Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman

G W F Hegel

I - Hegel

Buku [1-1] yang terletak di hadapan kita membawa kita kembali ke zaman yang, meskipun menurut waktu tidak lebih daripada satu keturunan berada di belakang kita, telah menjadi asing bagi keturunan yang sekarang ini di Jerman seolah-olah ia telah berlalu seratus tahun lamanya. Meskipun demikian zaman itu adalah zaman persiapan Jerman untuk Revolusi 1848; dan segala-sesuatu yang terjadi di negeri kita sejak itu hanyalah kelanjutan tahun 1848, hanyalah pelaksanaan wasiat dan pernyataan terakhir revolusi itu.

Seperti halnya di Perancis dalam abad kedelapanbelas, demikian julalah di Jerman dalam abad kesembilanbelas, revolusi filsafat mengantarkan keruntuhan politik. Tetapi alangkah berbedanya keduanya itu kelihatannya! Orang-orang Perancis mengadakan pertempuran terbuka melawan semua ilmu resmi, melawan gereja dan sering-sering juga melawan negara; tulisan-tulisan mereka dicetak di luar perbatasan, di Inggris atau di Belanda, sedangkan mereka sendiri selalu berada dalam bahaya dipenjarakan di dalam Bastille. Di pihak lain, orang-orang Jerman adalah profesor-profesor, para pengajar pemuda yang diangkat oleh negara: tulisan-tulisan mereka diakui sebagai buku pelajaran, dan sistem yang terbatas dari seluruh perkembangan - sistem Hegelian - bahkan ditingkatkan, sampai batas tertentu, ke dalam barisan filsafat negara kerajaan Prusia! Apakah mungkin di belakang para profesor itu, di belakang kata-kata mereka yang samar-samar, sok pengetahuan, di belakang kalimat-kalimat mereka yang bijak, yang menjemukan, bersembunyi revolusi?

Apakah orang-orang yang pada waktu itu dianggap sebagai wakil-wakil revolusi bukan justru kaum liberal, musuh yang paling sengit dari filsafat yang mengacaukan otak itu? Tetapi apa yang tidak bisa dilihat baik oleh pemerintah maupun oleh kaum liberal sejak 1833, telaih dilihat sekurang-kurangnya oleh satu orang, dan orang itu tidak lain adalah Heinrich Heine. [1-2]

Mari kita ambil sebuah contoh. Tidak ada dalil filsafat yang telah menimbulkan rasa terimakasih yang lebih besar dari pemerintah2 yang berpikiran picik dan amarah dari kaum liberal yang sama picik pikirannya daripada pernyataan Hegel yang terkenal: Segala sesuatu yang riil adalaih rasional; dan segala sesuatu yang rasional adalah riil. Pernyataan itu merupakan pembenaran yang nyata terhadap segala sesuatu yang ada, doa-restu filsafat yang dilimpahkan kepada despotisme, pemerintahan polisi, sidang-sidang Star Chamber dan sensor. Begitulah Friedrich Wilhelm III dan begitulah Rakyatnya memahami pernyataan itu. Tetapi, menurut Hegel pastilah bukan segala sesuatu yang ada adalah juga riil, tanpa kualifikasi lebih jauh. Bagi Hegel sifat realitas terdapat hanya pada apa yang sekaligus adalah keharusan: "dalam proses perkembangannya realitas terbukti adalah keharusan." Maka itu, tindakan pemerintah tertentu - Hegel sendiri mengutip sebagai contoh “peraturan pajak tertentu” - baginya sama sekali bukanlah hal yang riil tanpa kualifikasi. Tetapi, keharusan, akhirnya membuktikan bahwa ia adalah juga rasional; dan, jika diterapkan pada negara Prusia pada waktu itu. maka, dalil Hegel hanyalah berarti negara ini adalah rasional, sesuai dengan akal, sejauh ia adalah keharusan; dan, jika, meskipun demikian, ia kelihatan kepada kita sebagai sesuatu yang jahat, tetapi tetap, meskipun wataknya jahat, ada terus, maka watak jahat pemerintah itu dibenarkan dan dijelaskan oleh watak jahat yang sama yang terdapat pada warga negaranya. Orang-orang Prusia zaman itu mempunyai pemerintahan yang patut bagi mereka.

Jadi, menurut Hegel, realitas sekali-kali bukanlah sifat yang dapat diramalkan di dalam keadaan tertentu yang mana saja, sosial atau politik, dalam semua keadaan dan pada setiap masa. Sebaliknyalah yang benar. Republik Romawi adalah riil, tetapi demikian juga halnya dengan kerajaan Romawi, yang mendahuluinya. Dalam tahun 1789 monarki Perancis telah menjadi begitu tidak riil, yaitu, telah begitu dilucuti dari segala keharusan, begitu tidak rasional, sehingga ia harus dihancurkan oleh Revolusi Besar. Tentang revolusi itu Hegel selalu berbicara dengan kegairahan yang amat tinggi, Maka itu, dalam hal ini, monarki adalah yang tidak riil dan revolusi adalah yang riil. Jadi, dalam proses perkembangan, semua yang di masa lampau adalah riil menjadi tidak riil: kehilangan keharusannya, hak eksistensinya, rasionalitasnya. Dan pada tempat realitas yang sekarat lahir realitas baru, yang dapat hidup - secara damai jika yang lama cukup cerdik untuk menemui ajalnya tanpa perjuangan; dengan kekerasan jika ia melawan keharusan itu. Jadi dalil Hegel berbalik menjadi hal yang berlawanan dengannya lewat dialektika Hegel itu sendiri. Segala sesuatu yang riil di bidang sejarah manusia menjadi tidak rasional dalam proses waktu, maka itu tidak rasional dari segi tujuannya itu sendiri, sebelumnya telah dinodai oleh irrasionalitas; dan segala sesuatu yang rasional di dalam pikiran manusia ditakdirkan untuk menjadi riil, betapapun banyaknya ia bertentangan dengan realitas yang betul-betul ada. Sesuai dengan semua ketentuan metode berpikir Hegelian, dalil tentang rasionalitas segala sesuatu yang riil mengubah dirinya menjadi dalil yang lain - Segala sesuatu yang ada patut mengalami kehancurannya.

Tetapi justru disitulah letak arti sesungguhnya dan watak revolusioner dari filsafat Hegel (pada filsafat mana, sebagai penutup seluruh gerakan sejak Kant, kita harus membatasi diri disini), bahwa ia untuk selama-lamanya memberikan pukulan yang menghancurkan kepada keabadian semua hasil pemikiran dan perbuatan manusia. Kebenaran, yang pengenalannya. menjadi urusan filsafat, di dalam tangan Hegel tidak lagi merupakan jumlah pernyataan-pernyataan dogmatis yang selesai, yang, sekali ditemukan, banialah harus dipelajari di luar kepala. Sekarang kebenaran terletak di dalam proses pengenalan itu sendiri, di dalam perkembangan historis yang lama dari ilmu, yang menaik dari tingkat pengetahuan yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi tanpa bisa mencapai, dengan menemukan apa yang disebut kebenaran absolut, suatu titik dimana ia tidak dapat maju lebih jauh lagi, dimana ia tidak akan mempunyai pekerjaan lagi selain daripada berpeluk tangan dan menatap dengan rasa keheran-heranan pada kebenaran absolut yang telah dicapai. Dan apa yang benar bagi dunia pengetahuan filsafat benar pula bagi setiap macam pengetahuan lainnya dan juga bagi persoalan persoalan praktis. Seperti halnya pengetahuan 'tidak mungkin dapat mencapai kesimpulan yang lengkap dalam syara-syarat kernanusiaan yang sempurna, yang ideal, maka sejarahpun tidak mungkin dapat berbuat demikian; masyarakat yang sempurna, “negara” yang sempurna, adalah hal-hal yang mungkin ada di dalam kahyal saja. Sebaliknya, semua sistim sejarah yang silih berganti hanyalah tingkat-tingkat peralihan di dalam proses perkembangan masyarakat manusia yang tiada akhirnya dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Setiap tingkat adalah tingkat keharusan, dan maka itu dapat dibenarkan untuk masa dan syarat-syarat yang menjadi sumbernya. Tetapi dalam berhadapan dengan syarat-syarat baru, syarat-syarat yang lebih tinggi yang secara berangsur-angsur berkembang di dalam kandungannya sendiri, ia kehilangan keabsahannya dan pembenarannya, ia harus menyerah kepada tingkat yang lebih tinggi yang pada gilirannya juga akan melapuk dan hancur. Seperti halnya borjuasi lewat industri besar, persaingan dan pasar dunia dalam praktek membubarkan semua lembaga yang stabil, yang tua dan dihormati, maka filsafat dialektik ini pun membubarkan semua konsepsi tentang kebenaran terakhir, absolut dan tentang keadaan manusia yang absolut yang sesuai dengan itu. Baginya (filsafat dialektik) tidak ada sesuatupun yang terakhir, yang absolut, yang keramat. Ia menyingkapkan watak peralihan dari segala sesuatu dan di dalam segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang dapat bertahan berhadapan dengan watak itu kecuali proses menjadi dan melenyap yang berlangsung dengan tiada putus-putusnya, proses menaik dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi dengan tiada putus-putusnya. Dan filsafat dialektik itu sendiri tidaklah lebih daripada pencerminan semata dari proses itu di dalam otak yang berpikir. Sudah tentu, ia mempunyai juga segi konservatifnya: ia mengakui bahwa tingkat-tingkat terte'tu pengetahuan dan masyarakat dapat dibenarkan untuk masanya dan keadaannya; tetapi hanya sejauh itu saja. Konservatisme cara memandang yang semacam itu adalah relatif, yang absolut adalah watak revolusionernya - satu-satunya yang absolut yang diakui oleh filsafat dialektik.

Disini, tidaklah dirasa perlu memasuki persoalan apakah cara memandang yang seperti itu sepenuhnya sesuai dengan keadaan ilmu-ilmu alam sekarang ini, yang meramalkan berakhirnya bumi ini sebagai hal yang mungkin dan dapat didiaminya bumi ini sebagai hal yang amat pasti; yang, oleh karena itu mengakui bahwa bagi sejarah umat manusia, juga, terdapat bukan hanya cabang yang menaik tetapi juga yang menurun. Meskipun demikian kita masih berada pada jarak yang amat jauh dari titik balik dimana jalan sejarah masyarakat menjadi jalan menurun, dan kita tidak dapat mengharapkan filsafat Hegel menaruh perhatian pada soal yang ilmu-ilmu alam, pada zamannya, masih belum lagi menjadikan persoalan yang diperbincangkan.

Tetapi, sesungguhnya, apa yang harus dinyatakan disini ialah: bahwa pada Hegel pendirian-pendirian yang dikembangkan di atas tidak sebegitu tajam digariskan. Pendirian-pendirian itu adalah kesimpulan keharusan dari metodenya, tetapi dia sendiri tidak pernah menariknya sejelas itu. Dan memang, ini adalah karena alasan yang sederhana bahwa -dia terpaksa menyusun suatu sistim dan, sesuai dengan keperluan-keperluan tradisionil, suatu sistim filsafat harus berkesimpulan dengan semacam kebenaran absolut. Maka itu, betapapun banyaknya Hegel, terutama di dalam tulisannya Logika, menekankan bahwa kebenaran abadi itu tidaklah lain daripada proses yang logis, atau proses sejarah itu sendiri, namun dia terpaksa memberikan suatu akhir pada proses itu, justru karena dia harus mengakhiri sistimnya pada suatu titik. Di dalam Logikanya dia dapat menjadikan akhir itu awal kembali, karena disini hal yang disimpulkan, ide absolut - yang hanya absolut sejauh mengenai hal itu dia secara absolut tidak mempunyai sesuatu lagi untuk disampaikan - “menjelmakan”, yaitu, mengubah, dirinya menjadi alam dan kemudian menjadi dirinya kembali di dalam otak, yaitu di dalam pikiran dan di dalam sejarah. Tetapi pada akhir seluruh filsafat itu pengulangan kembali yang serupa ke awalnya hanyalah mungkin lewat satu jalan. yaitu, dengan memikirkan tentang akhir sejarah sebagai berikut ini: umat manusia sampai pada pengenalan ide absolut yang itu juga, dan menyatakan bahwa pengenalan ide absolut itu dicapai di dalam filsafat Hegel. Tetapi, dengan cara yang seperti itu, seluruh isi dogmatis dari sistim Hegel dinyatakan sebagai kebenaran absolut bertertangan dengan metode dialektiknya, yang mencairkan segala dogmatisme. Jadi segi revolusioner tercekik di bawah pertumbuhan segi konservatif yang berlebih-lebiban. Dan apa yang berlaku bagi pengenalan filsafat berlaku juga bagi praktek sejarah. Umat manusia, yang, di dalam diri Hegel, telah mencapai titik merumuskan ide absolut dalam praktek harus telah sampai pula sejauh dapat mewujudkan ide absolut itu dalam kenyataan. Maka itu tuntutan politik praktis dari ide absolut terhadap orang-orang sezamannya tidak boleh - direntang terlalu jauih. Dan dengan demikian kita temukan pada kesimpulan Filsafat Hukum bahwa ide absolut akan direalisasikan di dalam monarki yang berdasarkan pangkat-pangkat sosial yang oleh Friedrich Wilhelm III dijanjikan dengan begitu gigihnya tetapi sia-sianya kepada warga negaranya, yaitu, di dalam kekuasaan terbatas, lunak, tidak langsung dari klas-klas yang bermilik yang sesuai dengan syarat-syarat Jerman borjuis kecil di zaman itu; dan, tambahan pula, keharusan adanya kaum bangsawan ditunjukkan kepada kita dengan cara yang spekulatif.

Maka itu, keharusan intern sistim itu dengan sendirinya cukup untuk menjelaskan mengapa metode berfikir yang sama sekali revolusioner menghasilkan kesimpulan politik yang keterlaluan jinaknya. Sesungguhnya bentuk khusus kesimpulan itu lahir dari kenyataan bahwa Hegel adalah seorang Jerman, dan seperti halnya dengan orang sezamannya, Goethe, mempunyai sedikit kucir filistin terjuntai di belakangnya. Mereka masing-masing adalah seorang Zeus Olympia di bidangnya, meskipun demikian tidak seorangpun di antara mereka itu yang betul-beutk pernah membebaskan dirinya dari filistinisme Jerman.

Tetapi kesemuanya itu tidak merintangi sistim Hegel mencakup bidang yang tak terbandingkan lebih besarnya daripada sistim yang manapun sebelumnya, maupun mengembangkan di dalam bidang itu kekayaan fikiran yang sampai hari ini pun mengagumkan. Fenomenologi jiwa, (yang dapat disebut suatu paralel dari embriologi dan paleontologi jiwa, perkembangan kesadaran perseorangan lewat tingkat-tingkatnya yang berbeda-beda, yang terwujud sebagai bentuk reproduksi yang disingkat dari tingkat-tingkat yang telah ditempuh oleh kesadaran manusia selama perjalanan sejarah), logika, filsafat alam. filsafat jiwa, dan yang terakhir dirumuskan di dalam, sub-bagian-bagiannya yang historis secara sendiri-sendiri: filsfat sejarah, filsafat hukum, filsafat agama, sejarah filsafat, estetika, dsbnya - di semua bidang sejarah yang berbeda-beda ini Hegel bekerja keras untuk menemukan dan menunjukkan benang perkembangan yang menjulur. Dan karena dia bukan hanya seorang seni yang kreatif tetapi juga seorang yang berpengetahuan ensiklopedi, dia melakukan peranan yang membuat zaman di setiap bidang. Adalah jelas dengan sendirinya bahwa karena kebutuhan “sistim” dia sering harus menggunakan konstruksi-konstruksi yang dipaksakan dan tentang itu lawan-lawannya yang kerdil membikin kehebohan yang begitu hebat bahkan sampai hari ini. Tetapi konstruksi-konstruksi itu hanyalah kerangka dan perancah karyanya. Jika di tempat itu orang tidak membuang-buang waktu tanpa ada keperluannya, tetapi maju terus ke dalam bangunan yang maha besar itu, maka orang akan menemukan kekayaan yang tiada terhitung banyaknya yang hingga hari ini masih memiliki nilai yang tiada berkurang. Pada semua ahli filsafat justru “sistim” itulah yang dapat hancur; dan karena alasan yang sederhana bahwa dia lahir dari keinginan yang kekal dari jiwa manusia - yaitu keinginan untuk mengatasi semua kontradiksi. Tetapi, jika semua kontradiksi untuk selama-lamanya sudah ditiadakan., maka kita akan mencapai apa yang dinamakan kebenaran absolut - sejarah dunia akan berakhir. Akan tetapi sejarah itu harus berjalan terus, meskipun tidak ada lagi yang harus dikerjakannya - jadi, kontradiksi baru, kontradiksi yang tak terpecahkan. Segera kita menyadari - dan akhirnya tidak ada orang yang membantu kita menyadari hal itu lebih daripada Hegel sendiri - bahwa tugas filsafat yang dinyatakan sedemikian itu tidak berarti lain daripada bahwa tugas yang harus dipenuhi oleh seorang ahli filsafat ialah yang hanya dapat dipenuhi oleh seluruh umat manusia dalam proses perkembangannya yang progresif - segera kita menyadari hal itu, maka berakhirlah filsafat dalam arti kata yang hingga saat itu diterima. Orang membiarkan saja “kebenaran absolut”, yang tak tercapai disepanjang jalan itu atau oleh perseorangan yang manapun; sebaliknya, orang mengejar kebenaran-kebenaran relatif yang dapat dicapai sepanjang jalan yang ditempuh oleh ilmu-ilmu positif dan menyimpulkan hasil-hasilnya lewat pemikiran dialektik. Bagaimanapun juga, dengan Hegel filsafat menemui akhirnya: disatu pihak, karena didalam sistimnya dia menyimpulkan seluruh perkembangan filsafat menurut cara yang amat mengagumkan; dan dipihak lain, karena meskipun secara tidak sadar, dia menunjukkan kepada kita jalan keluar dari tempat menyesatkan berupa sistim-sistim kepengetahuan positif yang sesungguhnya tentang dunia.

Orang dapat membayangkan betapa besarnya pengaruh sistim Hegel itu terhadap iklim Jerman yang bercorak filsafat itu. la merupakan pawai kemenangan yang berlangsung berabad-abad lamanya dan yang sama sekali tidak berhenti dengan wafatnya Hegel. Sebaliknya, justru dari tahun 1830 sampai dengan 1840-lah bahwa “Hegelianisme” berkuasa secara amat eksklusif, dan sampai batas yang kurang-lebih besar menulari bahkan lawan-lawannya. Justru di dalam periode itulah pendirian-pendirian Hegelian, secara sadar maupun tidak sadar, dengan amat luasnya menyusup ke dalam ilmu-ilmu yang amat beranekaragam dan menyuburkan bahkan literatur populer dan harian-harian, dari mana “kesadaran terpelajar” rata-rata mendapatkan makanan mentalnya. Tetapi kemenangan di seluruh front itu hanyalah merupakan pendahuluan bagi suatu perjuangan intern.

Seperti sudah kita lihat, ajaran Hegel, dalam keseluruhanya, menyisakan cukup ruang untuk memberikan perlindungan kepada pendirian praktis partai yang amat banyak anekaragamnya. Dan di Jerman teoritis waktu itu, di atas segala-galanya dua hal adalah praktis: agama dan politik. Siapa yang memberikan tekanan utama pada sistim Hegel dapat menjadi agak konservatif di kedua bidang; siapa yang menganggap metode dialektiknya sebagai hal yang utama dapat tergolong ke dalam oposisi yang amat ekstrim, baik di lapangan politik maupun di lapangan agama. Hegel sendiri, meskipun terdapat cetusan-cetusan amarah revolusioner yang agak sering di dalam karya-karyanya, dalam keseluruhannya kelihatan seolah-olah cenderung pada segi konservatifnya. Memang, jika dibandingkan dengan metodenya sistimnya telah dibayarnya dengan penyumbatan mental yang ketat yang lebih banyak. Kearah akhir tahun-tahun tigapuluhan, keretakan di dalam aliran ini menjadi semakin nyata. Sayap kiri, apa yang disebut kaum Hegelian Kiri, dalam perjuangan mereka melawan kaum ortodoks pietis [1-3] serta kaum reaksioner feodal, sedikit demi sedikit meninggalkan sikap membatasi diri yang secara filsafat berbudi mengenai masalah terhangat pada waktu itu, masalah yang hingga saat itu ditenggang oleh negara dan bahkan ajaran-ajaran mereka mendapat perlindungan. Dan ketika, dalam tahun 1840, pietisme ortodoks dan reaksi feodal absolut naik takhta bersama-sama dengan Friedrikh Wilhelm IV, pemihakan terbuka tak dapat dihindari. Perjuangan itu berlangsung terus dengan menggunakan senjata filsafat, tetapi bukan lagi untuk tujuan-tujuan filsafat yang abstrak, perjuangan itu langsung diarahkan untuk menghancurkan agama tradisionil dan eksistensi negara. Dan semeiitara di dalam Deutskhe Jahrbiikher [1-4] tujuan praktis masih secara menonjol diajukan dengan memakai kedok filsafat, di dalam Rheiniskhe Zeitung tahun 1842 mazhab Hegelian Kiri langsung menampakkan dirinya sebagai filsafat burjuasi radikal yang sedang penuh dengan cita-cita dan menggunakan jubah filsafat yang sayup hanya untuk menipu sensur.

Tetapi, pada waktu itu, politik merupakan lapangan yang penuh dengan duri., dan maka itu perjuangan utama ditujukan terhadap agama; perjuangan itu, terutama sejak tahun 1840, secara tidak langsung adalah juga poilitis. Tulisan Strauss Kehidupan Jesus yang diterbitkan dalam tabun 1835, telah memberikan dorongan pertama. Teori yang dikembangkan di dalamnya tentang terjadinya mitos di dalam kitab-kitab injil kemdian diserang oleh Bruno Bauer dengan pembuktian bahwa seluruh seri ceritera-ceritera penjyebaran agama Nasrani itu telah direka-reka oleh penulis-penulisnya sendiri. Pertentangan antara keduanya berlangsung dengan berkedokkan filsafat, berupa perjuangan antara “kesadaran diri” dan “zat”. Masalah apakah cerita-cerita mujizat di dalam kitab injil terjadi lewat penciptaan mitos yang tradisionil di dalam lapisan tak sadar ditengah-tengah masyarakat atau apakah ia direka-reka oleh penginjil-penginjil itu sendiri dibesarkan menjadi masalah apakah, di dalam sejarah dunia, “zat” atau “kesadaran-diri” merupakan kekuatan operatif yang menentukan. Akhirnya datanglah Stirner, nabi anarkisme zaman itu - Bakunin telah mengambil banyak betul dari dia - dan menutupi “kesadaran-diri” yang sovereign itu dengan “ego”nya [1-5] yang sovereign.

Kita tidak akan memasuki lebih lanjut segi proses kehancuran aliran Hegelian ini. Yang lebih penting bagi kita ialah hal yang berikut init: bagian terbesar dari kaum Hegelian Muda yang amat teguh, oleh kebutuhan praktis perjuangannya melawan agama positif, didorong kembali ke materialisme Inggris-Perancis. Hal itu membikin mereka berkonflik dengan sistim aliran mereka sendiri. Sedangkan materialisme berpendapat bahwa alam adalah satu-satunya realitet, menurut sistim Hegel alam hanyalah “penjelmaan” ide absolut, dalam kata lain degradasi dari ide. Bagaimanapun, pemikiran dan hasil-pemikiran itu, ide, disini adalah primer, alam derivatifnya, yang hanya ada akibat rahmat ide. Dan dikontradiksi itu mereka menggerapai-gerapai sebaik dan sejelek yang dapat mereka lakukan.

Kemudian muncul Hakekat Agama Kristen [1-6] tulisan Feuerbach. Dengan satu pukulan buku itu meniadakan kontradiksi tsb., yaitu tanpa berbelit-belit dia menempatkan materialisme kembali di atas takhta. Alam ada lepas dari semua filsafat. Alam adalah dasar yang diatasnya kita umat manusia - kita sendiri adalah hasil alam telah tumbuh. Tidak ada yang ada diluar alam dan makhluk halus yang diciptakan oleh fantasi agama kita hanyalah pencerminan - fantastik dari hakekat kita sendiri. Kesaktiannya lenyap; “sistim” itu meledak dan dilemparkan ke samping, dan kontradiksi itu, yang ditunjukkan ada hanya di dalam khayal kita, telah diselesaikan. Untuk mempunyai gambaran tentang buku itu orang harus mengalami sendiri pengaruhnya yang membebaskan. Kegairahan adalah umum; kita semua segera menjadi Fuerbachian. Betapa bergairahnya Marx menyambut konsepsi baru itu dan seberapa banyaknya - meskipun terdapat pembatasan-pembatasan yang bersifat kritik - dia dipengaruhi oleh buku itu, dapat dibaca di dalam bukunya Keluarga Suci. [1-7]

Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada buku itu pun memberikan sumbangan terhadap pengaruhnya yang segera. Gayanja-yang literer, kadang-kadang bahkan melonjak tinggi, mendapatkan pembaca yang banyak dan bagaimanapun merupakan seguatu yang menyegarkan setelah bertahun-tahun lamanya berfilsafat Hegelian yang abstrak dan sulit. Hal yang sama berlaku bagi pendewaannya yang boros terhadap cinta, yang, tampil sesudah kekuasaan berdaulat yang tak dapat dibiarkan sekarang ini dari “akal murni”, mempunyai permaafannya, jika bukan pembenarannya. Tetapi harus tidak kita lupakan ialah bahwa justru dua kelemahan Feuerbach itu, yaitu bahwa “Sosialisme sejati”, yang sejak tahun 1844 telah meluas bagaikan penyakit pes di Jerman “terpelajar”, mengambil sebagai titik-tolaknya, penggantian pengetahuan ilmiah dengan kalimat-kalimat literer, pembebasan umat manusia lewat “cinta” sebagai ganti pembebasan proletariat lewat perubahan ekonomi dari produksi - singkatnya, menenggelamkan dirinya di dalam tulisan baik yang memualkan dan di dalam keasyikan cinta-cinta yang khas Herr Karl Grun.

Hal lain yang semestinya tidak kita lupakan ialah aliran Hegelian berantakan, tetapi filsafat Hegelian tidak teratasi lewat kritik; Strauss dan Bauer masing-masing mengambil satu seginya dan secara polemik mempertentangkan segi itu terhadap segi yang lain. Feuerbach mendobrak sistim itu dan dengan begitu saja melemparkannya. Tetapi sesuatu filsafat tidak dikesampingkan dengan hanya mengatakan bahwa ia palsu. Dan karya yang begitu perkasa seperti filsafat Hegel, yang telah mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap perkembangan intelektuil bangsa, tidak bisa dilemparkan ke samping dengan hanya mengabaikannya. Ia harus “disangkal” menurut artinya sendiri, yaitu dalam arti bahwa disamping bentuknya harus ditiadakan lewat kritik, isi baru yang telah dicapai lewat filsafat itu harus diselamatkan. Bagaimana hal itu terwujud akan kita lihat dibawah ini.

Tetapi, sementara itu, Revolusi 1848 tanpa upacara mengesampingkan seluruh filsafat itu persis seperti juga Feuerbach tanpa upacara telah mengesampingkan Hegel.. Dan dalam prosesnya Feuerbach sendiri didesak juga ke belakang.


Catatan

[1-1] Ludwig Feuerbach, oleh K.N. Starcke, Ph.D, Stuttgart. Ferd. Enke, 1885. (catatan Engels).

[1-2] Dalam fikiran Engels terlintas catatan Heine tentang revolusi filsafat Jerman yang terdapat di dalam sketsa Heine Zur Geskhikhie der Religion und Philosophie in Deutskhland (Tentang Sejarah Agama dan Filsafat di Jerman), ditulis dalam tahun 1833. - red.

[1-3] pietis = orang yang amat saleh.

[1-4] Deutskhe Jahrbiikher fur Wissenskhaft und Kunst (Majalah Tahunan Jerman untuk ilmu dan seni), organ kaum Hegelian Muda yang redaksinya dipimpin oleh A. Ruge dan T. Ekhtermeyer, dan diterbitkan di Leipzig dari tahun 1841 sampai 1843. - red.

[1-5] Yang dimaksud Engels ialah tulisan Max Stirner (nama samaran Kaspar Skhmidt) Der Einzige und Sein Eigentum yang terbit dalam tahun 1845. - red.

[1-6] Tulisan Feuerbach Das Wesen des Christentums (Hakekat Agama Kristen) terbit di Leipzig dalam tahun 1841. - red.

[1-7] Judul lengkap buku Marx dan Engels ini ialah Die Heilige Familie oder Kritik der kritiskhen Kritik. Gegen Bruno Bauer und Konsorten (Keluarga Suci, atau Kritik terhadap Kritik yang kritis. Menentang Bruno Bauer dkk). Mulanya diterbitkan di Frankfurt Main dalam tahun 1845. - red.