Perang Tani di Jerman

Engels (1850)


BAB II

Kelompok Oposisi Utama dan Program mereka; Luther dan Muenzer

Pengelompokan dari berbagai kelompok yang banyak jumlahnya dan berwarna-warni menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar pada waktu itu tidak mungkin terjadi akibat desentralisasi, akibat kebebasan lokal maupun provinsi, akibat isolasi industri maupun komersial, dan akibat sarana komunikasi yang buruk. Pengelompokan ini baru berkembang seiring dengan menyebarnya ide-ide agama, politik, dan revolusi secara umum, selama berlangsungnya reformasi. Berbagai kelompok penduduk yang menerima atau menentang ide-ide itu, telah mengelompokkan bangsa ini, secara sangat perlahan dan benar-benar hanya mendekati saja, menjadi tiga kubu: yaitu, kaum reaksioner atau Katolik, kelas menengah yang reformis atau Lutheran, dan unsur-unsur yang revolusioner. Apabila kita mengungkapkan sedikit logika, bahkan dalam perpecahan besar bangsa ini, dan apabila dua kubu yang pertama itu sebagian mencakup unsur-unsur yang sama, maka hal itu merupakan akibat dari adanya kenyataan bahwa sebagian besar dari pengelompokan-pengelompokan resmi yang dibawa dari jaman pertengahan itu telah mulai bubar dan menjadi terdesentralisasi, sehingga keadaan telah membuat kelompok-kelompok yang sama di berbagai tempat memiliki orientasi yang berlawanan untuk sesaat. Selama tahun-tahun terakhir, kita begitu sering bertemu dengan fakta-fakta yang serupa di Jerman sehingga kita tidak akan terkejut pada percampuran yang nyata dari kelompok-kelompok dan kelas-kelas ini dalam kondisi yang jauh lebih rumit di abad ke-16.

Ideologi Jerman sekarang ini tidak melihat apa-apa dalam pergulatan yang menyita seluruh jaman pertengahan itu, kecuali pertengkaran teologi dengan kekerasan, meskipun hal ini juga terjadi dalam pengalaman modern kita. Kalau saja orang di jaman itu telah mampu mencapai pemahaman mengenai masalah-masalah surgawi, seperti para negarawan kita yang bijaksana, dan para sejarawan kita yang patriotik, maka tidak ada alasan lagi apa pun bagi manusia untuk berkelahi karena urusan duniawi. Para ahli ideologi ini cukup mudah ditipu untuk menerima apa adanya semua ilusi yang dipertahankan oleh suatu jaman tentang dirinya sendiri, atau yang dipertahankan oleh para ahli ideologi dari suatu periode tentang periode itu. Kelas orang-orang ini, yang tidak melihat apa-apa dalam revolusi 1789, kecuali hanya debat yang panas tentang keuntungan-keuntungan monarki konstitusional apabila dibandingkan dengan absolutisme, akan melihat dalam revolusi bulan Juli suatu kontroversi yang praktis tentang tak dapat dipertahankannya kiaisar berkat kasih Tuhan, dan melihat dalam revolusi bulan Pebruari, suatu upaya untuk memecahkan masalah republik atau monarki, dsb. Tentang perjuangan kelas yang dilakukan selama goncangan-goncangan ini, dan yang ungkapannya setiap kali hanya ditulis sebagai slogan politik pada panji perjuangan kelas ini, sebenarnya para ahli ideologi kita itu tidak mempunyai konsepsi apa pun, bahkan sampai sekarang ini sekali pun, meskipun pernyataan-pernyataan tentang hal itu cukup keras terdengar tidak hanya di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri berkat gerutu dan kekesalan dari beribu-ribu kaum proletar.

Dalam apa yang disebut perang agama abad ke-16, kepentingan kelas akan materi yang sangat positif sedang dimainkan, dan perang-perang seperti itu adalah perang kelas yang tepat sama dengan benturan yang terjadi belakangan, baik di Inggris maupun di Prancis. Jika perjuangan kelas pada waktu itu tampaknya mengandung ciri-ciri agama, jika kepentingan-kepentingan, persyaratan-persyaratan, dan tuntutan-tuntutan, dari berbagai kelas bersembunyi di belakang tabir agama, maka hal itu akan sedikit saja mengubah situasi yang sebenarnya, sehingga harus dijelaskan berdasarkan kondisi-kondisi pada waktu itu.

Jaman pertengahan telah berkembang dari keprimitifan yang masih mentah. Ia telah menyingkirkan peradaban lama, filsafat, politik dan ilmu hukum lama, agar dapat memulai sesuatu yang baru dalam segala hal. Satu-satunya yang dipertahankan dari dunia lama yang hancur berantakan itu adalah agama Kristen, dan sejumlah kota setengah hancur yang tercabut peradabannya. Sebagai akibatnya, para pejabat gereja tetap mempertahankan monopoli pendidikan intelektualnya, yaitu suatu gejala yang dapat dijumpai pada setiap tahap perkembangan yang masih primitif, dan pendidikan itu sendiri memerlukan ciri teologis yang menonjol.

Di tangan para pejabat gereja, politik dan ilmu hukum, termasuk ilmu-ilmu lainnya, tetap menjadi cabang teologi, dan diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang menonjol pada yang belakangan ini (prinsip-prinsip teologi). Dogma-dogma gereja, pada saat yang sama, merupakan aksioma politik, dan kutipan dari kitab Injil memiliki keabsahan hukum di setiap pengadilan. Bahkan setelah pembentukan kelas khusus, yaitu para ahli hukm, maka ilmu hukum pun untuk waktu yang lama masih tetap ada di bawah pelajaran teologi. Supremasi teologi dalam bidang kegiatn intelektual ini sekaligus merupakan konsekuensi logis dari situasi gereja sebagai kekuatan paling umum yang mengkoordinasi dan mengijinkan adanya dominasi feodal yang ada.

Jelaslah bahwa di bawah kondisi-kondisi seperti itu, semua serangan yang bersifat umum dan terbuka terhadap feodalisme, pertama-tama juga berarti merupakan serangan terhadap gereja, sehingga semua ajaran politik, dan sosial yang revolusioner, harus dianggap sebagai bid’ah dalam teologi. Agar dapat diserang, maka kondisi-kondisi yang ada harus dilepaskan dari lingkaran cahaya kekeramatannya.

Oposisi revolusioner terhadap feodalisme tetap hidup selama jaman pertengahan. Sesuai dengan kondisi-kondisi pada waktu itu, ia muncul dalam bentuk mistisisme, sebagai bid’ah yang terbuka, atau dalam bentuk pemberontakan bersenjata. Sebagai mistisisme, ia sangat dikenal dan dianggap sangat penting bagi para tokoh reformis dalam abad ke-16. Muenzer sendiri merasa sangat berutang padanya. Bid’ah ini sebagian merupakan pernyataan reaksi para penggembala di Alpen yang patriarchal terhadap penyerangan feodalisme di kerajaannya (Waldenses), sebagian merupakan oposisi terhadap feodalisme di kota-kota yang menjadi lebih besar darinya (Albigenses, Arnold dari Brescia, dsb.), dan sebagian lagi merupakan pemberontakan secara langsung dari para petani (John Ball, majikan dari Hongaria di Picardy, dsb.). Dalam hubungannya ini, kita dapat menghilangkan bid’ah dari Waldenses, maupun pemberontakan di Swiss, yang bentuk dan isinya, merupakan upaya reaksioner untuk menghentikan perkembangan sejarah yang sedang mengalami pasang naik, sehingga hanya memiliki arti penting yang bersifat lokal. Di dalam kedua bentuk lainnya dari bid’ah di jaman pertengahan ini, kita dapat menjumpai dalam abad ke-12 para pendahulu perpecahan besar yang menyebabkan runtuhnya perang tani. Perpecahan ini muncul selama bagian akhir dari jaman pertengahan.

Bid’ah di kota-kota, yang merupakan bid’ah resmi di jaman pertengahan, terutama diarahkan untuk menentang para pejabat gereja, yaitu menyerang kekayaan dan sikap politiknya. Dengan cara yang tepat sama dengan kaum borjuasi sekarang ini yang menuntut "gouvernement à bon marché" (pemerintahan yang murah), maka kelas menengah di jaman pertengahan pun pertama-tama menuntut "église à bon marché (gereja yang murah). Meskipun reaksioner dalam bentuk, seperti halnya dengan setiap bid’ah yang memandang ke dalam perkembangan lebih lanjut dari gereja dan dogma, hanya sebagai suatu degenerasi (kemerosotan), maka bid’ah dari kelas menengah ini juga menuntut restorasi konstitusi gereja purba yang sederhana dan penghapusan kelas para pastor yang eksklusif itu. (Restorasi = pengembalian atau perihal mengembalikan ke keadaan semula.) Tatanan yang murah akan menghapuskan para biarawan, para uskup, istana Roma, dsb., singkatnya, segala sesuatu yang mahal-mahal untuk gereja. Dalam serangan mereka terhadap kepausan, kota-kota, yang merupakan republik-republik meskipun di bawah perlindungan para pangeran, menyatakan, untuk pertama kalinya dalam bentuk umum, ide bahwa bentuk pemerintahan yang normal bagi borjuasi adalah republik. Permusuhan mereka terhadap banyaknya dogma dan peraturan gereja itu sebagian dapat diterangkan dari kondisi-kondisi sebelumnya dan sebagian lagi dari kondisi-kondisi mereka pada saat itu. Mengapa mereka menentang keras hidup selibat atau tidak kawin bagi rohaniwan dalam agama Katolik, tak seorang pun yang dapat memberikan penjelasan yang lebih baik daripada Boccaccio. Arnold dari Brescia di Itali dan Jerman, Albigenses di Prancis selatan, John Wycliffe di Inggris, Huss dan Calixtines di Bohemia, semua dari mereka ini adalah para wakil oposisi. Kalau oposisi terhadap feodalisme di sini hanya tampak sebagai oposisi terhadap feodalisme agama, maka hal itu mudah dipahami jika orang ingat bahwa, pada waktu itu, kota-kota sudah merupakan kelas yang diakui cukup mampu memerangi feodalisme awam dengan hak-hak istimewanya, baik melalui kekuatan senjata maupun melalui dewan-dewan kota.

Di sini, seperti di Prancis selatan, Inggris dan Bohemia, kita menemukan kaum bangsawan rendahan yang bergandeng tangan dengan kota-kota itu dalam perjuangannya melawan para pejabat gereja dan dalam bid’ah mereka, yaitu suatu gejala yang timbul akibat ketergantungan kaum bangsawan rendahan pada kota-kota dan pada masyarakat yang memiliki kepentingan sama pada kedua belah kelompok untuk menentang para pangeran dan para uskup. Gejala yang sama juga dijumpai pada perang tani.

Sifat yang sama sekali berbeda diperlihatkan oleh bid’ah yang merupakan ungkapan secara langsung dari tuntutan para petani dan kaum plebeian, dan yang hampir selalu berhubungan dengan suatu pemberontakan. (Plebeian = orang kebanyakan.) Bid’ah ini, yang berisi semua tuntutan dari bid’ah kelas menengah terhadap pejabat gereja, kepausan, dan restorasi organisasi gereja Kristen purba, ternyata telah jauh melampaui semuanya itu. (Restorasi = pengembalian atau perihal mengembalikan ke keadaan semula.) Ia menuntut restorasi persamaan Kristen purba di kalangan para anggota masyarakatnya, yang hal ini harus diakui sebagai aturan untuk dunia kelas menengah juga. Dari persamaan anak-anak Tuhan, ia menyiratkan persamaan sipil, dan sebagian juga persamaan hak milik. Untuk membuat kaum bangsawan sama dengan kaum petani, dan kaum patrician maupun kelas menengah yang mempunyai hak-hak istimewa sama dengan kaum plebeian, untuk menghapuskan perhambaan, sewa tanah, pajak, hak-hak istimewa, dan sekurang-kurngnya juga menghapuskan perbedaan hak milik yang paling mencolok, semuanya ini kurang lebih merupakan tuntutan yang diajukan dengan kepastian dan dianggap sebagai terpancar secara alami dari doktrin Kristen purba. (Patrician = keturunan bangsawan Roma.) Bid’ah kaum tani dan kaum plebeian ini, dalam kesempurnaan feodalisme, misalnya, di kalangan Albigenses, yang nyaris tidak dapat dibedakan dari oposisi kelas menengah, menjadi semakin berkembang selama abad ke-14 dan ke-15 dan menjadi pendapat kelompok yang kuat definisinya dan yang tampak bebas di samping bid’ah kelas menengah. Seperti inilah yang terjadi pada kasus John Ball, pengkhotbah dari pemberontakan Wat Tyler di Inggris di samping gerakan Wycliffe. Dan seperti ini pulalah yang terjadi pada kasus Taborit di samping Calixtinesdi Bohemia. Bahkan Taborit menunjukkan kecenderungan sebagai republiken di bawah warna teokratis, yaitu suatu pandangan yang belakangan dikembangkan oleh para wakil dari kaum plebeian di Jerman dalam abad ke-15 dan pada awal bad ke-16.

Bentuk bid’ah ini dikkuti oleh khayalan-khayalan mimpi dari sekte-sekte mistis, seperti Scourging Friars, Lollards, dsb., yang dalam masa penindasan terus melanjutkan tradisi revolusionernya.

Kum plebeian pada jaman itu merupakan satu-satunya kelas di luar masyarakat resmi yang ada. (Plebeian = orang kebanyakan.) Mereka ini ada di luar organisasi feodal, dan juga ada di luar organisasi kelas menengah. Mereka tidak mempunyai hak-hak istimewa maupun hak milik; mereka bahkan telah terampas hak miliknya, yaitu hak milik seperti yang masih dipunyai baik oleh kaum petani maupun kaum borjuis kecil; mereka juga dibebani oleh tugas-tugas yang membinasakan dan yang diberikan sebanyak mungkin; mereka dirampas hak dan miliknya dalam segala seginya; mereka hidup dengan cara tertentu yang bahkan tidak memungkinkan mereka dapat berhubungan dengan lembaga-lembaga yang ada, karena lembaga-lembaga itu mengabaikan mereka sama sekali. Hal ini merupakan gejala bubarnya kehidupan masyarakat kelas menengah serikat sekerja dan feodal, dan ini, pada saat yang sama, merupakan pendahulu pertama dari masyarakat borjuis modern.

Kedudukan kaum plebeian ini merupakan penjelasan yang cukup tentang mengapa oposisi kaum plebeian pada waktu itu tidak dapat dipenuhi hanya dengan memerangi feodalisme dan kelas menengah yang memiliki hak-hak istimewa saja; mengapa, sekurang-kurangnya dalam angan-angan, ia menjangkau melampaui masyarakat borjuis modern pada waktu itu hanya dalam permulaannya saja; mengapa, setelah menjadi faksi yang tidak punya apa-apa sama sekali, ia mempertanyakan lembaga-lembaga, pandangan-pandangan, dan konsepsi-konsepsi yang lazim pada setiap masyarakat yang didasarkan pada pembagian kelas. Khayalan-khayalan mimpi chiliastis yang ditawarkan agama Kristen purba, dalam hal ini, merupakan titik awal yang sangat bermanfaat. (Chiliastis = kepercayaan bahwa Yesus akan turun ke dunia untuk menjadi raja selama 1000 tahun.) Sebaliknya, jangkauan yang tidak hanya melampaui masa kini tetapi juga masa mendatang ini, memang benar-benar fantastis. Pada penetapan praktisnya yang pertama, ia tentu saja jatuh ke belakang ke dalam batas-batas sempit yang ditetapkan oleh kondisi-kondisi yang umum pada waktu itu. Serangan pada hak milik perseorangan, dan tuntutan untuk kepemilikan masyarakat, harus terpecahkan dengan sendirinya menjadi organisasi amal yang masih kasar; persamaan Kristen yang samar-samar tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali persamaan warga negara di depan hukum; dan penghapusan semua yang resmi yang akhirnya berubah sendiri bentuknya dalam organisasi pemerintahan republik yang dipilih oleh rakyat. Antisipasi komunisme oleh khayalan manusia itu dalam kenyataannya merupakan antisipasi dari kondisi borjuis modern.

Antisipasi akan datangnya tahap-tahap perkembangan historis, yang memaksa masuk sendiri, tetapi merupakan akibat alami dari kondisi-kondisi kehidupan kelompok plebeian ini; untuk pertama kalinya dicatat di Jerman, dalam ajaran Thomas Muenzer dan partainya. Kaum Taborit juga telah menunjukkan sejenis kepemilikan masyarakat chiliastis, tetapi hal ini semata-mata merupakan tindakan militer murni. (Chiliastis = kepercayaan bahwa Yesus akan turun ke dunia untuk menjadi raja selama 1000 tahun.) Hanya dalam ajaran Muenzer, gagasan tentang komunisme ini diungkapkan sebagai keinginan dari bagian masyarakat yang vital. Melalui dia, gagasan itu dirumuskan dengan kepastian yang tertentu, dan setelah itu juga dijumpai dalam setiap goncangan rakyat yang hebat, sampai gagasan itu secara berangsur-angsur muncul dalam gerakan proletar yang modern. Sesuatu yang serupa juga dapat kita lihat dalam jaman pertengahan, di mana perjuangan para petani merdeka melawan dominasi feodal yang semakin meningkat itu bergabung bersama-sama dengan perjuangan para hamba dan budak atau orang-orang terikat untuk menghapuskan sama sekali sistem feodal.

Sementara kubu pertama dari tiga kubu besar, yaitu kaum Katolik konservatif, yang merangkul semua unsur yang tertarik untuk mempertahankan kaisar yang masih ada, seperti para pangeran yang mengurus gereja, sebagian dari para pangeran yang mengurus orang awam, kaum bangsawan kaya, para uskup, dan kaum patrician kota; maka, kaum reformis Lutheran moderat dari kelas menengah, di bawah panji-panjinya, mengumpulkan semua unsur-unsur pemilik tanah yang beroposisi, massa kaum bangsawan rendahan, kelas menengah, dan bahkan sebagian dari para pangeran yang mengurus orang awam dan yang berharap dapat memperkaya diri melalui penyitaan tanah milik gereja dan dapat merebut kesempatan untuk mendapatkan kemerdekaan yang lebih besar dari kaisar. (Patrician = keturunan bangsawan Roma.) Mengenai para petani dan kaum plebeian, mereka ini mengelompokkan diri mereka di sekeliling partai revolusioner yang tuntutan dan doktrinnya secara berani dinyatakan dalam ajaran Muenzer. (Plebeian = orang kebanyakan.)

Luther dan Muenzer, dalam doktrin, karakter, dan tindakan mereka, secara akurat mewakili paham dari partai mereka masing-masing.

Antara tahun 1517 dan 1525, Luther telah mengalami transformasi yang sama seperti kaum konstitusionalis Jerman Lainnya antara tahun 1846 dan 1849. Seperti inilah kasus yang terjadi pada setiap partai kelas menengah yang, setelah memimpin sebentar di depan gerakan, kemudian menjadi kewalahan karena didesak dari belakang oleh partai proletar dan partai kaum plebeian. Ketika dalam tahun 1517, perlawanan terhadap dogma dan organisasi gereja Katolik untuk pertama kalinya diangkat oleh Luther, kaum oposisi belum memiliki karakter yang pasti. Meskipun tidak melebihi tuntutan bid’ah dari kelas menengah sebelumnya, namun mereka tidak mengesampingkan pandangan apa pun yang memiliki kecenderungan untuk bergerak maju lebih jauh lagi. Meskipun demikian, mereka tidak mampu melakukannya karena saat pertama dari perjuangan itu menuntut disatukannya semua unsur-unsur yang beroposisi, sehingga tenaga revolusioner yang paling agresif dapat digunakan dan seluruh bid’ah yang ada dan yang menentang keortodoksan Katolik itu dapat diwakili. Dengan cara yang sama, borjuasi liberal kita pada tahun 1847 masih tetap revolusioner. Mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum sosialis maupun kaum komunis, dan mereka mendiskusikan emansipasi kelas pekerja. Watak petani yang kokoh dari Luther menyatakan dirinya secara tegas dengan cara yang menyerupai badai yang dahsyat dalam periode pertama dari kegiatannya. “Apabila amukan kemarahan [orang-orang dari gereja Katolik Roma] terus berlanjut, maka bagi saya tampaknya tidak ada obat dan pembela yang lebih baik untuk melawannya yang dapat ditemukan daripada keharusan dari para pangeran maupun kaum bangsawan untuk menggunakan kekuatan, dengan mengangkat senjata, dan menyerang orang-orang yang jahat yang telah meracuni seluruh dunia, dan mengakhiri permainan ini untuk selama-lamanya, dengan angkat senjata, dan bukannya dengan angkat bicara. Apabila para pencuri dihukum penggal dengan pedang, para pembunuh dengan tali gantungan, dan bid’ah dengan api, mengapa kita tidak menangkap, dengan senjata di tangan, semua guru terkutuk yang jahat itu, baik para paus, para uskup, para kardinal, dan seluruh kelompok Sodom Roma? Mengapa kita tidak mencuci tangan kita dengan darah mereka?”

Meskipun demikian, semangat revolusioner ini tidak bertahan lama. Tikaman kilat oleh Luther itu ternyata mengakibatkan timbulnya kebakaran hebat. Gerakan itu dimulai di seluruh rakyat Jerman. Para petani dan kaum plebeian menganggap seruannya melawan pejabat gereja dan khotbahnya tentang kemerdekaan Kristen itu, sebagai tanda untuk memberontak. Dengan cara yang sama, kelas menengah moderat dan sebagian terbesar dari kaum bangsawan rendahan pun bergabung dengannya, dan bahkan, para pangeran terseret masuk ke dalam arus deras itu. Sementara yang pertama — yaitu, para petani dan kaum plebeian — percaya bahwa hari telah tiba untuk melampiaskan pembalasan dendam terhadap semua penindasnya, tetapi yang berikutnya — yaitu, kelas menengah moderat, sebagian terbesar dari kaum bangsawan rendahan, dan para pangeran — hanya ingin merobohkan kekuasaan pejabat gereja, ketergantungan pada Roma, hierarki Katolik, dan untuk memperkaya diri melalui perampasan hak milik gereja. Akibatnya, partai-partai menjadi terpecah-pecah satu sama lainnya, sehingga masing-masing dari mereka pun mencari juru bicara yang berbeda-beda. Sekarang Luther harus memilih di antara dua. Luther, sebagai seorang tokoh yang ada di bawah perlindungan Pangeran Saxon, seorang guru besar terhormat di Wittenberg yang menjadi sangat berkuasa dan sangat terkenal hanya dalam waktu singkat, seorang pemimpin besar yang dikelilingi oleh lingkaran makhluk-makhluk yang patuh dan para penyanjung, tidak ragu-ragu sedikit pun. Ia segera membuang unsur-unsur rakyat dari gerakan itu, dan bergabung dengan kereta kelas menengah, kaum bangsawan, dan para pangeran. Seruan perang pembasmian melawan Roma itu pun menjadi tak terdengar lagi. Luther sekarang mengkhotbahkan perlawanan secara pasif dan kemajuan secara damai. (Bandingkan dengan kaum bangsawan dari bangsa Jerman, tahun 1520, dsb.) Ketika diundang oleh Hutten untuk mengunjunginya dan Sickingen di istana Ebern, yang merupakan pusat persekongkolan kaum bangsawan melawan pejabat gereja dan para pangeran, Luther menjawab: “Aku tidak ingin melihat kitab Injil dibela atau dipertahankan melalui kekerasan dan pertumpahan darah. Dunia ini telah dikalahkan melalui firman, Gereja telah mempertahankan dirinya melalui Firman, Gereja akan memperlihatkan dirinya lagi melalui Firman, dan seperti musuh Kristus yang naik tanpa kekerasan, maka tanpa kekerasan pula ia akan jatuh.”

Di luar perubahan pikiran ini, atau, untuk lebih tepatnya, gaambaran pasti dari kebijaksanaan Luther ini, muncullah kebijaksanaan untuk melakukan barter dan tawar-menawar atas lembaga-lembaga dan dogma-dogma yang perlu dipertahankan atau direformasi, yang merupakan kompromi, intrik, persetujuan, maupun diplomasi buruk, yang hasilnya berupa Pengakuan Augsburg, yang naskah terakhir konstitusinya menjadi gereja reformasi kelas menengah. Tawar-menawar kecil-kecilan yang sama seperti inilah yang dalam bidang politik, berulang dengan sendirinya, secara berlebihan sehingga memuakkan, di Jerman akhir-akhir ini, baik di dalam majelis-majelis, rapat-rapat persatuan, dewan-dewan revisi, maupun di parlemen-parlemen Erfurt. Karakter kelas menengah Filistin dari reformasi resmi itu muncul dengan sangat jelas dalam negosiasi-negosiasi ini.

Memang merupakan alasan-alasan yang dapat diterima tentang mengapa Luther, yang sekarang merupakan wakil reformasi menengah yang diakui, memilih untuk mengkhotbahkan kemajuan yang sah menurut hukum. Massa di kota-kota telah bergabung dengan tujuan reformasi moderat, dan kaum bangsawan rendahan semakin hari semakin setia padanya; satu bagian dari para pangeran juga bergabung dengannya; sedangkan yang lain ragu-ragu. Sehingga sukses itu sudah hampir pasti, sekurang-kurangnya untuk sebagian besar Jerman. Dalam perkembangan damai yang terus berlanjut, daerah-daerah lainnya, dalam jangka panjang, tidak akan tahan terhadap tekanan dari oposisi moderat. Sebaliknya, goncangan keras terjadi akibat konflik antara partai moderat dan partai petani dan kaum plebeian yang ekstrem itu, yang sekaligus menjauhkan para pangeran, kaum bangsawan, dan sejumlah kota, dari gerakan itu, sehingga hanya menyisakan dua pilihan, yaitu, partai kelas menengah yang diungguli oleh para petani dan kaum plebeian, atau seluruh gerakan itu dihancurkan oleh kembalinya dominasi Katolik. Tentang bagaimana partai-partai kelas menengah, setelah mencapai sedikit kemenangan, kemudian berusaha untuk mengarahkan jalannya di antara revolusi Scylla dan kembalinya Charybdis melalui jalan kemajuan yang sah menurut hukum itu, kita telah memiliki cukup banyak kesempatan untuk mengamatinya dalam peristiwa-peristiwa akhir-akhir ini.

Ada di dalam sifat kondisi-kondisi politik dan sosial waktu itulah hasil-hasil dari setiap perubahan ini hanya menguntungkan para pangeran, yang kemudian meningkatkan kekuasaannya. Demikianlah yang terjadi pada reformasi kelas menengah, setelah berpisah dengan unsur-unsur para petani dan kaum plebeian, kemudian semakin jatuh di bawah kekuasaan para pangeran reformasi. Sikap takluk Luther kepada mereka pun meningkat, dan rakyat pun tahu benar apa yang mereka lakukan ketika mereka menuduhnya menjadi budak atau orang terikat pada para pangeran seperti yang lain-lainnya, dan ketika mereka mengejar-ngejarnya dengan batu di Orlamuende.

Ketika perang tani pecah, yang menjadi semakin menghebat di daerah-daerah kekuasaan para pangeran dan kaum bangsawan Katolik, Luther berusaha keras untuk mempertahankan kedudukannya sebagai pendamai. Ia dengan tegas menyerang pemerintah. Ia mengatakan bahwa akibat penindasanlah pemberontakan itu muncul, bahwa bukan para petani saja yang menentang pemerintah, tetapi juga Tuhan. Di lain pihak, ia juga mengatakan bahwa pemberontakan itu merupakan perbuatan yang tidak beriman dan bertentangan dengan kitab Injil. Ia menasihatkan kepada kedua belah pihak untuk menghentikan peperangan, dan mencapai suatu pemahaman secara damai.

Akan tetapi, meskipun ada usaha-usaha secara sungguh-sungguh untuk berdamai, namun pemberontakan justru menyebar dengan pesat ke berbagai daerah yang sangat luas, termasuk daerah-daerah dan kota-kota yang didominasi oleh penduduk, kaum bangsawan, dan para pangeran, yang menganut Lutheran Protestan, sehingga dengan cepat melampaui reformasi kelas menengah yang “serba hati-hati” itu. Faksi yang paling berkeras hati dari pemberontakan di bawah pimpinan Muenzer itu membuka markasnya di tempat yang sangat dekat dengan tempat Luther, yaitu di Thuringia. Kalau saja diperoleh beberapa sukses lagi, maka Jerman pun akan mengalami kebakaran besar, sehingga Luther akan terkepung, dan mungkin akan dibunuh dengan tombak sebagai seorang pengkhianat, sehingga reformasi kelas menengah akan tersapu oleh gelombang pasangnya revolusi para petani dan kaum plebeian. Oleh karena itu, tidak ada lagi waktu untuk serba hati-hati. Dalam menghadapi revolusi, semua kebencian lama dilupakan. Dibandingkan dengan lautan massa petani yang sangat banyak itu, para pelayan Sodom Roma itu seperti anak domba yang tidak berdosa, seperti anak-anak Tuhan yang berperilaku baik. Oleh karena itu, semua warga kota yang merdeka dan para pangeran, kaum bangsawan dan para pejabat gereja, Luther dan paus, semuanya bersatu untuk “melawan lautan massa petani yang sangat banyak dan datang menyerbu untuk menjarah serta membunuh itu”. “Mereka harus dipukul hancur, dicekik dan ditikam, secara sembunyi-sembunyi dan terbuka, oleh siapa pun yang dapat melakukannya, tepat seperti orang yang harus membunuh anjing gila,” pekik Luther. “Oleh karena itu, saudara-saudara yang terhormat, dengarkan di sini, selamatkan di sana, tikam, pukul, cekik mereka dengan sesuka hati, dan apabila Anda gugur, Anda akan diberkati; tak ada kematian yang lebih baik yang akan dapat Anda peroleh.” Tidak ada belas kasihan palsu yang harus dipraktekkan dalam hubungannya dengan para petani. “Siapa pun yang mempunyai rasa kasihan kepada mereka yang tidak dikasihani oleh Tuhan, yang oleh Tuhan hendak dibunuh dan dihancurkan, akan dikelompokkan sebagai para pemberontaak itu sendiri.” Belakangan ia mengatakan bahwa para petani harus belajar berterima kasih kepada Tuhan ketika mereka harus menyerahkan satu ekor sapi agar mereka dapat menikmatinya dengan damai. Melalui revolusi, katanya, para pangeran akan mengetahui semangat kerumunan orang banyak yang hanya dapat memerintah dengan kekerasan saja. “Orang bijaksana mengatakan: ‘Cibus, onus et virgam asino.’ Kepala para petani itu penuh dengan sekam. Sehingga mereka tidak mendengarkan Firman Tuhan, dan mereka bodoh, sehingga mereka ini harus mendengarkan pentungan dan bedil, dan ini baru benar. Kita harus berdoa untuk mereka agar mereka patuh. Apabila tidak, maka tidak boleh ada belas kasihan. Biarlah meriam berdentum di tengah-tengah mereka, atau, kalau tidak, mereka akan menjadi lebih buruk seribu kali.”

Ini merupakan bahasa yang sama yang digunakan oleh borjuasi filantropi dan kaum sosialis kita baru-baru ini, ketika, setelah hari-hari di bulan Maret, proletariat juga menuntut sahamnya dalam buah kemenangan itu.

Luther telah memberikan kepada gerakan plebeian senjata yang ampuh — terjemahan kitab Injil. Melalui kitab Injil, ia membedakan agama Kristen feodal pada jamannya dengan agama Kristen moderat pada abad pertama. Berbeda dengan masyarakat feodal yang sudah lapuk, ia mengangkat gambar masyarakat lainnya yang tidak tahu apa-apa tentang hierarki feodal yang dibikin-bikin dan bercabang-cabang. Para petani memanfaatkan senjata ini sebaik-baiknya untuk melawan kekuatan para pangeran, kaum bangsawan, dan para pejabat gereja. Sekarang Luther membalikkan senjata yang sama untuk melawan para petani, dengan mengambil dari kitab Injil sebuah nyanyian pujian yang tepat untuk para penguasa yang ditakdirkan oleh Tuhan — suatu prestasi yang nyaris tak terlampaui oleh pesuruh mana pun yang mengabdi monarki mutlak. Kerajaan yang diberkati Tuhan, perlawanan secara pasif, bahkan perhambaan, semuanya itu diperkenankan dalam kitab Injil. Dengan demikian, Luther tidak hanya menolak pemberontakan petani, tetapi bahkan juga menyangkal pemberontakannya sendiri terhadap penguasa agama maupun penguasa orang awam. Jadi, ia tidak hanya mengkhianati gerakan rakat melawan rajanya, tetapi juga mengkhianati gerakan kelas menengah.

Di sini, perlukah kita sebutkan kaum borjuis lainnya yang baru-baru ini telah memberikan kepada kita contoh-contoh yang menyangkal masa lampau mereka sendiri?

Sekarang, marilah kita bandingkan tokoh revolusioner plebeian, yaitu Muenzer, dengan tokoh reformis kelas menengah, Luther.

Thomas Muenzer lahir di Stolberg, di daerah Harz, tahun 1498. Konon, ayahnya meninggal dalam siksaan, sebagai korban dari kesengajaan Bangsawan Stolberg. Dalam usia 15 tahun, Muenzer memimpin di sekolah Halle sebuah organisasi untuk melawan Uskup Magdeburg dan Gereja Romawi pada umumnya. Pencapaiannya menjadi terpelajar dalam teologi pada waktu itu membawanya ke tingkat doktor secara dini sehingga dapat menduduki jabatan rokhaniawan atau pastor di biara Halle yang khusus untuk para biarawati. Di sini ia mulai memperlakukan dogma dan upacara gereja dengan perasaan sangat merendahkan. Ketika mengadakan misa, ia menghilangkan kata-kata transubstansiasi, dan memakan, seperti kata Luther, dewa-dewa yang maha kuasa yang tidak dipersembahkan. (Transubstansiasi = perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.) Kaum mistik di jaman pertengahan terutama karya-karya chiliastis dari Joachim Calabria, merupakan subjek dari studinya. (Chiliastis = kepercayaan bahwa Yesus akan turun ke dunia untuk menjadi raja selama 1000 tahun.) Tampaknya, bagi Muenzer, millennium dan hari kiamat terhadap gereja yang telah mengalami kebejatan dan dunia yang korup, seperti diberitahukan dan dilukiskan oleh orang mistik, telah sampai dalam bentuk Reformasi dan kegelisahan umum pada waktu itu. Ia berkhotbah di daerah sekitarnya dengan sangat sukses. (Milenium = jangka waktu 1000 tahun pada akhir jaman ketika Yesus turun ke dunia untuk menjadi raja; Lihat: Chiliastis.) Dalam tahun 1520, ia pergi ke Zwickau sebagai pengkhotbah dan penginjil yang pertama. Di sana ia menemukan salah satu dari banyak sekte chiliastis yang penuh khayalan dan tetap hidup di banyak tempat, dengan bersembunyi di balik penampilan kesederhanaan dan pemisahan, suatu oposisi yang tumbuh subur dari lapisan bawah masyarakat untuk melawan kondisi yang ada, dan dengan berkembangnya agitasi, mulai mendesak semakin ke depan dengan semakin berani, dan dengan daya tahan yang lebih besar. Ini ternyata merupakan sekte Anabaptis yang dipimpin oleh Nicolas Storch. Anabaptis mengkhotbahkan hari kiamat dan millennium; mereka mempunyai apa yang disebut “khayalan, goncangan, dan jiwa ramalan.” Akibatnya, mereka segera terlibat dalam konflik dengan dewan di Zwickau. Muenzer membela mereka, meskipun ia tidak pernah bergabung dengan mereka tanpa syarat, dan justru membawa mereka ada di bawah pengaruhnya. Sehingga dewan mengambil tindakan yang menentukan terhadap mereka, mereka dipaksa untuk meninggalkan kota itu, dan Muenzer pergi dengan mereka. Ini terjadi pada tahun 1521.

Ia kemudian pergi ke Praha dan, untuk mendapatkan tempat berpijak, ia berusaha untuk bergabung dengan sisa-sisa gerakan Hussite. Meskipun demikian, proklamasinya membuatnya harus lari dari Bohemia juga. Pada tahun 1522, ia menjadi pengkhotbah di Altstedt, di daerah Thuringia. Di sini ia memulai dengan mereformasi upacara pemujaan. Bahkan sebelum Luther berani melakukan sesuatu yang terlalu jauh, ia sudah menghapuskan sama sekali bahasa Latin, dan memerintahkan seluruh kitab Injil, tidak hanya surat-surat yang ditulis oleh murid-murid Yesus dan empat kitab pertama dalam kitab Perjanjian Baru yang sudah ditentukan untuk hari Minggu, untuk dibaca umatnya. Pada waktu yang sama, ia mengorganisasikan propaganda di daerah setempat. Orang berbondong-bondong datang kepadanya dari segala penjuru, dan Altstedt pun segera menjadi pusat gerakan rakyat anti pastor di seluruh Thuringia.

Pada waktu itu, Muenzer masih merupakan seorang ahli teologi sebelum segalanya yang lain. Ia mengarahkan serangan-serangannya secara khusus hanya ke arah pastor. Meskipun demikian, ia tidak berkhotbah dengan debat secara sejuk dan dengan kemajuan secara damai,seperti telah mulai dilakukan oleh Luther pada waktu itu, tetapi ia terus melanjutkan khotbah keras Luther pada awalnya, dengan seruan kepada rakyat dan para pangeran Saxon untuk mengangkat senjata melawan para pastor Roma. “Bukankah Kristus yang berkata: ‘Aku telah datang untuk membawa, bukan damai, tetapi pedang’? Apa yang dapat Anda [para pangeran Saxon] lakukan dengan pedang itu? Anda hanya dapat melakukan satu hal. Apabila Anda ingin menjadi pelayan Tuhan, Anda harus mengusir dan menghancurkan orang-orang jahat yang menghalangi kitab Injil. Kristus memerintahkan dengan sungguh-sungguh (Lukas 19: 27): ‘Akan tetapi semua seteruku ini, yang tidak suka aku menjadi rajanya, bawalah mereka ke mari dan bunuhlah mereka di depan mataku.’ Janganlah menggunakan pernyataan kosong bahwa kekuasaan Tuhan dapat melakukannya tanpa bantuan pedang kita, karena pada waktu itu pedang tersebut akan berkarat di dalam sarungnya. Kita harus menghancurkan mereka yang menghalangi wahyu Tuhan, kita harus melakukannya tanpa mengenal ampun, seperti Hezekiah, Cyrus, Josiah, Daniel dan Elias, yang menghancurkan para pastor Baal, karena jika tidak, maka Gereja Kristen akan tidak pernah kembali lagi ke aslinya. Kita harus mencabut rumput di kebun anggur Tuhan pada waktu hasil panennya matang. Tuhan mengatakan dalam Kitab Ke-5 Musa, 7, ‘Janganlah engkau memperlihatkan belas kasihanmu kepada para penyembah berhala, tetapi hancurkanlah altar mereka, bantinglah sampai hancur berkeping-keping berhala-berhala pahatan mereka, dan bakarlah dengan api supaya Aku tidak memarahimu.’” Tetapi seruan kepada pangeran itu tidak berguna, sementara agitasi revolusioner di kalangan rayat justru berkembang dari hari ke hari. Muenzer, yang ide-idenya menjadi semakin terbentuk secara pasti dan semakin berani, sekarang dengan jelas menyerahkan reformasi kepada kelas menengah, dan pada saat yang sama muncul sebagai agitator politik yang terus terang.

Doktrin teologi dan filsafatnya menyerang semua poin-poin utama tidak hanya pada Katolik, tetapi juga pada agama Kristen yang seperti itu. Dengan jubah Kristen, ia mengkhotbahkan sejenis panteisme, yang anehnya menyerupai cara kontemplasi spekulatif modern, dan bahkan kadang-kadang mengajarkan ateisme terbuka. Ia menolak pernyataan bahwa kitab Injil adalah satu-satunya wahyu yang sempurna dan bebas dari kesalahan. Satu-satunya wahyu yang hidup, katanya, adalah akal, yaitu wahyu yang ada di kalangan semua rakyat di sepanjang waktu. Untuk membedakan kitab Injil dan akal, katanya, adalah dengan membunuh jiwa yang dilakukan oleh yang belakangan (yaitu akal), karena Roh Kudus yang disebutkan dalam kitab Injil bukanlah sesuatu di luar diri kita; Roh Kudus adalah akal kita. Kepercayaan, katanya, tidak lain adalah akal yang hidup dalam diri manusia; oleh karena itu, katanya, para penyembah berhala pun dapat juga mempunyai kepercayaan. Melalui kepercayaan, melalui akal, datanglah kehidupan, sehingga manusia menjadi seperti dewa dan terberkati, katanya. Surga harus dicari dalam hidup ini, bukan di luarnya, dan ini, menurut Muenzer, merupakan tugas mereka yang percaya untuk menciptakan surga, yaitu kerajaan Tuhan, di sini, di dunia. Karena tidak ada surga di luar hidup ini, maka juga tidak ada neraka di luar hidup ini, dan tidak ada kutukan, dan tidak ada setan, dan yang ada hanya keinginan jahat keinginan-keinginan manusia. Kristus, katanya, adalah seorang manusia, seperti kita, seorang nabi dan seorang guru, dan “Makan Malam Suci” adalah hanya makan sederhana untuk memperingati bahwa roti dan anggur itu dikonsumsi dengan tambahan makna mistis.

Muenzer kebanyakan mengkhotbahkan semua doktrin ini dengan cara sembunyi-sembunyi, dengan jubah berupa ungkapan Kristen yang terpaksa digunakan untuk filsafat baru ini buat sementara waktu. Meskipun demikian, ide bid’ahnya yang mendasar dapat dilihat dengan mudah dalam tulisan-tulisannya, dan jelaslah bahwa jubah kitab Injil itu baginya jauh kurang penting daripada bagi kebanyakan murid Hegel di jaman modern ini. Walaupun begitu, terdapat jarak tiga ratus tahun di antara Muenzer dan filsafat modern sekarang ini.

Doktrin politik Muenzer muncul segera setelah konsepsi agamanya yang revolusioner, dan seperti teologinya yang menjangkau jauh di luar konsepsi-konsepsi yang hidup pada jamannya, begitu pula halnya dengan doktrin politiknya yang menjangkau jauh di luar kondisi politik dan sosial yang ada. Seperti filsafat agama Muenzer yang menyentuh ateisme, begitu pula halnya dengan program filsafatnya yang menyentuh komunisme, dan terdapat lebih dari satu sekte komunis dalam jaman modern ini yang, menjelang revolusi Pebruari, tidak memiliki peralatan teoritis sekaya Muenzer di abad ke-16. Programnya — yang kumpulan tuntutannya dari kaum plebeian yang pada waktu itu lebih kecil artinya daripada antisipasi kondisi geniusnya untuk emansipasi unsur proletar yang baru saja mulai berkembang di kalangan kaum plebeian — menuntut segera didirikannya kerajaan Tuhan di bumi, sesuai dengan ramalan mileniumnya. Hal ini harus dicapai dengan mengembalikan gereja ke aslinya dan juga dengan menghapuskan semua lembaga yang mengalami konflik dengan apa yang oleh Muenzer dianggap sebagai agama Kristen sejati, yang, dalam kenyataannya, merupakan ide dari gereja yang sangat modern. Muenzer menganggap bahwa kerajaan Tuhan itu tidak lain adalah negara milik masyarakat tanpa perbedaan kelas, tanpa hak milik perseorangan, dan tanpa kekuasaan negara yang dikenakan pada para anggota masyarakatnya. Semua penguasa yang ada, sejauh mereka tidak menyerah dan bergabung dengan revolusi, pikirnya, harus digulingkan, semua pekerjaan dan semua hak milik harus dibagi sama, dan persamaan yang sempurna harus diperkenalkan. Dalam konsepsinya, persatuan atau serikat rakyat harus diorganisasikan untuk mewujudkan program ini, tidak hanya di seluruh Jerman, tetapi di seluruh dunia Kristen. Para pangeran dan para bangsawan harus diajak untuk bergabung, dan kalau mereka menolak, serikat sekerja harus menggulingkannya, atau membunuhnya, dengan senjata di tangan, pada kesempatan pertama.

Muenzer segera mulai bekerja untuk mengorganisasikan serikat rakyat ini. Khotbah-khotbahnya menunjukkan karakter yang masih lebih militan. Ia menyerang, tidak hanya pejabat gereja, tetapi juga para pangeran, kaum bangsawaan, dan kaum patricia, dengan semangat yang sama. Dengan warna menyala, ia melukiskan penindasan yang ada, dan membandingkannya dengan bayangan milenium dari persamaan sosial negara republik yang ia ciptakan dari imajinasinya. Ia menerbitkan satu pamflet revolusioner secara susul menyusul, dengan mengirimkan utusan ke segala penjuru, sementara ia secara pribadi mengorganisasikan serikat rakyat di Altstedt dan lingkungannya.

Hasil pertama dari propaganda ini adalah penghancuran Kapel St. Mary di Mellerbach dekat Altstedt, sesuai dengan perintah kitab Injil (Ulangan 7:5): “Mezbah-mezbah mereka haruslah kamu robohkan, tugu-tugu berhala mereka kamu remukkan, tiang-tiang berhala mereka kamu hancurkan dan patung-patung mereka kamu bakar habis.” Para pangeran Saxon datang secara pribadi ke Altstedt guna meredakan kekacauan itu, dan mereka mengundang Muenzer ke istana. Di sana ia menyampaikan khotbah, yang belum pernah mereka dengar dari Luther, yang disebut Muenzer sebagai “Daging yang hidup enak di Wittenberg itu.” Ia bersikeras bahwa para penguasa yang tidak beriman, terutama para pastor dan para biarawan yang memperlakukan bid’ah kitab Injil, harus dibunuh; sebagai penegasan ia mengacu pada kitab Perjanjian Baru. Orang yang tidak beriman tidak punya hak hidup, katanya, kecuali dengan belas kasihan dari orang-orang yang terpilih. Jika para pangeran tidak bersedia memusnahkan orang-orang yang tidak beriman, katanya menegaskan, maka Tuhan akan mengambil pedang mereka karena hak untuk menggunakan pedang ada pada masyarakat. Sumber dari kejahatan lintah darat, pencurian, dan perampokan, katanya, adalah para pangeran dan majikan-majikan yang telah mengambil semua makhluk ke dalam kepemilikan pribadinya — ikan di air, burung di udara, tanaman di tanah. Dan para perampas itu, katanya, masih mengkhotbahkan kepada si miskin perintah, “Jangan mencuri,” sementara mereka sendiri merampas segalanya, dan merampok serta menghancurkan para petani dan para tukang. “Akan tetapi, ketika ada petani atau tukang yang melakukan sedikit saja pelanggaran,” katanya, “ia harus digantung, dan Dr. Pembohong itu mengatakan kepada semuanya ini: Amin.” Majikan-majikan itu sendiri menciptakan situasi, katanya, di mana orang miskin dipaksa menjadi musuh mereka. Apabila mereka tidak menghilangkan penyebab dari pergolakan itu, maka bagaimana mungkin segala sesuatunya dapat menjadi membaik di masa-masa mendatang? Tanyanya. “Oh, saudara-saudaraku yang terhormat, bagaimana Tuhan akan memukul dengan batangan besi semua periuk tua ini! Apabila saya mengatakannya demikian, maka saya dianggap sebagai memberontak. Tetapi kalau memang itu maunya, ya terserahlah!” (Bandingkan dengan Perang Tani karangan Zimmermann, II, hal. 75.)

Khotbah Muenzer ini telah dicetak. Dan pencetaknya di Altstedt dihukum oleh bangsawan Johann dari Saxon dengan hukuman pembuangan. Oleh karena itu, sejak saat itu, tulisannya sendiri menjadi sasaran penyensoran pemereintahan bangsawan itu di Weimar. Meskipun demikian, ia tidak peduli pada perintah ini. Ia justru segera menerbitkan karya tulisnya yang bersifat sangat menghasut di kota kaisar Muehlhausen, di mana ia memperingatkan rakyat “untuk memperbesar lubang yang ada sehingga seluruh dunia dapat melihat dan memahami siapa orang-orang bodoh kita yang secara menghina telah mengubah Tuhan kita menjadi gambar yang dicat.” Ia mengakhirinya dengan kata-kata berikut: “Seluruh dunia harus merasakan sentakan hebat. Permainan ini akan menjadi sebegitu rupa sehingga yang tidak beriman akan terpelanting dari tempat duduknya dan yang tertindas akan bangkit.” Sebagai semboyan “lelaki membawa palu”, Thomas Muenzer menulis pada halaman judulnya: “Awas, saya telah menaruh kata-kata saya di mulut kalian, saya telah mengangkat kalian di atas rakyat dan di atas kaisar-kaisar yang harus kalian cabut, hancurkan, cerai-beraikan, dan gulingkan, sehingga Anda akan dapat membangun dan menanam. Tembok besi untuk melawan para pangeran, kaum bangsawaan, maupun pastor-pastor, tetapi untuk membela rakyat telah didirikan. Biarlah mereka bertempur, karena kemenangan itu mengherankan, dan tiran-tiran yang kuat tetapi tidak beriman itu akan binasa.”

Pertengkaran antara Muenzer dan Luther dengan partainya itu sudah berlangsung lebih lama dari itu. Luther sendiri terpaksa menerima beberapa reformasi gereja yang diperkenalkan oleh Muenzer tanpa berkonsultasi dengannya. Luther mengamati kegiatan Muenzer dengan rasa tidak percaya yang penuh dengan rasa jengkel dan marah dari seorang reformis moderat terhadap seorang reformis radikal yang penuh energi dan jauh jangkauannya. Sudah sejak musim semi tahun 1524, dalam sepucuk suratnya kepada Melanchthon, model dari seorang Filistin yang sibuk tetapi tetap tinggal di rumah, Muenzer menulis bahwa ia dan Luther tidak memahami gerakan itu sama sekali. Mereka sedang berusaha, katanya, untuk mencekiknya dengan ketaatan pada surat dalam kitab Injil, padahal doktrinnya sudah dimakan ulat alias sudah usang. “Saudaraku yang terhormat,” tulisnya, “hentikan sikap menunda-nunda dan ragu-ragu Anda. Saatnya telah tiba, musim panas telah mengetuk pintu-pintu kita. Jangan pertahankan bersahabat dengan orang tak beriman yang mencegah Firman Tuhan menggunakan kekuatannya secara penuh. Jangan menyanjung-nyanjung para pangeran Anda agar Anda tidak binasa. Dengan mereka, Anda menjadi lunak. Para cendekiawan yang gemar membaca buku, jangan marah. Karena saya tidak dapat melakukan yang sebaliknya.”

Luther lebih dari satu kali mengundang Muenzer untuk melakukan debat secara terbuka. Akan tetapi, yang belakangan, yaitu Muenzer, yang selalu siap menerima tantangan untuk bertempur di hadapan rakyat, tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk terjerumus ke dalam pertengkaran teologi di depan publik di Universitas Wittenberg yang partisan. (Partisan = berpihak, yang dalam hal ini berpihak pada Luther.) Ia memiliki keinginan “untuk membawa kesaksian rokhani di depan sekolah tinggi ilmu pengetahuan secara eksklusif.” Apabila Luther jujur, tulisnya, biarlah dia menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan kelicikan dalam politik terhadap dirinya, terhadap diri Muenzer, terhadap para pencetak, dan menghapuskan penyensoran agar kontroversi mereka dapat bertempur bebas di media pers.

Ketika brosur revolusioner yang disebutkan di atas itu muncul, maka Luther pun secara terbuka mencela Muenzer. Dalam tulisannya “Surat kepada Pangeran Saxon tentang Semangat untuk Memberontak,” ia menyatakan Muenzer sebagai alat setan, dan menuntut pangeran untuk campur tangan, dan mengusir para penghasut pergolakan itu ke luar dari negeri ini, karena, katanya, mereka tidak membatasi diri mereka pada mengkhotbahkan doktrin mereka yang jahat, tetapi juga menghasut untuk memberontak, dengan tindakan kekerasaan yang tidak menghormati hukum dengan melawan penguasa.

Pada tanggal 1 Agustus, Muenzer terpaksa muncul di depan pangeran di istana Weimar, untuk membela dirinya terhadap tuduhan bersekongkol untuk melakukan berbagai pembakaran. Banyak fakta yang sangat kompromistis yang dikutip untuk menuduhnya; serikat rakyatnya, yang dianggap sebagai perkumpulan rahasia, telah dilacak; jejak tangannya ditemukan ada di dalam organisasi buruh tambang dan petani. Ia diancam dengan hukuman pembuangan. Begitu kembali ke Altstedt, ia tahu bahwa Bangsawan Georg dari Saxon menuntut pembuangannya. Surat-surat serikat rakyat dengan tulisan tangannya telah dicegat, di mana ia menghasut kawula atau rakyat yang ada di bawah kekuasaan Georg untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap musuh-musuh kitab Injil. Dewan akan mengekstradisinya apabila dia tidak meninggalkan kota itu.

Dalam pada itu, agitasi yang semakin meningkat di kalangan para petani dan kaum plebeian telah terbakar hebat oleh tugas propaganda Muenzer. Dalam diri para pengikut Anabaptis, ia menemukan agen-agen yang tak ternilai harganya. Sekte ini, yang tidak memiliki dogma yang pasti, yang berkumpul menjadi satu dengan sikap oposisi yang sama untuk melawan semua kelas penguasa, dengan symbol yang sama berupa pembaptisan kedua, yang hidup seperti pertapa dalam cara hidup mereka, tidak kenal lelah, fanatik, dan berani dalam propaganda, telah berkumpul menjadi lebih erat lagi di sekitar Muenzer. Karena dibuat menjadi tidak punya rumah akibat selalu dianiaya, maka para anggotanya mengembara ke seluruh Jerman, sambil mengumumkan ke mana-mana kitab Perjanjian Baru di mana Muenzer telah membuat jelas kepada mereka tentang keinginan dan tuntutan mereka sendiri. Tak terhitung banyaknya dari para pengikut Anabaptis yang disiksa, dibakar, atau dihukum mati dengan berbagai cara lainnya. Meskipun demikian, keberanian dan ketabahan para utusan ini tak tergoyahkan, sehingga keberhasilan kegiatan mereka di tengah-tengah agitasi rakyat yang cepat meningkat menjadi luar biasa besarnya. Inilah salah satu dari banyak alasan mengapa, pada pelariannya dari Thuringia, Muenzer menemukan landasan yang telah siap kapan pun ia kembali.

Di Nuernberg, pemberontakan petani telah dibinasakan ketika baru mulai sebulan sebelumnya. Di sini, Muenzer melakukan propaganda secara sembunyi-sembunyi. Kemudian, dengan segera muncullah orang-orang yang membela doktrin teologinya yang paling berani tentang kekuatan kitab Injil yang tidak wajib dan tidak berartinya sakramen-sakramen, dengan menyatakan bahwa Kristus hanyalah orang biasa, dan kekuasaan para penguasa awam itu tidak beriman. “Kita melihat di sana setan mengintai, roh dari Altstedt!” seru Luther. Di Nuernberg, Muenzer menerbitkan jawabannya kepada Luther. Ia menuduhnya menjilat pangeran dengan menyokong partai reaksioner dengan posisinya yang moderat. “Rakyat akan memerdekakan diri mereka sendiri meski bagaimana pun,” tulisnya, “dan pada waktu itulah nasib Dr. Luther akan menjadi seperti serigala yang dimasukkan ke dalam kandang.” Dewan kota memerintahkan tulisan itu disita, dan Muenzer dipaksa untuk meninggalkan kota itu. Dari sini, ia pergi melalui Suabia ke Alsace, lalu ke Swiss, dan kemudian kembali ke Rimba Hitam Hulu di mana pemberontakan telah mulai beberapa bulan sebelumnya, yang dipercepat terutama karena para utusan dari Anabaptis. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa perjalanan propaganda dari Muenzer ini menambah banyak hasil pada organisasi partai rakyat, pada perumusan yang jelas dari tuntutan-tuntutannya, dan pada pecahnya pemberontakan secara umum pada bulan April 1525. Melalui perjalanan ini pulalah dua sifat kegiatan Muenzer menjadi semakin nyata — di satu pihak, propagandanya di kalangan rakyat yang didekatinya dengan satu-satunya bahasa pada waktu itu yang dapat dipahami oleh massa, yaitu bahasa agama tentang ramalan datangnya kerajaan Kristus di dunia selama 1000 tahun; di lain pihak, hubungannya dengan para anggota baru, yang kepada mereka ini ia dapat mengungkapkan tujuan akhirnya. Bahkan, sebelum perjalanan ini, di sekelilingnya, di Thuringia, sudah ada lingkaran dari orang-orang yang paling kuat tekadnya, tidak hanya dari kalangan rakyat, tetapi juga dari kalangan pejabat gereja bawahan, yang lingkarannya ia jadikan kepala organisasi rahasia. Sekarang, ia menjadi pusat gerakan revolusioner Jerman barat daya secara keseluruhan, dengan mengorganisasikan hubungan-hubungan antara Saxon dan Thuringia melalui Franconia dan Suabia sampai Alsace dan perbatasan Swiss dengan mengandalkan diri pada murid-muridnya dan para kepala organisasi seperti Hubmaier dari Waldshut, Conrad Grebel dari Zurich, Franz Rabmann dari Griessen, Schappelar dari Memmingen, Jakob Wehe dari Leipheim, dan Dr. Mantel di Stuttgart, yaitu pastor-pastor yang paling revolusioner. Ia sendiri kebanyakan ada di Griessen, pada perbatasan Schaffhausen, melakukan sejumlah perjalanan melalui Hegau, Klettgau, dsb. Penganiayaan berdarah yang dilakukan oleh para majikan dan para pangeran yang ketakutan di mana-mana terhadap bid’ah baru dari kaum plebeian ini, justru tidak sedikit menambah berkobarnya semangat memberontak dan sekaligus merapatkan barisan organisasinya. Dengan cara ini, Muenzer melewati waktunya selama lima bulan di Jerman hulu. Ketika pecahnya gerakan umum sudah ada di tangan, ia kembali ke Thuringia, di mana ia ingin memimpin sendiri gerakan itu. Di sanalah kita akan menemuinya nanti.

Kita akan melihat bagaimana perilaku dan watak sebenarnya dari kedua pimpinan partai ini yang mencerminkan posisi dari partai mereka masing-masing. Keragu-raguan Luther, dan ketakutannya pada gerakan ini, mendapatkan proporsi yang serius; kepatuhannya yang menunjukkan kepengecutannya terhadap raja itu berhubungan erat dengan kebijakan yang bimbang dan ragu dari kelas menengah. Sedangkan kepastian dan energi yang revolusioner dari Muenzer terlihat dalam faksi yang paling maju dari para petani dan kaum plebeian. Perbedaannya adalah bahwa, sementara Luther membatasi dirinya pada pernyataan ide-ide dan keinginan-keinginan dari mayoritas kelasnya, sehingga dengan demikian hanya dapat memperoleh popularitas yang sangat murah; namun, sebaliknya, Muenzer justru dapat menjangkau jauh di luar tuntutan-tuntutan dan ide-ide yang langsung dari para petani dan kaum plebeian, dengan mengorganisasikan unsur-unsur revolusioner yang ada pada waktu itu, yaitu suatu partai, yang, sejauh hal itu berdiri di atas tingkat ide-idenya dan sama-sama mengambil energi darinya, masih hanya mewakili minoritas kecil dari massa pemberontak.


BAB I
DAFTAR ISI
BAB III