainya tidak sesuai dengan kehendak dan harapannya, dengan tanpa ragu-ragu membuang Majelis Konstituante ini ke tong sampah sejarah. Dengan ini, dibukalah babak baru dalam sejarah umat manusia: usaha pertama kelas pekerja untuk membangun demokrasi buruh dan masyarakat sosialis.

Ted Sprague,

22 April, 2020

 


Simposium yang diterbitkan oleh kaum Sosialis Revolusioner, A Year of the Russian Revolution. 1917-18 (Moskow, Zemlya i Volya Publishers, 1918) memuat sebuah artikel yang menarik oleh N.V. Svyatitsky: “Hasil Pemilihan Majelis Konstituante Seluruh-Rusia (Pengantar)”. Penulis artikel memaparkan hasil dari 54 daerah pemilihan dari total 79.

Survei yang dilakukan oleh penulis mencakup hampir seluruh gubernia Rusia-Eropa dan Siberia. Hanya gubernia-gubernia berikut yang tidak diikutsertakan: Olonets, Estonia, Kaluga, Bessarabia, Podolsk, Orenburg, Yakut dan Don.

Pertama-tama saya akan mengutip hasil-hasil pemilu utama yang diterbitkan oleh N.V. Svyatitsky dan lalu mendiskusikan kesimpulan politik yang dapat ditarik darinya,

I

Total jumlah suara dari 54 dapil pada November 1917 adalah 36.262.560. Penulis mencantum total suara 36.257.960 yang tersebar di tujuh wilayah (plus Angkatan Darat dan Angkatan Laut), tetapi angka-angka yang dia cantum untuk berbagai partai jumlahnya sama dengan yang saya berikan.

Distribusi suara seturut partai adalah sebagai berikut: Partai Sosialis-Revolusioner Rusia meraih 16,5 juta suara; bila kita tambahkan suara yang terkumpul oleh kaum Sosialis-Revolusioner di bangsa-bangsa lain (Ukraina, bangsa-bangsa Muslim, dan sebagainya), totalnya adalah 20,9 juta, atau 58 persen.

Partai Menshevik meraih 668,064 suara, tetapi bila kita tambahkan suara yang terkumpul dari kelompok-kelompok serupa seperti Sosialis Popular (312.000), Yedinstvo (25.000), Co-operators (51.000), kaum Sosial-Demokrat Ukraina (95.000), kaum sosialis Ukraina (507.000), kaum sosialis Jerman (44.000) dan kaum sosialis Finlandia (14.000), jumlah totalnya adalah 1,7 juta.

Partai Bolshevik meraih 9.023.963 suara.

Partai Kadet meraih 1.856.639 suara. Dengan menambahkan suara dari Asosiasi Pemilik Tanah dan Tuan Tanah Pedesaan (215.000), kelompok-kelompok Kanan (292.000), Old Believers (73.000), kaum nasionalis Yahudi (550.000), kaum Muslimin (576.000), kaum Bashkir (195.000), Latvia (67.000), Polandia (155.000), Cossack (79.000), Jerman (130.000), Byelorussia (12.000) – dan “berbagai kelompok dan organisasi lain-lain” (418.000), maka total suara untuk partai-partai kaum tuan tanah dan borjuasi adalah 4,6 juta.

Kita tahu bahwa Sosialis-Revolusioner dan Menshevik membentuk sebuah blok selama periode revolusi dari Februari dan Oktober 1917. Terlebih lagi, seluruh perkembangan peristiwa selama periode tersebut dan sesudahnya menunjukkan bahwa kedua partai tersebut mewakili demokrasi borjuis-kecil, yang keliru membayangkan dirinya dan memanggil dirinya sosialis, seperti semua partai di Internasional Kedua.

Kalau kita kumpulkan semua suara dari tiga kelompok partai dalam Majelis Konstituante, kita dapati total berikut:

Partai Proletariat (Bolshevik)

9,02 juta = 25%

Partai Demokrasi Borjuis-Kecil (Sosialis-Revolusioner, Menshevik, dll.)

22,62 juta = 62%

Partai Kaum Tuan Tanah dan Borjuis (Kadet, dll.)

4,62 juta = 13%

Total

36,26 juta = 100%

Demikian hasil pemilu berdasarkan wilayah yang dilaporkan oleh N.V. Svyatitsky:

Jumlah Suara (Ribuan)

Wilayah [*] (dan angkatan bersenjata secara terpisah)

S.R.

%

Bolshevik

%

Kadet

%

Total

Utara

1140,0

38

1172,2

40

393,3

13

2975,1

Pusat-Industrial

1987,9

38

2305,6

44

550,2

10

5242,5

Volga-Tanah Hitam

4733,9

70

1115,6

16

267,0

4

6764,3

Barat

1242,1

43

1282,2

44

48,1

2

2961,0

Timur-Ural

1547,7

43 (62) [**]

443,9

12

181,3

5

3583,5

Siberia

2094,8

75

273,9

10

87,5

3

2786,7

Ukraina

1878,1

25 (77) [***]

754,0

10

277,5

4

7581,3

Angkatan Darat dan Angkatan Laut

1885,1

43

1671,3

38

51,9

1

4363,6

* Penulis membagi Rusia ke dalam wilayah-wilayah yang bukan seperti biasanya. Utara: Archangel, Vologda, Petrograd, Novgorod, Pskov, Baltic. Pusat-Industrial: Vladimir, Kostroma, Moscow, Nizhni-Novgorod, Ryazan, Tula, Tver Yaroslavl. Volga-Tanah Hitam: Astrakhan, Voronezh, Kursk, Orel Penza Samara, Saratov, Simbirsk, Tambov. Barat: Vitebsk, Minsk, Mogilev, Smolensk. Timur-Ural: Vyatka, Kazan, Perm, Ufa. Siberia: Tobolsk, Tomsk, Altai, Yeniseisk, Irkutsk, Transbaikal, Amur. Ukraina: Volhynia, Ekaterinoslav, Kiev, Poltava, Taurida, Kharkov, Kherson, Chernigov.

** Svyatitsky mendapatkan angka dalam tanda kurung, 62 persen, dengan menambahkan suara dari kaum Muslim dan Sosialis-Revolusioner Chuvash.

*** Angka dalam tanda kurung, 77 persen, adalah dari saya, yang didapatkan dari menambahkan suara kaum Sosialis-Revolusioner Ukraina.

Dari data ini kita bisa melihat dengan jelas bahwa selama pemilihan Majelis Konstituante Bolshevik adalah partainya proletariat dan Sosialis-Revolusioner partainya kaum tani. Di distrik-distrik yang sepenuhnya tani, Rusia-Raya (Volga-Tanah Hitam, Siberia, Timur-Ural) dan Ukraina, Partai Sosialis-Revolusioner meraih 62-77 persen. Di sentra-sentra industri Partai Bolshevik meraih mayoritas di atas Partai Sosialis-Revolusioner. Mayoritas ini tidak diberi perhatian yang memadai oleh N.V. Svyatitsky dalam data-data distrik yang dipaparkannya, karena dia menggabungkan distrik yang sangat terindustrialisasi dengan wilayah-wilayah yang industrinya kecil dan yang tidak memiliki industri. Misalnya, data suara gubernia yang diraih oleh partai Sosialis-Revolusioner, Bolshevik, dan Kadet, dan oleh “kelompok-kelompok nasional dan lainnya” menunjukkan ini:

Di Wilayah Utara, mayoritas Bolshevik tampaknya tidak signifikan: 40 persen dibanding 38 persen. Tetapi di wilayah ini, daerah-daerah non-industrial (gubernia Archangel, Vologda, Novgorod, dan Pskov), dimana kaum Sosialis-Revolusioner mendominasi, digabungkan dengan daerah-daerah industrial: Kota Petrograd – Bolshevik 45 persen (suara), Sosialis-Revolusioner 16 persen; Gubernia Petrograd – Bolshevik 50 persen, Sosialis-Revolusioner 26 persen; Baltik – Bolshevik 72 persen, Sosialis Revolusioner 0 persen.

Di Wilayah Pusat-Industrial, Partai Bolshevik di Gubernia Moskow meraih 56 persen dan Partai Sosialis-Revolusioner 25 persen; di Kota Moskow, Bolshevik meraih 50 persen dan Sosialis-Revolusioner 8 persen; di Gubernia Tver, Bolshevik meraih 54 persen dan Sosialis-Revolusioner 39 persen; di Gubernia Vladimir, Bolshevik meraih 56 persen dan Sosialis-Revolusioner 32 persen.

Mari kita catat, sekilas saja, betapa konyolnya di hadapan fakta demikian semua celoteh mengenai Bolshevik yang katanya hanya memiliki “minoritas” proletariat di belakang mereka! Dan kita dengar celoteh macam ini dari mulut kaum Menshevik (668.000 suara, dan dengan tambahan 700.000-800.000 suara dari Kaukasus Selatan, dibandingkan 9.000.000 suara yang diraih oleh kaum Bolshevik), dan juga dari mulut para pengkhianat-sosial dari Internasionale Kedua.

II

Bagaimana keajaiban ini bisa terjadi? Bagaimana kaum Bolshevik, yang meraih seperempat suara, dapat mengalahkan kaum demokrat borjuis-kecil, yang beraliansi (berkoalisi) dengan kaum borjuasi, dan yang bersama dengan kaum borjuasi meraih tiga-perempat suara?

Untuk menyangkal kemenangan ini, setelah Entente[1] yang maha-kuat itu telah membantu musuh-musuh Bolshevisme selama dua tahun, adalah jelas konyol.

Kebencian politik yang fanatik dari mereka-mereka yang telah dikalahkan, termasuk semua pendukung Internasional Kedua, mencegah mereka untuk bahkan mengajukan secara serius pertanyaan politik dan sejarah yang sangatlah menarik ini: mengapa kaum Bolshevik bisa menang? Kemenangan Bolshevik adalah sebuah “keajaiban” hanya dari sudut pandang demokrasi borjuis-kecil. Oleh pertanyaan ini dan jawabannya, demokrasi borjuis-kecil terekspos bodoh bukan kepalang dan penuh prasangka yang begitu mengakar.

Dari sudut pandang perjuangan kelas dan sosialisme, dari sudut pandang itu, yang telah dicampakkan oleh Internasional Kedua, jawaban untuk pertanyaan ini tidak bisa disangkal.

Partai Bolshevik bisa menang terutama karena mereka disokong oleh mayoritas luas proletariat, yang meliputi lapisan yang paling sadar-kelas, energetik, dan revolusioner dari kelas yang maju tersebut, yakni lapisan pelopornya yang sejati.

Kita ambil contohnya saja dari dua kota metropolitan, Petrograd dan Moskow. Total jumlah suara yang terkumpul untuk pemilihan Majelis Konstituante adalah 1.765.100, yang mana Partai Sosialis Revolusioner meraih 218.000, Bolshevik 837.000, dan Kadet 515.400.

Tidak peduli sekeras apa kaum demokrat borjuis-kecil yang menyebut diri mereka sosialis dan Sosial-Demokrat (orang-orang seperti Chernov, Martov, Kautsky, Longuet, MacDonald, dkk.) menepuk dada mereka dan sujud pada Dewi “kesetaraan”, “hak pilih universal”, “demokrasi”, “demokrasi murni”, atau “demokrasi konsisten”, ini tidak akan mengubah fakta ekonomi dan politik akan adanya ketimpangan antara kota dan desa.

Ini adalah fakta yang niscaya di bawah kapitalisme umumnya, dan dalam periode transisi dari kapitalisme ke komunisme khususnya.

Kota tidak bisa setara dengan desa. Desa tidak bisa setara dengan kota di bawah kondisi-kondisi historis pada epos ini. Kota niscaya memimpin desa. Desa niscaya mengikuti kota. Satu-satunya pertanyaan adalah kelas mana, di antara kelas-kelas “urban”, yang akan berhasil memimpin desa, yang akan mampu melaksanakan tugas ini, dan apa bentuk yang akan diambil oleh kepemimpinan oleh kota ini?

Pada November 1917, Partai Bolshevik memiliki mayoritas luas proletariat di belakang mereka. Pada saat itu, partai yang bersaing dengan Bolshevik di antara kaum proletariat, yakni partai Menshevik, telah sepenuhnya dikalahkan (9 juta suara dibandingkan 1,4 juta, bila kita jumlah totalkan 668.000 dan 700.000-800.000 dari Kaukasus Selatan). Terlebih lagi, partai tersebut kalah selama lima belas tahun perseteruan Bolshevik-Menshevik (1903-17), yang memperkuat, mendidik dan mengorganisir lapisan pelopor proletariat, dan menempanya menjadi pelopor revolusioner yang sejati. Selain itu, revolusi yang pertama, yakni Revolusi 1905, mempersiapkan perkembangan selanjutnya, menentukan secara praktis relasi antara kedua partai tersebut, dan menjadi geladi resik untuk peristiwa-peristiwa besar 1917-19.

Kaum demokrat borjuis-kecil yang menyebut diri mereka kaum sosialis Internasional Kedua gemar menyangkal masalah historis yang teramat penting ini dengan kata-kata manis mengenai pentingnya “persatuan” proletariat. Ketika mereka menggunakan kata-kata manis ini mereka melupakan fakta historis akumulasi oportunisme dalam gerakan kelas buruh selama 1871-1914; mereka lupa (atau tidak ingin) memikirkan mengenai sebab musabab keruntuhan oportunisme pada Agustus 1914, mengenai sebab musabab perpecahan sosialisme internasional pada 1914-17.

Kecuali kalau lapisan revolusioner kelas proletariat sepenuhnya siap untuk menendang keluar dan memberangus oportunisme dengan cara apapun, maka tidak ada gunanya bahkan berpikir mengenai kediktatoran proletariat. Inilah pelajaran dari Revolusi Rusia yang harus diresapi dalam-dalam oleh para pemimpin Sosial-Demokrat “Independen” Jerman,[2] kaum sosialis Prancis, dsb., yang kini ingin menghindari masalah ini dengan cara mengakui secara verbal kediktatoran proletariat.

Mari kita lanjutkan. Partai Bolshevik memiliki di belakang mereka tidak hanya mayoritas proletariat, tidak hanya kaum pelopor revolusioner proletarian yang telah ditempa oleh perjuangan yang panjang dan gigih dalam melawan oportunisme; mereka memiliki, bila kita diperbolehkan untuk menggunakan kosakata militer, sebuah “kekuatan serangan” yang kuat di kota-kota metropolitan.

Superioritas kekuatan yang sangat besar di titik yang menentukan dan pada momen yang menentukan – “hukum” keberhasilan militer ini juga adalah hukum keberhasilan politik, terutama selama perang kelas yang sengit dan bergelora itu, yang disebut revolusi.

Ibukota, atau, umumnya, sentra-sentra komersial dan industri besar (di sini di Rusia keduanya ada di kota yang sama, tetapi tidak begitu di semua tempat), secara besar menentukan nasib politik sebuah bangsa, dengan syarat tentunya kalau sentra-sentra ini didukung oleh kekuatan lokal dan pedesaan yang memadai, bahkan bila dukungan tersebut tidak tiba dengan segera.

Di dua kota utama, di dua sentra komersial dan industri utama Rusia, Partai Bolshevik memiliki superioritas kekuatan yang sangat besar dan menentukan. Di sana kekuatan kami hampir empat kali lipat lebih besar dibandingkan Partai Sosialis-Revolusioner. Kami memiliki kekuatan yang lebih besar daripada Partai Sosialis Revolusioner dan Kadet bahkan bila digabung. Selain itu, musuh kami terpecah belah, karena “koalisi” antara Sosialis Revolusioner dan Menshevik dengan Kadet sudah terdiskreditkan sepenuhnya di mata rakyat pekerja (di Petrograd dan Moskow, Menshevik hanya meraih 3 persen suara). Persatuan yang sesungguhnya antara Sosialis-Revolusioner dan Menshevik dengan Kadet untuk melawan kami telah menjadi mustahil pada saat itu.[3] Kita akan ingat bahwa pada November 1917, bahkan para pemimpin Sosialis-Revolusioner dan Menshevik – yang bila dibandingkan dengan buruh dan tani Sosialis-Revolusioner dan Menshevik, mereka seratus kali lebih ingin membentuk blok dengan Kadet – bahkan para pemimpin itu mempertimbangkan (dan bernegosiasi dengan kami) pembentukan sebuah blok dengan Bolshevik tanpa Kadet!

Kami yakin dapat memenangkan Petrograd dan Moskow pada Oktober-November 1917, karena kekuatan kami jauh melampaui siapapun dan persiapan politik kami paling seksama, terutama di satu sisi menyangkut penghimpunan, konsentrasi, pelatihan, pengujian dan penempaan “pasukan” Bolshevik, dan di sisi lain disintegrasi, keletihan, perpecahan dan demoralisasi “pasukan musuh”.

Dan setelah merasa yakin dapat memenangkan dua kota metropolitan tersebut, dua pusat mesin negara kapitalis (ekonomi dan politik) itu, dengan pukulan yang cepat dan menentukan, kami, kendati resistensi gigih dari kaum birokrasi dan intelektual, kendati sabotase dan berbagai halangan lainnya, mampu dengan bantuan aparatus sentral kekuasaan negara membuktikan dengan tindakan kepada rakyat pekerja non-proletariat bahwa kaum proletariat adalah satu-satunya sekutu, kawan dan pemimpin mereka yang dapat diandalkan.

III

Tetapi sebelum kita beranjak ke masalah yang paling penting ini – yaitu masalah sikap kaum proletariat terhadap rakyat pekerja non-proletariat – kita harus terlebih dahulu berbicara mengenai angkatan bersenjata.

Bunga kekuatan rakyat dimobilisasi masuk ke dalam angkatan bersenjata selama peperangan imperialis; para bajingan oportunis Internasional Kedua (tidak hanya kaum sauvinis-sosial seperti Scheidemann dan Renaudel yang langsung menyebrang ke sisi “membela tanah air”, tetapi juga kaum Sentris[4]) lewat kata-kata dan tindakan mereka memperkuat ketertundukan angkatan bersenjata pada para perampok imperialis dari kedua kubu, Jerman dan Anglo-Prancis. Namun kaum revolusioner proletarian tidak pernah lupa dengan apa yang dikatakan Marx pada 1870: “Kaum borjuasi akan melatih kaum proletariat dalam menggunakan senjata!”[5] Hanya para pengkhianat sosialisme Austria-Jerman dan Anglo-Prancis-Rusia yang bisa berbicara mengenai “membela tanah air” selama perang imperialis, yakni perang predatoris dari kedua belah pihak. Kaum revolusioner proletarian, sebaliknya (sejak Agustus 1914), mencurahkan semua perhatian mereka untuk merevolusionerkan angkatan bersenjata, untuk menggunakan angkatan bersenjata ini untuk melawan kaum borjuasi imperialis perampok, untuk mengubah perang predatoris dan tidak-adil antara dua kubu pemangsa imperialis menjadi perangnya kaum proletariat dan rakyat pekerja tertindas, sebuah perang yang adil dan absah, untuk melawan kaum borjuasi “nasional mereka sendiri” di tiap-tiap negeri mereka.

Selama 1914-17, para pengkhianat sosialisme tidak membuat persiapan untuk menggunakan angkatan bersenjata untuk melawan pemerintah imperialis di tiap-tiap bangsa.

Kaum Bolshevik mempersiapkan ini dengan seluruh kerja propaganda, agitasi dan organisasi bawah tanah mereka sejak Agustus 1914. Tentu saja, para pengkhianat sosialisme, yakni para Scheidemann dan Kautsky dari semua bangsa, justru hanya bisa berbicara bagaimana agitasi Bolshevik telah menyebabkan demoralisasi di antara tentara. Tapi kami bangga telah memenuhi tugas kami dalam mematahkan semangat musuh-musuh kelas kami, dengan merebut dari mereka massa buruh dan tani bersenjata demi perjuangan melawan kaum penindas.

Salah satu hasil kerja kami, di antara lainnya, dapat disaksikan di dalam hasil pemilihan Majelis Konstituante pada November 1917, dimana angkatan bersenjata juga berpartisipasi.

Berikut ini adalah hasil pemilihan yang dilaporkan oleh N.V. Svyatitsky

Jumlah Suara Pemilihan Majelis Konstituante, November 1917 (Ribuan)

Unit-unit angkatan darat dan angkatan laut

SR

Bolshevik

Kadet

Bangsa dan kelompok lain

Total

Front Utara

240,0

480,0

?

60,0**

780,0

Front Barat

180,6

653,4

16,7

125,2

976,0

Front Barat-Daya

402,9

300,1

13,7

290,6

1007,4

Front Rumania

679,4

167,0

21,4

260,7

1128,6

Front Kaukasus

360,4

60,0

?

--

420,0

Armada Baltik

--

(120,0)*

--

--

(120,0)*

Armada Laut Hitam

22,2

10,8

--

19,5

52,5

Total

1885,1

1671,3 + (120,0)* = 1791,3

51,8 + ?

756,0

4364,5 + (120,0)* + ?

* Angka ini kira-kira. Dua kaum Bolshevik terpilih. N. V. Svyatitsky menghitung rata-rata 60.000 suara per delegasi yang terpilih. Inilah mengapa saya mencantumkan angka 120.000.

** Tidak ada informasi yang diberikan mengenai partai mana yang meraup 19.500 suara di Armada Laut Hitam. Angka-angka lain di kolom ini ternyata diberikan hampir semuanya untuk kaum sosialis Ukraina untuk 10 sosialis Ukraina dan 1 Sosial-Demokrat (yaitu, Menshevik) yang terpilih.

Ringkasan: Partai Sosialis-Revolusioner meraih 1.885.100 suara; Partai Bolshevik meraih 1.671.300 suara. Bila kita tambahkan 120.000 suara (kurang lebih) yang diraih di Armada Baltik, jumlah suara yang diperoleh oleh Partai Bolshevik adalah 1.791.300.

Oleh karenanya Partai Bolshevik meraih hanya lebih sedikit daripada Partai Sosialis-Revolusioner.

Dan dengan demikian, pada Oktober-November 1917, setengah dari seluruh angkatan bersenjata adalah Bolshevik.

Bila tidak demikian maka tidak mungkin kami dapat menang.

Kami memperoleh hampir separuh suara dari keseluruhan angkatan bersenjata, tetapi memenangkan mayoritas besar di front-front yang paling dekat dengan kota-kota metropolitan dan, umumnya, di front-front yang tidak terlalu jauh. Bila kita tidak ikut sertakan front Kaukasus, Partai Bolshevik meraih mayoritas di atas Partai Sosialis-Revolusioner. Dan bila kita hitung Front Utara dan Front Barat saja, suara yang diraih Bolshevik mencapai lebih dari satu juta, dibandingkan dengan 420.000 yang diraih oleh Sosialis-Revolusioner.

Oleh karenanya, di dalam angkatan bersenjata, Bolshevik telah memiliki “kekuatan serangan” politik pada November 1917 yang menjamin kalau mereka memiliki keunggulan kekuatan yang sangat besar di titik yang menentukan dan pada momen yang menentukan. Perlawanan dari angkatan bersenjata terhadap Revolusi Oktober, terhadap perebutan kekuasaan oleh proletariat, oleh karenanya sepenuhnya mustahil, mengingat kalau Bolshevik memiliki mayoritas besar di Front Utara dan Front Barat. Sementara di front-front lain, yang jauh dari kota-kota pusat, Partai Bolshevik memiliki waktu dan peluang untuk memenangkan kaum tani dari pengaruh Partai Sosialis-Revolusioner. Kita akan sentuh ini nanti.

IV

Berdasarkan hasil pemilihan Majelis Konstituante, kami telah mempelajari tiga syarat yang menentukan kemenangan Bolshevisme: (1) mayoritas besar di antara proletariat; (2) hampir setengah angkatan bersenjata; (3) keunggulan kekuatan yang besar pada momen yang menentukan dan di titik-titik yang menentukan, yakni di Petrograd, Moskow, dan front-front perang yang dekat dengan kota-kota pusat.

Tetapi syarat-syarat ini hanya akan dapat memastikan kemenangan yang berumur pendek dan tidak stabil bila Bolshevik tidak mampu memenangkan ke sisi mereka mayoritas rakyat pekerja non-proletarian, memenangkan mereka dari pengaruh Partai Sosialis-Revolusioner dan partai-partai borjuis-kecil lainnya.

Inilah pokok permasalahannya.

Dan alasan utama mengapa “kaum sosialis” (baca: kaum demokrat borjuis-kecil) Internasional Kedua gagal memahami kediktatoran proletariat ialah karena mereka gagal memahami bahwa kekuasaan negara di tangan sebuah kelas, kelas proletariat, dapat dan harus menjadi sebuah instrumen untuk memenangkan rakyat pekerja non-proletarian ke sisi kelas proletariat, sebuah instrumen untuk memenangkan massa tersebut dari kelas borjuasi dan dari partai-partai borjuis-kecil.

Dipenuhi dengan prasangka-prasangka borjuis-kecil, dan melupakan hal terpenting yang diajarkan oleh Marx mengenai negara, “kaum sosialis” Internasional Kedua ini menganggap kekuasaan negara sebagai sesuatu yang suci, sebagai sebuah patung berhala, atau sebagai hasil dari pemilu formal, sebagai “demokrasi konsisten” yang absolut (atau sebutan apapun yang mereka gunakan untuk omong kosong ini). Mereka gagal memahami bahwa kekuasaan negara pada dasarnya adalah sebuah instrumen yang dapat dan harus digunakan oleh berbagai kelas (yang juga harus tahu bagaimana menggunakannya) demi tujuan-tujuan kelas mereka.

Kelas borjuasi telah menggunakan kekuasaan negara sebagai instrumen kelas kapitalis untuk menindas kelas proletariat dan semua rakyat pekerja. Ini berlaku di republik-republik borjuis yang paling demokratik. Hanya pengkhianat Marxisme yang telah “melupakan” ini.

Kaum proletariat harus (setelah menghimpun “kekuatan serangan” politik dan militer yang cukup kuat) menumbangkan kaum borjuasi, merebut kekuasaan negara darinya supaya dapat menggunakan instrumen tersebut demi tujuan-tujuan kelasnya.

Apa tujuan-tujuan kelas kaum proletariat?

Memadamkan resistensi kaum borjuasi.

Menetralisir kaum tani dan, bila memungkinkan, memenangkan mereka – setidaknya mayoritas lapisan tani pekerja yang bukan penindas – ke sisi proletariat.

Mengorganisir produksi mesin skala-besar, menggunakan pabrik-pabrik, dan sarana-sarana produksi umumnya, yang disita dari kaum borjuasi.

Mengorganisir sosialisme dari reruntuhan kapitalisme.

***

Kaum oportunis, termasuk para pendukung Kautsky, menghina ajaran Marx dengan “mengajarkan” pada rakyat bahwa kaum proletariat harus terlebih dahulu memenangkan mayoritas lewat pemilu universal, lalu memperoleh kekuasaan negara, lewat suara mayoritas tersebut, dan hanya setelah itu, di atas basis demokrasi “konsisten” (ada yang mengatakan “murni”), mengorganisir sosialisme.

Tetapi berdasarkan ajaran Marx dan pengalaman revolusi Rusia kami katakan: kaum proletariat harus terlebih dahulu menumbangkan kaum borjuasi dan memenangkan untuk dirinya kekuasaan negara, dan kemudian menggunakan kekuasaan negara tersebut, yakni, kediktatoran proletariat, sebagai instrumen kelasnya demi tujuan memenangkan simpati mayoritas rakyat pekerja.

***

Bagaimana kekuasaan negara di tangan kaum proletariat dapat menjadi instrumen perjuangan kelasnya untuk memenangkan pengaruh atas rakyat pekerja non-proletarian, untuk menarik mereka ke sisinya, untuk memenangkan mereka, untuk memisahkan mereka dari pengaruh kelas borjuasi?

Pertama, kaum proletariat mencapai ini bukan dengan menggunakan aparatus lama kekuasaan negara, tetapi dengan meremukkannya sampai berkeping-keping, meratakannya dengan tanah (kendati ratap-tangis para filistin yang ketakutan dan ancaman para penyabot) dan membangun sebuah aparatus negara yang baru. Aparatus negara yang baru itu disesuaikan dengan kediktatoran proletariat dan perjuangannya untuk melawan kelas borjuasi guna memenangkan rakyat pekerja non-proletarian. Aparatus yang baru itu bukan hasil rekaan seseorang, ia tumbuh dari perjuangan kelas proletariat seiring dengan meluasnya dan menajamnya perjuangan tersebut. Aparatus kekuasaan negara yang baru itu, tipe kekuasaan negara yang baru, adalah kekuasaan Soviet.

Kaum proletariat Rusia dengan segera, beberapa jam setelah memenangkan kekuasaan negara, memproklamirkan pembubaran aparatus negara lama (yang, seperti yang ditunjukkan oleh Marx, selama berabad-abad telah disesuaikan untuk melayani kepentingan kelas borjuasi, bahkan di dalam republik yang paling demokratik sekalipun) dan mentransfer seluruh kekuasaan ke Soviet; dan hanya rakyat pekerja tertindas yang diperbolehkan masuk ke dalam Soviet, semua kaum penindas tidak diperbolehkan.

Dengan cara demikian kaum proletariat dengan segera, dengan satu pukulan, segera setelah mereka merebut kekuasaan negara, memenangkan dari kelas borjuasi massa luas pendukungnya yang berada di partai-partai borjuis kecil dan “sosialis”; karena massa rakyat tersebut, yakni rakyat pekerja tertindas yang telah ditipu oleh kaum borjuasi (dan para jongosnya, orang-orang seperti Chernov, Kautsky, Martov, dkk.), dengan meraih kekuasaan Soviet, telah berhasil memiliki di tangannya, untuk pertama kalinya, sebuah instrumen perjuangan kelas untuk kepentingan mereka dan untuk melawan kaum borjuasi.

Kedua, kaum proletariat dapat, dan harus, dengan segera, atau setidaknya dengan sangat cepat, memenangkan dari kaum borjuasi dan kaum demokrat borjuis-kecil massa “mereka”, yakni massa yang sebelumnya mengikuti mereka – memenangkan mereka dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi mereka yang paling mendesak secara revolusioner dengan mengekspropriasi kaum tuan tanah dan borjuasi.

Kaum borjuasi tidak dapat melakukan itu, tidak peduli betapa “maha kuat” kekuasaan negaranya.

Kaum proletariat dapat melakukan itu esok harinya setelah mereka memenangkan kekuasaan negara, karena mereka memiliki aparatus (Soviet) dan metode ekonomi (ekspropriasi kaum tuan tanah dan borjuasi).

Inilah bagaimana kaum proletariat Rusia memenangkan kaum tani dari Partai Sosialis-Revolusioner, dan memenangkan mereka sungguh beberapa jam setelah merebut kekuasaan negara; beberapa jam setelah kemenangan atas kaum borjuasi di Petrograd, kaum proletariat yang menang menerbitkan “dekrit tanah”[6], dan lewat dekrit tersebut kaum proletariat dengan sepenuhnya, dengan segera, dengan kecepatan, energi dan pengabdian revolusioner, memenuhi semua kebutuhan ekonomi yang paling mendesak dari mayoritas kaum tani, mengekspropriasi kaum tuan tanah, dengan sepenuhnya dan tanpa ganti rugi.

Untuk membuktikan ke kaum tani bahwa kaum proletariat tidak punya maksud mengabaikan kehendak mereka, tidak punya maksud menjadi majikan mereka, tetapi ingin menolong mereka dan menjadi kawan mereka, Partai Bolshevik yang menang tidak menyertakan satu katapun dari program Bolshevik ke dalam “dekrit tanah” tersebut, tetapi menyalinnya, kata demi kata, dari mandat kaum tani (yang paling revolusioner di antara mereka tentunya) yang telah diterbitkan oleh Partai Sosialis-Revolusioner dalam koran mereka.

Kaum Sosialis-Revolusioner geram dan kejang, memprotes dan mengecam kalau “Bolshevik telah mencuri program mereka”, tetapi hanya gelak tawa yang menyambut mereka; sungguh sebuah partai yang luar biasa, yang harus dikalahkan dan ditendang keluar dari pemerintah agar semua yang ada di dalam programnya, yang revolusioner dan menguntungkan rakyat pekerja, dapat dilaksanakan!

Para pengkhianat yang kepala batu dan dogmatik dari Internasional Kedua tidak akan pernah bisa memahami dialektika semacam ini; kaum proletariat tidak akan bisa meraih kemenangan bila mereka tidak memenangkan mayoritas populasi ke sisinya. Tetapi membatasi kemenangan itu pada raupan suara mayoritas dalam sebuah pemilu di bawah kekuasaan borjuasi, atau membuatnya menjadi syarat, adalah sebuah kebodohan yang vulgar, atau penipuan terhadap kaum buruh. Untuk memenangkan mayoritas populasi ke sisinya kaum proletariat harus, pertama-tama, menumbangkan kaum borjuasi dan merebut kekuasaan negara; kedua, mereka harus memperkenalkan kekuasaan Soviet dan menghancurkan sepenuhnya aparatus negara yang lama. Kekuasaan Soviet ini akan segera melemahkan kekuasaan, prestise dan pengaruh kaum borjuasi dan kaum kompromis borjuis-kecil terhadap rakyat pekerja non-proletarian. Ketiga, mereka harus sepenuhnya menghancurkan pengaruh kaum borjuasi dan kaum kompromis borjuis-kecil terhadap mayoritas massa non-proletar dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi mereka secara revolusioner dengan mengekspropriasi kaum penindas.

Tentu saja, ini hanya mungkin tercapai bila perkembangan kapitalis telah mencapai tingkatan tertentu. Bila syarat fundamental tersebut tidak ada, maka kaum proletariat tidak akan bisa berkembang menjadi sebuah kelas terpisah, dan mereka juga tidak akan bisa meraih keberhasilan dalam pelatihan, pendidikan, dan ujian selama tahun-tahun panjang pemogokan dan demonstrasi ketika kaum oportunis telah kehilangan muka dan dikeluarkan dari gerakan. Bila syarat fundamental tersebut tidak ada, maka kota-kota pusat tidak akan bisa memainkan peran ekonomi dan politik yang memungkinkan kaum proletariat, setelah merebut kekuasaan negara, untuk mempertahankan kekuasaan negara dalam keseluruhannya, atau lebih tepatnya, mempertahankan saraf pusatnya, titik pusatnya, titik simpulnya. Bila syarat fundamental tersebut tidak ada, maka tidak akan bisa ada persaudaraan, kedekatan dan ikatan antara kaum proletariat dan rakyat pekerja non-proletarian, dimana persaudaraan, kedekatan dan ikatan ini diperlukan oleh kaum proletariat untuk mempengaruhi massa tersebut, supaya pengaruh tersebut efektif.

V

Mari kita melangkah lebih jauh.

Kaum proletariat dapat memenangkan kekuasaan negara, mendirikan sistem Soviet, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi mayoritas rakyat pekerja dengan mengekspropriasi kaum penindas.

Apakah ini cukup untuk mencapai kemenangan penuh dan akhir? Tidak, ini tidak cukup.

Kaum demokrat borjuis-kecil, para perwakilan utama mereka hari ini, yakni kaum “sosialis” dan kaum “Sosial Demokrat”, menderita ilusi ketika mereka membayangkan kalau rakyat pekerja akan mampu, di bawah kapitalisme, meraih kesadaran kelas yang tinggi, keteguhan dalam karakter, persepsi dan cara pandang politik yang luas yang akan membuat mereka mampu memutuskan, dengan hanya melalui pemilu, atau setidaknya, untuk memutuskan jauh hari, tanpa pengalaman panjang perjuangan, kelas mana atau partai mana yang akan mereka ikuti.

Ini hanyalah ilusi. Ini adalah kisah sentimental yang direka oleh kaum dogmatis dan sosialis sentimental macam Kautsky, Longuet dan MacDonald.

Kapitalisme bukanlah kapitalisme kalau ia tidak, di satu sisi, menghempas massa rakyat ke dalam keberadaan yang tertindas, remuk dan penuh ketakutan, dan bila ia (kapitalisme) tidak, di sisi lain, menempatkan ke dalam tangan kaum borjuasi sebuah aparatus raksasa untuk mengelabui dan menyesatkan massa buruh dan tani, untuk menumpulkan pikirannya, dan seterusnya.

Inilah mengapa hanya proletariat yang dapat memimpin rakyat pekerja untuk keluar dari kapitalisme dan menuju ke komunisme. Tidak ada gunanya berpikir bahwa massa borjuis-kecil dan semi-borjuis-kecil dapat memutuskan jauh hari pertanyaan politik yang teramat kompleks: “mengikuti kelas buruh atau kelas borjuasi?” Kebimbangan lapisan rakyat pekerja non-proletarian adalah keniscayaan; dan yang juga niscaya adalah pengalaman praktis mereka sendiri, yang akan membuat mereka mampu membandingkan kepemimpinan oleh borjuasi dengan kepemimpinan oleh proletariat.

Inilah situasi yang selalu diabaikan oleh mereka yang menyembah “demokrasi konsisten” dan yang membayangkan bahwa problem-problem politik yang sangatlah penting ini dapat diselesaikan lewat pemungutan suara. Problem-problem semacam ini sesungguhnya diselesaikan oleh perang sipil bila mereka menjadi akut dan tajam karena perjuangan. Dan pengalaman massa non-proletarian (terutama kaum tani), yakni pengalaman mereka dalam membandingkan kekuasaan proletariat dengan kekuasaan borjuasi, adalah hal yang teramat penting dalam perang tersebut.

Pemilihan Majelis Konstituante di Rusia pada November 1917, dibandingkan dengan dua tahun Perang Sipil 1917-19, mengandung pelajaran besar dalam hal ini.

Periksa wilayah-wilayah mana yang terbukti paling anti-Bolshevik. Pertama, kawasan Timur-Ural dan Siberia dimana Bolshevik masing-masing meraih 12 persen dan 10 persen suara. Kedua, Ukraina dimana Bolshevik meraih 10 persen suara. Di wilayah-wilayah lain, kaum Bolshevik meraih persentase suara terkecil di wilayah tani Rusia Raya, Volga-Tanah Hitam, dan bahkan di sana Bolshevik meraih 16 persen suara.

Persis di wilayah-wilayah dimana Bolshevik meraih persentase suara terendah pada November 1917 kita dapati gerakan kontra-revolusioner, pemberontakan dan organisasi kekuatan kontra-revolusioner dengan kesuksesan terbesar. Persis di wilayah-wilayah tersebut kekuasaan Kolchak dan Denikin bertahan berbulan-bulan.

Kebimbangan populasi borjuis-kecil sangatlah besar di wilayah-wilayah dimana pengaruh proletariat paling lemah. Kebimbangan ini awalnya mengayun ke arah kaum Bolshevik ketika mereka memberikan tanah pada kaum tani dan ketika para tentara yang pulang membawa berita mengenai perdamaian; tetapi di kemudian hari, kebimbangan ini berpaling melawan kaum Bolshevik ketika, untuk mendorong perkembangan revolusi dunia dan mempertahankan pusatnya di Rusia, mereka menandatangani Perjanjian Brest dan dengan demikian “menyinggung” sentimen patriotik rakyat, yakni sentimen borjuis-kecil yang paling dalam. Kediktatoran proletariat terutama paling tidak disukai oleh kaum tani di daerah-daerah dimana ada surplus gandum terbesar, ketika kaum Bolshevik menunjukkan bahwa mereka akan dengan metode yang keras dan tegas menjamin transfer surplus gandum tersebut ke pemerintah dengan harga tetap. Kaum tani di Ural, Siberia, dan Ukraina lalu mendukung Kolchak dan Denikin.

Kemudian, pengalaman “demokrasinya” Kolchak dan Denikin, yang digembar-gemborkan oleh setiap jurnalis sewaan di Kolchakia dan Denikia[7] di setiap edisi surat kabar Tentara Putih, menunjukkan kepada kaum tani bahwa semua celoteh mengenai demokrasi dan mengenai “Majelis Konstituante” hanyalah asap untuk menutupi kediktatoran kaum tuan tanah dan kapitalis.

Kaum tani lalu mendukung kembali Bolshevisme dan pemberontakan tani menyebar di wilayah-wilayah Kolchak dan Denikin. Kaum tani menyambut Tentara Merah sebagai tentara pembebas.

Dalam jangka panjang, kebimbangan kaum tani inilah, yang merupakan bagian terutama dari rakyat pekerja borjuis-kecil, yang menentukan nasib kekuasaan Soviet dan juga nasib kekuasaan Kolchak dan Denikin. Tetapi “jangka panjang” ini didahului oleh satu masa perjuangan yang sengit dan masa percobaan yang menyakitkan yang cukup panjang, yang belumlah berakhir di Rusia setelah dua tahun [peperangan sipil], yang belumlah berakhir terutama di Siberia dan Ukraina. Dan tidak ada jaminan kalau ini akan berakhir sepenuhnya dalam waktu satu tahun atau lebih.

Para pendukung demokrasi “konsisten” tidak mempertimbangkan signifikansi dari fakta historis ini. Mereka menciptakan, dan terus menciptakan, dongeng kanak-kanak mengenai kaum proletariat di bawah kapitalisme yang mampu “meyakinkan” mayoritas rakyat pekerja dan memenangkan mereka dengan kuat ke sisi mereka lewat pemungutan suara. Tetapi realitas menunjukkan bahwa hanya lewat pengalaman perjuangan yang panjang dan sengit maka kaum borjuasi-kecil yang bimbang dapat menarik kesimpulan, setelah membandingkan kediktatoran proletariat dengan kediktatoran kapitalis, bahwa yang pertama adalah lebih baik daripada yang belakangan.

Dalam teori, semua kaum sosialis yang telah mempelajari Marxisme dan bersedia mempertimbangkan pelajaran-pelajaran sejarah politik abad ke-19 dari negeri-negeri kapitalis maju mengakui bahwa kebimbangan kaum borjuasi-kecil antara kelas proletariat dan kelas kapitalis adalah tak terelakkan. Akar ekonomi dari kebimbangan ini secara jelas terungkap oleh ilmu ekonomi, dan kebenarannya telah diulang jutaan kali di koran-koran, selebaran-selebaran dan pamflet-pamflet yang diterbitkan oleh kaum sosialis Internasional Kedua.

Tetapi orang-orang ini tidak mampu menerapkan kebenaran ini pada epos kediktatoran proletariat yang unik ini. Mereka menggantikan perjuangan kelas dengan prasangka dan ilusi demokratik borjuis-kecil (mengenai “kesetaraan” kelas, mengenai demokrasi yang “murni” dan “konsisten”, mengenai menyelesaikan problem-problem historis lewat pemilu, dan seterusnya). Mereka tidak paham bahwa setelah merebut kekuasaan negara kaum proletariat tidak lalu menghentikan perjuangan kelasnya, tetapi melanjutkannya dalam bentuk yang berbeda dan dengan cara yang berbeda. Kediktatoran proletariat adalah perjuangan kelas proletariat yang dijalankan dengan bantuan sebuah instrumen seperti kekuasaan negara, sebuah perjuangan kelas yang salah satu tujuannya adalah menunjukkan kepada lapisan rakyat pekerja non-proletarian lewat pengalaman panjang mereka dan sederetan panjang contoh-contoh praktis bahwa akan lebih menguntungkan bagi mereka untuk berpihak pada kediktatoran proletariat daripada kediktatoran borjuis, dan bahwa tidak ada jalan ketiga.

Hasil pemilihan Majelis Konstituante yang diselenggarakan pada November 1917 memberi kita latar belakang utama dari gambaran perkembangan Perang Sipil yang telah berkobar selama dua tahun semenjak pemilihan tersebut. Kekuatan-kekuatan utama di peperangan tersebut telah jelas terpampang selama pemilihan Majelis Konstituante – peran “kekuatan serangan” pasukan proletariat, peran kaum tani yang bimbang, dan peran kaum borjuasi sudah jelas. Dalam artikelnya N.V. Svyatitsky menulis: “Partai Kadet paling berhasil di wilayah-wilayah yang sama dimana Partai Bolshevik paling berhasil – di wilayah-wilayah Utara dan Pusat-Industrial.” (hal. 116). Sewajarnya, di pusat-pusat kapitalis yang paling berkembang, elemen-elemen tengah yang berdiri di antara proletariat dan borjuasi adalah paling lemah. Sewajarnya, di pusat-pusat tersebut, perjuangan kelas adalah yang paling akut. Di sanalah kekuatan-kekuatan utama kelas borjuasi terkonsentrasikan dan di sanalah, dan hanya di sana, kelas proletariat dapat mengalahkan kelas borjuasi. Hanya kaum proletariat yang dapat menghancurkan kaum borjuasi, dan hanya dengan menghancurkan kaum borjuasi maka kaum proletariat dapat secara pasti memenangkan simpati dan dukungan strata populasi borjuis kecil dengan menggunakan sebuah instrumen seperti kekuasaan negara.

Bila digunakan sebagaimana mestinya, bila dibaca dengan tepat, hasil pemilihan Majelis Konstituante mengungkapkan pada kita lagi dan lagi kebenaran fundamental doktrin Marxis mengenai perjuangan kelas.

Hasil pemilihan ini juga mengungkapkan peran dan signifikansi masalah kebangsaan. Ambil contoh Ukraina. Pada konferensi sebelumnya mengenai masalah Ukraina, sejumlah kamerad menuduh penulis artikel ini memberikan terlalu banyak “perhatian” pada masalah kebangsaan di Ukraina. Hasil pemilihan Majelis Konstituante menunjukkan bahwa di Ukraina, seawal November 1917, Partai Sosialis-Revolusioner dan kaum sosialis Ukraina meraih mayoritas (3,4 juta suara + 0,5 = 3,9 juta dibandingkan 1,9 juta yang diraih oleh Partai Sosialis-Revolusioner Rusia, dari total 7,6 juta suara di seluruh Ukraina). Dalam angkatan bersenjata di front Barat Daya dan Romania, kaum sosialis Ukraina meraih 30 persen dan 34 persen (Partai Sosialis-Revolusioner Rusia meraih 40 persen dan 59 persen).

Di bawah situasi ini, mengabaikan pentingnya masalah kebangsaan di Ukraina – sebuah dosa yang kerap dilakukan oleh orang Rusia Raya (dan orang Yahudi mungkin bersalah hanya lebih sedikit dibandingkan orang Rusia Raya) – adalah kesalahan besar yang berbahaya. Perpecahan antara kaum Sosialis-Revolusioner Rusia dan Ukraina seawal 1917 tidak mungkin sebuah kebetulan saja. Sebagai kaum internasionalis, tugas kita, pertama, adalah memerangi dengan sangat energetik sisa-sisa (yang kadang-kadang tidak sadar) imperialisme dan sauvinisme Rusia-Raya di antara kaum Komunis “Rusia”; dan kedua, tugas kita, persis mengenai masalah kebangsaan, yang relatif adalah tugas yang minor (karena bagi seorang internasionalis, masalah perbatasan negara adalah masalah sekunder, bila bukan masalah kecil), adalah untuk membuat konsesi. Ada masalah-masalah lain – kepentingan fundamental kediktatoran proletariat; kepentingan persatuan dan kedisiplinan Tentara Merah yang tengah memerangi Denikin; peran kepemimpinan proletariat dalam relasinya dengan kaum tani – yang jauh lebih penting; masalah apakah Ukraina akan menjadi sebuah negeri yang terpisah atau tidak adalah masalah yang jauh tidak lebih penting. Kita tidak boleh terkejut, atau merasa takut, bahkan oleh prospek dimana kaum buruh dan tani Ukraina mencoba berbagai sistem yang berbeda, dan katakanlah selama beberapa tahun menguji lewat praktik persatuan dengan R.S.F.S.R. (Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia), atau pecah darinya dan membentuk S.S.R. (Republik Sosialis Soviet) Ukraina yang independen, atau berbagai bentuk aliansi dekat, dan seterusnya, dan seterusnya.

Untuk mencoba menuntaskan masalah ini di muka, secara final, “tegas” dan “tak dapat ditarik kembali”, adalah sungguh sebuah kepicikan atau kebodohan yang teramat besar, karena kebimbangan rakyat pekerja non-proletariat mengenai masalah semacam ini adalah cukup wajar, dan bahkan tak terelakkan. Tetapi ini tidak boleh membuat kaum proletariat takut. Tugas kaum proletariat, yang sungguh mampu menjadi seorang internasionalis, adalah menghadapi kebimbangan macam ini dengan kewaspadaan dan toleransi yang terbesar. Tugas kaum proletariat adalah memberi kesempatan pada massa non-proletar sendiri untuk menyingkirkan kebimbangan mereka ini lewat pengalaman mereka sendiri. Kita harus intoleran dan kejam, tidak kompromis dan tidak fleksibel untuk masalah-masalah lain yang lebih fundamental, yang beberapa darinya sudah saya tunjukkan di atas.

VI

Perbandingan antara pemilihan Majelis Konstituante pada November 1917 dan perkembangan revolusi proletarian di Rusia dari Oktober 1917 hingga Desember 1919 memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan mengenai parlementerisme borjuis dan revolusi proletarian di semua negeri kapitalis. Izinkan saya untuk secara singkat memformulasikan, atau setidaknya menguraikan, kesimpulan-kesimpulan utama ini.

1. Hak pilih universal adalah sebuah indeks tingkatan yang dicapai oleh berbagai kelas dalam memahami problem-problem mereka. Ini menunjukkan bagaimana kelas-kelas yang berbeda ini cenderung menyelesaikan problem-problem mereka. Solusi yang sesungguhnya untuk problem-problem ini tidak disediakan oleh pemilu, tetapi oleh perjuangan kelas dalam berbagai bentuknya, termasuk perang sipil.

2. Kaum sosialis dan Sosial-Demokrat Internasional Kedua mengambil posisi kaum demokrat borjuis-kecil yang vulgar dan memiliki prasangka bahwa problem-problem fundamental perjuangan kelas dapat diselesaikan lewat pemilu.

3. Partai proletariat revolusioner harus terlibat dalam parlemen borjuis guna mencerahkan massa; ini dapat dilakukan selama pemilu dan lewat pertarungan antar partai dalam parlemen. Tetapi membatasi perjuangan kelas pada perjuangan parlementer, atau menganggap perjuangan parlementer sebagai bentuk tertinggi dan menentukan, dimana lalu semua bentuk perjuangan lainnya tunduk padanya, sesungguhnya adalah pembelotan ke sisi kelas borjuasi.

4. Semua perwakilan dan pendukung Internasional Kedua, dan semua pemimpin Partai Sosial-Demokratik “Independen”, sesungguhnya menyebrang ke sisi borjuasi ketika mereka mengakui kediktatoran proletariat hanya dalam kata-kata saja, tetapi dalam perbuatan, lewat propaganda mereka, mereka mencekoki kaum proletariat dengan gagasan bahwa mereka harus terlebih dahulu memperoleh ekspresi kehendak mayoritas populasi secara resmi di bawah kapitalisme (yakni, mayoritas suara dalam parlemen borjuis) sebelum bisa memindahkan kekuasaan politik ke proletariat, dimana pemindahan kekuasaan ini akan dilakukan di kemudian hari.

Semua keluhan, yang berdasarkan premis ini, dari para pemimpin Partai Sosial Demokrat “Independen” Jerman dan para pemimpin sosialisme busuk lainnya yang serupa, yang menentang “kediktatoran minoritas,” dan lain sebagainya, hanya menunjukkan bahwa para pemimpin ini gagal memahami apa itu kediktatoran borjuasi, yang sebenarnya berkuasa bahkan dalam republik yang paling demokratik sekalipun, dan mereka gagal memahami syarat-syarat untuk menghancurkan kediktatoran borjuasi dengan perjuangan kelas proletariat.

5. Kegagalan untuk memahami ini, terutama, disebabkan oleh hal berikut ini: mereka lupa bahwa partai-partai borjuis dapat berkuasa karena mereka menipu massa rakyat, karena belenggu kapital, dan ditambah lagi penipuan-diri mengenai watak kapitalisme, sebuah penipuan-diri yang merupakan watak partai-partai borjuis kecil, yang biasanya ingin menggantikan perjuangan kelas dengan kolaborasi kelas yang kurang lebih terselubung.

“Pertama-tama, biarkan mayoritas populasi – sementara kepemilikan pribadi masih eksis, dalam kata lain, sementara kekuasaan dan belenggu kapital masih eksis – mengekspresikan dukungan mereka pada partai proletariat dan hanya setelah itu partai proletariat dapat dan diperbolehkan mengambil kekuasaan,” begitu ujar kaum demokrat borjuis-kecil yang menyebut diri mereka sosialis, tetapi pada kenyataannya adalah pelayan kaum borjuasi.

“Biarkan proletariat revolusioner menumbangkan borjuasi terlebih dahulu, mematahkan belenggu kapital, dan menghancurkan aparatus negara borjuis, lalu proletariat yang telah menang ini dapat dengan cepat meraih simpati dan dukungan mayoritas rakyat pekerja non-proletariat dengan memenuhi kebutuhan mereka, dengan cara mengekspropriasi kaum penindas,” begitu ujar kami. Kebalikan dari ini akan jadi pengecualian yang langka dalam sejarah (dan bahkan dalam pengecualian semacam ini, kaum borjuasi dapat mengobarkan perang sipil, seperti yang terjadi di Finlandia[8])

6. Atau dalam kata lain:

“Pertama-tama, kita harus bersumpah untuk mengakui prinsip kesetaraan, atau demokrasi konsisten, sementara menjaga kepemilikan pribadi dan belenggu kapital (yakni, ketidaksetaraan yang sesungguhnya di bawah kesetaraan yang formal), dan mencoba untuk meraih keputusan mayoritas di atas basis ini” – ujar kaum borjuasi dan para jongos mereka, kaum demokrat borjuis-kecil yang menyebut diri mereka sosialis dan Sosial-Demokrat.

“Pertama-tama, perjuangan kelas proletariat, dengan memenangkan kekuasaan negara, akan menghancurkan pilar dan fondasi ketidaksetaraan yang sesungguhnya, dan lalu kaum proletariat, yang telah mengalahkan kaum penindas, akan memimpin semua rakyat pekerja untuk menghapus semua kelas-kelas, yakni untuk melangkah ke kesetaraan sosialis, satu-satunya kesetaraan yang bukanlah penipuan.” – ujar kami.

7. Di semua negeri kapitalis, selain kelas proletariat, atau selapisan proletariat yang sadar akan tujuan revolusionernya dan mampu berjuang untuk mencapai tujuan ini, ada banyak strata proletariat, semi-proletariat, dan semi-borjuis-kecil yang secara politik belum dewasa, yang mengekor pada kelas borjuasi dan demokrasi borjuis (termasuk “kaum sosialis” Internasional Kedua), karena mereka telah ditipu, tidak punya kepercayaan diri pada kekuatan mereka sendiri atau pada kekuatan proletariat, tidak sadar akan kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak mereka dengan mengekspropriasi kaum penindas.

Strata-strata rakyat pekerja dan rakyat tertindas ini adalah sekutu kaum pelopor proletariat, dan memberinya mayoritas populasi yang stabil; tetapi kelas proletariat hanya dapat memenangkan sekutu-sekutu ini ke sisi mereka dengan bantuan sebuah instrumen seperti kekuasaan negara, dalam kata lain, hanya setelah mereka telah menumbangkan kaum borjuasi dan telah menghancurkan aparatus negara borjuis.

8. Kekuatan kaum proletariat di semua negeri kapitalis jauh lebih besar dibandingkan proporsi total populasi yang diwakilinya. Ini karena kaum proletariat secara ekonomi mendominasi jantung dan nadi seluruh sistem ekonomi kapitalisme, dan juga karena kaum proletariat mengekspresikan secara ekonomi dan politik kepentingan mayoritas rakyat pekerja yang sesungguhnya di bawah kapitalisme.

Oleh karenanya, kaum proletariat, bahkan ketika mereka hanyalah minoritas populasi (atau ketika lapisan pelopor proletariat yang sadar-kelas dan sungguh-sungguh revolusioner hanyalah mencakup minoritas populasi) mampu menumbangkan kelas borjuasi dan, setelah itu, memenangkan ke sisinya beragam sekutu dari massa semi-proletariat dan borjuis-kecil yang tidak pernah menyatakan di muka terlebih dahulu bahwa mereka mendukung kekuasaan proletariat, yang tidak memahami syarat-syarat dan tujuan-tujuan kekuasaan tersebut, dan hanya setelah pengalaman mereka menyusul kekuasaan proletariat akan menjadi yakin bahwa kediktatoran proletariat adalah sesuatu yang tak terelakkan, pantas, dan sah.

9. Yang terakhir, di semua negeri kapitalis akan ada selalu lapisan borjuasi kecil yang sangat luas, yang niscaya bimbang di antara kapital dan buruh. Untuk meraih kemenangan, kaum proletariat harus, pertama-tama, memilih momen yang tepat untuk meluncurkan serangan penentuannya terhadap borjuasi, dengan mempertimbangkan, di antara hal-hal lainnya, perpecahan antara borjuasi dan sekutu-sekutu borjuis-kecilnya, atau ketidakstabilan aliansi mereka, dan seterusnya. Kedua, kaum proletariat harus, setelah kemenangannya, menggunakan kebimbangan kelas borjuasi-kecil ini dengan cara sedemikian rupa untuk menetralisir mereka, agar mereka tidak mengambil sisi kaum penindas; mereka harus bisa bertahan untuk cukup lama kendati kebimbangan ini, dan seterus dan seterusnya.

10. Salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mempersiapkan kemenangan proletariat adalah perjuangan yang panjang, keras kepala dan tanpa belas kasihan melawan oportunisme, reformisme, sauvinisme-sosial, dan kecenderungan serta pengaruh borjuis lainnya yang serupa, yang kehadirannya tak terelakkan, karena proletariat hidup di tengah lingkungan kapitalis. Bila tidak ada perjuangan seperti ini, bila oportunisme dalam gerakan kelas buruh tidak sepenuhnya dipatahkan sebelumnya, maka kediktatoran proletariat tidak akan dapat tercapai. Bolshevisme tidak akan bisa mengalahkan kaum borjuasi pada 1917-1919 bila sebelumnya, yakni selama 1903-17, mereka tidak belajar bagaimana mengalahkan kaum Menshevik, yakni kaum oportunis, reformis, sauvinis sosial, dan secara bengis menyingkirkan mereka dari partai pelopor proletariat.

Pada saat ini, pengakuan verbal terhadap kediktatoran proletariat yang ditawarkan oleh para pemimpin Partai Sosial Demokrat “Independen” Jerman, oleh kaum Loungetist Prancis[9], dan orang-orang seperti mereka, yang sesungguhnya melanjutkan kebiasaan lama memberikan konsesi besar dan kecil pada oportunisme, melakukan konsiliasi dengan oportunisme, tunduk pada prasangka demokrasi borjuis (yang mereka sebut “demokrasi konsisten” atau “demokrasi murni”) dan parlementerisme borjuis, dan seterusnya, adalah penipuan-diri yang paling berbahaya – dan kadang-kadang penipuan belaka terhadap kaum buruh.

16 Desember, 1919


Catatan:

[1] Blok Entente (atau Sekutu) selama Perang Dunia Pertama, yang terdiri dari Inggris, Prancis, Rusia, Serbia, Italia, Amerika Serikat, dan yang lainnya.

[2] Partai Sosial Demokratik Independen Jerman (USPD) pecah dari Partai Sosial Demokrat (SPD) pada 1917 seputar masalah Perang Dunia I dan revolusi, dengan pemimpin-pemimpin seperti Karl Kautsky dan Eduard Bernstein. SPD mendukung perang ini, sementara USPD menentangnya. Akan tetapi, para pemimpin USPD terombang-ambing antara oportunisme dan revolusionisme. Mereka menentang Perang Dunia Pertama, tetapi ragu dan bimbang dalam meluncurkan perjuangan yang tegas untuk menumbangkan kapitalisme dan menegakkan kediktatoran proletariat. Akhirnya, pada 1920, sayap kiri USPD bergabung dengan Partai Komunis Jerman. Sayap kanan USPD pada 1922 kembali bergabung dengan SPD.

[3] Cukup menarik untuk dicatat kalau angka-angka di atas juga mengungkapkan persatuan dan solidaritas partai proletariat dan terpecah-belahnya partai-partai borjuis kecil dan borjuis. (Catatan Lenin)

[4] Sentrisme adalah kecenderungan politik yang berayun antara reformisme dan revolusi. Kaum Sentris menggunakan frase-frase Marxis, tetapi selalu ragu untuk mengambil langkah tegas yang diperlukan untuk memimpin perebutan kekuasaan oleh proletariat. Kecenderungan Sentrisme yang dirujuk Lenin ini diwakili terutama oleh Karl Kautsky di Jerman.

[5] Marx’s letter to Ludwig Kugelmann, 13 Desember, 1870.

[6] Dekrit Tanah disetujui oleh Kongres Soviet Seluruh-Rusia pada 26 Oktober (8 November), 1917, sehari setelah pendirian kekuasaan Soviet di Rusia. Dekrit Tanah menghapus kepemilikan tuan tanah besar dan semua kepemilikan pribadi tanah, dan memberikan tanah ini ke kaum tani untuk keperluan mereka.

[7] Kolchakia dan Denikia adalah daerah yang dikuasai oleh Jendral Tentara Putih Alexander Kolchak di Siberia dan Anton Denikin di Ukraina.

[8] Ini merujuk pada perang sipil yang dikobarkan oleh kaum borjuasi Finlandia untuk mematahkan Revolusi Proletariat di Finlandia. Revolusi dimulai pada pertengahan Januari 1918, di daerah industri selatan. Pada 15 (28) Januari, 1918, Milisi Merah Finlandia merebut ibukota Helsingfors (Helsinki), dan pemerintahan borjuis di Svinhufvud ditumbangkan. Kaum buruh merebut kekuasaan dan mendirikan sebuah pemerintahan revolusioner yang dikenal sebagai Dewan Perwakilan Rakyat; di antara anggotanya adalah O. Kuusine, J. Sirola, A. Taimi. Organisasi-organisasi buruh (yang disebut Seims) membentuk basis kekuasaan negara yang baru di negeri ini. Lenin menyebut mereka tipe kekuasaan baru, “kekuasaan proletariat”. Sejumlah langkah penting yang diambil oleh negara buruh ini adalah memindahkan kepemilikan tanah ke kaum tani yang mengolahnya, bebas pajak bagi rakyat miskin, penyitaan perusahaan-perusahaan yang telah ditinggalkan oleh pemilik mereka yang kabur ke luar negeri, pembentukan kontrol negara atas bank-bank swasta (fungsi-fungsi mereka dialihkan ke bank negara).

Pada 1 Maret, 1918, sebuah pakta ditandatangani di Petrograd antara Republik Buruh Sosialis Finlandia dan R.S.F.S.R (Republik Soviet Rusia). Pakta ini berdasarkan prinsip kesetaraan dan kedaulatan penuh, dan adalah pakta pertama di dunia antara dua bangsa sosialis.

Akan tetapi, revolusi proletariat ini hanya menang di kota dan pedesaan Finlandia selatan. Pemerintah Svinhufvud berhasil selamat di Utara, dan meminta bantuan Jerman. Dengan intervensi militer Jerman, revolusi di Finlandia dikalahkan pada Mei 1918 setelah perang sipil yang berdarah-darah.

[9] Jean Longuet (1876-1938) adalah politisi dan jurnalis sosialis dari Prancis. Dia adalah cucu Karl Marx. Selama Perang Dunia Pertama dia mengambil posisi pasifis tetapi juga mendukung Prancis dalam perang ini.