Marxisme dan MANIPOL USDEK

Ibnu Parna (31 Desember 1959)


Sumber: “Dibawah Pandji Marxisme Aliran Lenin dan Trotsky”, Jajasan Pekerdja, 1960.


Kita berjuang untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Masyarakat yang adil dan makmur ini belum menjadi kenyataan di Indonesia. Gambaran orang mengenai susunan masyarakat adil dan makmur ini berbeda-beda. Dengan segala kejujuran yang ada pada kita semua, sudah barang tentu gambaran tersebut harus berbeda dengan:

1. Susunan masyarakat kapitalis, baik yang berhaluan kapitalis liberal maupun yang menempuh jalan kolaborasi kelas-kapitalisme negara (fasisme).

2. Susunan masyarakat feodal yang berlandaskan produksi dan distribusi yang serba kuno.

3. Susunan birokrasi dan korupsi yang main coba-coba menghidupkan kapitalisme nasional yang sudah ketinggalan zaman.

Presiden Soekarno menegaskan cita-cita masyarakat adil dan makmur hanya dapat dicapai dalam rangka sistem sosialisme. Orang bertanya sosialisme yang bagaimanakah yang hendak dicapai oleh Presiden Soekarno? Untuk ini Presiden telah menyediakan jawabannya, tiada lain ialah “sosialisme ala Indonesia”. Jalan manakah yang hendak ditempuh oleh Presiden Soekarno untuk mencapai “sosialisme ala Indonesia” ini? Presiden Soekarno menyempuh jalan USDEK. (U) Undang-undang Dasar 1945. (S) Sosialisme ala Indonesia. (D) Demokrasi Terpimpin. (E) Ekonomi terpimpin. (K) Kepribadian bangsa Indonesia.

Nahdlatul Ulama (NU) menerima “sosialisme ala Indonesia” dengan pengertian bahwa “sosialisme ala Indonesia” ialah “sosialisme yang anti Marxisme Leninisme”. Partai Nasional Indonesia (PNI) menafsirkan “sosialisme ala Indonesia” sebagai “sosialisme Pancasila”. Partai Sosialis Indonesia (PSI) mengartikan “sosialisme ala Indonesia” ini sebagai “sosialisme kerakyatan”. Kalau tiga pengertian ini saja dihubungkan dengan USDEK, maka masyarakat dihadapkan dengan masalah USDEK yang anti Marxisme-Leninisme, USDEK Pancasila, dan USDEK Kerakyatan.

Menurut Manifesto Politik Soekarno yang telah diumumkan oleh pemerintah sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia, yang dimaksud dengan “sosialisme ala Indonesia” ialah sosialisme yang disesuaikan dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia. Dengan ini menurut NU “disesuaikan dengan keadaan Indonesia” itu harus diartikan anti Marxisme-Leninisme. Bagi PNI tidak kurang dan tidak lebih daripada Pancasila dan begitulah PSI akan berkata bahwa sosialisme kerakyatan itulah kepribadian bangsa Indonesia. Dari segi ini dapatlah disimpulkan bahwa “sosialisme ala Indonesia” dengan USDEKnya yang telah diketengahkan oleh Presiden Soekarno itu pada hakikatnya belum lagi berkata apa-apa, karena masih dapat ditafsirkan kemana orang suka.

Dalam antara itu, baiklah diperhatikan bahwa mempelajari dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar sudahlah menjadi kewajiban dan menjadi ciri yang utama bagi kaum Bolshevik-Leninis. Ini adalah konsekuensi daripada filsafat yang dianutnya, yaitu Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis. Dengan senjata filsafatnya ini kaum Bolshevik-Leninis memperhatikan pertumbuhan di satu pihak dan keruntuhan di lain pihak. Kaum Bolshevik-Leninis mengorganisasi pertumbuhan yang ada dalam masyarakat dan dari dalam pertumbuhan ini diketemukan kekuatan sosial dan politik untuk membangun sosialisme. Dari segi ini “sosialisme ala Indonesia” dan USDEK yang diketengahkan Presiden Soekarno hanya dapat dijadikan susunan dan landasan ke arah masyarakat adil dan makmur bila justru Bolshevisme-Leninisme diindahkan sebagaimana mestinya.

PKI sebagai Partai Stalinis-Maois menitikberatkan dalam masalah Indonesia kepada perlawanan terhadap Imperialisme dan Feodalisme. Dalam perlawanan ini PKI bersedia memberi konsesi kepada borjuis nasional untuk secara de facto memimpin perjuangan ini, walaupun PKI tahu bahwa borjuis nasional merupakan borjuis gurem yang tidak dapat diharapkan untuk berjuang secara konsekuen melawan imperialisme dan feodalisme ini. PKI sangat berhati-hati dan lebih banyak memaafkan keraguan dan kesalahan borjuis nasional ini dengan alasan kalau-kalau sikap yang terlalu keras dari pihak PKI akan membikin lari borjuis nasional ke pihak Imperialis. Ringkasnya daripada mereka ini lari ke pihak Imperialis, PKI lebih suka membiarkan borjuis nasional ini secara terus-menerus mencairkan dan melemahkan susunan perlawanan rakyat. Dari segi ini PKI sebagai Partai buruh berada dalam rangka USDEK-borjuis.

Partai ACOMA sebagai Partai Marxis beraliran Lenin-Trotsky berpendapat lain. Demi memperkokoh perlawanan terhadap imperialisme dan feodalisme, perlawanan rakyat harus dibebaskan dari pengaruh keraguan borjuis. Karenanya USDEK dari tangan borjuis harus dipindahkan ke tangan buruh. Dari segi ini Partai ACOMA sebagai partai buruh berada dalam rangka USDEK-buruh. Di tengah-tengah gerakan USDEK – pekerja partai ACOMA memajukan sebuah Program Transisional antara lain:

1. Meningkatkan demokrasi terpimpin yang berlandaskan pengaruh pribadi Presiden Soekarno menjadi demokrasi yang berlandaskan massa rakyat.

2. Mengalihkan ekonomi terpimpin di tangan kaum birokrat menjadi ekonomi tersusun dan berencana dalam susunan Dewan Produksi, dimana pengertian teknis dan politik buruh ditumbuhkan dan dikombinasikan dalam perkembangan yang wajar.

3. Mengakhiri kebiasaan para penguasa untuk mengatasi pertentangan sosial melalui penyelesaian administratif belaka.

4. Menghidupkan inisiatif revolusi dengan memberantas benih-benih kultus pribadi, membuang segala ciri-ciri “sok kuasa”, “main paksa”, “raja perang”, dan membasmi “paternalisme”.

5. Mengusahakan adanya satu Konfederasi Buruh dalam susunan yang berdaulat dan bebas dari birokrasi negara, yang dapat bertindak korektif dan kritis terhadap para penguasa (dan petugas) dalam lingkungan kebangunan masyarakat sosialis.

6. Memperluas kata-serta kaum pekerja dalam politik, ekonomi, dan pertahanan.

7. Menghubungkan milisi dengan keselamatan produksi untuk melindungi objek-objek ekonomi di kota dan desa dengan memupuk dan meningkatkan daya beli kaum buruh yang bersangkutan.