Perang Tani di Jerman

Engels (1850)


BAB VII

Arti Penting dari Perang Tani

Setelah mundurnya Geismaier ke dalam wilayah Venesia, epilog atau bagian terakhir dari Perang Tani ini selesai. Para petani, di mana-mana, dibawa lagi ke bawah kekuasaan para pejabat gereja, para majikan bangawan, atau para majikan patrician. Perjanjian-perjanjian yang telah tercapai di sana-sini pun dilanggar, dan beban berat pun ditingkatkan dengan ganti rugi sangat besar yang dikenakan oleh para pemenang kepada yang dikalahkannya. Usaha yang hebat dari rakyat Jerman berakhir dengan kekalahan yang menjijikkan dan penindasan yang bahkan lebih hebat lagi untuk waktu yang tidak ada batasnya. Meskipun demikian, dalam jangka panjangnya, keadaan para petani ini tidak dapat menjadi lebih buruk lagi. Karena apa pun yang dapat diperas dari para petani oleh kaum bangsawan, para pangeran, dan para pastor itu sudah lebih dulu diperas habis bahkan sebelum perang meletus. Para petani di Jerman pada waktu itu sudah sama keadaannya dengan kaum proletar di jaman modern ini, sehingga bagiannya dari hasil kerjanya hanya terbatas pada kebutuhan minimum untuk sekedar hidup, sekedar bertahan, dan sekedar berbiak. Memang benar bahwa para petani yang hanya sedikit saja hartanya itu telah hancur. Para budak atau orang-orang terikat pun dipaksa hidup dalam perhambaan, bentangan tanah masyarakat pun disita seluruhnya, banyak sekali dari para petani yang dipaksa menjadi gelandangan, atau yang dipaksa menjadi kaum plebeian kota melalui penghancuran tempat tinggal mereka dan pembinasaan ladang mereka sebagai tambahan dari gangguan umum. Meskipun perang dan pembinasaan merupakan gejala sehari-hari pada waktu itu, akan tetapi pada umumnya, kelas petani ada di tingkat yang terlalu rendah dan keadaannya diperburuk lagi dalam jangka panjangnya oleh pajak yang senantiasa meningkat. Perang-perang agama selanjutnya, dan akhirnya Perang Tiga Puluh Tahun dengan pembinasaan massa yang senantiasa berulang beserta pengurangan jumlah penduduknya, semuanya itu terus memukul para petani secara jauh lebih menyakitkan daripada yang terjadi akibat Perang Tani. Dalam hal ini, terutama Perang Tiga Puluh Tahun-lah yang membinasakan bagian terpenting dari tenaga produktif pertanian, dan yang dihancurkan secara serentak bersama-sama dengan penghancuran banyak kota, sehingga hal itu telah menurunkan standar hidup para petani, kaum plebeian, dan penduduk kota-kota yang hancur itu ke tingkat yang sama dengan kesengsaraan rakyat Irlandia dalam bentuknya yang terburuk.

Meskipun demikian, kelas yang paling menderita dari Perang Tani ini adalah para pejabat gereja. Pendapatan, tanah milik, dan biaranya telah dibakar habis, barang-barang berharganya telah dijarah, dijual ke luar negeri, atau dilebur, sedangkan persediaan barangnya dikonsumsi. Mereka ini paling tidak mampu memberikan perlawanan, dan pada waktu yang sama bobot kebencian lama dari rakyat itu jatuh paling berat kepada mereka ini. Sebaliknya, kelas-kelas lainnya, seperti para pangeran, kaum bangsawan, dan kelas menengah, justru mendapatkan kesenangan yang tersembunyi di atas penderitaan para pejabat tinggi gereja itu. Perang Tani telah membuat populernya sekularisasi tanah hak milik gereja untuk kepentingan para petani. (Sekularisasi = perihal menggunakan sesuatu untuk kepentingan duniawi.) Para pangeran yang mengurus orang awam, dan pada tingkatan tertentu juga kota-kota, bertekad untuk mewujudkan sekularisasi itu untuk kepentingan mereka sendiri, dan segera saja kepemilikan para pejabat tinggi gereja di negara-negara Protestan berpindah ke tangan para pangeran atau para anggota dewan yang terhormat dari kalangan bangsawan.

Kekuasaan dan wewenang para pangeran yang mengurus agama juga dilanggar haknya, karena para pangeran yang mengurus orang awam paham benar tentang bagaimana caranya memanfaatkan kebencian rakyat itu dengan arah ini juga. Dengan demikian, kita telah melihat bagaimana wilayah Biara Fulda diturunkan dari majikan feodal menjadi vasal yang ada di bawah kekuasaan Philipp Hesse. Sehingga kota Kempten pun dapat memaksa pangeran yang mengurus agama itu untuk menjualnya dengan nilai rendah berupa serangkaian hak istimewa yang berharga dan yang dapat dinikmatinya di kota.

Kaum bangsawan juga banyak sekali menderita. Sebagian besar istananya dihancurkan, dan sejumlah keluarganya yang paling dihormatinya dihancurkan atau hanya dapat mencari nafkah sekedarnya dengan menjadi bawahan para pangeran. Ketidakberdayaannya yang ada hubungannya dengan para petani ini telah terbukti. Mereka telah terpukul di mana-mana dan dipaksa menyerah. Hanya pasukan dari para pangeran yang menyelamatkannya. Kaum bangsawan ini pun semakin kehilangan maknanya sebagai kelas yang merdeka di bawah kaisar sehingga jatuh di bawah kekuasaan para pangeran.

Kota-kota pada umumnya juga tidak memperoleh keuntungan apa pun dari Perang Tani. Kekuasaan para anggota dewan dari kaum bangsawan nyaris di mana-mana dikukuhkan lagi dengan kekuatan baru, dan oposisi dari kelas menengah masih tetap terpecah-pecah untuk waktu yang sama. Dengan demikian, tugas rutin kaum patrician terus berlanjut, sehingga menghambat perdagangan dan industri dengan segala cara, sampai datangnya Revolusi Prancis. Lagi pula, kota-kota dianggap bertanggung jawab oleh para pangeran atas kesuksesan-kesuksesan sementara yang telah dicapai oleh partai-partai plebeian atau kelas menengah dalam batas wilayah mereka selama pergulatan itu. Kota-kota yang sebelumnya menjadi milik pangeran telah dipaksa untuk membayar ganti rugi yang berat, dan dirampok hak-hak istimewa mereka, serta dijadikan sasaran kesengajaan para pangeran yang serakah itu (seperti (Frankenhausen, Arnstadt, Schmalkalden, Wurzburg, dsb.), sedangkan kota-kota kaisar disatukan ke dalam wilayah-wilayah milik para pangeran (seperti Muehlhausen), atau kota-kota itu setidak-tidaknya ditempatkan di bawah ketergantungan moral pada para pangeran yang wilayahnya berbatasan, seperti halnya dengan banyak kota kaisar di Franconia.

Dengan demikian, pemenang tunggal dari kondisi-kondisi seperti ini adalah para pangeran. Kita telah melihat pada awal penjelasaan kita bahwa perkembangan pertanian, perdagangan, dan industri yang rendah, telah membuat sentralisasi Jerman sebagai sebuah bangsa menjadi tidak mungkin, bahwa hal itu hanya memungkinkan terjadinya sentralisasi di tingkat lokal dan provinsi, dan bahwa para pangeran, yang mewakili sentralisasi di dalam kekacauan ini, merupakan satu-satunya kelas yang dapat memetik keuntungan dari setiap perubahan dalam kondisi politik dan sosial yang ada. Keadaan perkembangan Jerman di jaman itu begitu lamban dan sekaligus juga begitu berbeda di berbagai provinsi, sehingga bersama-sama dengan wilayah para pangeran yang mengurusi orang awam, di sana masih dapat hidup para penguasa gereja, republik kota, dan bangsawan yang berdaulat. Meskipun demikian, secara serentak, perkembangan ini secara terus-menerus, meskipun secara perlahan-lahan dan lemah, menekan ke arah sentralisasi provinsi, menuju ke penaklukan semua tanah milik kaisar ke dalam kekuasaan para pangeran. Karena itulah, hanya para pangeran saja yang dapat memperoleh keuntungan dari berakhirnya Perang Tani. Ini terjadi dalam kenyataan. Mereka tidak hanya memperoleh keuntungan secara relatif, melalui pelemahan lawan-lawannya, seperti para pejabat gereja, kaum bangsawan, dan kota-kota, tetapi juga secara mutlak melalui jarahan atau harta rampasan perang yang mereka kumpulkan. Tanah milik gereja disekularisasikan untuk kepentingan mereka; sebagian dari tanah milik kaum bangsawan, yang seluruhnya atau hanya sebagian mengalami kehancuran, diwajibkan secara berangsur-angsur ditempatkan di bawah kekuasaannya; ganti rugi yang diminta dari kota-kota dan kaum tani berhasil membengkakkan kekayaannya, yang, dengan dihapuskannya begitu banyak hak-hak istimewa kota-kota, maka sekarang pun diperoleh jauh lebih banyak tanah yang sangat luas untuk operasi-operasi keuangannya. (Disekularisasikan = perihal digunakannya sesuatu untuk kepentingan duniawi.)

Desentralissi Jerman, yang perluasan dan perkuatannya merupakan hasil utama dari perang itu, pada saat yang sama juga merupakan penyebab dari kegagalannya.

Kita telah melihat bahwa Jerman telah terpecah tidak hanya menjadi provinsi-provinsi merdeka yang tak terhitung banyaknya, yang satu sama lain nyaris menjadi asing sama sekali, tetapi di setiap provinsi ini bangsa Jerman juga terbagi menjadi beberapa lapisan kelas dan setiap kelas terbagi lagi menjadi beberapa bagian dari kelas itu. Selain para pangeran dan para pastor, kita menemukan kaum bangsawan dan para petani di daerah pedesaan, kaum patrician, kelas menengah dan kaum plebeian di kota-kota. (Patrician = keturunan bangsawan Roma; Plebeian = orang kebanyakan.) Paling-paling, kelas-kelas ini saling tidak peduli terhadap kepentingan yang lainnya apabila ada konflik yang sesungguhnya. Di atas semua kepentingan yang rumit ini, masih ada lagi kepentingan-kepentingan kaisar dan paus. Kita telah melihat bahwa, dengan sangat susah payah, dan secara tidak sempurna, serta berbeda-beda di berbagai tempat, berbagai kepentingan ini akhirnya membentuk tiga kelompok besar. Kita telah melihat bahwa meskipun telah ada pengelompokan ini, yang dicapai dengan begitu sangat susah payah, namun setiap kelas juga beroposisi terhadap garis yang ditunjukkan oleh keadaan untuk terjadinya perkembangan secara nasional, karena setiap kelas mengadakan gerakan untuk kepentingannya sendiri, sehingga terjadi konflik tidak hanya dengan golongan konservatif, tetapi juga dengan seluruh kelas yang beroposisi. Oleh karena itu, kegagalannya menjadi tak terhindarkan. Seperti ini pulalah nasib kaum bangsawan dalam pemberontakan Sickingen, nasib para petani dalam Perang Tani, dan nasib kelas menengah dalam Reformasi mereka yang jinak. Bahkan seperti ini pulalah nasib para petani dan kaum plebeian, yang di kebanyakan tempat di Jerman tidak dapat bersatu untuk beraksi bersama dan malahan saling menghalangi satu sama lain. Kita juga telah melihat sebab-sebab perpecahan ini di dalam perjuangan kelas dan kekalahan yang diakibatkan oleh gerakan kelas menengah itu.

Tentang bagaimana desentralisasi di tingkat lokal maupun di tingkat provinsi, dan kepicikan di tingkat lokal maupun di tingkat provinsi yang dihasilkannya, telah menghancurkan seluruh gerakan itu; tentang bagaimana para petani dari setiap provinsi beraksi hanya untuk diri mereka sendiri, sehingga biasanya menolak bantuan yang ditawarkan dari daerah-daerah di sekitarnya kepada para petani yang memberontak, dan dengan demikian dapat dibinasakan dalam masing-masing pertempuran, dari satu pertempuran ke pertempuran lainnya, oleh pasukan-pasukan dari pihak penguasa yang dalam banyak hal hitungan jumlahnya nyaris tidak sampai seper sepuluh dari jumlah massa pemberontak secara keseluruhannya; semuanya ini haruslah dipahami secara jernih oleh para pembaca yang menyimak uraian yang disajikan ini. Semua gencatan senjata dan perjanjian yang diselenggarakan oleh masing-masing kelompok dengan musuh-musuh mereka itu juga merupakan tindakan-tindakan pengkhianatan terhadap tujuan mereka, dan pengelompokan dari berbagai pasukan yang tidak sesuai dengan komunitas yang lebih besar maupun yang lebih kecil dari aksi-aksi mereka sendiri, yang merupakan satu-satunya pengelompokan yang mungkin, tetapi sesuai dengan komunitas musuh tertentu yang menundukkannya, semuanya ini secara mengejutkan menunjukkan tingkat kebencian yang sama dari para petani di berbagai provinsi.

Analogi atau persamaannya dengan gerakan tahun 1848-50 juga tampak jelas di sini. Dalam tahun 1848, seperti dalam Perang Tani, kepentingan-kepentingan dari kelas-kelas yang beroposisi itu berbenturan satu sama lain, yang masing-masing bertindak atas kemauannya sendiri. Borjuasi, yang sudah berkembang dan tidak mentoleransi lagi absolutisme feodal maupun birokrasi, ternyata tidak cukup kuat untuk merendahkan tuntutan-tuntutan dari kelas-kelas lainnya demi kepentingannya sendiri. Sedangkan proletariat, yang juga terlalu lemah sehingga tidak mampu melompati periode borjuasi dan segera mengalahkan kekuasaan itu untuk dirinya sendiri, ternyata, ketika masih ada di bawah pengaruh absolutisme, telah mencicipi manisnya pemerintahan borjuis dengan begitu bagusnya, dan pada umumnya telah terlalu jauh berkembang sehingga sedetik pun tidak mampu mengenali emansipasi atau kemerdekaannya sendiri dengan emansipasi atau kemerdekaan borjuasi. Massa bangsa, yang terdiri atas para tukang yang ahli dan kaum borjuasi kecil, dan para petani, semuanya itu ditinggalkan dalam kesulitan oleh sekutu mereka yang paling dekat dan alami, yaitu borjuasi, karena mereka terlalu revolusioner, dan sebagian oleh proletariat karena mereka belum cukup maju. Karena terpecah-pecah sendiri, massa bangsa ini tidak mendapatkan apa-apa, sebab mereka menentang sesama kawan seoposisinya, baik yang ada di kanan maupun kiri. Mengenai kepicikan yang bersifat kedaerahan, hal itu nyaris tidak lebih besar dalam tahun 1525 di kalangan para petani daripada di kalangan kelas-kelas yang ikut serta dalam gerakan tahun 1848. Seratus pemberontakan setempat maupun seratus reaksi setempat yang mengikuti dan selesai tanpa hambatan, serta tertahannya perpecahan menjadi banyak sekali negara-negara yang kecil-kecil — semuanya ini benar-benar disuarakan dengan cukup keras. Orang, yang setelah dua kali revolusi di Jerman tahun 1525 dan 1848 masih memimpikan sebuah republik federal, adalah para penghuni rumah sakit jiwa karena gila.

Bahkan kedua revolusi dalam abad ke-16 dan dalam tahun 1848-50 itu, meskipun memiliki semua analogi atau persamaannya, namun secara materi berbeda satu sama lainnya. Revolusi 1848 ini menyuarakan, kalau bukan kemajuan Jerman, ya kemajuan Eropa.

Siapa yang memetik keuntungan dari revolusi tahun 1525? Para pangeran. Siapa yang memetik keuntungan dari revolusi tahun 1848? Para pangeran besar, Austria dan Prussia. Di belakang para pangeran tahun 1525 berdirilah kelas menengah bawah di kota-kota, yang dibelenggu oleh pajak-pajak. Di belakang para pangeran besar tahun 1850 berdirilah borjuasi besar modern, yang dengan cepat menaklukkan mereka melalui utang negara. Di belakang borjuasi besar modern berdirilah kaum proletar.

Revolusi tahun 1525 adalah peristiwa lokal di Jerman. Inggris, Prancis, Bohemia, dan Hongaria, sudah mengalami perang tani ketika Jerman baru mulai perang tani mereka. Apabila Jerman didesentralisasikan, Eropa juga demikian dan bahkan dengan jangkauan yang jauh lebih besar. Sedangkan revolusi tahun 1848 bukanlah peristiwa lokal di Jerman, karena revolusi ini merupakan salah satu tahap dari suatu gerakan besar di Eropa. Daya gerak selama periode perjalanannya itu tidaklah terbatas pada batas-batas sempit dari masing-masing negara, dan bahkan tidak terbatas pada batas-batas seper empat bulatan bumi. Dalam kenyataannya, negara-negara yang menjadi arena revolusi ini ternyata paling tidak aktif dalam produksinya. Mereka sedikit banyak merupakan bahan mentah yang tidak sadar tanpa keinginan untuk memilikinya sendiri. Mereka dicetak dalam arus gerakan yang diikuti oleh seluruh dunia, yaitu suatu gerakan yang di bawah kondisi-kondisi sosial yang ada mungkin tampak oleh kita sebagai kekuatan asing, tetapi yang pada akhirnya ternyata tidak lain daripada milik kita sendiri juga. Itulah sebabnya mengapa revolusi 1848-50 tidak dapat berakhir seperti cara berakhirnya revolusi 1525.


BAB VI
DAFTAR ISI
12 PASAL PETANI