Parlemen atau Soviet?

Tan Malaka (1921)


BAB IV

KRITIK (CELAAN) ATAS PARLEMEN

 

Pasal 1. Kapitalisme dan Sosialisme

Sebelum kita sampai mengeritik Parlementerisme, haruslah lebih dahulu kita uraikan keadaan Sosialisme, karena kritik itu datangnya dari pihak kaum Sosialis. Dan supaya kita mengerti akan sosialisme itu, haruslah kita pelajari dahulu Kapitalisme, karena sosialisme itu lahirnya dari Kapitalisme.

Sesungguhnya saya ingat, bahwa uraian kapitalisme dan sosialisme itu di luar daerah maksud brosur ini, yang hendak memeriksa, apakah yang baik bagi kita di antara keadaan Soviet. Sebaliknya pula kita tidak boleh memisahkan yang kita semua dipukul rata paham, tentang kedua ilmu yang tersebut. Supaya saya jangan menyimpang, haruslah keadaan ilmu itu diterangkan dengan seringkas-ringkasnya. Sungguhpun saya ingat pula akan bahaya bahwa ringkasnya itu menyebabkan yang kita tidak akan menduga dalamnya ilmu Sosialisme.

Sebermula maka yang dinamai kapitalisme itu bukanlah uang yang bertimbun-timbun saja, melainkan suatu benda yang bersenjata tajam dan yang membelenggu keperluan lahirnya manusia, dan berhubungan dengan itu juga yang menetapkan adat dan urusan negeri. Sesuatu negeri baru boleh dinamai sempurna kalau ia mempunyai beberapa dasar-dasar yang kukuh. Di antaranya ekonomi, adat dan pengadilan. Di antara yang tiga ini, ekonomilah yang menjadi pusat sebab itulah kita lebih dahulu memeriksa ekonominya negeri, seperti perusahaan tanah, perusahaan industri (kereta-kereta, kapal-kapal, pabrik-pabrik dan sebagainya) perniagaan, bank-bank dan lain-lain. Perusahaan industri yang dijalankan mesin-mesin yang lebih kuat dari raksasa datangnya pada zaman terakhir sekali, kira-kira permulaan abad yang lalu (ke 19), yaitu disebabkan oleh beberapa ditvinding (pendapatan dalam ilmu alam).

Industri itulah pula yang terutama sekali dalam segala perusahaan zaman sekarang, dan ialah pula yang mendatangkan kedudukan baru antara suatu manusia dengan manusia yang lain (buruh dan majikan). Sebab itulah kita ambil dulu pemeriksaan atas industri itu.

Akan memudahkan berpikir, marilah kita ingat saja suatu pabrik, yang cukup mesinnya dan berpuluh ratus kulinya, pada suatu kota yang besar umpamanya di Eropa, dimana industri itu sudah dewasa (sempurna tua).

Pembaca akan bertanya: dari manakah datangnya manusia yang berkumpul sampai 5 atau 6 juta itu pada suatu kota, yakni hampir sama banyak dengan penduduk pulau Sumatera?

Untuk menjawab pertanyaan itu haruslah kita pergi dulu ke desa-desa di Eropa, yang dulunya dikepalai oleh bangsawan atau hartawan.

Di bawahnya ada beberapa kuli dan di sekiling kebunnya adalah kebun-kebun kecil harta orang desa. Apalagi tuan kebun tadi mendengar kabar bahwa ada terdapat sebuah mesin yang baru, yang bisa membajak di sawah-sawah begitu lekas dan dalam, maka tentulah ia akan mencoba mengerjakan tanahnya dengan perkakas baru itu. Biasanya mesin yang baru itu sama kuatnya dengan berpuluh-puluh tangan. Setelah mesin itu dipakai, maka terpisahlah kuli-kuli yang berpuluh-puluh tadi, lantara dipecat oleh tuan tanah.

Lagi pula kebun-kebun kecil mengelilingi kebun atau sawah yang luas, yang dijalankan dengan mesin. Tentu tiiada bisa bersaing dalam perniagaan hasil tanah. Sebab itu kebun yang kecil-kecil jatuh, dan kesudahannya dibeli oleh kapitalis tanah, yang selalu berdaya upaya untuk memperluas tanahnya supaya untungnya berlipat ganda. Tani kecil-kecil yang jatuh itu terpaksalah pergi kerja pada Kapitalis tani atau terpaksalah meninggalkan desanya untuk pergi mencari pekerjaan di kota-kota yang besar.

Satu dari permintaan si kapitalis yang terutama sekali, yaitu, haruslah kuli itu seorang yang merdeka. Ia merasa keberatan kalau seorang kuli masih terikat oleh sawah ladangnya sendiri, sehingga ia setengah hari mesti kerja untuknya sendiri, dan cuma setengah hari bisa kerja pada seorang tuan pabrik. Si kapitalis harus mempunyai kuli yang merdeka betul, yaitu merdeka segenap waktu untuk mengambil putusan mau tidaknya kerja dalam sebuah pabrik. Tentulah seorang yang tiada mempunyai harta apa-apapun selalu merdeka, tidak dirintangi pekerjaan sendiri, artinya yang bathin, yakni selalu ia terpaksa menjual tenaganya pada sebuah pabrik meskipun dengan harga yang murah sekali.

Permintaan si kapitalis yang kedua, yaitu haruslah banyak kaum proletar (yang tak berharta) itu melewati dari yang perlu dipakai. Kalau sesuatu barang perniagaan tidak mencukupi banyaknya, maka harganya naik, dan sebaliknya pula kalau barang itu banyaknya melewati permintaan, maka harganya turun. Demikianlah juga halnya kaum proletar, yang dipandang semacam barang perniagaan saja oleh kaum modal. Haruslah mereka itu banyaknya melewati permintaan. Supaya harganya murah. Si buruh pun sudah bersenang hati kalau ia cuma mendapat sesuap nasi saja.

Sebuah kota yang besar adalah penuh dengan pabrik-pabrik dari segala rupa yang dijalankan dengan mesin yang kuat-kuat, penuh pula dengan kaum proletar, mereka yang datang dari segenap pihak disebabkan oleh kemelaratan. Jikalau kita masuki sebuah pabrik, maka kelihatanlah beribu-ribu kaum buruh yang dikepalai oleh opzichter, ingenitur dan boekheuder. Sia-sialah kita di sana mencari yang berhak atas pabrik itu, yakni si Kapitalis, karena ia biasanya tinggal dalam istananya saja, yang berdiri di tempat yang bagus dan hawanya sehat, tiadalah dekat pabriknya dimana dikotorkan oleh asap dan sebagainya.

Segala urusan pabrik diserahkan kepada buruhnya, yang diberi gaji dan sebagian dari untung. Kalau seorang yang memiliki sebuah pabrik masih mesti sendiri menguruskan pabrik, menjaga uang masuk dan keluar serta mengatur mesin-mesin, maka belumlah ia itu boleh dikatakan seorang kapitalis, melainkan seorang bos saja. Sedemikianlah kaum hartawan yang mempunyai suatu perusahaan pada zaman dulu biasanya bos saja dan ia masih ikut campur kerja dengan kaum buruhnya sendiri. Jadi yang si kapitalis tulen itu ialah seorang hartawan yang cuma tahu akan renten (bunga) uangnya saja, yang sungguhpun ia tidur saja bisa dapat untuk beribu-ribu atau berjuta-juta.

Dua perkara yang harus dipikirkan dalam daya upaya mencari keuntungan, yakni pokok yang tidak bernyawa dan pokok yang bernyawa. Sebagaimana kita tahu, maka pokok itu dipakai untuk membeli rumah, pabrik,mesin-mesin, gerobak-gerobak dan sebagainya (pokok tak bernyawa) dan lagi untuk membayar upah kuli (pokok bernyawa). Pokok yang tak bernyawa dan yang bernyawa itulah yang mendatangkan keuntungan. Pokok yang pertama tiadalah mendatangkan pusing, karena tiap-tiap tahun mudah dikira berapa harganya mesin-mesin yang rusak. Yang mendatangkan pusing ialah mesin bernyawa (si buruh). Seboleh-boleh ia dibayar murah, tetapi kalau terlampau murah tentu ia mati kelaparan dan tidak bisa lagi mendatangangkan keuntungan.

Itulah kesukarannya, yakni mengira banyaknya upah, sehingga kuli jangan mati, dan untungnya jangan kurang.

Bukti yang ternyata bagi kita, tentulah haruslah kuli dibayar murah dan disuruh kerja lama. Makin murah bayaran dan makin lama kerjanya kuli, maka makin besar untungnya di kapitalis.

Kaum proletar yang dalam pabrik itu tidak lain kerjanya melainkan putar-memutar sekerup, dan hampirlah tiada ada perubahannya dari bulan ke tahun. Tiadalah ia boleh memikirkan ini itu, hanyalah menurut perintahnya mesin pada segenap waktu, sehingga bolehlah dikatakan sebagian dari mesin. Berlain sekali kerja seorang kuli pada zaman kapitalisme dengan seorang yang kerja tangan pada zaman dahulu kala. Dahulu si pekerja masih merdeka untuk menentukan kapan ia mesti bekerja, bagaimana ia mau membikin suatu benda dan dengan perkakas apa.

Pendeknya perkakaslah yang berhamba pada si pekerja, bukan sebaliknya. Tiadalah kita akan heran, bahwa mesin zaman sekarang menumpulkan otaknya kaum proletar. Kita lihat bahwa mesin itu sahabat dari si Kapitalis dan musuhnya si buruh. Bukankah disini juga kereta api musuh tukang-tukang kereta, yang ditarik lembu atau kuda dan bukankah pertenunan rakyat di Jawa dan perusahaan tangan yang lain-lain dijatuhkan oleh mesin-mesin dari Eropa? Sungguhpun mesin itu musuh dari kaum Proletar, tetapi kaum Hartawan selalu berikhtiar mencari mesin yang baru, dengan itu bisa mengadakan hasil lebih banyak dan lebih cepat dari pada saingannya (concurrent) sehingga barang-barangnya boleh dijual lebih murah. Lantaran ini, maka dalam persaingan itu banyak pabrik-pabrik yang jatuh, disebabkan oleh pendapatan mesin baru itu (uitvinding). Kejatuhan pabrik-pabrik itu menyebabkan lepasan beratus dan beribu kuli mesin baru tadi, tidak saja memisahkan kuli-kuli yang tak perlu dipakai lagi, tetapi juga menyebabkan Harga barang sangat turun, sehingga gajinya kaum buruh boleh pula diturunkan. Perkara ini sama sekali menambah besarnya kaum yang tidak berharta (proletar).

Oleh karena menjalankan sekerup-sekerup mesin itu adalah enteng, maka pekerjaan ini bolehlah dilakukan oleh anak-anak dan perempuan. Kemasukan manusia yang lemah ini ke dalam pabrik dipukul rata mendatangkan celaka besar atas kaum Proletar. Kanak-kanak atau perempuan itu, niscayalah akan dibayar oleh kaum modal dengan harga lebih murah dari lelaki yang besar-besar. Sebab itulah kaum buruh itu mendapat saingan (concurrent) dari pihak sanak saudaranya sendiri, yang terpaksa keluar dari rumah, utnuk panambahan rezeki hidup. Karena “bapak” saja belum cukup mendapat upah. Tetapi kecelakaan lahir (merendahkan upah) itu belumlah berapa kalau dibandingkan dengan kerusakan kebudayaan.

Mesin-mesin pabrik yang besar-besar itu tiadalah perlu berhenti sejurus juga, untuk mengambil napas, sebab itulah maka dengan sekejab hasilnya itu boleh memenuhi gudang-gudang perniagaan. Lagi pula apabila suatu barang sangat laku diperniagakan maka timbullah berpuluh-puluh pabrik yang mau menghasilkan barang perniagaan yang laku itu, sehingga pada suatu saat, tiba-tiba barang itu melimpah, yaitu melebihi dari pada permintaannya, sehingga harganya juga tiba-tiba rurun. Maka terpaksalah pabrik yang kecil-kecil ditutup (krisis). Hal ini tiap-tiap terjadi dan tiap-tiap kali menyebabkan pemecatan beribu ya berjuta kuli.

Limpahan barang-barang dan kapital itu mengadakan politik jajahan.

Kaum modal di tanah yang mempunyai industri mengerti bahwa barang-barang yang melimpah itu boleh dijualkan dengan harga yang tetap di tanah-tanah Timur, dimana kemesinan dan industrinya sendiri bolehlah dikatakan tidak ada. Lagi pula kapital-kapital itu bisa dijalankan dan dibesar-besarkan karena di Timur ini kekurangan spoor. Sebab itulah berebut-rebut kaum modal dalam perkara mendirikan spoor, yang boleh ditanggung selalu akan mendatangkan keuntungan yang besar. Selainnya dari spoor itu adalah Timur ini penuh dengan hasil-hasil tanah, baik di atas baik di dalamnya. Getah, teh, kopi, gula, dan sebagainya sangat digemari orang di tanah Eropa dan berapa banyaknya pula barang logam yang boleh mendatangkan kekayaan. Barang-barang industri (pabrik-pabrik) dari Eropa ke jajahan dan barang-barang hasil jajahan (grondstoffen dan sebagainya) dari sini ke Eropa atau Amerika, dibawa oleh kapal-kapal, sehingga pengangkutan barang-barang dari Eropa atau Amerika ke Timur ini boleh mengadakan kaum modal transport (kapal kereta). Diringkaskan saja, bahwa mempunyai jajahan itu, bagi sebuah negeri beralasan kapitalisme, adalah hal yang penting sekali.

Kapitalisme dan politik memungut jajahan (imperialisme) adalah sebagai badan dan nyawa, tak boleh bercerai-berai.

Oleh karena tidak satu saja di atas dunia negeri yang beralasan kapitalisme, maka datanglah perlombaan buat merebut jajahan untuk indsutri masing-masing.

Perlombaan itu mengadakan politik luar negeri dengan rahasia, dan mengadakan bala tentara darat dan laut yang menghisap uang tiap tahun berpuluh juta rupiah, dan mendambakan besarnya pajak (pajak) kaum yang terbanyak dalam negeri, yaitu kaum proletar. Politik luar negeri yang rahasia (Geheime diplomatic) beserta dengan perlombaan membesarkan tentara (militerisme), menyebabkan tiba-tiba saja timbul peperangan yang merugikan uang beribu juta dan jiwa manusia, lebih-lebih kaum buruh berpuluh juta.

Dalam politik rampas merampas (imperialisme) itu kaum uang dibantu keras, tidak oleh meriam dan dinamit saja, tetapi juga oleh sekolah-sekolah, surat-surat kabar, ya, gereja-gereja, segala tipu muslihat busuk dan baik dipakai, untuk menambah kuatnya kaum sendiri dan membusukkan kaum pihak musuh.

Buku-buku cerita dalam sekolah, karangan-karangan dalam surat-surat kabar dan agama-agama pun campur menolong kaum modal mempertahankan dan memperbesar “hak milik dua tiga orang Hartawan” dalam negeri yang dalam lembaga apapun juga besar sekali pengaruhnya, lebih-lebih dalam parlemen dan bank-bank.

Dengan ringkasnya di atas tadi, maka kita boleh saksikan, bahwa kemajuan mesin itu mengumpulkan orang beribu-ribu kerja pada sebuah pabrik; menambah banyaknya orang yang tak berharta (kaum proletar); menambah sengsaranya kaum yang tak berharta itu dan membesarkan perbedaan kekayaan dan kesenangan antara yang berharta dengan kaum proletar. Kita lihat pula, bagaimana persaingan (concurentie) dalam perniagaan itu betul mendatangkan pendapat mesin baru (uitvinding) dan keuntungan bagi dua tiga orang, tetapi kerap kali menjatuhkan pabrik-pabrik yang lemah dan saudagar kecil-kecil dan tiap-tiap mendatangkan krisis (harga barang turun) dalam hal-hal mana kaum proletar dilepaskan beribu-ribu. Kelimpahan modal dan barang dagangan, mengadakan politik jajahan, mengadakan tentara laut dan darat dan kesudahannya menyebabkan peperangan, dalam hal-hal mana kaum yang terbesar dan termiskin juga yang terberat menanggung kesengsaraan.

Dalam mencari keuntungan, baik dengan jalan damai maupun dengan jalan peperangan, maka kaum modal itu dibantu oleh undang-undang yang beralasan kapitalisme itu. Sekolah-sekolah pertengahan dan yang tinggi-tinggi cuma bisa dimasuki oleh anak-anak kaum hartawan juga, dan kaum kromo terpaksa disebabkan kemiskinannya segera menarik anaknya dari sekolah, supaya kanak-kanak itu bisa menolong orang tuanya mencari penghidupan. Oleh sebab itu, maka dalam pabrik-pabrik dan kereta-kereta, kaum Kromolah juga yang jadi kaum buruh, sedangkan anak-anak hartawan itu bisa menjadi pemimpin atau bisa memiliki mata pencaharian yang besar-besar (productiemiddelen).

Dalam tentarapun mereka yang keluar dari sekolah rendah itu akan tinggal jadi serdadu saja, dan mestilah menurut perintah opsir-opsir yang tinggi-tinggi, yang asalnya dari kaum modal itu. Parlemen yang penuh dengan biro-biro (kantor) rahasia dan berhubung keras dengan bank-bank pun mempunyai sifat yang bertentangan dengan kaum buruh. Undang-undang ekonomi, pendidikan, pengadilan, tentara dan Parlemen, yang sama sekali dinamai Kapitalisme itulah yang menyebabkan kaum buruh tetap tinggal kaum buruh, tetap tinggal dalam kemiskinan, kelemahan, sedangkan kaum hartawan tetap dalam kekayaan dan keselamatan.

Peraturan kapitalisme ini sama sekali dibantah keras oleh kaum Sosialis, yang menerangkan dengan jelas kemajuan kemesinan, kedatangan peraturan negeri, yang asalnya terdapat pada peraturan hak diri (particulier bezit). Hak diri inilah yang menjatuhkan hasil (pabrik kereta, dan tanah dan sebagainya) ke tangan dua tiga orang dalam negeri. Maka tiadalah akan boleh didapat keadilan dan keselamatan dalam dunia, apabila perkakas mendapatkan hasil itu belum dijatuhkan di tangan orang bekerja.

Sesudah maksud ini dilangsungkan, maka barulah segala peraturan pendidikan, pengadilan dan Soviet (Dewan Rakyat) seperti yang dikehendaki oleh kaum Komunis, lamban laun, bisa mendatangkan keadilan dan keselamatan.

 

Pasal 2. Parlemen, (kekuasaan Rakyat = Volkssouvereiniteit) memihak pada Kaum Modal.

Rasanya tiada berapa lama kita menyimpang untuk memperhatikan sedikit perlawanan Kapitalisme dan Sosialisme, sekarang kita akan semata-mata menentang kepada Parlemen saja.

Dahulu, ketika kita membicarakan kelahiran, kehidupan dan kemajuan anggota Parlemen itu tiadalah kita sedikit juga mendatangkan kritik. Dengan sengaja sebab maksud kita bukan hendak menyuruh benci lebih dahulu melainkan memberi pertimbangan yang adil. Sebab itulah harus diceritakan Parlemen itu dengan sempurnanya, sehingga tiada bisa orang mengatakan bahwa kita berat sebelah. Dalam hal itu manusia itu bersifat khilaf.

Sebagaimana pada zaman kuno, seorang raja merasa perlu memakai suatu benda yang mengetahui hal ihwal suatu negeri (Dewan) demikianlah adat itu tinggal dipakai dan dilebarkan pula dalam zaman kapitalisme ini. Kemenangan kapitalisme atas feodalisme (zaman mempunyai raja dan raja-raja kecil) disertai oleh kemenangan parlemen atas ”Dewan masa kuno” itu. Perkelahian antara raja dengan kaum Hartawan – yang mau naik itu, membayang pula dalam Parlemen, dimana partai kaum Hartawan menyerang keras pada partainya kaum Bangsawan dan raja.

Kita tahu, bahwa zaman raja itu hidupnya terutama pada zaman pertanian pertukangan, yaitu pada ketika mengadakan produksi itu terutama dengan tangan dan perkakas kuno, berlainan sekali dengan zaman kapitalisme, dimana industri itu mengadakan hasil dengan mesin yang besar-besar. Sebab itulah alatnya memerintah itu (Dewan) begitu gampang kalau kita bandingkan dengan alatnya memerintah zaman sekarang, yakni dengan Parlemen.

Janganlah kita terperdaya (menjadi bingung) kalau kita mendengar bahwa dalam suatu Parlemen itu juga ada wakilnya kaum proletar. Memang ada, tetapi mereka itu sangatlah kecil pengaruhnya atas pemerintahan negeri (menteri = permusyawaratan menteri-menteri).

Kita lihat maupun masa pemerintahan Disraeli (di tanah Inggris), maupun masa Gladstone, tidaklah ada dasar-dasar atas azas-azas pembesar-pembesar itu satu sama lain yang bertentangan betul, sungguhpun yang pertama memimpin partai konservatif (kuno) dan yang lain memimpin Liberal (progresif).

Perceraian kedua itu partai itu tidaklah disebabkan perlawanan Kapital dan upah, atau Kapitalis melawan Proletar, sekali-kali tidak, malah lantaran perbedaan pikiran tentang cepatnya kemajuan negeri, yang berdasar Kapitalisme. Apabila kita baca, bahwa Gladstone memihak pada kaum buruh, maka janganlah hal ini kita artikan bahwa Gladstone itu seorang Sosialis atau Komunis yang mau menukar ”hak diri” – (Particulier bezit) dengan ”hak bersama”. Tidak, melainkan dia membujuk kaum Proletar dengan beberapa hak-hak kecil supaya wakil-wakil kaum buruh yang dalam Parlemen mau menolongnya kalau ia kelak menaikan voorstel, yang tidak pernah berbantahkan dengan keperluannya kaum Modal. Sebaliknya pula, kalau partai liberal tidak cukup memberi umpan, maka kaum buruh tadi larilah pada kaum Konservatif, yang selalu mencari pertolongan dalam perlawanan melawan kaum liberal.

Perlawanan dua partai itu jangan kita sangkakan perlawanan nyawa, melainkan perkelahian murid-murid bersilat dalam suatu guru, ialah pura-pura. Pertentangan yang tiada berapa dalamnya itu tiadalah akan mendatangkan permusuhan yang hebat, kedua partai itu cuma berkelahi pura-pura dalam rumah yang beralasan Kapitalisme.

Dalam pada itupun wakil-wakil kaum Proletar memasuki rumah itu pula dan mencampuri perkelahiannya itu. Sebab itulah ia lupa akan maksud merubuhkan rumah kapitalisme itu, dan ia semata-mata jadi perkakasnya partai-partai kaum modal yang dua tadi juga.

Kita tidak akan menghinakan wakil kaum buruh yang dalam Parlemen itu. Kita ingat juga akan kepintaran, kecakapan dan keberanian dari setengahnya mereka itu. Kita ingat juga akan hak-haknya semacam ”hak initiatief” (membikin voorstel) ”hak Interlellatie” dan sebagainya dan tidak lupa akan kemerdekaan wakil-wakil kaum itu dalam berbicara.

Tetapi kita tahu pula bahwa ”perkataan” itu saja tidak bisa menaklukkan sifat kemodalan itu. Tidaklah bisa kepintaran dan keberanian seorang wakil membatalkan kemauan suatu pemerintah (menteri) yang memihak pada kaum kapitalis.

Kebijakan orang Perancis dalam berpidato sudahlah termasyur dimana-mana. Acapkali, kalau suatu voorstel (pertimbangan dari pemerintah atau menteri) datang, voorstel itu boleh dibatalkan oleh seorang wakil dengan kebijaksanaan. Acap kali wakil itu dapat pujian rahasia dari menteri-menteri negeri. Tetapi, kalau pemungutan suara datang, wakil yang bijaksana itu akan kalah suara juga.

Yang menentukan kalah menangnya, dalam hal pemungutan suara, ialah kuatnya partai, dan partai yang terkuat baik di Eropa, baik di Amerika (yang termasyur demokrasinya itu) ialah partai kaum Modal juga. Inilah yang bisa menaikkan voorstel dengan berhasil. Ia inilah yang sebetulnya memerintah.

Bagaimanapun juga aturannya parlemen itu, konon yang kuat dalam perjuangan ekonomi, itulah juga yang akan berkuasa dalam Parlemen. Gereja-gereja yang dapat bantuan keras dari kaum Modal juga ikut menjalankan tipu muslihat kalau waktu pemilihan wakil-wakil di Parlemen itu datang. Sebagian besar dalam negeri, yakni kaum tani atau buruh masih dengan mudah kena pengaruh kuat pendeta-pendeta, yang memakai senjata-senjata agama. Sering-sering si Kromo diancam dengan ”api neraka” kalau ia berani memilih wakil yang bukan dari partai kaum agama itu. Di pabrik-pabrik, di kereta atau di sekolahpun tiadalah kurang propaganda kaum modal itu.

Surat-surat kabar yang besar-besar, yang hampir sama sekali dijalankan oleh atau kena pengaruh kaum Modal, tiada putus berteriak menyuruh memilih kandidat-kandidatnya, sehingga sungguhpun banyaknya kaum kapitalis sangat kecil, tetapi wakilnya ada kira-kira ¾  (seperti di negeri Belanda).

Lebih-lebih pada suatu negeri, yang belum dewasa Parlemennya, nyata sekali perlawanan satu golongan dengan golongan yang lain, bukan buruh melawan kapitalis saja, tetapi juga kapitalis besar melawan kapitalis kecil.

”Eugen Richter” menceritakan dalam buku peringatannya pada waktu membicarakan voorstel pajak tembakau dalam tahun 1879 di tanah Jerman seperti berikut:

”Wakil-wakil dari daerah perkebunan tembakau (tuan tanah) kecil memvoorstel, supaya tembakaunya jangan diberati pajak tetapi meminta supaya tembakau yang masuk dari negeri asing diberati betul. (Disini kelihatan, bahwa keperluan tuan tanah kecil dengan keperluan saudagar, yang menjualkan tembakau tanah asing itu di tanah jerman, adalah bertentangan). Tetapi wakil-wakil saudagar tembakau asing itu, meminta supaya tembakau masuk jangan di bea-i berat oleh pemerintah, sedangkan wakil-wakil dari tuan-tuan tembakau industri (kapitalis sejati), memvoorstel, supaya maupun tembakau tuan tanah kecil, maupun tembakaunya tuan-tuan saudagar di-bea-i betul-betul. Pengharapan raja-raja tembakau industri itu, tidak lain malah supaya saingannya sama sekali jatuh.”

Tembakau saja sudah mendatangkan begitu huru-hara. Apalagi kalau kaum modal yang lain-lain (besi, tambang, dan sebagainya) masing-masing meneruskan kemauannya. Kutipan sedikit dari ceritera tuan Von Gerlach itu memberi keyakinan bagi kita, bahwa Parlemen itu bayang-bayang perkelahian ekonomi dalam negeri, yakni antara buruh dan kapitalis, Modal kecil melawan Modal besar.

Dahulu sudah kita terangkan, bahwa voorstel, yang biasa dikabulkan, yakni yang datangnya dari pemerintah juga (menteri), yang berhubungan dengan partai yang terkuat dalam Parlemen. Tetapi tiadalah partai itu saja yang mendatangkan kemenangan.

Menteri yang mau membikin voorstel itu haruslah lebih dahulu mencari keterangan yang lanjut.

Maka segala keterangan-keterangan itu boleh didapatnya pada biro-biro, yang penuh dengan ambtenaaar-pejabat yang sudah duduk bertahun-tahun, yang ahli atas berpuluh-puluh undang-undang dan statistik-statistik. Apabila seorang menteri kelak dalam Parlemen berdebat dengan seorang wakil (wakil kaum buruh umpamanya) yang tidak pintar putar memutar undang-undang, tidak tahu atas statistik yang sudah bertahun-tahun itu, tentulah si wakil itu akan dipermainkan saja oleh menteri itu, seperti tikus dipermainakn oleh kucing. Sungguhpun wakil kaum buruh dengan keras dan yakin menyaksikan kesengsaraan si Kromo, yang tempatnya tinggal tidak berdekatan dengan biro-biro yang benar-benar itu, tetapi kekerasan dan keyakinan itu akan mudah dipadamkan oleh angka-angka dari statistik-statistik. Seorang yang menyaksikan dengan mata sendiri bisa dikalahkan oleh seorang yang pandai berhitung, sebab itulah maka keperluan kaum buruh itu kerap kali bertentangan dengan sifatnya pejabat atau biro.

Karena seorang menteri barulah merasa kuat kalau ia sudah dapat bantuan dari biro (di antaranya ada gehsim bareau = rahasia) (acapkali pejabat dari suatu biro ikut menolong menteri kalau ia berdebat), maka beranilah kita memutuskan bahwa sifatnya pemerintah yang berasalan parlementerisme itu birokratis. Apabila kita pikirkan lagi, bahwa biro-biro itu keras perhubungannya dengan Bank-bank (benteng kaum uang), maka tiada akan mendatangkan keheranan bagi kita bahwa sesuatu Parlemen tidak bisa lepas dari pengaruh kaum Modal.

Dahulu sudah kita tuliskan bahwa menurut ilmu Parlementerisme itu maka kekuasaan Rakyat (Volsksouvereniteit) dipindahkan pada Parlemen, dan kekuasaan Parlemen sebagian dipindahkan pada menteri, yang dikepalai oleh seorang Premier (seperti di tanah Inggris).

Kalimat di atas ini banyak celahnya.

Pertama wakil-wakil dalam Parlemen itu dipilih sekali 4 atau 6 tahun. Dalam waktu mereka itu duduk dalam Parlemen tentulah pikiran Rakyat yang memilihnya sudah berubah-ubah.

Juga lantaran wakil-wakil itu tidak campur lagi sama Rakyat, maka tiadalah mereka boleh dikatakan wakil Rakyat lagi, karena seorang wakil itu mestinya semata-mata orang suruhan saja.

Kedua, pemerintahan diceraikan atas ”yang membikin undang-undang” (Parlemen) dan ”Yang menjalankan undang-undang” (menteri). Oleh sebab, seperti diterangkan di atas, menteri itu penuh dengan biro-biro, maka ”pembikin undang-undang” dan ”menjalankan undang-undang” sebenarnya jatuh pada menteri. Sebab perhubungannya biro-biro dalam menteri dengan Bank-bank dan sebagainya maka lantaran itulah suatu negeri yang mempunyai Parlemen (kekuasaan rakyat jangan lupa) mau saja memungut pajak untuk militer darat dan laut, mau saja merampas tanah atau harta orang-orang, mau saja mengijinkan berperang, pendeknya mau saja mengikuti kemauannya kaum Modal, yang tidak kenyang-kenyangnya itu dalam hal mencari keuntungan.


BAB III: DARI NEGERI BELANDA KE BENUA ASIA
DAFTAR ISI
BAB V: BISAKAH PARLEMEN ITU DIPAKAI UNTUK MENDATANGKAN CITA-CITA SOSIALISME?