Revolusi yang Dikhianati

Leon Trotsky (1936)


Bab VII. Keluarga, Kaum Muda, Dan Kebudayaan

 

1. Kaum Thermidor di dalam Keluarga

Revolusi Oktober dengan jujur memenuhi kewajibannya kepada kaum perempuan. Pemerintahan yang muda ini bukan hanya memberinya semua hak hukum dan politik setara dengan laki-laki namun, yang lebih penting, pemerintah ini melakukan segala yang bisa dilakukan dan, jauh lebih banyak dari apa yang pernah dilakukan pemerintah lainnya, dengan sungguh-sungguh menjamin akses perempuan ke segala bentuk kerja ekonomi dan budaya. Walau demikian, revolusi yang paling berani sekalipun, seperti parlemen Inggris yang “maha digdaya” itu, tidak akan dapat mengubah perempuan menjadi laki-laki – atau, lebih tepatnya, tidak dapat membagi dengan sama rata di antara mereka beban kehamilan, persalinan, penyusuan, dan perawatan anak. Revolusi membuat satu langkah heroik untuk menghancurkan apa yang disebut “rumahtangga” – institusi yang usang, jenuh dan stagnan, di mana perempuan kelas pekerja melakukan kerja rodi dari kanak-kanak hingga wafatnya. Keluarga sebagai sebuah unit ekonomi kecil yang terisolasi akan digantikan, menurut rencana, oleh sebuah sistem perawatan dan akomodasi sosial: rumah bersalin, pusat pengasuhan anak, taman kanak-kanak, sekolah, ruang makan sosial, tempat cuci pakaian sosial, stasiun P3K, rumah sakit, sanatorium, klub olahraga, bioskop, dll. Penyerapan total atas fungsi-fungsi rumahtangga di dalam keluarga oleh lembaga-lembaga masyarakat sosialis, yang menyatukan semua generasi dalam solidaritas dan gotong-royong, akan membawa pembebasan sejati dari belenggu yang telah berusia ribuan tahun untuk kaum perempuan, dan dari situ akan membebaskan juga pasangan yang saling mencintai. Sampai sekarang akar masalah ini belum lagi terpecahkan. Mayoritas besar dari empat puluh juta keluarga Soviet masih tinggal di dalam sarang-sarang tradisi kuno, perbudakan domestik dan histeria terhadap wanita, pelecehan terhadap anak-anak, dan tahyul-tahyul. Kita tidak boleh berilusi tentang hal ini. Oleh karena itulah, serangkaian perubahan dalam pendekatan atas masalah keluarga di Uni Soviet sangat mencirikan karakter sejati dari masyarakat Soviet dan evolusi dari lapisan penguasanya.

Telah terbukti mustahil untuk menghancurkan keluarga dengan segera – bukannya karena tekad kurang kuat, dan bukan karena keluarga telah begitu berakar dalam hati manusia. Sebaliknya, setelah satu masa singkat ketidakpercayaan akan pemerintah dan pusat-pusat perawatan anak, taman kanak-kanak dan lembaga lainnya, kaum pekerja perempuan, dan di belakang mereka menyusul pula para petani yang lebih maju, menghargai keunggulan luar biasa dari perawatan anak secara kolektif dan juga sosialisasi perekonomian keluarga secara keseluruhan. Sayangnya, masyarakat terbukti terlalu miskin dan kurang berbudaya. Sumberdaya negara tidaklah sesuai dengan rencana dan niat Partai Komunis. Anda tidak dapat “menghapuskan” keluarga; Anda harus menggantikannya. Pembebasan sejati kaum perempuan tidak dapat diwujudkan berdasarkan “kemiskinan umum”. Pengalaman dengan segera membuktikan kebenaran yang sederhana ini, yang telah dirumuskan Marx delapan puluh tahun sebelumnya.

Selama tahun-tahun kelaparan, kaum buruh dan juga sebagian keluarganya makan di pabrik dan di ruang makan sosial lainnya, dan kenyataan ini secara resmi dianggap sebagai sebuah transisi menuju bentuk kehidupan sosialis. Kita tidak perlu berhenti untuk menelaah kembali kekhasan dari berbagai periode ini: komunisme militer, NEP dan rencana lima tahun pertama. Sejak penghapusan sistem kartu jatah makan di tahun 1935, semua buruh yang bergaji lebih baik mulai kembali ke ruang makan di rumahnya sendiri. Akan tidak tepat kiranya jika kita menganggap kemunduran ini sebagai sebuah penentangan terhadap sistem sosialis, yang secara umum belum pernah diterapkan. Tetapi yang menjadi lebih buruk adalah penilaian kaum buruh dan istri-istri mereka atas “pemberian makan sosial” yang diorganisir oleh birokrasi. Kesimpulan yang sama juga ditujukan pada pencucian pakaian sosial, di mana mereka lebih banyak merobek dan mencuri linen daripada mencucinya. Kembali ke rumahtangga keluarga! Tetapi masakan rumah dan pencucian pakaian di rumah, yang kini dipuji oleh para orator dan jurnalis dengan setengah malu, berarti kembalinya para istri buruh ke panci dan wajan mereka, artinya ke perbudakan lama. Kita harus meragukan apakah resolusi Komunis Internasional tentang “kemenangan sosialisme yang mutlak dan tak tergoyahkan di Uni Soviet” masih kedengaran meyakinkan bagi para perempuan di distrik-distrik industri!

Keluarga pedesaan, yang tidak hanya terikat pada industri rumahan namun juga dengan pertanian, jauh lebih stabil dan konservatif daripada keluarga perkotaan. Hanya beberapa komune pertanian yang miskin yang memperkenalkan ruang makan sosial dan pusat perawatan anak pada awalnya. Kolektivisasi, menurut maklumat-maklumat awalnya, dilakukan untuk memulai satu perubahan besar dalam lingkup keluarga. Tidak percuma mereka mengekspropriasi ayam dan juga sapi milik petani. Banyak sekali pengumuman tentang jayanya ruang makan sosial di seantero negeri. Tetapi, ketika kemunduran dimulai, kenyataan tiba-tiba muncul dari balik bayang-bayang kecongkakan tersebut. Kaum tani hanya memperoleh dari pertanian kolektif, pada umumnya, roti bagi dirinya sendiri dan pakan bagi ternaknya. Daging, produk susu dan sayuran didapatnya, hampir sepenuhnya, dari lahan pribadinya di samping pertanian kolektif itu. Dan, begitu keperluan pokok didapatkan dari upaya keluarga secara perorangan, kita tidak bisa lagi berbicara mengenai ruang makan sosial. Dengan begitu, pertanian-pertanian gurem ini membangun sebuah basis baru bagi rumahtangga domestik, menempatkan beban dobel di pundak kaum perempuan.

Jumlah total akomodasi tetap yang tersedia di pusat perawatan anak mencapai, di tahun 1932, 600 ribu, dan akomodasi musiman yang hanya tersedia di musim tanam hanya sekitar 4 juta. Di tahun 1935, jumlah tempat tidur bayi mencapai 5.600.000, tetapi yang tetap hanya sebagian kecil saja dari jumlah total itu. Di samping itu, pusat perawatan anak, bahkan yang di Moskow, Leningrad maupun kota-kota besar lainnya, secara umum tidaklah memuaskan. “Sebuah pusat perawatan anak di mana si anak merasa diperlakukan lebih buruk daripada di rumahnya bukanlah pusat perawatan anak melainkan sebuah panti asuhan yatim-piatu yang buruk,” keluh sebuah koran terkemuka Soviet. Tidak heran banyak keluarga pekerja yang lebih mapan menghindari pusat perawatan anak. Tetapi, bagi sebagian besar massa kaum pekerja, jumlah “panti asuhan yang buruk” ini tetaplah tidak memadai. Baru-baru ini Komite Eksekutif Sentral mengeluarkan satu resolusi bahwa anak-anak terlantar dan anak yatim-piatu haruslah ditempatkan di tangan keluarga pribadi untuk dipelihara. Melalui organnya yang tertinggi, pemerintah birokratik mengakui kebangkrutannya dalam fungsi sosialis yang terpenting. Jumlah anak di taman kanak-kanak meningkat selama lima tahun, dari tahun 1930-35, dari 370.000 menjadi 1.181.000. Rendahnya jumlah ini pada tahun 1930 sangat mengejutkan, namun jumlah pada tahun 1935 juga nampak hanya setetes air di tengah lautan keluarga-keluarga Soviet. Satu penyelidikan lebih lanjut niscaya akan menunjukkan bahwa taman kanak-kanak yang terbaik hanya tersedia bagi keluarga-keluarga pejabat administrasi, para personil teknik, kaum Stakhanovis, dll.

Belum berapa lama berlalu, Komite Eksekutif Sentral yang sama juga terpaksa mengakui secara terbuka bahwa “resolusi tentang likuidasi anak tunawisma dan terlantar tidak terlaksanakan dengan baik.” Apa yang tersembunyi di balik pengakuan tanpa semangat ini? Hanya lewat kebetulan sajalah, dari artikel koran yang dicetak dengan huruf kecil-kecil, kita dapat mengetahui bahwa di Moskow lebih dari seribu anak hidup dalam “kondisi keluarga yang teramat sulit”; bahwa di rumah-rumah penampungan anak di ibukota terdapat sekitar 1500 anak yang tidak bisa ke mana-mana dan terpaksa lari ke jalan; bahwa selama dua bulan di musim gugur 1935 di Moskow dan Leningrad “7500 orang tua dipanggil ke pengadilan karena meninggalkan anak-anak mereka tanpa pengawasan.” Apa gunanya menyeret mereka ke pengadilan? Berapa banyak anak dalam “kondisi teramat sulit” yang belum tercatat? Apa bedanya kondisi yang teramat sulit dengan yang sulit biasa saja? Inilah masalah-masalah yang belum terjawab. Sejumlah besar anak jalanan, yang terang-terangan dan terbuka maupun yang terselubung, adalah hasil langsung dari krisis sosial besar di dalam perjalanan di mana bentuk-bentuk keluarga yang lama terus mengalami keruntuhan sementara lembaga-lembaga yang baru tidak cukup cepat untuk menggantikannya.

Dari artikel koran yang sama dan dari catatan-catatan kriminal, para pembaca dapat mengetahui keberadaan pelacuran di Uni Soviet – yakni, pelecehan paling ekstrim atas perempuan demi kepentingan para lelaki yang sanggup membayarnya. Di musim gugur tahun lalu, Izvestia tiba-tiba memberitahu para pembacanya, misalnya, tentang penangkapan di Moskow atas “sebanyak seribu perempuan yang diam-diam menjual diri mereka di jalanan ibu kota proletar.” Di antara mereka yang ditangkap, 177 adalah pekerja perempuan, 92 juru tulis, 5 mahasiswi, dll. Apa yang mendorong mereka ke pelataran jalan? Upah yang tidak memadai, kemiskinan, keperluan untuk “mendapat tambahan untuk membeli gaun, sepatu.” Akan sia-sia jika kita mencoba memperkirakan seberapa besar dimensi kejahatan sosial ini. Birokrasi memerintah para ahli statistik untuk bungkam. Tetapi kebisuan yang dipaksakan ini sendiri merupakan saksi yang tak terbantahkan atas begitu banyaknya “kelas” dalam prostitusi di Uni Soviet. Pada hakikatnya ini bukan masalah “sisa-sisa masa lalu”; para pelacur ini direkrut dari generasi yang lebih muda. Tentu saja tidak akan ada orang berakal sehat yang akan berpikir untuk menyalahkan rejim Soviet atas kekejian ini, yang umurnya setua peradaban itu sendiri. Tetapi jelas tidak dapat dimaafkan jika kita berbicara mengenai kemenangan sosialisme ketika prostitusi masihlah ada. Koran-koran menegaskan – sejauh mereka diperkenankan menyentuh tema yang sensitif ini – bahwa “prostitusi tengah mengalami penurunan.” Mungkin saja hal ini benar dibandingkan dengan tahun-tahun kelaparan dan kemunduran (1931-33). Namun restorasi hubungan uang yang telah terjadi sejak itu, penghapusan semua penjatahan langsung, niscaya akan membawa kita pada pertumbuhan prostitusi yang baru, di samping juga anak-anak jalanan. Di mana ada orang kaya, pasti di sana ada juga kaum miskin!

Kondisi anak-anak tunawisma yang massal ini, tak terbantahkan lagi, adalah gejala yang paling tegas dan paling tragis dari situasi sulit yang dihadapi para ibu. Tentang subjek ini, Pravda yang optimistik itupun kadang terpaksa membuat pengakuan pahit: “Kelahiran seorang anak, bagi banyak perempuan, adalah ancaman serius bagi posisi mereka.” Persis karena alasan inilah kekuasaan revolusioner memberi perempuan hak untuk aborsi, yang dalam kondisi kekurangan dan kesulitan ekonomi keluarga, apapun yang dikatakan tentang ini oleh para pemuka agama maupun para bidan baik yang lelaki maupun perempuan, adalah salah satu hak terpenting perempuan dalam bidang sipil, politik dan budaya. Akan tetapi, hak perempuan ini, yang sudah cukup menyedihkan, di dalam ketidaksetaraan sosial yang sekarang ada telah diubah menjadi sebuah hak istimewa. Potongan-potongan informasi yang menetes lewat pers tentang praktek aborsi sangatlah mengejutkan. Maka, pada tahun 1935 di satu-satunya rumah sakit desa di salah satu distrik Ural datang “195 perempuan yang terluka parah oleh bidan aborsi tradisional” – di antaranya 33 pekerja perempuan, 28 juru tulis, 65 perempuan dari pertanian kolektif, 58 ibu rumah tangga, dll. Distrik di Ural ini hanya berbeda dari mayoritas distrik lainnya karena informasi tentang apa yang terjadi di sana bocor ke pers. Berapa banyak perempuan yang terluka parah tiap hari di seantero Uni Soviet?

Setelah mengungkapkan ketidakmampuannya untuk melayani kaum perempuan, yang terpaksa mengandalkan aborsi, dengan bantuan medis dan sanitasi yang memadai, negara melakukan sebuah pembelokan arah yang tajam, dan mengambil jalan pelarangan aborsi. Dan, sebagaimana pada situasi lainnya, birokrasi memberikan alasan yang sangat bijak untuk pelarangan ini. Salah satu anggota pengadilan tertinggi Soviet, Soltz[1], seorang spesialis masalah perkawinan, memberikan basis pada rencana pelarangan aborsi dengan fakta bahwa dalam sebuah masyarakat sosialis dimana tidak ada lagi pengangguran, dll., dll., seorang perempuan tidak memiliki hak untuk menolak “kebahagiaan menjadi ibu”. Filosofi seorang pendeta yang juga diiringi dengan kekuasaan seorang polisi. Kita baru saja mendengar dari organ utama partai yang berkuasa bahwa kelahiran seorang anak bagi mayoritas perempuan adalah “sebuah ancaman serius bagi posisi mereka.” Kita baru saha mendengar dari lembaga Soviet yang tertinggi bahwa “penghapusan anak-anak jalanan dan terlantar tidak terlaksanakan dengan baik,” yang berarti ada peningkatan jumlah kaum tunawisma. Namun di sini hakim Soviet tertinggi memberi tahu kita bahwa dalam sebuah negeri di mana “kehidupan itu membahagiakan” aborsi haruslah dihukum dengan pemenjaraan – persis seperti yang terjadi di negeri-negeri kapitalis di mana kehidupan menyengsarakan. Jelas bagi kita bahwa di Uni Soviet, sebagaimana di Barat, mereka yang akan jatuh ke dalam cengkeraman para sipir penjara terutama adalah para perempuan pekerja, pembantu rumah tangga, istri-istri petani, yang akan kesulitan menyembunyikan kesulitan mereka. Sejauh itu menyangkut “perempuan-perempuan kita”, yang menuntut parfum wangi dan kenikmatan dunia lainnya, mereka seperti biasanya akan melakukan apa yang menurut mereka perlu persis di bawah hidung pengadilan yang memanjakan mereka. “Kita memerlukan lebih banyak rakyat,” simpul Soltz, yang jelas menutup mata terhadap adanya kaum tunawisma. “Kalau begitu berbaik hatilah kamu dan lahirkan mereka sendiri,” mungkin itulah jawaban jutaan kaum buruh perempuan terhadap hakim tinggi ini, jika saja birokrasi tidak menyumpal bibir mereka. Orang-orang terhormat ini, nampaknya, telah lupa sepenuhnya bahwa sosialisme diperlukan untuk menyingkirkan sebab-sebab yang memaksa perempuan melakukan aborsi, dan bukannya memaksa mereka “menikmati menjadi ibu” dengan bantuan campur-tangan dari kepolisian yang keji di dalam apa yang bagi tiap perempuan pastilah menjadi bagian hidupnya yang paling intim.

Rancangan undang-undang pelarangan aborsi ini diserahkan pada apa yang disebut diskusi rakyat universal, dan sekalipun melalui sensor ketat pers Soviet, banyak keluhan pahit dan protes-protes yang muncul ke permukaan. Diskusi universal ini tiba-tiba dibatalkan, sama mendadaknya dengan pengumumannya, dan pada tanggal 27 Juni, Komite Eksekutif Sentral mengubah rancangan UU yang memalukan itu menjadi undang-undang yang tiga kali lipat lebih memalukan. Bahkan beberapa pembela resmi kaum birokrasi merasa malu. Louis Fischer menyatakan bahwa undang-undang ini adalah satu kesalahpahaman yang buruk. Dalam kenyataannya, undang-undang anti-perempuan ini – dengan pengecualian bagi perempuan terhormat – adalah buah yang wajar dan logis dari sebuah reaksi Thermidor.

Rehabilitisi bentuk keluarga yang lama, yang berlangsung seiring – sungguh sebuah kebetulan yang digariskan oleh nasib! – dengan rehabilitasi rubel, disebabkan oleh kebangkrutan negara secara material dan kultural. Bukannya dengan terbuka menyatakan, “Kami telah terbukti terlalu miskin dan bodoh untuk bisa membangun hubungan sosialis antar manusia; anak-anak dan cucu kamilah yang akan mewujudkan tujuan ini,” para pemimpin malah memaksa rakyat untuk melem kembali tempurung keluarga yang sudah pecah, dan bukan hanya itu, tetapi juga harus menganggapnya sebagai inti suci dari sosialisme yang jaya, anggapan yang dipaksakan melalui ancaman hukuman yang ekstrim. Sulit untuk mengukur besarnya kemunduran ini.

Setiap orang dan setiap hal diseret ke jalan baru ini: para penegak hukum dan penulis, pengadilan dan milisi, koran-koran dan ruang-ruang kelas. Ketika seorang pemuda komunis yang jujur dan naif berani menulis dalam korannya: “Anda sebaiknya menghabiskan waktu untuk memecahkan masalah bagaimana perempuan dapat melepaskan diri dari cengkeraman keluarga,” dia menerima beberapa tamparan – dan terbungkam. ABC komunisme dinyatakan sebagai “ekses kekiri-kirian”. Prasangka-prasangka yang bodoh dan usang dari kaum barbar yang tak berbudaya dibangkitkan kembali dengan kedok moralitas baru. Dan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di seluruh penjuru negeri luas tak berbatas ini? Pers hanya sedikit sekali mencerminkan dalamnya reaksi Thermidor di dalam lingkup keluarga.

Karena semangat evangelisme [keKristenan – Ed.] selalu tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya dosa, firman Allah yang ketujuh [jangan berzinah – Ed.] kini memperoleh popularitas besar di kalangan lingkaran penguasa. Kaum moralis Soviet cukup mengubah sedikit pembahasaannya. Sebuah kampanye telah dimulai terhadap perceraian yang berlangsung terlalu sering dan terlalu mudah. Pikiran kreatif para penegak hukum telah menciptakan langkah-langkah “sosialistik” seperti menarik uang untuk pendaftaran gugatan cerai, dan meningkatkan nilainya jika perceraian itu berulang. Bukannya sia-sia kalau kami berkomentar di atas tentang dibangkitkannya kembali bentuk keluarga lama bergandengan tangan dengan peningkatan peran edukatif dari rubel. Penerapan biaya pendaftaran niscaya membuat gugatan menjadi sulit bagi mereka yang tidak sanggup membayar. Untuk orang-orang kelas atas, pembayaran itu mudah-mudahan tidak menimbulkan kesulitan apapun. Di samping itu, orang-orang yang memiliki apartemen yang bagus, mobil dan benda-benda mewah lainnya dapat mengatur urusan pribadi mereka tanpa perlu menimbulkan publisitas dan, sebagai akibatnya, tanpa perlu mendaftarkan diri. Hanya di dasar masyarakatlah pelacuran memiliki watak yang menyedihkan dan memalukan. Di puncak masyarakat Soviet, di mana kekuasaan bergabung dengan kenyamanan, pelacuran mengambil bentuk yang lebih elegan, yakni saling melayani, bahkan juga mengambil bentuk “keluarga sosialis”. Kita telah mendengar dari Sosnovsky tentang pentingnya “faktor mobil-harem” di dalam pembusukan yang terjadi di lapisan penguasa.

Para pemimpi, akademisi dan “kawan-kawan Uni Soviet” lainnya punya mata tetapi tak bisa melihat. Undang-undang perkawinan dan keluarga yang didirikan oleh Revolusi Oktober, yang pernah menjadi salah satu kebanggaannya, kini dirombak dan dimutilasi oleh undang-undang yang sebagian besar daripadanya dipinjam dari perundang-undangan negeri-negeri borjuis. Dan, seakan mengimbuhi pengkhianatan ini dengan lelucon konyol, argumen yang dulu diajukan untuk membela kebebasan tanpa syarat bagi perceraian dan aborsi – “pembebasan  perempuan”, “pembelaan hak pribadi”, “perlindungan terhadap ibu” – kini diulangi untuk membatasinya dan melarangnya sepenuhnya.

Kemunduran ini tidak hanya mengambil bentuk kemunafikan yang menjijikkan, namun juga berjalan lebih jauh dari kebutuhan yang dipaksakan oleh kondisi ekonomi. Di samping sebab-sebab objektif yang mengembalikan bentuk-bentuk borjuis seperti misalnya pembayaran uang tanggung-asuh (alimoni), ditambahkan juga kepentingan sosial lapisan penguasa untuk memperdalam cengkeraman hukum-hukum borjuis. Motif paling mendesak dari pengkultusan keluarga yang sekarang diterapkan adalah kebutuhan birokrasi untuk adanya sebuah hubungan hirarki yang stabil, dan untuk mendisplinkan kaum muda melalui 40 juta titik dukung untuk otoritas dan kekuasaannya.

Sekalipun masih ada harapan untuk mengkonsentrasikan pendidikan generasi baru ke tangan negara, pada masa lalu pemerintah Soviet bukan hanya tidak peduli untuk mendukung otoritas “para tetua” dan, khususnya, para ayah dan ibu, namun sebaliknya berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan anak-anak dari keluarganya, guna melindungi mereka dari tradisi cara hidup yang stagnan. Belum berapa lama yang lalu, dalam rencana lima tahun pertama, sekolah-sekolah dan Pemuda Komunis menggunakan anak-anak untuk membongkar, mempermalukan dan, dengan demikian, me-”re-edukasi” ayah mereka yang pemabuk atau ibu mereka yang relijius – seberapa sukses kita tidak tahu. Paling tidak, metode ini berarti pengguncangan otoritas orang tua sampai ke pondasinya yang terdalam. Dalam lingkup yang bukannya tidak penting ini, satu kelokan tajam telah dibuat. Sekarang, bersama dengan firman ketujuh, firman Tuhan yang kelima [Hormatilah ayahmu dan ibumu – Ed.] juga tengah direstorasi sepenuhnya, sekalipun tidak lagi merujuk pada Tuhan. Namun sekolah-sekolah di Perancis juga tidak merujuk pada Tuhan lagi, dan itu tidak menghalangi mereka untuk, dengan sukses, menanamkan konservatisme dan rutinitas.

Kepedulian pada otoritas dari generasi yang lebih tua, biar bagaimanapun, telah membawa perubahan dalam kebijakan dalam soal agama. Penyangkalan terhadap Tuhan, bantuan-Nya dan mukjizat-Nya, adalah baji paling tajam yang dipukulkan oleh kekuasaan revolusioner untuk memisahkan orang tua dan anak-anak mereka.  Ketika dilakukan tanpa menghiraukan perkembangan budaya, propaganda yang serius dan pendidikan yang ilmiah, perjuangan melawan gereja, di bawah kepemimpinan orang-orang semacam Yaroslavsky[2], seringkali membusuk menjadi lelucon dan kejengkelan. Pembubaran terhadap surga, sebagaimana pembubaran keluarga, kini terhenti sepenuhnya. Birokrasi, yang khawatir akan reputasi mereka yang terhormat, telah memerintahkan orang-orang muda “tak bertuhan” untuk melucuti perisai-perisai mereka dan duduk membaca buku. Dalam hubungannya dengan agama, perlahan-lahan didirikanlah sebuah rejim yang netral secara ironis. Tetapi itu baru tahap pertama. Tidak akan sulit meramalkan tahap kedua dan ketiganya, jika jalannya peristiwa hanya tergantung dari keputusan mereka yang punya otoritas.

Dimana-mana dan setiap saat, kemunafikan dari birokrasi tumbuh sebagai fungsi kwadrat, atau pangkat tiga, daripada kontradiksi sosial. Kira-kira demikianlah hukum kesejarahan ideologi diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. Sosialisme adalah hubungan antar manusia tanpa keserakahan, persahabatan tanpa kecemburuan dan intrik, cinta tanpa perhitungan untuk diri sendiri. Doktrin resmi menyatakan bahwa norma-norma ideal ini telah terwujud – dan mereka semakin keras menyatakannya ketika kenyataan memprotes pernyataan semacam itu. “Berdasarkan kesetaraan penuh antara lelaki dan perempuan,” demikian, misalnya, program baru Pemuda Komunis, yang disahkan di bulan April 1936, “satu bentuk keluarga yang baru tengah tercpita, yang perkembangannya akan menjadi perhatian dari negara Soviet.” Sebuah komentar resmi menyertai program ini: “Pemuda kita yang tengah memilih pasangan hidup – istri atau suami – hanya mengenal satu motif, satu dorongan: cinta. Perkawinan borjuis yang dilakukan untuk kenyamanan finansial sudah tidak ada lagi bagi generasi baru kita.” (Pravda, 4 April 1936.) Sejauh menyangkut para buruh lelaki dan perempuan, hal ini kurang-lebih tepat. Tetapi, “perkawinan demi uang” juga kurang dikenal oleh kaum pekerja di negeri-negeri kapitalis. Persoalannya berbeda ketika kita berbicara tentang lapisan menengah dan atas. Pengelompokan sosial yang baru secara otomatis menempatkan segel mereka pada hubungan antar-pribadi. Kebiadaban yang dimunculkan oleh kekuasaan dan uang dalam hubungan antar kelamin berkembang subur di jajaran birokrasi Soviet seakan mereka telah menetapkan tujuan bahwa mereka akan mengungguli kaum borjuasi Barat dalam hal ini.

Dalam kontradiksi penuh terhadap pernyataan Pravda yang dikutip di atas, “perkawinan demi uang”, sebagaimana yang diakui oleh pers Soviet sendiri secara kebetulan atau ketika tidak terhindarkan lagi, kini telah dibangkitkan sepenuhnya. Kualifikasi, upah, jenis kerja, jumlah pangkat pada seragam militer, kini semakin penting, karena bersama semua itu terikat pulalah jumlah sepatu dan mantel bulu dan apartemen dan kamar mandi, dan – impian yang terbesar – mobil. Perjuangan untuk mendapatkan rumah menyatukan dan menceraikan tidak sedikit pasangan di Moskow tiap tahun. Persoalan kekerabatan keluarga telah mendapat makna yang signifikan. Sangatlah berguna jika ayah mertua Anda adalah seorang komandan militer atau seorang komunis yang berpengaruh, atau ibu mertua Anda adalah saudari dari seorang pejabat tinggi. Apakah ini mengherankan?

Salah satu bab yang sangat dramatis dalam buku besar tentang Uni Soviet pastilah berkisah tentang keruntuhan dan pecahnya keluarga-keluarga Soviet di mana sang suami adalah seorang anggota partai, aktivis serikat buruh, komandan militer atau administratur, tumbuh dan berkembang dan meraih selera baru dalam kehidupan; sementara sang istri, yang tertekan oleh keluarga, tinggal dalam tingkat kehidupannya yang lama. Jalan yang ditempuh oleh dua generasi birokrasi Soviet ini dipenuhi dengan tragedi-tragedi para istri yang ditolak dan ditinggalkan. Fenomena yang sama kini dapat dilihat juga di kalangan generasi yang baru. Keburukan dan kekejaman yang paling besar mungkin dapat ditemui di puncak-puncak birokrasi, di mana sebagian besar darinya adalah orang-orang kaya baru berkebudayaan rendah, yang menganggap segala sesuatunya boleh mereka lakukan. Arsip-arsip dan memoar, satu hari nanti, akan mengungkap kekejian yang terjadi pada para istri, dan pada perempuan secara umum, yang dilakukan para pengkhotbah moralitas keluarga dan “kenikmatan menjadi ibu” yang dipaksakan itu, yang karena posisinya sendiri menjadi kebal dari jerat hukum.

Tidak, perempuan Soviet masih belum bebas. Kesetaraan penuh di depan hukum sejauh ini hanya diberikan pada perempuan lapisan atas, para perwakilan birokrasi, teknik, pendidikan dan kerja intelektual secara umum, daripada terhadap perempuan pekerja dan, terlebih lagi, pada perempuan tani. Selama masyarakat tidak sanggup menanggung kepentingan material keluarga, ibu hanya akan dapat memenuhi fungsi sosialnya jika dia dilayani oleh para budak putih: perawat, pembantu, juru masak, dll. Dari ke-40 juta keluarga yang merupakan warga Uni Soviet, lima atau barangkali 10 persen membangun “rumahtangga” mereka di atas kerja para budak rumah tangga. Satu sensus pembantu rumahtangga yang akurat di Uni Soviet akan berguna sekali untuk menilai status perempuan di Uni Soviet, setara dengan seluruh sistem hukum Soviet, betapapun progresif sistem itu adanya. Namun, justru karena alasan inilah statistik Soviet menyembunyikan para pembantu di balik nama “pekerja perempuan” atau “lain-lain”! Situasi para ibu dalam keluarga yang dianggap komunis, memiliki seorang juru masak, jalur telpon untuk memesan barang ke toko-toko, sebuah mobil untuk bepergian, dll., sama sekali berbeda dengan situasi seorang perempuan pekerja yang terpaksa berlari ke toko, menyiapkan makanan sendiri dan menggendong anak mereka ke taman kanak-kanak – itu juga jika tersedia fasilitas taman kanak-kanak. Tidak ada satupun label sosialis yang dapat menyembunyikan perbedaan ini, yang tidak kurang mengejutkannya daripada kontras antara seorang perempuan borjuis terhormat dengan perempuan proletar di negeri Barat manapun.

Keluarga sosialis yang sejati, di mana masyarakat telah mengambil alih darinya beban pemeliharaan harian yang tidak tertanggungkan dan memalukan, tidak akan membutuhkan pemisahan, dan ide tentang undang-undang aborsi dan perceraian tidak akan terdengar lebih baik dalam rumah tangga itu daripada kisah-kisah lama tentang rumah prostitusi atau pengorbanan manusia. Perundang-undangan pasca Revolusi Oktober mengambil langkah berani ke arah keluarga semacam itu. Keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan telah menghasilkan sebuah reaksi yang kejam. Perundang-undangan Thermidor menabuh genderang kemunduran ke keluarga borjuis, menutupi langkah mundur ini dengan pidato-pidato palsu tentang sucinya bentuk keluarga “baru” ini. Kebangkrutan sosialis mengaburkan dirinya dengan kehormatan yang munafik.

Ada beberapa pengamat yang tulus, khususnya mengenai masalah anak-anak, yang terguncang oleh kontras yang dijumpainya antara prinsip-prinsip yang mulia dengan kenyataan yang buruk rupa. Kenyataan adanya kebijakan-kebijakan hukum yang kejam yang diberlakukan terhadap anak-anak jalanan telah cukup untuk menunjukkan bahwa undang-undang sosialis tentang perlindungan perempuan dan anak-anak hanyalah sebuah kemunafikan. Ada pula pengamat dari jenis yang sebaliknya, yang tertipu oleh kemegahan dan kegemilangan ide-ide yang telah digubah ke dalam bentuk undang-undang dan lembaga-lembaga administratif. Ketika mereka melihat seorang ibu yang sengsara, pelacur atau anak tunawisma, orang-orang optimis ini akan mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa perkembangan kekayaan material lebih lanjut akan perlahan-lahan mengisi perundang-undangan sosialis tersebut dengan daging dan darah. Tidak mudah untuk memutuskan mana dari kedua pendekatan ini yang lebih keliru dan berbahaya. Hanya orang-orang yang terguncang oleh kebutaan sejarah yang gagal melihat keluasan dan keberanian dalam perencanaan sosial, makna signifikan dari tahap-tahap awal perkembangannya, dan tak terbatasnya kemungkinan yang dibuka olehnya. Tetapi, di pihak lain, mustahil bagi kita untuk tidak marah ketika kita melihat optimisme yang pasif dan yang pada hakikatnya tidak-acuh dari mereka-mereka yang menutup mata atas perkembangan kontradiksi sosial, yang menyamankan diri dengan melihat jauh ke masa datang, dimana kunci ke masa depan itu dengan penuh hormat mereka usulkan agar diserahkan ke tangan birokrasi. Seakan-akan kesetaraan hak perempuan dan lelaki belum diubah menjadi kesetaraan dalam perampasan hak oleh birokrasi yang itu juga! Dan seakan-akan di dalam sebuah buku suci dijanjikan dengan sungguh-sungguh bahwa birokrasi Soviet tidak akan memberlakukan satu penindasan baru untuk menggantikan kebebasan.

Bagaimana lelaki memperbudak perempuan, bagaimana kaum penghisap menindas mereka berdua, bagaimana kaum pekerja telah mencoba dengan darah mereka untuk membebaskan diri dari perbudakan dan ternyata lepas dari mulut singa masuk ke mulut buaya – sejarah mengajari kita banyak hal tentang ini. Pada hakikatnya, sejarah tidak menceritakan hal lain. Tetapi bagaimana kita dapat membebaskan anak-anak, perempuan dan manusia itu sendiri? Untuk itu, kita belum memiliki model yang dapat diandalkan. Semua pengalaman sejarah yang ada, sepenuhnya negatif, menuntut kaum pekerja, setidaknya dan terutama, untuk menempatkan ketidakpercayaan sepenuhnya pada semua bentuk birokrasi yang tidak dapat dikontrol dan memiliki hak istimewa.

2. Penindasan Terhadap Kaum Muda

Setiap partai revolusioner mendapatkan dukungan utamanya dari generasi muda kelas yang sedang bangkit. Pembusukan struktur politik mewujudkan dirinya dalam kehilangan kemampuan untuk menarik kaum muda ke bawah panji-panjinya. Partai-partai demokrasi borjuis, dalam kemunduran mereka satu-persatu dari panggung, terpaksa menyerahkan kaum muda ke revolusi atau fasisme. Bolshevisme, ketika di bawah tanah, selalu merupakan partainya buruh muda. Kaum Menshevik bersandar pada lapisan atas kelas buruh yang trampil dan lebih bermartabat, selalu membanggakan diri tentang hal ini dan meremehkan kaum Bolshevik. Peristiwa yang menyusul sesudahnya menunjukkan kekeliruan mereka. Pada momen yang menentukan, kaum muda menyeret lapisan yang lebih dewasa tersebut dan bahkan juga orang-orang tua.

Revolusi memberikan sebuah dorongan historis yang luar biasa pada generasi Soviet yang baru. Revolusi membebaskan mereka dengan sekali pukul dari bentuk-bentuk kehidupan konservatif dan menunjukkan pada mereka satu rahasia besar – rahasia pertama dari dialektika – bahwa tidak ada yang tidak berubah di muka bumi ini, dan bahwa masyarakat dibuat dari bahan yang lentur. Betapa bodohnya teori tentang ras-ras yang tidak berubah setelah diterangi peristiwa-peristiwa di tengah epos kita! Uni Soviet adalah sebuah kuali dimana karakter-karakter dari lusinan kebangsaan berpadu. Mistisisme “jiwa Slavik” meluntur seperti noda dari pakaian.

Tetapi dorongan yang diberikan pada generasi muda ini belumlah menemukan wujudnya dalam proyek historis sekarang ini. Pastinya, kaum muda sangatlah aktif dalam lingkup ekonomi. Di Uni Soviet terdapat 7.000.000 pekerja di bawah usia dua puluh tiga – 3.140.000 dalam industri, 700.000 di perkeretaapian, 700.000 di usaha konstruksi. Di pabrik-pabrik raksasa yang baru dibangun, sekitar separuh dari pekerjanya berusia muda. Kini terdapat 1.200.000 Pemuda Komunis di pertanian-pertanian kolektif. Ratusan ribu anggota Pemuda Komunis telah dimobilisasi di tahun-tahun yang berselang untuk kerja-kerja konstruksi, perkayuan, tambang batu bara, produksi emas, untuk bekerja di kawasan Arktik, Shakalin atau di Amur, di mana kota baru Komsomolsk tengah dibangun. Generasi baru ini menghasilkan anggota-anggota brigade garis depan, pekerja unggul, kaum Stakhanovis, para mandor, administratur rendahan. Kaum muda tengah belajar, dan sebagian besar dari mereka belajar dengan tekun. Mereka sama aktifnya, jika bukannya lebih, di lapangan olah raga dalam bentuk-bentuk yang paling berani atau penuh pertarungan, seperti terjun payung dan menembak. Mereka yang lebih berani mengambil resiko dan berjiwa petualang melakukan berbagai jenis ekspedisi yang berbahaya.

“Bagian terbaik dari kaum muda kita,” kata seorang penjelajah kutub terkenal, Schmidt, baru-baru ini, “bergairah bekerja di mana kesulitan menanti mereka.” Ini jelas benar. Tetapi di semua lingkup, generasi pasca revolusi masih berada di bawah bimbingan. Mereka diberi tahu dari atas tentang apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana melakukannya. Politik, sebagai bentuk komando tertinggi, tetap tinggal di tangan mereka yang dikenal sebagai “Pengawal Tua”, dan di semua pidato mereka yang penuh semangat dan seringkali membuai kaum muda, orang-orang lama ini dengan waspada mempertahankan monopoli mereka sendiri.

Engels, yang tidak dapat membayangkan perkembangan masyarakat sosialis tanpa gugurnya Negara – yakni tanpa digantikannya segala bentuk represi kepolisian dengan administrasi-mandiri dari para produsen dan konsumen yang cerdas – menempatkan beban pemenuhan tugas ini pada generasi yang lebih muda, “yang akan tumbuh di dalam kondisi sosial yang baru dan bebas, dan akan berada dalam posisi untuk menyingkirkan segala sampah Negara-isme ini.” Lenin menambahkan: “… segala jenis Negara-isme, termasuk yang demokratik-republikan.” Prospek pembangunan masyarakat sosialis, dengan demikian, menurut Engels dan Lenin adalah kira-kira demikian: Generasi yang merebut kekuasaan, “Pengawal Tua”, akan memulai kerja melikuidasi Negara; generasi berikutnya yang akan menyelesaikannya.

Bagaimana kenyataannya? Empat puluh tiga persen dari populasi Uni Soviet dilahirkan setelah Revolusi Oktober. Jika Anda ambil usia dua puluh tiga tahun sebagai batasan antar dua generasi tersebut, maka lebih dari 50 persen manusia di Uni Soviet belum mencapai batasan ini. Sebagai akibatnya, separuh lebih penduduk negeri ini tidak memiliki kenangan akan rejim manapun kecuali rejim Soviet. Tetapi justru generasi baru ini yang membentuk dirinya, bukan dalam “kondisi sosial yang bebas” seperti yang dibayangkan Engels, namun di bawah represi yang tak tertanggungkan dan semakin hari semakin meningkat dari lapisan penguasa, yang terdiri dari orang-orang yang – menurut cerita fiktif dari pemerintah – melancarkan Revolusi Oktober. Di pabrik-pabrik, di pertanian kolektif, di barak-barak, universitas, ruang kelas, bahkan juga di taman kanak-kanak, jika bukan di pusat perawatan anak, kemuliaan tertinggi seorang manusia dimaklumatkan sebagai: kesetiaan terhadap pemimpin dan kepatuhan tanpa syarat. Banyak ujar-ujar dan maksim-maksim pengajaran di masa sekarang yang mungkin akan terasa disalin dari Goebbles[3], jika bukan dia sendiri yang telah menyalinnya dari para kolaborator Stalin.

Kehidupan sekolah dan sosial para murid disesaki dengan formalisme dan kemunafikan. Anak-anak belajar untuk duduk manis dalam sekian jam pertemuan yang membosankan, dengan para presidium terhormat, dengan melafalkan pujian-pujian untuk sang pemimpin, dengan perdebatan yang telah dihafalkan sebelumnya di mana, nyaris seperti yang dilakukan para tetua mereka, mereka mengatakan sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkannya. Kelompok anak sekolah yang paling tulus, yang berusaha membangun oase di tengah gurun ini, akan menghadapi represi yang kejam. Melalui agen-agennya, GPU memasukkan sikap pengkhianatan dan gemar-mengadu ke dalam apa yang disebut “sekolah-sekolah sosialis”. Para guru dan penulis buku anak-anak yang lebih bijak, sekalipun dipaksa terus bersikap optimis, tidak selalu dapat menyembunyikan kengerian mereka pada semangat represi, kepalsuan dan kebosanan yang membunuh kehidupan bersekolah. Karena tidak memiliki pengalaman dalam perjuangan kelas dan revolusi, generasi baru ini hanya dapat tumbuh dewasa untuk berpartisipasi secara mandiri dalam kehidupan sosial negeri ini melalui kondisi demokrasi soviet, hanya dengan secara sadar menggarap pengalaman-pengalaman masa lalu dan pelajaran-pelajaran dari masa kini. Karakter yang independen, sebagaimana juga pikiran yang independen, tidak dapat berkembang tanpa kritisisme. Akan tetapi, kaum muda Soviet sungguh-sungguh disangkal kesempatan mendasarnya untuk bertukar pikiran, membuat kesalahan dan mencoba serta memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sebagaimana juga kesalahan orang lain. Semua pertanyaan, termasuk dari mereka sendiri, diputuskan oleh orang lain. Mereka hanya diperbolehkan mengerjakan hasil keputusan orang lain dan menyanyikan pujian bagi mereka yang membuat keputusan itu. Terhadap tiap kata kritis, birokrasi menjawabnya dengan puntiran pada leher. Semua yang berdiri tegak tanpa menundukkan kepala di tengah kaum muda, secara sistematik, dihancurkan, direpresi atau secara fisik dihilangkan. Ini menjelaskan mengapa dari jutaan Pemuda Komunis sampai saat ini belum muncul satupun tokoh besar.

Dengan berkecimpung di dalam dunia permesinan, sains, literatur, olah raga atau catur, kaum muda dapat dikatakan sedang belajar memimpin masa depan. Dalam semua lingkup ini mereka berkompetisi dengan generasi tua yang tidak punya persiapan, dan seringkali menyamai atau justru mengungguli mereka. Tetapi setiap kali mereka membuat kontak dengan politik, jari mereka selalu terbakar. Dengan begitu, mereka hanya memiliki tiga kemungkinan yang terbuka bagi mereka: berpartisipasi dalam birokrasi dan meniti karir; menyerah diam-diam pada represi, mengundurkan diri ke dalam kerja-kerja ekonomi, ilmu pengetahuan atau mengurusi persoalan pribadi mereka sendiri; atau, terakhir, pergi ke bawah tanah dan belajar berjuang dan mengasah karakter mereka untuk masa depan. Jalan menuju karir birokratik hanya terbuka untuk sebuah minoritas kecil. Pada kutub yang lain, hanya minoritas kecil juga yang bergabung dengan Oposisi. Kelompok yang di tengah, sebuah massa yang besar, sangatlah heterogen. Namun di dalamnya, di bawah tekanan yang besar, sekalipun tersembunyi, proses yang teramat penting tengah bekerja, proses yang di masa mendatang akan menentukan masa depan Uni Soviet.

Kondisi kemiskinan dari epos perang sipil digantikan dalam masa NEP oleh suasana yang lebih epikurean [penuh kemewahan, penj.], atau kecenderungan mengejar kesenangan. Masa rencana lima tahun pertama kembali menjadi satu masa kemiskinan yang dipaksakan – tetapi kini hanya untuk massa rakyat dan kaum muda. Lapisan penguasa telah dengan kokoh menancapkan kakinya dalam kesejahteraan pribadi. Masa rencana lima tahun kedua jelas diiringi oleh sebuah reaksi tajam melawan kemiskinan. Kepentingan mengejar kemajuan pribadi telah menghinggapi sebagian besar populasi, khususnya kaum muda. Akan tetapi, pada kenyataannya di generasi Soviet yang baru kesejahteraan dan kemapanan hanya dapat diperoleh oleh selapisan kecil masyarakat yang berhasil mengangkat diri di atas massa rakyat dan, dengan satu atau lain cara, menjejalkan diri ke dalam lapisan penguasa. Birokrasi, demi kepentingannya sendiri, dengan sadar mengembangkan dan menyeleksi para aparatus politik dan pengejar karir.

Kata pembicara utama dalam Kongres Pemuda Komunis (April 1936): “Kerakusan akan laba, pengejaraan hal-hal yang remeh, dan egotisme yang menjijikkan bukanlah sifat pemuda Soviet.” Kata-kata ini terdengar bertentangan tajam dengan slogan yang tengah berjaya tentang “kehidupan yang sejahtera dan mewah,” dengan metode pembayaran-per-unit-hasil, premi, dan penghargaan-penghargaan. Sosialisme bukanlah berarti kondisi serba kekurangan; sebaliknya, justru sosialisme sangat bertentangan dengan kehidupan serba miskin yang diajarkan oleh Kristen. Sosialisme sangat bertentangan dengan semua agama hanya karena sosialisme memperhatikan urusan dunia ini, dan hanya dunia ini. Tetapi sosialisme memiliki jenjang-jenjangnya dari hal-hal material di dunia. Kepribadian manusia dimulai, menurut sosialisme, bukan dengan kekhawatiran untuk hidup sejahtera, tetapi sebaliknya dengan penghentian kekhawatiran ini. Tetapi, tidak ada generasi yang dapat mendahului kemampuannya sendiri. Seluruh gerakan Stakhanov saat ini dibangun berdasarkan “egotisme yang menjijikkan.” Ukuran kesuksesan – jumlah celana atau dasi yang diperoleh – merupakan saksi dari “pengejaran hal-hal remeh.” Anggaplah tahap kesejarahan ini tidak terhindarkan. Baiklah. Tetap saja kita perlu memandangnya sebagaimana adanya. Restorasi hubungan pasar membuka kesempatan tiada tara untuk meningkatnya kesejahteraan pribadi. Kecenderungan luas di kalangan muda Soviet ke arah profesi keteknikan dapat dijelaskan, bukan oleh menariknya bidang konstruksi sosialis, tetapi karena para insinyur mendapatkan gaji jauh lebih tinggi daripada dokter atau guru. Ketika kecenderungan ini bangkit dalam kondisi idelogi reaksioner dan represi terhadap intelektualitas, dan dengan sengaja ditumbuhkannya melalui naluri-naluri pengejaran karir, maka penyebaran apa yang disebut “budaya sosialis” seringkali ternyata adalah pendidikan tentang semangat egotisme yang teramat anti-sosial.

Tetap saja, akan menjadi satu fitnah yang kasar pada kaum muda jika kita menggambarkan mereka semua sebagai orang-orang yang dikendalikan hanya oleh, atau setidaknya terutama oleh, kepentingan pribadi. Tidak, secara umum mereka berwatak mulia, cepat tanggap dan pekerja keras. Pengejaran karir menodai mereka karena dikucurkan dari atas. Dalam hati mereka terdapat berbagai tendensi yang belum terumuskan dengan baik, yang didasari oleh sifat kepahlawanan dan masih menunggu penerapannya. Berdasarkan mood inilah, khususnya, semangat patriotisme Soviet yang baru tengah menumbuhkan dirinya. Ini jelas sangat dalam, tulus dan dinamis. Tetapi, dalam patriotisme ini pula terdapat jurang yang memisahkan kaum muda dengan orang-orang tua.

Paru-paru kaum muda tidak sanggup bernapas dalam atmosfer kemunafikan yang tidak dapat dipisahkan dari kaum Thermidor – dari sebuah reaksi yang masih terpaksa mengenakan baju revolusi. Ketidaksesuaian mencolok antara poster-poster sosialis dan realitas kehidupan menggerogoti kepercayaan pada slogan-slogan pemerintah. Cukup banyak kaum muda yang merasa bangga menjauhi politik yang kasar dan korup. Dalam banyak kasus, ketidakpedulian dan sinisme ini adalah bentuk awal dari ketidakpuasan dan hasrat terpendam untuk berdiri di atas kaki sendiri. Pemecatan dari Pemuda Komunis dan partai, penahanan dan pengasingan atas ratusan ribu kaum muda “Tentara Putih[4]“ dan “oportunis”, di satu pihak, dan “Bolshevik-Leninis” di pihak lain, membuktikan bahwa sumber mata air dari oposisi politik, baik dari sayap kanan maupun kiri, belumlah kering. Sebaliknya, selama beberapa tahun terakhir, mereka bergolak dengan kekuatan yang diperbaharui. Dan, mereka yang lebih tidak sabar, berdarah panas, yang sakit hati dan kepentingannya dilukai, mengarahkan kemarahan mereka melalui aksi-aksi terorisme. Demikianlah kira-kira spektrum politik kaum muda Soviet.

Sejarah terorisme individu di Uni Soviet jelas menandai tahap-tahap dalam evolusi umum negeri ini. Pada menyingsingnya fajar kekuasaan Soviet, dalam atmosfer di mana perang sipil belum berakhir, tindakan-tindakan terorisme dilancarkan oleh para Tentara Putih atau kaum Sosial Revolusioner[5]. Ketika kelas penguasa lama telah kehilangan harapan untuk kembali berkuasa, terorisme juga lenyap. Teror kulak, yang gemanya masih terdengar sampai baru-baru ini, selalu berciri lokal dan merupakan dukungan terhadap perang gerilya melawan rejim Soviet. Mengenai terorisme yang baru-baru ini meledak, mereka tidak bersandar pada kelas-kelas penguasa lama maupun kulak. Teroris-teroris angkatan baru ini direkrut secara eksklusif dari antara kaum muda, dari anggota-anggota Pemuda Komunis dan partai – tidak jarang pula dari anak-anak strata penguasa. Sekalipun sama sekali impoten untuk menyelesaikan masalah yang ingin mereka selesaikan, terorisme individual ini jelas merupakan gejala yang penting. Ini mengekspresikan kontradiksi tajam antara birokrasi dan massa rakyat secara luas, khususnya kaum muda.

Jika dilihat secara keseluruhan – kesulitan ekonomi, terjun payung, ekspedisi ke kutub, ketidakpedulian yang demonstratif, “hooliganisme romantik”, semangat terorisme, dan tindakan-tindakan terorisme individual – semua ini tengah menyiapkan sebuah ledakan dari generasi muda terhadap kekangan kaum tua yang tidak bisa lagi ditolerir. Sebuah perang jelas dapat menjadi penyaluran bagi uap ketidakpuasan yang tengah berkumpul – tetapi tidak lama. Dalam sebuah perang, kaum muda akan lekas mendapatkan temperamen bertempur dan otoritas yang sekarang ini sama sekali tidak mereka miliki. Pada saat bersamaan, reputasi mayoritas “kaum tua” akan menderita kerusakan yang besar. Dalam situasi terbaik, sebuah perang akan memberi birokrasi sebuah moratorium. Konflik politik selanjutnya akan menjadi lebih tajam dibandingkan sebelumnya.

Tentu saja akan menjadi sepihak jika kita mereduksi masalah politik utama di Uni Soviet menjadi masalah dua generasi belaka. Ada banyak musuh birokrasi, terbuka maupun tersembunyi, di kalangan orang yang lebih tua, sebagaimana juga ada ratusan ribu penjilat di kalangan kaum muda. Walau demikian, dari manapun datangnya serangan terhadap posisi lapisan penguasa, kanan ataupun kiri, para penyerang akan merekrut kekuatan utama mereka dari kaum muda yang terepresi dan tidak puas, yang hak politiknya dilucuti. Birokrasi sangat memahami ini. Secara umum mereka memiliki kepekaan yang besar terhadap segala hal yang mengancam posisi dominan mereka. Wajar saja jika dalam mengkonsolidasi posisi mereka, mereka mendirikan kubu-kubu dan benteng-benteng batu untuk melindungi diri mereka dari generasi yang lebih muda.

Di bulan April 1936, sebagaimana telah kami katakan, di Kremlin berkumpullah kongres kesepuluh Pemuda Komunis. Tidak seorang pun yang repot-repot, tentu saja, untuk mengatakan bahwa sudah terjadi pelanggaran anggaran dasar karena kongres tidak pernah diselanggarakan selama lima tahun terakhir. Di samping itu, dengan segera menjadi jelas bahwa kongres ini, yang pesertanya sudah diseleksi dan dipilih sebelumnya, diselenggarakan secara eksklusif untuk melakukan pembersihan politik terhadap kaum muda. Menurut anggaran dasar baru, Liga Pemuda Komunis kini dilucuti secara yuridis haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial negeri ini. Satu-satunya bidang kerjanya adalah pendidikan dan pelatihan budaya. Sekretaris Jenderal Pemuda Komunis, di bawah perintah dari atas, menyatakan dalam pidatonya: “Kita harus … mengakhiri ocehan mengenai perencanaan industri dan keuangan, tentang pemangkasan ongkos produksi, akuntansi ekonomi, penyemaian benih dan masalah-masalah penting negara lainnya seakan kita yang akan memutuskannya.” Seluruh negeri boleh mengulang kata-kata terakhir itu: “seakan kita yang akan memutuskannya!” Pernyataan yang penuh hina itu: “Akhiri ocehan!” disambut tanpa antusiasme, bahkan oleh kongres yang super-submisif ini – ini lebih mengejutkan jika Anda ingat bahwa undang-undang Soviet menetapkan umur untuk kematangan politik adalah 18 tahun, memberi hak pilih pada lelaki dan perempuan muda pada usia itu, sedangkan batasan umur bagi anggota Pemuda Komunis menurut anggaran dasar lama adalah 23 tahun, dan sepertiga dari anggota organisasi ini pada kenyataannya lebih tua dari batas itu. Kongres terakhir ini mengesahkan dua perubahan: melegalkan keanggotaan Pemuda Komunis bagi orang-orang yang usianya lebih tua, dan dengan demikian meningkatkan jumlah pemilih dalam Pemuda Komunis, dan pada saat bersamaan melucuti organisasi ini secara keseluruhan dari haknya untuk masuk dalam bidang-bidang, bukan hanya politik – ini sudah pasti – tetapi juga masalah-masalah ekonomi. Penghapusan batasan umur tersebut didikte oleh kenyataan bahwa peralihan dari keanggotaan Pemuda Komunis ke dalam partai, yang tadinya adalah proses yang nyaris otomatis, kini dibuat begitu sulit. Penghapusan sisa terakhir dari hak politik ini, bahkan juga ketika hak itu hanya ilusi, disebabkan oleh satu niat untuk secara penuh dan mutlak memperbudak Pemuda Komunis pada partai yang telah “dibersihkan” seluruhnya. Kedua langkah ini, yang jelas saling berkontradiksi, berasal dari sumber yang sama: ketakutan birokrasi pada generasi yang lebih muda.

Para pembicara di kongres – yang menurut pernyataan mereka sendiri tengah melaksanakan instruksi langsung Stalin, yakni sebuah peringatan untuk mencegah terjadinya debat – menjelaskan tujuan reformasi ini dengan kejujuran yang mengejutkan: “Kita tidak membutuhkan partai kedua.” Argumen ini mengungkapkan bahwa dalam pendapat strata penguasa, Liga Pemuda Komunis, jika tidak dicekik sampai mati, merupakan ancaman berdirinya partai kedua. Seakan dengan tujuan mendefinisikan kemungkinan tendensi ini, pembicara yang lain menyatakan peringatannya: “Ketika dia masih di sini, tidak lain dari Trotsky sendirilah yang mencoba melancarkan permainan demagogik pada kaum muda, mengilhami mereka dengan ide anti-Leninis dan anti-Bolshevik untuk mendirikan partai kedua, dll.” Rujukan sejarah si pembicara ini mengandung kesalahan. Kenyataannya, Trotsky “ketika dia masih di sini” hanya memberi peringatan bahwa semakin kuatnya birokratisasi rejim niscaya akan membawa pada perpecahan dengan kaum muda, dan menghasilkan bahaya berdirinya partai kedua. Tetapi, tidak masalah: jalannya sejarah, dalam konfirmasinya terhadap peringatan tersebut, telah mengubah ipso facto menjadi sebuah program. Partai yang telah bangkrut itu hanya menarik bagi para pengejar karir. Anak-anak muda yang jujur dan punya otak akan muak dengan mental budak Byzantine[6], retorika palsu, kedok atas hak-hak istimewa dan kerakusan, kecongkakan birokrat medioker yang saling memuji satu sama lain – pada semua pejabat militer yang, karena tidak sanggup meraih bintang di langit maka mereka menempelkan begitu banyak bintang di dada mereka. Maka ini bukan lagi masalah “bahaya” akan munculnya partai kedua sebagaimana dua belas atau tiga belas tahun lalu, namun ini telah menjadi sebuah keharusan sejarah sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu memajukan tujuan-tujuan Revolusi Oktober. Perubahan di dalam anggaran dasar Liga Pemuda Komunis, sekalipun diperkuat dengan ancaman polisi, tentu saja tidak akan menghentikan tumbuhnya kedewasaan politik kaum muda, dan tidak akan sanggup mencegah benturan keras mereka dengan birokrasi.

Ke arah mana kaum muda akan berpaling ketika terjadi sebuah kondisi keresahan politik yang besar? Di bawah panji apa mereka akan menyusun barisan mereka? Tidak seorangpun yang dapat memberikan jawaban yang pasti atas pertanyaan itu sekarang, apalagi kaum muda itu sendiri. Tendensi-tendensi yang saling berlawanan merasuki pikiran mereka. Dalam analisa terakhir, ke mana massa akan bergerak akan ditentukan oleh peristiwa-peristiwa sejarah yang signifikan dalam skala dunia, oleh sebuah perang, oleh keberhasilan-keberhasilan baru yang dicapai fasisme atau, sebaliknya, oleh kemenangan revolusi proletar di Barat. Dalam keadaan apapun, birokrasi akan mendapati bahwa kaum muda yang haknya dilucuti ini merupakan dinamit historis dengan daya ledak maha dahsyat.

Di tahun 1894 otokrasi Rusia, melalui bibir tsar muda Nicholas II[7], menjawab kaum Zemstvo[8], yang dengan malu-malu bermimpi berpartisipasi dalam kehidupan politik, dengan kata-katanya yang terkenal: “Khayalan tanpa makna!” Di tahun 1936 birokrasi Soviet menjawab kaum muda dengan sahutan yang lebih kasar: “Hentikan ocehanmu!” Kata-kata ini juga akan dikenang orang. Rejim Stalin mungkin akan membayar tidak kurang dari apa yang dibayar oleh rejim Nicholas II.

3. Kebangsaan dan Kebudayaan

Kebijakan Bolshevisme tentang masalah kebangsaan, setelah memastikan kemenangan Revolusi Oktober, juga membantu Uni Soviet bertahan setelahnya, sekalipun terdapat kekuatan-kekuatan sentrifugal [desentralisasi – Ed.] internal dan situasi yang bermusuhan dengannya. Degenerasi birokratik dari negara telah menjadi beban yang besar terhadap kebijakan soal kebangsaan. Dalam masalah kebangsaanlah Lenin berniat menyerang birokrasi untuk pertama kalinya, dan khususnya terhadap Stalin, pada Kongres partai ke-12 di tahun 1923. Tetapi sebelum kongres berlangsung Lenin telah pergi dari antara kita. Dokumen yang dipersiapkannya waktu itu kini masih direpresi oleh badan sensor.

Tuntutan-tuntutan kebudayaan dari bangsa-bangsa yang dibangkitkan semangatnya oleh revolusi membutuhkan otonomi yang seluas mungkin. Pada saat bersamaan, industri hanya dapat dikembangkan dengan sukses apabila semua bagian Uni Soviet tunduk pada sebuah rencana umum yang terpusatkan. Tetapi ekonomi dan budaya tidaklah dipisahkan oleh sekat yang tak tertembus. Tendensi otonomi budaya dan sentralisme ekonomi secara alami akan berkonflik dari waktu ke waktu. Walau demikian, kontradiksi antara keduanya sama sekali bukannya tidak terdamaikan. Sekalipun tidak akan ada rumusan sekali-jadi untuk menyelesaikan masalah ini, kita masih dapat mengandalkan kehendak dan kepentingan massa itu sendiri. Hanya partisipasi langsung mereka dalam mengurus nasib mereka sendiri yang dapat, dalam tiap tahapnya, menarik garis yang diperlukan antara tuntutan absah dari sentralisme ekonomi dan pergerakan kebudayaan nasional yang dinamis. Akan tetapi, masalahnya adalah: kehendak rakyat Uni Soviet dengan segala perbedaan kebangsaannya kini sepenuhnya digantikan oleh kehendak birokrasi yang mendekati perekonomian dan kebudayaan melalui sudut pandang kenyamanan administrasi dan kepentingan-kepentingan lapisan penguasa.

Benar bahwa dalam lingkup kebijakan tentang kebangsaan, sebagaimana dalam lingkup ekonomi, birokrasi Soviet masih terus menjalankan beberapa kerja progresif, sekalipun dengan biaya overhead yang terlalu besar. In terutama benar untuk bangsa-bangsa terbelakang dalam wilayah Uni Soviet yang harus melewati masa-masa yang kurang-lebih berkepanjangan dalam meminjam, meniru dan menyerap budaya yang telah ada. Birokrasi membangun jembatan bagi mereka untuk mendapatkan manfaat dari budaya borjuis, bahkan juga budaya pra-borjuis. Dalam kaitannya dengan banyak lingkup dan masyarakat, kekuasaan Soviet telah cukup jauh melaksanakan tugas historis yang dulu dipenuhi oleh Peter I[9] dan koleganya terhadap Rusia tempo dulu, hanya dalam skala yang lebih besar dan tempo yang lebih cepat.

Di sekolah-sekolah Uni Soviet saat ini diajarkan tidak kurang dari delapan puluh bahasa. Untuk mayoritas daripadanya, perlulah menyusun huruf-huruf baru, atau menggantikan huruf Asiatik yang sangat aristokratik itu dengan huruf Latin yang lebih demokratik. Koran-koran diterbitkan dalam sekian banyak bahasa pula – koran-koran yang untuk pertama kalinya memperkenalkan para petani dan peternak pengembara dengan ide-ide dasar kebudayaan manusia. Di dalam batasan imperium tsar yang maha luas ini, sebuah industri lokal sedang tumbuh. Budaya semi-klan yang lama tengah dihancurkan oleh traktor. Bersama dengan datangnya melek huruf, pertanian dan obat-obatan ilmiah muncul dan berkembang. Sulit untuk membesar-besarkan arti penting dari kerja-kerja ini untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Marx benar ketika dia mengatakan bahwa revolusi adalah lokomotif sejarah.

Tetapi lokomotif terkuat sekalipun tidak dapat membuat mukjizat. Ia tidak dapat mengubah hukum-hukum ruang, dan hanya dapat mempercepat gerakan. Kebutuhan mendesak untuk memperkenalkan puluhan juta orang dewasa pada alfabet dan koran, atau dengan aturan-aturan kebersihan yang sederhana, menunjukkan betapa panjangnya jalan yang harus ditempuh sebelum Anda dapat sungguh-sungguh mulai menangani masalah budaya sosialis. Pers Soviet memberi tahu kita, misalnya, bahwa di Siberia barat, orang-orang suku Oirot[10] yang sebelumnya tidak mengenal kamar mandi kini telah memiliki “di banyak desa kamar mandi, dimana mereka kadang menempuh 30 kilometer untuk berbasuh.” Contoh ekstrim ini, sekalipun diambil dari kebudayaan terendah, tetap dapat menunjukkan dengan jujur tingginya capaian-capaian yang lain, dan bukan hanya di wilayah-wilayah terbelakang. Ketika pimpinan pemerintah, untuk menggambarkan perkembangan kebudayaan, merujuk pada fakta bahwa di pertanian-pertanian kolektif telah muncul permintaan atas “tempat tidur dari besi, jam dinding, pakaian dalam rajutan, pakaian hangat, sepeda, dll.,” ini hanya berarti bahwa lapisan atas yang sejahtera di pedesaan Soviet telah mulai menggunakan barang-barang manufaktur yang sejak dahulu kala telah menjadi barang sehari-hari di kalangan petani Barat. Dari hari ke hari, di dalam pidato-pidato dan pers, banyak pelajaran dikemukakan dalam hal “perdagangan sosialis yang berbudaya”. Pada hakikatnya, ini adalah masalah memberi tampilan yang bersih dan menarik pada toko-toko pemerintah, memasok peralatan teknis yang memadai dan barang-barang dalam variasi yang cukup, tidak membiarkan apel membusuk, menumpuk kain katun dengan stoking, dan mengajari para kasir agar bersikap sopan dan penuh perhatian pada konsumen – dengan kata lain, menyerap metode sehari-hari perdagangan kapitalis. Kita masih sangat jauh dari penyelesaian masalah yang teramat penting ini – di mana, harus diakui, tidak setetespun sosialisme terkandung di sana.

Jika kita kesampingkan hukum-hukum dan lembaga-lembaga untuk sejenak, dan memperhatikan kehidupan sehari-hari dari massa rakyat di tingkat basis, dan jika kita tidak dengan sengaja menipu pikiran kita sendiri dan orang lain, kita akan dipaksa untuk mengakui bahwa adat dan budaya yang diwarisi dari Rusia yang Tsaris dan borjuis di negeri Soviet masih sangat berjaya dibandingkan pertumbuhan sosialisme yang masih dalam bentuk embrio. Bukti yang paling meyakinkan tentang hal ini adalah masyarakat itu sendiri, yang begitu standar hidupnya meningkat sedikit saja langsung melemparkan diri ke dalam model-model Barat. Para administratur muda Soviet, dan seringkali juga kaum buruh, mencoba berpakaian dan berperilaku seperti para insinyur dan ahli teknik Amerika yang kebetulan bertemu dengan mereka di pabrik-pabrik. Para pekerja perempuan, baik yang industrial maupun administratif, dengan mata mereka menelan para turis perempuan asing untuk menangkap mode dan perilaku mereka. Perempuan beruntung yang berhasil meniru mereka akan sepenuhnya menjadi objek imitasi. Para pekerja perempuan yang gajinya lebih tinggi akan mengganti gaya rambutnya dengan model “permanent wave”. Kaum muda dengan bersemangat bergabung ke “kelompok-kelompok dansa Barat”. Dalam makna tertentu ini berarti kemajuan, tetapi yang terutama terekspresikan di sini bukanlah keunggulan sosialisme atas kapitalisme, tetapi kemenangan budaya borjuis kecil atas kehidupan patriarkal, kota atas desa, pusat atas daerah terbelakang, Barat atas Timur.

Strata Soviet yang berhak-istimewa meminjam kebudayaan dari kaum kapitalis yang lebih tinggi. Dan di lapangan ini para pengarah gayanya adalah para diplomat, direktur dewan pabrik, insinyur, yang harus melakukan banyak perjalanan ke Eropa dan Amerika. Satir Soviet bungkam atas masalah ini, karena mereka dilarang menyentuh mereka yang ada di lapisan atas. Walau demikian kami hanya dapat berkomentar dengan pedih bahwa para duta besar Uni Soviet yang paling tinggipun tidak mampu menyajikan di depan mata peradaban kapitalis baik gaya mereka sendiri maupun karakter-karakter independen lainnya. Mereka belum menemukan kestabilan-diri yang cukup untuk memampukan mereka menangkal kesilauan dari luar dan menaati pranata sikap yang seharusnya. Ambisi utama mereka adalah untuk tampil semirip mungkin dengan kaum borjuis yang sombong. Dengan kata lain, mereka merasa dan bertindak, dalam kebanyakan kasus, bukan sebagai perwakilan dari sebuah dunia baru, melainkan sebagai orang kaya baru.

Untuk mengatakan bahwa Uni Soviet kini tengah melakukan kerja kebudayaan yang telah dilakukan bertahun-tahun lalu oleh negeri-negeri maju berbasiskan kapitalisme, itu baru separuh benar. Bentuk-bentuk sosial yang baru sangatlah penting dalam hal ini. Bentuk-bentuk ini tidak hanya memberi sebuah negara terbelakang kemungkinan mendapatkan tingkat kebudayaan yang termaju, namun juga memungkinkannya melaksanakan tugas ini dengan jangka waktu lebih pendek daripada yang dulu dibutuhkan di Barat. Penjelasan atas akselerasi tempo ini sederhana. Para pelopor borjuis harus menciptakan teknik mereka terlebih dahulu dan belajar menerapkannya dalam bidang ekonomi dan budaya. Uni Soviet bisa mengambilnya langsung-jadi dalam bentuk yang paling muktahir dan, berkat sosialisasi atas alat-alat produksi, menerapkan pinjaman ini bukan secara parsial dan bertahap tetapi sekaligus dan dalam skala raksasa.

Otoritas militer telah lebih dari sekali memuji peran angkatan bersenjata sebagai pengusung kebudayaan, khususnya dalam kaitannya dengan kaum tani. Tanpa menipu diri sendiri tentang jenis “kebudayaan” khusus ini, yang ditanamkan oleh militerisme borjuis, kita tidak dapat menyangkal bahwa banyak kebiasaan progresif telah ditanamkan di tengah massa melalui angkatan bersenjata. Bukan percuma para mantan prajurit dan perwira rendahan dalam gerakan revolusioner, dan terutama gerakan tani, biasanya berdiri di barisan depan kaum insureksionis. Rejim Soviet memiliki satu kesempatan untuk mempengaruhi kehidupan sehari-hari rakyat bukan hanya melalui angkatan bersenjata melainkan melalui seluruh aparatus negara, dan bersamanya terjalin pula aparatus Partai, Pemuda Komunis dan serikat buruh. Pengambilalihan model yang sudah jadi dalam bidang teknik, kesehatan, seni, olah raga, dalam waktu yang lebih pendek daripada yang dituntut untuk perkembangannya di negeri asalnya, dijamin oleh bentuk kepemilikan sosialis, kediktatoran politik, dan metode administrasi terencana.

Jika Revolusi Oktober tidak memberi apapun selain akselerasi ini, itupun sudah dibenarkan secara historis, karena rejim borjuis yang tengah mengalami kemunduran ini terbukti tidak sanggup selama seperempat abad terakhir untuk memajukan secara serius satupun negeri terbelakang di dunia. Walau demikian, kaum proletar Rusia melakukan Revolusi Oktober demi tugas-tugas yang jauh lebih luas. Sekalipun saat ini direpresi secara politik, bagian terpentingnya belumlah menyangkal program komunis maupun harapan besar yang terikat padanya. Birokrasi terpaksa mengakomodasi dirinya pada kaum proletariat, sebagian dalam arah kebijakannya sendiri, namun terutama dalam menginterpretasikannya. Dengan demikian, setiap langkah maju dalam bidang ekonomi maupun budaya, tanpa memandang isi historis aktualnya atau makna sejatinya terhadap kehidupan massa, akan diproklamirkan sebagai sebuah “kebudayaan sosialis”. Tidak diragukan lagi bahwa untuk membuat sabun mandi dan sikat gigi menjadi bagian dari hidup jutaan orang, yang kemarin belum pernah mendengar tata-cara kebersihan yang sederhana, adalah sebuah langkah kebudayaan yang sangat besar. Namun baik sabun maupun sikat gigi, bahkan juga parfum yang dituntut “perempuan kita”, bukanlah merupakan bagian dari sebuah kebudayaan sosialis, khususnya dalam kondisi di mana karakter peradaban yang minim ini hanya dapat diakses oleh sekitar 15 persen dari populasi.

“Pembaharuan manusia” yang begitu sering mereka bicarakan di pers Soviet sekarang tengah dilakukan dengan penuh semangat. Tetapi sampai tahap apa ini adalah pembaharuan sosialis? Rakyat Rusia tidak pernah kenal sebelumnya reformasi relijius besar, seperti di Jerman, atau revolusi borjuis besar, seperti di Perancis. Dari kedua tungku ini, jika kita kesampingkan reformasi-revolusi dari Kepulauan Inggris di abad ke-17, muncullah individualitas borjuis, sebuah langkah penting dalam perkembangan kepribadian manusia secara umum. Revolusi Rusia tahun 1905 dan 1917 niscaya berarti pembangkitan pertama kalinya individualitas di tengah massa, kristalisasinya dari medium primitif. Artinya, kedua revolusi ini memenuhi tugas pendidikan dari reformasi dan revolusi borjuis di Barat dalam bentuk yang dipersingkat dan tempo yang dipercepat. Akan tetapi, jauh sebelum kerja ini tuntas, bahkan dalam bentuk kasar, revolusi Rusia yang telah bangkit di tengah senjanya kapitalisme, dipaksa oleh jalannya perjuangan kelas untuk melompat ke jalan sosialisme. Kontradiksi dalam lingkup kebudayaan Soviet hanya mencerminkan dan memusatkan kontradiksi ekonomi dan sosial yang tumbuh dari lompatan ini. Bangkitnya individualitas di bawah kondisi ini niscaya mengambil ciri yang kurang-lebih borjuis kecil, bukan hanya dalam bidang ekonomi melainkan juga dalam kehidupan keluarga dan syair-syair puisi. Kaum birokrasi itu sendiri telah menjadi pengusung dari individualisme borjuis yang paling ekstrim dan kadang tak terkendali. Dengan mengijinkan dan mendorong perkembangan individualisme ekonomi (upah-per-unit-hasil, pembagian tanah-tanah pribadi, premi-premi, gelar-gelar), mereka pada saat yang sama dengan kejam menindas sisi progresif dari individualisme dalam ranah budaya spiritual (pandangan kritis, pengembangan pendapat pribadi, tumbuhnya martabat pribadi).

Semakin tinggi tingkat perkembangan dari sebuah kelompok kebangsaan tertentu, atau semakin luas lingkup gubahan budayanya atau, yang lain lagi, semakin rapat budaya itu dengan masalah-masalah masyarakat dan pribadi, semakin berat dan tak tertanggungkanlah tekanan dari birokrasi. Pada kenyataannya, kita tidak mungkin berbicara mengenai keunikan budaya nasional ketika satu-satunya tongkat komando, atau satu-satunya tongkat polisi, mengatur semua bentuk aktivitas intelektual dari semua bangsa di dalam Uni Soviet. Koran-koran dan buku berbahasa Ukainia, Rusia Putih, Geogia atau Turki hanyalah terjemahan dari perintah-perintah birokrasi ke dalam bahasa bangsa-bangsa yang bersangkutan. Di bawah tajuk model dari kreativitas popular, pers Moskow tiap hari menerbitkan, dalam terjemahan Rusia, puisi-puisi dari para penyair terkemuka dari berbagai kebangsaan untuk memuji para pemimpin, bait-bait yang nyatanya buruk, yang berbeda satu dari lainnya dalam kemauan menjilat dan kurangnya bakat.

Budaya Rusia Raya, yang telah menderita di tangan rejim ini tidak kurang dari yang lain, hidup terutama dari generasi tua yang terbentuk sebelum revolusi. Kaum muda ditindas dengan penggada besi. Dengan begitu, ini bukanlah masalah penindasan satu kebangsaan oleh yang lain dalam makna harafiahnya, melainkan penindasan oleh aparatus kepolisian sentral atas perkembangan budaya semua bangsa, dimulai dengan Rusia Raya itu sendiri. Namun kita tak dapat mengabaikan fakta bahwa 90 persen terbitan dicetak dalam bahasa Rusia. Jika persentase ini, pastinya, berkontradiksi tajam dengan jumlah relatif populasi Rusia Raya, mungkin akan tetap berkorespondensi lebih baik pada pengaruh umum budaya Rusia, baik yang tertimbang secara independen maupun dalam perannya sebagai penghubung antara bangsa-bangsa terbelakang di negeri ini dengan Barat. Tetapi, walau demikian, bukankah persentase orang-orang Rusia Raya di dalam rumah-rumah penerbitan yang terlalu tinggi ini (dan tentunya bukan di situ saja) berarti sebuah pengistimewaan otokratik bangsa Rusia Raya di atas kebangsaan lain yang ada di Uni Soviet? Mungkin saja. Terhadap masalah yang teramat penting ini, mustahil bagi kita untuk menjawabnya dengan akurat seperti yang kita inginkan, karena ini ditentukan bukan oleh kolaborasi, persaingan, dan kerjasama antar budaya, tetapi oleh keputusan dari birokrasi. Dan karena Kremlin adalah rumahnya orang-orang berwenang, dan wilayah-wilayah pinggiran dipaksa untuk membuntut pada pusat, birokratisme niscaya mengambil karakter Rusia Raya yang otokratik dan hanya menyisakan, bagi kebangsaan lain, satu hak kebudayaan untuk memuji-muji para pemimpin dalam bahasa mereka sendiri.

*  *  *

Doktrin resmi tentang budaya berubah-ubah, tergantung pada zig-zag ekonomi dan kehendak administratif. Namun dari semua perubahan ini, ada satu ciri – yakni sangat bersifat kategorikal. Sejajar dengan teori “sosialisme di satu negeri”, teori “budaya proletariat” yang sebelumnya tidak disetujui kini menerima pengakuan secara resmi. Para penentang teori ini berpendapat bahwa rejim kediktatoran proletar memiliki karakter yang sangat sementara, bahwa proletariat tidak seperi borjuasi dalam pengertian ingin mendominasi dalam keseluruhan epos sejarah ini, bahwa tugas dari generasi kelas penguasa yang sekarang hanyalah mengasimilasi apa yang berharga dalam budaya borjuis, bahwa semakin lama proletariat bertahan sebagai proletariat –yakni, memanggul sisa beban dari penindasan terdahulu – semakin kurang kemampuannya untuk mengangkat dirinya di atas warisan sejarah masa lalu, dan bahwa kemungkinan untuk menciptakan sebuah kebudayaan yang baru hanya akan terbuka sejauh proletariat meleburkan dirinya ke dalam masyarakat sosialis. Semua ini, dengan kata lain, berarti bahwa budaya borjuis haruslah digantikan oleh budaya sosialis, bukan budaya proletariat.

Dalam sebuah polemik melawan teori “seni proletariat” yang dihasilkan melalui metode akademisi, pengarang buku ini menulis: “Budaya hidup dari sari-sari industri, dan kelebihan materi diperlukan supaya budaya dapat tumbuh, menjadi sempurna, dan menjadi lebih kompleks.” Bahkan penyelesaian problem-problem ekonomi mendasar yang paling berhasilpun “masih jauh dari penanda sebuah kemenangan mutlak dari prinsip historis yang baru, sosialisme. Hanya sebuah langkah maju dalam bidang pemikiran ilmiah berdasarkan semua kebangsaan dan pengembangan kesenian yang baru yang akan berarti bahwa benih historis ini telah menghasilkan bunga sekaligus juga batangnya. Dalam pengertian ini, perkembangan seni adalah ujian tertinggi dari kelangsungan hidup dan arti penting sebuah epos.” Sudut pandang ini, yang berjaya sampai saat itu, kini dinyatakan secara mendadak dalam sebuah pernyataan resmi sebagai “bentuk kapitulasi” dan didorong oleh “ketidakpercayaan” terhadap kekuatan kreativitas proletariat. Inilah masanya Stalin dan Bukharin, yang belakangan ini sudah lama muncul sebagai pengkotbah “budaya proletariat” sementara yang pertama tidak pernah memikirkannya sama sekali. Walau demikian, keduanya menganggap bahwa langkah maju ke arah sosialisme akan berkembang dengan “langkah kura-kura” dan bahwa kaum proletar akan memiliki waktu sekian dasawarsa untuk mengembangkan budayanya sendiri. Tentang karakter dari budaya ini, ide-ide para teoritisi ini tidaklah jelas dan juga tidak menimbulkan inspirasi.

Tahun-tahun penuh badai dari rencana lima tahun pertama merusak perspektif kura-kura ini. Di tahun 1931, menjelang datangnya paceklik yang buruk, negeri ini telah “masuk ke dalam sosialisme”. Maka, sebelum para penulis, artis dan pelukis asuhan rejim ini berhasil menciptakan sebuah budaya proletariat, atau bahkan satu model berarti dari budaya itu, pemerintah mengumumkan bahwa proletariat telah luruh ke dalam masyarakat tanpa kelas. Tinggallah para seniman terpaksa mendamaikan diri mereka dengan fakta bahwa proletariat tidak memiliki kondisi yang paling diperlukan untuk menciptakan sebuah budaya proletariat: waktu. Konsepsi sebelumnya lalu ditinggalkan dan dilupakan. “Budaya sosialis” begitu saja disahkan. Kami telah sedikit menyinggung isi dari budaya ini.

Kekreatifan spiritual menuntut kebebasan. Tujuan utama dari komunisme adalah menempatkan alam pada kendali teknik dan teknik pada kendali rencana, dan memaksa bahan mentah memberi pada manusia segala apa yang dibutuhkan manusia itu. Lebih jauh dari itu, tujuan tertingginya adalah untuk membebaskan, sekaligus dan selamanya, kekreatifan umat manusia dari semua tekanan, batasan, dan ketergantungan yang merendahkan martabat. Hubungan antar manusia, sains dan seni tidak akan lagi mengenal “rencana” yang dipaksakan padanya dari luar, bahkan juga tekanan macam apapun juga. Sampai tahap mana kekreatifan spiritual akan menjadi hal yang individual atau kolektif akan tergantung dari para penciptanya sendiri.

Sebuah rejim transisional adalah sesuatu yang berbeda. Kediktatoran mencerminkan barbarisme masa lalu, bukannya budaya masa depan. Kediktatoran harus meletakkan pembatasan tegas atas segala bentuk aktivitas, termasuk kekreatifan spiritual. Program revolusi, sejak awalnya, menganggap pembatasan-pembatasan ini sebagai satu kejahatan yang diperlukan [necessary evil] untuk sementara, dan memiliki kewajiban, sejalan dengan konsolidasi rejim baru ini, untuk melepas satu demi satu semua pembatasan atas kebebasan. Dalam keadaan apapun, bahkan ketika panas-panasnya perang sipil, jelas bagi para pemimpin revolusi bahwa pemerintah dapat, dengan bimbingan pertimbangan politik, menempatkan batasan pada kebebasan berkreasi, namun sama sekali tidak berpura-pura menjadi komandan dalam bidang sains, literatur maupun seni. Sekalipun dia sendiri punya selera yang lebih “konservatif” dalam seni, Lenin secara politik amat berhati-hati dalam masalah seni, dan dengan sigap mengungkapkan ketidakmampuannya dalam bidang seni. Sikap patronase atas segala bentuk modernisme oleh Lunacharsky[11], Komisar Rakyat untuk Seni dan Pendidikan, seringkali membuat Lenin malu. Tetapi dia menyimpan komentar-komentar pedasnya untuk percakapan-percakapan pribadi, dan menjauhkan diri dari ide mengubah selera literaturnya menjadi hukum. Di tahun 1924, menjelang datangnya periode baru, penulis buku ini merumuskan relasi negara terhadap berbagai kelompok dan tendensi seni: “sekalipun mengenakan pada mereka semua bentuk kriteria kategorikal, untuk revolusi atau melawan revolusi, negara harus memberi mereka kebebasan penuh dalam bidang otonomi artistik.”

Sekalipun kediktatoran memiliki basis masa yang bergolak dan sebuah prospek untuk revolusi dunia, ia tidak memiliki ketakutan akan eksperimen, pencarian jati diri, dan pertarungan antar gagasan, karena ia paham bahwa hanya dengan cara inilah epos budaya yang baru dapat dipersiapkan. Massa rakyat masih bergetar tiap sendinya, dan untuk pertama kalinya dalam ribuan tahun tengah mengungkapkan semua pikirannya secara terbuka. Semua kekuatan seni yang bugar tengah tersentuh oleh kecepatan ini. Selama tahun-tahun pertama, yang kaya akan harapan dan keberanian, terciptalah berbagai model yang paling sempurna dari perundang-undangan sosialis dan juga produksi terbaik dari literatur revolusioner. Pada masa yang sama, ini layak kita catat, juga terproduksi film-film Soviet yang menakjubkan itu yang, sekalipun miskin dalam teknik, sanggup mencengkeram imajinasi seluruh dunia dengan kesegaran dan kebugaran yang terkandung dalam pendekatannya terhadap realitas.

Dalam proses pertarungan melawan Oposisi, tendensi-tendensi literatur dicekik satu persatu. Bukan hanya masalah literatur. Proses penghancuran ini terjadi di seluruh lingkup ideologi, dan semakin menentukan karena dilakukan secara separuh sadar. Lapisan yang sekarang berkuasa menganggap dirinya terpilih bukan hanya untuk mengendalikan gubahan spiritual secara politik, tetapi juga untuk meresepkan jalan perkembangannya. Metode komando-tanpa-pertimbangan diperluas, dalam tindakan-tindakan yang mirip kamp konsentrasi, pada pertanian ilmiah dan pada musik. Organ sentral partai menerbitkan editoral perintah tanpa nama, yang berciri sebuah perintah militer, dalam bidang arsitektur, literatur, seni drama, balet, belum lagi filsafat, ilmu alam dan sejarah.

Bak tahyul, birokrasi takut terhadap apapun yang tidak melayani kepentingannya secara langsung, demikian juga apa yang tidak dipahaminya. Ketika mereka menuntut adanya hubungan antara ilmu alam dan produksi, secara garis besar ini benar; tetapi ketika mereka memerintahkan agar para peneliti ilmu alam hanya menetapkan tujuan penelitian yang memiliki arti penting yang segera dan praktis, ini mengancam tertutupnya sumber-sumber paling berharga untuk penemuan-penemuan baru, termasuk penemuan yang bersifat praktis, karena hal-hal semacam ini seringkali muncul di jalan yang tak terduga. Karena mendapat pelajaran pahit, para ahli imu alam, matematika, filologis, teoritisi militer, menghindari semua bentuk generalisasi yang luas karena takut jangan-jangan beberapa “profesor merah”, yang biasanya adalah para pengejar karir tak berotak, akan menyeret mereka ke dalam perdebatan yang penuh dengan kutipan-kutipan yang dipaksakan dari tulisan Lenin, atau bahkan juga dari Stalin. Jika seseorang mempertahankan pemikiran ilmiahnya di dalam situasi semacam ini, atau martabat ilmiahnya, maka represi akan jatuh di atas kepalanya.

Tetapi ini jauh lebih buruk dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Para ahli ekonomi, sejarawan, bahkan juga ahli statistik, apalagi para jurnalis, berusaha untuk tidak mengkontradiksi zig-zag sementara dari kebijakan pemerintah. Tentang perekonomian Soviet, atau kebijakan dalam atau luar negerinya, orang tidak dapat menulis apapun kecuali setelah menutupi dirinya dengan kebanalan pidato-pidato para “pemimpin”, dan setelah menugasi dirinya untuk menunjukkan bahwa segala hal berjalan sesuai atau lebih baik dari yang diharapkan. Sekalipun konformitas seratus persen ini membebaskan orang dari kesulitan, ini membawa hukuman yang paling berat: kemandulan.

Sekalipun Marxisme secara resmi adalah doktrin negara di Uni Soviet, selama dua belas tahun terakhir belum muncul satupun investigasi Marxian – dalam bidang ekonomi, sosiologi, sejarah atau filsafat – yang layak diperhatikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Karya-karya Marxian dalam periode ini tidaklah lebih dari kumpulan karya skolastik yang menulis ulang ide-ide lama, yang telah mendapat persetujuan resmi, dan mengisinya dengan adonan kutipan lama menurut tuntutan arah administratif yang sedang berlaku. Jutaan buku dan brosur didistribusikan melalui saluran-saluran resmi, yang tidak berguna bagi siapapun, dan ditulis dengan penjilatan kepada para pejabat. Kaum Marxis yang sanggup menulis sesuatu yang layak dibaca dan berpikir mandiri kini mendekam di penjara atau dipaksa bungkam, dan ini terjadi sekalipun evolusi bentuk-bentuk sosial tengah menimbulkan masalah-masalah ilmiah yang besar di setiap langkahnya! Sesuatu yang sangat vital bagi kerja-kerja teoritik telah dicemari dan diinjak-injak: perhatian akan detil. Bahkan catatan penjelas bagi kumpulan karya Lenin telah ditulis ulang secara radikal pada tiap edisi barunya dari sudut pandang kepentingan pribadi staf penguasa: nama-nama para “pemimpin” dibesar-besarkan, para lawan politik dilecehkan; jejak sejarah ditutup-tutupi. Hal yang sama berlaku pula bagi buku diktat sejarah partai dan revolusi. Fakta-fakta dipuntir, dokumen-dokumen disembunyikan atau dipalsukan, reputasi dipalsukan atau dihancurkan. Bandingkan saja berbagai edisi dari buku yang sama selama dua belas tahun ini, dan Anda akan melihat proses pembusukan pemikiran dan kesadaran dari lapisan penguasa.

Yang tidak kurang merusaknya adalah efek rejim “totaliter” ini atas literatur artistik. Pertarungan antar tendensi telah digantikan dengan interpretasi berdasarkan kehendak para pemimpin. Telah dibangun, bagi semua kelompok, sebuah organisasi wajib, sejenis kamp konsentrasi bagi literatur artistik. Para penulis yang berkualitas rendah  tetapi “berpikiran benar” seperti Serafimovich atau Gladkov digelari sebagai penulis klasik. Para penulis berbakat yang tidak dapat menyeronoki diri sendiri akan dikejar oleh para instruktur yang bersenjatakan rasa tidak tahu malu dan lusinan kutipan. Para artis paling terkemuka bunuh diri, atau melihat karya-karya mereka pupus, atau bungkam. Buku-buku yang jujur dan ditulis dengan penuh bakat muncul secara kebetulan saja, lolos entah lewat mana ke rak toko buku, dan memiliki ciri-ciri seperti sebuah barang seni selundupan.

Kehidupan seni Soviet adalah seperti kisah-kisah martir. Setelah perintah editorial dalam Pravda yang melarang “formalisme” dimulailah sebuah epidemik dimana para penulis, artis, penata panggung dan bahkan juga para penyanyi opera, harus menyangkal karya mereka secara memalukan. Satu persatu, mereka menyangkal dosa-dosa lama mereka, sambil menjaga diri – berjaga dari kemungkinan keadaan darurat di masa datang – dari definisi yang jelas tentang watak “formalisme” ini. Dalam jangka panjang, pihak otoritas dipaksa oleh tatanan baru untuk mengakhiri begitu membanjirnya penyangkalan-penyangkalan ini. Prakiraan dunia penulisan diubah dalam beberapa minggu, buku-buku teks sekolah ditulis ulang, jalan-jalan diberi nama baru, patung-patung didirikan, sebagai hasil dari beberapa baris eulogi yang dibuat Stalin tentang penulis puisi Mayakovsky[12]. Kesan yang ditanamkan oleh opera-opera baru pada para auditor berpengaruh segera diubah menjadi sebuah arahan musikal bagi para penulis lagu. Sekretaris Pemuda Komunis menyatakan pada sebuah konferensi para penulis: “Usulan Kamerad Stalin adalah hukum bagi semua orang lainnya,” dan semua hadirin bertepuk tangan, sekalipun beberapa di antara mereka pasti melakukannya sambil beraut merah padam. Seakan ingin menuntaskan pelecehannya terhadap literatur, gaya tulisan Stalin, yang bahkan tidak sanggup menyusun kalimat yang benar dalam bahasa Rusia, dinyatakan sebagai gaya tulisan klasik. Ada sesuatu yang sangat tragis dalam kekuasaan kepolisian yang berciri Byzantinisme ini, sekalipun tanpa disengaja ada sesuatu yang sangat konyol dalam tiap perwujudan kekuasaan ini.

Rumusan resmi berbunyi: Kebudayaan haruslah bersifat sosialis dalam hakikatnya, bersifat nasional dalam bentuknya. Mengenai hakikat kebudayaan sosialis, kita hanya bisa menebak-nebak. Tidak seorangpun yang dapat menumbuhkan kebudayaan tersebut di atas pondasi ekonomi yang tidak memadai. Seni jauh lebih tidak sanggup dibandingkan sains dalam mengantisipasi masa depan. Walau demikian, resep-resep seperti “gambarlah pembangunan masa depan,” “tunjukkan jalan ke sosialisme,” atau “perbaharuilah umat manusia” hanya sedikit memasok imajinasi kreatif, mungkin sedikit lebih imajinatif daripada daftar harga di toko peralatan rumah tangga, atau jadwal perjalanan kereta api.

Bentuk seni yang bersifat nasional identik dengan kemudahan universal untuk mengaksesnya. “Apa yang tidak diinginkan oleh rakyat,” dikte Pravda pada para seniman, “tidak memiliki makna estetik.” Rumusan Narodnik[13] yang usang ini, yang menolak tugas untuk mendidik massa secara artistik, mengambil karakter yang jauh lebih reaksioner ketika hak untuk menentukan seni apa yang diinginkan atau tidak diinginkan rakyat berada di tangan birokrasi. Merekalah yang mencetak buku menurut pilihan mereka sendiri. Mereka juga menjualnya dengan paksaan, tanpa memberi pilihan pada para pembaca. Dalam analisa terakhir, semua ini dilakukan oleh kaum birokrasi untuk memastikan bahwa seni menyerap kepentingan mereka, dan menemukan bentuk-bentuk yang akan membuat birokrasi tampil cantik di hadapan massa rakyat.

Sia-sia! Tidak ada jenis literatur apapun yang dapat memenuhi tugas itu. Para pemimpin itu sendiri akhirnya terpaksa mengakui bahwa “baik rencana lima tahun pertama maupun kedua masih belum memberi kita gelombang sastra yang dapat mengangkat dirinya di atas gelombang pertama yang dilahirkan oleh revolusi Oktober.” Pernyataan yang malu-malu. Pada kenyataannya, sekalipun tentu terdapat beberapa pengecualian, epos Thermidor ini akan tercatat dalam sejarah seni sebagai epos yang penuh dengan karya medioker, penuh puji-pujian dan penjilatan pada penguasa.

 


Catatan

[1] Aaron Soltz (1872-1945) adalah hakim dari Mahkamah Agung Uni Soviet sejak 1921. Pada tahun 1937 dia mengantarkan sebuah pidato yang mempertanyakan legalitas dari kampanye Pembersihan Hebat yang dilancarkan Stalin. Sebagai akibatnya, dia dipecat dari posisinya dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. 7 tahun kemudian dia meninggal di sana.

[2] Yemelyan Yaroslavsky (1878-1943) bergabung dengan Bolshevik pada tahun 1903. Dia adalah pemimpin gerakan ateis di Soviet. Dia adalah editor jurnal ateis Bezbozhnik (Yang Tak BerTuhan),  memimpin Liga Militan Ateis, dan Komite Anti-Agama dari Komite Sentral Partai Bolshevik. Namun dengan pecahnya Perang Dunia Kedua, aktivitas anti-agama dihentikan untuk mendapatkan dukungan dari gereja Ortodoks Rusia.

[3] Joseph Goebbels (1897-1945) adalah menteri propaganda Nazi. Dia adalah pengikut Hitler yang paling setia dan arkitek utama pembasmian kaum Yahudi. Propaganda Goebbels terkenal dengan prinsipnya bahwa jika sebuah kebohongan dibuat sebesar mungkin dan diulang berkali-kali maka ini akan menjadi sebuah kebenaran di antara massa. Pada tanggal 1 Mei 1945, saat pasukan Soviet sudah menduduki Berlin, Joseph Goebbels bersama istrinya meracuni 6 anaknya dan lalu bunuh diri.

[4] Tentara Putih atau “White Guard” adalah julukan untuk kubu borjuasi dan monarki, beserta Menshevik dan Sosial Revolusioner, yang ingin menumbangkan Uni Soviet.

[5] Partai Sosial Revolusioner (disingkat SR), Rusia dibentuk pada tahun 1902, mewarisi banyak ide dan praktek dari Partai Kehendak Rakyat dan Narodniki. Mereka menekankan bahwa kaum tani adalah kelas yang revolusioner, bukan buruh. Pada tahun 1917, partai SR pecah menjadi SR Kiri dan SR Kanan. SR Kanan mendukung Pemerintahan Sementara sedangkan SR Kiri beragitasi untuk penggulingannya. Dengan munculnya pemerintahan Soviet, SR Kiri bergabung dengannya namun SR Kanan meneruskan taktik teroris mereka dan akhirnya dilarang.

[6] Kerajaan Byzantine adalah Kerajaan Romawi pada saat abad pertengahan (330-1453). Ini adalah periode perbudakan dalam sejarah manusia.

[7] Tsar Nicholas II (1868-1918) adalah kaisar Rusia yang terakhir, sebelum dia ditumbangkan oleh Revolusi Februari 1917, dan dieksekusi oleh Pemerintahan Bolshevik pada tahun 1918.

[8] Zemstvo adalah badan-badan pemerintah lokal di pedesaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan Rusia, yang dibentuk pada tahun 1864.

[9] Peter I (1672-1725) adalah kaisar kerajaan Rusia semenjak berusia 10 tahun hingga akhir hayatnya.

[10] Suku Oirot adalah sebuah suku nomadik yang berasal dari Mongolia. Suku ini tersebar di Cina, Rusia, dan Mongolia.

[11] Anatoly Lunacharsky (1875-1933) adalah Komisar Rakyat untuk Pendidikan yang pertama dalam pemerintahan Soviet. Setelah Pembersihan Hebat, nama dia dicoret dari semua sejarah Partai Komunis dan buku memoarnya dilarang beredar.

[12] Vladimir Mayakovsky (1893-1930) adalah seorang penyair dan penulis drama Soviet, dia adalah salah satu perwakilan terkemuka dari aliran futurisme pada awal abad ke-20. Dia adalah juga seorang propagandis dan agitator Soviet, dan pada akhir hidupnya dia mulai kecewa dengan degenerasi Soviet di bawah Stalin. Dramanya The Bedbug dan The Bathhouse menceritakan mengenai filistinisme dan birokratisme Soviet.

[13] Narodnik pada awalnya adalah nama untuk kaum revolusioner Rusia pada tahun 1860an dan 1870an. Narodniki berarti “bergerak ke rakyat”. Kelompok Narodnik dibentuk unuk merespon konflik yang semakin besar antara kaum tani miskin dan kaum tani kaya (kulak). Kelompok tersebut tidak mendirikan organisasi yang konkrit, namun memiliki tujuan umum sama untuk menggulingkan monarki dan kulak, serta mendistribusikan tanah untuk kaum tani. Kaum Narodnik secara umum percaya bahwa kapitalisme bukan merupakan sebuah keharusan akibat perkembangan industri, dan bahwa dimungkinkan untuk melewati kapitalisme secara langsung dan masuk ke dalam masyarakat sejenis sosialisme. Kaum Narodnik percaya bahwa kaum tani adalah klas revolusioner yang akan menggulingkan monarki, menganggap komune desa sebagai embrio sosialisme. Namun mereka tidak percaya bahwa kaum tani akan mampu mencapai revolusi dengan usahanya sendiri. Sejarah hanya dapat dibuat oleh pahlawan, individu yang luar biasa, yang akan memimpin kaum tani menuju revolusi.