Sumber: Bonapartism and Fascism. New International, Vol.1 No.2, Agustus 1934, hal.37-38.
Ditulis pada 15 Juli, 1934.
Penerjemah: Ted Sprague (18 Oktober 2025)
Orientasi teori yang tepat menjadi teramat penting dalam praktik terutama ketika kita memasuki periode konflik sosial yang akut dengan pergeseran-pergeseran politik yang cepat serta perubahan-perubahan situasi yang tiba-tiba. Dalam periode seperti itu, konsepsi serta generalisasi politik dengan cepat menjadi tidak lagi memadai dan kita entah harus sepenuhnya menggantinya (sesuatu yang lebih mudah) atau harus membuatnya menjadi konkret, membuatnya menjadi lebih tepat, atau memperbaikinya secara parsial (sesuatu yang lebih sukar). Justru dalam periode seperti itulah muncul berbagai situasi transisional dan peralihan, serta berbagai kombinasinya, yang merusak semua pola-pola lama yang ada sebelumnya. Dan ini semakin menuntut kita untuk memberikan perhatian teoretis secara berkelanjutan. Singkatnya, bila selama periode damai dan “organik” (yakni sebelum perang) kita masih dapat mengandalkan beberapa abstraksi yang sudah jadi, di zaman sekarang setiap peristiwa baru menegaskan kembali hukum dialektika yang paling penting: Kebenaran selalu konkret.
Teori fasisme kaum Stalinis jelas merupakan salah satu contoh paling tragis bagaimana konsekuensi praktis yang buruk menanti kita bila kita mengganti analisa dialektis atas realitas, dalam setiap fase konkretnya, dalam semua tahap transisionalnya, yaitu, dalam perubahan bertahapnya serta dalam lompatan revolusionernya (atau kontra-revolusioner), dengan kategori-kategori abstrak yang dirumuskan atas dasar pengalaman sejarah yang parsial dan tidak memadai (atau pandangan yang sempit terhadap keseluruhan sejarah). Kaum Stalinis mengadopsi gagasan bahwa di periode hari ini kapital finans tidak dapat menoleransi demokrasi parlementer dan mesti menggunakan fasisme. Dari gagasan ini, yang sepenuhnya benar dalam batasan tertentu, mereka secara deduktif dan formalis menarik kesimpulan yang sama untuk semua negara dan untuk semua tahapan perkembangan. Bagi mereka, Primo de Rivera, Mussolini, Chiang Kai-shek, Masaryk, Brüning, Dollfuss, Piłsudski, Raja Serbia Alexander, Severing, MacDonald, dll., adalah perwakilan fasisme. Namun mereka lupa bahwa:
(a) di masa lalu pun, kapitalisme tidak pernah menoleransi demokrasi “murni”, dan kapitalisme kadang menyandingkan demokrasi dengan rezim represif terbuka, kadang menggantinya dengan rezim represif;
(b) tidak ada kapitalisme finans “murni” di mana pun;
(c) bahkan ketika kapital finans menempati posisi dominan, ia tidak eksis dan bertindak dalam vakum dan harus berhadapan dengan strata-strata borjuis lainnya dan dengan perlawanan kelas-kelas tertindas;
(d) akhirnya, di antara demokrasi parlementer dan rezim fasis ada serangkaian bentuk transisional yang niscaya saling menyela satu sama lain, kadang secara “damai,” kadang melalui perang saudara. Dan masing-masing bentuk transisional ini, jika kita ingin melangkah maju dan tidak terlempar ke belakang, menuntut kajian teoritis yang tepat dan kebijakan proletariat yang sesuai.
Berdasarkan pengalaman Jerman, kaum Bolshevik-Leninis [Oposisi Kiri] untuk pertama kalinya menyaksikan bentuk pemerintahan transisional di Jerman (meskipun pemerintahan seperti itu dapat dan seharusnya sudah didirikan berdasarkan pengalaman Italia) yang kami sebut Bonapartisme, yaitu pemerintahan Brüning, Papen, Schleicher[1]. Dalam bentuk yang lebih persis dan lebih berkembang, kami kemudian menyaksikan rezim Bonapartis di Austria. Determinisme bentuk transisional ini telah menjadi jelas – tentu saja bukan dalam artian fatalistik tetapi dalam artian dialektis – untuk negara-negara dan periode-periode di mana fasisme, dengan semakin berhasil, tanpa menghadapi perlawanan sengit dari kaum proletar, menyerang demokrasi parlementer untuk kemudian mencekik kaum proletar.
Selama rezim Brüning-Schleicher, Manuilsky dan Kuusinen[2] menyatakan: “Fasisme sudah ada di sini”. Mereka menyatakan teori tahap-peralihan Bonapartis adalah upaya untuk mengaburkan dan menyamarkan fasisme agar mempermudah kebijakan “minus malum” Sosial Demokrasi. Saat itu, kaum Sosial Demokrat disebut kaum sosial-fasis, dan kaum Sosial Demokrat “kiri” seperti Zyromski-Pivert-Just[3] dianggap sebagai kaum sosial-fasis yang paling berbahaya setelah kaum “Trotskis”. Semua ini kini telah berubah. Mengenai Prancis saat ini, kaum Stalinis tidak berani mengulang: “Fasisme sudah ada di sini”; sebaliknya, mereka telah menerima kebijakan front persatuan[4], yang mereka tolak kemarin, guna mencegah kemenangan fasisme di Prancis. Mereka menemukan diri mereka terpaksa membedakan rezim Doumergue[5] dari rezim fasis. Namun, mereka tiba ke kesimpulan ini sebagai kaum empiris dan bukan sebagai Marxis. Mereka bahkan tidak mencoba secara ilmiah mendefinisikan rezim Doumergue. Mereka yang beroperasi dalam ranah teori dengan kategori-kategori abstrak dikutuk untuk tunduk secara buta pada fakta. Namun, justru di Prancis, peralihan dari parlementarisme ke Bonapartisme (atau lebih tepatnya, tahap pertama peralihan ini) telah mengambil karakter yang sangat mencolok dan demonstratif. Cukuplah untuk mengingat bahwa pemerintahan Doumergue muncul di panggung sejarah pada 7 Februari, yakni antara geladi resik perang saudara oleh kaum fasis (6 Februari) dan pemogokan umum kaum proletar (12 Februari).[6] Begitu kedua kubu yang tak terdamaikan itu mengambil posisi tempur mereka di kutub-kutub berseberangan dalam masyarakat kapitalis, tidak lama kemudian menjadi jelas bahwa aritmetika parlementarisme telah kehilangan semua signifikansinya. Memang benar pemerintahan Doumergue, seperti pemerintahan Brüning-Schleicher di Jerman, sekilas tampak memerintah dengan persetujuan parlemen. Akan tetapi, ini adalah parlemen yang telah turun takhta, parlemen yang tahu bila mereka melawan maka pemerintah akan membubarkannya. Kubu kontra-revolusi yang menyerang dan kubu revolusi yang bertahan relatif ada dalam posisi seimbang, dan mereka saling menyeimbangkan; berkat keseimbangan relatif ini sebuah poros kekuasaan mengangkat dirinya di atas kelas-kelas dan di atas perwakilan parlementer mereka. Kita harus mencari kepala pemerintahan ini di luar parlemen dan “di luar partai-partai.”[7] Kepala pemerintahan ini telah memanggil dua jenderal untuk membantunya.[8] Trinitas ini menopang dirinya di kanan dan di kiri dengan menyandera parlemen. Dengan demikian, pemerintah tidak tampil sebagai organ eksekutif dari kelompok mayoritas dalam parlemen, tetapi sebagai hakim agung yang menengahi dua kubu yang sedang bertikai.
Namun, pemerintah yang mengangkat dirinya di atas negara bukanlah pemerintah yang menggantung di udara. Poros sejati pemerintahan saat ini dapat ditemui dalam polisi, birokrasi, dan klik militer. Kita dihadapkan pada kediktatoran militer-polisi, yang hanya ditutupi dengan sedikit hiasan parlementarisme. Namun, pemerintahan yang menggunakan pedang sebagai hakim-penengah masyarakat – justru itulah Bonapartisme.
Pedang itu tidak memiliki programnya sendiri yang independen. Pedang itu adalah instrumen ‘ketertiban’. Ia dipanggil untuk menjaga apa yang sudah ada. Dengan mengangkat dirinya secara politik di atas kelas-kelas, Bonapartisme, seperti pendahulunya Caesarisme, mewakili dalam pengertian sosial, selalu dan di semua zaman, pemerintahan lapisan penghisap yang paling kuat dan paling tegas. Oleh karenanya, Bonapartisme masa kini tidak lain adalah pemerintahan kapital finans yang mengarahkan, mengilhami, dan mengkorupsi puncak birokrasi negara, polisi, kasta militer, dan pers.
"Reformasi konstitusional" yang telah banyak dibicarakan selama beberapa bulan terakhir hanya memiliki satu tujuan: untuk menyesuaikan lembaga-lembaga negara dengan tuntutan dan kebutuhan pemerintahan Bonaparte. Kapital finans tengah mencari jalur hukum untuk bisa memaksakan kapan saja hakim-penengah yang paling cocok ke masyarakat, dengan persetujuan paksa dari kuasi-parlemen. Jelas bahwa pemerintahan Doumergue bukanlah "pemerintahan kuat" yang ideal. Masih ada kandidat Bonaparte lainnya yang lebih cocok. Pengalaman baru dan kombinasi baru dalam ranah ini masihlah mungkin jika alur perjuangan kelas di masa depan memberi mereka cukup waktu.
Untuk memahami perspektif Prancis ke depannya, kita perlu mengulang kembali apa yang pernah dikatakan kaum Bolshevik-Leninis tentang Jerman: peluang politik Bonapartisme Prancis saat ini tidaklah besar. Stabilitasnya ditentukan oleh keseimbangan sementara – keseimbangan yang pada dasarnya tidak stabil – antara kubu proletariat dan fasisme. Perimbangan kekuatan antara kedua kubu ini terus berubah dengan cepat, sebagian di bawah pengaruh situasi ekonomi, terutama bergantung pada kualitas kebijakan partai pelopor proletar. Bentrokan antara kedua kubu ini tidak dapat dihindari. Proses ini akan berlangsung dalam hitungan bulan, bukan tahun. Rezim yang stabil hanya dapat dibangun setelah benturan tersebut, tergantung pada hasilnya.
Fasisme yang berkuasa, seperti Bonapartisme, hanya dapat menjadi pemerintahan kapital finans. Dalam pengertian sosial ini, fasisme tidak dapat dibedakan tidak hanya dari Bonapartisme, tetapi bahkan dari demokrasi parlementer. Setiap kali kaum Stalinis menyadari ini lagi dan lagi, mereka lupa bahwa masalah sosial hanya dapat diselesaikan dalam ranah politik. Kekuatan kapital finans tidak terletak pada kemampuannya untuk membentuk pemerintahan dalam bentuk apa pun dan kapan pun sesuai keinginannya; kapital finans tidak memiliki kemampuan ini. Kekuatannya terletak pada fakta bahwa setiap pemerintahan non-proletar harus melayani kapital finans; atau lebih tepatnya, kapital finans memiliki kemungkinan untuk mengganti setiap sistem dominasinya yang rusak dengan sistem lain yang lebih sesuai dengan kondisi yang berubah. Namun, peralihan dari satu sistem ke sistem lain menandakan krisis politik yang, seiring dengan aktivitas kaum proletar revolusioner, dapat berubah menjadi bahaya sosial bagi kaum borjuis. Peralihan dari demokrasi parlementer ke Bonapartisme sendiri diiringi oleh perang saudara yang bergejolak di Prancis. Peralihan dari Bonapartisme ke fasisme akan penuh dengan gejolak yang jauh lebih hebat dan sebagai akibatnya juga penuh dengan kemungkinan revolusioner.
Hingga kemarin, kaum Stalinis menganggap bahwa "kesalahan utama" kami adalah dalam fasisme kita melihat kaum borjuis kecil dan bukan kapital finans. Dalam hal ini pun mereka menggunakan kategori-kategori abstrak sebagai pengganti dialektika kelas. Fasisme adalah cara khusus untuk memobilisasi dan mengorganisasi kaum borjuis kecil demi kepentingan sosial kapital finans. Selama rezim demokrasi, kapital mau tidak mau berusaha membuat kaum buruh percaya pada kelas borjuis kecil yang reformis dan pasifis. Sebaliknya, jalan menuju rezim fasisme tidak dapat dibayangkan tanpa terlebih dahulu meresapi kaum borjuis kecil dengan kebencian terhadap kaum proletar. Dominasi kelas yang sama, yaitu kapital finans, bertumpu pada kedua rezim ini – demokrasi dan fasisme; dan masing-masing rezim ini mengandalkan relasi antar kelas-kelas tertindas (proletariat dan borjuis kecil) yang berlawanan.
Akan tetapi, kaum borjuis kecil tidak mungkin bisa dimobilisasi secara politik untuk melawan kaum proletar tanpa menggunakan demagogi sosial, dan bagi kaum borjuis besar ini berarti bermain-main dengan api. Reaksi borjuis-kecil yang tak terkendali seperti itu berbahaya bagi “ketertiban”, dan ini baru saja terkonfirmasi oleh peristiwa-peristiwa teranyar di Jerman. Itulah sebabnya, dalam mendukung dan secara aktif membiayai geng-geng fasis reaksioner ini, kaum borjuis Prancis tidak ingin terus mendorong situasi yang ada sampai ke titik kemenangan politik fasisme; mereka hanya ingin mendirikan “pemerintahan kuat” yang, pada analisa terakhir, akan mendisiplinkan kedua kubu ekstrem yang ada [kubu proletariat revolusioner dan fasisme].
Apa yang telah dikatakan di sini cukup menunjukkan betapa pentingnya membedakan bentuk kekuasaan Bonapartis dari bentuk kekuasaan fasis. Namun, akan menjadi kesalahan besar bila kita tersungkur ke titik ekstrem lainnya, yakni mengubah Bonapartisme dan fasisme menjadi dua kategori yang secara logis tidak kompatibel. Sama seperti halnya Bonapartisme dimulai dengan memadukan rezim parlementer dengan fasisme, fasisme yang menang mendapati dirinya tidak hanya terpaksa untuk masuk ke dalam blok dengan kaum Bonapartis, tetapi terlebih lagi, untuk menjadi lebih dekat secara internal dengan sistem Bonapartis. Kapital finans tidak mungkin bisa mempertahankan dominasinya secara berkelanjutan dengan mengandalkan demagogi sosial yang reaksioner dan teror reaksioner borjuis-kecil. Setelah berkuasa, para pemimpin fasis mesti membungkam massa yang mengikuti mereka dengan menggunakan aparatus negara.[9] Dengan demikian, mereka kehilangan dukungan dari massa luas borjuis kecil. Sebagian kecil dari mereka diasimilasi oleh aparatus birokrasi. Yang lain tenggelam ke dalam apati. Sebagian lainnya, di bawah berbagai panji, menjadi oposisi. Namun, meski kehilangan basis massa sosialnya [yaitu massa borjuis kecil], dengan bertumpu pada aparatus birokrasi dan menyeimbangkan kelas-kelas, fasisme diregenerasi menjadi Bonapartisme. Di sini, evolusi bertahap juga disela oleh episode-episode kekerasan dan berdarah-darah. Berbeda dari Bonapartisme pra-fasis atau preventif (Giolitti, Brüning-Schleicher, Doumergue, dll.) yang mencerminkan perimbangan kekuatan yang sangat tidak stabil dan berumur pendek antara kubu-kubu yang bertikai, Bonapartisme yang berasal dari fasis (Mussolini, Hitler, dll.), yang muncul dari kehancuran, kekecewaan, dan demoralisasi kedua kubu massa proletar dan borjuis kecil, membedakan dirinya dengan stabilitasnya yang jauh lebih besar.
Pertanyaan apakah pemerintahan Pilsudski adalah rezim fasis atau Bonapartis telah menimbulkan perbedaan pendapat di antara kamerad-kamerad Polandia kita. Adanya perbedaan pendapat seperti itu membuktikan dengan baik fakta bahwa kita tidak sedang berurusan dengan kategori-kategori logis yang kaku, tetapi dengan formasi sosial yang hidup, yang menunjukkan kekhasannya di berbagai negara dan pada berbagai tahap.
Piłsudski naik ke tampuk kekuasaan setelah pemberontakan[10] yang berbasis gerakan massa borjuis-kecil dan yang bertujuan mengakhiri dominasi partai-partai borjuis tradisional atas nama ‘negara yang kuat’. Ini adalah fitur fasis dari gerakan dan rezim tersebut. Namun, bobot politik massa fasisme Polandia jauh lebih lemah daripada fasisme Italia pada masanya, dan bahkan jauh lebih lemah daripada fasisme Jerman. Pilsudski harus lebih mengandalkan metode konspirasi militer untuk bisa merebut kekuasaan, dan dia juga harus lebih berhati-hati dalam merepresi organisasi buruh. Cukuplah untuk mengingat bahwa kudeta Piłsudski memperoleh simpati dan dukungan dari Partai Komunis Polandia yang dipimpin oleh kaum Stalinis. Rezim Pilsudski semakin dimusuhi oleh kaum borjuis kecil Ukraina dan Yahudi, yang pada gilirannya membuat rezim ini semakin sulit untuk melancarkan serangan umum terhadap kelas buruh.
Sebagai akibat dari situasi seperti itu, osilasi antara kelas-kelas dan antara berbagai lapisan masyarakat memainkan peran yang lebih besar di bawah rejim Pilsudski, sementara teror massa memainkan peran yang lebih kecil dibandingkan dengan rejim Mussolini dan Hitler pada periode yang sama. Ada unsur Bonapartis dalam rezim Pilsudski. Meskipun demikian, akan sangat keliru bila kita membandingkan Piłsudski dengan Giolitti[11] atau Schleicher[12] dan mengira ia akan digantikan oleh Mussolini atau Hitler Polandia yang baru. Secara metodologis, adalah keliru jika kita membayangkan sebuah rejim fasis yang ‘ideal’, dan lalu membandingkannya dengan rejim fasis yang nyata, yang telah tumbuh, dengan segala keunikannya dan kontradiksinya, di atas relasi kelas dan relasi bangsa-bangsa dalam masyarakat Polandia. Apakah Piłsudski akan mampu menuntaskan sampai akhir tugas menghancurkan organisasi-organisasi proletar? – dan logika situasi tak pelak lagi mendorongnya ke jalan ini – yang tidak bergantung pada definisi formal “fasisme,” tetapi pada perimbangan kekuatan yang sesungguhnya, dinamika proses politik yang berlangsung di antara massa, strategi partai pelopor proletar, dan akhirnya, alur peristiwa di Eropa Barat dan terutama di Prancis.
Sejarah mungkin saja akan menyaksikan digulingkannya fasisme Polandia sebelum ia berhasil menemukan bentuk ‘totaliter’nya.
Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, Bonapartisme yang berasal dari fasisme jauh lebih stabil daripada eksperimen-eksperimen Bonapartis preventif yang dilakukan oleh kaum borjuis besar dalam usahanya untuk menghindari kediktatoran fasis yang berdarah-darah. Meskipun demikian, dari sudut pandang teoritis dan praktis, masih lebih penting lagi untuk menekankan bahwa transformasi fasisme menjadi Bonapartisme menandakan awal dari kehancurannya. Secepat apa fasisme ini akan layu dan menjadi Bonapartisme, pada momen apa krisis ini akan menjadi keruntuhan finalnya, akan bergantung pada banyak faktor internal dan eksternal.
Namun fakta bahwa aktivitas kontra-revolusioner kaum borjuis kecil telah padam, bahwa mereka telah mengalami kekecewaan, bahwa mereka mulai tercerai-berai hancur, dan bahwa serangan mereka terhadap kaum proletar telah mengendur, semua ini membuka kemungkinan-kemungkinan revolusioner yang baru. Semua sejarah menunjukkan mustahil membelenggu kaum proletar hanya dengan bantuan aparatus polisi. Memang benar, pengalaman Italia menunjukkan bahwa warisan psikologis dari kekalahan besar yang dialami oleh kelas buruh masih bertahan di psike kaum buruh jauh lebih lama daripada perimbangan kekuatan yang menjadi landasan kekalahan besar itu. Namun, inersia psikologis dari kekalahan besar sangatlah rapuh. Inersia ini dapat runtuh hanya dengan satu pukulan di bawah dampak guncangan yang dahsyat. Keberhasilan perjuangan kaum proletar Prancis dapat berperan sebagai guncangan tersebut, yang dapat menghancurkan inersia psikologis di Italia, Jerman, Austria, dan negara-negara lain.
Kunci revolusioner untuk situasi di Eropa dan di seluruh dunia sekarang terutama ada di Prancis!
[1] Heinrich Brüning, Franz von Papen and Kurt von Schleicher menjabat sebagai Kanselir “Republik Weimar” Jerman masing-masing pada 1930-32, 1932, dan 1932-33, sebelum akhirnya Hitler berkuasa. Berhadapan dengan oposisi keras dari parlemen, mereka memerintah dengan dekrit dan memasung hak-hak demokratik seperti kebebasan pers.
[2] Dmitriy Manuilsky dan Otto Kuusinen adalah pemimpin Komintern selama masa Stalin.
[3] Jean Zyromski (1890-1875), Marceau Pivert (1895-1958), dan Claude Just adalah pemimpin sayap kiri partai sosialis Prancis, SFIO.
[4] Kebijakan Front Persatuan yang diajukan oleh kaum Stalinis adalah kebijakan untuk berkolaborasi dengan apa mereka anggap sebagai kekuatan demokrasi atau kekuatan progresif guna melawan fasisme; ini termasuk kolaborasi kelas dengan borjuasi dan tuan tanah. Setelah Stalin membakar jarinya dengan gagasan ultra-kiri “Periode Ketiga” yang mencap bahkan kaum Sosial Demokrat sebagai fasis, mereka berayun ke gagasan oportunis “Front Persatuan” di mana mereka beraliansi tidak hanya dengan kaum Sosial Demokrat tetapi juga kaum liberal demokrat dan borjuasi yang mereka anggap progresif.
[5] Menyusul demonstrasi kaum fasis yang berujung rusuh dan memakan korban jiwa 17 orang di Paris pada 6 Februari 1934, Perdana Menteri Prancis Edouard Daladier turun esok harinya dan digantikan oleh Gaston Doumergue, yang memimpin pemerintahan ‘Persatuan Nasional’ sayap-kanan dari Februari hingga November 1934.
[6] Pada 6 Februari 1934, kaum fasis menggelar demonstrasi di Paris yang berujung rusuh. Ini direspons oleh kelas buruh dengan pemogokan umum dan demonstrasi anti-fasis pada 12 Februari 1934. Polarisasi tajam inilah yang mendorong jatuhnya pemerintahan Daladier pada 7 Februari, yang digantikan oleh Doumergue.
[7] Ini merujuk pada fakta bahwa Gaston Doumergue sudah pensiun dari politik sebelumnya, dan dia terdorong kembali masuk ke kancah politik sebagai sosok dari luar partai-partai yang ada dan dari luar parlemen, yang dipercaya dapat menjadi penengah.
[8] “Dua jendral” yang disebut di sini merujuk Marshal Pétain yang diangkat sebagai Menteri Perang dan Jendral Victor Denain sebagai Menteri Penerbangan di dalam kabinet Doumergue. Ini adalah pertama kalinya militer menjabat sebagai menteri sejak Republik Ketiga didirikan pada 1870.
[9] Inilah yang terjadi di Jerman. Setelah Hitler dan Nazi naik ke tampuk kekuasaan dengan mengandalkan mobilisasi borjuis kecil, mereka segera menumpas massa borjuis kecil yang menjadi basis mereka. Pada 30 Juni sampai 2 Juli 1934, Hitler meluncurkan pembersihan yang dikenal dengan nama “Night of the Long Knives”, di mana dia membubarkan organisasi paramiliter borjuis-kecil SA (Sturmabteilung) yang sebelumnya instrumental dalam meremukkan gerakan buruh. Hitler memenjara dan mengeksekusi semua pemimpin SA.
[10] Ini merujuk pada Kudeta Mei pada 12-14 Mei 1926, yang dipimpin oleh Jozef Pilsudski. Krisis ekonomi, inflasi hebat, dan pengangguran tinggi membuat publik resah dan menciptakan krisis poliltik. Pemerintahan yang ada sangat lemah, dan akhirnya ditumbangkan oleh Pilsudski yang mengerahkan massa borjuis kecil.
Partai Komunis Polandia membuat kesalahan dengan mendukung Kudeta Mei ini karena mereka menganggap Pilsudski sebagai sekutu kelas buruh yang akan memimpin revolusi borjuis-demokratik. Ini menjadi blunder fatal, karena Pilsudski tidak lain adalah Bonaparte Polandia, yang setelah berkuasa segera menegakkan kediktatoran militer. Blunder ini merupakan konsekuensi dari teori revolusi-dua-tahap yang saat itu mulai digagas oleh Komintern di bawah kepemimpinan Stalin-Bukharin, bahwa kaum Komunis harus beraliansi terlebih dahulu dengan “borjuasi progresif” untuk menuntaskan revolusi borjuis-demokratik. Di Polandia, perwakilan “borjuasi progresif” ini adalah Pilsudski, di China (pada tahun yang sama) ini adalah Chiang Kai-shek. Keduanya berakhir dengan tragedi.
[11] Giovani Giolitti – politisi liberal Italia. Periode Biennio Rosso (Dua Tahun Merah) pada 1919-1920 telah menciptakan polarisasi politik yang hebat, dengan menguatnya kubu Komunis di satu sisi dan kubu Fasis di sisi lain. Giolitti terpilih sebagai Perdana Menteri pada 1920 karena kelas penguasa berharap dia bisa memulihkan ketertiban, dan terutama bisa menghentikan gerakan buruh yang semakin revolusioner. Pada akhirnya, Musollini menggantikan dia pada 1922 sebagai Bonaparte yang lebih cocok.
[12] Kurt von Schleicher – jendral Jerman yang menjabat sebagai Kanselir dari 3 Desember 1932 hingga 30 Januari 1933, sebelum digantikan oleh Hitler.