Revolusi Permanen

Leon Trotsky (1928)


VII. Apa Arti Slogan Kediktaktoran Demokratik Saat Ini Untuk Negeri-Negeri Timur?

 

Tersesat di dalam konsepsi “tahapan” sejarah Stalinis – yang bersifat evolusioner, filistin dan tidak revolusioner – Radek juga sekarang berusaha untuk membuat resmi slogan kediktatoran demokratik buruh dan tani untuk seluruh Timur. Dari “hipotesa” Bolshevisme, yang diadaptasi oleh Lenin sesuai dengan jalan perkembangan dari sebuah negeri tertentu – yang dia ubah, kongkritkan dan pada tahapan tertentu singkirkan – Radek mengkonstruksi sebuah skema supra-sejarah. Dalam poin ini, dia terus mengulang-ulang paragraf berikut di dalam artikel-artikelnynya:

“Teori ini, demikian juga taktik yang berasal darinya, dapat diterapkan di semua negeri dengan perkembangan kapitalis yang masih muda, dimana kaum borjuasi belum melikuidasi masalah yang ditinggalkan oleh tatanan sosial-politik sebelumnya sebagai sebuah warisan.”

Coba refleksikan formulasi tersebut: Bukankah ini adalah sebuah pembenaran posisi Kamenev pada 1917? Apakah kaum borjuasi Rusia “melikuidasi” masalah-masalah revolusi demokratik setelah Revolusi Februari? Tidak, masalah-masalah tersebut tetap tidak terselesaikan, termasuk yang paling penting di antaranya, masalah agraria. Bagaimana Lenin gagal memahami bahwa slogan yang lama masih dapat “diterapkan”? Mengapa dia mencampakkan slogan lama tersebut?

Radek telah menjawab poin ini sebelumnya: karena masalah tersebut telah “dituntaskan”. Kita telah meneliti jawaban ini. Jawaban tersebut sepenuhnya tidak dapat dipertahankan dan sangat tidak dapat dipertahankan di dalam mulut Radek, yang berpandangan bahwa esensi dari slogan lama Leninis tidak seluruhnya terdapat dalam bentuk kekuasaan namun dalam likuidasi perhambaan melalui kolaborasi proletar dan tani. Namun inilah yang tidak tercapai oleh Kerenskyisme. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa perjalanan Radek ke masa lalu kita untuk menyelesaikan persoalan paling akut hari ini, yakni persoalan Cina, sangatlah tidak masuk akal. Yang harus kita selidiki bukanlah apa yang dipahami atau tidak dipahami oleh Trotsky pada 1905, namun apa yang tidak dipahami oleh Stalin, Molotov dan terutama sekali Rykov dan Kamenev pada Februari-Maret 1917 (apa posisi Radek pada saat itu saya tidak tahu). Karena jika seseorang percaya bahwa kediktatoran demokratik telah “tercapai” di Rusia di dalam kekuasaan ganda sehingga membutuhkan perubahan segera dari slogan utama Bolshevik, maka seseorang harus menyadari bahwa “kediktatoran demokratik” di Cina telah tercapai jauh lebih penuh dan utuh melalui rejim Kuomintang, yakni melalui pemerintahan Chiang Kai-shek dan Wang Ching-wei, dengan Tang Ping-shan sebagai pengikut[1]. Oleh karena itu, justru perubahan slogan di Cina sangatlah diperlukan.

Tapi lagi pula, apakah “warisan dari tatanan sosial-politik sebelumnya” belum dilikuidasi di Cina? Tidak, mereka belumlah dilikuidasi. Namun apakah warisan tersebut dilikuidasi di Rusia pada 4 April 1917, ketika Lenin menyerukan perang terhadap seluruh strata “Bolshevik Tua”? Dengan sangat menyedihkan Radek mengkontradiksi dirinya sendiri, menjadi bingung dan berayun dari satu sisi ke sisi yang lain. Dalam hal ini, mari kita katakan bahwa bukanlah sebuah kebetulan kalau Radek menggunakan ekspresi yang begitu rumit seperti “warisan tatanan sosial-politik”, menggunakan berbagai variasi dari ekspresi ini, dan jelas-jelas menghindari istilah yang lebih jelas: “sisa-sisa feodalisme, atau perhambaan”. Kenapa? Karena baru saja kemarin Radek menyangkal sisa-sisa tersebut dan oleh karena itu merobek semua basis untuk slogan kediktatoran demokratik. Di dalam laporannya di Akademi Komunis, Radek berkata:

“Sumber Revolusi Cina tidaklah lebih dalam ketimbang sumber revolusi kita pada 1905. Kita dapat menyatakan dengan pasti bahwa aliansi kelas buruh dengan kaum tani akan lebih kuat di sana ketimbang Rusia pada 1905, untuk alasan yang sederhana bahwa aliansi ini tidak diarahkan melawan dua kelas, namun hanya satu kelas, kelas borjuasi

Benar, “untuk alasan yang sederhana”. Ketika kaum proletar bersama dengan kaum tani mengarahkan perlawanannya melawan satu kelas, borjuis – bukan melawan sisa-sisa feodalisme, namun melawan kaum borjuasi – apa sebutan untuk revolusi semacam itu? Tolong beritahu saya. Mungkin sebuah revolusi demokratik? Perhatikan bahwa Radek mengatakan ini bukan pada 1905, dan bahkan bukan pada 1909, tetapi pada Maret 1927. Bagaimana kita bisa memahami hal ini? Sangat sederhana. Pada Maret 1927, Radek juga menyimpang dari jalan yang benar, tetapi ke arah yang berbeda. Dalam tesis kaum Oposisi mengenai masalah Cina, kaum Oposisi memasukkan sebuah koreksi yang paling penting ke posisi Radek yang berat-sebelah pada waktu itu. Tetapi di dalam kata-kata yang baru dikutip di atas, di sana terdapat sebuah kebenaran yang pokok: hampir tidak ada kelas tuan tanah di Cina, para tuan tanah di sana terikat jauh lebih dekat dengan kaum kapitalis ketimbang di Rusia Tsar, dan persoalan agraria di Cina oleh karena itu lebih ringan ketimbang di Rusia Tsar; namun di sisi yang lainnya, masalah pembebasan nasional sangatlah besar. Pada saat yang sama, kapasitas kaum tani Cina untuk melakukan perjuangan politik revolusioner yang mandiri untuk mengubah demokrasi di negerinya tentu saja tidak dapat lebih besar ketimbang kaum tani Rusia. Ini menemukan ekspresinya, di antara lain, bahwa baik sebelum 1925 ataupun selama 3 tahun revolusi di Cina tidak muncul sebuah partai Narodnik (Populis) yang memperjuangkan revolusi agraria di dalam panji-panjinya. Semua ini secara bersamaan menunjukkan bahwa untuk Cina, yang telah meninggalkan pengalaman tahun 1925-27, formula kediktatoran demokratik merupakan sebuah perangkap reaksioner yang jauh lebih berbahaya ketimbang di Rusia setelah Revolusi Februari.

Perjalanan Radek ke masa lalu yang lebih jauh lagi, juga tanpa ampun menyerang dia sendiri. Sekarang adalah persoalan slogan Revolusi Permanen yang diserukan oleh Marx pada 1850:

“Dengan Marx.” Tulis Radek, “tidak ada slogan kediktatoran demokratik, sementara dengan Lenin, dari 1905 hingga 1917, slogan ini adalah poros politik, dan membentuk sebuah komponen dari konsepsinya untuk revolusi di semua (?!) negeri-negeri yang baru memulai (?) perkembangan kapitalis.”

Berdasarkan beberapa kalimat dari Lenin, Radek menjelaskan perbedaan posisi tersebut dengan menyatakan bahwa tugas utama revolusi Jerman adalah unifikasi nasional, sementara di Rusia adalah revolusi agraria. Jika perbedaan tersebut tidak dibuat secara mekanik, dan dilihat secara proposional, maka hal tersebut adalah benar pada tingkatan tertentu. Namun bagaimana dengan Cina? Beban masalah nasional di Cina, sebuah negeri semi-kolonial, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan masalah agraria di Jerman bahkan pada 1848-50; karena di Cina secara bersamaan ini adalah masala unifikasi dan pembebasan. Marx memformulasikan perspektifnya mengenai Revolusi Permanen ketika, di Jerman, semua kerajaan masih tegak berdiri, para Junker[2] menguasai tanah, dan para pemimpin borjuis ditolerir hanya di ruang tunggu pemerintah. Di Cina, tidak ada monarki sejak 1911, tidak ada kelas tuan tanah yang mandiri, kaum borjuis-nasional Kuomintang memegang kekuasaan dan hubungan perhambaan boleh dikatakan tersatukan dengan eksploitasi borjuis. Oleh karena itu, perbedaan antara posisi Marx dan Lenin yang dipaparkan oleh Radek memberikan kesimpulan untuk menentang slogan kediktatoran demokratik di Cina.

Namun Radek bahkan tidak memperhatikan posisi Marx secara serius. Dia hanya menggunakannya secara kasual, episodik, membatasi dirinya pada surat tahun 1850, dimana Marx masih mempertimbangkan kaum tani sebagai sekutu alami dari demokrasi borjuis-kecil perkotaan. Marx pada waktu itu mengharapkan sebuah tahapan revolusi demokratik yang mandiri di Jerman, yaitu sebuah pengambilan kekuasaan sementara oleh kaum radikal borjuis-kecil perkotaan, yang didukung oleh kaum tani. Di situlah inti persoalan tersebut! Akan tetapi, ini tidak terjadi. Dan ini bukanlah sebuah kebetulan saja. Pada pertengahan abad ke-19, demokrasi borjuis-kecil sudah menunjukkan dirinya sendiri tidak berdaya untuk menjalankan revolusi independen-nya sendiri. Dan Marx mengambil pelajaran dari episode ini. Pada 16 April 1856 – yaitu, 6 tahun setelah surat tersebut – Marx menulis ke Engels:

“Keseluruhan hal di Jerman akan tergantung pada kemungkinan menjaga bagian belakang revolusi proletar dengan sebuah edisi kedua Perang Tani. Bila ini terjadi, maka semuanya akan menjadi baik.”

Kata-kata yang luar biasa ini, yang sepenuhnya dilupakan oleh Radek, merupakan kunci yang sangat berharga untuk Revolusi Oktober dan juga seluruh masalah yang menyibukkan kita di sini, dalam keseluruhannya. Apakah Marx melompati revolusi agraria? Tidak, seperti yang kita lihat, dia tidak melompatinya. Apakah dia menganggap bahwa kolaborasi kaum proletar dan kaum tani dibutuhkan dalam revolusi yang akan datang? Iya. Apakah dia menjamin kemungkinan peran kepemimpinan, atau bahkan hanya peran independen, dimainkan oleh kaum tani di dalam revolusi? Tidak, dia tidak menjamin kemungkinan ini. Dia memulai dari kenyataan bahwa kaum tani, yang tidak berhasil dalam mendukung demokrasi borjuis dalam revolusi demokratik yang independen (karena kesalahan demokrasi borjuis, bukan kaum tani), akan berada di dalam posisi untuk mendukung kaum proletar dalam revolusi proletar. “Bila ini terjadi, maka semuanya akan menjadi baik.” Radek sepertinya tidak ingin melihat bahwa inilah yang terjadi pada Revolusi Oktober.

Berkaitan dengan Cina, kesimpulan yang dapat diambil dari ini adalah cukup jelas. Perdebatan ini bukanlah mengenai peran penting kaum tani sebagai sebuah sekutu, dan bukan mengenai pentingnya revolusi agraria, namun mengenai apakah sebuah revolusi demokratik agraria yang independen mungkin terjadi di Cina atau apakah “edisi kedua Perang Tani” akan memberikan dukungan pada kediktatoran proletar. Inilah satu-satunya cara masalah ini dapat diajukan. Siapapun yang mengajukan masalah ini secara berbeda tidak belajar dan memahami apapun, namun hanya membingungkan Partai Komunis Cina dan mendorongnya keluar dari jalan yang benar.

Supaya kaum proletar negeri-negeri Timur dapat membuka jalan menuju kemenangan, teori reaksioner Stalin dan Martinov mengenai “tahapan-tahapan” dan “langkah-langkah” harus dihapuskan sejak permulaan, harus disingkirkan, dihancurkan dan dibersihkan dengan sapu. Bolshevisme berkembang menjadi dewasa dalam perjuangannya melawan evolusionisme vulgar tersebut. Kita harus beradaptasi bukan pada garis gerak yang diformulasikan secara a priori, namun pada perkembangan perjuangan kelas yang riil. Kita harus menolak ide Stalin dan Kuusinen – yakni ide membentuk sebuah tatanan proses untuk negeri-negeri yang berada di dalam tingkat perkembangan yang berbeda dengan memberikan mereka sebelumnya skema-skema revolusi. Kita harus beradaptasi sesuai dengan perkembangan perjuangan kelas yang riil. Seorang pemandu yang tidak ternilai untuk hal ini adalah Lenin; namun keseluruhan Lenin harus dipertimbangkan.

Ketika pada 1919 Lenin, terutama berkaitan dengan organisasi Komunis Internasional, menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari periode yang telah berlalu, dan memberikan mereka formulasi yang jauh lebih tuntas, dia menginterpretasikan pengalaman Kerenskyisme dan Oktober sebagai berikut: Di sebuah masyarakat borjuis dengan antagonisme kelas yang telah berkembang, hanya ada kediktatoran borjuis, yang terbuka atau tersamarkan, atau kediktatoran proletariat. Tidak ada sebuah rejim perantara. Setiap demokrasi, setiap “kediktatoran demokratik” (kutipan yang ironis di sini adalah milik Lenin) hanyalah merupakan sebuah selubung untuk kekuasaan borjuis, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman negeri Eropa yang paling terbelakang, yaitu Rusia, di dalam epos revolusi borjuisnya, yakni epos yang paling mendukung “kediktatoran demokratik”. Kesimpulan tersebut diambil oleh Lenin sebagai basis untuk tesisnya mengenai demokrasi, yang dihasilkan hanya sebagai kumpulan pengalaman-pengalaman Revolusi Februari dan Oktober.

Seperti banyak yang lainnya, Radek juga memisahkan secara mekanik persoalan demokrasi dari persoalan kediktatoran demokratik. Ini adalah sumber kesalahannya yang terbesar. “Kediktatoran demokratik” hanya dapat menjadi topeng kekuasaan borjuis selama revolusi. Hal tersebut kita pelajari dari pengalaman “kekuasaan ganda” kita pada 1917 dan juga pengalaman Kuomintang di Cina.

Kebodohan dari para epigone terekspresikan secara vulgar di dalam kenyataan bahwa bahkan sekarang mereka masih berusaha membedakan kediktatoran demokratik dari kediktatoran borjuis, dan juga kediktatoran proletariat. Namun ini berarti bahwa kediktatoran demokratik harus berkarakter perantara, yakni ia memiliki konten borjuis-kecil. Partisipasi kaum proletar di dalamnya tidak mengubah apapun, karena di alam tidak ada yang namanya rata-rata aritmetika dari garis-garis kelas. Jika ini bukan kediktatoran borjuis ataupun kediktatoran proletariat, maka dapat disimpulkan bahwa kaum borjuis kecil haruslah memainkan peran yang menentukan. Namun ini membawa kita pada pertanyaan yang sama yang telah dijawab dalam praktek oleh tiga Revolusi Rusia dan dua Revolusi Cina; apakah kaum borjuis kecil hari ini, di bawah kondisi dominasi imperialis dunia, mampu memainkan peran kepemimpinan revolusioner di negeri-negeri kapitalis, bahkan di negeri-negeri terbelakang yang masih harus menyelesaikan tugas-tugas demokratik mereka?

Telah ada epos-epos dimana strata bawah kaum borjuis kecil mampu membangun kediktatoran revolusioner mereka. Ini sudah kita ketahui. Namun ini terjadi di epos dimana kaum proletar, atau strata yang akan membentuk kelas proletar (proto-proletar), pada saat itu belum dibedakan dari kelas borjuis kecil. Sebaliknya kelas proletar dalam kondisinya yang belum berkembang menyusun inti pejuang dari kelas borjuis kecil. Hari ini, kondisinya sudah cukup berbeda. Kita tidak dapat berbicara mengenai kemampuan kelas borjuis kecil untuk memimpin masyarakat pada masa sekarang, bahkan di dalam masyarakat borjuis yang terbelakang, sepanjang kelas proletar telah memisahkan dirinya sendiri dari kelas borjuis kecil dan berhadapan secara antagonistik melawan borjuis besar di atas basis perkembangan kapitalis, yang menihilkan kelas borjuis kecil dan menghadapkan kaum tani pada pilihan politik yang tak terelakkan antara kelas borjuis dan proletariat. Setiap kali kaum tani memutuskan untuk mendukung sebuah partai yang di permukaannya tampak borjuis kecil, dia sebenarnya menawarkan dukungan untuk kaum kapitalis. Sementara di periode pertama Revolusi Rusia, atau di periode antara dua revolusi yang pertama, masih bisa terdapat perbedaan pendapat mengenai tingkat kemandirian (namun hanya tingkat!) kaum tani dan kaum borjuis kecil dalam revolusi demokratik, sekarang perdebatan tersebut telah terjawab oleh seluruh perkembangan peristiwa-peristiwa selama 12 tahun terakhir, dan telah terjawab secara permanen.

Masalah ini muncul kembali dalam praktek setelah Revolusi Oktober di banyak negeri-negeri dan dalam berbagai bentuk dan kombinasi, dan dimanapun ini diselesaikan dengan jalan yang sama. Setelah pengalaman Kerensky-isme, pengalaman yang utama adalah pengalaman Kuomintang. Namun tidak kalah penting adalah pengalaman fasisme di Italia, dimana kaum borjuis kecil, dengan senjata di tangan, merebut kekuasaan dari partai-partai borjuis yang lama guna menyerahkannya dengan segera, melalui para pemimpinnya, kepada kaum oligarki finansial. Masalah yang sama muncul di Polandia, dimana gerakan Pilsudski[3] diarahkan secara langsung untuk melawan pemerintahan reaksioner borjuis-tuan tanah dan mencerminkan harapan-harapan massa borjuis kecil dan bahkan sebagian besar kaum proletar. Bukanlah kebetulan kalau sang Sosial Demokrat Polandia yang tua, Warski[4], karena takut “meremehkan kaum tani”, mengidentifikasi revolusi Pilsudski sebagai “kediktatoran demokratik buruh dan tani”. Kita akan berjalan terlalu jauh, jika di sini saya menganalisa pengalaman Bulgaria, yakni kebijakan membingungkan yang memalukan dari Kolarov[5] dan Kabakchiev[6] terhadap partainya Stamboliyski[7], atau pengalaman memalukan Partai Buruh-Petani di Amerika Serikat[8] atau romansa Zinoviev dengan Radic atau pengalaman Partai Komunis Romania dan seterusnya tanpa akhir. Beberapa fakta-fakta tersebut dianalisa di “Criticism of the Draft Program of the Communist International”. Kesimpulan pokok dari semua pengalaman tersebut sepenuhnya mengkonfirmasikan dan memperkuat pelajaran Revolusi Oktober – yakni, bahwa kaum borjuis kecil, termasuk kaum tani, tidak mampu memainkan peran kepemimpinan di dalam masyarakat borjuis moderen, atau bahkan di masyarakat borjuis yang terbelakang, dalam epos revolusioner atau reaksioner. Kaum tani dapat mendukung kediktatoran borjuis, atau mendukung kediktatoran proletariat. Bentuk perantara hanyalah sebuah samaran untuk kediktatoran borjuis, yang telah mulai terhuyung-huyung atau belum memulihkan pijakannya setelah terpukul oleh sejumlah gangguan (Kerensky-isme, Fasisme, Rejim Pilsudski).

Kaum tani dapat mengikuti kelas borjuis atau proletariat. Namun ketika kaum proletar berusaha dengan cara apapun untuk berjalan dengan kaum tani yang tidak mengikutinya, kaum proletar terbukti mengikuti kaum kapitalis finans; contohnya: kaum buruh sebagai pembela tanah air di Rusia pada 1917; kaum buruh – termasuk kaum Komunis juga – di Kuomintang di Cina; kaum buruh di Partai Sosialis Polandia, dan juga kaum Komunis dalam tingkatan tertentu, di Polandia pada 1926, dsb.

Siapapun yang belum memikirkan hal ini hingga akhir, dan siapapun yang tidak memahami peristiwa-peristiwa ini dari jejak yang masih segar yang mereka tinggalkan, sebaiknya tidak terlibat dalam politik revolusioner.

Kesimpulan fundamental yang ditarik oleh Lenin dari pelajaran-pelajaran Revolusi Februari dan Oktober, dan yang ditarik secara mendalam dan komprehensif, secara menyeluruh menolak ide “kediktatoran demokratik”. Berikut ini diulangi oleh Lenin lebih dari satu kali setelah 1918:

“Seluruh ilmu ekonomi politik, jika memang ada yang sungguh-sungguh mempelajarinya, seluruh sejarah revolusi, seluruh sejarah perkembangan politik sepanjang abad ke-19, mengajarkan kita bahwa kaum tani mengikuti kepemimpinan kaum buruh atau kaum borjuasi … jika kau tidak paham kenapa, saya akan jelaskan … pertimbangkan perkembangan revolusi besar manapun dari abad ke-18 dan ke-19, sejarah politik dari negeri manapun pada abad ke-19, dan kau akan paham kenapa. Struktur ekonomi masyarakat kapitalis adalah sedemikian rupa sehingga kekuatan yang berkuasa di dalamnya hanya dapat dipegang oleh kaum kapitalis atau kaum proletar yang menggulingkan kapital. Tidak ada kekuatan lainnya di dalam struktur ekonomi dari masyarakat ini.” (Lenin. “The Deception of the People by the Slogans of Freedom and Equality”, Mei 1919)

Ini bukanlah mengenai Inggris atau Jerman moderen. Dari basis pelajaran revolusi-revolusi besar manapun dari abad ke-18 atau ke-19, yaitu, dari revolusi-revolusi borjuis di negeri-negeri terbelakang, Lenin meraih kesimpulan bahwa hanya kediktatoran borjuis atau kediktatoran proletariat yang mungkin terbentuk. Tidak bisa ada kediktatoran “demokratik”, yakni sebuah kediktatoran perantara.

Perjalanan teoritis dan historis Lenin dirangkum oleh Radek, seperti yang telah kita lihat, dalam ungkapan yang sempit bahwa revolusi borjuis harus dibedakan dari revolusi sosialis. Setelah turun ke “level” ini, Radek langsung menunjuk pada Kuusinen yang menganggap bahwa slogan kediktatoran proletar tidak mungkin dapat diajukan di negeri maju dan terbelakang. Dengan ketulusan dari seseorang yang tidak paham apapun, Kuusinen menuduh Trotsky “tidak mempelajari apapun” sejak tahun 1905. Mengikuti Kuusinen, Radek juga menjadi ironis: bagi Trotsky, “keunikan revolusi Cina dan India terdiri dari fakta bahwa mereka sama sekali tidak berbeda dengan revolusi-revolusi Eropa Barat dan oleh karena itu harus dalam langkah pertamanya (?!) menuju ke kediktatoran proletariat.”

Radek melupakan satu fakta kecil dalam hal ini: kediktatoran proletariat tidak tercapai di negeri Eropa Barat, namun justru di negeri Eropa Timur yang terbelakang. Apakah ini adalah kesalahan Trotsky kalau proses sejarah mengabaikan “keunikan” Rusia? Kemudian, lebih jauh lagi, Radek lupa bahwa kaum borjuasi – lebih tepatnya, kapital finansial – berkuasa di semua negeri-negeri kapitalis, dengan semua keberagamannya dalam tingkat perkembangan, struktur sosial, tradisi, dsb., yaitu, dengan semua “keunikan-keunikan”-nya. Di sini lagi, kurangnya pertimbangan atas keunikan ini datang dari perkembangan sejarah dan sama sekali bukan dari Trotsky.

Lalu, dimana perbedaan antara negeri-negeri yang maju dan terbelakang? Perbedaannya sangat besar, namun masih tetap di dalam batasan-batasan dominasi hubungan kapitalis. Bentuk-bentuk dan metode-metode kekuasaan borjuis sangat beragam di berbagai negeri. Pada satu kutub, dominasi ini memiliki sebuah karakter yang jelas dan absolut: Amerika Serikat. Pada kutub lainnya kapital finansial mengadaptasi dirinya sendiri pada institusi-institusi Abad Pertengahan Asiatik yang sudah usang, dengan menempatkan mereka di bawah kakinya dan memaksakan metode-metodenya ke mereka: India. Tetapi kaum borjuasi berkuasa di kedua negeri tersebut. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kediktatoran proletariat juga akan memiliki karakter yang sangat beragam dalam basis sosial, bentuk-bentuk politik, tugas-tugas mendesak dan tempo kerjanya di dalam berbagai negeri-negeri kapitalis. Namun untuk memimpin rakyat menuju kemenangan atas blok imperialis, kaum feodal dan borjuasi nasional – ini hanya dapat dilakukan di bawah hegemoni revolusioner dari kaum proletar, yang mengubah dirinya sendiri setelah perebutan kekuasaan menjadi kediktatoran proletariat.

Radek berkhayal bahwa bila dia membagi umat manusia menjadi dua kelompok – satu yang telah “matang” untuk kediktatoran sosialis dan yang lainnya yang telah “matang” hanya untuk kediktatoran demokratik – maka dia telah mempertimbangkan “keunikan” dari tiap-tiap negeri. Dalam kenyataannya, dia telah menciptakan sebuah stereotip kaku yang hanya akan mengalihkan kaum Komunis dari pembelajaran sejati mengenai keunikan dari sebuah negeri tertentu, yakni interpretasi yang dinamis dari berbagai langkah-langkah dan tahapan-tahapan perkembangan sejarah di negeri tersebut.

Keunikan dari sebuah negeri yang belum mencapai atau menuntaskan revolusi demokratik adalah sangat penting sehingga hal tersebut harus dilihat sebagai basis untuk program dari kaum pelopor proletar. Hanya berdasarkan program nasional semacam itu maka partai Komunis dapat mengembangkan perjuangan yang riil dan sukses untuk mayoritas kelas buruh dan kaum tertindas secara umum dalam melawan kaum borjuasi dan agen-agen demokratiknya.

Kemungkinan keberhasilan perjuangan ini tentu saja ditentukan secara garis besar oleh peran kaum proletar dalam perekonomian negeri tersebut, dan oleh tingkat perkembangan kapitalis. Akan tetapi, ini bukanlah satu-satunya kriteria. Sama pentingnya adalah apakah sebuah masalah yang luas dan membara “untuk rakyat” ada di negeri tersebut, dimana seluruh rakyat berkepentingan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan penyelesaiannya menuntut kebijakan-kebijakan revolusioner yang paling tegas. Di antara masalah-masalah semacam itu adalah masalah agraria dan masalah kebangsaan, dalam berbagai kombinasinya. Dengan masalah agraria yang akut dan penindasan nasional yang tidak dapat ditoleransi di negeri-negeri kolonial, kaum proletar yang muda dan relatif kecil dapat merebut kekuasaan dengan basis revolusi demokratik nasional lebih cepat dibandingkan kaum proletar negeri maju pada basis yang sepenuhnya sosialis. Tampaknya setelah Revolusi Oktober kita tidak perlu lagi membuktikan hal ini. Akan tetapi, sepanjang tahun-tahun reaksi ideologis dan korupsi teoritis dari para epigone, konsepsi fundamental Revolusi Oktober telah menjadi begitu buruk, begitu busuk dan begitu seperti “Kuusinen”, sehingga kita terpaksa harus mulai dari awal lagi.

Dari semua yang telah dikatakan di atas, apakah dapat disimpulkan bahwa semua negeri di dunia, kurang lebih, telah matang untuk revolusi sosialis? Tidak, ini adalah cara mengajukan pertanyaan yang keliru, kaku, skolastik (akademik), Stalinis-Bukharinis. Ekonomi dunia dalam keseluruhannya tidak diragukan lagi sudah matang untuk sosialisme. Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap negeri telah matang. Maka apa yang akan terjadi dengan kediktatoran proletariat di berbagai negeri terbelakang, di Cina, India, dsb.? Mengenai ini kita menjawab: Sejarah bukanlah sebuah susunan yang teratur. Sebuah negeri dapat menjadi “matang” untuk kediktatoran proletariat tidak hanya sebelum dia matang untuk pembangunan sosialisme yang independen, namun bahkan sebelum dia matang untuk kebijakan-kebijakan sosialisasi yang luas. Kita tidak boleh mulai dari asumsi adanya perkembangan sosial yang harmonis. Hukum perkembangan tak-berimbang masihlah eksis, meskipun diselimuti oleh rangkulan teoritis lembut dari Stalin. Kekuatan hukum ini beroperasi tidak hanya dalam hubungan antar negeri, namun juga dalam hubungan timbal balik dari berbagai macam proses di dalam satu negeri. Rekonsiliasi dari proses-proses ekonomi dan politik yang tak-berimbang ini hanya bisa tercapai dalam skala dunia. Ini berarti bahwa masalah kediktatoran proletariat di Cina tidak dapat dipertimbangkan secara eksklusif di dalam batasan-batasan ekonomi dan politik Cina.

Di sinilah kita temui dua titik pandang yang benar-benar berbeda: teori Revolusi Permanen yang internasional-revolusioner dan teori sosialisme di satu negeri yang nasional-reformis. Bukan hanya di Cina yang terbelakang, namun secara umum tidak ada satu negeripun di dunia yang dapat membangun sosialisme di dalam batasan nasionalnya sendiri: kekuatan-kekuatan produksi yang sudah berkembang sangat besar dan telah tumbuh melampaui batasan nasional menentang ini (baca pembangunan sosialisme di satu negeri – Ed.), seperti juga kekuatan-kekuatan produksi yang belum berkembang secara cukup untuk melaksanakan nasionalisasi. Kediktatoran proletariat di Inggris, misalnya, akan menemui banyak kesulitan dan kontradiksi, yang berbeda dalam karakter, benar itu, namun mungkin tidak lebih ringan ketimbang yang akan dihadapi oleh kediktatoran proletariat di Cina. Kontradiksi-kontradiksi di kedua kasus tersebut hanya mungkin ditaklukkan dengan jalan revolusi internasional. Titik pandang ini tidak memberikan ruang untuk pertanyaan mengenai “kematangan” atau “ketidakmatangan” Cina untuk transformasi sosialis. Yang masih tidak dapat disangkal di sini adalah kondisi keterbelakangan Cina membuat tugas-tugas kediktatoran proletar sangat sulit. Tetapi harus kita ulangi sekali lagi: Sejarah bukanlah sebuah susunan yang teratur, dan kaum proletar Cina tidak punya pilihan lain.  

Apakah ini setidaknya berarti bahwa setiap negeri, termasuk negeri koloni yang paling terbelakang, telah matang, jika bukan untuk sosialisme, maka untuk kediktatoran proletariat? Tidak, tidak demikian. Lalu apa yang akan terjadi dengan revolusi demokratik secara umum – dan terutama di negeri-negeri koloni? Dimanakah tertulis – saya menjawab pertanyaan ini dengan pertanyaan yang lain – bahwa setiap negeri koloni telah matang untuk menyelesaikan tugas-tugas demokratik nasionalnya dengan segera dan menyeluruh? Persoalan ini harus didekati dari sisi lainnya. Di bawah kondisi-kondisi epos imperialisme, revolusi demokratik nasional dapat dilaksanakan sampai ke kemenangan akhir hanya ketika hubungan-hubungan sosial dan politik negeri tersebut telah matang untuk meletakkan proletariat ke tampuk kekuasaan sebagai pemimpin massa rakyat. Dan jika ini belum terjadi? Maka perjuangan pembebasan nasional hanya akan memberikan hasil-hasil yang parsial, hasil-hasil yang diarahkan sepenuhnya melawan rakyat pekerja. Pada 1905, kaum proletar Rusia tidak terbukti cukup kuat untuk menyatukan massa petani di sekelilingnya dan menaklukkan kekuasaan. Karena alasan inilah, revolusi tersebut berhenti di tengah jalan, dan kemudian semakin lama semakin tenggelam. Di Cina, kendati situasi yang sangat mendukung, kepemimpinan Komunis Internasional mencegah kaum proletar Cina untuk berjuang demi kekuasaan, dan tugas-tugas nasional menemukan sebuah solusi yang buruk, tidak stabil, dan tidak memadai di dalam rejim Kuomintang.

Kapan dan di bawah kondisi-kondisi apa sebuah negeri koloni akan menjadi matang untuk penyelesaian revolusioner sejati dari masalah-masalah agraria dan nasionalnya adalah sesuatu yang tidak dapat diprediksi. Namun setidaknya hari ini kita dapat menyatakan dengan pasti bahwa tidak hanya Cina tetapi juga India akan mencapai demokrasi rakyat yang sejati, yakni demokrasi buruh dan tani, hanya dengan melalui kediktatoran proletariat. Dalam jalan menuju ke sana mungkin akan masih banyak tahapan-tahapan, langkah-langkah dan fase-fase yang harus dilalui. Di bawah tekanan massa rakyat, kaum borjuasi masih akan mengambil langkah ke kiri, dalam rangka untuk jatuh tanpa ampun di atas rakyat. Periode kekuasaan ganda adalah suatu hal yang mungkin terjadi. Namun apa yang tidak akan terjadi, apa yang tidak mungkin terjadi, adalah kediktatoran demokrasi sejati yang bukan kediktatoran proletariat. Sebuah kediktatoran demokratik yang “independen” hanya dapat mengambil bentuk seperti Kuomintang, yaitu kediktatoran yang diarahkan sepenuhnya melawan kaum buruh dan kaum tani. Kita harus memahami hal ini sejak awal dan mengajarkannya kepada rakyat, tanpa menyembunyikan realitas-realitas kelas di belakang formula-formula abstrak.

Stalin dan Bukharin berkhotbah bahwa karena penindasan imperialisme maka kaum borjuasi dapat menjalankan revolusi nasional di Cina. Usaha ini dicoba. Dengan hasil seperti apa? Kepala kaum proletar diletakkan di bawah kampak dan terpancung. Kemudian mereka mengatakan: kediktatoran demokratik akan muncul setelah ini. Kediktatoran borjuis-kecil terbukti hanya menyamarkan kediktatoran kapital. Hanya kebetulan? Tidak. “Kaum tani mengikuti kelas buruh atau kelas borjuis.” Ketika mereka mengikuti kelas buruh, maka kediktatoran proletariat akan muncul; bila sebaliknya, maka kediktatoran borjuis yang muncul. Sepertinya pelajaran dari pengalaman Cina cukup jelas, bahkan jika dipelajari dari jauh. “Tidak”, kita diberikan jawaban, “ini hanyalah sebuah eksperimen yang gagal. Kita akan memulai semuanya dari awal lagi dan kali ini kita akan membangun kediktatoran demokratik yang ‘sejati’.” “Dengan cara apa?” “Di atas basis sosial dari kolaborasi proletar dan tani.” Radeklah yang menyajikan kepada kita penemuan terbaru ini. Namun, jika kau mengijinkan, Kuomintang juga muncul dari basis yang sama: “kolaborasi” buruh dan tani – untuk melaksanakan tugas-tugas yang sulit untuk kaum borjuasi. Coba jelaskan apa mekanika politik kolaborasi tersebut? Dengan apa kau akan menggantikan Kuomintang? Partai-partai apa yang akan berkuasa? Setidaknya berikan perkiraan, berikan gambarannya! Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, Radek menjawab (pada 1928!) bahwa hanya orang yang sudah tidak ada harapan lagi, yang tidak mampu memahami kompleksitas Marxisme, dapat tertarik pada masalah teknis sekunder semacam itu mengenai kelas mana yang akan menjadi kuda dan kelas mana yang akan menjadi penunggang kuda; sementara seorang Bolshevik harus “mengabstraksikan” dirinya sendiri dari suprastruktur politik, dan memfokuskan perhatiannya pada pondasi kelas. Tidak, cukup dengan leluconmu. Kamu telah cukup “mengabstraksikan”. Lebih dari cukup! Di Cina, kamu “mengabstraksikan” dirimu sendiri dari masalah bagaimana kolaborasi kelas mengekspresikan dirinya dalam masalah-masalah partai, kamu menyeret kaum proletar ke dalam Kuomintang, kamu menjadi jatuh cinta pada Kuomintang hingga kamu kehilangan akalmu, kamu dengan marah menentang penarikan mundur dari Kuomintang; kamu menghindari masalah-masalah politik perjuangan dengan mengulang-ulang formulasi-formulasi abstrak. Dan setelah kaum borjuasi telah dengan konkrit meremukkan tengkorak kepala kaum proletariat, kamu mengusulkan kepada kita: Mari kita coba dari awal lagi; dan sebagai permulaan mari sekali lagi kita “mengabstraksikan” diri kita sendiri dari persoalan partai-partai dan kekuasaan revolusioner. Tidak! Ini adalah lelucon yang menjijikkan. Kita tidak akan membiarkan diri kita terseret kembali!

Semua aksi akrobatik ini, seperti yang telah kita pahami, diajukan untuk kepentingan aliansi buruh dan tani. Radek memberi peringatan kepada kelompok Oposisi untuk tidak meremehkan kaum tani dan dia mengutip perjuangan Lenin melawan Menshevik. Kadang kala, ketika kita menyaksikan apa saja yang telah dilakukan terhadap kutipan-kutipan dari Lenin, kita menjadi sangat marah karena pemikiran Lenin diinjak-injak sedemikian rupa. Benar, Lenin mengatakan lebih dari sekali bahwa penyangkalan terhadap peran revolusioner kaum tani adalah karakter kaum Menshevik. Dan itu adalah benar. Namun sebagai tambahan pada kutipan-kutipan tersebut, terdapat juga tahun 1917 dimana Menshevik menghabiskan delapan bulan yang memisahkan Revolusi Februari dari Revolusi Oktober di dalam sebuah blok yang erat dengan Sosialis Revolusioner. Dalam periode tersebut Sosialis Revolusioner mewakili mayoritas besar kaum tani yang dibangkitkan oleh revolusi. Bersama-sama dengan SR, kaum Menshevik menyebut dirinya sendiri demokrasi revolusioner dan mengatakan kepada kita bahwa merekalah satu-satunya yang mendasarkan dirinya atas aliansi buruh dengan tani (tentara). Dengan demikian, setelah Revolusi Februari kaum Menshevik mengambil alih formulasi Bolshevik mengenai aliansi buruh dan tani. Mereka menuduh Bolshevik ingin memisahkan kaum pelopor dari kaum tani dan oleh karena itu ingin menggagalkan revolusi. Dengan kata lain, Menshevik menuduh Lenin mengabaikan, atau setidaknya meremehkan kaum tani.

Kritik Kamenev, Zinoviev dan lainnya yang diarahkan melawan Lenin hanyalah gema dari kritik kaum Menshevik. Kritik Radek hari ini hanyalah gema dari kritik Kamenev yang datang terlambat.

Kebijakan para epigone di Cina, termasuk kebijakannya Radek, adalah kelanjutan dan perkembangan lebih lanjut dari topeng Menshevik pada 1917. Bukan hanya Stalin, tetapi juga Radek mempertahankan Partai Komunis Cina untuk tetap berada di dalam Kuomintang, dengan alasan yang sama mengenai perlunya aliansi buruh dan tani. Akan tetapi, ketika “tanpa sengaja” terungkap bahwa Kuomintang adalah partai borjuis, mereka mengulang lagi usaha pembentukan aliansi ini dengan Kuomintang “Kiri”. Hasilnya sama. Abstraksi kediktatoran demokratik, yang berbeda dari kediktatoran proletariat, diletakkan di atas realitas yang belum memenuhi harapan mereka, dan mereka mengulang lagi apa yang sudah terjadi. Pada 1917, kita mendengar ratusan kali dari Tsereteli[9], Dan[10] dan yang lainnya: “Kita telah memiliki kediktatoran demokrasi revolusioner, tetapi kamu ingin mendorongnya menuju ke kediktatoran proletariat, yakni menuju ke kehancuran.” Memang manusia memiliki ingatan yang pendek. “Kediktatoran demokratik revolusioner”-nya Stalin dan Radek tidak berbeda sama sekali dengan “kediktatoran demokrasi revolusioner”-nya Tsereteli dan Dan. Walaupun begitu, formulasi tersebut tidak hanya ditemui di semua resolusi Komintern, namun juga telah mempenetrasi programnya. Sulit untuk memikirkan topeng yang lebih licik dan pembalasan-dendam yang lebih pahit oleh Menshevisme untuk penghinaan yang dilemparkan oleh Bolshevisme kepadanya pada 1917.

Akan tetapi kaum revolusioner di Timur masih punya hak untuk menuntut sebuah jawaban yang pasti mengenai masalah karakter “kediktatoran demokratik”, yang bukan berdasarkan kutipan-kutipan a priori yang tua, tetapi berdasarkan fakta-fakta dan pengalaman politik. Untuk pertanyaan: Apa itu “kediktatoran demokratik”? – Stalin telah berulang kali memberikan jawaban yang klasik: Untuk Timur, hampir sama seperti yang “dipahami oleh Lenin mengenai Revolusi 1905”. Ini telah menjadi formula resmi pada tingkatan tertentu. Formula ini dapat ditemui di dalam buku-buku dan resolusi-resolusi yang didedikasikan untuk Cina, India atau Polinesia. Kaum revolusioner disuruh merujuk ke “konsepsi-konsepsi” Lenin mengenai peristiwa-peristiwa masa depan, yang pada saat ini telah lama menjadi peristiwa-peristiwa masa lalu. Terlebih lagi, “Konsepsi-konsepsi” hipotesa Lenin diinterpretasikan dengan berbagai cara, namun tidak pernah dengan cara yang digunakan oleh Lenin sendiri yang menginterpretasikan mereka setelah peristiwa-peristiwa.

“Baiklah,” kata kaum Komunis Timur, menundukkan kepalanya, “kami akan mencoba memahaminya seperti yang, menurut kata-katamu, Lenin pahami sebelum revolusi. Namun dapatkah kau jelaskan kepada kami seperti apa slogan tersebut dalam kenyataan? Bagaimana slogan tersebut terealisasikan di negerimu?”

“Di negeri kami, slogan tersebut terealisasikan dalam bentuk Kerensky-isme dalam epos kekuasaan ganda.”

“Dapatkah kita mengatakan pada kaum buruh kita bahwa slogan kediktatoran demokratik akan terealisasikan di negeri kami dalam bentuk Kerensky-isme nasional kami sendiri?”

“Tidak sama sekali! Tidak ada buruh yang akan mengadopsi slogan semacam itu; Kerensky-isme adalah kepatuhan pada kaum borjuasi dan pengkhianatan terhadap rakyat pekerja.”

“Lalu, apa yang harus kami katakan kepada kaum buruh kami?” Kaum Komunis Timur bertanya dengan patah semangat.

“Kau harus mengatakan kepada mereka,” dengan tidak sabar Kuusinen menjawab, “bahwa kediktatoran demokratik adalah yang dipahami oleh Lenin berkaitan dengan masa depan revolusi demokratik.”

Jika Kaum Komunis Timur tidak kekurangan akal sehat, dia akan kembali bertanya:

“Namun bukankah Lenin menjelaskan pada 1918 bahwa kediktatoran demokratik menemukan realisasi sejatinya hanya pada Revolusi Oktober yang mendirikan kediktatoran proletariat? Bukankah akan lebih baik untuk mengorientasikan partai dan kelas buruh pada prospek ini?”

“Sama sekali tidak boleh. Jangan berani berpikir mengenai ini. Itu adalah r-r-r-evolusi per-r-r-manen! Itu adalah Tr-r-rotskisme!”

Setelah cercaan kasar ini Kaum Komunis Timur menjadi pucat seperti salju di puncak tertinggi Himalaya dan mencampakkan usaha pencarian pengetahuan. Biarlah apa yang akan terjadi, terjadi!

Dan konsekuensinya? Kita mengetahuinya dengan sangat baik: bersujud di hadapan Chiang Kai-shek, atau avonturisme heroik.


Catatan

[1]Chiang Kai-shek adalah pemimpin sayap kanan dan Wang Ching-wei adalah pemimpin sayap kiri di Kuomintang. Tang Ping-shan bertugas sebagai seorang Menteri Komunis, menjalankan garis Stalin dan Bukharin di Cina – L T

[2] Junker adalah istilah Jerman untuk kaum bangsawan pemilik tanah di Prusia dan Jerman bagian timur.

[3] Jozef Pilsudski (1867-1935) adalah politisi Polandia, yang awalnya adalah seorang sosialis-nasionalis. Ia melakukan kudeta militer pada 1926 dan membentuk pemerintahan kediktatoran sampai ia wafat pada 1935. Kudetanya didukung oleh Partai Komunis Polandia, di mana para pemimpin Stalinis Partai Komunis Polandia menyatakan bahwa kudeta Pilsudski adalah jalan menuju “kediktatoran demokratik revolusioner” dan menyerukan kepada buruh untuk mendukungnya. Trotsky mengatakan bahwa Pilsudski terpaksa melakukan kudeta untuk menyelamatkan kapitalisme di Polandia, yang tercabik-cabik oleh ketidakmampuan kaum borjuasi untuk mempertahankan kestabilan dan juga ketidakmampuan kelas buruh untuk merebut kekuasaan.

[4] Adolf Warski (1868-1937) adalah pemimpin Partai Komunis Polandia. Dia ditangkap dan dieksekusi pada permulaan tahun 1937 saat Pembersihan Besar yang dilakukan oleh Stalin.

[5] Vasil Kolarov (1877-1950) adalah pemimpin komunis di Bulgaria. Pada 1923 dia memimpin sebuah pemberontakan komunis di Bulgaria yang menemui kegagalan, dan lalu mengasing ke Uni Soviet.

[6] Khristo Kabakchiev adalah salah seorang pemimpin dari Partai Komunis Bulgaria, dia juga menjadi delegasi untuk Kongres Kedua Komunis Internasional.

[7] Alexander Stamboliyski (1879-1923) adalah perdana menteri Bulgaria dari 1918-1923. Dia adalah anggota partai Serikat Agraria. Dibunuh pada saat kudeta kontra-revolusioner pada 1923.

[8] Partai Buruh-Petani di Amerika dibentuk di Minnesota pada 1918, yang lahir dari Partai Buruh Amerika Serikat. Partai ini akhirnya bubar pada 1932.

[9] Irakli Tsereteli (1882-1959) adalah pemimpin Menshevik. Ia adalah anggota Komite Eksekutif Soviet Petrograd setelah Revolusi Februari 1917. Ia menjabat sebagai Menteri Pos dan Telegraf dalam Pemerintahan Sementara. Lalu pada bulan Juli, dia menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Setelah Revolusi Oktober, Tsereteli memimpin blok anti Soviet yang menolak mengakui Pemerintahan Soviet.

[10] Fedor Dan (1871-1947) adalah salah seorang pemimpin Menshevik. Setelah Revolusi Februari 1917, dia menjadi anggota Komite Eksekutif Soviet Petrograd dan mendukung Pemerintahan Sementara. Dia menentang Revolusi Oktober.