Keluarga Suci

Marx dan Engels (1845)


BAB VIII

PERJALANAN DUNIAWI DAN TRANSFIGURASI KRITIK KRITIS
ATAU
KRITIK KRITIS DALAM PERSON RUDOLPH, PANGERAN GEROLDSTEIN

 

“Rudolph,” Pangeran Geroldstein “menebus dosa” dalam “perjalanan duniawinya” untuk suatu kejahatan “rangkap”; kejahatannya “pribadi” dan kejahatan “Kritik Kritis.” Dalam sebuah dialog penuh amarah ia mencabut pedangnya terhadap ayahnya; Kritik Kritis, juga dalam sebuah dialog penuh amarah, membiarkan dirinya terbawa oleh perasaan-perasaan penuh dosa terhadap Massa. Kritik Kritis tidak mengungkapkan satupun misteri. Rudolph menebus dosa untuk itu dan menungkapkan semua misteri.

Rudolph, demikian Herr Szeliga memberitahukan kita, adalah pelayan “pertama” dari negara kemanusiaan (Negara Kemanusiaan, oleh Suabian Egidius. Cf. Konstitusionelle Jahrbücher oleh Dr. Karl Weil,1844, Vol.2).

Agar “dunia tidak dihancurkan,” Herr Szeliga menandaskan, adalah perlu agar

“orang-orang dengan kritik yang kejam tampil ... Rudolph adalah seseorang dari jenis itu ... Rudolph menangkap pikiran mengenai kritik murni. Dan pikiran itu adalah lebih bermanfaat baginya dan semua kemanusiaan daripada semua pengalaman kemanusiaan dalam seluruh sejarahnya, daripada semua pengetahuan yang Rudolph, bahkan dengan pengarahan guru yang paling dapat diandalkannya, telah dapat diderivasi dari sejarah itu. – Penilaian yang tidak memihak yang dengannya Rudolph mengabadikan perjalanan duniawi-nya adalah, sesungguhnya, tidak lain dari:

pengungkapan misteri-misteri masyarakat.”

Ia adalah “misteri dari semua misteri yang terungkap.”

Rudolph mempunyai jauh lebih banyak alat eksterior tersedia bagi dirinya daripada orang-orang Kritik Kritis lainnya. Tetapi yang tersebut terdahulu menghibur dirinya sendiri:

“Tidak dapat dicapai oleh mereka yang kurang diuntungkan oleh nasib adalah hasil-hasil (!) Rudolph, tidak-dicapai adalah tujuannya yang bagus sekali (!).”

Itulah sebabnya mengapa Kritik membiarkan “pelaksanaan pikiran-pikirannya sendiri” pada Rudolph, yang begitu dimanja oleh nasib. Ia bernyanyi padanya:

Hahnemann, Maju terus.

Anda memakai alat-penyeberang,

Anda tidak akan menjadi basah![63]

Mari kita menemani Rudolph dalam perjalanan duniawinya yang Kritis yang lebih bermanfaat bagi kemanusiaan daripada semua pengalaman kemanusiaan dalam keseluruhan sejarah, daripada semua pengetahuan dsb. dan yang menyelamatkan dunia dua kali dari kehancuran.

 

1. Transformasi Kritis Seorang Jagal menjadi seekor Anjing atau Chourineur

“Chourineur” adalah seorang jagal karena pekerjaannya. Suatu kumpulan situasi menjadikan putera alam yang perkasa ini seorang pembunuh. Rudolp bertemu dengannya secara kebetulan ketika ia sedang menganiaya Fleur de Marie. Rudolph mendaratkan beberapa tonjokan ahli yang mengesankan ke kepala tukang cek-cok yang trampil itu, dan dengan demikian menjadi dihormati olehnya. Kemudian, di kedai penjahat itu, watak “Chourineur” yang berhati-baik itu terungkap. “Anda masih mempunyai hati dan kehormatan,” Rudolph berkata padanya. Dengan kata-kata ini ia membakar “Chourineur” dengan penghormatan bagi dirinya sendiri. “Chourineur” mengubah atau, serperti dikatakan Herr Szeliga, ditransformasi menjadi “makhluk moral.”

Rudolph menarohnya di bawah perlindungannya. Mari kita mengikuti proses pendidikan Chourineur dengan pengarahan Rudolph.

Tahap pertama. Pelajaran pertama yang didapat Chourineur adalah suatu pelajaran dalam kemunafikan, ketidak-setiaan, keprigelan dan penipuan. Rudolph menggunakan Chourineur yang disusilakan dengan cara yang presis sama sebagaimana Vidocq menggunakan para penjahat yang telah disusilakannya, yaitu, ia menjadikannya seorang “mouchard dan agen provokator.”

Ia menasehatinya agar “berdalih” pada “pemimpin gang” bahwa ia telah mengubah asas tidak-mencuri dan menyarankan sebuah perampokan untuk memancingnya memasuki jebakan yang dipasang oleh Rudolph. “Chourineur” merasa dirinya disalah-gunakan untuk sebuah “pertunjukan jenaka.” Ia memrotes terhadap saran untuk memainkan peranan sebagai “mouchard” dan “agen provokator.” Rudolph dengan mudah sekali meyakinkan putera alam itu dengan “permainan kata-kata semurninya” dari Kritik Kritis bahwa suatu tipuan kotor tidaklah kotor apabila itu dilakukan untuk motif-motif moral, motif-motif “yang baik Chourineur,” sebagai seorang agen provokator dan dengan dalih persahabatan dan kepercayaan, memancing mantan rekannya itu pada kehancuran. Untuk “pertama-kalinya dalam hidupnya” ia melakukan suatu tindakan “kekejian.”

Tahap kedua. Kemudian kita mendapati “Chourineur” bertindak sebagai “juru-rawat” Rudolph, yang telah diselamatkannya dari bahaya maut.

“Chourineur” telah menjadi seorang “makhluk moral” yang begitu “sopan” sehingga ia menolak saran dokter negro David untuk duduk di lantai, karena takut mengotori karpet. Ia memang terlalu malu untuk duduk di atas sebuah kursi. Ia mula-mula merebahkan kursi itu di astas sandarannya dan kemudian ia duduk di atas kaki-kaki depan kursi itu. Ia selalu meminta maaf apabila berbicara pada Rudolph, yang telah diselamatkannya dari bahaya maut, sebagai “sahabat” atau “Monsieur” gantinya “Monseigneur.”

Sungguh suatu terobosan yang ajaib dari seorang putera yang kasar dari alam! “Chourineur” mengungkapkan rahasia terdalam dari transformasi Kritis dirinya ketika ia mengaku pada Rudolph bahwa dirinya mempunyai kasih-sayang yang sama akan dirinya seperti seekor bull-dog akan tuannya: “Je me sens pour vous, comme qui dirait l’attachemnent d’un bouledogue pour son maître.” Mantan jagal itu telah berubah menjadi seekor anjing. Seterusnya, semua kebaikannya akan diubah menjadi kebaikan seekor anjing, “semurninya pengabdian” pada tuannya. Kemerdekaannya, individualitasnya akan lenyap sepenuhnya. Tetapi, sebagaimana pelukis-pelukis buruk mesti memberi label pada lukisan-lukisan mereka untuk mengatakan maksud yang mau dicerminkan lukisan-lukisan itu, Eugène Sue mesti memasang sebuah label dalam mulut bull-dog Chourineur agar ia selalu menegaskan: “Kedua kata-kata itu, Anda masih mempunyai hati dan kehormatan, menjadikan aku seorang manusia.” Hingga nafasnya yang terakhir Chourineur akan menemukan motif-motif bagi perbuatan-perbuatannya, tidak dalam individualitas manusianya, tetapi dalam label itu. Sebagai sebuah bukti dari perubahaan moralnya, ia akan seringkali menggambarkan kehebatan dirinya sendiri dan kelicikan para individu lainnya. Dan setiap kali ia melontarkan pernyataan-pernyataan moralistik, Rudolph akan berkata padanya: “Aku suka mendengar anda berbicara seperti itu. Chourineur” tidak menjadi seekor “bull-dog biasa,” tetapi “seekor bull-dog moral.”

Tahap ketiga. Kita sudah mengagumi “kesopanan borjuis-kecil” yang telah menggantikan tempat ketidak-formalan “Chourineur yang kasar tetapi berani.” Kita sekarang mengetahui bahwa, selagi ia menjadi seorang “makhluk moral,” ia juga mengadopsi gaya dan sikap “borjuis kecil. Melihat gayanya anda akan menganggapnya sebagai borjuis kecil yang paling tidak berbahaya di dunia.”

Yang semakin mengecilkan hati daripada bentuk ini adalah isi yang diberikan Rudolph pada kesamaannya yang telah direformasi secara Kritis. Ia mengirimkannya ke Afrika “untuk menunjukkan suatu contoh yang hidup dan bermanfaat dari penyesalan/penebusan pada dunia yang tidak percaya.” Di masa mendatang ia akan mesti mendemonstrasikan, bukan sifat manusiawinya sendiri, tetapi sebuah dogma Kristiani.

Tahap keempat. Transformasi moral secara Kritis telah menjadikan Chourineur seorang yang pendiam, yang berhati-hati, yang berkelakuan sesuai peraturan-peraturan ketakutan dan kebijakan duniawi.

Le Chourineur,” demikian laporan Murph, yang di dalam kesederhanaannya yang tidak bijaksana selalu menceritakan kisah-kisah dari sekolah, n’a pas dit un mot de l’éxécution de maître d’école, de peur de se trouver compromis.

Demikianlah Chourineur mengetahui bahwa eksekusi pemimpin itu adalah tidak sah/legal. Tetapi ia tidak berbicara tentang itu karena takut membahayakan dirinya sendiri. “Pintarnya Chourineur!”

Tahap kelima. “Chourineur” telah membawa pendidikan mortalnya hingga kesempurnaan yang sedemikian rupa sehingga ia memberikan pengabdiannya yang serba-anjing terhadap Rudolph suatu bentuk beradab – menjadi sadar akan hal itu. Setelah menyelamatkan “Germain” dari suatu bahaya maut, ia berkata padanya: “Aku mempunyai seorang pelindung yang bagiku adalah seperti Tuhan bagi para pendeta – cukup untuk membuat orang berlutut di depannya.”

            Dan di dalam imajinasinya ia berlutut di depan Tuhan-nya.

“Monsieur Rudolph,” katanya pada Germain, “melindungi dirimu. Aku mengatakan Monsieur sekalipun aku mestinya mengatakan Monseigneur. Tetapi aku telah terbiasa menyapanya dengan Monsieur Rudolph, dan ia memperkenankan aku seperti itu.”

Kebangkitan dan kemekaran yang luar-biasa! Berseru Herr Szeliga dalam kesuka-citaan Kritis.

Tahap keenam. “Chourineur” secara patut mengakhiri perjalanan duniawinya akan pengabdian murni, akan kebulldogan moral, dengan membiarkan dirinya pada akhirnya ditikam hingga mati bagi tuannya yang agung. Tepat sebagaimana Squelette mengancam sang pangeran dengan pisaunya, “Chourineur” menghentikan tangan pembunuh itu. Squelette menikamnya. Tetapi, dalam sekaratnya, “Chourineur” berkata pada Rudolph:

“Aku ternyata benar ketika aku mengatakan bahwa segenggam tanah (seekor bull-dog) seperti diriku kadang-kadang dapat berguna bagi seorang guru/tuan yang besar dan agung seperti anda.”

Pada ucapan kanine (anjing) ini, yang menyimpulkan keseluruhan kehidupan Kritis Chourineur bagaikan sebuah epigram, label yang diletakkan di dalam mulutnya menambahkan:

“Kita seri, Monsieur Rudolph. Anda mengatakan padaku bahwa aku mempunyai hati dan kehormatan.”

“Herr Szzeliga berteriak sekeras ia dapat”:

Betapa berjasanya Rudolph yang telah memulihkan Shuriman (!) pada kemanusiaan (?)!”

 

2) Pengungkapan Misteri Agama Kritis atau Fleur de Marie

a) “Daisy” Spekulatif

Sepatah kata lagi tentang “Daisy” spekulatif Herr Szeliga sebelum kita melanjutkan pada “Fleur de Marie Eugène Sue.”

Di atas segala-galanya, “Daisy” spekulatif adalah sebuah koreksi. Kenyataannya adalah bahwa pembaca dapat menyimpulkan dari konstruksi Herr Szeliga bahwa “Eugène Sue” telah “memisahkan penyajian basis obyektif [dari sistem dunia] dari perkembangan individual yang bertindak, kekuatan-kekuatan yang hanya dapat dipahami (dengannya) sebagai suatu latar-belakang.”

Di samping tugas untuk mengoreksi perkiraan yang salah ini, yang mungkin telah dibuat pembaca dari penyajian Herr Szeliga, Daisy adalah juga sebuah missi metafisik dalam kita punya, atau lebih tepatnya, epik Herr Szeliga.

Sistem dunia dan peristiwa-peristiwa epik belum akan dipadukan secara artistik dalam sebuah keutuhan tunggal apabila mereka hanya saling-silang dalam sebuah campuran acakan –sebentar di sini sedikit sistem dunia dan kemudian di sana sedikit adegan panggung. Jika mesti dihasilkan kesatuan yang sesungguhnya, maka kedua-duanya, misteri-misteri dari dunia yang berprasangka dan kejernihan, keterbukaan dan kepercayaan yang dengannya Rudolph menembus dan mengungkapkannya mesti berbenturan dalam suatu individual tunggal ... Ini tugas Daisy itu.”

Herr Szeliga menjelaskan Daisy dengan beranalogi dengan konstruksi Herr Bauer mengenai “Ibunda Tuhan.”

Di satu sisi adalah “Rudolph ilahi” yang kepadanya semua kekuasaan dan kebebasan dijulukkan, satu-satunya asas “aktif.” Di sisi lain adalah sistem dunia yang pasif dan makhluk-makhluk manusia yang termasukdi dalamnya. Sistem dunia merupakan “dasar bagi realitas.” Jika dasarini tidak untuk “seluruhnya ditinggalkan” atau “sisa terakhir dari situasialamiah tidak untuk dihapuskan”; jika dunia sendiri mesti mempunyaibagiannya sendiri di dalam “asas perkembangan” yang Rudolph, berbedadengan dunia, pusatkan dalam dirinya sendiri; jika “yang manusia tidakuntuk disajikan sebagai tidak-bebas dan tidak-aktif tanpa kualifikasi,”maka Herr Szeliga mesti jatuh ke dalam “kontradiksi kesadaran religius.”Sekalipun ia merobek-robek sistem dunia dan aktivitasnya sebagaidualisme suatu massa mati dan Kritik (Rudolph), ia tetap berkewajibanuntuk mengakui beberapa atribut keilahian pada sistem dunia dan massaitu dan menguraikan dalam Daisy itu kesatuan spekulatif dari keduaduanya,dari Rudolph dan dunia (cf. Kritik der Synoptiker, Vol. !, hal.39).

Di samping hubungan-hubungan sesungguhnya dari sang “pemilik, daya individual” yang aktif itu, dengan rumah-nya “basis obyektif” – spekulasi mistik, dan spekulasi estetik juga, memerlukan suatu “kesatuan spekulatif ketiga yang konkrit,” suatu “subyek-obyek” yang adalah rumah itu dan pemilik itu “dalam satu.” Karena spekulasi tidak menyukai mediasi-mediasi alamiah di dalam sirkumstansialitas mereka yang ekstensif, ia tidak memahami bahwa “sedikit sistem dunia” yang sama itu, rumah itu, misalnya, bagi yang satu, yaitu sang pemilik, adalah sebuah “basis obyektif,” adalah suatu “peristiwa epik” bagi yang lain, sang pembangun, misalnya. Untuk mendapatkan suatu “keutuhan yang sungguh-sungguh tunggal” dan “kesatuan sesungguhnya,” Kritik Kritis, yang menegur “seni romantik” dengan “dogma kesatuan” itu, menggantikan kaitan alamiah dan manusiawi di antara sistem dunia dan peristiwa-peristiwa dunia dengan suatu koneksi fantastik, suatu subyek-obyek mistik, sebagaimana “Hegel” menggantikan kaitan sesungguhnya antara manusia dan alam dengan suatu Subyek-Obyek mutlak, yang sekaligus adalah keseluruhan alam dan keseluruhan kemanusiaan, Spirit Mutlak.

Pada (dalam) Daisy Kritis “kesalahan universal zaman, kesalahan misteri” menjadi “misteri kesalahan” tepat sebagaimana hutang universal misteri menjadi “misteri hutang” itu pada (dalam) penjual bahan pangan yang berhutang.

Menurut kontruksi Ibunda-Tuhan, sesungguhnya Daisy mestinya “ibunda Rudolph,” juru selamat-dunia. Herr Szeliga secara tegas-tegas mengatakan begitu:

“Secara logis, Rudolph semestinya putra Daisy.”

Namun, karena ia bukan puteranya, tetapi ayahnya, Herr Szeliga mendapatkan di dalamnya “misteri baru bahwa masa-kini seringkali menanggung masa-lalu yang telah lama berlalu di dalam perutnya gantinya masa depan.” Ia bahkan mengungkapkan sebuah misteri lain, sebuah misteri yang lebih besar, sebuah misteri yang secara langsung mengontradiksi statistik-statistik yang serba-massal, misteri bahwa seorang “anak, jika ia tidak, pada gilirannya, menjadi seorang ayah atau seorang ibu; tetapi ke kuburannya dalam keadaan murni dan tidak bersalah, sebagai ... pada dasarnya ... seorang anak perempuan.”

Herr Szeliga secara setia mengikuti spekulasi Hegel ketika, “secara logik” ia menjadikan sang anak-perempuan itu seakan-akan ibu dari ayahnya. Dalam History of Philosophy Hegel seperti dalam Philosophy of Nature-nya, sang putera melahirkan ibu, Spirit melahirkan alam, religi Kristiani melahirkan paganisme, hasilnya awal itu.

Setelah membuktikan bahwa “secara logik” Daisy semestinya adalah ibu Rudolph, Herr Szeliga membuktikan yang sebaliknya: “agar supaya sepenuhnya bersesuaian dengan ide yang diwujudkannya itu di dalam epik kita, maka ia selamanya tidak boleh menjadi seorang ibu.” Ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa ide dari epik kita dan logika Herr Szeliga adalah saling berkontradiksi.

Daisy spekulatif tidak lain dan tidak bukan adalah “perwujudan sebuah ide.” Tetapi ide apa? “Ia mempunyai tugas untuk mewakili, sepertinya, titik airmata terakhir dari kepedihan yang diteteskan pada seluruh pelenyapannya.” Ia merupakan suatu pencerminan dari setitik airmata alegorikal, dan bahkan yang sekecil-kecil ia adanya, ia hanya “sepertinya.”

Kita tidak akan mengikuti Herr Szeliga dalam penyajiannya lebih lanjut mengenai Daisy. Kita membiarkan/meninggalkan padanya (Daisy), sesuai petunjuk Herr Szeliga, yang “merupakan kontradiksi yang paling menentukan bagi setiap orang,” sebuah kontradiksi yang sama misteriusnya seperti atribut-atribut Tuhan.

Kita juga tidak akan menggali ke dalam “misteri yang sesungguhnya, yang disimpan oleh Tuhan dalam dada manusia” yang kepadanya Daisy Spekulatif “sepertinya juga” mengisyaratkan. Kita akan beralih dari Daisy Herr Szeliga pada Fleur de Marie Eugène Sue dan pada pengobatan ajaib yang Kritis yang dilakukan Rudolph atas diri Daisy.

b) Fleur de Marie

Kita menemukan Marie dikelilingi para penjahat, seorang pelacur, seorang hamba dari wanita-pemilik sebuah kedai para penjahat. Dalam kehinaan ini ia mempertahankan suatu keagungan roh manusia, suatu ketidak-ternodaan manusia dan suatu keindahan manusia yang mengesankan semua di sekeliling dirinya, yang mengangkatnya ke tingkat sekuntum bunga puitikal dari dunia kejahatan dan yang memenangkan baginya nama Fleur de Marie.

Kita mesti mengamati Fleur deMarie dengan sepenuh-penuh perhatian dari penampilannya yang pertama agar dapat membandingkan bentuk aslinya dengan “transformasi Kritis”-nya.

Dengan segala kerapuhannya, Fleur de Marie menunjukkan vitalitas, enerji, keriangan, keluwesan watak yang besar – kualitas-kualitas yang itu sendiri menjelaskan perkembangan manusiawinya dalam situasinya yang tidak-manusiawi.

Ketika “Chourineur” memperlakukannya dengan buruk, ia mempertahankan/membela diri dengan sepasang guntingnya. Itulah keadaan di mana kita pertama-tama mendapatinya. Ia tidak tampak sebagai seekor domba yang tidak-berdaya, yang menyerah tanpa sedikitpun perlawanan terhadap kebrutalan yang luar-biasa itu; ia seorang gadis yang dapat membela hak-haknya dan melakukan suatu perlawanan.

Di kedai para penjahat di rue aux Fevès ia mengisahkan riwayat hidupnya pada “Chourineur” dan Rudolph. Sambil melakukan itu ia tertawa atas kejenakaan “Chourineur.” Ia meminta maaf karena tidak mencari pekerjaan setelah pembebasan dirinya dari penjara dan telah menghabiskan 300 franc yang diperolehnya untuk bersenang-senang dan membeli pakaian. “Tetapi,” demikian ia berkata, “aku tidak mempunyai seorangpun yang menasehatiku.” Kenangan akan malapetaka kehidupannya –menjual dirinya pada wanita-pemilik dari kedai para penjahat itu– membangkitkan kemurungan pada dirinya. Adalah untuk pertama-kalinya sejak masa kanak-kanaknya ia mengingat kembali peristiwa-peristiwa ini. “Kenyataannya adalah bahwa memedihkan sekali jika aku mengengok ke masa lalu ... Pasti sangatlah indah kejujuran itu.” Ketika “Chourineur” menertawakannya dan mengatakan padanya bahwa ia mesti menjadi jujur, ia berseru: “Jujur! Tuhanku! Dengan apa kau menghendaki agar aku jujur?” Ia berkeras bahwa dirinya bukanlah orang “yang mesti bercucuran air-mata (je ne suis pas pleurnicheuse); tetapi kedudukannya dalam kehidupan adalah menyedihkan – ce n’est pas gai.” Pada akhirnya, bertentangan dengan penyesalan Kristiani, ia mengekspresikan “sang stoic (sang panahan nafsu) dan sekaligus asas manusia, asas “epikurian” dari suatu sifat yang bebas dan kuat:

Enfin ce qui est fait, est fait.”

Mari kita ikut bersama Fleur de Marie pada kencan-keluarnya yang pertama kali dengan Rudolph.

“Kesadaran akan situasimu yang mengerikan boleh-jadi menekan rohmu,” Rudolph berkata, sudah gatal bersusila. “Betul,” jawabnya, “lebih dari sekali aku memandang lewat dinding jembatan sungai Seine; tetapi kemudian aku akan memandang bunga-bunga dan matahari dan berpikir bahwa sungai itu akan selalu berada di situ dan aku baru berusia tujuh belas tahun. Siapa yang tahu? Pada saat-saat seperti itu aku berpikir apakah memang ini nasibku, bahwa ada yang baik di dalam diriku. Orang telah cukup menyiksa diriku, demikian aku biasa berkata pada diri sendiri, tetapi setidak-tidaknya aku tidak pernah berbuat jahat terhadap siapapun.”

Fleur de Marie memandang situasi dirinya tidak sebagai suatu ciptaan yang bebas, tidak sebagai ungkapan dari dirinya sendiri, tetapi sebagai suatu nasib yang tidak selayaknya bagi dirinya. Nasibnya yang buruk dapat berubah. Ia masih muda.

“Baik” dan “buruk,” dalam pikiran Marie, bukanlah “abstraksi-abstraksi” moral dari kebaikan dan kejahatan. Ia, dirinya, adalah “baik” karena ia tidak pernah menyebabkan “penderitaan” bagi siapapun, ia telah selalu “manusiawi” terhadap sekeliling dirinya yang tidakmanusiawi. Ia “baik” karena matahari dan bunga-bunga mengungkapkan pada dirinya sifat dirinya sendiri yang cerah dan berbunga. Ia “baik” karena ia masih “muda,” penuh harapan dan vitalitas. Keadaan “tidak baik” karena melakukan kekerasan tidak-wajar atas dirinya, karena itu bukan pencerminan dari dorongan-dorongan hatinya yang manusiawi, pemenuhan hasrat-hasrat manusiawinya; karena itu penuh siksaan dan hampa dari kesenangan. Ia mengukur keadaan kehidupannya dengan “individualitas dirinya sendiri,” hakekat “alamiah” dirinya, tidak dengan “ideal kebaikan.”

Dalam lingkungan-lingkungan “alamiah,” rantai-rantai kehidupan borjuis lepas dari Fleur de Marie; dengan bebas ia dapat memanifestasikan sifat dirinya sendiri dan karenanya ia penuh bergelembung dengan cinta akan kehidupan, dengan suatu kekayaan perasaan, dengan kebahagian manusia pada keindahan alam; semua ini menunjukkkan bahwa sistem borjuis hanya menyerempet permukaan dirinya dan itu hanyalah sekedar kemalangan, bahwa ia sendiri tidaklah baik ataupun buruk, tetapi manusiawi.

“Monsieur Rudolph, kebahagiaan ini! ... rumput, ladang-ladang! seandainya saja anda membiarkan aku keluar, cuaca begitu indah ... Aku ingin sekali berlari-lari di padang rumput itu.”

Turun dari kereta itu ia memetik bunga untuk Rudolph, “nyaris tidak bisa berkata-kata karena kegirangannya,” dsb.

Rudolph mengatakan padanya bahwa ia akan membawa Marie ke “perusahaan pertanian Madame Geoges”: di sana ia (Marie) akan melihat bekupon-bekupon burung-dara, kandang-kandang sapi dan sebagainya; di sana akan ada susu, mentega, buah-buahan dsb. Itu semua merupakan berkat sesungguhnya bagi anak itu. Ia akan bersuka-ria, itulah pikiran utamanya. Anda sungguh tidak dapat membayangkan betapa aku merindukan kesenangan! Ia menjelaskan pada Rudolph tanpa sedikitpun
pengendalian hingga seberapa jauhnya dirinya mesti dipersalahkan atas nasibnya. “Sebab seluruh nasibku adalah karena aku tidak menyimpan uangku.” Karenanya ia menganjurkan Rudolph agar berhemat dan menaruh uangnya di bank simpanan. Khayalnya menjadi liar di istana-istana udara yang dibangun Rudolph untuk dirinya. Ia hanya menjadi sedih karena ia “sedang melupakan masa-kini” dan “kontrasnya masa kini dengan impian suatu kehidupan yang menyenangkan dan penuh tawa yang mengingatkannya pada kekejaman situasi dirinya.”

Sejauh ini telah kita melihat Fleur de Marie dalam bentuk aslinya yang tidak-Kritis. Eugène Sue di sini telah naik di atas kaki-langit pandangan dunianya sendiri yang sempit. Ia telah menampar prasangka borjuis di mukanya. Ia akan menyerahkan Fleur de Marie pada pahlawan Rudolph untuk menebus ketergesa-gesaannya sendiri dan untuk meraih tepuk-tangan dari semua laki-laki dan wanita tua, dari keserluruhan kepolisian Paris, dari religi yang berlaku dan dari “Kritik Kritis.”

Madame Georges, yang kepadanya Rudolph meninggalkan Fleur de Marie, adalah seorang wanita religius, yang hipokondriak (hypochondriac = yang selalu mencemaskan kesehatan diri), yang tidak-bahagia. Ia langsung menyambut anak itu dengan kata-kata bermanis-manis: Tuhan memberkati mereka yang mengasihinya dan takut padanya, yang tidak-bahagia dan menyesal. Rudolph, laki-laki Kritik murni, telahmemangggil pendeta yang malang, Laporte, yang rambutnya telahberuban dalam ketakhayulan. Ia mempunyai missi melaksanakanreformasi Kritik Fleur de Marie.

Penuh sukacita dan tanpa terkekang, Marie datang pada pendeta tua itu.Dalam kebrutalan Kristianinya Eugène Sue menggunakan suatu naluri yang mempesona dengan seketika membisikkan ke telinganya bahwa “malu berakhir di saat penyesalan dan bertobat dimulai,” yaitu, di gereja, yang adalah satu-satunya yang dapat memberi kebahagiaan. Ia lupa akan keriangan yang tak-terkendali dari kencan-keluar itu, suatu keriangan yang dihasilkan oleh berkat-berkat alam dan simpati Rudolph yang bersahabat, dan yang hanya terganggu oleh pikiran akan keharusan pulang pada wanita-pemilik kedai para penjahat itu.

Pendeta itu seketika mengambil suatu sikap adi-duniawi. Kata-katanya yang pertama adalah:

“Kasih Tuhan tidak terhingga, anakku sayang! Ia telah membuktikan itu padamu dengan tidak meninggalkan dirimu dalam cobaan-cobaan yang ganas itu…… Orang yang murah-hati yang menyelamatkan dirimu telah memenuhi kalam dalam Kitab-Injil” [catat – kata dari Kitab-Injil, bukan suatu maksud/tujuan manusiawi!]: “Sangat dekatlah Tuhan pada mereka yang memohon padanya; ia akan memenuhi hasrat-hasrat mereka ... ia akan mendengar suara mereka dan akan menyelamatkan mereka ... Tuhan akan melaksanakan karya- nya.”

Namun Marie belum dapat memahami arti jahat dari ungkapan-ungkapan pendeta itu. Ia menjawab: “Aku akan berdoa untuk mereka yang mengasihi diriku dan membawa diriku kembali pada Tuhan.”

Pikirannya yang pertama-tama bukanlah akan Tuhan, pikiran itu adalah bagi juru-selamatnya yang manusiawi dan juru-selamatnya itu adalah ia yang untuknya Marie berdoa, bahkan tidak untuk pengampunan “dirinya sendiri.” Ia mengatributkan pada doanya sesuatu pengaruh mengenai penyelamatan orang-orang lain. Memang, ia begitu naifnya sehingga ia beranggapan bahwa dirinya “sudah dibawa kembali” pada
Tuhan. Pendeta itu merasa sebagai tugasnya untuk menghancurkan kepercayaan tidak-ortodoks ini.

“Segera,” demikian ia berkata, menyelangi Marie, “segera akan kau dapatkan pengampunan, pengampunan dari kesalahan-kesalahan besarmu ... karena, untuk sekali lagi mengutib sang nabi, Tuhan mengangkat mereka yang berada di pinggir jurang.”

Orang jangan tidak melihat ungkapan-ungkapan tidak-manusiawi yang dipakai sang pendeta itu. Anda akan segera mendapatkan pengampunan. Dosa-dosamu masih belum dilupakan.

Sebagaimana Laporte, ketika ia menerima . Gadis itu, mencoba membangkitkan pada gadis itu “kesadaran akan dosa-dosanya,” demikian Rudolph, ketika ia meninggalkannya, menghadiahkan padanya sebuah “salib” emas, simbol dari “penyaliban Kristiani” yang menantikan gadis itu.

Marie sudah tinggal beberapa lama di perusahaan pertanian Madame Georges. Mari kita sekarang mendengarkan suatu dialog antara pendeta tua Laporte dan Madame Georges. Laporte menganggap pernikahan adalah mustahil bagi gadis itu “karena tiada laki-laki, sekalipun dengan adanya jaminan sang pendeta itu, akan mempunyai keberanian untuk menghadapi masa-lalu yang telah mengotori masa-muda gadis itu.” Ia menambahkan: “ia mesti menebus kesalahan-kesalahan besar, ia semestinya ditopang oleh suatu kesadaran moral” Ia membuktikan bahwa Maries dapat tetap baik tepat seperti yang paling biasa dari borjuasi : sekarang ini terdapat banyak orang bajik di Paris. Pendeta yang munafik itu mengetahui benar bahwa setiap jam dalam sehari, di jalan-jalan yang paling ramai, orang-orang bajik kota Paris itu berlalu-lalang melewati gadis-gadis kecil dari usia 7 atau 8 tahun yang menjual geretan api dan sejenisnya hingga tengah malam, sebagaimana Marie sendiri biasa melakukannya dan yang, hampir tanpa pengecualian, akan mengalami nasib yang sama seperti Marie.

Pendeta itu telah mengambil keputusan untuk membuat Marie bertobat; di dalam dirinya sendiri pendeta itu sudah mengutuk gadis itu. Mari kita bersama Marie ketika ia menemani Laporte pulang di malam hari.

Begini anakku,” ia memulai dengan kefasihan berbicara yang bermanis-manis, “kaki-langit yang tak-terhingga yang batas-batasnya tidak dapat dilihat [ingatlah, bahwa ketika itu adalah malam hari] bagiku tampaknya ketenangan dan ketak-terbatasan itu memberikan ide kepada kita mengenai keabadian ... Aku katakan ini padamu, Marie, karena kau peka pada keindahan penciptaan ... Aku seringkali digerakkan oleh keterpukauan religius yang mengilhami-mu, dirimu yang telah begitu lama direngggut dari sentimen religi.”

Pendeta itu sudah berhasil mengubah kesenangan naif seketika dari Marie pada keindahan-keindahan alam menjadi keterpukauan religius. Bagi Marie, alam sudah menjadi suatu alam yang dikristianisasikan, suatu alam yang saleh, yang direndahkan pada penciptaan. Lautan ruang yang transparan telah dikotori dan diubah menjadi suatu simbol gelap dari kekekalan yang macet.Ia sudah mengetahui bahwa semua manifestasi manusiawi dari keberadaan dirinya adalah profan, hampa religi, pengabdian sesungguhnya, bahwa mereka itu tidak beriman dan tidak-bertuhan. Pendeta itu mesti mengotori Marie dalam penglihatan/pandangannya sendiri, pendeta itu mesti menginjak-injak kapasitas-kapasitas moral dan bakat-bakatnya untuk membuatnya penerima bagi berkat adikodrasti yang telah dijanjikannya kepadanya, pembaptisan.

Ketika Marie mau melakukan pengakuan dosa dan memintanya agar bermurah-hati, pendeta itu menjawab:

Tuhan telah menunjujkkan padamu bahwa ia ada penuh-kasih. ”Dalam pengampunan, di mana Marie menjadi obyek, ia tidak boleh melihat suatu hubungan alamiah yang pasti dari suatu makhluk manusia dengan dirinya, suatu makhluk manusia lain. Ia mesti melihatnya sebagai suatu pengampunan dan sikap merendahkan diri yang superhuman, adikodrati, transenden; dalam kemurahan-hati manusia ia mesti melihat kasih ilahi. Ia mesti melihat semua makhluk manusia dan hubungan-hubungan manusia dalam taraf transendental dari hubungan-hubungan dengan Tuhan. Cara Fleur de Marie dalam jawabannya menerima ocehan sang pendeta itu tentang kasih ilahi menunjukkan seberaspa jauh ta telah dirusak oleh doktrin religius.

Seketika Marie masuk ke dalam keadaannya yang membaik, ia mengatakan, dirinya merasakan “kebahagiaan baru.”

“Aku terus memikirkan Monsieur Rudolph. Seringkali aku mengangkat pandanganku ke langit, untuk mencari, bukannya Tuhan, tetapi Monsieur Rudolph di sana dan untuk berterima kasih padanya. Ya, aku mengaku, Bapa. Aku lebih banyak memikirkan Monsieur Rudolph daripada memikirkan Tuhan; karena ia berbuat untukku yang hanya Tuhan dapat melakukannya ... Aku berbahagia, sebahagia seperti setiap orang yang telah lolos dari suatu bahaya besar untuk selama-lamanya.”

Fleur de Marie sudah menganggapnya salah bahwa dirinya menganggap suatu situasi kebahagiaan dalam kehidupan sebagaimana itu adanya sesungguhynya, bahwa ia merasakannya sebagai suatu kebahagiaan baru, bahwa sikapnya terhadap itu adalah sikap yang alamiah, bukan suatu sikap adikodrati. Ia mendakwa dirinya sendiri melihat dalam laki-laki yang telah menyelamatkan dirinya itu sebagaimana laki-laki itu “sesungguhnya,” yaitu penyelamat dirinya, dan tidak mengandaikan sesuatu juru-selamat imajiner, Tuhan, sebagai gantinya. Ia sudah terperangkap dalam kemunafikan religius yang mengambil dari “seorang laki-laki lain” yang semestinya didapatkannya berkenaan dengan diriku agar memberikannya pada Tuhan dan yang memandang setiap dan segala yang manusiawi pada manusia sebagai asing bagi Tuhan dan segala sesuatu yang tidak-manusiawi dalam dirinya sebagai “sungguh-sungguh” kepunyaan Tuhan sendiri.

Marie mengatakan pada kita bahwa “transformasi religius” pikiran-pikirannya, sentimen-sentimennya, sikapnya terhadap kehidupan adalah dihasilkan oleh Madame Georges dan Laporte.

“Ketika Rudolph membawa diriku pergi dari kota itu, aku sudah mempunyai suatu kesadaran samar-samar akan degradasi diriku ... Tetapi pendidikan, nasehat dan teladan-teladan yang kudapatkan dari Madame Georges dan darimu membuatku mengerti ... bahwa aku ini telah lebih banyak bersalah daripada tidak-beruntung. Madame Georges dan anda telah membuat diriku menyadari kedalaman yang tak-terhingga dari keterkutukanku”

Itu berarti bahwa pada pendeta Laporte dan Madame Georges itulah ia berhutang penggantian kesadaran manusiawi dan oleh karenanya yang lebih dapat dipikulnya mengenai kenistaan dirinya oleh kesadaran Kristiani dan oleh karenanya kesadaran yang tidak tertanggungkan mengenai pengutukan abadi. Sang pendeta dan sang munafik telah mengajarkan padanya untuk menilai dirinya sendiri dari titk-pandang Kristiani.

Marie merasakan kedalaman kemalangan moral ke dalam mana ia telah dilemparkan. Berkatalah ia:

“Karena kesadaran akan kebajikan dan kejahatan mesti begitu fatal bagi diriku, mengapa aku tidak dibiarkan saja dengan nasibku yang menyedihkan itu?……. Seandainya aku tidak direnggut dari kekejian, kesengsaraan dan pukulan-pukulan akan segera membunuh diriku. Sekurang-kurangnya aku mestinya mati dalam ketidak-tahuan yang kemurniannya akan selalu kusesali karena takpernah
memilikinya.”

Penderta tidak berhati itu menjawab:

“Sifat yang berbakat secara yang paling berlimpah, kalau dilemparkan untuk sehari saja ke dalam kotoran yang darinya dirimu telah diselamatkan, akan terkena cap yang tidak terhapuskan. Itulah kekekalan keadilan ilahi!”

Terluka dalam sekali oleh kutukan sang pendeta yang mulus bermanis-manis itu, Fleur de Marie berseru : Anda lihat sendiri, tiada harapan bagiku!

Budak religi yang sudah beruban itu menjawab:

“Kau mesti melepaskan semua harapan untuk menghapus halaman tidak-berpengharapan dari hidupmu ini, tetapi kau mesti percaya akan kasih tak-terbatas dari Tuhan. Di bawah sini, anakku sayang, yang kau dapatkan adalah air-mata, penyesalan dan pertobatan, tetapi pada suatu hari kelak, pengampunan dari atas dan berkat abadi!”

Marie tidak cukup tolol untuk dipuaskan dengan kebahagiaan abadi dan pengampunan dari atas.

“Ampun, ampun Tuhanku!” Ia berseru. “Aku begini muda. Betapa menyedihkan diriku ini!”

Kemudian, sofistika munafik dari pendeta itu mencapai puncaknya:

“Kebahagiaan bagimu, sebaliknya, Marie; kebahagiaan bagimu yang dikirimkan Tuhan adalah penyesalan yang penuh kegetiran tetapi menyelamatkan ini! Itu menunjukkan sensibilitas religius rohmu….. Setiap penderitaanmu akan ditandai di atas sana. Percayalah, Tuhan meninggalkan dirimu hanya untuk sementara di jalan kebatilan demi mencadangkan bagimu kejayaan pertobatan dan pahala abadi karena pertobatan itu.”

Dari saat ini Marie menjadi “hamba kesadaran akan dosa. Dalam keadaannya yang tidak berbahagia dalam hidupnya, ia dapat menjadi seorang individu manusiawi yang menyenangkan; dalam kehinaan eksteriornya ia menyadari bahwa hakekat manusiawi dirinya adalah hakekat dirinya yang sesungguhnya.” Kini kekotoran masyarakat modern yang bersentuhan secara eksterior dengan dirinya menjadi keberadaan dirinya yang paling dalam; siksa-diri yang mencemaskan kesehatan dirinya secara terus-menerus karena kotoran itu tadi akan menjadi tugasnya, tugas hidupnya yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri, tujuan-diri dari keberadaannya. Sebelumnya ia berkoar: “Aku bukan orangnya untuk bercucuran air-mata” dan mengetahui bahwa “yang terjadi, terjadilah.” Sekarang siksa-diri akan menjadi kebaikannya dan penyesalan akan menjadi kejayaannya.

Kemudian ternyata bahwa Fleur de Marie adalah anak-perempuan Rudolph. Kita menjumpainya lagi sebagai Puteri Geroldstein. Kita kebagian mendengar suatu percakapan Marie dengan ayahnya:

“Sia-sia saja aku berdoa pada Tuhan agar membebaskan diriku dari kegilaan-kegilaan ini, agar mengisi hatiku hanya dengan kasihnya yang suci dan harapan-harapan sucinya; singkat kata, akan menerima diriku seutuhnya, karena aku ingin menyerahkan diriku sepenuhnya kepadanya ... Ia tidak memberkati keinginan-keinginanku, tak-sangsi lagi karena kesibukan-kesibukanku yang duniawi menjadikan diriku tidak layak bergaul dengannya.”

Manakala manusia menyadari bahwa kesalahan-kesalahannya adalah kejahatan-kejahatan tak-terhingga terhadap Tuhan, maka ia dapat memastikan penyelamatan dan pengampunan (bagi dirinya) hanya apabila ia menyerahkan dirinya secara sepenuhnya pada Tuhan dan mati sepenuhnya bagi dunia dan kesibukan-kesibukan duniawi. Ketika Fleur de Marie menyadari bahwa pembebasan dirinya dari situasi tidak manusiawi dalam kehidupan adalah suatu mukjijat “Tuhan, ia sendiri mesti menjadi seorang santa agar supaya layak bagi mukjijat itu.” Cintanya yang manusiawi mesti ditransformasi menjadi cinta religius, hasratnya akan kebahagiaan menjadi hasrat akan berkat abadi, kepuasan duniawi menjadi harapan suci, pergaulan dengan manusia menjadi pergaulan dengan Tuhan. Tuhan mesti menerimanya seutuhnya. Ia tidak menyerahkan dirinya sepenuhnya kepadanya, hatinya masih sibuk dan terlibat dengan urusan-urusan duniawi. Inilah nyala terakhir dari wataknya yang kuat. Ia menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Tuhan dengan mati seutuhnya bagi dunia dan memasuki biara (menjadi biarawati).

Sebuah monasteri bukan tempat baginya

Yang tidak bertatakan dosa-dosa

Sedemikian banyak dan besar

Biar yang dini, atau yang lambat

Jangan ia kehilangan kenikmatan manis

Pertobatan bagi hati yang penuh sesal

(Goethe.)

Di dalam biara itu Fleur de Marie dijadikan kepala-biara melalui intrik-intrik Rudolph. Mula-mula Marie menolak pengangkatan itu karena ia merasa dirinya tidak layak. Kepala-Biara yang lama membujuknya:

“Selanjutnya kukatakan, anakku sayang: jika sebelum memasuki biara ini kehidupanmu adalah sesia-sia seperti sesuci dan terpuji ... kebajikan-kebajikan evangelik yang telah kauberikan contohnya sejak kau berada di sini akan memperbaiki dan menebus masa-lalumu di mata Tuhan, betapapun penuh dosa masa-lalumu itu.”

Dari yang dikatakan kepala-biara itu kita melihat bahwa kebajikan-kebajikan duniawi Fleur de Marie telah berubah menjadi kebajikankebajikan evangelik, atau lebih tepatnya, bahwa kebajikan-kebajikannya yang sesungguhnya tidak tampak lain daripada karikatur-karikatur evangelik.

Marie menjawab kepala-biara itu:

“Bunda Suci, sekarang aku dapat menerimanya.”

Kehidupan biara tidak cocok bagi individualitas Marie – ia mati. Kekristianian menghiburnya hanya dalam imajinasi, atau lebih tepatnya hiburan kristiani itu justru merupakan pelenyapan kehidupan dan hakekatnya yang sesungguhnya – kematiannya.

Demikianlah, Rudolph mula-mula mengubah Fleur de Marie menjadi seorang pedosa yang bertobat, kemudian pedosa yang bertobat itu menjadi seorang biarawati dan akhirnya biarawati itu menjadi mayat . Kecuali sang pendeta Katholik, pendeta Kritis Szeliga juga berkhotbah di kuburan Marie.

Keberadaan “tak-berdosa” Marie disebutnya keberadaan sementara, mempertentangkannya dengan “kesalahan abadi dan yan tidak-dapat dilupakan.” Ia memuji kenyataan bahwa “nafas terakhir” Marie adalah suatu “doa akan permaafan dan pengampunan.” Tetapi, sebagaimana pendeta protestan itu, setelah menguraikan keharusan akan pengampunan Tuhan, keikut-sertaan yang meninggal dalam dosa asli yang universal dan intensitas kesadarannya akan dosa, juga mesti memuji kebajikan-kebajikan yang meninggal dalam istilah-istilah “duniawi,” maka, demikian juga, Herr Szeliga memakai ungkapan-ungkapan:

“Namun begitu secara pribadi, tiada yang mesti dimintakannya pengampunan.”

Akhirnya, ke atas kuburan Marie itu ditaburkannya bunga-bunga paling layu dari kefasihan mimbar:

“Murni hingga ke lubuk dirinya yang langka dijumpai pada makhluk-makhluk manusia, Marie telah menutup matanya bagi dunia ini.”

Amin!

 

3) Pengungkapan Misteri-misteri Hukum

a) Pemimpin Geng, atau Teori Pidana Baru. Terungkapnya Misteri Sistem Sel. Misteri-misteri Medikal

“Pemimpin Geng” itu seorang penjahat yang memiliki kekuatan herkulian dan enerji moral yang besar. Ia dibesarkan sebagai seorang berpendidikan-baik dan terpelajar. Atlit penuh gairah ini bentrok dengan hukum dan adat-kebiasaan masyarakat borjuis yang tolok-ukur universalnya adalah kesedang-sedangan (mediokritas). Moral yang halus dan perdagangan yang diam. Ia menjadi seorang pembunuh dan menyerahkan dirinya pada semua ekses perangai kekerasan yang di manapun tidak dapat menemukan suatu pekerjaan manusiawi yang cocok.

Rudolph menangkap; penjahat ini. Ia ingin mengubahnya secara Kritis dan menjadikannya sebuah contoh bagi “dunia hukum.” Ia bertengkar dengan dunia hukum bukan tentang hukuman itu sendiri, tetapi tentang “jenis dan metode” hukuman. Ia menciptakan, sebagaimana dokter David, si Negero itu, dengan jenaka menyatakannya, suatu teori pidana yang layak dari “seorang ahli kriminal Jerman terbesar” yang sejak itu bahkan cukup mujur dibela oleh seorang spesialis kriminal Jerman dengan kesungguhan dan ketuntasan Jerman. Rudolph sama sekali tidak mempunyai bayangan bahwa seseorang dapat naik “di atas” para ahli kriminal: ambisinya adalah menjadi “ahli kriminal terbesar, primus inter pares.”[64] Ia telah membuat pemimpin geng itu “dibutakan” oleh dokter David, si Negro.

Pada awalnya Rudolph telah mengulangi semua keberatan remeh terhadap hukuman mati: bahwa itu tidak mempunyai pengaruh atas penjahat dan tidak berpengaruh atas rakyat, bagi siapa itu tampak menjadi suatu adegan hiburan.

Selanjutnya Rudolph menegakkan suatu perbedaan antara pemimpin geng dan “roh” pemimpin geng itu. Bukan orangnya, sang pemimpin geng “sesungguhnya” yang hendak diselamatkannya; ia menghendaki “keselamatan spiritual rohnya.”

“Keselamatan roh,” demikian ia mengajarkan, “merupakan suatu urusan suci ... Setiap kejahatan dapat diperbaiki dan ditebus, kata sang Juru-selamat, tetapi hanya apabila si penjahat dengan sungguh-sungguh ingin bertobat dan memperbaiki (dirinya). Peralihan dari peradilan ke tiang-penggantungan adalah terlalu singkat ... Anda (pemimpin geng itu) telah secara kriminal menyalah-gunakan kekuatanmu, aku akan melumpuhkan kekuatanmu ... kau akan bergetar di hadapan yang terlemah ... hukumanmu sekurang-kurangnya akan meninggalkan padamu kaki-langit pertobatan yang luar-biasa luasnya ... Akan kurenggut dirimu dari dunia luar untuk menghempaskan dirimu ke dalam malam yang tak-dapat-ditembus, dan meninggalkan dirimu seorang diri dengan ingatan akan perbuatan-perbuatanmu yang keji ... Kau akan dipaksa melihat ke dalam dirimu sendiri ... inteligensimu yang telah kau nistakan akan dibangkitkan dan membawa dirimu pada pertobatan.”

Karena Rudolph memandang roh manusia “suci adanya” dan “tubuhnya profan,” dan oleh sebab itu ia memandang hanya roh yang menjadi hakekat sesungguhnya maka, dalam penggambaran Kritis Herr Szeliga mengenai kemanusiaan, itu termasuk pada surga, tubuh dan kekuatan pemimpin geng itu tidak termasuk pada kemanusiaan, manifestasi hakekat mereka tidak dapat diberi bentuk manusiawi atau dibersihkan bagi kemanusiaan dan ia tidak mesti diperlakukan secara manusiawi sebagai sesuatu yang pada dasarnya manusiawi.

Pemimpin geng itu telah menyalah-gunakan kekuatannya, Rudolph melumpuhkan, melemahkan, menghancurkan kekuatan itu. Tidak terdapat alat/cara yang lebih Kritis lagi untuk melenyapkan manifestasi-manifestasi yang tidak tepat dari daya esensial manusia daripada memusnakan daya esensial itu. Inilah cara Kristiani –mencungkil mata atau memotong tangan jika itu membuat skandal, singkatnya, membunuh tubuh jika tubuh itu membuat skandal; karena mata, tangan, tubuh itu sungguh-sungguh hanyalah pelengkap-pelengkap yang penuh-dosa, yang berlebihan dari manusia.Sifat manusia mesti dibunuh agar menyembuhkan penyakit-penyakitnya. Juga yurisprudensi yang serba massal, dalam kesatuan bersama yang Kritis, melihat dalam pelemahan dan pelumpuhan kekuatan manusia itu, penawar manifestasi-manifestasi yang tidak diinginkan dari kekuatan itu.

Yang menjadi keberatan Rudolph, laki-laki Kritik murni, terhadap keadilan kriminal duniawi adalah peralihan yang lalu tiba-tiba dari peradilan pada tiang-penggantungan. Dirinya, sebaliknya, hendak mengaitkan “balas-dendam” atas penjahat dengan “pertobatan dan kesadaran akan dosa” pada penjahat itu, hukuman badan dengan hukuman moral, siksaan inderawi dengan kepedihan tiba-tiba dari penyesalan. Hukuman duniawi mesti sekaligus merupakan cara pendidikan moral Kristiani.

Teori pidana ini, yang mengaitkan “yurisprudensi dengan teologi, misteri dari misteri yang terungkap” ini tidak lain dan tidak bukan adalah teori hukum pidana dari Gereja Katholik. Bentham telah membuktikan hal ini secara panjang-lebar dalam karyanya Theorie des peines et des récompenses.Dalam buku itu Bentham juga membuktikan kesia-siaan moral dari hukuman-hukuman dewasa ini. Ia menyebut hukuman-hukuman pegal itu “parodi-parodi legal.”

Hukuman yang dijatuhkan Rudolph atas pemimpin geng itu sama dengan yang dikenakan “Origenes” atas dirinya sendiri. Hukuman itu “mengebiri” dirinya , merampasnya dari sebuah “organ reproduktif,” mata. “Mata anda adalah cahaya tubuh anda.” Adalah suatu jasa besar bagi naluri religius Rudolph bahwa dirinya sampai pada gagasan “pembutaan.” Hukuman itu disukai di seluruh kerajaan Kristiani Byzantium dan negara Kristiani-Jermanik yang penuh gairah muda di Inggris dan Frankonia. Merenggut manusia dari dunia-luar yang nyata, menghempaskannya kembali ke dalam interior abstraknya untuk mengoreksi dirinya, membutakannya, adalah buah tak terelakkan dari doktrin Kristiani yang sesuai dengannya penggenapan perenggutan ini, isolasi manusia semurninya dalam ego spiritualnya adalah “kebaikan itu sendiri.” Jika Rudolph tidak mengurung pemimpin geng itu dalam sebuah monasteri sungguh-sungguh seperti dalam kasus di Byzantium dan di Frankonia, setidak-tidaknya ia mengurungnya dalam sebuah monasteri ideal, di dalam biara malam yang tak-dapat-ditembus cahaya dunia luar, biara suatu hatinurani yang bermalas-malas dan kesadaran akan dosa yang hanya dipenuhi khayalan-khayalan ingatan.

Malu spekulatif tertentu menghalangi Herr Szeliga untuk secara terbuka menyepakati teori hukum pidana dari pahlawannya, Rudolph, bahwa hukuman duniawi mesti dikaitkan dengan penyesalan dan pertobatan Kristiani. Gantinya itu ia menyalahkan –sudah dengan sendirinya sebagai sebuah misteri yang baru saja diungkapkan pada dunia— teori bahwa hukuman mesti membuat penjahat hakim dari/ atas kejahatan -nya sendiri.

Misteri dari misteri yang diungkapkan ini adalah teori hukum pidana “Hegel.” Hegel berpendapat bahwa si penjahat itu mesti, sebagai suatu hukuman, menjatuhkan hukuman atas dirinya sendiri. Gans mengembangkan teori ini secara berkepanjangan. Pada Hegel ini adalah “penyamaran spekulatif” dari “jus talionis[65] lama yang dikembangkan Kant sebagai “satu-satunya teori pidana yang legal.” Hegel menjadikan hukuman-diri-sendiri dari sang penjahat tidak lebih daripada sebuah Ide, sekedar suatu penafsiran spekulatif mengenai “kode pidana empiric yang berlaku.” Dengan demikian ia membiarkan cara penerapan pada masing-masing tahap perkembangan negara, yaitu, ia membiarkan hukuman sebagaimana adanya. Justru dalam hal itu ia menunjukkan dirinya sendiri lebih kritis daripada gema Kritis dirinya. Sebuah teori “hukum pidana” yang sekaligus melihat dalam penjahat itu orang yang dapat berbuat begitu hanya dalam “abstraksi,” dalam imajinasi, justru karena “hukuman,” “paksaan” adalah sebaliknya dari prilaku “manusia.” Kecuali itu, ini akan tidak mungkin dilaksanakan. Kesewenangan yang semurninya subyektif akan mengambil tempat hukum abstrak karena ia akan selalu bergantung pada orang-orang yang resminya jujur dan terhormat untuk mengadaptasi hukuman itu pada individualitas sang penjahat. Plato mengakui bahwa hukum mesti berat-sebelah dan mesti membuat abstraksi dari individu itu. Sebaliknya, di bawah kondisi-kondisi manusiawi, hukuman akan sungguh-sungguh bukan apa-apa kecuali hukuman yang dijatuhkan oleh yang bersalah atas dirinya sendiri. Tidak akan ada usaha untuk membujuknya bahwa kekerasan dari luar, yang dikerahkan atas dirinya oleh orang-orang lain, adalah kekerasan yang dikerahkan atas dirinya oleh dirinya sendiri. Sebaliknya, ia akan melihat pada orang-orang lain juru-selamat alamiah dirinya dari hukuman yang telah ia nyatakan atas dirinya sendiri; dengan kata-kata lain, hubungan itu akan dibalikkan.

Rudolph menyatakan pikirannya yang paling dalam – tujuan membutakan pemimpin geng itu– ketika ia berkata padanya:

“Setiap kata yang kauucapkan akan merupakan sebuah doa.”

Ia hendak mengajarkan berdoa padanya . Ia hendak mengubah perampok herkulian itu menjadi seorang biarawan yang satu-satunya pekerjaannya adalah berdoa. Seberapa manusiawi teori hukum pidana biasa yang cuma membabat kepala seseorang jika ia hendak menghancurkannya dalam perbandingan dengan kekejaman Kristiani ini. Akhirnya, sudah dengan sendirinya manakala pembuatan perundang-undangan yang sungguh-sungguh serba-massal secara serius memikirkan perbaikan sang penjahat adalah secara perbandingan lebih masuk-akal dan manusiawi daripada Harun el Rashid Jerman itu. Keempat koloni agrikultural Belanda dan koloni hukuman Ostwald di Alksace sungguh-sungguh usaha-usaha manu-siawi jika dibandingkan dengan pembutaan pemimpin geng itu. Sebagaimana Rudolph membunuh Fleur de Marrie dengan menyerahkannya pada seorang pendeta dan kesadaran akan dosa, sebagaimana ia membunuh Chourineur dengan merampoknya dari kebebasannya dan merendahkannya menjadi seekor bull-dog, demikianlah ia membunuh pemimpin geng itu dengan menyuruh mata pemimpin geng itu dicukil agar ia dapat belajar berdoa.

Ini, selintas pintas, bentuk yang di dalamnya semua realitas dengan “gampangnya” dihasilkan dari “Kritik murni,” untuk tepatnya, distorsi dan “abstraksi tak-masuk akal” dari realitas.

Segera setelah pembutaan pemimpin geng itu, Herr Szeliga menyebabkan terjadinya suatu “mukjijat moral.”

“Pemimpin geng yang mengerikan itu,” lapornya, “tiba-tiba” mengakui kekuataan kejujuran dan kehormatan dan berkata pada Shuriman: “Benar, aku mempercayai dirimu, kau tidak pernah mencuri apapun.”

Malangnya, Eugène Sue merekam sesuatu yang dikatakan oleh pemimpin geng itu tentang “Chourineur,” yang mengandung pengakuan yang sama dan tidak dapat merupakan akibat dari dibutakannya dirinya, karena hal itu dikatakan “sebelumnya.” Dalam sebuah percakapan dengan Rudolph saja ia berkata tentang “Chourineur”:

“Kecuali itu, ia tidak bisa mengkhianati seorang teman. Tidak, terdapat sesuatu yang baik dalam dirinya ... ia selalu mempunyai gagasan-gagasan yang aneh.”

Ini kelihatannya akan menyingkirkan mukjijat moral Herr Szeliga. Sekarang akan kita melihat hasil-hasil “sesungguhnya” dari pengobatan “Kritis” Rudolph.

Kita terlebih dulu berpapasan dengan pemimpin geng yang sedang bepergian dengan seorang wanita bernama “Chouette” ke estat Bouqueval untuk memainkan suatu tipuan keji atas diri Fleur de Marie. Pikiran yang mendominasi dirinya adalah, sudah tentu, pikiran membalas dendam terhadap Rudolph. Tetapi satu-satunya jalan yang ia ketahui dalam membalas dendam itu adalah secara metasfisik, dengan berpikir dan menenung petaka padanya. “Ia telah merampas pengelihatanku, tetapi tidak merampas pikiran akan petaka.” Ia memberitahu “Chouette” mengapa telah dipanggilnya wanita itu.

“Aku jemu mesti seorang diri dengan orang-orang jujur itu.”

Ketika Eugène Sue memuaskan nafsunya yang serba-biara, nafsu hewaniah pada penghinaan-diri sendiri manusia hingga sejauh membuat pemimpin geng itu memohon dengan berlutut pada “Chouette,” wanita tua buruk-rupa, dan si tuyul kecil “Tortillard,” agar mereka jangan meninggalkan dirinya, sang moralis besar itu lupa bahwa itulah puncak kepuasan diabolik (setan) bagi Chouette. Sebagaimana Rudolph, yang dengan “kekerasan telah mencukil mata” penjahat itu, telah membuktikan pada dirinya kekuatan “kekuasaan fisik” yang sebelumnya telah dikatakannya tidak ada pada penjahat itu, demikianlah Eugène Sue sekarang mengajarkan pemimpin geng itu agar sungguh-sungguh mengakui kekuasaan dari penginderawian yang sempurna. Ia mengajarkan padanya bahwa tanpa itu manusia menjadi “tidak-dimanusiakan” dan menjadi sebuah obyek cemooh yang tak-berdaya bagi anak-anak. Ia membujuk padanya bahwa dunia telah melayakkan kejahatan-kejahatannya, karena hanya dirinya yang mesti kehilangan penglihatannya sehingga diperlakukan buruk dengan itu. Ia merampasnya dari ilusi manusiawi yang terakhir, karena sejauh ini pemimpin geng itu telah percaya akan kesukaan “Chouette” pada dirinya. Ia berkata pada Rudolph, “Chouette akan membiarkan dirinya dilempar ke dalam api demi untukku.” Eugène Sue, sebaliknya, mendapat kepuasan mendengar pemimpin geng itu berteriak dalam kedalaman keputusasaan:

“Tuhanku! Tuhanku! Tuhanku!”

Ia telah belajar “berdoa!” Dalam “seruan spontan akan belas-kasih Tuhan” ini, Eugène Sue melihat “sesuatu yang ditakdirkan.”

Hasil pertama dari Kritik Rudolph adalah “doa spontan” ini. Itu segera disusul dengan “pertobatan terpaksa” di perusahaan pertanian Bouqueval, di mana hantu-hantu mereka yang telah dibunuh oleh pemimpin geng itu muncul padanya di dalam sebuah impian.

Kita tidak akan melukiskan impian itu secara rinci. Kita mendapati pemimpin geng yang telah direformasi secara Kritis terbelenggu di dalam tempat bawah-tanah Brass Rouge, setengah-terganyang oleh wirok-wirok, setengah-mati kelaparan dan setengah-gila sebagai akibat disiksa oleh “Chouette” dan “Tortillard,” dan meraung-raung seperti seekor binatang. “Tortillard” telah menyerahkan “Chouette” padanya. Mari kita melihat perlakuan yang ditimpahkannya atas diri Chouette. Ia “menyalin” sang pahlawan Rudolph tidak hanya secara yang kelihatan, dengan mencukil “mata Chouette,” tetapi secara moral juga dengan menyertai perbuatannya yang kejam itu dengan mengulangi kata-kata munafik dan saleh dari Rudolph. Sesegera pemimpin geng itu menguasai Chouette, ia mempertontonkan “suatu kegembiraan yang menakutkan” dan suaranya bergetar dengan amarah.

“Kau menyadari,” demikian ia berkata, “aku tidak ingin cepat-cepat mengakhiri ini ... Siksaan dibayar dengan siksaan ... Aku mesti berbicara panjang-lebar denganmu sebelum aku membunuhmu ... Akan sangat mengerikan bagimu. Pertama-tama sekali, ketahuilah ... sejak impian di perusahaan pertanian Bouqueval yang menghidupkan kembali semua kejahatan kita di depan mataku, sejak impian yang nyaris membuatku gila itu ... Dan yang akan membuat diriku gila ... suatu perubahan aneh telah terjadi pada diriku ... Aku telah menjadi dingerikan oleh kekejamanku di masa lalu ... Mula-mula aku tidak akan membiarkanmu menyiksa penyanyi itu,[66] tetapi itu bukan apa-apa ... Dengan membawa diriku ke tempat-bawah tanah ini dan membuat diriku menderita kedinginan dan kelaparan, kau menyerahkan diriku pada teror pikiranpikiranku sendiri ... Ah, kau tidak mengetahui apa artinya di tinggalkan sendirian ... Pengucilan membersihkan diriku. Aku semestinya tidak beranggapan itu mungkin – sebuah bukti bahwa diriku barangkali bukan seorang jahat seperti sebelum ini ... Betapa tak-terhingga kegembiraanku dengan merasa menguasai dirimu, kau…. Monster ... tidak membalas dendamku ... tetapi membalas dendam korban-korban kita ... Benar, aku akan melakukan tugasku seandainya aku menghukum kaki-tanganku dengan tanganku sendiri ... Aku sekarang dingerikan oleh pembunuhan-pembunuhan yang kulakukan di masa lalu, namun begitu ... tidakkah kau anggap ini aneh? ... adalah tanpa ketakutan atau kecemasan bahwa aku akan melakukan pembunuhan mengerikan atas dirimu, dengan cara-cara kecanggihan yang mengerikan ... Katakan padaku, katakan padaku... kau mengerti itu?”

Dalam beberapa kalimat itu, pemimpin geng itu telah melalui keseluruhan skala “kejelimetan moral.”

Kata-katanya yang pertama merupakan suatu pernyataan terus-terang dari nafsunya membalas dendam. Ia hendak membayar siksaan dengan siksaan. Ia hendak membunuh “Chouette” dan ia hendak memperpanjang penderitaan “Chouette” itu dengan sebuah khotbah panjang. Dan, sofistri (cara berpikir yang menyesatkan) yang mengagumkan! Pidato dengan “mana ia menyiksa Chouette” adalah sebuah “khotbah mengenai moral.” Ia menegaskan bahwa impiannya di Bouqueval telah memperbaiki dirinya. Pada waktu bersamaan ia mengungkapkan akibat sesungguhnya dari impian itu dengan mengakui bahwa itu nyaris membuatnya gila dan bahwa itu akan benar-benar terjadi. Sebagai bukti penerimaannya yang diberikannya yalah bahwa dirinya telah mencegah disiksanya Fleur de Marie. Tokoh-tokoh Eugène Sue –yang terdahulu “Chourineur” dan kini pemimpin geng itu– mesti menyatakan sebagai hasil dari pikiran-pikiran mereka sendiri, motif perbuatan mereka secara sadar, sebabnya mengapa sang penulis membuat mereka berkelakuan dengan cara tertentu dan tidak dengan cara lain. Mereka mesti terus-menerus berkata: aku telah menerima dalam hal ini, dalam hal itu, dsb. Karena mereka tidak sungguh-sungguh hidup secara berarti, naka yang mereka katakan mesti memberi nada-nada kuat pada ciri-ciri yang tanpa makna, seperti dilindunginya Fleur de Marie.

Setelah melaporkan efek “penyelamatan” dari impian Bouquevalnya, pemimpin geng itu mesti menjelaskan mengapa Eugène Sue telah mengurungnya di dalam ruang bawah-tanah itu. Ia mesti menganggap perlakuan sang pengarang itu masuk-akal. Ia mesti berkata pada Chouette: dengan mengurung diriku di dalam sebuah ruang bawah-tanah, dengan membiarkan aku digerogoti wirok-wirok dan menderita lapar dan dahaga, anda telah menggenapkan penerimaanku. Kesen-dirian telah “memurnikan” diriku.

Raungan hewan, amarah liar, nafsu mengerikan akan balas-dendam dengan mana pemimpin geng itu menerima “Chouette” adalah suatu sanggahan pada kata-katanya yang bersusila. Kata-kata itu membelejeti jenis pikiran-pikiran yang menguasai dirinya di dalam ruang tahanan di bawah tanah itu.

Pemimpin geng itu sendiri agaknya menyadari hal ini, tetapi karena ia adalah seorang “moralis Kritis,” maka ia mengetahui bagaimana mendamaikan kontradiksi itu.

Ia menyatakan bahwa justru “kegembiraan tak-terhingga” karena dirinya menguasai “Chouette” adalah sebuah tanda akan penerimaannya. Nafsunya untuk membalas dendam bukan sesuatu yang “alamiah,” tetapi sesuatu yang moral. Ia hendak membalas dendam, tidak pada korban-korban dirinya sendiri, tetapi korban-korban bersama dari Chouette dan dirinya sendiri. Dan, tatkala ia membunuh “Chouette,” dirinya tidak melakukan pembunuhan, ia menunaikan suatu “tugas.” Ia tidak “membalaskan dendamnya” terhadap “Chouette,” ia “menghukum” anak buahnya bagaikan seorang hakim yang tidak-memihak. Ia merasa ngeri mengingat pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya di masa lalu dan, namun begitu, dengan terheran akan kenjelimetan dirinya, ia bertanya pada “Chouette” apakah perempuan itu tidak menganggapnya aneh bahwa ia, pemimpin geng itu, akan membunuhnya tanpa sedikitpun ketakutan atau perasaan was-was. Atas dasar-dasar moral yang tidak diungkapkannya, ia sekaligus melihat dengan hati tamak pada gambar pembunuhan yang akan dilakukannya, karena itu merupakan suatu “pembunuhan mengerikan,” suatu “pembunuhan dengan cara-cara mengerikan sekali.”

Pas benar bagi watak pemimpin geng itu bahwa ia mesti membunuh “Chouette,” teristimewa sesudah kekejaman yang dengannya perempuan itu memperlakukan dirinya. Tetapi bahwa ia mesti melakukan pembunuhan atas dasar-dasar moral, bahwa ia mesti memberikan suatu penafsiran moral pada pembunuhan mengertikan dan cara-cara pengerikan itu, bahwa ia masih harus menyesali pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya di masa lalu manakala ia akan melakukan suatu pembunuhan lagi, bahwa dari seorang pembunuh sederhana ia mesti menjadi seorang “pembunuh dalam arti rangkap,” seorang “pembunuh moral” – semua ini merupakan hasil berkibarnya pengobatan Kritis Rudolph.

“Chouette” berusaha menjauhi pemimpin geng itu. Laki-laki itu melihat hal itu dan memegangnya kencang-kencang.

Diamlah, Chouette, aku mesti hingga selesai menjelaskan padamu bagaimana aku secara berangsur-angsur sampai pada pertobatan ... Itu akan merupakan suatu ungkapan mengerikan bagimu ... dan juga akan memperlihatkan betapa aku dengan tak-kenal-ampun mesti melakukan balas-dendam atas nama para korban kita ... Aku mesti bergegas ... Kegembiraan karena kau berada dalam tanganku membuat darahku mendidih ... Aku akan mempunyai waktu untuk membuat mendekatnya kematianmu lebih mengerikan lagi dengan memaksa dirimu mendengarkan aku ... Aku buta ... dan pikiranku mengambil suatu bentuk, sebuah tubuh, yang menyajikan secara dapat dilihat olehku, yang nyaris dapat dirasakan/disentuh, sepanjang waktu ... Ciri-ciri para korbanku ... Gagasan-gagasan itu nyaris secara material tercermin di dalam otakku Manakala pertobatan itu dibarengi oleh suatu penghembusan nafas terakhir dengan kekerasan mengerikan, suatu penghembusan nafas terakhir yang mengubah kehidupan kita menjadi suatu keterjagaan (tidak-tidur) yang panjang yang dipenuhi dengan halusinasi-halusinasi balas-dendam atau refleksi-refleksi keputusasaan ... maka, barang-kali, permaafan orang-orang menyusul penyesalan dan hembusan nafas terakhir.”

Pemimpin geng itu melanjutkan dalam suatu kemunafikan yang dari menit ke menit semakin menjadi-jadi “Chouette” mesti mendengarkan bagaimana laki-laki itu secara bertahap sampai pada pertobatan. Ungkapan ini akan mengerikan bagi perempuan itu, karena akan membuktikan padanya bahwa itu merupakan “tugas” laki-laki itu untuk menggenapkan balad-dendam yang tak-mengenal-ampun, bukan atas namanya sendiri, tetapi atas nama para korban bersama mereka. Tiba-tiba pemimpin geng itu menginterupsi ceramah didaktiknya. Ia mesti, demikian katanya, “bergegas” dengan ceramahnya, karena kegembiraan mendapatkan perempuan itu dalam kekuasaannya membuat darah berdentam-dentam di dalam pembuluh-pembuluh darahnya; itu merupakan suatu dasar moral untuk mempersingkat ceramah itu! Kemudian ia menenangkan darahnya kembali. Lamanya waktu yang dipakainya untuk memberi pada perempuan itu suatu khotbah moral bukanlah suatu kehilangan bagi balas-dendamnya. Itu akan “membuat mendekatnya kematian [perempuan itu] semakin mengerikan” baginya. Itu suatu dasar moral lagi untuk memperpanjang khotbahnya! Dengan dasar-dasar moral seperti itu ia akan dengan aman melanjutkan naskah moralnya di tempat di mana ia telah berhenti sejenak.

Pemimpin geng itu dengan tepat telah menggambarkan kondisi seseorang yang ditimbulkan oleh pengucilan orang itu dari dunia luar.Baginya, yang melihat “semata-mata suatu ide” dalam “dunia yang tampak,” maka “ide semata-mata,” sebaliknya, menjadi suatu “keberadaan yang tampak.” Isapan-jempol benaknya mengambil bentuk yang berwujud. Suatu dunia hantu yang inderawi, yang tampak dilahirkan di dalam benaknya. Itulah misteri dari semua penglihatan saleh dan itu sekaligus bentuk umum dari kegilaan. Ketika pemimpin geng itu mengulangi kata-kata Rudolph tentang “kekuasaan penyesalan dan pertobatan yang dibarengi siksaan-siksaan mengerikan,” itu dilakukannya dalam keadaan setengah-gila, dengan demikian secara nyata membuktikan keterkaitan antara kesadaran Kristiani akan dosa dengan kegilaan. Seperti itu pula, ketika pemimpin geng itu memandang transformasi “kehidupan” menjadi sebuah “impian buruk” yang dipenuhi hantu-hantu sebagai hasil sesungguhnya dari penyesalan dan pertobatan, ia menyatakan misteri sesungguhnya dari Kritik murni dan dari penerimaan Kristiani, yang terdiri atas berubahnya manusia menjadi suatu hantu dan kehidupannya menjadi sebuah “kehidupan impian.”

Pada titik ini Eugène Sue menyadari bagaimana “pikiran-pikiran keselamatan” yang telah dibiarkannya diocehkan perampok buta itu kepada Rudolph akan dipra-sangkakan oleh perlakuan pemimpin geng itu atas diri Chouette. Itulah sebabnya mengapa ia membuat pemimpin geng itu berkata:

“Pengaruh keselamatan dari pikiran-pikiran ini aalah sedemikian rupa hingga amarahku dijinakkan.

Demikianlah pemimpin geng itu menyadari bahwa kegusaran moral-nya tidak-lain-dan-tidakbukan hanyalah amarah duniawi

Aku kekurangan keberanian……kekuatan ... kemauan untuk membunuhmu ... Tidak, bukan aku yang akan menumpahkan darahmu ... itu akan merupakan ... pembunuhan [ia menyebutkan sesuatu pada namanya] pembunuhan yang beralasan, barangkali, tetapi betapapun tetap pembunuhan.”

“Chouette” melukai pemimpin geng itu dengan sebilah belati tepat pada waktunya. Eugène Sue sekarang dapat membiarkan laki-laki itu membunuh perempuan itu tanpa kejelimetan moral apapun.

“Laki-laki itu mengeluarkan suatu jeritan kesakitan ... Nafsu galak pembalasan, kemurkaan dan naluri haus-darah, tiba-tiba dibangkitkan dan digusarkan oleh serangan ini, meledak tiba-tiba dan mengerikan di mana nalarnya yang sudah tergoncang sekali menjadi berantakan ... Ular berbisa!

Telah kurasakan taringmu ... kau akan menjadi buta seperti diriku.”

Dan ia mencukil mata perempuan itu.

Ketika sifat pemimpin geng, yang hanya diberi kedok kemunafikan, kedok kecanggihan dan secara orang bertapa ditindak oleh pengobatan Rudolph itu pecah, maka ledakan itu semakin keras dan mengerikan. Kita mesti berterima-kasih pada Eugène Sue atas pengakuannya bahwa nalar pemimpin geng itu telah tergoncang dengan keras oleh peristiwa-peristiwa yang disiapkan oleh Rudolph.

“Percikan terakhir nalarnya mati dalam teriakan teror itu, dalam teriakan seorang yang terkutuk itu [ia melihat hantu-hantu para korbannya]; pemimpin geng itu mengamuk dan meraung-raung bagaikan seekor binatang gila ... Ia menyiksa Chouette hingga mati.”

Herr Szeliga menggerutu:

“Dengan pemimpin geng itu tidak mungkin adanya transformasi (!) yang demikian cepat (!) dan mujur (!) seperti dengan Shuriman.”

Sebagaimana Rudolph mengirim Fleur de Marie ke biara itu, ia juga mengirim pemimpin geng itu ke asilum (rumah sakit gila) itu, ke Bicètre. Ia telah melumpuhkan moral-nya maupun kekuatan fisiknya. Tepat sekali. Karena pemimpin geng itu telah berdosa dengan moral maupun dengan tenaga/kekuatan fisiknya, dan menurut teori hukum pidana Rudolph, “kekuatan penuh dosa” mesti dimusnahkan. Tetapi Eugène Sue masih belum menggenapkan “pertobatan dan penebusan dosa yang dibarengi balas dendam yang mengerikan.” Pemimpin geng itu pulih nalarnya, tetapi karena takut diserahkan pada keadilan, ia tetap tinggal di Bicètre dan “berpura-pura” gila. Monsieur Sue lupa bahwa “setiap kata yang dikatakannya mestilah sebuah doa” sedangkan itu lebih menyerupai teriakan tak-jelas dan meracaunya seorang gila. Atau, barangkali Monsieur Sue secara ironik menempatkan manifestasi-manifestasi kehidupan ini setingkat dengan berdoa?

Gagasan mengenai hukuman yang dilaksanakan Rudolph dengan membutakan pemimpin geng itu –isolasi orang itu dan rohnya dari dunia luar, digabungkannya hukuman legal dengan siksaan teologi secara menentukan dilaksanakan dalam sistem sel. Itulah sebabnya mengapa Monsieur Sue mengagungkan sistem itu.

“Berapa banyak abad yang mesti berlalu sebelum disadaran bahwa hanya terdapat satu cara menanggulangi penyakit lepra yang meluas dengan pesatnya [yaitu, korupsi moral di dalam penjara-penjara] yang mengancam badan masyarakat: isolasi.”

Monsieur Sue berbagi dengan pendapat orang-orang terhormat yang menjelaskan meluasnya kejahatan dengan organisasi penjara-penjara. Untuk menyingkirkan si penjahat dari masyarakat buruk ia serahkan pada masyarakatnya sendiri.

Eugène Sue berkata:

“Aku mesti menganggap diriku beruntung jika suaraku yang lemah dapat didengar oleh semua yang dengan begitu tepat dan begitu kukuh menuntut penerapan sistem sel itu selengkapnya dan secara mutlak.”

Harapan Monsieur Sue hanya sebagian terpenuhi. Dalam perdebatan- perdebatan mengenai sistem sel di Majelis Perwakilan tahun ini, bahkan para pendukung resmi dari sistem itu mesti mengakui bahwa lambat atau cepat itu akan berakhir dengan kegilaan diri penjahat. Semua hukuman penjara untuk lebih dari sepuluh tahun mesti–oleh karenanya–diubah menjadi deportasi.

Seandainya Tuan-tuan Toqueville dan Beaumont mempelajari novel Eugène Sue dengan tuntas, mereka tidak bisa tidak akan memberlakukan penerapan selengkapnya dan secara mutlak sistem sel itu.

Jika Eugène Sue melucuti para penjahat dari suatu akal-waras mengenai masyarakat agar membuat mereka gila, ia memberikan masyarakat gila itu untuk membuat mereka waras.

“Pengalaman membuktikan bahwa isolasi adalah sama fatalnya bagi yang gila seperti ia sama menyelamatkan bagi para penjahat.”

Jika Monsieur Sue dan pahlawan Kritisnya, Rudolph tidak menjadikan hukum lebih miskin dengan sesuatu misteri melaluisistem pertobatan Katholik atausistem sel Methodis, maka mereka telah, sebaliknya, memperkaya pengobatan dengan misteri-misteri baru, dan betapapun, itu suatu pelayanan/jasa yang sama besarnya untuk mengungkapkan misteri-misteri baru seperti mengungkapkan misteri-misteri lama. Dalam laporannya mengenai pembutaan pemimpin geng itu, Kritik Kritis sepenuhnya sepakat dengan Monsieur Sue:

“Ketika ia diberitahu bahwa dirinya telah dilucuti dari pengelihatan matanya, ia bahkan tidak mempercayai hal itu.”

Pemimpin geng itu tidak dapat mempercayai hilangnya penglihatanya karena dalam realitas ia masih dapat melihat. Monsieur Sue sedang menjelaskan suatu jenis katarak baru dan melaporkan suatu misteri sungguh-sungguh bagi ophthalmologi tidak-Kritis yang serba massal.

“Pupilnya putih” setelah operasi itu, maka itu adalah suatu kasus dari “katarak dari lensa kristalin.” Sejauh ini, ini dapat, tentu saja, disebabkan oleh luka pada pembungkus lensa tanpa menyebabkan banyak kenyerian, sekalipun tidak seluruhnya tanpa kenyerian. Tetapi, karena para dokter mencapai hal ini hanya dengan cara-cara “alamiah,” tidak dengan cara-cara “Kritis,” maka satu-satunya jalan yalah menunggu hingga peradangan itu terjadi setelah luka itu dan pemancaran mengurangi cahaya lensa itu.

Suatu “mukjijat” yang lebih besar dan “misteri” yang lebih besar dialami/menimpah pemimpin geng itu di dalam bab ketiga dari buku ketiga. Orang yang telah dibutakan dapat “melihat” kembali.

Chouette, pemimpin geng itu dan Tortillard telah melihat pendeta itu dan Fleur de Marie.”

Kalau kita tidak menafsirkan melihatnya kembali pemimpin geng itu sebagai semacan mukjijat pengarang menurut metode Kritik der Synoptiker, maka pemimpin geng itu mesti telah dioperasi kataraknya. Kemudian ia buta kembali. Maka ia telah menggunakan matanya terlalu cepat dan iritasi cahaya telah menyebabkan peradangan yang berakhir dengan kelumpuhan “retina” dan “amaurosis” yang tidak bisa disembuhkan. Ini sebuah misteri lain bagi ophthalmologi tidak-Kritis bahwa ini dapat terjadi dalam satu detik “tunggal.”

b) Pahala dan Hukuman. Keadilan Rangkap (dengan sebuah tabel)

Sang pahlawan Rudolph mengungkapkan sebuah teori baru agar masyarakat tetap tegak dengan memberi pahala pada yang baik dan menghukum yang jahat. Dipandang secara tidak-Kritis, teori ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah teori masyarakat sekarang. Betapa sedikit yang dilupakannya untuk mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat! Betapa tidak-Kritis komunis yang serba padat, Owen, dalam perbandingan dengan misteri yang terungkap ini. Dalam ganjaran dan hukuman ia hanya melihat pentahbisan perbedaan-perbedaan dalam peringkat sosial dan pernyataan sepenuhnya dari perendahan yang membudak.

Ia dapat dipandang sebagai suatu pengungkapan baru yang dibuat Eugène Sue menganjar kompetensi keadilan –dari suatu lampiran baru pada Kode Hukum Pidana—dan, tidak puas dengan satu yuridiksi, menciptakan yuridiksi kedua. Malangnya misteri yang terungkap ini adalah juga pengulangan dari suatu doktrin lama yang diuraikan secara rinci oleh Bentham dalam karyanya yang sudah disebut di muka. Sebaliknya, kita tidak dapat menengkari kehormatan Monsieur Sue yang telah membenarkan dan mengembangkan saran Bentham dalam suatu cara yang jauh lebih Kritis daripada yang dilakukannya. Selagi orang Inggris yang serba-padat itu berdiri di atas tanah yang solid, deduksi Sue naik ke wilayah-wilayah Kritis dari surga. Argumennya adalah sebagai berikut:

Akibat-akibat yang diperkirakan dari kegusaran langit dimateri-alisasikan untuk menakuti yang jahat. Mengapa efek ganjaran ilahi dari kebaikan tidak dimaterialisasikan dan diantisipasikan secara sama di atas bumi?

Dalam pandangan tidak-Kritis adalah sebaliknya: teori kejahatan surgawi hanya telah mengidealisasikan yang duniawi tepat seba-gaimana ganjaran ilahi adalah hanya suatu idealisasi dari jasa upah manusia. Secara diperlukan bahwa masyarakat jangan menganjar semua orang baik sehingga keadilan ilahi akan mempunyai sesuatu kelebihan di atas keadilan manusiawi.

Di dalam penyajian keadilan ganjaran Kritiknya itu, Monsieur Sue memberikan “sebuah contoh dari dogmatisme feminin yang mesti mempunyai sebuah rumusan dan membentuknya menurut kategori-kategori dari yang berada” yang disensor oleh Herr Edgar dalam Flora Tristan dengan segala ketenangan pengetahuan. Untuk setiap pasal dari kode hukum pidana sekarang yang dipertahankannya, Monsieur Sue memproyeksikan suatu pengimbang tambahan dalam suatu kode ganjaran yang disalin darinya hingga rincian terakhir. Agar para pembaca mendapat suatu tinjauan yang lebih baik mengenai pasal-pasal itu akan kita berikan pasal-pasal itu dan pengimbang-pengimbangnya dalam bentuk tabular (lihat di bawah ini)

TABEL KEADILAN LENGKAP SECARA KRITIS

Keadilan yang berlaku       

Nama: Keadilan Kriminal

Deskripsi: tangannya memegang pedang untuk memendekkan yang jahat dengan sekepala 

Tujuan: Hukuman bagi yang jahat – pemenjaraan, kekejian, hidup melarat

Orang diberitahu mengenai  hukuman mengerikan bagi   yang jahat bagi yang baik

Cara mengetahui yang Jahat: Pengintaian (memata- matai), Polisi, pelaporan, menjebak yang jahat

Metode pemastian bahwa seseorang itu jahat: Putusan-putusan kejahatan di bawah sumpah. Pejabat publik menunjuk  dan menolak kejahatan-kejahatan terdakwa untuk pembalasan publik

Kondisi penjahat setelah dijatuhi hukuman: Di bawah       pengawasan kepolisian     tertinggi. Di bawah ke  penjara. Negara menanggung   ongkos-ongkos perkara

Eksekusi: Penjahat berdiri di tiang-tiang gantungan

  

Pelengkapan Keadilan secara Kritis

Nama: Keadilan Berbudi-luhur

Deskripsi: tangannya memegang mahkota untuk mengangkat yang baik dengan sekepala

Tujuan: Mengganjar yang baik, papan-pangan gratis, kehormatan, pemeliharaan kehidupan

    Orang diberitahu mengenai kemenangan-kemenangan cemerlang

  Cara mengetahui yang baik: Mematai-matai kebajikan, pelaporan, mencegat yang berbudi-luhur

Metode pemastian bahwa seseorang itu baik: Putusan-putusan keluhuran di bawah sumpah. Pejabat publik menunjuk dan menolak perbuatan-perbuatan mulia terdakwa untuk pengakuan publik

Kondisi kebajikan setelah dijatuhi hukuman: Di bawah pengawasan amal moral tertinggi. Di antar pulang. Negara menanggung ongkos-ongkos perkara

Eksekusi: Langsung di seberang gantungan penjahat, didirikan sebuah tumpuan di atas mana berdiri orang baik yang besar itu. – Sebuah tiang tumpuan kebajikan.

Tergerak oleh pemandangan gambar ini, Monsieur Sue berseru:

“Alas! Itu sebuah utopia! Tetapi bayangkan suatu masyarakat diorganisasi dengan cara ini!”

Itu akan merupakan “pengorganisasian masyarakat secara Kritis.” Kita mesti membela organisasi ini terhadap celaan Monsieur Sue bahwa ia masih merupakan sebuah utopi. Sue lagi-lagi melupakan “Hadiah Kebajikan” yang setiap tahun diberikan di Paris dan yang ia sendiri telah menyebutnya. Hadiah ini bahkan diorganisasi dengan duplikat: “Hadiah Monthion” yang material bagi perbuatan-perbuatan mulai laki-laki dan perempuan, dan Hadiah Rosière[67] bagi gadis-gadis bermoral baik. Bahkan ada “karangan” bunga mawar yang dituntut oleh Eugène Sue.

Sejauh yang menyangkut memata-matai kebajikan dan pengawasan amal moral tertinggi, mereka diorganisasi sudah lama berselang oleh kaum Jesuit. Dan kecuali itu, Journal des Débats,[68] Siècle,[69] Petites Affiches de Paris,[70] dan lain-lainnya menunjuk dan menolak kebajikankebajikan, perbuatan-perbuatan mula dan jasa-jasa semua pengawai bursa Paris sehari-hari dan dengan ongkos tinggi, belum terhitung penunjukan dan penolakan perbuatan-perbuatan mulai politik, yang untuk itu setiap partai mempunyai organnya sendiri.

Voss tua mencatat bahwa Homer lebih baik dari dewa-dewanya. “Misteri dari semua misteri yang terungkap,” Rudolph, oleh karenanya dapat dijadikan betanggung-jawab atas gagasan-gagasan Eugène Sue.

Sebagai tambahan atas hal ini, Herr “Szeliga” melapor:

“Di sampihng itu, terdapat banyak pasase di mana Eugène Sue menginterupsi narasi itu dan memasukkan atau mengakiri episode-episode, dan semuanya itu adalah Kritis.”

c) Penghapusan Degenerasi dalam Peradaban dan Ketiadaankeadilan dalam Negara.

“Preventif” yuridisial bagi penghapusan kejahatan dan karenanya dari degenerasi di dalam peradaban terdiri atas “perwalian protektif diambil oleh negara atas anak-anak para penjahat yang dieksekusi atau yang dijatuhi hukuman seumur hidup.”

Sue menghendaki pengorganisasian distribusi kejahatan dengan cara yang lebih liberal. Tiada keluarga yang mesti mempunyai hak-istimewa kejahatan secara warisan, persaingan bebas dalam kejahatan mesti menang atas monopoli.

Monsieur Sue menghapus “ketiadaan keadilan dalam negara” dengan mereformasi bagian “kode hukum pidana” mengenai “tipuan-tipuan kepercayaan,” dan khususnya dengan penunjukan “pengacara-pengacara bayaran bagi orang-orang miskin.” Ia mendapati bahwa di negeri-negeri seperti Piedmont dan Negeri Belanda, dimana sudah terdapat para pengacara untuk orang miskin, ketidakadilan di dalam negara telah dihapuskan. Satu-satunya kegagalan legislasi Perancis adalah bahwa ia tidak menyediakan bayaran bagi para pengacara, tidak meramalkan pelayanan khusus kaum miskin dan menjadikan batasan-batasan kemiskinan menjadi terlalu sempit. Seakan-akan ketidakadilan tidak dimulai dalam “perkara hukum” itu sendiri, dan seakan-akan ia belum diketahui sejak lama di Petrancis bahwa “hukum” tidak memberikan apapun pada kita, kecuali hanya sanksi-sanksi yang kita punyai. Diferensiasi yang sudah tidak berarti antara hak dan kenyataan agaknya masih menjadi sebuah misteri Partis bagi sang pengarang.

Jika pada ungkapan Kritis misteri-misteri hukum itu kita menambahkan reformasi besar yang hendak dilaksanakan Eugène Sue dalam kaitan dengan para juru-sita, maka kita akan mengerti jurnal Satan[71] . Di situ kita melihat pasda para penghuni suatu distrik dalam kota menulis pada reformer-sebanyak-satu-garis yang besar besar bahwa masih belum ada lampu gas di jalanan-jalanan. Monsieur Sue menjawab bahwa ia akan membahas masalah itu dalam buku keenam karyanya Wandering Jew (Yahudi yang Berkelana) . Sebagian lain dari kota itu mengeluhkan kekurangan-kekurangan pendidikan dasar. Sue menjanjikan suatu reformasi pendidikan dasar untuk distrik kota itu dalam buku kesepuluh dari Wandering Jew.

 

4) Misteri Pendirian yang Terungkap

“Rudolph tidak mempertahankan pendiriannya yang luhur (!)….. ia tidak mengelakkan kesulitan penerimaan dengan pilihan bebas pendirian akan yang kanan dan yang kiri, dari atas dan bawah (Szeliga).”

Salah-satu misteri utama dari Kritik Kritis; adalah “pendirian” dan “menilai dari pendirian.” Bagi Kritik setiap orang, seperti setiap produk dari spirit, diubah menjadi suatu pendirian.

Tiada yang lebih mudah daripada melihat melalui pendirian misteri manakala seseorang telah melihat melalui misteri umum dan Kritik Kritis, yaitu pemanasan sampah spekulatif.

Pertama-tama sekali biarlah Kritik itu sendiri menguraikan teori “pendirian”-nya dalam kata-kata patriarknya, Herr Bruno Bauer.

“Ilmu-pengetahuan ... tidak pernah membahas suatu individu tunggal tertentu atau suatu pendirian definitif tertentu ... Ia tidak akan gagal, bagaimanapun, untuk menyingkirkan pembatasan-pembatasan suatu pendirian jika itu layak dilakukan dan jika pembatasan-pembatasan itu sungguh-sungguh mempunyai makna manusiawi umum; tetapi ia memahami ini sebagai suatu kategori murni dan ketentuan-ketentuan kesadaran diri dan sesuai dengan itu menyatakan persetujuannya hanya mereka yang mempunyai keberanian untuk meningkat pada keumuman kesadaran-diri, yaitu, yang dengan segenap kekuatan mereka tetap tinggal di dalam pembatasan itu” ( Anekdota, Buku II, hal. 27).

Misteri keberanian Bauer ini adalah Phenomnenology Hegel. Karena di sini Hegel menggantikan “manusia” dengan “kesadaran-diri,” Realitas manusia “yang paling beragam” hanya tampil sebagai suatu bentuk tertentu, sebagai suatu “ketentuan kesadaran-diri.” Tetapi suatu sekedar ketentuan kesadaran-diri adalah suatu “kategori murni,” suatu sekedar “pikiran” yang dapat juga secara konsekuen dihapuskan dalam pikiran “murni” dan menanggulanginya lewat pikiran murni. Dalam Phenomenology Hegel, dasar-dasar “obyektif, yang dapat dipahami, yang material” dari berbagai bentuk yang terasing dari kesadaran-diri manusia “dibiarkan sebagaimana adanya.” Demikian keseluruhan pekerjaan destruktif menghasilkan filsafat yang paling konservatif karena ia mengira telah menanggulangi “dunia obyektif,” dunia nyata secara inderawi, dengan sekedar mentransformasinya menjadi suatu “benda pikiran,” sekedar suatu “ketentuan kesadaran-diri” dan karenanya dapat membuyarkan lawannya, yang telah menjadi ethereal, di dalam “ethernya pikiran murni.” Phenomenology oleh karenanya logik sekali ketika pada akhirnya menggantikan realitas manusia dengan “Pengetahuan Mutlak”–“Pengetahuan,” karena ini merupakan satu-satunya cara keberadaan kesadaran-diri, karena kesadaran-diri dipandang sebagai satu-satunya cara keberadaan manusia; pengetahuan mutlak oleh karena kesadaran diri mengetahui hanya “dirinya sendiri” dan tidak lagi diganggu oleh sesuatu dunia obyektif.

Hegel menjadikan manusia “manusia kesadaran-diri” gantinya menjadikan kesadaran-diri “kesadaran-diri manusia,” dari manusia sesungguhnya, manusia yang hidup dalam suatu dunia obyektif dan ditentukan oleh dunia itu. Ia membuat dunia berdiri “di atas kepalanya” dan oleh karenanya membubarkan “di dalam kepala itu” semua pembatasan/keterbatasan yang dengan sendirinya tetap berada bagi “keinderawian jahat,” bagi manusia “sesungguhnya.” Kecuali ini, segala sesuatu yang “menyingkapkan keterbatasan-keterbatasan kesadaran-diri umum” –semua keinderawian, realitas, individualitas manusia dan dunia mereka– mau-tidak mau dianggap olehnya sebagai suatu batas. Keseluruhan Phenomenology dimaksudkan untuk membuktikan bahwa “kesadaran-diri” merupakan “satu-satunya realitas” dan “semua realitas.”

Herr Bauer baru-baru ini membaptis-kembali Pengetahuan Mutlak (menjadi) Kritik dan ketentuan kesadaran-diri (menjadi) “pendirian” – sebuah nama yang bunyinya profan. Di dalam Anekdota-nya kedua nama itu dapat dijumpai berdampingan, dan pendirian dijelaskan sebagai ketentuan kesadaran-diri.

Karena “dunia religius itu sendiri” hanya ada sebagai dunia “kesadaran-diri,” maka Pengritik Kritis –sang theolog ex professo– tidak sampai pada pikiran bahwa terdapat suatu dunia di mana “kesadaran” dan “keberadaan” adalah berbeda; suatu dunia yang terus berada ketika aku menyingkirkan keberadaannya dalam pikiran, keberadaannya sebagai suatu kategori atau sebagai suatu pendirian; yaitu, ketika aku memodifikasi kesadaran subyektifku sendiri tanpa mengubah realitas obyektif dengan suatu cara yang sungguh-sungguh obyektif; dengan kata- kata lain, tanpa mengubah realitas “obyektif”ku sendiri dan realitas obyektif dari orang-orang lain. Oleh karenanya “identitas mistik” dari “keberadaan” dan “pikiran” diulangi dalam Kritik sebagai identitas yang sama mistiknya dari “praktek” dan “teori.” Itulah sebabnya mengapa Kritik begitu terpancang dengan praktek ketika ia ingin menjadi sesuatu yang berbeda dari teori, dan dengan teori ketika ia ingin menjadi sesuatu yang lain daripada pembuyaran suatu “kategori” tertentu di dalam “keumuman kesadaran-diri yang tidak-terbatas” itu. Teorinya sendiri terbatas pada penyataan bahwa segala sesuatu yang tertentu merupakan suatu lawan/kebalikan dari keumuman kesadaran-diri yang tak-terbatas dan adalah, oleh karenanya, tidak penting; misalnya, negara, hak milik perseorangan, dsb., mengubah makhluk-makhluk manusia menjadi abstraksi-abstraksi, atau merupakan produk-produk dari manusia “abstrak,” gantinya menjadi realitas individu-individu, dari makhluk-makhluk manusia konkrit.

Akhirnya, sudah dengan sendirinya bahwa apabila Phenomenology Hegel, sekalipun dosa asli spekulatifnya, dalam banyak contoh memberikan unsur-unsur suatu gambaran sesungguhnya dari hubungan-hubungan manusia, maka Herr Bruno & Kawan-kawan, sebaliknya, hanya memberikan suatu karikatur kosong, sebuah karikatur yang puas dengan menderivasi beberapa ketentuan dari suatu produk spirit atau bahkan dari hubungan-hubungan sesungguhnya atau gerakan-gerakan, mengubah ketentuan itu menjadi suatu ketentuan pikiran, menjadi suatu “kategori,” dan menjadikan kategori itu “pendirian” produk itu, dari hubungan dan gerakan agar kemudian meremehkan ketentuan ini dengan kearifan yang dewasa sebelum waktunya, kearifan yang menang dari titik-pandang abstraksi, dari kategori umum dan dari kesadaran-diri umum.

Dalam pendapat Rudolph semua orang menerima pendirian mengenai baik atau buruk dan dinilai oleh dua konsepsi abadi itu.

Seperti itu pula, bagi Herr Bauer & Kawan-kawan, pendirian-pendirian adalah dari Kritik atau dari Massa. Tetapi kedua-duanya itu mengubah “makhluk manusia sesungguhnya” menjadi “pendirian-pendirian abstrak.”

 

5) Pengungkapan Misteri mengenai Penggunaan Impuls-impuls Manusia, atau Clémence d’Harville

Hingga sejauh ini Rudolph tidak mampu berbuat lebih banyak daripada mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat dengan caranya sendiri. Kita sekarang akan melihat sebuah contoh bagaimana ia menjadikan “nafsu-nafsu” berguna dan “memberikan suatu perkembangan yang selayaknya pada sifat baik Clémence d’Harville.”

“Rudolph,” demikian kata Herr Szeliga, “menarik perhatiannya pada segi hiburan dari amal, suatu pikiran yang membuktikan suatu pengetahuan makhluk-makhluk manusia yang hanya dapat lahir di dalam roh Rudolph setelah ia melalui percobaan.”

Ungkapan yang dipakai Rudolph dalam percakapannya dengan Clémence: “menjadikan menarik, menggunakan rasa-kecap alamiah, mengatur intrik, menggunakan kecenderungan pada penipuan dan keahlian, mengubah naluri-naluri keangkuhan, yang tak-dapat ditawar-tawar menjadi kualitas-kualitas murah-hati,” dsb., tidak kurang daripada “justru impuls-impuls” yang paling diatributkan di sini pada sifat wanita, sumber rahasia dari kearifan Rudolph – Fourier. Ia telah bertemu dengan beberapa penyajian populer dari doktrin Fourier.

Penerapan itu lagi-lagi sama tepatnya penerapan teori Kritis Rudolph sendiri maupun penerapan teori Bentham yang telah kita saksikan diatas.

Tidaklah dalam amal “itu sendiri marquise” muda itu mendapatkan kepuasan hakekat manusiawinya, tujuan kegiatannya, dan karenanya hiburannya. Amal, sebaliknya, hanya menawarkan kejadian eksterior, hanya dalih, hanya material bagi satu jenis hiburan yang dengan sama baiknya dapat menggunakan material lain sebagai kandungannya. Kesengsaraan dieksploitasi secara sadar untuk memberikan pada person yang dermawan itu “kesedapan dari yang baru (novel) itu, pemuasan keingintahuan, petualangan, penyamar-an, kenikmatan kehebatannya sendiri, kejutan-kejutan persyarafan dan sejenisnya.”

Dengan begitu Rudolph telah secara tidak sadar mengungkapkan misteri yang telah terungkap lama sebelumnya bahwa kesengsaraan manusia itu sendiri, kehina-dinaan tak-terhingga yang terpaksa menerima sedekah-sedekah, mesti berlaku sebagai suatu alat permainan bagi aristokrasi uang dan pendidikan untuk memuaskan cinta-diri mereka, menggelitik arogansi mereka dan menyenangkan mereka.

Banyaknya perhimpunan-perhimpunan amal di Jerman, banyaknya perkumpulan-perkumpulan amal di Perancis dan jumlah besar perkumpulan amal kisotik (dari Don Quisot, pen.)di Inggris, konser-konser, pesta-pesta dansa, makanan untuk kaum miskin dan bahkan pendaftaran-pendaftaran umum untuk para korban kecelakaan tidak mempunyai sasaran lain.Maka tampaknya amal itu telah lama diorganisasi sebagai hiburan.

Transformasi sang marquise secara tiba-tiba yang tidak-bermotivasi pada semata-mata kata lucu membuat kita menyangsikan ketahanan pengobatannya/kesembuhannya; atau lebih tepatnya transformasi ini hanya tampaknya saja tiba-tiba dan tidak-bermotivasi dan hanya disebabkan dalam penampilannya oleh penggambaran amal sebagai suatu kelucuan. Sang marquise menyintai Rudolph dan Rudolph hendak menyamarkan dirinya dengan perempuan itu, membangkitkan minat dan menurutkan kehendak dengan petualangan-petualangan amal. Kemudian, ketika sang Marquise melakukan suatu kunjungan amal pada penjara Saint Lazare, kecemburuannya terhadap Fleur de Marie menjadi kelihatan sekali dan karena kederma-wanannya akan kecemburuannya ia menyembunyikan kenyataan penahanan Marie dari Rudolph. Paling-paling, Rudolph telah berhasil mengajar seorang wanita tidak bahagia memainkan sebuah komedi tolol dengan makhluk-makhluk tidak bahagia. Misteri filantropi yang ia tetaskan dikhianati oleh pesolek Paris yang mengundang rekannya makan malam setelah dansa itu dengan kata-kata berikut ini:

“Ah, Madame, tidaklah cukup dengan berdansa untuk kebaikan orang-orang Polandia yang malang ini ... Mari kita berfilantropi hingga akhir ... Mari kita sekarang makan malam untuk kebaikan yang miskin itu!

 

6) Pengungkapan Misteri mengenai Emansipasi Perempuan, atau Louise Morel

Pada peristiwa penangkapan Louise Morel, Rudolph menuruti dirinya dalam perenungan-perenungan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

“Sang majikan acapkali merusak gadis pelayan. Dengan menakut-nakutinya, dengan kejutan atau pemanfaatan lain-lain kesempatan yang diberikan oleh sifat kondisi para pelayan. Ia mereduksinya pada kesengsaraan, malu dan kejahatan. Hukum tidak mempedulikan hal ini ... Penjahat yang boleh dikata telah mendorong seorang gadis pada infantiside (pembunuhan anak) tidak dihukum.”

Perenungan Rudolph tidak sampai sejauh menjadikan kondisi para pelayan sasaran dari Kritiknya yang paling luhur. Karena sendiri seorang penguasa kecil, ia adalah seorang pembela besar mengenai kondisi para pelayan. Lebih sedikit lagi yang dipahaminya mengenai kondisi umum kaum wanita dalam masyarakat modern sebagai suatu kondisi yang tidak manusiawi. Setia dalam semua hal pada teorinya yang sebelumnya, ia hanya berkeberatan terhadap kenyataan bahwa tiada terdapat undang-undang yang menghukum seorang perayu dan mengaitkan penyesalan dan pertobatan dengan hukuman yang mengerikan.

Ia hanya perlu memperhatikan pembuatan undang-undang di negeri-negeri lain. Hukum Inggris memenuhi semua keinginannya. Dalam kelembutan mereka, yang begitu tinggi dipuji Blackstone, mereka (undang-undang itu) sampai sejauh menyatakannya merayu seorang pelacur sebagai kejahatan berat.

Herr Szeliga berseru dengan bergaya:

Demikianlah (!) – Rudolph (!) – berpikir (!) Sekarang bandingkan pikiran-pikiran ini dengan fantasi-fantasi-mu mengenai empansipasi perempuan. Anda hampir dapat merasakan kenyataan emansipasi itu pada mereka dengan kedua tanganmu, tetapi anda terlalu praktis karena pendidikan, dan itulah sebabnya mengapa usaha-usahamu telah gagal sesering itu!”

Bagaimana pun, kita mesti berterima kasih pada Herr Szeliga karena telah mengungkapkan misteri bahwa kenyataan-kenyataan dapat diraba/dirasakan dalam pikiran dengan tangan. Sedangkan mengenai perbandingannya yang lucu atas diri Rudolph dengan orang-orang yang mengajarkan emansipasi perempuan, pikiran-pikiran itu mesti dibandingkan dengan “fantasi-fantasi Fourier” berikut ini:

“Perselingkuhan, rayuan, merupakan suatu kredit bagi sang perayu, itu sifat baik…..Tetapi, gadis malang! Pembunuhan anak (infantiside)! Sungguh-sungguh kejahatan! Jika ia menghargai kehormatannya, maka ia mesti mengenyahkan semua jejak ketidak-jujuran. Tetapi jika ia mengorbankan anaknya pada prasangka-prasangka dunia, maka kejahatannya semakin besar dan ia adalah korban dari prasangka-prasangka hukum ... Itu menjadi lingkaran setan yang digambarkan oleh semua mekanisme peradaban.

Tidakkah anak peremuan mudah itu suatu barang yang ditawarkan pada penawar pertama yang ingin mendapatkan kepemilikan khusus atas diri gadis itu? ... Tepat sebagaimana dalam tata-bahasa dua negasi adalah setara dengan sebuah penegasan, kita dapat mengatakan bahwa di dalam bisnis pernikahan dua pelacur adalah setara dengan kesucian.

Perubahan dalam suatu kurun-zaman historik selalu dapat ditentukan oleh kemajuan kaum perempuan menuju kebebasan, karena dalam hubungan wanita dan laki-laki, dari yang lemah dengan yang kuat, kemenangkan sifat manusiawi atas kebrutalan adalah yang paling terbukti. Derajat empansipasi perempuan merupakan tolok-ukur alamiah dari emansipasi umum.

Penghinaan terhadap jenis-kelamin peremuan merupakan ciri pokok peradaban maupun kebiadaban. Satu-satunya perbedaan yalah bahwa sistem beradab meningkakan setiap kejahatan yang dipraktekkan kebiadaban dalam bentuk sederhana pada suatu cara hidup yang terpadu, samar-samar, ambigu, munafik ... Tidak ada orang yang dihukum lebih berat karena membiarkan wanita sebagai
seorang budak daripada manusia itu sendiri.(Fourier).”

Adalah berlebih-lebihan untuk membandingkan pikiran-pikiran Rudolph dengan karakteristik yang ahli dari Fourier mengenai pernikahan atau dengan karya-karya bagian materialis dari komunisme Perancis.

Sampah paling buruk dari literatur sosialis, yang contohnya kita temukan pada novelis ini, mengungkapkan misteri-misteri yang masih belum diketahui oleh Kritik Kritis.

 

7. Pengungkapan Misteri-misteri Ekonomi-Politik

a) Pengungkapan Teori mengenai Misteri-misteri Ekonomi-Politik

Ungkapan Pertama: Kekayaan acapkali mengakibatkan pemborosan, pemborosan mengakibatkan kehancuran.

Ungkapan Kedua: Akibat-akibat kekayaan yang baru saja kita saksikan berasal dari suatu kekurangan akan pendidikan pada kaum muda kaya.

Ungkapan Ketiga: “warisan” dan “hak-milik perseorangan” adalah dan “mesti” tidak-dapat dilanggar dan suci.

Ungkapan Keempat: Orang yang kaya secara moral wajib memberikan suatu jumlah penggunaan rezekinya pada kaum pekerja. Suatu kekayaan yang besar merupakan suatu simpanan warisan –suatu hak feodal– yang dipercayakan pada tangan-tangan yang pandai, teguh, pintar dan murah-hati, yang sekaligus diserahi tanggung-jawab untuk menjadikannya bermanfaat dan menerapkannya sedemikian rupa sehingga segala sesuatu yang berbahagia berada di medan pancaran cemerlang dan menguntungkan dari kekayaan itu akan menjadi disuburkan, dihidupi dan diperbaiki.

Ungkapan Kelima: Negara mesti memberikan dasar-dasar ekonomi individual kepada kaum muda yang tidak-berpengalaman. Ia mestimemoralisasi kekayaan.

Ungkapan Keenam: Negara mesti menangani masalah besar mengenai “organisasi kerja.” Ia mesti memberikan contoh yang menguntungkan dari “penggabungan modal dan kerja,” dari suatu gabungan yang jujur, cerdas dan dapat diterima yang menjamin kesejahteraan “pekerja tanpa” prasangka terhadap “kekayaan kaum kaya”; suatu gabungan yang akan menegakkan kaitan-kaitan simpati dan pengakuan di antara “kedua kelas” ini dan dengan demikian menjamin ketenangan dalam negara “untuk selamanya.”

Karena untuk sementara ini negara tidak menerima teori ini, Rudolph sendiri memberikan beberapa contoh praktis. Contoh-contoh itu menyingkap misteri bahwa “hubungan-hubungan ekonomi yang paling luas dikenal” masih merupakan “misteri” bagi Monsieur Sue, Herr Rudolph dan Kritik Kritis.

b) Bank untuk Kaum Miskin

Rudolph mendirikan sebuah Bank untuk Kaum Miskin. Anggaran dasar Bank Kritis untuk Kaum Miskin ini adalah sebagai berikut:

Ia mesti memberi tunjangan pada kaum pekerja yang patuh-hukum dengan keluarga-keluarga selama masa-masa pengangguran. Ia mesti menggantikan sedekah-sedekah dan rumah-rumah pegadaian. Ia mengatur suatu pendapatan tahunan sebesar 12,000 franc dan mendistribusikan pinjaman-pinjaman bantuan tanpa-bunga sebesar 29 hingga 40 franc. Pada mulanya ia meluaskan kegiatannya hanya pada arondisemen ke-tujuh kota Paris, di mana tinggal bagian besar kaum buruh. Laki-laki dan wania pekerja yang mendaftar untuk mendapatkan bantuan mesti mempunyai sebuah sertifikat dari pemberi-kerja mereka yang terakhir mengenai prilaku baik mereka dan yang memberikan alasan dan tanggal penghentian pekerjaan itu. Pinjaman-pinjaman ini mesti dilunaskan dalam cicilan-cicilan bulanan sebesar seper-enam atau seper-duabelas dari jumlah itu sesuai keinginan peminjam, terhitung dari hari ia mendapatkan pekerjaan lagi. Pinjaman itu dijamin oleh sebuah obligasi atas kata-kehormatan (jaminan) sang peminjam; kecuali itu, ia dijamin atas sumpah oleh dua pekerja lainnya. Karena tujuan Kritikal dari Bank untuk Kaum Miskin itu adalah untuk mengobati salah-satu kemalangan paling menyedihkan dalam kehidupan pekerja itu - penghentian pekerjaan (emploimen) - bantuan dapat diberikan hanya kepada kaum buruh tangan yang menganggur. Monsieur Germain, manajer lembaga ini, menerima gaji tahunan sebesar 10,000 franc.

Sekarang, mari kita melempar sekilas pandang pada praktek ekonomi politik Kritikal ini. Pendapatan tahunan adalah sebesar 12.000 franc. Jumlah yang dipinjamkan per orang adalah dari 20 hingga 40 franc, yaitu, 30 franc rata-rata. Jumlah kaum buruh di arondisemen ke-tujuh itu yang secara resmi diakui sebagai berkekurangan, saat ini sekurang-kurangnya 4000. Karenanya, dalam setahun hanyalah 400, atau seper-sepuluh dari kaum buruh yang paling dalam kekurangan di arondisemen ke-tujuh itu yang dapat menerima tunjangan. Jika kita menaksir lama rata-rata pengangguran di Paris 4 bulan lamanya, yaitu, 16 minggu, maka kita akan berada di bawah angka sesungguhnya. 30 franch dibagi 16 minggu menghasilkan kurang-lebih 37 sou dan 3 sentim seminggu, bahkan tidak sampai 27 sentim sehari. Ongkos sehari dari seorang tahanan di Perancis adalah sedikit di atas 47 sentim, kira-kira lebih dari 30 sentim dihabiskan untuk makan saja. Tetapi pekerja yang diberi tunjangan oleh Monsieur Rudolph mempunyai keluarga. Mari kita ambil keluarga rata terdiri atas pria, isteri, dan dua orang anak: itu berarti bahwa 27 sentim mesti dibagi antara 4 orang. Dari situ kita mesti mengurangi uang sewa - minimal 15 sentim per hari - sehingga hanya tinggal 12 sentim. Banyaknya roti yang rata-rata dibutuhkan oleh seorang tahanan saja adalah sekitar 14 sentim. Oleh karenanya, bahkan dengan tidak menghiraukan semua kebutuhan lainnya, pekerja dan keluarganya itu tidak akan mampu membeli seperempatnya roti yang mereka butuhkan dengan bantuan yang diperoleh dari Bank Kritikal untuk Kaum Miskin itu. Jelas-jelas mereka akan mati kelaparan jika mereka tidak menempuh cara-cara yang hendak dihapus oleh bank itu - rumah pegadaian, mengemis, mencuri dan pelacuran.

Manajer Bank untuk Kaum Miskin, sebaliknya, semakin lebih cemerlang dibayar oleh laki-laki Kritik yang tak-mengenal-ampun itu. Penghasilan yang diperolehnya adalah 12,000 franc, gajinya 10.000 franc. Manajemen itu karenanya biayanya 45% dari jumlah seluruhnya, yaitu hampir 3 kali lipat lebih besar daripada administrasi kaum miskin yang serba-massal itu di Paris, yang biayanya hanya 17% dari jumlah seluruhnya.

Mari kita untuk sesaat mengandaikan bahwa bantuan yang diberikan Bank untuk Kaum Miskin itu merupakan tunjangan yang sungguh-sungguh, tidak hanya suatu tujangan khayali. Dalam hal itu lembaga dari misteri dari semua misteri yang terungkap terletak pada ilusi bahwa hanya suatu distribusi gaji yang berbeda yang diperlukan untuk memungkinkan kaum buruh hidup setahun penuh.

Berbicara dalam arti prosaik, pendapatan 7,500,000 kaum buruh Perancis rata-ratanya tidak lebih dari 91 franc per orang, dari yang 7,500,000 lainnya adalah 120 franc; dan bagi sekurang-kurangnya 15,000,000 lainnya lagi kurang daripada yang mutlak diperlukan untuk hidup.

Ide Bank Kritis untuk Kaum Miskin itu, jika ia dipertimbangkan secara masuk akal, berarti: selama waktu pekerja itu bekerja, maka sebanyak yang dibutuhkan untuk hidupnya selama ia menganggur yang akan dikurangi dari gajihnya. Akan berarti sama saja apakah aku memberikan suatu persekot (uang muka) sebesar suatu jumlah tertentu selama ia menganggur dan ia membayarnya kembali ketika ia mendapatkan pekerjaan, atau ia menyerahkan sejumlah tertentu ketika ia bekerja dan aku mengembalikannya padanya ketika ia menganggur. Dalam kedua-dua kasus itu ia membayar padaku ketika ia sedang bekerja yang ia dapatkan dariku ketika ia menganggur.

Demikian “Bank untuk Kaum Miskin murni” itu berbeda dari “bank-bank simpanan” yang serba-massal hanya dalam dua kualitas yang sangat Kritis, yang sangat asli. Yang pertama adalah bahwa bank itu meminjamkan uangà fonds perdus[72] berdasarkan anggapan yang tidak masuk akal bahwa pekerja itu dapat membayar kembali kalau ia mau dan bahwa ia akan selalu ingin membayar kembali kalau ia bisa. Yang kedua yalah bahwa bank itu tidak membayar bunga atas jumlah yang dicadangkan oleh pekerja itu. Karena jumlah ini diberikan bentuk suatu persekot, maka bank itu berpikir bahwa ia memberikan suatu kemudahan pada pekerja itu dengan tidak memungut sesuatu bunga darinya.

Perbedaan antara Bank Kritis untuk Kaum Miskin dan bank-bank simpanan yang serba-massal oleh karenanya adalah bahwa pekerja itu kehilangan bunganya dan bank itu kehilangan modalnya.

c) Perusahaan Pertanian Model di Bouqueval

Rudolph mendirikan sebuah perusahaan pertanian model (percontohan) di Bouqueval. Pemilihan tempat itu semakin lebih mujur lagi karena ia masih menikmati kenangan-kenangan zaman feodal dalam bentuk sebuah rumah gedung feodal.

Masing-masing dari enam orang yang dipekerjakan di atas perusahaan pertanian ini dibayar 150 écus atau 450 franc setahun, sedangkan kaum wanita menerima 60 écus atau 180 franc. Lagi pula mereka mendapatkan makan dan tempat tinggal secara cuma-cuma. Makan biasa sehari-hari dari orang-orang di Bouqueval terdiri atas sepiring ukuran besar ham, sepiring yang sama besarnya daging kambing dan akhirnya sepotong daging anak lembu yang sama serba-massalnya ditambah dengan dua jenis salada musim dingin, dua keju ukuran besar, kentang, sari buah apel, dsb. Masing-masing dari ke enam laki-laki itu dua kali dalam seminggu melakukan pekerjaan pekerja agrikultural Perancis yang normal.

Karena jumlah total pendapatan tahunan yang diproduksi di Perancis jika dibagi secara rata akan berjumlah tidak lebih daripada 93 franc per orang, dan karena jumlah total penghuni yang dipekerjakan secara langsung dalam agrikultur adalah dua-per-tiga dari penduduk Perancis, maka akan tampaklah revolusi yang bagaimana akan ditimbulkan oleh imitasi umum dari perusahaan pertanian percontohan khalifah Jerman itu dalam distribusi, dan di samping itu, dalam produksi kekayaan nasional.

Menurut yang sudah dikatakan, Rudolph mencapai peningkatan luar biasa dalam produksi ini hanya dengan membuat setiap pekerja bekerja dua kali lipat banyaknya dan makan enam kali lipat banyaknya dari sebelumnya.

Petani Perancis itu sangat rajin: para pekerja yang bekerja dua kali lipat banyaknya, oleh karenanya mesti atlet-atlet manusia super, sebagaimana yang tampak diindikasikan oleh makanan-makanan daging yang berukuran besar itu. Dari situ kita boleh mengasumsikan bahwa masing-masing dari keenam laki-laki itu sekurang-kurangnya makan satu pon daging sehari.

Kalau semua daging yang diproduksi di Perancis telah didistribusikan secara merata, maka bahkan tidak akan tersedia seperempat pon perorang sehari. Oleh karena itu jelaslah sebuah revolusi yang bagai-mana yang juga akan ditimbulkan oleh contoh Rudolph dalam hal ini. Penduduk agrikultur ini saja akan mengonsumsi lebih banyak daging daripada yang diproduksi di Perancis, sehingga sebagai suatu akibat dari reformasi Kritis ini, Perancis akan kehilangan peternakannya juga.

Seperlima bagian dari produk kotor yang Rudolph, menurut laporan manajer Bouqueval, yaitu romo Chaterlain, memperkenankan kaum buruh sebagai tambahan pada suatu upah yang tinggi dan penginapan yang mewah, adalah tidak lain dan tidak bukan sewa-tanahnya. Diasumsikan menurut kalkulasi-kalkulasi rata-rata bahwa, setelah dikuranginya ongkos-ongkos dan laba produksi atas modal yang dibelanjakan, seperlima dari produk kotor yang tersisa bagi pemilik tanah Perancis itu, yaitu, bahwa rasio sewa-tanah dengan produk kotor adalah satu banding lima. Sekalipun tidaklah diragukan lagi bahwa Rudolph pasti mengurangi laba atas modal yang dikeluarkannya di luar segala proporsi dengan meningkatkan ongkos-ongkos untuk para pekerja melampaui segala perbandingan –menurut Chapial (De l’industrie française, I, 230) pendapatan tahunan rata-rata dari pekerja agrikultur Perancis adalah 120 franc– sekalipun ia memberikan seluruh sewa tanahnya kepada kaum pekerja, romo Chatelain melaporkan bahwa sang pangeran (penguasa) dengan begitu meningkatkan pendapatannya dan dengan demikian menghasut para pemilik-tanah yang tidak-Kritis untuk bertani dengan cara yang sama.

Perusahaan pertanian percontohan di Bouqueval tidak lain dan tidak bukan hanya sebuah ilusi fantastik; “dana tersembunyi”-nya bukan tanah alamiah estate Bouqueval, ia adalah sebuah dompet ajaib dari Fortunatus[73] yang dimiliki Rudolph!

Dalam hubungan ini Kritik Kritis menggertak:

“Anda dapat melihat dari seluruh rencana pada sekilas pandang pertama bahwa itu bukanlah sebuah utopia.”

Hanya Kritik Kritis dapat melihat pada sekilas pandang pertama atas sebuah “dompet Fortunatus” bahwa itu bukan sebuah utopia. Kilas pertama Kritik adalah sekilas pandang “mata kebatilan!”

 

8) Rudolph, Pengungkapan Misteri dari Semua Misteri

Cara-cara ajaib yang dengannya Rudolph menuntaskan semua penebusan dan penyembuhannya bukanlah kata-katanya yang indah, tetapi uangnya yang siap segala waktu. Seperti itulah para moralis, kata Fourier. Anda mesti seorang milioner agar dapat menirukan mereka.

“Moral adalah impotensi dalam aksi.”[74] Setiap kali ia memerangi suatu kejahatan ia dikalahkan. Dan Rudolph bahkan tidak meningkat pada titk-pandang moral yang independen, yang sekurang-kurangnya didasarkan pada kesadaran akan “martabat manusia.” Sebaliknya, moralnya didasarkan atas kesadaran akan kelemahan manusia. Yang punyanya adalah moral teologi. Kita telah memeriksa secara rinci perbuatan-perbuatan heroik yang telah dilakukannya dengan ide-ide “Kristiani” yang “dipancangkannya,” yang dengannya ia mengukur dunia, dan dengan “amal, pengabdian, pengingkaran-diri” dan “penyesalannya, orang-orangnya yang baik dan yang jahat, ganjaran” dan “hukuman, penyucian mengerikan, pengucilan, penyelamatan roh, dsb.” Telah kita buktikan bahwa semua itu hanya sekedar lawakan Eulenspiegel. Semuanya yang mesti kita bahas di sini adalah watak “pribadi Rudolph,
misteri yang terungkap dari semua misteri” atau misteri yang terungkap dari “Kritik murni.”

Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan menghadapi Hercules Kritis ketika ia masih seorang muda dalam dua personifikasi, Murph dan Polidori, kedua-duanya adalah guru Rudolph. Yang tersebut terdahulu mengajarkan kebaikan padanya, dan memang baik. Yang terebut kemudian mengajarkan kebatilan padanya, dan memang jahat. Sedemikian rupa hingga konsepsi ini sama-sekali tidaklah inferior dalam keremehannya jika dibandingkan dengan konsepsi-konsepsi serupa dalam novel-novel lain, Murph, personifikasi kebaikan tidak bisa terpelajar atau khususnya diberkati secara intelektual. Tetapi ia jujur, sederhana, dan serba-singkat (laconic); ia merasa dirinya besar ketika ia memberlakukan pada kebatilan kata-kata singkat-pendek seperti curang atau busuk, dan menyebutkan mengerikan untuk segala yang hina/rendah. Memakai ungkapan Hegel, ia menempatkan yang baik dan yang benar dalam kesamaan nada-nada, yaitu, dalam satu nada.

Polidori, sebaliknya, adalah seorang luar biasa kepandaiannya, pengetahuannya dan pendidikannya, dan sekaligus ketidak-susilaan yang paling berbahaya, karena , khususnya, mempunyai, yang Eugène Sue, sebagai seorang anggota dari borjuasi muda Perancis yang saleh, tidak dapat dilupakannya – skeptisisme yang paling menakutkan.Kita dapat menilai dari enerji dan pendikan moral Eugène Sue dan pahlawannya dengan ketakutan mereka akan skeptisisme yang mendekati kepanikan itu.

“Murph,” demikian Herr Szeliga berkata, “sekaligus merupakan kesalahan Januari 13 yang diabadikan dan penebusan abadi dari kesalahan itu dengan kasih dan pengorbanan-diri yang tiada bandingnya bagi person Rudolph.”

Karena Rudolph itu adalah deus ex machina dan perantara dunia, Murph pada gilirannya adalah deus ex machina dan perantara pribadi Rudolph.

“Rudolph dan penyelamatan umat-manusia, Rudolph dan realisasi dari kesempurnaan esensial umat-manusia bagi Murph merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, suatu kesatuan yang ia dedikasikan dirinya, tidak dengan pengabdian serba-anjing yang tolol dari seorang budak, tetapi yang serba-mengetahui dan independen.”

Demikian Murph itu seorang budak yang dicerahkan, tahu dan independen. Seperti setiap pelayan pangeran, ia melihat dalam tuannya itu personifikasi keselamatan umat-manusia. Graun memuji Murph dengan kata-kata: pengawal yang tidak mengenal takut. Rudolph sendiri menamakannya seorang pelayan teladan dan memang ia sungguh seorang pelayan teladan. Eugène Sue memberitahu kita bahwa Murph secara cermat menyapa Rudolph dengan Monaseigneur ketika berduaan saja dengannya. Di depan orang-orang lain ia menyapanya dengan Monsieur di bibir untuk mempertahankan incognito-nya, tetapi dengan Monseigneur di hatinya.

Murph membantu mengangkat kerudung dari misteri-misteri itu, tetapi hanya demi kepentingan Rudolph. Ia membantu menghan-curkan kekuasaan misteri itu.

Kepadatan/ketebalan kerudung yang dengannya Murph membungkus hal-hal paling sederhana dunia ini dapat dilihat dari percakapannya dengan utusan Graun. Dari hak-legal pembelaan diri dalam kasus darurat, ia menyimpulkan bahwa Rudolph, sebagai hakim persidangan rahasia, berhak untuk membutakan pemimpin geng itu, sekalipun yang tersebut terakhir itu terbelenggu dan tidak bisa membela diri (tak-berdaya). Penggambarannya tentang bagaimana Rudolph akan mengisahkan tindakan-tindakannya yang mulia di depan para hakim di bawah sumpah, kefasihan dan kalimat-kalimat indah yang akan dipamerkannya, dan bagaimana ia akan mencurahkan hatinya yang mulia, mestinya ditulis oleh seorang gimnasias sesaat setelah membaca karya Schiller Robbers. Satu-satunya misteri yang dibiarkan Murph dipecahkan oleh dunia adalah apakah ia telah menghitamkan wajahnya dengan bubuk-arang atau cat hitam ketika ia memainkan peranan tukang batu-bara.

“Para malaikat akan keluar mengasingkan orang jahat dari antara orang yang benar” (Mat. 13, 49). “Siksa dan ketakutan itu ke atas tiap-tiap roh manusia yang mengerjakan kejahatan itu; ... tetapi kemuliaan dan kehormatan dan sejahtera itu untuk tiap-tiap orang yang mengerjakan kebajikan.” (Paul. Rom. 2. 9-10).

Rudolph menjadikan dirinya salah satu dari para malaikat itu. Ia lahir ke dalam dunia untuk memisahkan yang jahat dari yang benar, untuk menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik. Konsepsi mengenai kebaikan dan kebatilan telah begitu tenggelam dalam benaknya yang lemah, sehingga ia sungguh-sunggguh percaya akan Iblis benaran dan berkehendak menangkap iblis itu hidup-hidup, seperti yang pernah dilakukan oleh Profesor Sack di Bonn.Ia mencoba menyalin dalam skala kecil-kecilan kebalikan dari iblis itu, Tuhan. Ia suka sedikit memainkan peranan takdir. Karena di dalam realitas semua perbedaan semakin leburmenjadi perbedaan antara yang miskin dan yang kaya, demikian pula semua perbedaan aristokratik buyar dalam ide dalam pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Perbedaan itu merupakan bentuk terakhir yangdiberikan sang ningrat pada prasangka-prasangkanya. Rudolph menilaidirinya sendiri baik dan berpikir bahwa yang jahat berada untukmemberikan padanya kepuasan-diri akan kehebatan dirinya sendiri.Mari kita membahas personifikasi kebaikan itu secara lebih cermat.

Herr Rudolph menuruti hatinya dalam beramal dan pencurahan tenaga seperti amal dan pencurahan tenaga sang Khalifah Bagdad dalam Arabian Nights. Ia tidak dapat menjalani kehidupan jenis itu tanpa menghisap–bagaikan vampir, hingga titik terakhir– darah dari provinsi kecilnya di Jerman. Seperti yang diceritakan Monsieur Sue pada kita, ia akan berada di antara para pangeran Jerman yang adalah korban-korban perantaraan[75] seandainya ia tidak diselamatkan dari abdikasi (penurunan takhta/pelepasan prinsip-prinsip) terpaksa oleh seorang marquis Perancis. Ini memberikan gambaran mengenai luas wilayahnya. Kita dapat membentuk suatu gambaran lebih lanjut mengenai bagaimana Rudolph secara Kritis menilai situasi dirinya sendiri dengan kenyataan bahwa dirinya, seorang Serenissimus Jerman, menganggap harus hidup setengah-inkognito di Paris, agar supaya tidak menciptakan suatu kehebohan.

Secara khusus ia membawa penasehatnya bersama dirinya demi tujuan Kritis agar menunjukkan “segi teatrik dan kekanak-kanakan kekuasaan berdaulat” pada dirinya, seakan-akan seorang pangeran kecil Jerman memerlukan seorang wakil lain dari segi teatrik dan kekanak-kanakan kekuasaan berdaulat di samping dirinya sendiri dan cerminnya. Rudolph telah berhasil menjerumuskan pengiringnya ke dalam “salah-pengertian Kritis” yang sama. Demikian pelayannya, Murph, dan utusannya, Graun, tidak memperhatikan bagaimana pengumpul-derma Monsieur Badinot, yang seorang Paris itu, menertawakan mereka ketika ia berpura-pura menganggap bisnis pribadi mereka sebagai ursuan-urusan negara dan dengan sarkastik berceloteh tentang “dapat adanya hubungan-hubungan okult di antara kepentingan-kepentingan dan nasib-nasib yang paling beragam dari kerajaan-kerajaan.” “Ya,” kata utusan Rudolph, “ia begitu kurang-ajar untuk kadang-kala berkata padaku: Betapa banyak komplikasi yang terdapat dalam pemerintahan sesuatu negara yang sama sekali tidak diketahui oleh rakyatnya! Siapa yang akan mengira, Herr Baron, bahwa catatan-catatan yang telah kuserahkan pada anda, jelas-jelas mempunyai pengaruhnya atas proses perkara-perkara Eropa?”

Utusan itu dan Murph tidak menganggapnya kurang-ajar bahwa pengaruh atas urusan-urusan Eropa diatributkan pada mereka, tetapi bahwa Badinot mengidealisasikan profesinya yang rendah dengan cara seperti itu.

Mari kita terlebih dulu mengingat suatu adegan dalam kehidupan domestik Rudolph. Rudolph bercerita pada Murph bahwa “dirinya mengalami saat-saat kebanggaan dan kebahagiaan.” Segera setelah itu ia menjadi gusar sekali karena Murph tidak menjawab sebuah pertanyaannya. “Aku memerintahkan dirimu untuk berbicara.” Tetapi, Murph tidak mau diperintah. Rudolph berkata: “Aku tidak suka akan keraguan.” Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kedangkalan dan menyiratkan bahwa ia membayar Murph untuk segala pelayanannya. Ia tidak mau ditenangkan sampai Murph mengingatkannya pada 13 Januari. Sifat Murph yang menghamba menyatakan diri setelah semenit lupa. Ia mencabut-cabut rambut yang untungnya tidak ia punyai dan berputus asa karena telah bersikap/berbuat kasar terhadap tuannya yang sangat ramah, yang menyebut dirinya “seorang pelayan teladan, Murph tua setia yang baik.”

Setelah contoh-contoh kejahatan dalam dirinya ini, Rudolph mengulangi ide pancangannya mengenai kebaikan dan kejahatan dan melaporkan kemajuan yang dibuat dalam kebaikan. Ia menyebutkan sedekah-sedekah dan welas-asih penghibur-pengibur yang suci dan saleh dari rohnya yang terluka. Akan sangatlah mengerikan, tak-bertuhan, suatu “pelanggaran atas hal yang keramat,” untuk melacurkannya menjadi makhluk-makhluk tidak patut yang telah ditolak. Sudah tentu sedekah-sedekah dan welas-asih merupakan penghibur-penghibur rohnya. Itulah sebabnya mengapa akan merupakan suatu pelanggaran atas hal yang suci jika menodainya. Itu akan “mengilhami keragu-raguan pada Tuhan, dan orang yang memberi mesti membuat orang-orang percaya padanya.” Memberi sedekah pada orang yang ditolak adalah tidak masuk-akal!

Rudolph menganggap setiap gerak dalam rohnya tak-terhingga pentingnya. Itulah sebabnya mengapa ia selalu mengamati dan menilainya. Demikianlah sang tolol menghibur dirinya sendiri sejauh itu menyangkut Murph, dengan kenyataan bahwa dirinya tergerak oleh “Fleur de Marie. Aku terharu hingga meneteskan air-mata, dan aku dituduh teledor, keras dan kaku!” Setelah dengan demikian membuktikan kebaikan dirinya sendiri, ia bertambah gusar atas kebatilan dan atas kejahatan ibu Marie yang tak-dikenal dan berkata dengan kekhidmatan yang sebesar mungkin pada Murph: “Kau mengetahui bahwa sejumlah dendam sangat penting bagiku, sejumlah penderitaan sangat mahal sekali.” Dalam berbicara ia membuat wajahnya menyeringai-ringai keiblisan sehingga pelayannya yang setia berteriak ketakutan: “Ah ... Ah ... Monseigneur!” Tuan besar ini adalah seperti para anggota “Inggris Muda”[76] yang juga ingin merombak dunia, melakukan perbuatanperbuatan mulia dan terkena luapan-luapan histerikal serupa.

Dalam watak petualangan Rudolph untuk pertama kalinya kita dapatkan penjelasan mengenai petualangan-petualangan dan situasi-situasi yang dialaminya. Ia menyukai “kepedasan dalam novel-novel, selingan-selingan, petualangan, penyamaran; keingin-tahuannya tiada terbatas,” ia merasakan suatu “kebutuhan akan sensasi-sensasi yang menyala-nyala, yang merangsang”; ia selalu “menghasratkan kekerasan pergolakan-pergolakan syaraf.”

Sifatnya didukung oleh nafsunya untuk memainkan peranan nasib dan mengatur dunia menurut gagasan-gagasannya yang terpancang.

Sikapnya terhadap orang-orang lain ditentukan oleh suatu ide abstrak yang terpancang ataupun oleh motif-motif pribadi secara kebetulan.

Ia membebaskan dokter David yang seorang negro itu dan kekasihnya, misalnya, bukan karena simpati manusiawi langsung yang mengilhami dirinya, bukan untuk membebaskan mereka, tetapi untuk memainkan peranan nasib bagi pemilik-budak Willis dan untuk menghukumnya karena “tidak percaya pada Tuhan.” Secara sama pemimpin geng itu tampak bagi dirinya sebagai seorang-kiriman Tuhan yang kepadanya ia dapat menerapkan teori hukum pidana yang telah lama ditetaskannya. Percakapan Murph dengan utusan itu memberikan suatu peluang pada kita untuk meneliti secara mendalam dari sisi lain ke dalam motif-motif yang semurninya pribadi yang menentukan perbuatan-perbuatan Rudolph yang mulia.

Perhatian sang pangeran akan Fleur di Marie didasarkan pada, sebagaimana yang dikatakan Murph, kecuali rasa kasihan yang ditimbulkan gadis malang itu pada dirinya, pada kenyataan bahwa anak perempuan yang kehilangannya telah menimbulkan kesedihan yang begitu getir pada dirinya, sekarang mestinya berusia sebaya dengan Fleur de Marie. Simpati Rudolph pada Marquise d’Harville mempunyai, kecuali keanehan-keanehan filantropinya, landasan pribadi yang tanpa sang marquis tua dan persahabatannya dengan Kaisar Alexander, maka ayah Rudolph akan dihapus dari garis para raja Jerman.

Kebaikannya terhadap Madame Georges dan perhatiannya pada Germain, putera Madame Georges, mempunyai motif yang sama. Madame Georges termasuk dalam keluarga d’Harville.

“Madame Georges yang malang berhutang kebaikan hati yang tiada habis-habisnya dari Paduka Yang Mulia itu lebih pada kemalangan-kemalangan dan kebajikan-kebajikannya daripada pada hubungan ini.”

Sang apologis Murph mencoba menutup-nutupi kesamaran motifmotif Rudolph dengan ungkapan-ungkapan seperti: “di atas segalagalanya, kecuali” dan “tidak kurang daripada.”

Keseluruhan watak Rudolph akhirnya disimpulkan dalam “kemunafikansemurninya” yang dengannya ia berhasil melihat dan membuat orang-orang lain melihat “meledaknya nafsu-nafsu jahatnya sebagai ledakan-ledakan terhadap nafsu-nafsu para yang jahat,” dalam cara yang sama seperti yang dengannya Kritik Kritis menyajikan “ketololannya sendiri” sebagai “ketololan Massa,” perasaan-tidak enaknya yang penuh dengki terhadap dunia di luar dirinya sendiri sebagai perasaan-tidak-enak dari dunia di luar dirinya sendiri terhadap kemajuan, dan akhirnya egotismenya sendiri yang dikiranya telah menyerap keseluruhan roh dalam dirinya sendiri sebagai perlawanan egoistik Massa terhadap Roh.

Kita akan membuktikan kemunafikan murni Rudolph dalam sikapnya pada pemimpin geng, pada Countess Sarah MacGregor dan pada notaries Jacques Ferrand.

Untuk memancing pemimpin geng itu ke dalam sebuah jebakan dan menangkapnya, Rudolph membujuknya agar mendobrak ke dalam apartemennya. Kepentingannya dalam hal ini adalah suatu kepentingan yang sepenuhnya pribadi, bukan suatu kepentingan manusiawi yang umum. Kenyataannya adalah bahwa pemimpin geng itu mempunyai sebuah portfolio yang menjadi miliknya Countess MacGregor yang sangat diminati Rudolph untuk dijadikan miliknya. Berbicara mengenai tête-a-tête Rudolph dengan pemimpin geng itu, sang penulis mengatakan secara jelas sekali:

“Rudolph dicemaskan secara kejam sekali: jika ia membiarkan terlepasnya peluang untuk menangkap pemimpin geng ini, maka dirinya mungkin tidak akan pernah mendapatkan peluang itu lagi; bajinganitu akan membawa pergi rahasia-rahasia yang Rudolph begitu ingin ketahui.”

Dengan pemimpin geng itu, Rudolph memperoleh kepemilikan atas portfolio Countess Macregor; ia menangkap pemimpin geng itu semata-mata karena kepentingan yang semurninya pribadi; ia membuat pemimpin geng itu dibutakan karena nafsu pribadinya.

Ketika Chourineur memberitahunkan pada Rudolph tentang pergulatan pemimpin geng itu dengan Murph dan memberikan sebagai alasan perlawanannya itu kenyataan bahwi dirinya telah mengetahui apa yang akan dideritanya, Rudolph menjawab “dengan suatu pandang muram, air-mukanya mengkerut dengan ekspresi yang nyaris ganas yang tentangnya kita telah berbicara. Ia tidak mengetahui.” Pikiran akan balas dendam berkilas dalam benaknya, ia mengantisipasi kenikmatan buas yang akan dialaminya dengan hukuman biadab atas pemimpin geng itu.

Ketika masuknya dokter David yang seorang Negro itu, yang hendak dijadikannya alat dari “balas-dendamnya, Rudolph berteriak dengan kemurkaan dingin dan kental: Pembalasan! Pembalasan!

Suatu amarah murka dingin dan kental sedang mendidih dalam dirinya. Ia kemudian membisikkan rencana ke telinga dokter itu dan ketika yang tersebut belakangan itu mengkeret menjauhi dirinya, ia langsung menemukan suatu motif teori yang murni untuk menggantikan “pembalasan pribadi.” Ini cuma suatu kasus, demikian ia berkata, dari “penerapan suatu” gagasan yang telah lama terkilas dalam benaknya yang mulia, dan ia tidak lupa menambahkan dengan bermanis-manis: “Di hadapannya tetap ada kaki-langit penebusan yang tidak terbatas.” Ia mengikuti teladan Inkuisisi Spanyol yang, menyerahkan korban yang dijatuhi hukuman mati di kayu-sula pembakaran kepada pengadilan sipil, menambahkan suatu permohonan munafik akan pengampunan bagi pendosa yang bertobat.

Sudah tentu ketika berlangsung interogasi atas pemimpin geng itu dan ketika hukumannya dilaksanakan, Paduka Yang Mulia duduk dalam ruang-kerja yang sangat nyaman dengan mengenakan jubah panjang berwarna hitam, airmukanya pucat pasi mengesankan. Agar menirukan peradilan secara lebih tepat, ia duduk pada sebuah meja panjang, yang di atasnya tergelar tanda-tanda bukti perkara itu. Ia sekarang mesti menyingkirkan tanda-tanda kemurkaan dan pemba-lasan yang menguasai dirinya ketika ia memberitahu Chourineur dan dokter itu mengenai rencananya untuk mencukil mata pemimpin geng itu. Ia mesti memperlihatkan sikap khidmat yang luar-biasa lucu dari seorang hakim dunia yang telah menemukan-diri sendiri, tenang, sedih, sabar.

Agar tidak ada yang meragukan motif murni dari pembutaan itu, Murph yang tolol mengakui pada utusan Graun:

“Hukuman kejam atas diri pemimpin geng itu terutama dimaksud untuk menuntut bela diriku dari pembunuh itu.”

Dalam suatu tête-à-tête dengan Murph, Rudolph mengatakan:

“Kebencianku terhadap yang jahat ... telah menjadi lebih kuat, keengganan terhadap Sarah meningkat, pasti dalam proporsi dengan kesedihan yang ditimbulkan oleh kematian anak perempuanku.”

Rudolph memberitahu kita betapa jauh lebih kuat kebenciannya terhadap yang jahat telah menjadi. Tak perlu dikatakan lagi bahwa kebenciannya ini adalah suatu kebencian moral, yang murni, yang Kritis, kebencian terhadap yang jahat karena mereka itu jahat. Itulah sebabnya mengapa ia memandang kebencian ini sebagai kemajuan dirinya sendiri dalam kebaikan.

Namun, pada waktu bersamaan ia menyingkapkan pertumbuhan kebencian moral ini sebagai tidak lain dan tidak bukan suatu pembenaran munafik yang dengannya ia ingin memaafkan pertum-buhan antipati pribadinya terhadap Sarah. Imajinasi moral samar-samar dari kebencian yang terus meningkat terhadap yang jahat hanyalah sebuah kedok bagi kenyataan pertumbuhan yang jelas tidak-bermoral dari keengganannya terhadap Sarah. Keenggangan ini mempunyai suatu landasan pribadi yang cukup wajar dan cukup pribadi, kesusahan pribadinya sendiri, yang adalah juga tolok-ukur dari keengganannya. Tak meragukan lagi!

Yang lebih memuakkan lagi adalah kemunafikan yang kita saksikan dalam kunjungan Rudolph pada Countess MacGregor yang sedang sekarat.

Setelah pengungkapan misteri bahwa Fleur de Marie adalah Countess itu dan anak-perempuan Rudolph, Rudolph mendatangi Sarah denganwajah mengancam dan kejam. Perempuan itu memohon ampun.

“Tiada ampun,” ia mengatakan. “Terkutuklah kau ... kau,bakatku/jeniusku yang jahat dan bakat/jenius jahat bangsaku.”

Ah… jadi bangsa-nya yang hendak dituntutnya balas, Ia seterusnya memberitahu Countess itu bagaimana, untuk menebus percobaan pembunuhan ayahnya, ia telah menugaskan pada dirinya suatu kampanye dunia untuk pengganjaran yang baik dan penghukuman yang jahat. Ia menyiksa Countess itu, ia menyerahkan dirinya pada amarah-murka ini, tetapi dalam matanya sendiri, ia hanyalah melaksanakan tugas yang telah diambilnya di atas pundaknya sendiri setelah 13 Januari, menuntut kejahatan.

Ketika laki-laki itu meninggalkannya, Sarah berteriak: Ampun! Aku sedang sekarat!

Mampuslah, terkutuk! Rudolph menjawab, mengerikan dalam murkanya.”

Kata-kata terakhir yang mengerikan dalam murkanya, menyingkapkan motif-motif moral dan Kritis tindakan-tindakannya. Adalah amarah-murka yang membuatnya menarik pedangnya terhadap ayahnya, ayahnya yang diberkati, sebagaimana Herr Szeliga menyebutkannya. Gantinya memerangi kejahatan dalam dirinya sendiri, ia memeranginya, bagaikan seorang Pengritik murni, dalam diri orang-orang lain.

Pada akhirnya Rudolph sendiri membatalkan teori hukum pidana Katholiknya. Ia bermaksud menghapuskan hukuman mati, mengubah hukuman menjadi penebusan, tetapi hanya selama pembunuh memilih korban-korbannya dan tidak menyasar keluarga-keluarga Rudolph. Ia menerima hukuman mati sesegera salah seorang dari keluarganya terbunuh: ia memerlukan seperangkat undang-undang rangkap, satu untuk pribadinya sendiri dan sebuah lagi untuk yang profan.

Ia mengetahui dari Sarah bahwa Jacques Ferrand menjadi sebab kematian Fleur de Marie. Ia berkata pada diri sendiri :

“Tidak, itu tidak cukup! ... Betapa menyala keinginan menuntut balas ini! Hingga aku mengetahui bahwa salah seorang dari korban-korban monster itu adalah anakku sendiri aku berkata pada diriku sendiri: kematian orang ini akan tiada gunanya ... Hidup tanpa uang, hidup tanpa kepuasan nafsunya yang menyala-nyala akan merupakan suatu siksaan yang panjang dan berlipatganda….. Tetapi ini adalah anak-perempuanKU! ... Akan ku bunuh orang itu!”

Dan ia bergegas keluar untuk membunuh orang itu, tetapi mendapatinya dalam suatu keadaan yang menjadikan pembunuhan itu berlebihan.

Bagus! Rudolph! Dibakar oleh hasrat untuk membalas dendam, haus akan darah, dengan amarah terkendali dan tenang, dengan kemunafikan yang memaafkan setiap impuls kejahatan dengan kejelimetannya, dalam dirinya ada semua nafsu “jahat” itu, yang untuk itu ia mencukil mata orang-orang lain. Hanya kekebetulan yang mujur bahwa dirinya mempunyai uang dan gelar dalam masyarakat hingga menyelamatkan laki-laki “baik” ini dari “penjara.”

“Kekuasaan Kritik,” untuk memberi kompensasi yang kalau tidak adalah suatu kekosongan lengkap dari Don Quisote ini, menjadi-kannya seorang “penghuni yang baik,” seorang “tetangga yang baik,” seorang “sahabat baik,” seorang “ayah yang baik,” seorang “burjuis yang baik,” seorang “kaula yang baik,” seorang “pangeran (penguasa) yang baik,” dan begitu seterusnya, menurut tangga nada pujian Herr Szeliga. Itu adalah “lebih” dari “semua hasil” yang “telah dicapai oleh kemanusiaan dalam seluruh sejarahnya.” Itu adalah cukup bagi Rudolph untuk “menyelamatkan dunia” dua kali dari “kehancuran!”