Peran Individu Dalam Sejarah

G.V. Plekhanov (1898)


Diterbitkan pertama kalinya di jurnal Nauchnoye Obozreniye, No. 3 & 4, 1898.

Sumber: Georgi Plekhanov Selected Philosophical Works Volume II. Progress Publishers, Moscow, 1973. hal. 283-315.

Penerjemah: Ted Sprague (30 September 2010; Revisi 8 November 2022)


I

Pada paruh kedua tahun tujuh puluhan [1870], almarhum Kablitz menulis sebuah esai berjudul: "Intelek dan Perasaan sebagai Faktor-Faktor Progres", di mana, mengacu pada Spencer, dia mengajukan bahwa perasaan memainkan peran utama dalam progres umat manusia, dan bahwa intelek hanya memainkan peran sekunder, dan bahkan cukup subordinat. Seorang "sosiolog terhormat"[1] menjawab Kablitz, mengekspresikan rasa geli dan keterkejutan pada sebuah teori yang menempatkan intelek di tempat kedua. "Sosiolog terhormat" ini tentu saja benar dalam membela intelek. Akan tetapi, dia akan lebih benar lagi bila saja dia, tanpa mengkaji esensi masalah yang dikemukakan oleh Kablitz, menunjukkan bahwa metode presentasinya adalah mustahil dan tak bisa diterima. Memang, teori "faktor-faktor" pada dasarnya dangkal, karena teori ini secara arbitrer memilih berbagai aspek kehidupan sosial, membuat mereka menjadi hipostasis [substansi fundamental yang mendasari hal-ihwal], dan mengubah mereka menjadi kekuatan-kekuatan yang unik, yang dari berbagai sisi dan dengan kesuksesan yang tak sama mendorong manusia sepanjang jalur progres. Tetapi teori ini bahkan lebih dangkal dalam bentuk yang dipresentasikan oleh Kablitz, yang mengubah bukan berbagai aspek aktivitas manusia sosial, tetapi berbagai ranah kesadaran manusia yang individual, menjadi hipostasis sosiologis yang unik. Sungguh ini adalah limit abstraksi yang paling ekstrem; lebih dari ini tidak seorang pun dapat melampauinya, karena di seberang sana terletak kerajaan absurditas yang teramat konyol. Sang "sosiolog terhormat" itu seharusnya menarik perhatian Kablitz dan para pembacanya ke sini. Mungkin, setelah mengungkapkan labirin abstraksi yang ditempuh oleh Kablitz dalam usahanya untuk mencari "faktor" utama dalam sejarah, sang "sosiolog terhormat" itu dapat berkontribusi pada kritik terhadap teori faktor-faktor. Ini akan sangat berguna bagi kita semua pada saat itu. Tetapi dia tidak mampu memenuhi misi ini karena dia sendiri percaya pada teori tersebut, dan dia berbeda dari Kablitz hanya dalam kecenderungannya pada eklektisme, dan oleh karenanya baginya semua "faktor-faktor" tampak sama pentingnya. Lebih lanjut, watak eklektik pemikirannya menemukan ekspresinya yang mencolok dalam serangannya terhadap materialisme dialektis, yang dia anggap sebagai sebuah doktrin yang mengorbankan semua faktor-faktor lain demi "faktor" ekonomi dan mereduksi peran individu dalam sejarah menjadi nol. Tidak pernah terbayangkan oleh sang "sosiolog terhormat" ini bahwa sudut pandang "faktor-faktor" adalah asing bagi materialisme dialektis, dan hanya orang yang sama sekali tidak mampu berpikir secara logis dapat menemukan dalam materialisme dialektis pembenaran terhadap apa-yang-disebut quietisme[2] [Kepercayaan Kristen yang mengajarkan umatnya untuk mencampakkan kehendak bebas, menjadi pasif, agar bisa menyerah sepenuhnya pada takdir ilahi]. Selain itu, kekeliruan yang dibuat oleh "sosiolog terhormat" kita ini bukanlah sesuatu yang unik; banyak orang sudah membuat kekeliruan yang sama, sedang membuatnya, dan mungkin, akan terus membuatnya.

Kaum Materialis telah dituduh condong ke quietisme bahkan sebelum mereka selesai menyusun konsepsi dialektis mereka mengenai Alam dan sejarah. Tanpa terlalu jauh-jauh menengok ke masa lalu, kita dapat mengingat polemik antara dua ilmuwan Inggris ternama, Joseph Priestley dan Richard Price. Menganalisis teori Priestley, Price berargumen bahwa materialisme tidaklah kompatibel dengan konsep kebebasan, dan bahwa materialisme mengesampingkan semua aktivitas mandiri oleh individu. Dalam jawabannya, Priestley mengacu pada pengalaman sehari-hari. Dia menulis: "Saya tidak perlu berbicara mengenai diri saya sendiri, yang jelas bukan orang yang paling apatis dan tak bergairah; justru orang-orang yang percaya pada doktrin keniscayaan adalah orang-orang yang paling bergairah, paling aktif, paling berenergi dan gigih dalam mengejar tujuan yang teramat penting." Priestley berbicara mengenai sekte agama demokratis[3] yang saat itu dikenal dengan nama Kristen Keniscayaan[4]. Kami tidak tahu apakah sekte ini seaktif seperti yang dibayangkan oleh Priestley, yang merupakan anggota sekte ini. Tetapi ini tidak penting. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa konsepsi materialis mengenai kehendak manusia adalah kompatibel dengan aktivitas praktis yang paling berenergi. Gustave Lanson mengatakan "semua doktrin yang paling menuntut pengerahan kehendak manusia akan menyatakan, secara prinsipil, bahwa kehendak manusia adalah impoten; mereka menyangkal kebebasan dan menundukkan dunia pada fatalisme."[5] Lanson keliru dalam berpikir bahwa setiap penyangkalan atas apa yang disebut kehendak bebas akan mengarah ke fatalisme; tetapi ini tidak mencegahnya dari mengakui sebuah fakta sejarah yang sangat menarik: memang, sejarah menunjukkan bahwa bahkan fatalisme tidak selalu menjadi penghalang atas aksi yang energetik dan praktis; sebaliknya, dalam epos tertentu, fatalisme adalah basis psikologi yang esensial untuk aksi semacam itu. Untuk membuktikan ini, kami akan menunjuk pada kaum Puritan, yang energinya melampaui semua kelompok lainnya di Inggris pada abad ke-17, dan para pengikut Nabi Muhammad, yang dalam waktu pendek menundukkan wilayah yang sangat luas dari India hingga Spanyol. Bila ada yang berpikir bahwa keinsafan akan keniscayaan serangkaian peristiwa membuat kita tidak mampu secara psikologis untuk merealisasikan atau mencegah peristiwa-peristiwa tersebut, maka mereka sangatlah keliru.[6]

Di sini, semua tergantung pada apakah aktivitas saya membentuk sebuah tautan esensial dalam rantaian peristiwa-peristiwa yang tak terelakkan. Bila iya, maka saya akan lebih mantap dan tindakan-tindakan saya akan lebih teguh. Tidak ada yang mengejutkan di sini: ketika kami mengatakan bahwa seorang individu tertentu menganggap aktivitasnya sebagai sebuah tautan esensial dalam rantaian peristiwa-peristiwa yang tak terelakkan, maksud kami, di antara lainnya, adalah bagi individu ini ketiadaan kehendak bebas berarti ketidakmampuan untuk tidak bertindak, dan ketiadaan kehendak bebas ini terefleksikan dalam pikirannya sebagai kemustahilan untuk bertindak berbeda dari apa yang dilakukannya sekarang. Inilah cara pandang yang dapat diekspresikan oleh ujaran terkenal Martin Luther: "Hier stehe ich, ich kaan nicht anders" [Di sini saya berdiri, saya tidak dapat melakukan yang lainnya]; inilah mengapa manusia menunjukkan energi yang tak terhingga dan meraih pencapaian-pencapaian yang paling luar biasa. Hamlet[7] tidak pernah memiliki cara pandang ini, dan inilah mengapa dia hanya bisa mengeluh dan merenung. Dan inilah mengapa Hamlet tidak akan pernah bisa menerima sebuah filsafat yang mengatakan kebebasan hanyalah keniscayaan yang telah berubah menjadi kesadaran. Seperti yang dikatakan oleh Fichte: "Orangnya begitu, filsafatnya juga begitu."

II

Ada orang yang menganggap serius pernyataan Stammler mengenai apa yang dia sebut kontradiksi tak-terdamaikan yang menurutnya inheren dalam sebuah teori sosial-politik Eropa-Barat tertentu [Marxisme]. Kami merujuk ke contohnya mengenai gerhana bulan. Pada kenyataannya, ini adalah contoh yang sangat konyol. Tindakan manusia bukanlah, dan tidak akan bisa menjadi, salah satu syarat yang diperlukan untuk gerhana bulan; untuk alasan ini saja, sebuah partai yang bertujuan memfasilitasi gerhana bulan hanya dapat didirikan di rumah sakit jiwa. Bahkan bila tindakan manusia merupakan salah satu syarat untuk gerhana bulan, bagi orang-orang yang berhasrat menyaksikan fenomena gerhana bulan tetapi mereka yakin ini pasti akan terjadi tanpa bantuan apapun dari mereka, mereka tidak akan bergabung dengan partai gerhana bulan. Dalam hal ini, "quietisme" mereka berarti menjauhi tindakan yang mubazir, atau tidak berguna, dan tidak ada hubungannya dengan quietisme yang sesungguhnya. Supaya contoh gerhana bulan ini dapat menjadi masuk akal dalam kasus yang kita sebut di atas, maka contoh ini harus dirombak sepenuhnya. Kita harus membayangkan bahwa sang bulan dianugerahi dengan kesadaran, dan bahwa posisinya di angkasa yang menyebabkan gerhana tampak baginya sebagai buah penentuan kehendak bebasnya sendiri; dan bahwa ini tidak hanya memberinya kepuasan yang besar, tetapi juga diperlukan demi kedamaian hatinya, dan oleh sebab itu dia selalu dengan bergairah mencoba menduduki posisi itu.[8] Setelah membayangkan ini semua, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: Apa yang akan dirasakan oleh sang bulan bila dia akhirnya menemukan bahwa gerakannya di angkasa tidaklah ditentukan oleh kehendak bebas ataupun "cita-citanya", tetapi, sebaliknya, gerakannya menentukan kehendaknya dan "cita-citanya"? Menurut Stammler, penemuan semacam ini akan membuatnya tidak mampu bergerak, kecuali bila dia mampu membebaskan dirinya dari kesulitan ini dengan kontradiksi logika tertentu. Tetapi asumsi semacam ini tidak berdasar sama sekali. Benar, penemuan ini dapat menjadi alasan formal untuk emosi buruknya, kekacauan moral dalam dirinya, kontradiksi antara "cita-citanya" dan realitas mekanikal. Tetapi karena kita mengasumsikan bahwa, secara keseluruhan, "kondisi psikologi sang bulan" secara umum ditentukan pada analisa terakhir oleh gerakannya, maka penyebab kekacauan dalam benaknya harus dicari dari gerakan itu. Setelah pemeriksaan yang seksama, mungkin ditemukan bahwa ketika bulan berada pada titik apoge [titik terjauh bulan terhadap bumi], dia merasa sedih karena kehendaknya tidaklah bebas; dan ketika dia berada di titik perige [titik terdekat bulan terhadap bumi], situasi yang sama ini menjadi sebab baru dan formal untuk kedamaian hati dan kebahagiaannya. Mungkin, yang sebaliknya dapat terjadi: mungkin ini membuktikan sang bulan telah menemukan cara untuk mendamaikan kehendak bebas dengan keniscayaan, bukan di titik perigenya, tetapi di titik apogenya. Bagaimanapun juga, penyelesaian semacam itu jelas mungkin; keinsafan akan keniscayaan cukup kompatibel dengan aksi praktis yang paling energetik. Setidaknya, ini telah dibuktikan oleh sejarah sampai hari ini. Orang-orang yang menyangkal kehendak bebas sering kali memiliki kebulatan tekad yang jauh melampaui orang-orang sezamannya dan mereka paling menuntut kebulatan tekad. Sudah banyak contohnya. Mereka diketahui luas. Contoh-contoh ini bisa dilupakan, seperti yang telah dilakukan oleh Stammler, hanya bila orang sengaja enggan melihat kenyataan sejarah sebagaimana adanya. Keengganan ini begitu mengakar, misalnya, di antara kaum subjektivis, dan juga di antara kaum filistin Jerman. Namun, kaum filistin dan subjektivis bukanlah manusia, mereka hanyalah bayangan, seperti yang akan dikatakan oleh Belinsky.

Namun, mari kita teliti lebih dekat kasus di mana aksi seorang individu – di masa lalu, masa kini, atau masa depan – tampak baginya diwarnai sepenuhnya oleh keniscayaan. Kita sudah tahu bahwa individu seperti ini, seperti misalnya Nabi Muhammad, yang menganggap dirinya sebagai utusan Tuhan, atau seperti Napoleon, yang menganggap dirinya terpilih oleh takdir yang tidak dapat dihindari, atau seperti sejumlah tokoh ternama pada abad ke-19, yang menganggap dirinya sebagai ekspresi kekuatan progres sejarah yang tak terbendung, menunjukkan kekuatan kehendak yang begitu kuat, dan menyapu dengan mudahnya semua rintangan yang didirikan oleh orang-orang picik seperti Hamlet dan Hamletkin[9],[10]. Tetapi kasus ini sekarang menjadi menarik dari sudut pandang lain, yakni: ketika keinsafan akan ketiadaan kehendak bebas saya menunjukkan dirinya pada saya hanya dalam bentuk kemustahilan subjektif dan objektif untuk bertindak berbeda dari apa yang sedang saya lakukan, dan ketika, pada saat yang sama, tindakan-tindakan saya bagi saya adalah tindakan yang paling diperlukan dari semua tindakan lainnya yang mungkin, maka dari itu di dalam pikiran saya keniscayaan menjadi teridentifikasi dengan kebebasan dan kebebasan teridentifikasi dengan keniscayaan; dan maka dari itu, saya tidak-bebas hanya dalam artian bahwa saya tidak dapat mengganggu keselarasan antara kebebasan dan keniscayaan ini, saya tidak dapat mempertentangkan mereka satu sama lain, saya tidak dapat merasakan belenggu keniscayaan. Tetapi ketiadaan kebebasan seperti ini pada saat yang sama merupakan manifestasinya yang paling penuh.

Simmel mengatakan bahwa kebebasan adalah selalu kebebasan dari sesuatu, dan ketika kebebasan tidak dipikirkan sebagai kebalikan dari belenggu, maka kebebasan tersebut tidak ada artinya. Tentu saja ini benar. Tetapi, kebenaran yang dangkal dan mendasar ini tidak bisa menjadi landasan untuk menolak sebuah tesis yang merupakan salah satu penemuan paling brilian dalam filsafat, yakni, bahwa kebebasan berarti keinsafan akan keniscayaan. Definisi Simmel terlalu sempit; ia hanya merujuk pada kebebasan dari belenggu eksternal. Selama kita hanya mendiskusikan belenggu seperti ini, maka akan sangat konyol untuk mengidentifikasikan kebebasan dengan keniscayaan: seorang pencopet tidak bebas untuk mencuri sapu tangan Anda bila Anda mencegahnya; hanya setelah dia mengatasi perlawanan Anda maka dia menjadi bebas untuk mencuri. Selain konsepsi kebebasan yang dasar dan dangkal ini, ada konsepsi lainnya yang jauh lebih dalam. Bagi mereka yang tidak mampu berpikir secara filosofis, konsep ini tidak eksis sama sekali; dan mereka yang mampu berpikir secara filosofis dapat memahaminya hanya setelah mereka menanggalkan dualisme mereka dan menyadari bahwa, berkebalikan dengan asumsi dualisme, tidak ada jurang antara subjek dan objek.

Kaum subjektivis Rusia mempertentangkan prinsip utopis mereka dengan realitas kapitalis kita, dan tidak melangkah lebih jauh dari pertentangan ini. Kaum subjektivis terjebak dalam lumpur dualisme. Cita-cita kaum subjektivis Rusia lebih menyerupai realitas kapitalis daripada prinsip "murid-murid" Rusia [kaum Marxis di Rusia]. Meskipun demikian, "murid-murid" ini telah menemukan sebuah jembatan yang menghubungkan cita-cita mereka dengan realitas. Sang "murid" telah mencapai tingkatan monisme[11]. Dalam pendapat mereka, dalam perkembangannya kapitalisme akan bergerak ke negasinya sendiri dan ke realisasi cita-cita mereka, yaitu cita-cita "murid-murid" Rusia – dan bukan hanya Rusia saja. Ini adalah keniscayaan sejarah. Sang "murid" berperan sebagai instrumen untuk keniscayaan ini dan mesti melakukan ini karena status sosialnya, dan karena konstruksi intelektual dan moralnya yang dibentuk oleh status sosialnya. Ini juga merupakan sebuah aspek keniscayaan. Tetapi karena status sosialnya telah membentuk karakter tertentu dan bukan yang lainnya, dia tidak hanya berperan sebagai instrumen keniscayaan dan mesti melakukan ini, tetapi dia juga berhasrat melakukan ini, dan mesti merasakan hasrat itu. Ini adalah aspek kebebasan, dan terlebih dari, aspek kebebasan yang telah tumbuh dari keniscayaan, dalam kata lain, lebih tepatnya, ini adalah kebebasan yang telah menjadi teridentifikasi dengan keniscayaan – ini adalah keniscayaan yang telah berubah menjadi kebebasan.[12] Kebebasan semacam ini juga merupakan kebebasan dari belenggu tertentu; ia juga adalah anti-tesis dari pembatasan tertentu: definisi yang mendalam tidak menyangkal definisi yang dangkal, tetapi, dalam melengkapinya, definisi mendalam mempertahankan yang dangkal di dalam dirinya. Tetapi belenggu macam apa, pembatasan macam apa, yang dipermasalahkan dalam kasus ini? Ini jelas: ini adalah masalah belenggu moral yang mengekang energi orang-orang yang belum menanggalkan dualisme; belenggu yang diderita oleh orang-orang yang belum mampu menjembatani jurang antara cita-cita dan realitas. Sampai individu tersebut dapat memenangkan kebebasan ini dengan terobosan yang berani dalam pemikiran filsafat, dia tidak sepenuhnya bebas, dan penderitaan moralnya adalah bayarannya untuk keniscayaan eksternal yang dihadapinya. Tetapi segera setelah individu ini menanggalkan rantai belenggu yang menyakitkan dan memalukan ini, dia akan lahir ke dalam sebuah kehidupan yang baru, sempurna, dan yang tidak pernah dia kenali; dan aktivitas bebasnya akan menjadi ekspresi keniscayaan secara sadar dan bebas.[13] Kemudian dia akan menjadi sebuah kekuatan sosial yang besar; dan tidak ada yang bisa, dan tidak ada yang akan, menghalanginya dari:

Menghancurkan dusta yang keji

Seperti badai kemurkaan surga ...

III

Sekali lagi: keinsafan akan keniscayaan yang absolut dari sebuah fenomena tertentu hanya dapat meningkatkan energi seseorang yang bersimpati dengan fenomena tersebut dan yang menganggap dirinya sebagai salah satu kekuatan yang melahirkannya. Bila manusia semacam ini, yang sadar akan keniscayaan fenomena ini, berpangku tangan dan tidak melakukan apa-apa, dia akan menunjukkan dia tidak memahami aritmetika. Mari kita bayangkan bahwa fenomena "A" akan terjadi di bawah syarat-syarat tertentu "S". Kamu telah membuktikan kepada saya bahwa sebagian dari syarat-syarat ini telah terpenuhi, dan sebagian lainnya akan terpenuhi dalam waktu tertentu "T". Karena yakin dengan ini, saya, seorang yang bersimpati dengan fenomena "A", menyatakan: "Baiklah!" dan lalu pergi tidur sampai hari-H peristiwa yang telah kamu ramalkan. Apa hasilnya? Hasilnya demikian: dalam perhitunganmu, total syarat-syarat "S" yang diperlukan untuk merealisasikan fenomena "A" juga mengikutsertakan aktivitas saya, yang katakanlah setara dengan "a". Namun, karena saya tidur lelap, jumlah total syarat-syarat yang dibutuhkan untuk fenomena tersebut pada waktu "T" akan menjadi "S-a", dan bukan "S", yang mengubah situasi ini. Mungkin tempat saya akan diambil oleh orang lain, yang juga sebelumnya tidak melakukan apapun, tetapi kemudian terdorong untuk bertindak setelah menyaksikan sikap masa bodoh saya, yang menurutnya sangat mengejutkan. Dalam kasus ini, kekuatan "a" akan digantikan oleh kekuatan "b", dan bila "a" adalah sama dengan "b" (a=b), maka jumlah total syarat-syarat untuk "A" akan masih sama dengan "S", dan fenomena "A" tetap akan terjadi pada waktu "T"

Tetapi bila kekuatan saya tidak bisa dianggap setara dengan nol, bila saya adalah seorang pekerja yang bertalenta dan mampu, dan tidak ada yang menggantikan saya, maka kita tidak akan memiliki jumlah total "S" yang penuh, dan fenomena "A" akan terjadi lebih terlambat daripada yang kita asumsikan, atau tidak sepenuhnya seperti yang kita harapkan, atau bahkan tidak akan terjadi sama sekali. Ini sangat jelas. Bila saya tidak memahami ini, bila saya berpikir bahwa "S" akan tetap menjadi "S" bahkan setelah saya mangkir, ini hanya karena saya tidak bisa menghitung. Tetapi apakah saya adalah satu-satunya orang yang tidak bisa menghitung? Kamu, yang meramalkan bahwa jumlah total "S" akan terpenuhi setelah waktu "T", tidak meramalkan bahwa saya akan tidur segera setelah percakapan saya dengan kamu; kamu yakin bahwa saya akan tetap menjadi pekerja yang baik hingga akhir; kamu ternyata mengandalkan kekuatan yang lebih tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kamu juga keliru dalam perhitunganmu. Tetapi mari kita anggap bahwa kamu tidak membuat kesalahan apapun, dan telah memperhitungkan segalanya. Dalam hal ini, perhitunganmu akan mengambil bentuk seperti ini: kamu mengatakan bahwa, pada waktu "T", jumlah "S" akan terpenuhi. Jumlah total syarat-syarat ini akan mengikutsertakan pembelotan saya sebagai besaran negatif; dan ini juga akan mengikutsertakan, sebagai besaran positif, dorongan terhadap orang-orang berpendirian-kuat oleh keyakinan bahwa perjuangan dan cita-cita mereka adalah ekspresi subjektif dari keniscayaan subjektif. Dalam hal ini, jumlah total "S" pada akhirnya akan terpenuhi pada waktu yang telah kamu tunjuk, dan fenomena "A" akan terjadi. Saya pikir ini jelas. Tetapi bila ini jelas, mengapa saya dibuat bingung oleh keniscayaan fenomena "A"? Mengapa bagi saya keniscayaan ini melumpuhkan saya? Mengapa, dalam mendiskusikannya, saya melupakan hukum sederhana aritmetika? Mungkin karena bagaimana saya dibesarkan, saya sudah sangat cenderung tidak acuh, dan percakapan saya dengan kamu bagai jerami terakhir yang mematahkan punggung unta. Hanya dalam pengertian ini – sebagai penyebab yang mengungkapkan kegoyahan dan ketidakcocokan moral saya – kesadaran akan keniscayaan memainkan peran. Ini tidak dapat dianggap sebagai penyebab kegoyahan moral saya. Penyebabnya bukan itu, tetapi bagaimana saya dibesarkan. Oleh karenanya, aritmetika adalah ilmu yang sangat berguna, yang hukumnya tidak boleh dilupakan bahkan dan terutama oleh kaum filsuf.

Tetapi bagaimana keinsafan akan keniscayaan sebuah fenomena tertentu dapat mempengaruhi seorang yang berpendirian yang tidak bersimpati dengan fenomena tersebut dan menolak kehadirannya? Di sini situasinya agak berbeda. Sangatlah mungkin ini akan melemahkan semangat perlawanannya. Tetapi kapan dia menjadi yakin bahwa fenomena ini adalah tidak terelakkan? Ketika syarat-syarat yang mendukungnya menjadi sangat banyak dan sangat kuat. Oponen yang menjadi sadar akan keniscayaan ini, dan melemahnya energi mereka, tidaklah lebih dari manifestasi kekuatan syarat-syarat yang mendukung fenomena tersebut. Manifestasi semacam ini, pada gilirannya, adalah bagian dari syarat-syarat yang mendukungnya.

Tetapi semangat perlawanan tidak akan melemah di antara semua oponennya. Di antara beberapa dari mereka, semangat perlawanan mereka akan menjadi lebih kuat karena mereka menginsafi keniscayaan fenomena tersebut; ini kemudian berubah menjadi semangat keputusasaan. Sejarah umumnya dan sejarah Rusia khususnya menyediakan banyak contoh mengenai semangat macam ini. Kami harap para pembaca dapat mengingat contoh-contoh ini tanpa bantuan kami.

Di sini kami diinterupsi oleh Tn. Kareyev. Dia tentu saja tidak setuju dengan pandangan kami mengenai kebebasan dan keniscayaan dan, terlebih lagi, tidak setuju dengan keberpihakan kami pada "langkah-langkah ekstrem" yang ditempuh oleh orang-orang yang penuh gairah dan berpendirian. Kendati demikian, dia setuju dengan apa yang kami tulis di jurnal kami bahwa individu dapat menjadi kekuatan sosial yang besar. Profesor ini dengan riang mengatakan: "Saya sedari awal sudah mengatakan ini!" Memang benar, Tn. Kareyev dan semua kaum subjektivis, selalu memberi peran yang teramat penting kepada individu dalam sejarah. Ada masanya ketika gagasan mereka ini memperoleh simpati yang cukup besar di antara kaum progresif muda, yang dipenuhi dengan kehendak luhur untuk bekerja demi kebaikan publik dan, oleh karenanya, sewajarnya cenderung memberikan signifikansi yang besar pada inisiatif individual. Akan tetapi, pada dasarnya, kaum subjektivis tidak pernah mampu menyelesaikan, dan bahkan tidak mampu memformulasikan dengan baik, masalah peran individu dalam sejarah. Mereka mengontraskan "aktivitas oleh individu yang berpikiran kritis" dengan dampak hukum perkembangan sosio-historis, dan dengan demikian menciptakan sebuah variasi baru teori faktor: individu yang berpikiran kritis adalah salah satu faktor perkembangan ini, dan hukum perkembangan sosio-historis adalah faktor lainnya. Ini menciptakan sebuah keganjilan yang begitu mencolok, yang dapat diterima selama "individu-individu" yang aktif ini memusatkan perhatian mereka pada problem sehari-hari yang mendesak dan oleh karenanya mereka tidak punya waktu luang untuk merenungkan problem-problem filsafat. Tetapi masa tenang pada tahun 1880an memberi mereka yang mampu berpikir waktu luang untuk merenungkan filsafat; semenjak itu, doktrin subjektivis mengalami keretakan di mana-mana, bahkan luluh lantak seperti mantel Akaky Akakievich[14]. Tidak ada tambalan apapun yang dapat memperbaikinya, dan satu persatu orang-orang yang mampu berpikir mulai menolak subjektivisme sebagai doktrin yang jelas-jelas tidak kokoh. Tetapi seperti yang biasa terjadi dalam kasus seperti ini, reaksi melawan doktrin ini telah membawa beberapa oponen subjektivisme ke kutub ekstrem lainnya. Sementara beberapa kaum subjektivis, yang berusaha menganugerahi peran yang paling luas kepada "individu-individu" dalam sejarah, telah menolak mengakui perkembangan historis umat manusia sebagai proses yang diatur oleh sebuah hukum, beberapa oponen mereka baru-baru ini, yang telah mencoba memperjelas hukum yang mengatur perkembangan umat manusia, justru siap melupakan bahwa sejarah dibuat oleh manusia, dan oleh karenanya aktivitas individu jelas signifikan dalam sejarah. Mereka telah menyatakan, individu adalah kuantitas yang dapat diabaikan. Posisi ekstrem ini adalah teori yang tidak dapat diterima, sama halnya dengan posisi yang diambil oleh kaum subjektivis yang lebih fanatik. Bila kita mengorbankan tesis demi anti-tesis, ini tidak berlandasan seperti halnya kita melupakan anti-tesis demi tesis. Cara pandang yang tepat dapat ditemukan hanya ketika kita berhasil memadukan unsur-unsur kebenaran yang terkandung di dalam mereka menjadi sebuah sintesa.[15]

IV

Masalah ini telah menarik perhatian kami untuk waktu yang cukup lama, dan kami telah lama ingin mengundang para pembaca kami untuk bergabung dengan kami untuk menyelesaikannya. Akan tetapi, kami terhalangi oleh satu kekhawatiran: tampaknya para pembaca kami telah menyelesaikan masalah ini dengan sendirinya, dan undangan kami akan terlambat. Kekhawatiran kami sekarang telah terbukti salah. Para sejarawan Jerman telah menghilangkan kekhawatiran ini untuk kami. Kami cukup serius dalam mengatakan ini. Belakangan ini ada kontroversi yang cukup hangat yang telah berlangsung di antara sejarawan Jerman mengenai orang-orang hebat dalam sejarah. Beberapa telah cenderung menganggap aktivitas politik orang-orang hebat ini sebagai kekuatan pendorong utama – dan bahkan hampir satu-satunya – dalam perkembangan sejarah. Sementara, sejarawan lainnya telah menekankan bahwa cara pandang semacam ini berat-sebelah, dan bahwa ilmu sejarah harus mengkaji, tidak hanya aktivitas orang hebat, dan tidak hanya sejarah politik, tetapi juga totalitas kehidupan sejarah (das Ganze des geschichtilichen Lebens). Salah satu perwakilan dari tendensi yang belakangan ini adalah Karl Lamprecht, penulis Sejarah Orang Jerman, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia oleh P. Nikolayev. Oponen Lamprecht menuduhnya sebagai kaum "kolektivis" dan materialis; dia bahkan dicerca sebagai "kaum ateis Sosial-Demokratik". Dalam memeriksa pandangan Lamprecht, kami menemukan bahwa tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke cendekiawan yang malang ini sama sekali tak berlandasan. Pada saat yang sama, kami menyadari bahwa para sejarawan Jerman hari ini tidak mampu memecahkan masalah peran individu dalam sejarah. Kami kemudian memutuskan, kami berhak berasumsi bahwa masalah ini belumlah terpecahkan pula bagi sejumlah pembaca kami di Rusia, dan bahwa masih ada yang bisa ditulis mengenainya, yang akan memiliki signifikansi teoritis dan praktis.

Lamprecht mengumpulkan pandangan negarawan-negarawan terkemuka mengenai pengaruh aktivitas mereka dalam sejarah di masa mereka. Dalam polemiknya dia merujuk pada sejumlah pidato dan opini Bismarck. Dia mengutip kalimat-kalimat berikut ini, yang diutarakan oleh sang Kanselir Besi di gedung Reichstag Jerman Utara pada 16 April 1869:

"Saudara-saudara, kita tidak dapat mengabaikan sejarah masa lalu atau menciptakan masa depan. Saya ingin memperingatkan kalian mengenai kekhilafan yang menyebabkan orang memajukan jarum jam mereka, karena mereka berpikir dengan demikian mereka dapat mempercepat laju waktu. Pengaruh saya terhadap peristiwa-peristiwa yang menguntungkan saya biasanya dilebih-lebihkan; tetapi tidak pernah terlintas di pikiran siapapun untuk menuntut saya harus membuat sejarah. Saya tidak dapat melakukan ini bahkan bersama dengan saudara-saudara sekalian, walaupun bersama-sama kita dapat berdiri melawan dunia. Kita tidak dapat membuat sejarah; kita harus menunggunya sementara sejarah dibuat. Kita tidak akan membuat buah menjadi matang dengan meletakkannya di bawah panas lampu; dan bila kita memetik buah itu sebelum matang kita hanya akan mencegah pertumbuhannya dan merusaknya." Berdasarkan testimoni Joly, Lamprecht juga mengutip pendapat-pendapat yang sering diutarakan oleh Bismarck selama peperangan Franco-Prusia. Lagi, gagasan utamanya adalah "kita tidak dapat menciptakan peristiwa-peristiwa besar bersejarah, tetapi harus mengadaptasi diri kita pada alur alami peristiwa dan membatasi diri kita untuk mengamankan apa yang sudah matang." Lamprecht menganggap ini sebagai kebenaran yang mendalam dan sempurna. Menurut pendapatnya, seorang sejarawan modern harus berpikir seperti itu, dengan syarat dia mampu meneropong ke kedalaman peristiwa-peristiwa dan tidak membatasi lingkup pandangnya pada rentang waktu yang terlalu pendek. Dapatkah Bismarck membawa Jerman kembali ke perekonomian primitif[16]? Dia tidak mungkin bisa melakukan ini, bahkan di puncak kekuasaannya. Kondisi sejarah secara keseluruhan lebih kuat daripada individu-individu yang paling berkuasa sekali pun. Bagi seorang tokoh besar, watak umum eposnya adalah "sebuah keniscayaan empiris".

Demikianlah cara Lamprecht bernalar, dan dia menyebut konsepnya universal. Sisi lemah konsep "universal" ini dapat dengan mudah kita temui. Pendapat Bismarck yang dia kutip sangatlah menarik sebagai catatan psikologis. Kita bisa saja tidak bersimpati dengan tindakan-tindakan almarhum Kanselir Jerman ini, tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka tidaklah signifikan, bahwa Bismarck dijangkit oleh "quietisme". Ketika Lassalle mengatakan ini, dia berbicara mengenai Bismarck: "Para pelayan reaksi bukanlah orator; tetapi Tuhan menitahkan agar progres memiliki pelayan-pelayan seperti mereka." Dan manusia ini, yang pada saat-saat tertentu menunjukkan energi yang sungguh luar biasa, menganggap dirinya tidak berdaya di tengah alur alami peristiwa, dan menganggap dirinya semata instrumen perkembangan sejarah; ini membuktikan sekali lagi bahwa seseorang bisa meyakini keniscayaan fenomena dan pada saat yang sama menjadi seorang negarawan yang sangat energetik. Tetapi hanya dalam pengertian ini pendapat Bismarck adalah menarik; ini tidak bisa dianggap sebagai solusi bagi masalah peran individu dalam sejarah. Menurut Bismarck, peristiwa-peristiwa terjadi dengan sendirinya, dan kita hanya dapat memetik apa yang telah mereka persiapkan. Tetapi setiap tindakan "memetik" adalah juga sebuah peristiwa sejarah. Apa perbedaan antara peristiwa-peristiwa semacam ini dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan sendirinya? Pada kenyataannya, hampir semua peristiwa sejarah adalah secara simultan tindakan "memetik" buah yang sudah matang dari perkembangan sebelumnya, dan sebuah tautan dalam rantaian peristiwa-peristiwa yang mempersiapkan buah-buah masa depan. Mengapa tindakan "memetik" dipertentangkan dengan alur alami peristiwa? Apa yang Bismarck ingin katakan adalah bahwa individu atau sekelompok individu yang bertindak dalam sejarah tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menjadi kekuatan yang maha-kuasa. Ini tentu saja tidak diragukan sama sekali. Namun, kita ingin tahu kekuatan mereka – yang tentu saja jauh dari maha-kuasa – tergantung pada apa; di bawah kondisi seperti apa kekuatan ini tumbuh, dan di bawah kondisi seperti apa ia melemah. Bismarck dan para pendukung konsepsi sejarah "universal" yang mengutipnya tidak menjawab pertanyaan ini.

Benar, Lamprecht menyediakan kutipan-kutipan lainnya yang lebih bisa dipahami.[17] Contohnya, dia mengutip Monod, salah seorang perwakilan ternama ilmu sejarah kontemporer di Prancis: "Sejarawan terlalu terbiasa menaruh perhatian hanya pada manifestasi aktivitas manusia yang brilian, megah, dan fana, pada peristiwa-peristiwa besar dan orang-orang hebat, daripada mengkaji pergerakan institusi dan kondisi ekonomi dan sosial yang pelan dan besar, yang merupakan bagian dari perkembangan umat manusia yang sesungguhnya menarik – bagian yang dapat dianalisis dengan cukup akurat, dan, pada tingkatan tertentu, dapat direduksi menjadi hukum. Di atas segalanya, peristiwa-peristiwa dan individu-individu yang sungguh penting adalah tanda dan simbol berbagai momen perkembangan ini. Kebanyakan peristiwa yang disebut historis adalah seperti ombak yang bangkit ke permukaan laut, berkilau untuk sesaat karena terik matahari, dan pecah di pantai yang berpasir, tidak meninggalkan jejak di belakangnya; sementara, sejarah yang sesungguhnya adalah gerak pasang laut yang dalam dan ajek; demikianlah relasi mereka." Lamprecht menyatakan, dia siap mendukung setiap kata dalam kutipan Monod. Semua orang tahu, kaum intelektual Jerman biasanya enggan setuju dengan kaum intelektual Jerman, dan begitu juga sebaliknya. Inilah mengapa sejarawan Belgia Pirenne sangat senang untuk menekankan, di Revue Historique, bahwa konsepsi sejarah Monod bersesuaian dengan Lamprecht. "Kesepakatan ini sangatlah signifikan," ujarnya. "Ini tampaknya membuktikan bahwa masa depan adalah milik konsepsi sejarah yang baru ini."

V

Kami tidak sepakat dengan harapan Pirenne ini. Masa depan tidak bisa menjadi milik pandangan yang kabur dan tidak pasti; dan begitulah pandangan Monod dan terutama Lamprecht. Tentu saja, kami menyambut dengan hangat sebuah aliran yang menyatakan bahwa tugas ilmu sejarah yang paling penting adalah mempelajari institusi-institusi sosial dan kondisi-kondisi ekonomi. Ilmu sejarah akan mengambil langkah maju yang besar bila aliran seperti ini menjadi terpancang kokoh. Akan tetapi, kesalahan pertama Pirenne adalah menganggapnya sebagai sebuah aliran yang baru. Aliran ini muncul dalam ilmu sejarah sejauh tahun 20an pada abad ke-19: Guizot, Mignet, Augustin Thierry dan lalu Tocqueville dan beberapa lainnya adalah penyokong besar dan konsisten aliran ini. Pandangan Monod dan Lamprecht hanyalah salinan kabur dari yang orisinal, yang walaupun tua tetapi luar biasa. Kedua, walaupun pandangan Guizot, Mignet, dan sejarawan Prancis lainnya sangatlah dalam untuk jaman mereka, banyak pandangan mereka yang masih belum terurai. Mereka tidak menyediakan solusi yang penuh dan seksama bagi masalah peran individu dalam sejarah. Ilmu sejarah harus menyediakan solusi itu bila para perwakilannya hendak menyingkirkan konsep yang berat sebelah dari subjek ini. Masa depan adalah milik mazhab yang dapat menghasilkan solusi terbaik bagi masalah ini.

Pandangan Guizot, Mignet, dan sejarawan lainnya yang merupakan bagian dari aliran ini adalah reaksi terhadap konsep sejarah yang mendominasi abad ke-18, dan pandangan mereka adalah anti-tesisnya. Pada abad ke-18, para ahli filsafat sejarah mereduksi semua hal ke aktivitas sadar individu. Benar, ada pengecualian bahkan pada saat itu: filosofi-historis Vico, Montesquieu dan Herder, misalnya, memiliki wawasan yang lebih luas. Tetapi kita tidak berbicara mengenai pengecualian; mayoritas besar pemikir abad ke-18 bersandar pada aktivitas sadar individu. Sehubungan dengan ini, sangat menarik untuk membaca ulang karya-karya sejarah Mably. Menurut Mably, Minos[18] menciptakan seluruh kehidupan sosial dan politik dan etik bangsa Crete, sementara Lycurgus[19] melakukan hal yang sama untuk Sparta. Bila bangsa Sparta "menolak" kekayaan material, ini sepenuhnya disebabkan oleh Lycurgus, yang "merasuki kedalaman sukma warganya, di mana dia menghancurkan benih ketamakan" (descendit pour ainsi dire jusque dans le fond du coeur des citoyens, etc.).[20] Dan bila, selanjutnya, bangsa Sparta berpaling dari jalan yang telah ditunjukkan oleh Lycurgus yang bijak, ini disebabkan oleh Lysander[21], yang membujuk mereka bahwa "jaman baru dan kondisi baru membutuhkan seorang genius baru dan kebijakan baru".[22] Penelitian-penelitian yang ditulis dari sudut pandang seperti ini tidak ada kaitannya dengan sains, dan ditulis sebagai khotbah semata-mata demi "pedoman" moral yang terkandung di dalamnya. Melawan konsepsi seperti inilah para sejarawan Prancis periode Restorasi Bourbon[23] memberontak. Setelah peristiwa-peristiwa besar pada akhir abad ke-18 [Revolusi Prancis 1789], menjadi sepenuhnya mustahil untuk berpikir bahwa sejarah dibuat oleh tokoh-tokoh besar yang luhur dan bijaksana, yang, seturut kehendak mereka sendiri, mengilhami massa yang bodoh dan penurut dengan sentimen dan ide tertentu. Terlebih lagi, filsafat sejarah ini menyinggung kebanggaan plebeian [kerakyatan] para teoretikus borjuis. Mereka didorong oleh perasaan yang sama yang telah menemukan ekspresinya pada abad ke-18 selama kebangkitan drama borjuasi. Dalam memerangi konsepsi sejarah yang lama, Thierry menggunakan argumen yang sama yang dikedepankan oleh Beaumarchais dan yang lainnya dalam melawan nilai-nilai estetik yang lama.[24] Terakhir, badai yang baru saja dialami Prancis secara jelas mengungkapkan bahwa alur peristiwa sejarah tidak ditentukan semata-mata oleh tindakan sadar manusia; situasi ini sendiri saja cukup untuk mendorong kemunculan gagasan bahwa peristiwa-peristiwa ini disebabkan oleh pengaruh semacam keniscayaan yang tersembunyi, yang beroperasi secara liar seperti kekuatan Alam, secara buta tetapi sesuai dengan hukum-hukum dasar tertentu.

Sungguh luar biasa bagaimana sejarawan Prancis periode Restorasi menerapkan secara konsisten konsepsi sejarah sebagai proses yang diatur oleh hukum dalam karya-karya mereka mengenai Revolusi Prancis. Sepanjang kami ketahui, tak seorang pun yang mengetahuinya sampai hari ini. Misalnya, dalam karya Mignet dan Thiers. Chateaubriand menyebut mazhab sejarah baru ini fatalis. Dalam merumuskan tugas para peneliti sejarah, dia mengatakan: "Dalam sistem ini, sejarawan harus menceritakan kejahatan yang paling keji tanpa perasaan murka, dan berbicara mengenai kebajikan yang paling luhur tanpa perasaan cinta; dia harus, dengan mata yang dingin beku, melihat masyarakat hanya sebagai sesuatu yang tunduk pada hukum-hukum tertentu yang tak terelakkan, yang menyebabkan terjadinya setiap fenomena sebagaimana seharusnya."[25] Tentu saja ini keliru. Mazhab sejarah yang baru ini sama sekali tidak menuntut sejarawan harus menjadi dingin. Augustin Thierry bahkan mengatakan dengan cukup terbuka bahwa gairah politik, yang menajamkan pikiran sang peneliti, dapat menjadi instrumen yang kuat dalam menemukan kebenaran.[26] Bahkan bila kita membaca sekilas saja karya-karya sejarah Guizot, Thierry atau Mignet, kita akan saksikan bagaimana mereka sangat bersimpati pada kaum borjuasi dalam perjuangannya melawan aristokrasi, dan pada usahanya untuk meredam tuntutan-tuntutan dari kaum proletar yang baru muncul. Yang tidak bisa disangkal adalah ini: mazhab sejarah yang baru ini muncul pada tahun 20an abad ke-19, yakni ketika kaum borjuasi sudah mengalahkan aristokrasi, walaupun yang belakangan ini masih berusaha memenangkan kembali privilese lama mereka. Rasa bangga akan kemenangan kelas mereka tercerminkan dalam semua esai para sejarawan mazhab baru ini. Dan karena kaum borjuasi tidak pernah dikenal ksatria, kita kadang-kadang dapat menemukan para perwakilan intelektualnya bersikap agak bengis terhadap pihak yang kalah. "Le plus fort absorbe le plus faible,", kata Guizot, di salah satu pamflet polemiknya, "et il est de droit." [Yang terkuat memangsa yang lebih lemah; dia berhak melakukan ini]. Dia juga bersikap sama bengisnya pada kelas pekerja. Kebengisan inilah, yang kadang-kadang mengambil bentuk sikap dingin yang tenang, yang menyesatkan Chateaubriand. Terlebih lagi, pada saat itu belumlah terlalu jelas bagaimana kemajuan sejarah itu diatur oleh hukum-hukum tertentu. Terakhir, mazhab sejarah yang baru ini mungkin tampak fatalis karena, dalam usahanya untuk mengadopsi sudut pandang ini, mazhab ini menaruh perhatian kecil pada sejarah orang-orang hebat.[27] Mereka yang dibesarkan dengan ide-ide historis abad ke-18 merasa kesulitan untuk menerima ini. Keberatan-keberatan terhadap cara pandang para sejarawan baru ini tumpah membanjiri dari berbagai sisi; kemudian muncullah polemik yang, seperti yang telah kita lihat, belum tuntas sampai hari ini.

Pada Januari 1826, dalam ulasannya di Le Globe mengenai jilid ke lima dan enam Histoire de la Révolution française karya Mignet, Sainte-Beuve menulis:"Pada satu momen tertentu, disebabkan oleh keputusan tiba-tiba kehendak manusia, seorang dapat memperkenalkan ke dalam alur peristiwa sebuah kekuatan yang baru, tidak terduga, dan dapat berubah, yang dapat mengubah alur tersebut, tetapi yang sendirinya tidak dapat diukur karena karakternya yang dapat berubah."

Jangan mengira Sainte-Beuve percaya bahwa "keputusan tiba-tiba" kehendak manusia terjadi tanpa sebab-musabab. Tidak, ini akan terlalu naif. Dia hanya menyatakan bahwa kualitas mental dan moral seorang manusia yang memainkan peran yang kurang lebih penting dalam kehidupan publik – talentanya, pengetahuannya, keteguhan dan keragu-raguannya, keberanian dan kepengecutannya, dst. – mesti memiliki pengaruh yang kentara terhadap alur peristiwa dan hasilnya; namun kualitas-kualitas ini tidak dapat dijelaskan semata oleh hukum umum perkembangan bangsa; mereka selalu, dan sampai pada tingkatan yang cukup signifikan, berkembang di bawah pengaruh apa-yang-dapat-disebut kebetulan dalam kehidupan pribadi manusia. Kami akan mengutip beberapa contoh untuk menjelaskan gagasan ini, yang menurut saya cukup jelas.

Selama Peperangan Suksesi Austria[28], pasukan Prancis meraih sejumlah kemenangan brilian dan tampaknya Prancis ada di posisi untuk memaksa Austria menyerahkan wilayah yang cukup luas di lokasi yang hari ini dikenal dengan nama Belgia; tetapi Louis XV[29] tidak mengklaim wilayah ini karena, seperti yang dia katakan, dia bertempur sebagai seorang raja dan bukan sebagai seorang pedagang, walhasil Prancis tidak mendapatkan apa-apa dari Pakta Perdamaian Aix-la-Chapelle[30]. Bila saja Louis XV adalah seorang dengan kepribadian yang berbeda, atau ada raja lain yang menempati takhtanya, wilayah Prancis sudah tentu akan menjadi lebih luas dan, sebagai akibatnya, perkembangan ekonomi dan politiknya akan mengambil jalan yang berbeda.

Seperti yang kita ketahui, Prancis mengobarkan Perang Tujuh Tahun[31] dengan beraliansi dengan Austria; kabarnya, aliansi ini terbentuk berkat bantuan besar Madame de Pompadour, selir utama Louis XV, yang sangat tersanjung oleh sepucuk surat dari Maria-Theresa, Ratu Austria, yang memanggilnya "sepupu" atau "teman baik" (bien bonne amie). Maka dari itu, kita dapat mengatakan, bila saja Louis XV adalah seorang yang lebih berakhlak, atau kalau dia tidak mudah terpengaruh oleh selir-selirnya, maka Madame de Pompadour tidak akan memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap jalannya peristiwa, yang akan mengambil jalan yang berbeda.

Terlebih lagi, Prancis kalah dalam Perang Tujuh Tahun; jenderal-jenderalnya menderita sejumlah kekalahan yang memalukan. Secara umum, tingkah laku mereka sangatlah aneh. Richelieu melakukan penjarahan, sementara Soubise dan Broglie terus-menerus saling menjegal. Misalnya, ketika Broglie sedang menyerang musuh di Villinghausen, Soubise mendengar suara meriam tetapi tidak menolong kawannya seperti yang sudah direncanakan, dan seperti yang seharusnya dia lakukan. Sebagai konsekuensinya, Broglie terpaksa mundur.[32] Soubise yang sangat tidak kompeten ini dilindungi oleh Madame de Pompadour. Kita dapat mengatakan sekali lagi, bila saja Louis XV bukan orang yang suka berpesta-pora, dan mampu menahan selir-selirnya ikut campur politik, alur peristiwa tidak akan begitu buruk bagi Prancis.

Para sejarawan Prancis mengatakan bahwa tidak ada gunanya sama sekali bagi Prancis untuk mengobarkan perang di benua Eropa; Prancis seharusnya memusatkan seluruh kekuatannya di laut untuk mempertahankan koloni-koloninya dari serangan Inggris. Prancis tidak bertindak seperti ini adalah karena Madame de Pompadour, yang ingin memuaskan "teman baiknya" Maria Theresa. Sebagai akibat dari Perang Tujuh Tahun, Prancis kehilangan koloni-koloni terbaiknya, yang jelas sangat mempengaruhi perkembangan relasi ekonominya. Dalam kasus ini, keangkuhan feminin tampak berperan sebagai "faktor" berpengaruh dalam perkembangan ekonomi.

Apakah kita butuh contoh-contoh lainnya? Kami akan mengutip satu lagi, mungkin yang paling mengejutkan. Selama Perang Tujuh Tahun ini, pada bulan Agustus 1761, pasukan Austria, setelah bergabung dengan pasukan Rusia di Silesia, mengepung Frederick [Prusia] di dekat Striegau. Frederick ada dalam posisi yang sulit, tetapi pasukan Austria-Rusia lambat dalam menyerang, dan, setelah dua puluh hari berpangku tangan, Jenderal Buturlin [Rusia] menarik mundur pasukannya dari Silesia, dan menyisakan hanya sebagian kecil pasukannya untuk menyokong Jenderal Laudon dari Austria. Laudon merebut Schweidnitz, namun kemenangan ini tidak penting. Tetapi, kalau saja Buturlin lebih berpendirian? Kalau saja pasukan Austria-Rusia menyerang Frederick sebelum dia memiliki waktu untuk mempertahankan dirinya? Mereka akan dapat mengalahkan Frederick, dan dia akan terpaksa memenuhi semua tuntutan dari pihak pemenang. Dan ini terjadi hanya beberapa bulan sebelum satu peristiwa lainnya, yaitu kematian Ratu Elizabeth dari Rusia, yang segera mengubah situasi yang memberikan keuntungan bagi Frederick.[33] Seorang bisa bertanya: apa yang akan terjadi bila saja Buturlin lebih berpendirian, atau bila orang seperti Suvorov menggantikan tempatnya?

Dalam memeriksa pandangan para sejarawan "fatalis" ini, Sainte-Beuve mengemukakan pertimbangan lainnya yang juga patut diperhatikan. Dalam ulasannya terhadap karya Mignet Histoire de la Révolution française yang kita sebut di atas, dia berpendapat bahwa alur dan hasil Revolusi Prancis ditentukan, tidak hanya oleh sebab-sebab umum yang menyebabkan Revolusi ini, dan tidak hanya oleh gairah-gairah yang menyusul Revolusi ini, tetapi juga oleh banyak fenomena-fenomena kecil yang luput dari perhatian para peneliti dan yang bahkan bukan bagian dari fenomena-fenomena sosial lazimnya. Dia menulis: "Sementara sebab-sebab (umum) ini dan gairah-gairah (yang dibangkitkan oleh sebab-sebab umum ini) beroperasi, kekuatan-kekuatan fisik dan psikologi Alam tidaklah berhenti: batu tetap mematuhi hukum gravitasi; darah tidak berhenti bersirkulasi di pembuluh darah. Tidakkah alur peristiwa akan berubah bila saja Mirabeau[34], katakanlah, tidak meninggal karena demam; bila Robespierre[35] mati karena kecelakaan tertimpa batu bata atau karena pendarahan otak; atau bila Bonaparte[36] mati tertembus peluru? Dan apakah Anda berani menyatakan bahwa hasil peristiwa [Revolusi Prancis] akan sama? Dengan cukup banyak kecelakaan seperti ini, hasil akhir Revolusi Prancis mungkin akan berkebalikan dari apa yang menurut pendapatmu adalah tak terelakkan. Saya berhak mengasumsikan terjadinya kecelakaan-kecelakaan seperti itu karena mereka tidak dicegah oleh sebab-sebab umum Revolusi maupun gairah-gairah yang dibangkitkan oleh sebab-sebab umum tersebut." Kemudian dia mengutip sebuah observasi yang diketahui banyak orang, bahwa sejarah akan mengambil jalan yang sepenuhnya berbeda bila saja hidung Kleopatra sedikit lebih pesek; kesimpulannya, sementara dia mengakui ada lebih banyak yang bisa dikatakan untuk membela pandangan Mignet, dia sekali lagi menunjukkan letak kekeliruan Mignet. Mignet menganggap sebab-sebab umum sebagai satu-satunya faktor yang menentukan alur peristiwa, tetapi sesungguhnya ada banyak sebab lainnya yang minor, tersembunyi, dan elusif yang mempengaruhi alur peristiwa; logikanya yang kaku tampaknya menolak mengakui keberadaan sesuatu yang baginya acak dan tidak mematuhi hukum.

VI

Apakah keberatan Sainte-Beuve berlandasan? Saya pikir keberatannya mengandung sejumlah kebenaran. Tetapi seberapa besar? Untuk menentukan ini, kita akan pertama-tama memeriksa gagasan bahwa seorang manusia dapat "dengan keputusan tiba-tiba kehendaknya" memperkenalkan sebuah kekuatan yang baru ke dalam alur peristiwa, yang dapat mengubah alur peristiwa dengan cukup besar. Kami telah mengutip sejumlah contoh, yang kami pikir menjelaskan ini dengan sangat baik. Mari kita pertimbangkan contoh-contoh ini.

Semua orang tahu bahwa selama kekuasaan Louis XV organisasi militer Prancis berangsur-angsur memburuk. Seperti yang diamati oleh Henri Martin, selama Perang Tujuh Tahun, pasukan Prancis, yang selalu memiliki banyak pelacur, pedagang dan pembantu di keretanya, dan yang memiliki kuda pengangkut barang tiga kali lebih banyak daripada kuda pelana, lebih mirip dengan pasukan Darius dan Xerxes ketimbang pasukan Turenne dan Gustavus-Adolphus.[37] Dalam buku sejarahnya mengenai perang ini, Archenholtz mengatakan bahwa tentara Prancis, ketika ditugaskan untuk menjaga, sering meninggalkan pos mereka untuk berdansa di bar terdekat, dan mematuhi perintah atasan mereka sesuka hati mereka. Kondisi angkatan bersenjata yang menyedihkan ini disebabkan oleh kemerosotan kelas aristokrasi yang, walaupun begitu, terus menduduki posisi-posisi penting dalam angkatan bersenjata, dan juga disebabkan oleh kemunduran umum "ancien régime" [rejim feodal Prancis di bawah monarki Bourbon 1589-1789] yang tengah meluncur dengan cepat ke jurang kehancuran. Sebab-sebab umum ini sendiri saja sudah cukup untuk membuat Prancis kalah dalam Perang Tujuh Tahun. Tetapi tak diragukan bahwa ketidakcakapan jenderal-jenderal seperti Soubise melipatgandakan kemungkinan kekalahan pasukan Prancis, sebuah kekalahan yang sudah dipersiapkan oleh sebab-sebab umum. Soubise tetap mempertahankan jabatannya berkat pengaruh Madame de Pompadour, dan dengan begitu kita harus memperhitungkan Madame de Pompadour yang angkuh itu sebagai salah satu "faktor" yang secara signifikan memperkuat pengaruh negatif dari sebab-sebab umum (terhadap Prancis) selama Perang Tujuh Tahun.

Madame de Pompadour pengaruhnya kuat, bukan karena kekuatannya sendiri, tetapi karena kekuasaan Raja Louis XV yang berada di bawah pengaruh kehendaknya. Dapatkah kita katakan bahwa kepribadian Louis XV adalah satu hal yang niscaya dalam alur umum relasi-relasi sosial di Prancis? Tidak, dalam alur perkembangan yang sama, kedudukannya bisa saja ditempati oleh seorang raja yang memiliki sikap yang berbeda terhadap perempuan. Sainte-Beuve akan mengatakan, sebab-sebab fisiologis yang mendalam dan elusif cukup untuk mempengaruhi alur peristiwa. Dan dia akan benar. Bila demikian, maka kesimpulan yang mengalir adalah sebagai berikut: dengan mempengaruhi progres dan hasil Perang Tujuh Tahun, kekuatan fisiologis yang mendalam ini juga mempengaruhi perkembangan Prancis selanjutnya, yang akan berbeda bila saja Prancis tidak kehilangan sebagian besar koloni-koloninya selama Perang Tujuh Tahun. Apakah kesimpulan ini bertentangan dengan konsepsi bahwa perkembangan sosial berjalan seturut pola yang diatur oleh hukum?

Tidak, sama sekali tidak. Walaupun pengaruh kualitas personal dalam alur peristiwa jelas tidak bisa disangkal, pengaruh ini jelas hanya bisa efektif dalam kondisi-kondisi sosial tertentu. Setelah Pertempuran Rossbach, seluruh masyarakat Prancis menjadi sangat marah dengan sang pelindung Soubise. Setiap hari Madame de Pompadour menerima banyak surat kaleng yang penuh dengan ancaman dan sumpah-serapah. Ini sangat mengganggu Madame de Pompadour: dia mulai menderita insomnia.[38] Walaupun begitu, dia tetap melindungi Soubise. Pada 1762, dia mengatakan dalam suratnya kepada Soubise bahwa dia tidak memenuhi harapan yang telah ditempatkan padanya, tetapi dia menambahkan: "Namun jangan takut, saya akan menjaga kepentinganmu dan mencoba memperbaiki hubunganmu dengan sang Raja."[39] Seperti yang Anda lihat, dia tidak tunduk pada opini publik. Mengapa dia tidak tunduk? Mungkin karena masyarakat Prancis pada saat itu tidak mampu memaksanya tunduk. Tetapi mengapa masyarakat Prancis pada saat itu tidak mampu melakukan ini? Ini karena struktur masyarakat Prancis, yang pada gilirannya ditentukan oleh relasi kekuatan-kekuatan sosial di Prancis pada saat itu. Maka dari itu, pada analisa terakhir, relasi kekuatan-kekuatan sosial-lah yang menjelaskan kenyataan bahwa kepribadian Louis XV dan tindakan semena-mena selirnya dapat memiliki pengaruh yang begitu buruk pada nasib Prancis. Bila saja bukan sang Raja yang memiliki kelemahan pada perempuan, tetapi juru masak raja atau penjaga kandang kuda raja, ini tidak akan memiliki signifikansi sejarah apapun. Jelas, yang jadi akar permasalahan bukanlah kelemahan personal ini atau itu, tetapi posisi sosial yang diduduki oleh orang yang menderita kelemahan tersebut. Para pembaca akan mengerti bahwa argumen ini berlaku untuk semua contoh yang disebut di atas. Kita hanya perlu mengganti apa yang perlu diganti, misalnya, Prancis menjadi Rusia, Soubise menjadi Buturlin, dan seterusnya. Inilah mengapa kami tidak akan mengulangi contoh-contoh ini.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa individu dapat mempengaruhi nasib masyarakat lewat ciri-ciri kepribadian mereka. Pengaruh kepribadian ini terkadang sangatlah besar, tetapi kemungkinan untuk menggunakan pengaruh ini, serta cakupannya, ditentukan oleh struktur masyarakat dan relasi kekuatan-kekuatan di dalamnya. Kepribadian individu menjadi sebuah "faktor" dalam perkembangan sosial hanya pada waktu, tepat, dan cakupan yang diizinkan oleh relasi-relasi sosial.

Kita mungkin diberitahu, besarnya pengaruh personal juga ditentukan oleh talenta sang individu. Kami setuju, tetapi sang individu hanya dapat mempertunjukkan talentanya bila dia menduduki posisi yang sepatutnya dalam masyarakat. Mengapa nasib Prancis ada di tangan seorang manusia yang benar-benar tidak punya kemampuan dan hasrat untuk melayani masyarakat? Karena begitulah struktur masyarakat itu pada saat itu. Dalam periode tertentu, yang menentukan peran individu yang bertalenta atau tidak kompeten adalah struktur masyarakat, yang pada gilirannya akan menentukan signifikansi sosial individu-individu tersebut.

Tetapi bila peran individu ditentukan oleh struktur masyarakat, bagaimana pengaruh sosial mereka, yang ditentukan oleh peran yang mereka mainkan, dapat berkontradiksi dengan konsepsi perkembangan sosial yang diatur oleh hukum? Ini tidak berkontradiksi; sebaliknya, ini adalah salah satu ilustrasinya yang paling nyata.

Namun di sini kita harus mencermati hal berikut ini. Struktur masyarakat menentukan kemungkinan pengaruh sosial seorang individu, dan ini membuka pintu ke pengaruh apa-yang-disebut kebetulan dalam nasib sejarah bangsa-bangsa. Sifat mata keranjang Louis XV adalah konsekuensi tak terelakkan dari bangunan jasmaninya, tetapi sehubungan dengan alur umum perkembangan Prancis bangunan jasmaninya adalah kebetulan. Walaupun demikian, seperti yang telah kami katakan, ini mempengaruhi nasib Prancis dan merupakan salah satu sebab yang menentukan nasib tersebut. Kematian Mirabeau, tentu saja, sepenuhnya disebabkan oleh proses patologi yang mematuhi hukum-hukum tertentu. Namun, keniscayaan proses patologi ini tidak timbul dari alur umum perkembangan Prancis, tetapi dari sejumlah fitur jasmani sang orator terkenal ini dan dari kondisi fisik yang disebabkan oleh penyakit yang dia derita.[40] Dalam hubungannya dengan alur umum perkembangan Prancis, fitur dan kondisi tersebut adalah kebetulan. Meskipun begitu, kematian Mirabeau mempengaruhi alur Revolusi selanjutnya dan menjadi salah satu sebab yang menentukannya.

Yang lebih menakjubkan lagi adalah pengaruh sebab-sebab kebetulan dalam kasus Frederick II yang kami sebut di atas, yang berhasil membebaskan dirinya dari sebuah situasi yang sangat sulit hanya karena kebimbangan Buturlin. Bahkan sehubungan dengan alur umum perkembangan Rusia, ditunjuknya Buturlin sebagai komandan Perang Tujuh Tahun mungkin saja kebetulan, dalam artian yang telah kita definisikan di atas, dan, tentu saja, ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan alur umum perkembangan Prusia. Namun tidaklah mustahil kalau kebimbangan Buturlin menyelamatkan Frederick dari sebuah situasi yang sulit. Bila saja Suvorov menggantikan Buturlin, sejarah Prusia mungkin akan mengambil jalan yang berbeda. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nasib bangsa kadang-kadang dapat tergantung pada kebetulan yang dapat disebut kebetulan tingkatan kedua.

"In allem Endlichen ist ein Element des Zufälligen," kata Hegel (Dalam segala sesuatu yang terbatas (finite) terkandung unsur kebetulan). Dalam sains kita hanya berurusan dengan sesuatu yang "finite"; maka dari itu kita dapat mengatakan bahwa semua proses yang dipelajari oleh sains mengandung unsur kebetulan. Apa ini berarti sains tidak memiliki kemampuan untuk memahami fenomena? Tidak. Kebetulan adalah sesuatu yang relatif. Ia hanya muncul di titik persimpangan proses-proses yang tak terelakkan. Bagi penduduk pribumi Meksiko dan Peru, kemunculan orang-orang Eropa di benua Amerika adalah kebetulan dalam pengertian bahwa ini tidak mengalir dari perkembangan sosial Meksiko dan Peru. Tetapi dorongan mengarungi samudera yang dimiliki oleh orang-orang Eropa Barat pada akhir Zaman Pertengahan bukanlah kebetulan; begitu juga kenyataan bahwa kekuatan Eropa begitu mudah mematahkan perlawanan penduduk pribumi Amerika. Konsekuensi-konsekuensi yang mengalir dari penjajahan Eropa terhadap Meksiko dan Peru juga bukanlah kebetulan; dalam analisa terakhir, konsekuensi-konsekuensi ini ditentukan oleh hasil dari dua kekuatan: kondisi ekonomi bangsa yang ditaklukkan di satu sisi, dan kondisi ekonomi bangsa penakluk di sisi lainnya. Seperti hasilnya, kekuatan-kekuatan ini dapat menjadi objek penelitian ilmiah yang mendalam.

Kebetulan-kebetulan dalam Perang Tujuh Tahun berpengaruh cukup besar terhadap sejarah Prusia selanjutnya. Tetapi pengaruh mereka akan sepenuhnya berbeda bila mereka terjadi pada tahapan perkembangan Prusia yang lain. Di sini juga, konsekuensi-konsekuensi yang mengalir dari kebetulan-kebetulan ini ditentukan oleh hasil dari dua kekuatan: kondisi sosio-politik Prusia di satu sisi, dan kondisi sosio-politik negara-negara Eropa yang mempengaruhinya di sisi lain. Maka dari itu, di sini juga, kebetulan tidak mencegah sama sekali penelitian ilmiah terhadap fenomena.

Kita sekarang tahu bahwa individu sering kali memiliki pengaruh yang besar terhadap nasib masyarakat; namun pengaruh ini ditentukan oleh struktur internal masyarakat tersebut dan oleh hubungannya dengan masyarakat-masyarakat lain. Tetapi ini bukan satu-satunya sudut pandang mengenai peran individu dalam sejarah. Kita harus mendekati masalah ini dari sudut pandang yang lain juga.

Sainte-Beuve meyakini, bila saja ada sebab-sebab minor dan tersembunyi dengan jumlah yang cukup banyak, hasil Revolusi Prancis akan berkebalikan dari apa yang kita ketahui sekarang. Ini sangatlah keliru. Tidak peduli sekompleks apapun sebab-sebab psikologis dan fisiologis minor tersebut, mereka tidak akan bisa menyingkirkan kebutuhan-kebutuhan sosial besar yang melahirkan Revolusi Prancis; selama kebutuhan-kebutuhan sosial tersebut belum terpenuhi, gerakan revolusioner di Prancis akan terus bergulir. Untuk menjungkirbalikkan hasil gerakan ini, kebutuhan-kebutuhan yang menyebabkan gerakan ini haruslah digantikan dengan yang lainnya, yakni dengan kebutuhan-kebutuhan yang juga berkebalikan darinya; dan ini, tentu saja, tidak akan pernah bisa dilakukan oleh kombinasi sebab-sebab minor apapun.

Penyebab Revolusi Prancis ditemukan dalam watak relasi-relasi sosial di Prancis; dan sebab-sebab minor yang diasumsikan oleh Sainte-Beuve hanya dapat ditemukan dalam kualitas-kualitas personal individu. Penyebab fundamental relasi-relasi sosial terletak dalam kondisi kekuatan produksi. Kondisi kekuatan produksi ini bergantung pada kualitas-kualitas individu mungkin hanya dalam pengertian bahwa individu-individu ini memiliki semacam talenta untuk membuat perbaikan teknik dan penemuan. Bukan kualitas semacam ini yang dimaksud oleh Sainte-Beuve. Namun, tidak ada kualitas lain yang dapat memungkinkan individu untuk secara langsung mempengaruhi kondisi kekuatan produksi, dan oleh karenanya, relasi-relasi sosial yang ditentukannya, yakni relasi-relasi ekonomi. Apapun kualitas yang dimiliki individu tertentu, dia tidak akan bisa menghapus relasi-relasi ekonomi tertentu bila relasi-relasi tersebut bersesuaian dengan tingkatan kekuatan produksi tertentu. Tetapi kualitas personal individu membuat mereka kurang lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang muncul dari relasi-relasi ekonomi tertentu, atau untuk menghalangi pemenuhan tersebut. Kebutuhan sosial yang mendesak di Prancis pada akhir abad ke-18 adalah menggantikan institusi politik yang sudah usang dengan institusi baru yang akan lebih sesuai dengan struktur ekonominya yang baru. Tokoh-tokoh ternama yang paling terkemuka dan berguna pada periode itu adalah mereka yang lebih mampu daripada yang lainnya dalam membantu memenuhi kebutuhan yang paling urgen ini. Mari berasumsi bahwa Mirabeau, Robespierre, dan Napoleon adalah orang-orang semacam itu. Apa yang akan terjadi bila saja Mirabeau tidak tersingkirkan dari arena politik karena kematian prematurnya? Partai monarkis konstitusional akan mempertahankan kekuasaannya untuk waktu yang lebih lama; oleh karenanya perlawanannya terhadap kaum republikan akan lebih energetik. Tetapi itu saja. Tidak ada Mirabeau yang dapat mencegah kemenangan kaum republikan pada saat itu. Kekuatan Mirabeau bersandar sepenuhnya pada simpati dan kepercayaan rakyat, tetapi rakyat menginginkan sebuah republik; karena kaum Monarkis dengan keras kepala terus berupaya membela tatanan yang lama, ini membuat rakyat gusar. Segera setelah rakyat menyadari bahwa Mirabeau tidak bersimpati dengan cita-cita republik mereka, mereka akan berhenti bersimpati padanya; dan sang orator hebat ini akan kehilangan hampir semua pengaruhnya, dan kemungkinan besar dia akan menjadi korban dari gerakan yang dia coba hentikan dengan sia-sia. Kira-kira hal yang sama dapat dikatakan mengenai Robespierre. Mari berasumsi bahwa dia adalah sebuah kekuatan yang benar-benar tak tergantikan di dalam partainya; tetapi biarpun demikian, dia bukanlah satu-satunya kekuatan. Bila dia mati karena kecelakaan tertimpa batu bata, katakanlah pada Januari 1793[41], tempatnya tentu saja akan diambil orang lain, dan walaupun orang ini mungkin lebih inferior ketimbang Robespierre dalam setiap aspek, peristiwa tetap akan mengambil jalan yang sama seperti bila Robespierre hidup. Oleh karena itu, misalnya, bahkan di bawah situasi ini, kaum Girondin[42] mungkin tidak dapat luput dari kekalahan mereka; tetapi mungkin saja partainya Robespierre akan kehilangan kekuasaan lebih awal dan kita sekarang akan berbicara bukan mengenai reaksi Thermidor[43] tetapi reaksi Floréal, Prairial, atau Messidor[44]. Mungkin ada orang yang akan mengatakan bahwa dengan Terornya yang kejam Robespierre tidak menunda tetapi justru mempercepat kejatuhan partainya. Kami tidak akan memeriksa asumsi ini; kami akan menerimanya sebagai asumsi yang masuk akal. Maka dari itu kita harus berasumsi bahwa partainya Robespierre tidak akan tumbang pada bulan Thermidor, tetapi pada bulan Fructidor, Vendémiaire atau Brumaire. Pendek kata, partai Robespierre akan tumbang cepat atau lambat, tetapi yang pasti ia akan tumbang, karena lapisan masyarakat yang mendukung partai Robespierre sama sekali tidak siap untuk memegang kekuasaan untuk waktu yang lama. Entah bagaimanapun, hasil-hasil yang "berkebalikan" dari apa yang muncul akibat aksi energetik Robespierre adalah mustahil.

Ini juga mustahil bahkan bila Bonaparte mati tertembak, katakanlah, di Pertempuran Arcole. Apa yang dia lakukan di Italia dan kampanye-kampanye militer lainnya dapat juga dilakukan oleh jenderal-jenderal lain. Mungkin mereka tidak akan menunjukkan talenta yang sama sepertinya, dan mungkin mereka tidak akan dapat meraih kemenangan-kemenangan yang begitu brilian; kendati demikian Republik Prancis tetap akan menang dalam perang-perang tersebut karena tentaranya pada saat itu adalah yang terbaik di Eropa. Mengenai Brumaire ke-18[45] dan pengaruhnya pada kehidupan internal Prancis, di sini juga alur umum dan hasil peristiwa-peristiwa kemungkinan besar akan sama dalam esensinya bahkan bila Napoleon mati lebih awal. Terluka parah oleh peristiwa-peristiwa pada 9 Thermidor [hari ditumbangkannya rejim Robespierre], Republik Prancis tengah mati perlahan-lahan. Rejim Direktorat[46] tidak mampu memulihkan ketertiban yang sekarang paling didambakan oleh kaum borjuasi setelah menyingkirkan kekuasaan aristokrasi. Untuk memulihkan ketertiban, diperlukan sebuah "pedang tajam", seperti yang dikatakan oleh Sieyès. Pada awalnya, Jenderal Joubert adalah orang yang dikira akan memenuhi peran pedang tajam tersebut, tetapi ketika dia gugur di Pertempuran Novi [pada 1799], nama Moreau, MacDonald, dan Bernadotte dikedepankan[47]. Bonaparte hanya disebut belakangan; dan bila saja dia tewas seperti Joubert, dia mungkin tidak akan disebut sama sekali dan "pedang" yang lain akan dikedepankan. Jelas sekali kalau individu yang terangkat ke posisi diktatur oleh alur peristiwa harus memiliki ambisi berkuasa, yang dengan energetik dan kejam menyingkirkan dan menghancurkan semua orang yang menghalanginya. Bonaparte adalah seorang individu yang sangatlah gigih, yang dengan bengis mengejar cita-citanya. Tetapi pada saat itu, selain dia ada cukup banyak orang-orang yang egois, gigih, bertalenta, dan ambisius. Posisi yang berhasil ditempati oleh Bonaparte tidak akan tetap kosong. Mari kita berasumsi bahwa jenderal lain yang menempati posisi ini adalah seorang yang lebih cinta damai daripada Napoleon, dan dia tidak akan mengobarkan perang ke seluruh Eropa, dan oleh karenanya, dia akan meninggal di Tuileries dan bukan di pulau St. Helena[48]. Dalam kasus ini, Dinasti Bourbon tidak akan kembali ke Prancis sama sekali; bagi mereka, hasil ini tentu "berkebalikan" dari apa yang semestinya terjadi. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan kehidupan internal Prancis secara keseluruhan, hasil ini hanya berbeda sedikit dari hasil sesungguhnya. Setelah "pedang tajam" ini memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kekuasaan kaum borjuasi, kaum borjuasi akan segera letih dengan kebiasaan barak dan despotisme yang diterapkan oleh "pedang tajam". Sebuah gerakan liberal akan muncul, serupa dengan yang muncul selama masa Restorasi Bourbon; sebuah perjuangan akan perlahan-lahan menggelora, dan karena "pedang tajam" tidak dikenal mudah menyerah, Louis-Philippe[49] akan naik ke tampuk kekuasaan, bukan pada 1830, tetapi pada 1820, atau 1825. Semua perubahan dalam alur peristiwa pada tingkatan tertentu mungkin dapat mempengaruhi kehidupan politik Eropa selanjutnya – dan dengan demikian kehidupan ekonominya, namun hasil akhir gerakan revolusioner ini tidak akan, di bawah situasi apapun, "berkebalikan" dari apa yang terjadi. Karena sifat dan kepribadian mereka yang unik, individu-individu yang berpengaruh dapat mengubah fitur-fitur tertentu dalam peristiwa dan beberapa konsekuensi partikularnya, tetapi mereka tidak dapat mengubah tren umum peristiwa, yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain.

VII

Terlebih lagi, kita juga harus mempertimbangkan ini. Dalam mendiskusikan peran yang dimainkan orang-orang hebat dalam sejarah, kita hampir selalu menjadi korban dari semacam ilusi optik. Penting untuk menarik perhatian para pembaca ke perihal ini.

Dalam mengambil peran "pedang tajam" demi memulihkan ketertiban publik, Napoleon mencegah jenderal-jenderal lainnya dari memainkan peran ini – beberapa dari mereka mungkin saja dapat memainkan peran tersebut sama baiknya, atau hampir sama baiknya, seperti Napoleon. Segera setelah kebutuhan sosial akan seorang penguasa militer bertangan besi telah terpenuhi, organisasi sosial merintangi jalan semua prajurit bertalenta lainnya untuk menjadi penguasa militer ini. Kekuasaan yang dimiliki penguasa militer ini sekarang menjadi rintangan bagi munculnya talenta-talenta lain yang serupa. Ini adalah penyebab ilusi optik yang kita maksud. Kita melihat kekuasaan personal Napoleon dalam bentuk yang teramat berlebihan, dimana kita melihatnya sebagai penyebab dari semua kekuatan sosial yang telah mendorongnya ke depan dan menopangnya. Napoleon tampak sangat luar biasa bagi kita karena tokoh-tokoh lainnya yang serupa dengannya tidak melompat dari potensi menjadi nyata. Dan ketika kita ditanya apa yang akan terjadi bila saja tidak ada Napoleon, imajinasi kita menjadi kacau dan tampak bagi kita bahwa tanpa dia gerakan sosial, dimana kekuatan dan pengaruhnya bersandar, tidak akan terjadi.

Dalam sejarah perkembangan intelektual manusia, sangat jarang sekali keberhasilan individu tertentu mencegah kesuksesan individu lainnya. Tetapi bahkan di sini kita tidak bebas dari ilusi optik yang disebut di atas. Ketika keadaan masyarakat tertentu menyajikan problem-problem tertentu di hadapan perwakilan intelektualnya, problem-problem ini akan menyita perhatian para pemikir terkemuka sampai mereka berhasil menyelesaikannya. Segera setelah mereka berhasil menyelesaikan problem-problem ini, perhatian mereka bergeser ke objek yang lain. Setelah menyelesaikan problem "X", talenta "A" mengalihkan perhatian talenta "B" dari problem yang sudah diselesaikan ini ke problem lainnya – problem "Y". Ketika kita ditanya apa yang akan terjadi bila "A" meninggal sebelum dia menyelesaikan problem "X", kita membayangkan bahwa alur perkembangan intelektual manusia akan putus. Kita lupa bahwa bila "A" meninggal, maka "B", atau "C", atau "D" mungkin dapat menyelesaikan problem tersebut; dengan demikian alur perkembangan intelektual akan tetap utuh kendati kematian prematur "A".

Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang dengan talenta khusus tertentu dapat memiliki pengaruh besar terhadap alur peristiwa. Pertama, talenta ini harus membuatnya lebih cocok daripada orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial pada epos tertentu. Bila Napoleon memiliki bakat musik Beethoven dan bukan kegeniusan militer, dia tentu saja tidak akan menjadi seorang kaisar. Kedua, tatanan sosial yang ada tidak boleh menghalangi munculnya individu yang memiliki talenta yang dibutuhkan dan berguna untuk masa tersebut. Napoleon akan mati sebagai seorang Jenderal atau Kolonel Bonaparte yang tak dikenal bila saja bila saja tatanan lama Prancis tetap eksis selama 70 tahun lebih lama.[50] Pada 1789, Davout, Desaix, Marmont dan MacDonald adalah letnan muda; Bernadotte adalah seorang sersan mayor; Hoche, Marceau, Lefebvre, Pichegru, Ney, Massena, Murat and Soult adalah bintara; Augereau adalah pemain anggar; Lannes pekerja pewarna; Gouvin Saint-Cyr aktor; Jourdan pedagang keliling; Bessières tukang gunting rambut; Brune typesetter; Joubert dan Junot mahasiswa hukum; Kleber arsitek; Martier tidak bergabung dengan militer sebelum Revolusi.[51]

Bila saja tatanan lama terus bertahan hingga hari ini, tidak akan pernah terlintas di pikiran kita bahwa di Prancis, pada akhir abad sebelumnya [abad ke-18], akan ada aktor, pekerja pewarna, pengacara, pedagang, dan pemain anggar yang berpotensi memiliki talenta militer.[52]

Stendhal mencatat bahwa seorang yang lahir pada saat yang sama seperti Titian, yakni pada 1477, akan dapat hidup selama 40 tahun bersama Raphael, yang wafat pada 1520, dan dengan Leonardo da Vinci, yang wafat pada 1519; bahwa dia dapat menghabiskan banyak tahun dengan Correggio, yang wafat pada 1534, dan dengan Michelangelo, yang hidup hingga 1563; bahwa dia akan berumur tidak lebih dari 34 tahun ketika Giorgione meninggal; bahwa dia akan mengenal Tintoretto, Bassano, Veronese, Julian Romano, dan Andrea del Sarto; bahwa, pendek kata, dia akan menjadi kontemporer dari semua pelukis besar, dengan pengecualian pelukis mazhab Bologna, yang muncul satu abad kemudian.[53] Sama halnya juga, seorang yang lahir pada tahun yang sama dengan Wouwerman akan mengenal secara pribadi hampir semua pelukis besar Belanda;[54] dan seorang yang berumur sama dengan Shakespeare akan mengenal sejumlah penulis naskah drama besar.[55]

Kita telah lama menyaksikan bagaimana talenta-talenta hebat selalu muncul ketika ada kondisi-kondisi sosial yang mendukung perkembangan mereka. Ini berarti setiap talenta yang memanifestasikan dirinya, yakni talenta yang menjadi kekuatan sosial, adalah produk dari relasi-relasi sosial. Oleh karena itu, kita bisa memahami mengapa individu-individu bertalenta, seperti yang telah kami katakan, hanya dapat mengubah fitur-fitur individual peristiwa, bukan tren umum peristiwa; mereka sendiri adalah produk tren tersebut; bila saja bukan karena tren ini, mereka tidak akan bisa melampaui batasan yang memisahkan apa yang potensi dan apa yang nyata.

Jelas ada berbagai tingkatan talenta. "Ketika sebuah peradaban baru melahirkan kesenian yang baru," kata Taine dengan benar, "ada sepuluh individu bertalenta, yang hanya mengekspresikan pemikiran seni yang baru ini secara parsial, dan mereka berhimpun di sekitar satu dua individu genius yang mengekspresikannya secara penuh."[56] Bila saja ada sebab-sebab mekanik atau psikologis tertentu yang tidak berhubungan dengan alur umum perkembangan sosio-politik dan intelektual Italia yang menyebabkan wafatnya Raphael, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci secara dini, seni Italia akan lebih kurang sempurna, tetapi tren umum perkembangannya selama periode Renaissance akan tetap sama. Raphael, Leonardo da Vinci, dan Michelangelo bukanlah orang yang menciptakan tren ini; mereka hanyalah perwakilan terbaik aliran ini. Benar, biasanya sebuah mazhab muncul dari seorang yang jenius, dan murid-muridnya mencoba mempelajari metode-metodenya sampai ke detail-detail terkecilnya; dan inilah mengapa vakum dalam kesenian Renaissance Italia yang disebabkan oleh kematian prematur Raphael, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci akan memiliki pengaruh besar terhadap banyak fitur-fitur sekunder sejarah selanjutnya. Tetapi sejarah dalam esensinya tidak akan berubah, selama tidak ada perubahan penting dalam alur umum perkembangan intelektual Italia yang disebabkan oleh sebab-sebab umum tertentu.

Namun, diketahui dengan baik bahwa perubahan-perubahan kuantitatif pada akhirnya akan berubah menjadi perubahan kualitatif. Ini benar di mana-mana, dan juga dalam sejarah. Sebuah aliran kesenian tertentu dapat kehilangan ekspresinya yang luar biasa bila sejumlah kondisi yang tidak menguntungkan menghilangkan satu per satu talenta-talenta hebat yang seharusnya menjadi perwakilannya. Tetapi kematian prematur orang-orang berbakat ini dapat mencegah ekspresi aliran seni tersebut hanya bila aliran tersebut terlalu dangkal untuk menciptakan talenta-talenta baru. Kedalaman aliran sastra dan seni tertentu ditentukan oleh signifikansinya bagi kelas atau strata sosial yang seleranya diekspresikan oleh aliran tersebut, dan oleh peran sosial yang dimainkan oleh kelas atau strata tersebut; maka dari itu, semua ini pada analisa terakhir ditentukan oleh alur perkembangan sosial dan perimbangan kekuatan-kekuatan sosial.

VIII

Oleh karenanya, kualitas-kualitas personal para pemimpin menentukan fitur-fitur individual peristiwa-peristiwa bersejarah, dan elemen-elemen kebetulan, dalam artian yang telah kita definisikan, selalu memiliki peran tertentu dalam alur peristiwa, yang arahnya pada analisa terakhir ditentukan oleh sebab-sebab umum, yakni oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan timbal-balik antar manusia dalam proses sosio-ekonomi produksi. Fenomena kebetulan dan kualitas-kualitas personal yang dimiliki oleh tokoh-tokoh ternama selalu lebih mudah terlihat dibandingkan sebab-sebab umum yang berada jauh di bawah permukaan. Abad ke-18 tidak begitu memperhatikan sebab-sebab umum, dan menjelaskan bahwa alur sejarah disebabkan oleh aksi-aksi sadar dan "gairah" para tokoh bersejarah. Para filsuf abad ke-18 menekankan bahwa sejarah dapat menempuh jalan yang benar-benar berbeda sebagai akibat dari sebab-sebab yang paling tidak signifikan, contohnya, bila ada "atom" yang memainkan lelucon di dalam kepala seorang penguasa (sebuah gagasan yang diekspresikan lebih dari sekali di Système de la Nature).

Para pengikut mazhab ilmu sejarah baru mencoba membuktikan bahwa sejarah tidak dapat menempuh jalan yang lain daripada apa yang sudah terjadi, tidak peduli "atom" apapun. Dalam usahanya untuk memberikan penekanan yang lebih besar pada sebab-sebab umum, mereka mengabaikan kualitas-kualitas personal yang dimiliki tokoh-tokoh bersejarah. Menurut mereka, digantikannya seorang tokoh dengan tokoh lainnya yang lebih bertalenta atau kurang bertalenta tidak akan mempengaruhi alur peristiwa bersejarah sedikit pun.[57] Tetapi bila kita membuat asumsi seperti itu, kita harus mengakui bahwa elemen-elemen personal tidak ada signifikansi sama sekali dalam sejarah, dan bahwa semua hal-ihwal dapat direduksi ke sebab-sebab umum, ke hukum-hukum umum perkembangan sejarah. Ini adalah posisi yang ekstrem, yang tidak memberi ruang apapun bagi elemen-elemen kebenaran yang terkandung dalam pandangan yang sebaliknya. Inilah mengapa pandangan yang sebaliknya masih mempertahankan hak keberadaannya. Benturan antara dua pandangan ini mengambil bentuk antinomi, dimana hukum-hukum umum adalah prinsip pertama, dan aktivitas individu adalah prinsip kedua. Dari sudut pandang prinsip kedua dalam antinomi ini, sejarah hanyalah sebuah rantaian kebetulan-kebetulan; dari sudut pandang prinsip yang pertama, bahkan fitur-fitur individual peristiwa-peristiwa sejarah ditentukan oleh sebab-sebab umum. Tetapi bila fitur-fitur individual peristiwa ditentukan oleh pengaruh sebab-sebab umum dan tidak bergantung pada kualitas-kualitas personal tokoh-tokoh bersejarah, maka dapat disimpulkan bahwa fitur-fitur tersebut ditentukan oleh sebab-sebab umum, dan tidak dapat diubah, tidak peduli sebanyak apapun tokoh-tokoh ini berubah. Maka, teori ini menjadi fatalis.

Ini tidak luput dari perhatian musuh-musuh teori tersebut. Sainte-Beuve membandingkan konsepsi sejarahnya Mignet dengan Bossuet. Bossuet berpendapat bahwa kekuatan yang menyebabkan peristiwa-peristiwa bersejarah datang dari langit dan merupakan ekspresi kehendak ilahi. Mignet mencari kekuatan ini dalam gairah manusia, yang termanifestasikan dalam peristiwa-peristiwa sejarah sebagai kekuatan Alam yang tidak dapat dibendung dan dihentikan. Tetapi keduanya menganggap sejarah sebagai sebuah rantai fenomena yang tidak mungkin bisa berbeda; keduanya adalah fatalis; dalam hal ini, kaum filsuf tidak jauh berbeda dengan pendeta (le philosophe se rapproche du prêtre).

Kritik ini dapat dibenarkan selama doktrin fenomena-sosial-yang-diatur-hukum mengatakan bahwa kualitas personal para tokoh sejarah sama sekali tidak memiliki pengaruh apapun. Kekuatan kritik ini semakin kuat karena para sejarawan mazhab baru ini, seperti halnya sejarawan dan filsuf abad ke-18, menganggap sifat manusia sebagai puncak dari segalanya; semua sebab-sebab umum perkembangan sejarah muncul dari sifat manusia dan tunduk padanya. Karena Revolusi Prancis telah menunjukkan bahwa peristiwa bersejarah tidak ditentukan hanya oleh aksi sadar manusia, maka Mignet, Guizot dan sejarawan lainnya dari mazhab yang sama menempatkan pengaruh gairah individu di tempat pertama, yang sering kali menyingkirkan semua kendali oleh pikiran. Tetapi bila gairah adalah penyebab fundamental dan paling universal peristiwa-peristiwa sejarah, lalu mengapai Sainte-Beuve salah dalam menekankan bahwa hasil Revolusi Prancis mungkin akan berkebalikan dari apa yang kita ketahui sekarang bila saja ada individu-individu yang mampu membangkitkan gairah yang sebaliknya dari apa yang menginspirasi rakyat Prancis? Mignet akan menjawab: tidak ada gairah lain yang dapat menginspirasi rakyat Prancis pada saat itu karena ciri-ciri sifat manusia. Dalam pengertian tertentu ini benar. Tetapi kebenaran ini akan memiliki nada yang sangat fatalis, karena ini serupa dengan tesis bahwa sejarah manusia, dalam semua detailnya, ditentukan oleh ciri-ciri umum sifat manusia. Fatalisme akan muncul di sini sebagai konsekuensi dari menghilangnya individu secara umum. Fatalisme memang selalu merupakan konsekuensi dari penghilangan semacam itu. Ada yang mengatakan: "Bila semua fenomena sosial adalah niscaya, maka aktivitas kita tidak akan berarti apapun." Ini adalah gagasan benar yang dirumuskan secara keliru. Kita seharusnya mengatakan: bila segala sesuatu terjadi sebagai hasil dari hal-hal umum, maka yang partikular, termasuk usaha saya sendiri, tidak ada artinya. Deduksi semacam ini tepat, tetapi diterapkan secara keliru. Ini sama sekali tidak berarti bila diterapkan ke konsepsi materialis modern mengenai sejarah, dimana juga ada ruang bagi yang partikular; tetapi bila diterapkan ke pandangan para sejarawan Prancis periode Restorasi, ini dapat dibenarkan.

Sifat manusia sudah tidak dapat lagi dianggap sebagai penyebab fundamental dan paling umum perkembangan sejarah: bila sifat manusia itu konstan, maka ini tidak dapat menjelaskan alur sejarah yang sangat berubah-ubah; bila sifat manusia dapat berubah, tentunya perubahan ini sendiri ditentukan oleh perkembangan sejarah. Hari ini kita harus menganggap perkembangan tenaga produksi sebagai penyebab fundamental dan paling umum perkembangan sejarah umat manusia, dan perkembangan kekuatan produksi inilah yang menentukan perubahan dalam hubungan sosial manusia. Bersamaan dengan sebab umum ini adalah sebab-sebab spesifik, yakni situasi sejarah yang melatari berlangsungnya perkembangan kekuatan produksi bangsa tertentu, dan pada analisa terakhir situasi sejarah itu sendiri diciptakan oleh perkembangan kekuatan-kekuatan yang sama di antara bangsa-bangsa lain, yakni sebab umum yang sama.

Akhirnya, pengaruh sebab-sebab spesifik ini diperbesar oleh sebab-sebab partikular, yakni ciri-ciri personal tokoh-tokoh ternama dan "kebetulan-kebetulan" lainnya, yang membuat peristiwa memiliki fitur-fitur individual. Sebab-sebab tunggal tidak dapat menyebabkan perubahan radikal dalam beroperasinya sebab-sebab umum dan spesifik, yang, terlebih lagi, menentukan arah dan batas-batas pengaruh sebab-sebab partikular. Namun, tidak diragukan kalau sejarah akan memiliki sepuhan yang berbeda bila saja sebab-sebab partikular yang mempengaruhi sejarah tersebut digantikan dengan yang lain.

Monod dan Lamprecht masih mengikuti sudut pandang sifat manusia. Lamprecht, secara kategorikal dan berulang kali, telah mengumumkan bahwa dalam pendapatnya mentalitas sosial adalah penyebab dasar fenomena sejarah. Ini adalah kesalahan besar; sebagai akibat dari kesalahan ini, niat – yang sendirinya adalah niat yang baik – untuk mempertimbangkan "totalitas kehidupan sosial" hanya dapat berakhir ke eklektisme yang hambar dan membosankan, atau, di antara orang yang paling konsisten, ke argumennya Kablitz mengenai signifikansi relatif akal dan sentimen

Tetapi mari kita kembali lagi ke subjek kita. Seorang tokoh hebat adalah hebat bukan karena kualitas-kualitas personalnya memberikan sepuhan individual pada peristiwa bersejarah, tetapi karena dia memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya paling mampu melayani kebutuhan-kebutuhan sosial besar pada jamannya, kebutuhan-kebutuhan yang muncul di bawah pengaruh sebab-sebab umum dan partikular. Dalam bukunya yang terkenal itu mengenai pahlawan dan penyanjungan-pahlawan, Carlyle menyebut orang-orang hebat sebagai pelopor. Ini adalah deskripsi yang tepat. Seorang tokoh besar adalah pelopor karena dia melihat lebih jauh daripada orang lain dan hasratnya lebih kuat daripada orang lain. Dia menyelesaikan problem-problem ilmiah yang dikedepankan oleh alur perkembangan intelektual yang sebelumnya; dia menunjukkan kebutuhan-kebutuhan sosial baru yang diciptakan oleh perkembangan relasi-relasi sosial sebelumnya; dia mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial tersebut. Dia adalah seorang pahlawan, bukan dalam artian bahwa dia dapat menghentikan atau mengubah alur peristiwa, tetapi dalam artian bahwa aktivitas-aktivitasnya adalah ekspresi sadar dan bebas dari alur peristiwa yang tak terelakkan dan tak sadar itu. Di sinilah terletak semua signifikansinya, semua kekuatannya. Tetapi signifikansi ini amat besar, dan kekuatan ini sangat kuat.

Apa yang dimaksud dengan alur alami peristiwa?

Bismarck mengatakan bahwa kita tidak dapat membuat sejarah tetapi harus menunggu sementara sejarah dibuat. Tetapi siapa yang membuat sejarah? Sejarah dibuat oleh manusia sosial, yang merupakan "faktor" satu-satunya. Manusia sosial menciptakan relasi sosialnya sendiri. Tetapi bila dalam epos tertentu dia menciptakan relasi sosial tertentu dan bukan yang lainnya, ini tentu ada sebabnya; ini ditentukan oleh kondisi kekuatan produksi. Tidak ada satupun orang hebat yang bisa memaksakan ke dalam masyarakat sebuah relasi sosial yang sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi kekuatan produksi atau yang belum sesuai dengan kondisi kekuatan produksi. Dalam pengertian ini, dia tidak dapat membuat sejarah, dan dalam pengertian ini, usahanya untuk menggeser jarum jam akan sia-sia: dia tidak akan mempercepat arus waktu atau memutar balik waktu. Di sini Lamprecht cukup benar: bahkan di puncak kekuasaannya, Bismarck tidak akan mampu mengembalikan Jerman ke ekonomi primitif.

Relasi-relasi sosial memiliki logika mereka sendiri: selama manusia hidup dalam  relasi timbal-balik tertentu, mereka akan merasa, berpikir dan bertindak dalam satu cara tertentu dan tidak lainnya. Usaha oleh tokoh ternama mana pun untuk melawan logika ini akan sia-sia; alur alami peristiwa (dalam kata lain, logika relasi sosial ini) akan membuat sia-sia semua usaha mereka. Tetapi bila saya tahu ke arah mana relasi-relasi sosial berubah karena perubahan dalam proses sosio-ekonomi produksi, saya juga tahu ke arah mana mentalitas sosial akan berubah; sebagai akibatnya, saya akan mampu mempengaruhinya. Mempengaruhi mentalitas sosial berarti mempengaruhi peristiwa-peristiwa sejarah. Maka, dalam pengertian tertentu, saya dapat membuat sejarah, dan tidak perlu saya menunggu sementara "sejarah dibuat".

Monod percaya bahwa peristiwa-peristiwa dan individu-individu yang sangat penting dalam sejarah hanyalah penting sebagai tanda dan simbol perkembangan institusi dan kondisi ekonomi. Gagasan ini benar walaupun diekspresikan secara tidak tepat; tetapi hanya karena gagasan ini benar, tidak ada alasan untuk mempertentangkan aktivitas orang hebat dengan perkembangan kondisi dan institusi ekonomi yang "lamban". Perubahan "kondisi ekonomi" yang kurang lebih lamban secara periodik menghadapkan masyarakat dengan keniscayaan untuk mengubah institusinya secara kurang lebih cepat. Perubahan ini tidak pernah terjadi "dengan sendirinya"; perubahan ini selalu membutuhkan intervensi manusia, yang lalu dihadapkan dengan problem-problem sosial yang besar. Tokoh-tokoh yang disebut hebat adalah mereka yang memfasilitasi penyelesaian problem-problem ini jauh lebih baik dibandingkan orang lain. Tetapi menyelesaikan problem bukan berarti semata menjadi "simbol" atau "tanda".

Namun, menurut kami, Monod mempertentangkan kedua hal di atas terutama karena dia menyukai kata "lamban" yang terdengar menyejukkan itu, sebuah kata yang sangat disenangi oleh kaum evolusionis hari ini. Secara psikologis, kecenderungan ini dapat dipahami: ini tak ayal muncul di antara orang-orang yang moderat dan cermat ... Tetapi secara logika, kecenderungan ini roboh di hadapan kritik, seperti yang telah dibuktikan oleh Hegel.

Sebuah medan aktivitas yang luas terbuka tidak hanya untuk "kaum pelopor" dan orang-orang "hebat". Medan ini terbuka bagi siapapun yang punya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan hati untuk mengasihi sesama manusia. Konsep kehebatan adalah sebuah konsep yang relatif. Dari sudut pandang moral, seperti yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru, seorang yang hebat adalah "seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya".


Catatan Kaki

[1] N. K. Mikhailovsky, yang membalas artikel Kablitz dalam Literary Notes for 1878. [Ed.]

[2] Quietisme adalah sebuah filsafat Kristen yang menyebar luas di Prancis, Italia, dan Spanyol pada abad ke-17, yang mengajarkan bahwa manusia harus menolak kehendak bebas, menjadi pasif, dan menyerahkan dirinya pada takdir ilahi, sebagai syarat untuk menjadi sempurna. [Ed.]

[3] Orang Prancis abad ke-17 akan terkejut dengan kombinasi materialisme dan dogma religius ini. Namun di Inggris tidak seorang pun akan mengira ini aneh. Priestley sendiri sangat religius. Negara lain, kebudayaan lain. [Plekhanov]

[4] Kristen Keniscayaan adalah sebuah sekte Kristen yang memandang bahwa kehendak manusia itu tidaklah bebas dan bahwa makhluk bermoral tidak bertindak bebas tetapi mereka bertindak sesuai dengan keniscayaan. [Ed.]

[5] Lihat terjemahan Rusia karya Sejarah Sastra Prancis, Vol. I, hal. 511. [Histoire de la littérature française, Paris, 1896, hal. 446]. [Plekhanov]

[6] Semua orang tahu bahwa menurut doktrin Calvin semua tindakan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Praedestinationem vocamur aeternum Dei decretum, quod apud se constitutum habuit, quid de unoquoque homine fieri valet (Institutio, lib. III, cap. 5) [Yang kita maksud dengan takdir adalah apa yang telah diputuskan secara abadi oleh Tuhan, yang ditentukan oleh Dia untuk Dirinya sendiri, dan berlaku untuk manusia.] Menurut doktrin ini, Tuhan memilih hamba-hamba tertentu untuk membebaskan rakyat tertindas. Salah satunya adalah Musa, yang membebaskan rakyat Israel. Semua menunjukkan bahwa Cromwell juga melihat dirinya sebagai instrumen Tuhan; dia selalu menyebut tindakannya sebagai buah dari kehendak Tuhan, dan kemungkinan besar dia sungguh mempercayai ini. Bagi dia, semua tindakannya diwarnai sedari awal oleh sepuhan keniscayaan. Ini tidak mencegahnya dari berjuang demi kemenangan, ini bahkan memberi perjuangannya sebuah kekuatan yang teramat besar. [Plekhanov]

[7] Hamlet adalah tokoh dalam drama Hamlet karya William Shakespeare. [Ed.]

[8] "C'est comme si l'aiguille aimantée prenait plaisir de se tourner vers le nord car elle croirait tourner indépendamment de quelque autre cause, ne s'apercevant pas des mouvements insensibles de la matière magnétique" (Leibnitz, Théodicée, Lausanne, MDCCLX, hal. 598). [Ini seolah-olah jarum kompas, yang tidak menyadari pengaruh magnet yang tak terlihat dan membayangkan dia bergerak secara independen dari sebab-sebab apapun, mendapatkan kepuasan dengan berpaling ke utara seturut kehendaknya.] [Plekhanov]

[9] Kita akan mengutip satu contoh lainnya, yang secara jelas mengilustrasikan bagaimana kuatnya semangat orang-orang seperti ini. Dalam suratnya kepada gurunya Calvin, Renée de France, Duchess of Ferrare (anak perempuan Louis XII), menulis seperti berikut: "Tidak, saya belum melupakan apa yang kamu tulis kepada saya: bahwa David sangat membenci musuh-musuh Tuhan. Dan saya tidak akan pernah bertindak berbeda, karena saya tahu bahwa sang Raja, ayahku, sang Ratu, ibuku, almarhum Pangeran, suamiku (feu monsieur mon mari) dan semua anak-anakku telah diasingkan oleh Tuhan, dan saya akan membenci mereka dengan kebencian yang mematikan dan menyumpah mereka ke Neraka," dst. Sungguh suatu energi destruktif yang mengerikan, yang ditunjukkan oleh orang-orang yang merasa seperti ini! Dan kendati demikian, orang-orang ini menyangkal kehendak bebas. [Plekhanov]

[10] Plekhanov merujuk ke karya I.S. Turgenev, "Hamlet of Shchigrovsky District". [Ed.]

[11] Monisme adalah filsafat yang memandang ide dan materi, subjek dan objek, sebagai satu kesatuan. Ini berkebalikan dengan dualisme yang melihat adanya jurang antara subjek dan objek. [Ed.]

[12] "Die Notwendigkeit wird nicht dadurch zur Freiheit, dass sie verschwindet, sondern dass nur ihre noch innere Identität manifestiert wird." (Hegel, Wissenschaft der Logik, Nürnberg, 1816, zweites Buch, S. 281) [Keniscayaan menjadi kebebasan bukan dengan menghilang; ia menjadi kebebasan hanya karena identitasnya yang masih inheren memanifestasikan dirinya.] [Plekhanov]

[13] Seperti yang dikatakan Hegel tua dengan sangat baik: "Die Freiheit ist dies, Nichts zu wollen als sich" (Werke, В. 12, S. 98 Philosophie der Religion). [Kebebasan tidak lain adalah penegasan diri sendiri.] [Plekhanov]

[14] Akaky Akakievich adalah karakter di dalam ceritanya Nikolai Gogol, The Overcoat. [Ed.]

[15] Dalam usaha kami untuk mencapai sebuah sintesa, kami dicegah oleh Mr. Kareyev. Namun sayangnya dia tidak bergerak lebih jauh daripada mengakui truisme bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. [Plekhanov]

[16] Perekonomian primitif merujuk pada sistem ekonomi dimana pertukaran barang tidak dilakukan dengan uang tetapi dengan barter langsung. [Ed.]

[17] Mengesampingkan esai-esai filosofi dan sejarah Lamprecht yang lainnya, kami merujuk pada esainya, Der Ausgang des geschichtswissenschaftlichen Kampfes, Die Zukunft, 1897, No.44. [Plekhanov]

[18] Dalam mitologi Yunani, Minos adalah raja Crete [Ed.]

[19] Lycurgus (800-730 SM) adalah tokoh legendaris Sparta yang mengubah Sparta menjadi masyarakat militer. [Ed.]

[20] Oeuvres Complètes de l'abbé de Mably, London 1783 (Vol.IV), 3, 14-22, 24 et 192. [Plekhanov]

[21] Lysander [meninggal 395 SM], pemimpin militer dan politik bangsa Sparta, yang berhasil menaklukkan Athena dan menguasai Yunani. [Ed.]

[22] Ibid. hal.101. [Plekhanov]

[23] Restorasi Bourbon adalah masa restorasi monarki pada 1814-30, ketika Napoleon Bonaparte lengser dan monarki Bourbon kembali bertakhta di bawah Louis XVI (1814-24) dan lalu Charles X (1824-1830). Selama periode Restorasi ini, pemerintah memutar balik banyak pencapaian Revolusi Prancis untuk mengembalikan privilese rejim feodal. Kendati banyak pencapaian Revolusi Prancis diputar balik, tetapi kebanyakan pencapaian demokratisnya yang fundamental tetap berlaku. Monarki Bourbon akhirnya ditumbangkan oleh oposisi liberal pada Revolusi Juli 1830. [Ed.]

[24] Bandingkan surat pertamanya dalam Lettres sur l'histoire de France dengan l'Essai sur le genre dramatique sérieux pada jilid pertama dari Oeuvres complètes de Beaumarchais. [Plekhanov]

[25] Oeuvres complètes de Chateaubriand, Paris 1804, t. VII, hal. 58. Kami juga merekomendasikan halaman selanjutnya kepada para pembaca; seorang mungkin berpikir ini ditulis oleh Tn. N. Mikailevsky. [Plekhanov]

[26] Cf. "Considérations sur l'histoire de France", Supplement to Récits des temps mérovingiens, Paris, 1840, hal. 72.[Plekhanov]

[27] Dalam tinjauannya terhadap Sejarah Revolusi Prancis edisi ketiga karya Mignet, Sainte-Beuve menjelaskan sikap Mignet terhadap orang hebat seperti berikut ini: "Ä la vue des vastes et profondes émotions populaires qu'il avait à décrire, au spectacle de l'impuissance et du néant où tombent les plus sublimes génies, les vertus les plus saintes, alors que less masses se soulèvent, il s'est pris de pitié pour les individus, n'a vu en eux pris isolement que faiblesse et ne leur a reconnu d'action efficace, que dans leur union avec la multitude." [Ketika menyaksikan pemberontakan rakyat yang luas dan dalam yang harus dia gambarkan, dan ketika menyaksikan keimpotenan dan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh para jenius terhebat dan orang-orang suci yang paling saleh saat rakyat bangkit, dia [Mignet] meratapi manusia sebagai individu, dan hanya bisa melihat kelemahan mereka saat mereka terisolasi, dan percaya bahwa individu hanya bisa bertindak secara efektif bila bersamaan dengan massa.] [Plekhanov]

[28] Peperangan Suksesi Austria (1740-1748) adalah perang yang melibatkan hampir semua kerajaan di Eropa kecuali Polandia-Lituania. Perang ini dipercik oleh dalih bahwa Maria Theresa dari Austria tidak diperbolehkan mengambil tampuk kerajaan Habsburg dari ayahnya, Charles VI, karena dia adalah perempuan, walaupun pada kenyataannya ini hanyalah alasan bagi Prusia dan Prancis untuk merebut Austria. Perang ini selesai dengan Austria kehilangan daerah Silesia kepada Prusia. [Ed.]

[29] Louis XV (1710-1774) adalah raja Prancis dari 1715, yakni semenjak berumur lima tahun, hingga tahun 1774. Di bawah kekuasaannya, Prancis mengalami kekalahan pada Perang Tujuh Tahun dan kehilangan koloninya di Amerika Utara. [Ed.]

[30] Pakta Perdamaian Aix-la-Chapelle adalah perdamaian yang diteken pada 18 Oktober 1748 untuk mengakhiri Peperangan Suksesi Austria. [Ed.]

[31] Perang Tujuh Tahun (1756-1763) melibatkan dua kubu: kubu pertama, Prusia, Inggris, dan Portugal; kubu lainnya Prancis, Austria, Rusia, Saxony, dan Swedia. Perang ini dipicu oleh usaha Austria untuk memenangkan kembali wilayah Silesia, dan juga persaingan Anglo-Prancis untuk memperebutkan wilayah jajahan di Kanada dan India. Prancis kalah, dan Inggris memenangkan jajahan Kanada dan India. [Ed.]

[32] Yang lain mengatakan bahwa ini adalah kesalahan Broglie yang tidak menunggu temannya, karena dia tidak ingin berbagi kejayaan kemenangan dengannya. Ini tidak mengubah apapun, karena ini tidak mengubah hasil akhir. [Plekhanov]

[33] Ratu Elizabeth memerintah Rusia dari 1741 sampai 1762. Setelah dia meninggal, Peter III naik takhta menggantikannya sebagai penguasa Rusia. Peter III menghormati Frederick II dan menolak melanjutkan perang melawan Prusia, dan ini memfasilitasi kemenangan Prusia dalam mempertahankan Silesia. [Ed.]

[34] Mirabeau (1749-1791) adalah jurnalis, diplomat, dan politisi Prancis. Selama Revolusi Prancis 1789, dia adalah seorang moderat dan anggota partai monarki konstitusional. Dia meninggal karena menderita penyakit jantung perikarditis. [Ed.]

[35] Maximilien Robespierre (1758-1794) adalah tokoh ternama dalam Revolusi Prancis 1789. Dia mewakili sayap kiri radikal Revolusi Prancis (Jacobin) yang tidak berkompromi dengan kaum aristokrasi. Dia akhirnya dieksekusi oleh reaksi Thermidor. [Ed.]

[36] Napoleon Bonaparte (1769-1821) adalah pemimpin militer dan Kaisar Prancis. Pada 9 November 1799, dia melakukan kudeta terhadap Republik Prancis yang lahir dari Revolusi Prancis 1789 dimana dia mengangkat dirinya sebagai Kaisar Prancis. [Ed.]

[37] Histoire de France,  4th edition, XV, hal. 520-21. [Plekhanov]

Di sini Plekhanov merujuk pada pasukan kerajaan Persia di bawah kekuasaan Darius I dan lalu anaknya Xerxes I selama perangnya dengan Yunani pada 499-449 SM. Legenda menuturkan besarnya pasukan mereka yang mencapai jutaan personel, dengan iring-iringan yang sangat mewah. Walaupun pasukan Persia besar, tetapi mereka akhirnya kalah perang dengan Yunani. Sementara angkatan bersenjata Prancis di bawah jenderal Turenne (1611-1675) dan Swedia di bawah Raja Gustavus Adolphus (1594-1632) dikenal sebagai pasukan yang sangat efisien, yang berhasil meraih banyak kemenangan dalam perang. [Ed.]

[38] Baca Mémoires de Madame du Hausset, Paris, 1824, hal. 181. [Plekhanov]

[39] Lettres de la Marquise de Pompadour, Londres, 1772, t. I. [Plekhanov]

[40] Mirabeau menderita penyakit perikarditis, peradangan pada selaput pembungkus jantung, dan meninggal pada 2 April 1791. Sebagai pemimpin periode awal Revolusi Prancis 1789, kematiannya jelas mempengaruhi alur Revolusi tersebut. [Ed.]

[41] Raja Louis XVI dipancung oleh Robespierre pada 21 Januari 1793. [Ed.]

[42] Kaum Girondin adalah representasi kelas borjuasi besar pada saat Revolusi Prancis 1798. Mereka berayun-ayun antara demokrasi dan monarki. [Ed.]

[43] Reaksi Thermidor adalah kontra-revolusi yang terjadi menyusul Revolusi Prancis 1789. Pada tanggal 9 Thermidor II (penanggalan Gregorian, 27 Juli 1794), pemerintahan Jacobin yang revolusioner digulingkan oleh elemen-elemen yang lebih konservatif. Rejim Robespierre ditumbangkan dan digantikan oleh Pemerintahan Direktorat. Proses ini berakhir dengan perebutan kekuasaan oleh Napoleon Bonaparte pada 18 Brumaire VIII (19 November 1799). Napoleon memproklamirkan dirinya sebagai Kaisar seumur hidup dan mengubur hampir semua pencapaian Revolusi Prancis. [Ed.]

[44] Thermidor, Floréal, Prairial, Messidor, Brumaire, dst. adalah nama-nama bulan kalender Revolusioner Prancis yang diperkenalkan selama Revolusi Prancis 1789 untuk menggantikan kalender Gregorian, dan digunakan oleh pemerintahan Republik Prancis dari 1793 sampai 1805. [Ed.]

[45] Pada tanggal 18 Brumaire VIII (9 November 1799) Napoleon Bonaparte meluncurkan kudeta yang menumbangkan Pemerintahan Direktorat. [Ed.]

[46] Pemerintahan Direktorat adalah pemerintahan yang dibentuk di Prancis setelah kudeta 9 Thermidor II (27 Juli 1794) yang menyingkirkan Robespierre dan kaum Jacobin. Pemerintahan ini beranggotakan lima Direktur yang memegang kekuatan eksekutif, dan memerintah dari 1795 hingga 1799, sebelum ditumbangkan oleh Napoleon Bonaparte. [Ed.]

[47] La vie en France sous le premier Empire, par le Vicomte de Broc, Paris, 1895, hal. 35-36 et. seq. [Plekhanov]

[48] St. Helena adalah pulau di mana Napoleon Bonaparte diasingkan pada Desember 1815 setelah ditangkap oleh pasukan Inggris yang berhasil mengepungnya. Dia akhirnya meninggal di sana pada 5 Mei 1821. [Ed.]

[49] Louis Phillipe (1773-1850) adalah Raja Prancis pada 1830-1848. Dia menggantikan sepupunya Raja Charles X dalam Revolusi Juli yang mengakhiri Dinasti Bourbon. Kekuasaan Louis Phillipe lalu ditumbangkan oleh Revolusi 1848 yang membentuk Republik Prancis kedua. [Ed.]

[50] Mungkin Napoleon akan berangkat ke Rusia, dan sesungguhnya dia bermaksud ke sana beberapa tahun sebelum Revolusi. Di sana, tidak diragukan, dia akan meraih ketenaran dalam berperang melawan orang-orang Turki atau penghuni gunung Caucasian, tetapi di sana tidak akan ada yang membayangkan bahwa perwira yang miskin tapi berbakat ini dapat menjadi penguasa dunia. [Plekhanov]

[51] Cf. Histoire de France, par Victor Duruy, Paris, 1893, t. II, hal. 524-25. [Plekhanov]

[52] Selama masa kekuasaan Louis XV, hanya satu perwakilan dari estate ketiga, Chevert, yang mampu naik ke pangkat letnan jenderal. Selama masa kekuasaan Louis XVI, bahkan lebih sulit bagi anggota estate ketiga untuk meniti karier militer. Baca Rambeaud, Histoire de la civilisation française,  6th edition, t. II, hal. 226. [Plekhanov]

[53] Histoire de la Peinture en Italie, Paris, 1889, 23-25. [Plekhanov]

[54] Terburg, Brouwer dan Rembrandt lahir pada 1608; Adriaen van Ostade dan Ferdinand Bol lahir pada 1610; Van der Helst dan Gerard Douw pada 1615; Wouwerman pada 1620; Weenix, Everdingen dan Pynacker lahir pada 1621; Berchem pada 1624 dan Paulus Potter 1629; Jan Steen pada 1626; Ruisdael dan Metsu lahir pada 1630; Van der Heyden pada 1637; Hobbema pada 1638 dan Adriaen van de Velde pada 1639. [Plekhanov]

[55] "Shakespeare. Beaumont, Fletcher, Jonson, Webster, Massinger, Ford, Middleton dan Heywood, yang muncul pada waktu yang sama, atau saling menyusuli, mewakili generasi baru, yang tumbuh subur di tanah yang telah dipersiapkan oleh usaha-usaha generasi sebelumnya." (Taine, Histoire de la littérature anglaise, Paris, 1863, t. I, hal. 468). [Plekhanov]

[56] H. Taine, Histoire de la littérature anglaise, Paris, 1863, t. II, hal. 5. [Plekhanov]

[57] Yakni, mereka berargumen demikian tatkala mendiskusikan bagaimana peristiwa bersejarah diatur oleh hukum. Namun, ketika beberapa dari mereka mendeskripsikan fenomena semacam ini, mereka terkadang memberikan signifikansi berlebihan pada elemen personal. Tetapi yang menarik bagi kita di sini bukanlah deskripsi mereka tetapi argumen mereka. [Plekhanov]