Marxisme, Ilmu dan Amalnya

Njoto (1962)


Sumber: Marxisme, Ilmu danAmalnya. Njoto. Harian Rajat, Djakarta, 1962. Scan PDF


Sekedar Pengantar

Kawan Njoto, Wakil Ketua II CC PKI anggota Dewan Redaksi Harian Rakjat, telah memberikan kuliah-kuliah mengenai berbagai segi marxisme di depan para siswa dan undangan Universitas Rakyat dan Universitas Indonesia. Dengan persetujuannya dan untuk menyambut ulang tahun ke-XII Harian Rakjat, empat di antara kuliah itu: Marxisme Sebagai Ilmu, Filsafat Proletariat, Ekonomi Sosialis dan Sosialisme Indonesia, kami bukukan dengan nama MARXISME: Ilmu dan Amalnya. Dengan pilihan itu maka buku ini mencakup ketiga bagian marxisme, yaitu falsafat, ekonomi-politik dan sosialisme.

Usaha membukukan keempat kuliah ini terutama didorong oleh permintaan-permintaan serta pertanyaan-pertanyaan yang diterima Dewan Redaksi Harian Rakjat tentang berbagai permasalahan marxisme. Semoga penerbitan ini dapat pula sekadar membantu memperluas pengertian tentang marxisme dan dengan begitu memberikan sumbangan untuk lebih memperkokoh Front Nasional yang berporoskan Nasakom sebagai syarat mutlak untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945.

Penerbit Jakarta,

Desember 1962

-------

 

ISI

Sekedar Pengantar

ISI

Marxisme Sebagai Ilmu

Filsafat Proletariat

Ekonomi Sosialis

Sosialisme Indonesia

 

-----------

 

Marxisme Sebagai Ilmu

Kuliah Njoto di depan Universitas Rakyat, Jakarta, 19 Desember 1958.

 

Paparan ini tidak mempunyai pamrih untuk membentangkan marxisme dan sifat ilmiah marxisme secara luas, apalagi secara lengkap. Hal ini juga tidak mungkin, karena untuk ini marxisme itu terlalu luas, sedang ruang kita terlalu sempit; juga pengetahuan saya tentang marxisme masih terbatas.

Jadi, paparan ini bersifat hanya dan semata-mata sebagai introduksi, sebagai pengantar.

Baiklah saya mulai dengan suatu salah paham. Masih saja ada orang yang mengira bahwa marxisme itu hanyalah suatu ajaran politik. Kurang lebih 20 tahun yang lalu, jadi sebelum Perang Dunia II, sebuah majalah katolik berbahasa Perancis, Archives de Philosophie,1) menulis tentang marxisme sebagai berikut:

“Suatu pandangan yang sempit akan memberikan suatu tinjauan yang palsu dan sesat. Marxisme bukanlah suatu cara dan rancangan pemerintahan saja, juga bukan suatu pemecahan teknis untuk masalah perekonomian, bukan pula suatu pendirian yang bolak-balik atau suatu semboyan dalam suatu pidato yang mengharukan. Ia menyebutkan dirinya suatu tafsiran yang luas tentang manusia dan sejarah, tentang makhluk dan masyarakat, tentang alam dan Tuhan; suatu sintesis umum, menurut teori dan praktek, pendek kata, suatu sistem yang menyeluruh.”

Demikianlah, pengakuan majalah katolik tersebut bahwa marxisme adalah “suatu sistem yang menyeluruh,” hakikatnya sama benar dengan yang dikatakan Lenin bahwa itu “komplit dan harmonis.”2)

Mengapa Lenin mengatakan bahwa marxisme itu “komplet dan harmonis”? Karena marxisme “memberi jawaban pada masalahmasalah yang sudah diajukan oleh ahli-ahli pikir manusia yang terkemuka.”3)

Seperti kita semua tahu, ahli-ahli pikir umat manusia sudah sejak beribu-ribu tahun yang lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundamental, bersifat pokok sekali. Misalnya, salah satu di antara pertanyaan-pertanyaan mereka itu ialah, “Apakah keadilan itu?” Marxisme menjawab pertanyaan ini dengan merumuskan bahwa keadilan ialah suatu keadaan di mana penghisapan atas manusia oleh manusia tiada lagi. Dan jawaban marxisme tidak berhenti pada perumusan teori ini. Marxisme juga menunjukkan jalan bagaimana mencapai keadilan itu. Yaitu: melalui revolusi sosialis mendirikan masyarakat yang tidak berkelas. Marxisme juga tidak berhenti di sini. Marxisme, melalui revolusi Rusia tahun 1917, menyelenggarakan keadilan itu di dalam praktek yang senyatanya.

Pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya seperti misalnya, “Apakah kemerdekaan itu?”, “Apakah kebenaran itu?,” “Apakah tujuan hidup yang semulia-mulianya?,” dsb., juga dijawab secara yang sama, yaitu: dibeberkan hakikatnya, ditunjukkan jalan mencapainya, dan diselenggarakan di dalam praktek.

Hal ini, jika ditinjau dari lahirnya karya Marx dan Engels Manifes Partai Komunis,4) sudah berlangsung 110 tahun, sedang jika ditinjau dari lahirnya negara sosialis yang pertama, yaitu Republik Soviet, sudah berlangsung 41 tahun.

Ensiklopedia Indonesia yang diterbitkan di bawah pimpinan redaksi Prof. Dr. Mr. T.S.T. Mulia sampai menerangkan begini:

“Di masa sekarang Marxisme adalah teori yang penting sekali artinya: kurang lebih sepertiga dari dunia kita sekarang merupakan masyarakat yang berdasarkan ideologi marxisme… selain dari itu sebagian besar dari gerakan-gerakan kaum buruh di Eropa dan Asia berupa partai-partai politik dan serikat sekerja yang berpegang pada ajaran-ajaran marxisme.”5)

Kita, yang sudah menjadi biasa oleh keadaan di mana sudah ada 33 juta orang marxis di dunia dan di mana sosialisme sudah tegak dari tepi sungai Elbe di Jerman sampai ke tepi sungai Jalu di Korea, kita terkadang sudah tidak memikirkan lagi bagaimana semua ini bisa terjadi. Tetapi kalau orang memikirkan bagaimana semua ini bisa terjadi, orang pun biasanya tidak bisa membebaskan diri dari rasa heran. Orang komunis, yang tadinya hanya dua–yaitu Karl Marx dan Friedrich Engels–sekarang sudah menjadi 33 juta, dan sosialisme yang tadinya tidak ada sama sekali, sekarang sudah tegak dari Elbe sampai ke Jalu! Lagi pula, sosialisme itu sudah mencapai hasil-hasil yang demikian majunya, sehingga mendapatkan pengakuan di mana-mana. Seperti diakui oleh Menteri Muh. Jamin, balet yang terbaik di dunia adalah balet Soviet. Dari Olimpiade di Melbourne, Soviet ke luar sebagai pemenang pertama. Juara catur sedunia, kali ini Smislov, kali lain Botwinnik, kedua-duanya orang Soviet. Ketika baru-baru ini sebuah juri internasional memilih film yang terbaik sepanjang jaman, pilihan jatuh pada film “Pacomkin,” film karya sutradara Soviet Eisenstein. Di lapangan pendidikan, seperti diakui oleh Allan Dulles, Soviet menghasilkan setiap tahunnya empat kali lebih banyak insinyur daripada Amerika Serikat. Di lapangan militer, yang menemukan bom hidrogen pertama dan peluru balistik antar-benua pertama adalah Soviet. Di lapangan ilmu, satelit buatan yang pertama kali berhasil adalah sputnik-sputnik Soviet. Sekarang produksi pertanian, terutama padi-padian, yang tertinggi di seluruh dunia dilahirkan oleh sawah Tiongkok.

Semua ini tentu membuat orang berpikir, sekalipun seseorang tidak suka pada marxisme. Mungkinkah semua ini terjadi seandainya marxisme itu bukan suatu ilmu?

Di dalam kehidupan ilmiah, teori itu selalu menempati kedudukan yang sangat penting. Tetapi jika sesuatu teori tidak teruji oleh praktek, apalagi jika sesuatu teori itu bertentangan dengan praktek, apalah harga teori semacam itu. Tentang hal ini Prof. Tjan Tjusom mengatakan di dalam Kuliah Umum-nya dua pekan yang lalu:

“Akal saja belum cukup untuk mewujudkan ilmu pengetahuan. Seharusnya akal itu bersandar kepada fakta-fakta, yakni kepada kenyataan-kenyataan yang ada di luar kita–baik yang bersifat kebendaan maupun kejadian-kejadian–yang semuanya tidak bergantung dari cita-cita kita saja dan yang kenyataannya dapat disaksikan dan dibuktikan juga oleh orang-orang lain. Faktafakta inilah yang harus menentukan apakah cara kerja akal kita betul atau salah, yang harus membuktikan bahwa akal kita tidak hanya bekerja dengan sembarang saja.”6)

Fakta-fakta sosialismelah yang sekarang memberikan pembenarannya atas teori sosialisme, atas teori marxisme.

Untuk memberikan pelukisan yang lebih jelas tentang sifat ilmiah marxisme, saya ingin mengemukakan cara kerja pencipta marxisme, yaitu Karl Marx, yang tahun ini kebetulan kita peringati ulang tahun yang ke-140 dari lahirnya dan ulang tahun yang ke-75 dari hari wafatnya. Tidak mungkin Marx sampai pada kesimpulankesimpulan yang ilmiah, sekiranya cara kerjanya tidak ilmiah.

Friedrich Engels, sahabat Marx yang paling akrab dan pencipta serta ajaran marxisme, pernah mengatakan begini: “Sebagaimana Darwin menemukan hukum perkembangan alam organik, demikian pula Marx menemukan hukum perkembangan sejarah manusia.”7)

Pembandingan Marx dan Darwin ini kiranya tidak bisa kita lakukan begitu saja. Dan sesungguhnya, banyak hal-hal yang menarik dalam hubungan kedua orang jeni ini.

Marx dan Darwin hidup sejaman. Pada tahun 1848 Marx bersama-sama Engels menyelesaikan karya mereka yang termashur, Manifes Partai Komunis, dan sepuluh tahun kemudian Darwin menyelesaikan karyanya yang besar The Origin of Species. Kemudian Marx menyelesaikan bukunya Das Kapital. Buku-buku ini sudah dibaca oleh berpuluh-puluh juta orang dan beratus-ratus juta orang lagi masih akan membacanya, tanpa seorang pun yang sanggup dan yang perlu mengadakan perubahan, karena isi dari buku-buku itu adalah kebenaran ilmiah.

Darwin dan Marx bekerja dengan syarat yang berbeda-beda: Darwin berada, Marx melarat. Darwin dan Marx juga bekerja di lapangan yang berbeda-beda: Darwin menyelidiki dunia tumbuhtumbuhan dan dunia hewan. Marx menyelidiki dunia manusia. Tetapi kedua-duanya sampai pada kesimpulan yang pada pokoknya sama mengenai perkembangan dan hukum perkembangan. Darwin menamakan buku Marx Das Kapital itu mengolah “soal yang dalam dan penting,”8) sedang Marx–yang bukannya tidak mempunyai kritiknya terhadap Darwin–menganggap buku Darwin “sangat penting dan membantu saya sebagai dasar ilmu alam bagi perjuangan kelas di dalam sejarah.”9)

Bagaimana Marx dan Darwin sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang bagitu penting dan begitu tinggi mutu kebenarannya?

Mereka sama-sama menempuh cara kerja yang ilmiah, yang seperti dikatakan Marx selalu mempunyai lima tingkatan:

1. penyelidikan,

2. percobaan, atau eksperimen,

3. pencatatan,

4. perenungan, dan

5. penyimpulan, atau penggeneralisasian.

Marx adalah benar-benar seorang sarjana. Seperti juga Darwin, Marx adalah seorang orang bibliotek, seorang orang laboratorium. Tetapi sedangkan Darwin boleh dikatakan hanya seorang orang bibliotek dan hanya seorang orang laboratorium, dari mana dia menyusun teorinya yang besar tentang evolusi, Marx adalah sekaligus seorang orang dari bibliotek dan laboratorium yang lebih luas lagi, dari bibliotek masyarakat, dari laboratorium masyarakat. Marx bukan hanya seorang sarjana, dia seorang pemimpin revolusioner, yang seperti dikatakannya sendiri, tidak puas dengan hanya menafsirkan dunia, tetapi menafsirkan dunia dan merombaknya.10)

Mengenai ilmu dan sarjana, Marx selalu mengatakan:

“Ilmu tidak boleh menjadi kesukaan diri sendiri. Mereka yang beruntung mampu mencurahkan dirinya kepada pengudian ilmu, harus yang pertama-tama menempatkan pengetahuan mereka untuk mengabdi umat manusia. Bekerjalah untuk umat manusia.”11)

Kata-kata Marx ini kiranya tidak memerlukan penjelasan apapun. Marx tentu mempunyai kebahagiaannya di dalam pekerjaan ilmiahnya, bahkan, jika ia menemukan kesimpulan-kesimpulan dari hasil penyelidikannya, kegembiraan ini, kebahagiaan ini, bukan karena dia mengudi ilmu, melainkan karena dia mengudi ilmu untuk umat manusia.

Untuk kepentingan pekerjaan ilmiahnya, Marx mempelajari sejumlah cukup banyak bahasa, lebih daripada cukup barangkali, untuk seseorang pada umur dia ketika itu. Dia bisa mengarang dalam bahasa Jerman, bahasa Inggris dan bahasa Perancis dengan sama bagusnya dan sama bersihnya dalam tata bahasa. Tentang bahasa-bahasa yang dia pahami: dia membaca Dante dalam bahasa Italia dan membaca Demokritos dalam bahasa Yunani, dia mengerti bahasa Belanda dan bahasa Hongaria, bahasa Denmark dan bahasa Spanyol. Dan ketika dia berusia 50 tahun, dia merasa masih cukup muda untuk mulai mempelajari bahasa Rusia, dan enam bulan kemudian dia sudah pandai menikmati syair-syair Pusykin dan novel-novel Gogol dalam bahasa aslinya.

“Bahasa asing,” kata Marx, “adalah senjata dalam perjuangan hidup.”12)

Selain bahasa, juga buku–sudah tentu–menjadi senjata Marx dalam pekerjaan dan perjuangan hidupnya. Tidak jarang dia kurang makan roti, tetapi tidak pernah dia kurang makan bacaan. Bukunya di rumah cukup banyak, buku-buku yang dia himpun dengan teliti selama beberapa puluh tahun. Tetapi ke mana saja dia datang, ke Berlin atau London, ke Amsterdam atau Paris, banyak sekali dia menggunakan waktu untuk “menjelajahi” isi bibliotek dari museum-museum di kota-kota tersebut. Ada sarjana-sarjana yang hampir-hampir menjadi budak dari buku. Marx lain sama sekali. Dia pernah mengatakan begini: Buku “adalah budakku, dan dia harus mengabdi aku sekehendakku.”13) Inilah sebabnya mengapa Marx tidak menyusun buku-buku di dalam lemari bukunya menurut ukuran besarnya atau ukuran tebalnya, juga tidak menurut serinya, melainkan menurut isinya, sesuai dengan kebutuhan pekerjaannya.

Barang siapa membaca kumpulan karangan Marx, tahulah dia bahwa Marx bukan hanya besar perhatiannya pada soal-soal masyarakat, tetapi juga besar perhatiannya pada soal-soal ilmu alam pada umumnya, pada matematika, pada biologi. Tetapi sebagian sangat terbesar dari waktunya digunakannya untuk penyelidikannya di lapangan ekonomi. Karya utamanya yang menumental itu, Das Kapital, adalah hasil pekerjaan selama empatpuluh tahun.

Ada baiknya kalau saya mencatat di sini sumbangan Indonesia pada kelahiran Das Kapital. Kalau karya utama Darwin Origin of Species mendapatkan di antara bahan-bahannya yang penting laporan mengenai fauna dan flora Maluku, Das Kapital Marx mendapatkan bahan-bahannya pula dari pengisapan VOC di Maluku dan dari susunan desa di Jawa dan Bali.14)

Demikianlah beberapa gambaran dari kehidupan ilmiah dan dari cara kerja ilmiah Karl Marx. Banyak yang sudah dikatakan tentang Marx dan masih banyak yang bisa dikatakan tentang Marx. Satu hal tidak ingin saya melangkauinya: bahwa Marx itu seorang jeni kiranya tak ada yang menyangsikannya; yang perlu dicatat ialah bahwa jenialitasnya itu bukan “bisikan wahyu,” melainkan hasil dari pekerjaan yang luar biasa, keuletan, ketekunan, ketelitian dan ketajaman otak.

Untuk mengakhiri penggambaran tentang cara kerja ilmiah Marx, baiklah saya kutip apa yang dikatakan oleh Paul Lafargue tentang dia:

“Tidak hanya dia tidak akan mendasarkan diri pada fakta yang belum sepenuhnya diyakininya, dia tidak akan memperkenankan dirinya berbicara tentang sesuatu sebelum dia mempelajarinya dalam-dalam. Dia tidak pernah menerbitkan satu pun karya dengan tidak berulang-ulang meninjaunya kembali sampai dia menemukan bentunya yang setepat-tepatnya. Dia tidak pernah muncul di depan umum tanpa persiapan secukupnya.”15)

Kembali saya sekarang kepada salah paham yang saya sebutkan pada awal paparan ini. Mengapa marxisme itu tidak tepat jika dianggap sebagai ajaran politik saja? Mengapa marxisme itu dikatakan suatu siatem yang menyeluruh, yang lengkap dan harmonis?

Marxisme mempunyai tiga bagiannya yang tidak terpisah-pisahkan satu sama lain. Yaitu ajaran-ajaran tentang: ekonomi politik, falsafat dan sejarah.

Ekonomi politik marxis, seperti umum tahu, bersumber pada ajaran-ajaran ekonomi politik klasik Inggris, terutama dasar-dasar teori nilai kerja yang diletakkan oleh Adam Smith dan David Ricardo. Berpegangan pada dan melanjutkan secara konsekuen teori ini, sambil menyelidiki “hukum gerak ekonomi masyarakat modern,”16) Marx sampai pada kesimpulannya yang menjadi “batu pertama teori ekonomi Marx,”17) yaitu teori nilai lebih. Dari batu pertama inilah Marx membangun teorinya bahwa krisis umum kapitalisme itu tak terhindarkan, bahwa kapitalisme itu di dalam dirinya sendiri “mengandung dan menyimpan satu hukuman mati,”18) dan bahwa mau tak mau sistem kapitalisme harus menyingkir dari panggung sejarah untuk memberikan tempat pada sistem yang baru, yaitu sosialisme.

Revolusi sosialis, mula-mula di Rusia, kemudian di Eropa Timur, dan yang terakhir di Tiongkok, adalah pembenaran yang sediladilnya dari teori marxis. Ketika Das Kapital baru saja terbit, penerbitnya membayar honorarium yang begitu kecilnya kepada Marx sehingga kata Marx sendiri honorarium itu tidak cukup buat membeli rokok yang diisapnya selama dia menyelesaikan Das Kapital. Sekarang Das Kapital sudah “dibayar” secara seadil-adilnya, karena tidak kurang dari sejarah sendiri yang membayar honorarium–berupa sosialisme yang meliputi seribu juta penduduk dunia!

Ada sekarang orang mengatakan bahwa ekonomi politik marxis itu memang sesuai untuk “kapitalisme klasik” tetapi tidak cocok lagi untuk “kapitalisme jaman sekarang.” Tentu, kapitalisme itu tidak mandek saja. Sekarang ada “kapitalisme kerakyatan,” “kapitalisme terorganisasi,” “kapitalisme berencana” dan entah kapitalisme-kapitalisme apa lagi. Tetapi satu hal sebetulnya tidak berubah, yaitu: dia tetap kapitalisme. Kita cukup membaca suratsurat harian, maka kita bacalah hampir saban hari: Amerika terkena resesi, pengangguran meningkat, harga-harga naik, upah riil merosot–tidakkah semua ini membuktikan bahwa marxisme tetap benar? Sejarah bukan meralat, tetapi memperkuat marxisme. Lawan marxisme mencoba menggambarkan bahwa marxisme “dulu ilmiah, sekarang tidak lagi ilmiah.” Tetapi jalannya sejarah membuktikan bahwa bukan marxisme yang sudah tidak ilmiah lagi, melainkan bantahan-bantahan mereka. Ada lagi yang mengatakan bahwa marxisme itu “hanya cocok buat Eropa, tidak buat negeri-negeri lain.” Baiklah saya singkat saja: apakah Vietnam, Korea, Mongolia dan Tiongkok itu Eropa?

Satu lagi ingin saya singgung dalam saya membicarakan ekonomi politik marxis ini, yaitu apa yang selalu disebut oleh penceramahpenceramah bukan marxis. Mereka itu selalu mengatakan bahwa salah satu bagian yang penting dari “teori marxisme” ialah apa yang mereka sebut “teori Verelendung,” “teori pemelaratan.” Dengan ini mereka mencoba menggambarkan bahwa kaum marxis itu “gandrung kemelaratan,” karena dari “kemelaratan”-lah akan lahir kemenangannya. Bahwa hari depan itu miliknya “kaum melarat” dan bukan miliknya “kaum kaya,” “kaum kapitalis,” ini tak perlu dipersengketakan. Tetapi kaum marxis “gandrung kemelaratan”? Kita cukup mengingat bahwa yang membela kenaikan-kenaikan upah, yang membela perbaikan nasib pada umumnya, baik bagi kaum buruh, kaum tani maupun kaum pekerja lainnya, adalah tidak lain daripada kaum marxis, dan bahwa lawan-lawan marxisme biasanya menentang perbaikan-perbaikan nasib itu, sehingga yang disebut “teori Verelendung” itu lebih mengenai mereka daripada mengenai kaum marxis.

Mengenai filsafat marxisme, seperti diketahui, bersumber pada filsafat klasik Jerman yang mencapai puncaknya pada dua nama: Hegel dan Feuerbach. Sumbangan Hegel yang terpenting adalah sistem dialektikanya, yang karena berdiri di atas landasan yang idealis, telah dirombak oleh Marx dan ditegakkan di atas landasan yang sebaliknya, yaitu materialisme. Sedang sumbangan Feuerbach yang terpenting adalah kritiknya terhadap idealisme Hegel. Tetapi Feuerbach sendiri, yang materialis dalam pendekatannya pada gejala-gejala alam, masih seorang idealis dalam konsepsinya mengenai gejala-gejala sosial, gejala-gejala masyarakat. Sesudah hal ini pun dirombak oleh Marx, maka seperti dikatakan oleh Friedrich Engels “idealisme diusir dari tempat pengungsiannya yang terakhir, yaitu filsafat sejarah.”19)

Filsafat marxis adalah universal, karena ia berlaku baik bagi pendekatan pada gejala-gejala alam, pada masyarakat, dan pada alam pikiran.

Ada yang menyangsikan apakah filsafat marxisme itu memang meliputi juga filsafat alam.

Dutabesar Indonesia di Moskow, Mr. Alexander Maramis mengatakan kepada saya setengah tahun yang lalu, bahwa ilmu di Uni Soviet itu maju, lebih maju daripada di dunia Barat. Pembuktian untuk hal ini tidak diperlukan, karena ketika kami bercakap-cakap, Sputnik III baru saja diluncurkan. Orang pun tentu berpikir: mengapa ilmu, ilmu alam maupun ilmu sosial di Uni Soviet lebih maju daripada di Barat? Kalau saya diminta menjawab: karena sarjana-sarjana di Uni Soviet berpikir dengan metode materialisme dialektik dan historis, dengan filsafat marxis.

Sekarang mengenai ajaran marxisme tentang sejarah. Seperti diketahui, ia bersumber pada sosialisme khayali seperti yang diwakili dalam tulisan-tulisan Simon, Fourier dan Owen.

Kalau sosialisme khayali mendambakan sosialisme dengan jalan dan cara yang tidak menjamin datangnya sosialisme, misalnya dengan jalan mendirikan “koloni-koloni,” dengan mengumpulkan “dana-dana” dari kaum kapitalis, dsb., sosialisme marxis menunjukkan hukum perkembangan kapitalisme dengan menunjukkan bahwa perjuangan kelas lah motor atau lokomotif dari sejarah, dan oleh sebab itu gerakan revolusioner kelas buruh adalah satu-satunya jalan menuju ke sosialisme.

Baiklah saya ambil satu contoh bagaimana orang bisa memandang jauh ke muka, jika filsafat dan konsepsi sejarahnya filsafat konsepsi sejarah marxis. Di tahun 1913, ketika pemuda-pemuda kita tidak sedikit yang berorientasi ke Barat dan belajar ke Barat, Lenin mengatakan: “Eropa yang terbelakang dan Asia yang maju.”20) Katakata Lenin ini tentu saja, ketika itu, terasa seperti orang yang berenang melawan arus di sungai yang deras. Sudah empatpuluh lima tahun berlalu sejak kata-kata Lenin itu, dan apa kenyataan dunia kita sekarang? Eropa yang maju dan Asia yang terbelakang ataukah Eropa yang terbelakang dan Asia yang maju? Sejarah memang berjalan menurut hukum dialektik: Eropa yang tadinya maju, sudah berbalik menjadi terbelakang, dan Asia yang terbelakang, sudah berbalik menjadi maju. Dulu, imperialisme mengobrak-abrik negeri-negeri Asia, sekarang kebangkitan Asia yang mengobrak-abrik imperialisme! Inilah yang dikatakan oleh Mao Zedong: “Angin Timur mengalahkan angin Barat.”21) Dan ini sudah diramalkan oleh Lenin empatpuluh lima tahun yang lalu. Tetapi tidak ada ramalan bisa terwujud, jika ramalan itu bukan ramalan ilmiah.

Demikianlah, dengan singkat dan bersahaja saya telah mencoba memaparkan beberapa pokok teori dan praktek marxisme sebagai ilmu.

Untuk menyimpulkan paparan yang seperti saya katakan di muka tadi tidak punya pamrih untuk merupakan lebih daripada suatu introduksi belaka, saya akan memberikan definisi atau batasannya apa marxisme itu, atau seperti yang sekarang dikenal di manamana, sosialisme ilmiah atau marxisme-leninisme.

Marxisme-leninisme adalah: “ilmu tentang hukum perkembangan alam dan masyarakat, tentang revolusi massa tertindas, tentang kemenangan sosialisme, tentang pembangunan masyarakat komunis.”22)

Makin hari makin banyak sarjana-sarjana, sarjana-sarjana borjuis sekalipun, yang memahami sifat ilmiah marxisme, walaupun tidak semua mereka menerima dan menyetujuinya.

Meskipun demikian, di Indonesia dewasa ini kita melihat kenyataan, bahwa marxisme sebagai ilmu bukan saja tidak diajarkan di sekolah-sekolah tinggi; kita masih ingat kenyataan, bahwa ada guru-guru besar yang menyebut nama Marx pun segan. Kita menjumpai buku-buku pelajaran filsafat, tanpa menyebut nama Marx sedikit pun, atau kita menjumpai buku-buku ekonomi, yang kalaupun menyebut Marx menyebutnya dalam lima atau sepuluh baris saja. Barangkali yang dirugikan oleh hal ini pertama-tama bukan marxisme, melainkan kemajuan ilmu keseluruhannya. Untuk menembus keadaan ini pulalah kiranya mengapa didirikan “Universitas Rakyat” dan mengapa salah satu mata pelajarannya yang pokok adalah Ekonomi Politik Marxis.

Mereka-mereka yang tidak mengakui marxisme itu suatu ilmu biasanya mencoba memerosotkan marxisme dengan menyebutnya “suatu dogma.”

Terhadap sebutan ini saya tak usah mengajukan bantahan marxis, dan bantahannya yang nonmarxis akan saya pinjam dari Jawaharlal Nehru yang mengatakan dalam otobiografinya sebagai berikut: “Seluruh nilai marxisme dalam pendapat saya terletak dalam ketiadaannya akan dogmatisme, dalam tekanannya pada pandangan dan cara pendekatan tertentu, dan dalam sikapnya untuk beraksi.”23)

Di dalam bukunya yang lain, The Discovery of India, Nehru menulis: “Suatu studi tentang Marx dan Lenin melahirkan pengaruh yang megah pada pikiran saya dan membantu saya untuk memandang sejarah dan masalah-masalah dewasa ini dalam sorotan baru.”24)

Yang lain lagi yang tidak mengakui marxisme sebagai ilmu menuduh marxisme itu tidak obyektif, tidak bertolak dari obyektivitas, dan mulai dengan “dalil-dalil yang à priori” itu.

Perkenankanlah saya sekarang meminjam ucapan Presiden Sukarno, yang pada 5 Juni tahun ini menyatakan: “Marxisme yang sebenar-benarnya, berdiri di atas analisis-analisis yang obyektif.”25)

Dengan mengingat kata-kata Bung Aidit bahwa “Berkat ajaranajaran Marx, kita generasi sekarang makin dekat pada kebebasan seluruh umat manusia,”26) dan dengan mengingat pesan Friedrich Engels bahwa “Sejak sosialisme menjadi ilmu, dia pun harus diperlakukan sebagai ilmu pula, yaitu dipelajari,”27) baiklah saya mengunci introduksi yang tidak seberapa ini dengan membandingkan nasib ajaran Marx dengan nasib ajaran Giordano Bruno, filsuf Renaisans yang hidup di abad ke-16 itu. Seperti para saudara tentunya maklum, karena Giordano Bruno tampil membela dan mengembangkan teori Kopernikus bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, sedangkan teori resmi gereka pada waktu itu menyatakan sebaliknya, matahari yang mengelilingi bumi, dia dibakar hidup-hidup oleh gereja. Bruno mati, tapi teorinya hidup terus. Semasa hidupnya Marx dicerca, diejek, difitnah, dihina oleh seluruh dunia borjuis. Sekarang, tujuhpuluh lima tahun sejak wafatnya Karl Marx, teorinya bukan saja hidup terus, tetapi yang paling hidup diantara sekalian teori yang hidup.

Catatan:

1) Archieves de Philosophie, penerbitan istimewa, no. XVIII.

2) Lenin, Tiga Sumber dan Tiga Bagian Marxisme, termuat di Lenin Tentang Adjaran Karl Marx, Jajasan Pembaruan, 1955, hal. 5.

3) Sama, hal. 6.

4) Baca Manifes Partai Komunis, Jajasan Pembaruan, Jakarta.

5) Ensiklopedia Indonesia, N.V. Penerbitan W. van Hoeve, Bandung–s’Gravenhage, jilid II, hal. 901.

6) Prof. Dr. Mr. Tjan Tju-som, Kuliah Umum Ilmiah di depan Universitas Rakjat “Jakarta” beracara Tugas Ilmu Pengetahuan, Jakarta, 5 Desember 1958.

7) Friedrich Engels, pidato di depan makam Karl Marx.

8) Surat Darwin kepada Marx.

9) Surat Marx kepada F. Lassalle.

10) Karl Marx, Duabelas Tesis Tentang Feuerbach.

11) Dikutip oleh Paul Lafargue di dalam Reminiscences of Marx.

12) Sama.

13) Sama.

14) Karl Marx, Das Kapital.

15) Paul Lafargue, Reminiscences of Marx.

16) Karl Marx, kata pengantar Das Kapital, jilid I.

17) Lenin, Karl Marx.

18) Henry Lafebvre, Marxisme, Pustaka Rakjat, Jakarta, 1956, hal. 12.

19) Friedrich Engels, Anti-Dühring, hal. 32.

20) Lenin, Gerakan Pembebasan Nasional di Timur, hal. 61.

21) Mao Ze-dong, tulisan di Hongi, no. 1, 1958.

22) Politiceskii Slowar, di bawah pimpinan redaksi Prof. B.N. Ponomaryov, tjet. ke-2, Moskow, 1958, hal. 337.

23) Nehru, Autobiography, hal. 592.

24) Nehru, The Discovery of India, 1946, hal. 13.

25) Sukarno, Kursus Tentang Pantjasila di Istana Negara, 5 Juni 1958, brosur Kementrian Penerangan no. 29, hal 6.

26) D.N. Aidit, Perdjuangan dan Adjaran-adjaran Karl Marx, hal. 5.

27) Friedrich Engels, Perang Tani di Jerman.

------------

Filsafat Proletariat

Kuliah Njoto di depan Universitas Rakyat, Jakarta, 29 Juni 1961

 

Jika ditanyakan “Apa filsafat proletariat itu,” biasanya cepat kita menerima jawab: “Dialektika.” Terlalu sering filsafat filsafat ini disebut tidak menurut namanya yang lengkap, materialisme dialektik dan historis, melainkan “dialektika” saja. Dan kalau ditanyakan kemudian “Apa dialektika itu,” biasanya kita pun cepat menerima jawab: “Tesis, anti-tesis, sintesis” atau “Segala sesuatu menurut keadaan, tempat dan waktu.” Tetapi apa arti yang sebenarnya dari semua itu, bagaimana dasar-dasarnya, bagaimana keterangannya dan bagaimana keharusan penerapan atau pengenaannya, jarang sekali kita dengar, dan kalaupun ada kita mendengarnya belum tentu keterangan itu benar.

Sukar sekali, jika tak hendak dikatakan tak mungkin, untuk memberikan introduksi tentang filsafat materialisme dialektik dan historis dalam satu kali kuliah. Tetapi saya yakin, bahwa kian hari akan kian banyak propagandis filsafat proletariat di Indonesia sini, karena hanya dengan populernya filsafat pembaruan itulah usaha pembaruan masyarakat Indonesia dipermudah.

Saya kira liwatlah sudah masa ketika materialisme dialektik dan historis ibarat “tamu baru yang belum banyak punya kenalan” di masyarakat Indonesia. Materialisme dialektik dan historis kini sudah menjadi warga negara Indonesia yang bukan saja sudah umum diakui keabsahannya, tetapi makin hari makin diterima kepemimpinannya, karena metodenya yang revolusioner, karena pandangannya yang jauh ke muka, dan karena petunjukpetunjuknya yang selalu dibenarkan oleh jalannya sejarah.

Bahwa ada kelompok-kelompok penduduk yang tidak mau mengakui hak hidup “warga negara” tersebut dan bahkan tak mau menegur-sapa, ini lumrah, sama lumrahnya seperti di antara penduduk sesuatu kampung ada orang-orang sombong yang tak mau kenal tetangga-tetangga dan tak mau kenal kepala RT maupun RK.

Ada ketikanya yang universitas-universitas bukan saja tidak mengajarkan marxisme, bahkan menyebut marxisme sajapun enggan.

Saya pribadi tidak bersedih hati jika marxisme diperseteru oleh profesor-profesor tertentu; saya akan sangat bersedih hati seandainya marxisme diperseteru oleh rakyat pekerja. Tetapi sama sekali tidak demikianlah halnya!

Ketika masih muda belia, yaitu ketika berusia 32 tahun, Bung Karno menulis tentang marxisme, bahwa “walaupun teori-teorinya sangat sukar dan berat bagi kaum pandai, maka amat gampanglah teorinya itu dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat-kepandaian yang berkeluh-kesah itu.”1)

Tidakkah kedengarannya seperti Janggal: “sangat sukar dan berat bagi kaum pandai-pandai” tapi “amat gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara?” Yang janggal bukanlah marxisme, yang janggal juga bukan kesimpulan Bung Karno tersebut–yang janggal kiranya ialah mereka-mereka yang tidak mau mengerti semua ini!

Bung Aidit pernah ditanya pendapatnya, bagaimana jika marxisme diajarkan di universitas-universitas. Jawab Bung Aidit: “Lebih baik jangan, kecuali jika yang mengajarnya orang-orang marxis sendiri.”2)

Marxisme, seingat saya, bukannya belum pernah diajarkan di universitas-universitas di Indonesia. Ketika ada guru besar Belanda, Prof. Beerling namanya, marxisme ada diajarkan juga, sekalipun tak sampai sepersepuluh dari pelajaran tentang eksistensialisme. Jumlah ini bukan yang terpenting–yang terpenting ialah bagaimana marxisme itu diajarkan! Saya tahu bahwa ada mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti kuliah-kuliah Prof. Beerling karena sungguhsungguh ingin mengenal apa marxisme itu sebenarnya. Kasihan mahasiswa-mahasiswa yang jujur itu, karena mempelajari marxisme dari seorang Beerling mengingatkan saya kepada yang pernah dikatakan filsuf Turki yang terkenal, Al Farabi, yang hidup kurang lebih antara tahun-tahun 870 dan 950 Masehi, yaitu: “Seorang orang ingin melihat punggungnya pada cermin: jika dia taruhkan cermin di depan matanya dia gagal melihat punggungnya; jika dia taruhkan si cermin di depan punggungnya, itupun tak bisa dilihatnya.”3)

Saya ingin memperingatkan: pendeknya, kalau mau belajar bercocok tanam, belajarlah dari kaum tani, jangan dari tukang batu!

Di Amerika, warga-warga negaranya tidak usah banyak berpikir. Redaktur-redaktur dan terutama penulis-penulis pocketbooks sudah “berpikir buat pembaca-pembacanya”… Dalam bibliotek saya misalnya, di antara kurang lebih tujuhpuluh buku filsafat yang saya punyai, terdapat pula buku-buku filsafat keluaran Amerika, antara lain Philosophy made easy (Filsafat dibikin gampang) dan Philosophy for pleasure (Filsafat buat senang). Ada lagi Philosophy – an outline – history with questions and answers (Filsafat-sejarah garis besarnya dengan tanya jawab), karangan Prof. John Bentley, yang setelah saya baca dari depan ke belakang dari belakang ke depan, sepatah kata pun tak menerangkan Marx atau marxisme. Tetapi sudahlah, mungkin profesor itu merasa hina untuk menyebut Marx… tapi apa yang ditulisnya misalnya mengenai Sokrates? Pada halaman 9 buku itu ditulis bahwa Sokrates “mukanya buruk, pakaiannya serampangan”… Maka itu tak usahlah kita tercengang jika murud-murid Amerika itu, seperti Harian Abadi almarhum, mengira Bung Aidit “orang Malaya, bukan orang Indonesia” atau seperti seorang diplomat membilang R.A. Kartini “seorang penyanyi ulung”…

Ada satu segi yang sangat menarik perhatian dari kehidupan Amerika–mereka itu praktis. Kantor-kantor mereka praktis, perdagangan mereka praktis, dapur mereka praktis. Suasana serba praktis inilah yang pada umumnya menuntun usaha-usaha teoretisasi mereka, sehingga saya kira tidaklah saya melebihlebihkan jika saya mengatakan bahwa apa yang begitu dipuja oleh Nietsche, yaitu “kedangkalan,”4) kini menguasai kehidupan ilmiah di Amerika Serikat. Menurut Drew Pearson dan Jack Anderson, tertinggalnya Amerika Serikat oleh Uni Soviet di bidang ilmu sebabnya adalah: sedang Uni Soviet sibuk dengan “ruang angkasa,” Amerika Serikat sibuk dengan “ruang parkir.”5) Ini bukannya tak ada hubungannya dengan filsafat, karena seperti kita semua tahu, di Jakarta sini ada tuan-tuan besar dan nyonya-nyonya besar yang berpandangan: “biar tak punya rumah, asal punya mobil.” Kalau saudara-saudara bertanya apa filsafat itu, pandangan tuan-tuan besar dan nyonya-nyonya besar ini salah satu contoh pernyataan filsafat.

Filsafat hidup proletariat dibandingkan dengan filsafat hidup burjuasi memang sangat bertentangan. Proletariat tahu hahwa tanpa kebebasan buat semua, tidak adalah kebebasan buat diri orang-seorang. Sebaliknya, burjuasi beranggapan bahwa jika dirinya tidak bebas maka kebebasan itu sendiri tidak ada. Filsafat hidup ini dinyatakan dalam sikap mereka dalam perjuangan. Perjuangan proletariat adalah untuk mencapai kebebasan buat semua, dan jika buat cita-cita ini dirinya sendiri harus berkorban sampai pun berkorban jiwa, kaum proletar menempuhnya dengan ikhlas. Sebaliknya, burjuasi “berjuang” buat kebebasan diri sendiri, tetapi untuk kebebasan diri sendiri ini janganlah korban jiwa, korban harta benda pun mereka liat, alot. Sebagai tambahan, ada baiknya saya sebutkan di sini bahwa si borjuis yang begitu mementingkan dirinya sendiri itu, biasanya berumur pendek dan matinya sering dikarenakan sakit jantung atau tekanan darah tinggi, sedang si proletar yang begitu tak mementingkan diri sendiri, jarang tertimpa penyakit yang aneh-aneh dan kalaupun mati biasanya mati karena kerja berat dan penderitaan akibat tindasan kapitalisme. Kerja si proletar memang selalu kerja berat, tapi hal ini ada untungnya–si proletar bekerja badan sehingga badannya terlatih, berkembang dan sehat, sesuatu yang harus diirii oleh si borjuis!

Terhadap filsafat proletar si borjuis suka melemparkan kritik tentang “tidak adanya kebebasan individu.” Tapi apa yang dimaksudkan dengan “kebebasan individu” sebenarnya? Seperti dikatakan Marx dan Engels dalam Manifes Partai Komunis, “manusia idaman” burjuasi itu adalah “manusia yang hanya terdapat di dalam dunia gelap khayalan filsafat saja”6) dan tidak terdapat dalam kenyataan. Betapa tidak! Apakah si borjuis sendiri bebas? Sarapan pun mereka sudah tergantung dari kokinya!

Cita-cita proletariat adalah suatu masyarakat yang bebas, bukan saja bebas dari imperialisme dan feodalisme, tetapi pun bebas dari setiap pengisapan oleh manusia atas manusia, sehingga individu seorang-seorang akan bebas pula, dan pada gilirannya “perkembangan bebas dari setiap orang menjadi syarat bagi perkembangan bebas dari semuanya.”7)

Bukanlah maksud saya untuk menggunakan kesempatan ini untuk suatu uraian teoritis tentang apa dasar-dasar dan hukum-hukum materialisme dialektik dan historis. Saya sudah sangat gembira jika saya tidak gagal mengemukakan pendapat-pendapat saya tentang kedudukan filsafat proletariat dalam kehidupan sosio-politik di Indonesia dewasa ini serta peranan yang sedang dan akan dimainkannya dalam perjuangan pembaruan masyarakat Indonesia, dengan di sana-sini memberikan ilustrasi-ilustrasi yang membuktikan obyektifnya dalil-dalil filsafat marxis.

Seperti diketahui, materialisme adalah konsepsi filsafat marxis, sedang dialektika adalah metode-nya.

Tentang materialisme ingin saya mengingatkan para hadirin kepada keterangan Lenin bahwa materialisme itu “mengandung di dalam dirinya sikap berpihak.” Lenin menambahkan bahwa “filsafat dewasa ini sama berpihaknya seperti filsafat 2000 tahun yang lalu.” Hal ini sebenarnya terang benderang seperti matahari: adakah di jaman perbudakan filsafat yang tidak memihak pawang budak dan tidak memihak kaum budak, adakah di jaman feodalisme filsafat yang tidak memihak tuan-tuan feodal dan tidak memihak kaum tani, adakah di jaman kapitalisme filasfat yang tidak memihak burjuasi dan tidak memihak proletariat, adakah di Indonesia sekarang misalnya filsafat yang tidak memihak imperialisme dan tidak memihak rakyat, tidak memihak feodalisme, tidak memihak demokrasi, tidak memihak kapitalisme, tidak memihak sosialisme?

Saya kira “filsafat nonkelas” demikian itu, kalau ada, seperti yang pernah dikatakan Lenin tentang “politik nonkelas,” betul-betul patut dimasukkan ke dalam kurungan dan dipertontonkan di samping kanguru Australia.”8)

Dan apakah dialektik itu? Filsuf demokrat revolusioner Alexander Herzen pernah mengatakannya dengan baik sekali: “Dialektika adalah aljabarnya revolusi.”9) Sesungguhnya, seseorang akan kebingungan dan tersesat di dalam revolusi, jika dia tak kenal dialektika. Dialektika “bukan hanya suatu teori ilmiah, tetapi juga suatu metode pengenalan dan pedoman untuk aksi. Pengetahuan tentang hukum umum perkembangan memungkinkan untuk menganilisis masa silam, untuk memahami secara tepat apa yang sedang berlaku di masa kini dan untuk melihat masa depan. Maka itu dialektika adalah suatu metode pendekatan untuk penyelidikan dan untuk aksi-aksi praktis berdasarkan hasil-hasil penyelidikan itu.”10)

Banyak kritik ditujukan terhadap filsafat marxis, tetapi sangat sedikit kritik-kritik yang beralasan.

Ambillah misalnya kritik-kritik terhadap marxisme, yang dilantunkan orang dalam sidang-sidang Konstituante beberapa tahun yang lalu. Terlebih dulu saya meminta perhatian para hadirin, bahwa ketika itu yang diperdebatkan adalah bukan marxisme, melainkan antara Islam dan Pancasila, sehingga, oleh karenanya, kritik-kritik terhadap marxisme di tengah-tengah perdebatan mengenai Islam dan Pancasila itu lebih bersifat menyukarkan daripada memudahkan penyelesaian, dan maka dari itu kritik-kritik itu umumnya bersifat politik, dan bukan filsafat. Apa kritik-kritik itu? “Penghapusan keluarga,” “hak bersama atas kaum wanita,” “penghapusan agama dan moral,” “penghapusan kemerdekaan individu” dan sebangsanya11) – satu per satunya kritik-kritik tua yang sudah lebih dari satu abad umurnya dan yang satu per satunya sudah dijawab dengan gamblang oleh Marx dan Engels, pendiripendiri sosialisme ilmiah, dalam karya utama mereka Manifes Partai Komunis. Kaum komunis terus terang saja kagum akan pengritik-pengritik yang selama lebih satu abad tidak bosan-bosannya memamah biak rumput tua itu! Yang mengenai kaum komunis sendiri, kaum komunis tidak punya “keuletan” memamah biak seperti itu, dan maka itu bersikap meremehkan saja “kritik-kritik” tak beralasan itu, sebab, “kritik-kritik” itu lebih radikal disapu oleh peristiwa-peristiwa sejarah daripada oleh agitprop [agitasipropaganda, ed.] kaum marxis. Yang memang perlu-perlu, seperti “alasan-alasan” Moh. Isa Anshary, Moh. Natsir dan Kasman Singodimedjo, telah kami jawab seperlunya.12)

Kita ambillah “kritik-kritik” yang lain. “Lembaga Kader” Katolik belum lama ini menerbitkan sebuah brosur kecil, Masjarakat Baru namanya, yang adalah Ikhtisar Quadragesimo Anno. Sekalipun Ensiklik Paus itu sudah tigapuluh tahun yang lalu disiarkan, tetapi penyiaran ikhtisarnya dalam bahasa Indonesia justru saat-saat sekarang, sesudah Manipol, sangat menarik perhatian. Dalam brosur kecil itu ditulis antara lain: “Sangat sedih memandang kelalaian orang yang membiarkan sistem komunis disiarkan di mana-mana.” Alangkah banyaknya orang yang “lalai” itu – di seluruh dunia sudah lebih dari satu milyar orang dan di Indonesia saja lebih dari delapan juta pemilih palu arit haruslah digolongkan pada kaum yang “lalai” itu. Saya katakan sangat menarik perhatian penyiarannya justru sesudah Manipol ini, karena Manipol seperti kita semua maklum, mengharuskan “konsentrasi semua kekuatan nasional,” dan bersamaan waktu mengharuskan pencegahan “perpecahan nasional.”13) Lebih-lebih lagi, berdasarkan Manipol itu dan dengan kekuatan Penpres 7, satu-satunya partai marxis di Indonesia, yaitu Partai Komunis Indonesia, telah diakui sebagai partai yang sah, dan ini berarti bahwa partai tersebut bersama partai-partai demokratis lainnya, seperti dijamin di dalam “Djarek” dijamin “hak hidup, hak bergerak, hak perwakilan”-nya.14)

“Kritik” lain lagi adalah dalam nada keluhan, begini: “Apa boleh buat, PKI sudah diakui sah, karena PKI menerima Pancasila; sekarang PKI harus membuktikan dengan jalan menjalankan sila keTuhanan Yang Mahaesa.” Pengritik-pengritik itu rupanya tak punya kesempatan mendengarkan keterangan Ketua PKI Bung Aidit, yang sesudah menyatakan bahwa “tiap-tiap sila dari Pancasila, dilihat dari sudut agama (sila keTuhanan Yang Mahaesa), dilihat dari sudut patriotisme (sila kebangsaan), dilihat dari sudut humanisme (sila kemanusiaan), dilihat dari cita-cita politik (sila kedaulatan rakyat) dan dilihat dari cita-cita sosial (sila keadilan sosial), adalah dianut oleh mayoritas dari rakyat Indonesia,” mengatakan bahwa “kaum komunis yakin bahwa sikap ini (sikap menerima Pancasila) bukan hanya tidak bertentangan dengan marxisme, tetapi inilah sikap marxis yang tepat.”15) Kaum komunis tentu saja bersedia dan sudah menjalankan sila “keTuhanan Yang Mahaesa,” yaitu sesuai dengan “Lahirnya Pancasila,” dengan “cara yang berkeadaban,” yaitu “hormat-menghormati satu sama lain,”16) dan sesuai dengan “Membangun Dunia Kembali” mengakui pada orang lain “hak untuk percaya kepada Yang Mahakuasa” … “Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuan pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan,” mengakui hak tersebut.17) Sekali lagi, kaum komunis tentu saja bersedia dan sudah menjalankan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa,” tetapi kita semua, baik golongan politik, Nasakom, maupun golongan karya, sipil dan militernya, harus pula bersamaan waktunya menjalankan keempat-empat sila lainnya, yaitu “kebangsaan” atau “patriotisme,” “perikemanusiaan,” atau “internasionalisme,” “kedaulatan rakyat” atau “demokrasi,” dan “keadilan sosial” atau “penghapusan eksploitasi oleh manusia atas manusia.” Sehubungan dengan inilah jika di tahun 1957 Bung Aidit menegaskan bahwa “melarang PKI berarti menentang empat sila dari Pancasila.”18)

Akhirnya, “kritik-kritik” seperti yang suka dilancarkan oleh Moh. Hatta, St. Sjahrir dan sebangsanya, yang menamakan marxisme itu “usang,” karena alasan yang sederhana bahwa marxisme lahir kurang lebih setengah abad sebelum pentolan-pentolan itu lahir. Sungguh hebat “alasan” ini, karena Marx dan Engels “usang,” sedang Machiavelli atau Nietsche “tidak usang!” Baiklah saya tambahkan, bahwa yang memimpin pelaksaan Plan 7 Tahun besar-besaran di Uni Soviet sekarang, yaitu Nikita Khruschov, dan yang memimpin revolusi yang gilang gemilang di Tiongkok, yaitu Mao Ze-dong, adalah penganut-penganut filsafat marxisme, dan bukan penganut “sosialisme kerakyatan” ataupun “kapitalisme kerakyatan” yang sungguh tak banyak bedanya itu… Kalau filsafat mereka usang, buat apa tuan-tuan begitu kebingungan menghadapi mereka dan buat apa tidak mengabaikan saja mereka? Atau silakanlah mengabaikan dua juta komunis Indonesia, karena mereka ini toh hanya penganut-penganut filsafat yang “usang”…

Kemarin saya membaca kawat dari Washington, bahwa senat Amerika Serikat telah menyetujui permintaan Presiden Kennedy akan otorisasi sebanyak 1.784.300.000 dolar untuk tahun depan untuk “mengejar Soviet Rusia… dalam usaha-usaha seperti kapal ruang angkasa dengan manusia, satelit-satelit komunikasi dan mengusahakan peluncuran-peluncuran ke bulan, termasuk kemungkinan mendarat dan kembali.”19) Suatu ambisi yang tidak bisa dikatakan kecil, bahkan menimbulkan kekaguman. Tetapi apakah “mengejar Soviet Rusia” itu akan terjadi?

Mengingat filsafat yang umumnya dianut oleh sarjana-sarjana roket Amerika Serikat dan mengingat sistem sosial yang berlaku di Amerika dewasa ini, maka saya lebih cenderung untuk meramalkan, bahwa tercecernya AS dari USSR dalam hal peroketan bukannya akan kian lama kian sedikit, melainkan kian lama akan kian jauh. Kenapa? Karena percobaan-percobaan Soviet selama ini bukan hanya telah menghimpun sejumlah banyak bahan tentang susunan dan sifat tata suryanya kita, tetapi–dan ini yang terpenting–karena kerjasama sarjana-sarjana dan kaum buruh dan golongan-golongan rakyat lain di Uni Soviet itu menyelidiki lebih lanjut secara seksama bahan-bahan itu dengan pisau analisis filsafat materialisme dialektik dan historis. Ini memungkinkan mereka untuk mengenal hakikat materi secara lebih mendalam dan senantiasa lebih mendalam.

Yang saya maksudkan dengan “pisau analisis” filsafat proletariat adalah metode dialektikanya, dan sekali berbicara tentang ini ada baiknya kalau saya bandingkan serba sedikit metode ini dengan metode yang lain yang nondialektik.

Hamka misalnya, filsuf Islam yang menulis cepat-cepat dan banyakbanyak itu, sekali menulis bahwa suatu garis pararel atau garis sejajar “selama-lamanya tak akan bertemu.” Ini adalah logika formal. Sebab apakah dapat dipertahankan dalil bahwa garis pararel “selama-lamanya tak akan bertemu”? Sampai batas tertentu ya, tetapi lebih jauh dari batas itu dalil itu harus diritul. Sebab, sesuatu garus pararel bisa merupakan sebagian saja dari dua garis lengkung atau dua lingkaran, sehingga kedua-dua garis itu bukan saja tidak “tak akan” bertemu, melainkan bisa dan pasti akan bertemu.

Ketika masih hidup, Masjumi cabang Malang mengeluarkan brosur kampanye pemilihan umum. Dalam brosur itu dikemukakan semboyan yang meminta kepercayaan pemilih kepada Masjumi, dengan mengatakan bahwa “kalau Masjumi berkata ya maksudnya ya, kalau tidak maksudnya tidak.” Semboyan yang gagah inipun tidaklah lebih daripada logika formal. Sebab sesungguhnya, setiap “ya” harus sekaligus “tidak” dan setiap “tidak” harus sekaligus “ya.” Mari saya ambil misal yang sederhana. Apakah saudara mau kemerdekaan? Ya! Apakah saudara mau penjajahan? Tidak! Entah kalau buat Masjumi almarhum itu “kemerdekaan ya penjajahan ya”…

Demikianlah, buat dialektika adalah sangat penting untuk bertanya pada setiap hal “untuk siapa.” Misalnya, pada suatu hari kita diberi tahu bahwa “situasi politik baik.” Kita harus segera bertanya: baik buat siapa–buat rakyat atau buat musuh-musuh rakyat? Begitupun kalau misalnya ada orang berkata: “production share itu menguntungkan.” Baiknya kita buru-buru bertanya: menguntungkan buat siapa–buat Indonesia atau buat si kapitalis asing?

Untuk menerangkannya secara lain: segala sesuatu punya dua segi.20) Hal yang baik tentu ada tidak baiknya, hal yang tidak baik tentu ada baiknya. Dalam buku ABC Politik diberikan misal begini:

“Revolusi Agustus mengalami kegagalan. Tentu hal ini negatif. Tetapi segi positifnya juga ada. Justru karena kita mengalami kegagalan Revolusi Agustus, maka menjadi tahu bagaimana harusnya memimpin revolusi – apa-apa yang boleh dikerjakan dan apa-apa yang tidak boleh dikerjakan. Kita jadinya tahu teori revolusi.”21)

Pendeknya, metode dialektik sama sekali tak bisa dipersatukan dengan metode berat sebelah, metode melihat segala sesuatu dari satu segi saja, metode dialektik yang melihat segala sesuatu dalam saling-hubungannya sama sekali tak bisa dipersatukan dengan metode melihat segala sesuatu sepotong-sepotong dan berdiri sendiri; metode dialektik yang melihat segala sesuatu dalam geraknya, dalam perubahan dan perkembangannya, sama sekali tak bisa dipersatukan dengan metode melihat segala sesuatu dalam kemandekannya, dalam ketetapannya, dalam kelanggengannya.

Chernishevski pernah menulis dalam Hubungan estetik seni dengan realitas, begini:

“Kita katakan: ‘Orang Rus ini berbicara bahasa Perancis lebih baik daripada orang Perancis,’ sekalipun kita tidak berpikiran untuk membandingkannya dengan orang-orang Perancis sesungguhnya, tapi membandingkannya hanya dengan orangorang Rus lainnya yang mencoba berbicara bahasa Perancis. Ia memang jauh lebih baik bahasa Perancisnya daripada mereka itu, namun juga jauh lebih buruk daripada orang-orang Perancis. Hal ini diterima sebagai hal yang wajar oleh setiap orang yang tahu persoalannya, tetapi banyak orang bisa tersesat oleh kalimat yang berlebih-lebihan.”22)

Cara mempersoalkan masalah ini benar sekali. Marx dan Engels menulis dalam Manifes Partai Komunis:

“Obrolan tentang penjualan dan pembelian bebas ini, dan segala ‘kata-kata gagah’ lainnya dari burjuasi mengenai kemerdekaan pada umumnya, mempunyai arti, jika ada, hanya jika dibandingkan dengan penjualan dan pembelian terbatas, dengan pedagang-pedagang terbelenggu dari Jaman Pertengahan, tetapi tidak mempunyai arti jika dipertentangkan dengan penghapusan secara komunis atas penjualan dan pembelian, atas syarat-syarat produksi borjuis, dan atas burjuasi itu sendiri.”23)

Prof. Bernal menerangkan dengan bersahaja:

“Jika sebuah atom hanya bisa berpaut dengan satu atom lainnya, hasilnya adalah gas. Jika ia berpaut dengan dua atau tiga, hasilnya adalah zat padat yang berserat… Jika dengan empat, zat padat kristal yang keras seperti berlian. Jika dengan lebih dari empat, logam.”24)

Atau ambillah contoh yang barangkali lebih terang: kita kenal tablet yang bernama “obat tidur.” Dalam kuantitas atau jumlah satu atau dua tablet, obat tidur itu obat tidur, tetapi dalam kuantitas sepuluh tablet misalnya, obat tidur berubah kualitasnya, sifatnya, menjadi “obat mampus.”

Kualitas seseorang dalam kehidupan umumnya, perjuangan khususnya, suka kita sebut dengan sebutan-sebutan “penakut,” “pemberani” dan “serampangan.” Adakah dia hubungannya dengan sesuatu kuantitas? Ini pun terang, sebab, yang mengambil kuantitas risiko terlalu sedikit, dialah pengecut; yang mengambil risiko yang memadai, dialah pemberani; dan yang mengambil risiko terlalu banyak, dialah serampangan.

Ketua PKT Mao Ze-dong dalam Pilihan Tulisan-nya jilid IV menulis:

“Setiap kualitas menyatakan dirinya dalam kuantitas tertentu, dan tanpa kuantitas tak mungkin ada kualitas. Hingga sekarang banyak di antara kawan kita belum juga mengerti bahwa mereka harus memperhatikan segi kuantitatif dari hal ikhwal… Dalam semua gerakan masa kita harus melakukan penyelidikan dan analisis pokok tentang jumlah penyokong aktif, laman dan kaum netral dan tidak boleh memutuskan soal-soal secara subyektif dan tanpa dasar.”25)

Di tahun 1948 Moh. Hatta berpikiran “PKI bisa dihancurkan” dan dia pun bertindaklah. Ketika itu jumlah kaum komunis Indonesia kurang dari sepuluh ribu. Sekarang–siapa tahu!– mungkin Hatta masih berpikiran “PKI bisa dihancurkan.” Cuma, kiranya tak ada jeleknya kalau tuan Hatta mengingat, bahwa kuantitatif PKI sudah lain. Jumlah barisannya sekarang hampir dua juta. Kalau misalnya tuan Hatta berpendapat, sesuai dengan filsafat idealisnya, bahwa kuantitas itu tak ada sangkut pautnya dengan kualitas, sehingga dua juta komunis dan sepuluh ribu komunis “sama saja,” terserah… kami akui hak tuan untuk berpikir dan bertindak bebas, dengan syarat, bahwa tuan pun hendaknya mengakui hak kami untuk berpikir dan bertindak bebas.

Adalah pula pemahaman tentang hukum “perubahan kuantitas ke kualitas” yang menyebabkan Marx dan Engels menulis bahwa proletariat “tidak saja bertambah jumlahnya… kekuatannya bertambah besar dan ia semakin merasakan kekuatan itu”26) dan Lenin “Kemenangan akan datang pada kaum yang tertindas, karena dengan merekalah kehidupan, kekuatan jumlah, kekuatan masa.”27)

Sedikit tentang hukum “negasi dari negasi.” Istilah “negasi” ini, yang mula-mula dipakai Hegel untuk melukiskan digantikannya sesuatu bentuk keadaan oleh yang lain, oleh lawannya, kemudian dipakai oleh Marx dan Engels, dengan diberi arti materialis. Kata Marx, dalam lapangan apapun “tak ada perkembangan yang tidak menegasi bentuk keadaan yang mendahuluinya.”28) Kalau kita ambil sejarah umat manusia sebagai misal, nyatalah bahwa pemilikan bersama di masyarakat primitif telah ditiadakan, dinegasi oleh lawannya, yaitu pemilikan perseorangan, dan bahwa kemudian, dalam masyarakat sosialis, sebagai “negasi dari negasi” itu muncul kembali pemilikan bersama, tetapi dalam bentuk dan tingkat serta mutu yang lebih tinggi. Begitupun kalau kita ambil sejarah Indonesia sebagai misal. Tadinya Indonesia ini merdeka, kemudian kemerdekaan itu ditiadakan, dinegasi oleh lawannya, yaitu penjajahan, dan sebagai “negasi dari negasi” itu muncul kembali kemerdekaan, tetapi dalam bentuk, tingkat serta mutu yang lebih tinggi. Perlu diingat bahwa tidak ada negasi yang penghabisan!

Lenin pernah memperingatkan, jangan kita “berdiri di ambang pintu materialisme dialektik, dan berhenti–sebelum materialisme historis.”29)

Materialisme historis, seperti diketahui, adalah penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam sejarah manusia.

Sebelum Marx, materialisme yang integral, harmonis dan konsekuen itu, kaum materialis dari abad yang lalu umumnya menjadi naif dalam hal yang mengenai sejarah manusia.

Seperti halnya Hegel, Marx memandang sejarah manusia sebagai suatu proses yang menuruti hukum-hukum perkembangan dan tidak tergantung dari kemauan manusia; seperti halnya Hegel, Marx memandang segala gejala dalam timbul dan tenggelamnya, dalam kelahiran dan kelenyapannya; seperti halnya Hegel, Marx mengusahakan dan menemukan sumber tunggal dari segala aksi dan interaksi kekuatan-kekuatan sosial. Tetapi sedang Hegel menganggap sumber tunggal itu suatu “jiwa universal,” Marx tahu bahwa dia itu tak lain daripada rakyat, rakyat pekerja. Marx menunjukkan bahwa bukan kemauan manusia, melainkan perkembangan tenaga-tenaga produktif materiillah yang menentukan jalannya sejarah. Inilah kesimpulan terpenting dari meterialisme historis.

Untuk kembali kepada Herzen, mengapa dia menamakan dialektika itu “aljabarnya revolusi”? Karena hanya dengan dialektikalah, dialektika materialisme sudah tentu, seseorang, sesuatu golongan atau sesuatu kelas dapat memegang kemudi di tengah-tengah gelombang revolusi yang menggebu-gebu memecahmecah memukul-mukul dan dengan pandangan yang jernih serta tangan yang teguh memegang kemudi itu ke arah yang benar.

Saya tidak berbicara tentang musuh-musuh revolusi, yang pikirannya begitu statis, begitu kolot, begitu tak tahu jaman, sehingga misalnya sesudah Revolusi Agustus pun masih berani berkolaborasi dengan imperialisme Belanda. Seandainya komprador-komprador itu sedikit saja tahu hukum sejarah– lihatlah, saya menuntut terlalu banyak dari kompradorkomprador!– niscayalah mereka, kalaupun jiwanya berpihak imperialisme, tidak akan melakukan kolaborasinya terang-terangan seperti kita semua maklum, pada awal semua revolusi selalu terdiri ...

 

[halaman hilang]

 

... pergosokan perlainan pendapat inilah timbul kebenaran.”32)

“Garis-garis besar haluan negara” yaitu Manipol RI, yang merumuskan “persoalan-persoalan pokok Revolusi Indonesia,” yaitu kewajiban Revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan sosialnya, sifatnya, hari depannya serta musuh-musuhnya, adalah hasil dari “pergosokan perlainan pendapat” itulah.

Sesuatu “sistem filsafat” tertentu tidaklah lain daripada “pernyataan intelektual dari jamannya,”33) kata Plechanov, sekalipun bisa juga pernyataan dari aspek-aspek tertentu saja dari sesuatu jaman. Kalau Pancasila digolongkan suatu “sistem filsafat” dia pun jadinya “pernyataan intelektual” dari jaman kita sekarang atau dari aspekaspek tertentu dari jaman kita.

Maka itu mudah menimbulkan pertanyaan bahwa ada seseorang ataupun sesuatu golongan yang menamakan dirinya “Pancasilais,” tetapi–sekalipun autor Pancasila sendiri secara autentik menyatakan “kalau Pancasila tulen harus setuju Nasakom”–bersitegang leher menolak dan menentang Nasakom. Penilaian terhadap mereka itu bisa diberikan dari sudut Pancasila sendiri, tak usah dari sudut materialisme dialektik dan historis. Satu fakta yang sekalipun pahit harus kita catat adalah, bahwa di antara pendukung-pendukung Pancasila terdapat kekuatan yang maju, kekuatan yang bimbang, tetapi juga kekuatan yang kolot, sekalipun “kolot modern.”

Dalam pers luar negeri, terutama pers kuning, macam-macam julukan yang diberikan kepada PKI. Ada yang menamakan PKI “maestro besar dalam taktik,” ada yang menamakannya “Botwinniknya politik,” tetapi baiklah saya bukakan suatu rahasia, yaitu ketidak-luar-biasaan PKI: PKI bukannya terdiri dari dewadewa dari dongengan, PKI terdiri dari manusia-manusia biasa, hanya saja yang ber-filsafat materialisme dialektik dan historis, yang kenal dan mengenakan “aljabar revolusi.”

Prof. Bertrand Russell, yang berpendapat bahwa ajaran-ajaran Marx “berisi elemen-elemen kebenaran yang sangat penting” dan yang “telah mempengaruhi pandangan-pandangan saya sendiri tentang perkembangan filsafat,”34) mengritik Marx, yang kata beliau, “ditinjau semata-mata sebagai filsuf” adalah “terlalu praktis, terlalu banyak terlibat dalam masalah-masalah jamannya.”35)

Suatu metode yang tidak bisa dipertahankan dari Bertrand Russell ialah, bahwa dia meninjau Marx “semata-mata sebagai filsuf.” Di sinilah perbedaannya, ya, pertentangannya yang seperti bumi dan langit antara Marx dan filsuf-filsuf borjuis, sebelum maupun sesudah Marx. Filsafat Marx bukan hanya menerangkan dunia, tetapi merombak dunia. Dan Marx sendiri bukan seorang “sematamata filsuf,” dia tidak mungkin seorang “semata-mata filsuf.” Marx adalah filsuf, ekonom, historikus, politikus, ya, ahli strategi, revolusioner.

Marx “terlalu praktis”? Asal Bertrand Russell ingat saja, bahwa terlalu banyak filsuf–entahlah apakah Bertrand Russell sendiri termasuk–yang terlalu tidak praktis, terlalu mengawang-awang, terlalu kabur, terlalu bertele-tele, terlalu tak ada gunanya.

Marx “terlalu banyak terlibat dalam masalah-masalah jamannya”? Memang, ada filsafat yang hanya membicarakan jaman sebelum Masehi, ada filsafat yang hanya membicarakan akhirat, ada filsafat ang terutama membicarakan jaman kini, jadi bersifat kontemporer atau kekinian. Marxisme, filsafat proletariat, tergolong yang terakhir ini. Inilah kiranya sebabnya mengapa “merombak dunia” itu tidak tinggal dalil Marx, tetapi menjadi praktek revolusioner, di Eropa, di Asia, di Afrika, di Amerika Latin, di mana-mana.

Perkenankanlah saya mengunci uraian ini dengan jawaban atas sebuah pertanyaan: dapatkah filsafat proletariat dipelajari dan dimiliki oleh massa? Saya menjawab pertanyaan ini dengan positif, karena seperti dikatakan Bung Aidit: Marx-Engels-Lenin menciptakan untuk proletariat dan rakyat pekerja pada umumnya.”

Catatan:

1) Dr. Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi.

2) D.N. Aidit, Ceramah di depan Konferensi Diplomat-diplomat RI untuk Negara-negara A-A [Asia-Afrika, ed.].

3) Al Farabi, Tentang Konsepsi.

4) Dikutip dari J. Piessen, Inleiding tot het Denken van J.P. Sartre.

5) Pearson & Anderson, USA - Second Class Power?

6) Karl Marx & F. Engels, Manifes Partai Komunis, hal. 87.

7) Sama, hal. 81.

8) W.I. Lenin, Nasib Sedjarah Adjaran Karl Marx.

9) A. Herzen, Selected Philisophical Works.

10) Fundamentals of Marxism-Leninism, hal. 69.

11) Konstituante, Risalah Perundingan.

12) Njoto, PKI dan Pantjasila.

13) Manifesto Politik R.I.

14) Dr. Ir. Sukarno, Djalannja Revolusi Kita.

15) D.N. Aidit, wawancara pers, 28 Agustus 1958.

16) Dr. Ir. Sukarno, Lahirnja Pantjasila.

17) Dr. Ir. Sukarno, Membangun Dunia Kembali.

18) D.N. Aidit, Pilihan Tulisan, jilid II, hal. 139

19) Associate Press, 28 Djuni 1961.

20) Depagitprop CC PKI, ABC Politik, Cet. 2, hal. 11.

21) Sama, Hal. 12.

22) N.G. Chernishevski, Hubungan Estetik Seni dengan Realitet, terj. Samandjaja, Bagian Penerbitan LEKRA, 1961, hal. 129-130.

23) Marx & Engels, Manifes Partai Komunis, hal. 72.

24) Prof. J.D. Bernal, The Freedom of Necessity, hal. 353-354.

25) Mao Ze-dong, Selected Works, jil.IV, hal. 379-380.

26) Marx & Engels, Manifes Partai Komunis, hal. 61.

27) Lenin, Polnoe Sobranic Setjinenii, jil. 26, hal. 364.

28) Marx, Die Moralisierende Kritik und die Kritisierende Moral, hal. 303-304.

29) Lenin, Memperingati Herzen, Jajasan Pembaruan, 1960, hal. 5.

32) Dr. Ir. Sukarno, Menjelamatkan Republik Proklamasi, 21 Pebruari 1957.

33) G.V. Plekhanov, Selected Philosophical Works, vol 1, hal. 457.

34) Prof. Bertrand Russell, History of Western Philosophy, hal. 813. 35) Sama, hal. 816.

------

 

Ekonomi Sosialis

Kuliah Njoto di depan mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 12 Desember 1954.

 

Memaparkan ekonomi sosialis adalah sesuatu yang sekaligus sukar dan mudah. Sukar, karena ia suatu teori ilmu, tetapi mudah, karena ia juga suatu praktek, suatu teori yang sudah dipraktekkan. Dan praktek ini bukan suatu eksperimen, ia suatu pelaksanaan yang ilmiah, dan yang sudah mencapai hasil-hasil yang stabil. Hasil ini bukan hanya dicapai di Uni Soviet, yang luasnya seperenam permukaan bumi, hasil ini juga sedang dicapai di tanah luas yang membentang dari Berlin sampai ke Hanoi, dari Tirana sampai ke Pyongyang, yang meliputi hampir semilyar jiwa manusia. Sekarang ini, ekonomi sosialis bukan hanya dapat dipikirkan dan dibayangkan, ia sudah dapat diraba dan dirasakan.

Tetapi memaparkan ekonomi sosialis, teori dan prakteknya, di dalam satu kali ceramah, adalah sesuatu yang hampir-hampir tidak mungkin. Oleh sebab itu paparan ini tidak akan lebih daripada sekedar pengantar. Paparan ini, sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh wakil para mahasiswa kepada saya, akan saya bagi menjadi tiga bagian: sedikit tentang teori ekonomi sosialis, sedikit tentang praktek ekonomi sosialis, dan hari depan bagi Indonesia.

Sedikit tentang teori ekonomi sosialis

Pertama-tama perlu diingat bahwa sosialisme itu bukan suatu ideal yang subyektif. Ia lahir bukan pertama-tama karena disukai atau diinginkan orang. Ia lahir sebagai resultat yang obyektif dari sejarah ekonomi kapitalis, disukai atau tidak, diinginkan atau tidak.

Sebagaimana diketahui, yang pertama sekali menerangkan sifat obyektif sosialisme ini ialah Karl Marx. Tetapi ajaran-ajaran Marx bukannya jatuh dari langit, ia lahir sebagai kelanjutan yang langsung dari wakil-wakil terbesar sosialisme klasik Perancis, filsafat klasik Jerman dan ekonomi klasik Inggris. Demikianlah, ajaran ekonomi marxisme adalah salah satu dari tiga bagian yang komponen di dalam marxisme. Ekonomi marxisme–batu dasarnya ialah ajaran tentang nilai lebih. Tentang teori nilai lebih, yang dasarnya adalah teori nilai kerja ini, tidak sedikit ekonom-ekonom yang dengan salah menggambarkan seolah-olah Marxlah penemunya yang pertama-tama. Cukup jika kita ingat, bahwa Adam Smith maupun David Ricardo sudah mengemukakan teori nilai kerja, bahkan juga teori nilai lebih. Marx melanjutkan ajaranajaran mereka, melanjutkannya secara dialektis dan konsekuen.

Di mana letak perbedaan antara ekonom marxis dengan kebanyakan ajaran-ajaran ekonomi lainnya? Perbedaannya terutama terletak dalam kenyataan bahwa sedang kebanyakan ekonomi lainnya melihat hubungan antara barang dan barang, Marx melihat hubungan antara manusia dan manusia.

Kita semua tahu bahwa ajaran-ajaran Marx tentang ekonomi politik dijelaskannya di dalam buku standarnya Das Kapital. Marx sendiri menerangkan bahwa “tujuan akhir karangan ini ialah mengungkapkan hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern,” artinya, masyarakat kapitalis.

Jadi Marx memahami dan mengungkapkan adanya hukum yang menguasai gerak ekonomi masyarakat. Kesimpulan ini berhasil ditarik olehnya, karena pandangannya pandangan materialis–yaitu: menanggap segala sesuatu menurut adanya–dan karena metodenya dalam menyelidiki segala sesuatu itu metode dialektik. Peluasan materialisme dialektik pada masyarakat dan sejarahnya itu, yang di dalam literatur modern galib disebut materialisme historis, dijelaskan oleh Marx di dalam bukunya Kritik atas Ekonomi Politik.

Kapitalisme, yang dasarnya adalah milik perseorangan atas produksi, berarti akumulasi kapital, dan akumulasi kapital berarti: akumulasi kekayaan bagi kaum kapitalis dan akumulasi kemelaratan bagi kaum pekerja. Sebab, akumulasi kapital timbul dari nilai lebih, yaitu tenaga kerja yang tidak dibayar.

Oleh sebab itu, sebagaimana diterangkan oleh Marx, tidak ada persamaan kepentingan antara kaum kapitalis dan pekerja, kepentingan mereka diametral bertentangan. Dan maka itu, sebagaimana kemudian ditegaskannya pula, melalui perjuangan kelas kaum pekerja harus menghapuskan sistem kerja upahan, yaitu sistem kapitalisme.

Kapitalisme berarti bahwa produksi bersifat sosial, sedangkan konsumsi individual, sedangkan sosialisme berarti bahwa produksi bersifat sosial, tetapi konsumsi bersifat sosial. Satu-satunya jalan yang memungkinkan hal ini ialah menjadikan alat-alat produksi dari milik perseorangan menjadi milik masyarakat. Inilah langkah nyata ke arah sosialisme.

Tetapi bagaimana kita dapat merumuskan sosialisme dengan singkat dan tepat? Saya meminta perhatian bahwa terlalu sering orang bukannya menjelaskan, melainkan mensimplifikasikannya. Perumusan-perumusan seperti “segala sesuatu milik bersama,” atau “sama rata sama rasa,” sama sekali tidak menggambarkan persoalannya yang sesungguhnya. Marx dan Engels memberikan perumusan yang sederhana tetapi tepat tentang sosialisme, yaitu: Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut hasil kerjanya.

Dengan perumusan ini jelaslah perbedaan antara sosialisme dengan kapitalisme, tetapi juga antara sosialisme dengan komunisme, sebab komunisme berarti: Setiap orang bekerja menurut kemampuannya, setiap orang menerima menurut kebutuhannya.

Bahwa perumusan tentang sosialisme tersebut bukannya sesuatu yang dapat dipraktekkan, tetapi juga sesuatu yang tahan uji, sejarah 37 tahun Uni Soviet menjadi buktinya. Bagaimana sosialisme dilaksanakan di Uni Soviet, dan bagaimana ia kini diusahakan di negara-negara Demokrasi Rakyat?

Sedikit tentang praktek ekonomi sosialis

Berdirinya Republik Soviet dimulai dengan penyitaan milik tuan tanah dan milik kapitalis, memberikan tanah yang sudah dinasionalisasi untuk dikerjakan oleh kaum tani dan mengeksploitasi pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan lainnya oleh negara. Kemudian, melalui Politik Ekonomi Baru, beralih ke pelaksanaan Rencana 5 Tahun yang pertama, disusul oleh yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Di lapangan pertanian terjadi proses kolektivisasi secara besar-besaran, juga proses pembentukan perusahaan-perusahaan pertanian negara, sedangkan di lapangan industri dilakukan industrialisasi, yang tentang keluasan maupun kecepatannya, tak ada taranya di dalam sejarah.

Demikianlah, dari negeri agraris yang terbelakang sekali, Rusia dan wilayah-wilayah lain yang tergabung di dalam USSR, berubah menjadi negeri industri kelas satu.

Dalam hubungan ini perlu diingat langkah historis Lenin, yang melakukan elektrifikasi secara besar-besaran, sehingga sekarang ini tidak ada satu tempat pun di seluruh Soviet yang tidak berlistrik. Lenin ketika itu mengajukan perumusan, bahwa komunisme itu ialah: Sistem Soviet plus elektrifikasi seluruh negeri.

H.G. Wells, historikus dan pengarang Inggris yang terkenal, sesudah mendengar rencana itu dari mulut Lenin sendiri, sepulangnya ke Inggris mengatakan: “Lenin–pelamun di Kremlin.” Tetapi sejarah, di mana kita sekarang hidup, membuktikan bahwa Lenin bukan pelamun, bahwa bukan Lenin yang pelamun!

Orang boleh setuju ataupun tidak setuju kepada sistem Soviet, tetapi kenyataan Soviet yang sudah sejak sebelum perang ternyata ialah, bahwa sistem itu berhasil melenyapkan penyakit sosial yang sudah tua sekali, yaitu pengangguran, bahwa sistem itu memberi kepada setiap orang kemungkinan untuk memilih sendiri jabatan yang disukainya, dan kecakapannya. Basis ekonomi sosialisme ini ternyata berhasil menciptakan kehidupan kebudayaan dan moral yang baru, bukan hanya tanpa pelacuran, tetapi juga tanpa penyakit-penyakit sosial yang lain.

Kejadian-kejadian terakhir di lapangan ekonomi di Uni Soviet yang mempunyai sifat spesifik ialah, pertama, bahwa sesudah industrialisasi secara besar-besaran pada periode-periode yang lampau, sekarang ini sambil meneruskan industrialisasi sudah dapat dilakukan peluasan produksi barang-barang konsumsi, dan kedua, bahwa sejak tahun 1947 pada tiap-tiap tahun bisa dilakukan penurunan harga-harga barang, sehingga dibandingkan dengan tahun 1940 penghasilan rata-rata kaum pekerja Soviet sekarang menjadi dua kali lipat, bukan penghasilan nominal, tetapi penghasilan riilnya. Di dalam pers pengumuman tentang penurunan-penurunan harga yang sudah tujuh kali itu memang tidak banyak–bagi pers kapitalis yang negerinya bukannya mengalami penurunan-penurunan tetapi kenaikan-kenaikan harga, kenyataan itu rupa-rupanya dianggap sangat tidak menyenangkan! Tetapi siapa yang datang ke Uni Soviet bukannya dengan purbasangka melainkan dengan hati yang lapang, tentu akan melihat kemajuan-kemajuan yang terjadi. Prof. Wertheim, yang tentunya bukan seorang yang asing bagi para mahasiswa, sepulangnya dari Moskow, Tbilisi dan Leningrad baru-baru ini, di dalam artikelnya yang berkepala Driestedentocht, menamakan keadaan di sana

“redelijk welvarend. De winkels zijn al stukken voller dan enkele jaren geleden, de prijzen zijn van jaar tot jaar verlaagd en de mensen verdringen zich om hun kooplust te bevredigen,” kata beliau.

(Toko-toko sudah jauh lebih penuh daripada beberapa tahun yang lalu, harga-harga dari tahun ke tahun diturunkan dan orang- orang berjejal-jejal untuk memenuhi nafsu belinya)

Ketika saya sendiri di Uni Soviet dua tahun yang lalu, selalu dan di mana-mana saya mendengar dari direktur-direktur pabrik atau kolchoz, dekan universitas maupun kepala laboratorium, pertanyaan sebagai berikut:

“Jangan saudara lihat yang baik-baik saja, lihat jugalah yang belum baik, tetapi kami berusaha keras untuk melenyapkan halhal yang belum baik itu, dan kritik serta saran-saran saudara akan sangat berguna bagi kami.”

Prof. Wertheim juga dengan jujur menceritakan, bagaimana jika dibandingkan dengan Nederland harga-harga tekstil di Uni Soviet masih lebih mahal, tetapi bagaimana transpor, buku-buku, dan sewa rumah “jauh lebih murah,” sedangkan pertolongan pengobatan gratis seluruhnya.

Saya tidak jarang menjumpai buku-buku tentang ekonomi yang, meskipun ditulis di tahun 1954, meremehkan kenyataan-kenyataan Soviet tersebut, dan kadang-kadang bahkan tidak membicarakannya sebaris juga. Seseorang yang serius di dalam kehidupan ilmu, tentu tidak akan menamakan buku-buku semacam itu “obyektif.”

Berbicara tentang buku-buku ekonomi, saya teringat akan seorang ekonom terkenal, yang oleh para mahasiswa pun tentu bukannya tidak dikenal, yaitu John Maynard Keynes, yang buku utamanya berkepala The General Theory of Employment, Interest and Money. Keynes menulis di tahun 1925:

“Marxian socialism, must always remain a portent to the historians of opinion - how doctrine so illogical and so dull can have exercised so powerful and enduring an influence over the minds of men, and, through them, the events of history.”

(Sosialisme Marxis, tentu selalu merupakan keanehan bagi ahli-ahli sejarah berpikir - bagaimana sesuatu ajaran yang begitu tidak logis dan begitu tumpul bisa hidup begitu kuat dan mempunyai pengaruh atas pikiran manusia, dan melalui mereka, atas peristiwa-peristiwa sejarah.)

Memang, bagi tidak sedikit orang, sosialisme marxis itu suatu keanehan, suatu teka teki. Tetapi sebetulnya ia tidak perlu merupakan teka teki, jika orang tidak bersikap meremehkan terhadapnya. Adalah suatu kenyataan, bahwa betapa illogical dan betapa dull sekalipun ia dikatakan, sosialisme mempunyai kekuatan, dan bukan kekuatan yang biasa, melainkan kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada sebelumnya.

Salah satu keberatan Keynes ialah bahwa sistem sosialis itu dikatakan “tidak efisien.” Ketua Gosplan (Biro Perancang Negara) Soviet, Maxim Saburov, ketika memperingati ulang tahun ke-37 Revolusi Oktober pada 7 November baru-baru ini antara lain menerangkan bahwa tahun ini produktivitas kerja di dalam industri Soviet naik dengan 7%. Kenaikan yang sudah sekian puluh kalinya. Seandainya sistem sosialis tidak punya efisiensi, bagaimana hal ini akan mungkin? Tetapi kalau dikatakan bahwa efisiensi sosialis itu bukan orisinal Soviet, itu benar. Dan yang pertama-tama mengakui dan menerangkan hal ini adalah tidak lain dari Stalin sendiri. Di dalam bukunya Dasar-dasar Leninisme, ketika menganjurkan gaya kerja leninis, Stalin memberikan batasan bahwa gaya kerja leninis itu ciri-cirinya ialah semangat revolusioner Rusia dikombinasikan dengan efisiensi Amerika. Dalam kenyataan ini juga tersimpul kesediaan kaum komunis, dalam hal ini kaum komunis Soviet, untuk belajar dari segala hal yang baik, dari mana pun asal-usulnya, dan kelas mana pun yang melahirkannya.

Dengan penguasaan atas hukum-hukum perkembangan ekonomi, dan dengan bersenjatakan gaya kerja seperti disebutkan di atas, kaum komunis Soviet telah berhasil mengembangkan daya kreatif masa pekerja negerinya sedemikian rupa, sehingga pembangunan sosialisme mencapai sukses. Sosialisme, yang berarti susunan ekonomi sonder krisis, sonder over produksi, sonder onderkonsumsi, dan juga sonder defisit di dalam budget.

Perkenankanlah saya mengutip Keynes sekali lagi:

“On the economic side,” kata Keynes, “I cannot perceive that Russian Communism has made any contribution to our economic problems of intellectual interest or scientific value.” (Di segi ekonomi, saya tak dapat menganggap bahwa komunisme Rusia telah memberikan sesuatu sumbangan kepada masalah-masalah ekonomi kita yang bersifat intelektual atau bernilai ilmu.)

Saya menjadi bertanya: tidak ada sumbangannya kepada permasalahan intelektual dan ilmu?

Menyatakan demikian sama halnya dengan mengatakan bahwa sosialisme Soviet itu nol besar. Tetapi kalau ia nol besar, mengapa ia–di samping begitu disukai–begitu ditakuti sekarang ini?!

Bahwa ajaran Keynes itu reaksioner, hal ini diakui sendiri oleh salah seorang penganutnya yang setia, Profesor Dudley Dillard, mahaguru pada University of Maryland, yang mengatakan bahwa ajaran-ajaran Keynes “dalam hakikinya konservatif dan ditujukan untuk mempertahankan status quo.”

Keynes memang terang-terangan mempertahankan kapitalisme, dia hanya mau membuang “segi moralnya” yang diakuinya “tidak berperikemanusiaan.” Tetapi bagaimana ini mungkin, padahal seluruh kapitalisme, dari telapak kakinya sampai ke ujung rambutnya, adalah tidak bermoral! Keynes menolak milik perseorangan atas alat produksi ditiadakan. Apakah ini semacam reinkarnasi ajaran Sismondi yang mencegah produksi kecil-kecilan berkembang menjadi produksi besar-besaran? Tetapi yang demikian itu bertentangan dengan hukum masyarakat! Sifat revolusioner kapitalisme, sebagaimana ditegaskan oleh Lenin di dalam bukunya Karakterisasi atas Romantisme Ekonomi, justru terletak dalam kehebatan kemajuan daya produksi ini, tenaga produktif kapitalisme ini, pada suatu waktu pasti terbentur pada hubungan produksi yang berlaku, sehingga, mau tak mau, perombakan masyarakat tentu berlangsung.

Sebelum mengakhiri bagian tentang praktek ekonomi sosialis di Uni Soviet ini, baiklah saya kitip tulisan Stalin yang terakhir, yaitu bukunya Masalah-masalah Ekonomi Sosialisme di USSR, yang memberikan definisi tentang hukum pokok ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis.

Hukum pokok ekonomi kapitalis, diterangkan oleh Stalin, ialah penjaminan laba maksimal kapitalis dengan jalan pengisapan, pemerasan dan pemelaratan bagian terbesar rakyat dari negeri bersangkutan, dengan jalan penjajahan dan perampokan secara teratur terhadap bangsa-bangsa negeri-negeri lain, terutama negerinegeri ang terbelakang, akhirnya dengan jalan peperanganpeperangan dan militerisasi ekonomi, yang dipakai untuk menyelamatkan laba-laba maksimal.

Sebaliknya, hukum pokok ekonomi sosialis, diterangkan oleh Stalin, ialah penjaminan dipenuhinya secara maksimal kebutuhan-kebutuhan material dan kultural yang senantiasa meningkat dari seluruh masyarakat, dengan jalan pertumbuhan yang terusmenerus dan penyempurnaan terus-menerus dari produksi sosialis atas dasar teknik-teknik yang lebih tinggi.

Dengan definisi Stalin ini jelaslah apa yang dituju masyarakat Soviet sekarang, masyarakat yang sedang mengalami peralihan dari sosialisme ke komunisme.

Sesudah Perang Dunia II yang lalu, di Eropa maupun di Asia sejumlah negeri membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme dan menempuh jalan sosialisme. Tetapi perjalanan itu mengambil bentuk yang khusus, bentuk peralihan, yang sudah lazim disebut Demokrasi Baru atau Demokrasi Rakyat. Negeri-negeri itu ialah Polandia, Cekoslowakia, Hongaria, Rumania, Bulgaria, Albania, sebagian dari Jerman, dan di Asia, Tiongkok, Korea dan Vietnam. Juga di semua negeri ini, krisis-krisis ekonomi sudah menjadi bagian dari sejarah yang silam, juga di semua negeri ini pengangguran tidak ada lagi, juga di semua negeri ini anggarananggaran belanjanya menunjukkan aktiva. Padahal negara-negara baru itu baru berumur 10 tahun, Republik Demokrasi Jerman dan Republik Rakyat Tiongkok bahkan baru 5 tahun.

Agar lebih dekat dengan persoalan-persoalan kita di Indonesia, baiklah sebagai contoh saya ambil saja Tiongkok. Negeri ini selama berabad-abad, kecuali ditindas oleh kaum tuan tanah, juga dikuasai oleh imperialis-imperialis–beberapa imperialis, dan bukan hanya satu. Keadaan ini menyebabkan bahwa, berbeda dengan di Rusia sebelum 1917, tidak semua burjuasi Tiongkok reaksioner. Bahkan, kecuali burjuasi komprador, boleh dibilang seluruh burjuasi nasional Tiongkok, apalagi burjuasi kecilnya, ditindas oleh imperialisme asing, dan oleh sebab itu berkepentingan untuk bersama-sama dengan kaum buruh dan kaum tani melawan imperialisme asing. Dengan demikian perjuangan kelas di Tiongkok bersifat perjuangan nasional. Kekuatan anti-imperialis ini, sebagaimana diterangkan oleh Mao Ze-dong, terdiri dari empat kelas, yaitu kaum buruh, kaum tani, burjuasi kecil dan burjuasi nasional. Sebagai basisnya ialah, kelas buruh dan kaum tani yang bersekutu bersama-sama melawan feodalisme.

Jadi, perbedaan antara Revolusi Rusia dan Revolusi Tiongkok ialah bahwa yang pertama langsung menuju ke sosialisme, sedangkan yang belakangan menuju ke ekonomi nasional, ekonomi demokrasi rakyat. Di Tiongkok sekarang perusahaan-perusahaan kapitapis asing yang bukan Amerika, dan bukan Kuomintang, jadi misalnya Inggris, Portugis, dan lain-lain, terus diperkenankan. Apalagi kaum kapitalis nasional! Dan mereka yang sudah pernah ke Tiongkok, termasuk Presiden Universitas Indonesia, Prof. Bahder Djohan, tentu mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan kapitalis nasional itu tidak hanya tetap hidup, tetapi hidup dengan lebih terjamin, baik mengenai pasar maupun mengenai labanya. Bagi mereka yang belum tahu, mungkin hal ini kedengaran aneh, tetapi - itulah Demokrasi Rakyat!

Ini tidak berarti, bahwa di Tiongkok sekarang hanya ada ekonomi kapitalis saja. Tidak! Di sana ada beberapa sektor ekonomi, termasuk sektor ekonomi koperatif dan bahkan sektor sosialis, antara lain industri berat di Tungpei, dulu Manchuria. Kalau bagi kaum kapitalis nasional Demokrasi Rakyat itu begitu menguntungkan, apalagi bagi kaum buruh! Bagi kaum tani, rasanya saya tak perlu menerangkan dengan panjang lebar tentang apa artinya perubahan agraria yang meliputi beberapa ratus juta kaum tani. Bagi kaum tani, kemerdekaan itu pertama-tama berarti tanah.

Pesatnya kemajuan ekonomi Demokrasi Rakyat Tiongkok antara lain terbukti dari produksi tenaga listriknya yang tahun ini mencapai angka 10.800.000.000 jam kilowat - 2,5 kali tahun 1949, batubara 81.990.000 ton - 2,6 kali 1949, baja 2.170.000 ton - 13,7 kali 1949, semen 4.730.000 ton - 7,2 kali 1949 dsb., dsb. Angka-angka ini diambil dari laporan Pemerintah RRT yang diucapkan oleh PM Chou En-lai pada 23 September 1954 yang lalu. Produksi pertanian pun, berkat perubahan agraria, meningkat cepat. Sebagaimana kita sekalian maklum, Tiongkok dari negeri kelaparan pengimpor beras, sekarang menjadi negeri tidak kelaparan pengekspor beras! Kalau di tahun 1950 pajak yang dibayar kaum tani merupakan 29,6% tahun ini sudah turun menjadi 13,4% sehingga, berkat segala usaha itu, dibandingkan dengan tahun 1950 daya beli kaum tani meningkat 76%. Bagaimana pengaruhnya semua ini di lapangan kebudayaan, dapat dilihat dari jumlah mahasiswa yang belajar: di tahun 1949 - 276.000 orang, sekarang - 2.588.000 orang, hampir 10 kali lipat dalam masa 5 tahun!

Kiranya cukuplah sudah gambaran singkat yang saya berikan mengenai RRT sebagai salah satu contoh Demokrasi Rakyat.

Sampailah saya pada persoalan kita sendiri, persoalan Indonesia.

Hari Depan Indonesia

Tidak ada seorang pun di tanah air kita ini yang tidak mengetahui bahwa negeri kita dicengkam oleh krisis ekonomi yang berat. Ini diketahui oleh buruh maupun pedagang, mahasiswa maupun seniman. Ini diketahui oleh PKI, diketahui pemerintah, diketahui oposisi. Hanya pandangan mengenai dan jalan keluar untuk krisis itu yang menunjukkan perbedaan-perbedaan pendapat.

Bagaimana menurut PKI ekonomi sosialis akan dilaksanakan di Indonesia?

Oleh Kongres Nasional ke-V PKI bulan Maret 1954 yang lalu, disimpulkan, bahwa yang wajib kita tuju di Indonesia sekarang bukanlah sosialisme, melainkan Demokrasi Rakyat.

Kemarin dulu, hal ini ditegaskan sekali oleh Bung Aidit di dalam jawabannya atas interviuw Tillman Durdin, koresponden New York Times. Atas pertanyaan “Sistem apakah yang diperjuangkan oleh Partai Komunis untuk Indonesia pada tingkat kemajuan negeri sekarang?”, Bung Aidit menjelaskan:

“Dalam tingkat kemajuan ekonomi Indonesia seperti sekarang, yaitu ekonomi semi-feodal dan semi-kolonial, PKI memperjuangkan suatu sistem yang akan menghapuskan sisasisa feodalisme dan kolonialisme di Indonesia. Sistem ini kami namakan sistem demokrasi rakyat.”

Sekarang timbullah persoalan: apakah Demokrasi Rakyat Indonesia akan sama dengan Demokrasi Rakyat Tiongkok?

Jawabnya bisa saya nyatakan: sama dan tidak sama. Sama bahwa kedua-duanya anti-imperialis dan anti-feodal, sama bahwa kedua-duanya akan menciptakan kekuasaan koalisi beberapa kelas, sama bahwa kedua-duanya akan membangun ekonomi nasional. Tetapi tidak sama karena Tiongkok dan Indonesia tidak sama. Tiongkok dulu terutama dijajah oleh imperialisme Amerika yang dikatakan “demokratis,” sedangkan Indonesia dijajah oleh imperialisme Belanda yang terkenal berjiwa tukang-warung. Sistem tuan tanah di Tiongkok dan di Indonesia pun berlain-lainan. Di Tiongkok berlangsung perjuangan bersenjata terus-menerus yang kurang lebih 40 tahun lamanya, di sini tidak. Belum lagi saya sebutkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, adat-istiadat, dan lainlain, antara kedua negeri tersebut.

Oleh sebab itu kalau ada seseorang yang menamakan dirinya komunis tetapi mau menyelesaikan masalah Indonesia dengan main jiplak saja, entah menjiplak Uni Soviet atau menjiplak Tiongkok, maka dia itu lebih menyerupai Pak Tolol daripada komunis. Perjuangan komunisme tidak bisa diselesaikan oleh dan maka itu tidak membutuhkan plagiator-plagiator yang tidak berfikir. Masalah Indonesia hanya dapat dipecahkan dengan jalan Indonesia, dengan cara Indonesia, dengan gaya Indonesia. Inilah sebabnya Bung Aidit di dalam Kongres PKI yang lalu memberikan laporan yang menunjukkan Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia. Demokrasi rakyat yang spesifik Indonesia! Inilah yang kita tuju.

Demikianlah, kalau yang mengira kaum komunis itu main menjiplak saja bukan seorang yang menamakan dirinya komunis, tetapi seorang yang antikomunis, maka “kritik” itu sendiri menandakan ketiadaan berpikir. Ini tidaklah mengherankan, karena biasanya “kritikus” itu sendiri yang plagiator.

Tetapi mungkinkah krisis ekonomi Indonesia yang sudah dalam ini diatasi? Mungkinkah keadaan yang kacau sekarang ini diatasi? Mungkinkah demokrasi rakyat didirikan di Indonesia?

Hanya saja, bagi Indonesia, sosialisme itu akan melalui demokrasi rakyat, harus melalui demokrasi rakyat. Ini bukan disebabkan oleh alasan-alasan subyektif, ini dibawa oleh watak dan keadaan kongkrit negeri kita.

Di dalam Program PKI terdapat bagian yang menjelaskan perlunya mencapai kemerdekaan nasional yang penuh dan perubahanperubahan demokratis.

Bab ini dimulai dengan kalimat-kalimat sebagai berikut:

“Pemerintah Demokrasi Rakyat akan merupakan suatu pemerintah yang sama sekali baru jika dibandingkan dengan semua pemerintah-pemerintah yang ada sebelumnya.

“Ia akan merupakan suatu pemerintah yang mendasarkan dirinya atas masa.

“Ia akan merupakan suatu pemerintah yang tujuannya ialah kemerdekaan nasional yang penuh.

“Ia akan merupakan suatu pemerintah front persatuan nasional, yang dibentuk atas dasar persekutuan kaum buruh dan kaum tani di bawah pimpinan kelas buruh. Mengingat terbelakangnya ekonomi negeri kita, PKI berpendapat bahwa pemerintah ini harus tidak merupakan pemerintah diktatur proletariat melainkan pemerintah diktatur rakyat. Pemerintah ini bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan demokratis. Ia akan merupakan suatu pemerintah yang mampu mempersatukan semua tenaga antifeodal dan antiimperialis, yang mampu memberikan tanah dengan cumacuma kepada kaum tani, yang mampu menjamin hak-hak demokrasi bagi rakyat; suatu pemerintah yang mampu membela industri dan perdagangan nasional terhadap persaingan asing, yang mampu meninggikan tingkat hidup material kaum buruh dan menghapuskan pengangguran. Dengan singkatnya ia akan merupakan suatu pemerintah rakyat yang mampu menjamin kemerdekaan nasional serta perkembangannya melalui demokrasi dan kemajuan.”

Demikianlah–dengan sederhana dan saya kira cukup jelas– dinyatakan di dalam Program PKI apa yang dimaksudkan dengan Pemerintah Demokrasi Rakyat di Indonesia.

Selanjutnya untuk mencapai kemerdekaan nasional, program tersebut menekankan pentingnya membatalkan persetujuan KMB dan menyita serta menasionalisasi semua pabrik, bank, perkebunan, alat-alat pengangkutan, tambang, maskapai-maskapai dagang dan perusahaan-perusahaan lainnya kepunyaan kaum penjajah Belanda.

Kemudian di lapangan hubungan agraria dan pertanian Pemerintah Demokrasi Rakyat akan melakukan penyitaan semua tanah tuan tanah, asing maupun bumiputera, dan membagi-bagikannya dengan cuma-cuma dan sebagai milik perseorangan kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin. Pemerintah Demokrasi Rakyat tidak akan menyita tanahtanah kaum tani kaya dan akan melindungi tanah-tanah kaum tani sedang. Pemerintah Demokrasi Rakyat akan menghapus rodi, pologoro dan perbudakan-perbudakan feodal lainnya, menghapuskan utang-utang kaum tani, nelayan dan tukang-tukang kerajinan tangan kepada tuan tanah dan lintah darat, sebaliknya akan memberikan kredit panjang yang gampang dan murah kepada mereka, membantu kaum tani memperbaiki dan memperbaharui sistem irigasi dan menyelenggarakan dengan berangsur-angsur pemindahan sukarela sebagian penduduk dari pulau-pulau yang padat penduduknya (terutama pulau Jawa) ke pulau-pulau lainnya dengan jaminan tanah, alat-alat bekerja, alat-alat kesehatan dan kredit yang cukup.

Di lapangan industri dan perburuhan, Pemerintah Demokrasi Rakyat akan melindungi industri nasional terhadap persaingan barang-barang asing, mengadakan sistem cukai yang bersifat melindungi, mengembangkan industri nasional dan mempersiapkan syarat-syarat untuk industrialisasi negeri dengan menggunakan semua tenaga dan sumber-sumber negara. Selanjutnya akan menetapkan upah minimum yang menjamin penghidupan yang berperikemanusiaan bagi kaum buruh dan pegawai, mengadakan kerja enam jam sehari untuk kaum buruh tambang di bawah tanah dan industri-industri lain yang mengganggu kesehatan, mengadakan liburan sekurang-kurangnya 14 hari setahun dengan upah penuh, mengadakan jaminanjaminan sosial lainnya atas biaya negara dan kaum kapitalis, menjamin upah sama untuk pekerjaan sama bagi kaum wanita, melarang pekerjaan yang mengganggu kesehatan untuk wanita dan anak-anak, menjamin perkembangan bebas bagi serikat-serikat buruh, dan mengadakan kontrol keras atas harga-harga barang.

Program ini kiranya tak memerlukan penjelasan lagi. Tetapi agar tak terjadi salah tafsir, perkenankanlah saya menjelaskan sedikit lagi tentang dua hal.

Pertama tentang penyitaan tanah, dan kedua tentang penyitaan perusahaan-perusahaan kapitalis milik Belanda.

Sistem tuan tanah atas tanah bukan hanya suatu anakronisme, ia juga sangat tidak adil. Berjuta-juta kaum tani yang membasahi tanah itu dengan keringatnya, tidak memilikinya dan dengan demikian tak mengennyam hasilnya, sedangkan sejumlah kecil tuan tanah, yang sama sekali tidak bekerja mengolah tanah-tanah itu, justru yang memilikinya dan menerima hasilnya. Dilihat dari sudut humanisme, hal ini sama sekali tidak adil untuk diteruskan, ia tidak berprikemanusiaan, sedangkan dilihat dari sudut produktivitas, sistem tuan tanah itu mengekang tenaga kerja di desa yang sungguh tidak terhitung kerugiannya. Kecuali semua ini, perubahan agraria, yaitu pemindahan milik tanah dari tangan tuan tanah ke tangan kaum tani, adalah perlu sekali untuk sendi industrialisasi negeri. Dengan tidak mempunyai tanah atau mempunyai tanah yang kurang sekali, kaum tani rendah sekali daya belinya, dan dengan kaum tani–artinya 70% dari rakyat jelata kita–yang rendah sekali daya belinya, industrialisasi tidak akan lebih daripada fraseologi yang tidak berisi.

Mengenai penyitaan perusahaan-perusahaan kapitalis milik Belanda, ini pun tidak bisa lain, baik dilihat dari sudut keadilan maupun dilihat dari kebutuhan negara untuk melaksanakan ekonomi yang berencana, memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, mengontrol harga, dan lain-lain.

Tentang yang pertama, mungkin orang bertanya: mengapa PKI menghendaki milik individu atas tanah? Bukankah ini mengingkari prinsip sosialisme, prinsip kolektivisasi pertanian? PKI berpendapat bahwa milik perseorangan atas tanah adalah satu-satunya jalan yang tepat, pertama karena inilah yang dikehendaki oleh kaum tani, dan kedua karena kolektivisasi pertanian itu harus dilakukan atas dasar sukarela. Pengalaman di Uni Soviet maupun di Tiongkok menunjukkan, bahwa kesukarelaan adalah satu-satunya dasar yang digunakan dalam mengkolektivisasikan pertanian.

Nantinya, kaum tani kita yang mendapat tanah sebagai milik individual, akan menyadari sendiri dari pengalaman mereka sendiri, bahwa sistem kolektif itu lebih efisien, lebih produktif, lebih efektif, dan maka itu lebih menguntungkan bagi mereka. Kewajiban negara ialah menyediakan bantuan yang cukup untuk kolektivisasi nanti, antara lain alat-alat pertanian yang modern.

Tentang yang kedua, mungkin orang bertanya: mengapa perusahaan-perusahaan Belanda saja yang disita?

Jawabnya sederhana saja: karena Belanda lah, imperialisme Belanda lah musuh kita nomor satu. Sedangkan mengenai perusahaanperusahaan besar, termasuk maskapai-maskapai minyak, kepunyaan negeri lain (artinya lain daripada Belanda), sebagaimana juga ditanyakan oleh wartawan Tillman Durdin dan dijawab oleh Bung Aidit kemarin dulu: hanya akan disita dan dinasionalisasikan jika negeri-negeri tersebut memberi bantuan senjata kepada Belanda untuk melawan Republik Indonesia.

Demikian dengan singkat sudah saya bentangkan jalan Indonesia menuju ke Demokrasi Rakyat.

Sistem ini tidak akan memungkinkan lagi adanya jurang antara rencana dan kenyataan, sehingga–seperti selama ini–kertas-kertas berbagai rencana tidak pernah mencapai lebih daripada kertas. Sistem ini akan menjamin bahwa rencana-rencana yang kita bikin secara obyektif, akan dapat kita laksanakan di dalam praktek. Planplan Lima Tahun Soviet misalnya, terkenal bukan saja karena planplan itu bisa dilaksanakan, tetapi dilaksanakan di dalam waktu yang lebih singkat.

Dari uraian di atas ini juga menjadi jelaslah, bahwa sistem ekonomi Demokrasi Rakyat akan mengubah sama sekali perletakan titik berat. Selama ini, ekonomi kita yang agraris ini terutama didasarkan atas ekonomi ekspor, atas penjualan hasil-hasil bumi kita ke pasar dunia, yang begitu tergantung dari konjungtur-konjungtur dan gelombang lain di dalamperdagangan dunia. Titik berat seterusnya harus diletakkan pada home market, pada pasar dalam negeri. Baik RRT maupun negara-negara Demokrasi Rakyat di Eropa Timur umumnya, mencapai sukses di dalam pembangunan ekonominya dan di dalam memajukan negerinya, karena politik ekonomi mereka didasarkan atas home market. Bahwa politik ini tidak hanya baik tetapi juga praktis, sudah terbukti sekarang, dan kebaikannya pun sudah terbukti dari kenyataan bahwa sesudah kebutuhankebutuhan pokok rakyat negeri sendiri mulai dipenuhi, tugas internasional, yaitu memajukan perdagangan dengan negeri mana pun, atas dasar persamaan dan saling menguntungkan, juga bisa dipenuhi.

Akhirnya, saya tak mau lalai untuk meminta perhatian tentang besarnya peranan kaum intelegensia di dalam pembangunan ekonomi nasional, ekonomi Demokrasi Rakyat ini.

Memang ada orang-orang radikalis yang mengira seakan-akan pembangunan Demokrasi Rakyat itu bisa dilakukan oleh kaum buruh saja, dan menganggap bahwa kaum intelektual tidak usah turut-turut, sebab mereka itu toh borjuis. Orang-orang radikalis begini ini bukan komunis, ia lebih menyerupai Don Kisot yang tak tahu ke mana kincir angin berputar. Adalah Lenin sendiri, yang lebih dari 30 tahun yang lalu menegaskan, bahwa sosialisme itu tidak hanya bisa dibangun dengan orang-orang yang sesungguhnya ada, ada di dalam masyarakat, jadi termasuk kaum inteligensia.

Bahkan, dengan ini dapat saya terangkan keyakinan kaum komunis: Demokrasi Rakyat, apalagi sosialisme, tidak bisa dibangun dengan tidak ikut sertanya kaum intelegensia. Ikut serta mereka bukan hanya berguna, tetapi sine qua non. Itulah sebabnya mengapa PKI, di dalam menggalang persatuan nasional tidak pernah melupakan, bahkan menaruhkan minat yang sangat besar, kepada ikut sertanya golongan intelegensia.

Singkatnya, Demokrasi Rakyat bagi Indonesia adalah mungkin, dan menjadi kewajiban kita bersamalah untuk mengubahnya dari kemungkinan menjadi keharusan, dari cita-cita menjadi kenyataan.

 

-------

 

Sosialisme Indonesia

Kuliah Njoto di depan Universitas Rakyat, Jember, Maret 1962.

 

Membicarakan Sosialisme Indonesia berarti membicarakan hari depan Revolusi Indonesia.

Manifesto Politik RI mengatakan dengan jelas

“hari depan Revolusi Indonesia bukanlah menuju ke kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme… hari depan Revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur, atau … Sosialisme Indonesia.”

Perumusan Manipol tentang hari depan revolusi ini hanya dapat dipahami dengan tepat, bila orang memahami dengan tepat pula apa itu kapitalisme, apa itu feodalisme, dan apa itu sosialisme. Hal ini perlu saya tekankan karena sampai sekarang masih terlalu banyak orang yang menyatakan dirinya “antikapitalisme” dan antifeodal,” tetapi tidak tahu apa sesungguhnya kapitalisme itu, juga tidak tahu apa sesungguhnya feodalisme itu. Begitupun terlalu sering masih orang-orang menamakan dirinya “prososialisme” tanpa mengetahui apa sosialisme yang sebenarnya itu.

Apa akibat dari ketidakjelasan soal-soal ini? Akibatnya bermacammacam. Ada orang yang menganggap Uni Soviet misalnya “imperialis,” “imperialis merah,” dan RRT juga “imperialis,” “imperialis kuning,” padahal Uni Soviet dan RRT adalah jelasjelas negara-negara yang bukan saja antiimperialis, tetapi sudah sosialis. Sebaliknya ada orang-orang yang menganggap misalnya Burma itu suatu negeri “sosialis,” hanya karena kaum sosialis pernah memegang pemerintahan di sana, padahal Burma itu, tidak beda dengan Indonesia, India dan banyak negeri lainnya, adalah negeri yang belum merdeka penuh dan masih setengah feodal. Perkara Burma ini belum seberapa. Ada malahan orang-orang yang mengira kerajaan Inggris itu negeri “sosialis,” juga karena yang memerintah di sana pernah Labour Party yang sering disebut sebagai partai “sosialis” itu. Lelucon ini jadinya tidak lucu lagi! Pertama, di manalah di dunia ada kerajaan yang “sosialis”! Jika kerajaankerajaan pada sosialis, Lenin dulu tak perlu repot-repot memimpin Revolusi 1917, sebab Rusia ketika itu toh sudah Rusia tsar, Rusia kerajaan … lagipula agak sukar membayangkan bahwa seorang Elizabeth atau seorang Hirohito atau seorang Juliana bisa “sosialis” … Nederland juga pernah diperintah oleh Partij van der Arbeid, partai “sosialis.” Tetapi apakah dengan begitu Nederland jadi sosialis? Adalah pemerintah “sosialis” Nederland itu yang di tahun 1947 melancarkan perang kolonial terhadap kita! Seratus limabelas tahun yang lalu Karl Marx dan Friedrich Engels menerangkan kepada kita supaya berhati-hati dengan sosialisme, sebab, demikian Marx dan Engels, selain sosialisme proletar, juga ada “sosialisme borjuis kecil,” “sosialisme borjuis,” bahkan “sosialisme feodal.” Dengan pengalaman Inggris dan Nederland di atas maka kita harus menambahkan bahwa selain “sosialisme kerajaan” itu masih ada lagi “sosialisme kolonial”!

Macam lain dari kekisruhan mengenai “sosialisme” adalah kenyataan bahwa ada orang-orang yang sendirinya seorang kapitalis tetapi memaklumkan diri ke mana-mana sebagai orang “antikapitalis.” Kalau ditanya, “Lha saudara ini apa?”, cepat-cepat dia menjawab: “Saya kapitalis nonkapitalis,” atau malahan, ada yang bengal dengan mengatakan: “Saya kapitalis marhaen,” “Saya kapitalis murba” atau “Saya kapitalis jelata.” Sungguh kapitalis jenaka!

Ada kekisruhan macam lain lagi. Bulan yang lalu pernah saya lihat di Jember sini semboyan yang mengatakan seakan-akan “ciri khusus landreform Indonesia adalah nonkomunis dan antikapitalis.” Perkara “nonkomunis” baiklah saya tidak beri komentar sekarang, karena komentar pun sebetulnya berkelebihan. Cobalah kita camkan: landreform adalah redistribusi atau pembagian kembali tanah dengan jalan memberikan milik individual kepada kaum tani. Inilah landreform yang tepat, dan landreform ini disokong selain oleh golongan-golongan lain, juga dan barangkali terutama oleh kaum komunis Indonesia. Jadi soal non-atau tidak nonkomunis tidak menjadi soal sama sekali. Sekarang, apakah landreform Indonesia itu benar harus antikapitalis? Dari persoalan ini jelas bahwa masih ada orang yang tak tahu bedanya kapitalisme dari feodalisme. Sasaran landreform adalah feodalisme, tuan-tuan, dan bukan kapitalisme! Tentu bagi kita ada persoalan menghapuiskan sama sekali konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah, tetapi yang dipersoalkan oleh Undang-undang Pokok Agraria adalah tanah-tanah kelebihan pada tuan-tuan tanah bumiputera, tuan-tuan tanah feodal. Presiden Sukarno menerangkan di dalam “Djarek” bahwa landreform itu tujuannya “mengahkri pengisapan feodal secara berangsur-angsur.”

Kita lihatlah betapa kisruhnya soal-soal jadinya, jika pengertianpengertian kapitalisme dan sosialisme tidak jelas.

Ada yang setuju dengan sosialisme ilmiah, ada yang tidak menyetujuinya. Tetapi kita sudah sekali hidup dalam abad ilmu, abad atom dan nuklir, sputnik dan kapal ruang angkasa, dan bukan lagi dalam abad takhayul atau mistik. Kita menyuruh anak-anak kita pergi ke sekolah menuntut ilmu, tidakkah aneh jika bapakbapaknya menghindari ilmu? Juga pengertian-pengertian harus ilmiah, termasuk pengertian-pengertian tentang kapitalisme, feodalisme dan sosialisme. Untuk menyebarkan ilmu secara populer dan masal inilah saya kira salah satu tujuan utama UNRA. Benar UNRA bukan suatu institut universiter, tetapi mutu ilmiah akan tetap dijaga tinggi dalam UNRA dan tujuan mendekatkan ilmu kepada rakyat atau mendekatkan rakyat kepada ilmu, kiranya adalah suatu tujuan ilmiah yang serasi dengan denyut nadi jaman. Demikian pun tujuan meniadakan jurang antara teori dan praktek, terutama teori revolusioner dan praktek revolusioner.

Apakah Sosialisme Indonesia itu dan bagaimana harusnya dia kita selenggarakan?

Saya ingin memulai dengan suatu logika yang sederhana tetapi keras: sosialisme adalah sosialisme. Juga ini bukannya tak ada gunanya saya tekankan, sebab ada yang mengartikan “Sosialisme Indonesia” itu hanya dari sudut kekhususan-kekhususan, keistimewaan-keistimewaan, perlainanperlainan, dan malahan pertentangan-pertentangan dengan “sosialisme-sosialisme lain.” Pembela-pembela “sosialisme istimewa” ini biasanya mengatakan: “Sosialisme Indonesia bukan Sosialisme Soviet, bukan Sosialisme Tiongkok, bukan Sosialisme Kuba.” Saya cuma khawatir jangan-jangan yang dimaksudkan oleh mereka adalah bahwa Sosialisme Indonesia itu bakan … sosialisme!

Kekhususan Sosialisme Indonesia tentu saja ada, tetapi apakah ada kekhususan jika tak ada keumuman? Apakah ada yang khusus jika tak ada yang umum? Kita ambilkan misal ini: “Simin manusia khusus.” Tetapi setiap kita tahu bahwa tidak akan ada itu manusia Simin jika tak ada manusia pada umumnya. Lagipula, sekalipun Simin itu manusia khusus, tetapi dia toh manusia juga: kepalanya satu, tangannya dua, kakinya dua, melihat bukan dengan telinga melainkan dengan mata, berpikir bukan dengan punggung melainkan dengan otak, dsb. Sebab, sekiranya Simin itu berpikir tidak dengan otaknya, saya kira kita tidak akan berkata “Simin itu manusia khusus,” melainkan Simin itu manusia abnormal, atau bukan manusia sama sekali!

Oleh sebab itu – sosialisme adalah sosialisme, Sosialisme Indonesia adalah Sosialisme Indonesia; dia bercorak Indonesia, tetapi dia sosialisme.

E. Utrech S.H., ketika sebagai sesama anggota Dewan Pertimbangan Agung bersama-sama saya mengadakan indoktrinasi Manipol ke Nusa Tenggara, merumuskan soalnya sebagai berikut: “Sosialisme Indonesia adalah sosialisme yang diindonesiakan, atau Indonesia yang disosialiskan.” Saya kira perumusan sarjana ini bukan perumusan seorang profesor linglung, melainkan perumusan yang obyektif benar.

Mari kita kembali kepada Manipol, dan di situ akan kita jumpai dengan bahasa yang terang, bahwa Sosialisme Indonesia adalah “sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia.” Kita perhatikanlah: “sosialisme yang disesuaikan…” dsb., tetapi yang disesuaikan itu adalah tetap sosialisme, dia harus tetap sosialisme.

Saya ingin mengambil contoh yang lain: apa misalnya yang kita sebut lukisan Indonesia tentang gunung Himalaya? Saya kira, ini berarti sebuah lukisan gunung Himalaya yang dikerjakan oleh seorang pelukis Indonesia, dan yang menggunakan gaya Indonesia, pengolahan Indonesia, visi Indonesia. Tetapi saya kira seindonesia-indonesianya lukisan Himalaya, dia tidak boleh menyunglap bentuk Himalaya hingga menjadi seperti gunung Argopuro atau Raung!

Sosialisme adalah suatu susunan sosial atau sistem masyarakat yang berdasarkan pemilikan bersama atas alat-alat produksi. Saya minta perhatian: alat-alat produksi. Jadi, bukan atas meja-kursi, bukubuku, tempat tidur, sepeda, dan sebagainya. Dalam sosialisme proses produksi berlangsung secara sosial, demikian pun hasilhasilnya dikenyam secara sosial. Ini berarti bahwa sosialisme itu bukan kapitalisme yang produksinya berlangsung sosial (kalau tidak ada kaum buruh yang banyak itu tidak akan ada produksi kapitalis!) tetapi hasil-hasilnya masuk ke kantong si kapitalis saja, jadi asosial. Sosialisme tidak boleh disederhanakan menjadi “sama rata sama rasa,” di mana orang yang bekerja berhak makan dan orang yang tidak bekerja juga berhak makan, atau di mana si rajin mendapat persis sama dengan si malas. Sebaliknya, dalam sosialisme hanya yang bekerjalah yang berhak makan, sedang yang tidak bekerja tidak berhak atas makan. Begitu pun, si malas tak akan mendapat sebanyak si rajin. Kian rajin akan kian banyaklah pendapatannya. Seperti dikatakan oleh Karl Marx: Dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat menurut prestasi atau hasil kerjanya.” Pendeknya, sosialisme adalah masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, tanpa pengisapan oleh manusia atas manusia, seperti berulang-ulang dinyatakan oleh Bung Karno.

Demikianlah sifat-sifat umum yang pokok dari sosialisme, juga dari Sosialisme Indonesia. Bung Aidit sudah pernah memperingatkan: janganlah “Sosialisme Indonesia” itu diartikan sosialisme “yang begitu khususnya,” sehingga kata sifat “Indonesia” menjadi berarti “dengan pengisapan oleh manusia atas manusia,” sehingga “Sosialisme Indonesia” berarti “sosialisme dengan pengisapan”! Kalau ada “sosialisme dengan pengisapan,” pastilah dia bukan sosialisme sama sekali, pastilah dia bukan masyarakat yang adil dan makmur. Sebab, pengisapan itu bukan keadilan, dan dengan pengisapan tidak mungkin ada kemakmuran. Maksud saya - kemakmuran buat semua, sebab, kemakmuran buat si pengisap tentu saja bisa.

Tamu-tamu dari Eropa, yang datang ke Asia dengan berkunjung dulu ke India, baru ke Indonesia, banyak yang mengatakan kepada saya: “Indonesia ini saya lihat relatif makmur.” “Makmur bagaimana?”, tanya saya. Jawabnya: “Dibandingkan dengan India.” Memang, saya sendiri sudah tiga empat kali ke India. Orang mati menggeletak di pinggir jalan, yang di sini hanya terdapat di jaman fasisme Jepang dan yang sesudah Republik merdeka hampirhampir tak pernah kita jumpai, di India sana masih gejala seharihari. Toh P.M. Jawaharlal Nehru menamakan India itu suatu “negeri sosialis.” Ketika saya tanya kepada teman India saya yang baik, Bupesh Gupta, “Sosialisme India itu sosialisme macam apa,” teman saya itu menjawab, “sosialisme dengan kemiskinan”!

Bahwa “sosialisme” itu tidak selalu sosialisme, dan bahwa ada macam “sosialisme” yang sesungguhnya bukan sosialisme, juga bisa kita saksikan dari kejadian-kejadian beberapa waktu yang lalu di dunia Arab. Presiden Gamal Abdel Nasser, seperti diketahui, secara pandai telah memasukkan Suriah ke dalam gabungan dengan Mesir, ke dalam “Republik Persatuan Arab.” Presiden Nasser memaklumkan bahwa RPA adalah negeri “sosialis,” yang berasaskan “sosialisme á la Arab.” Beberapa waktu kemudian, setelah rakyat Suriah, mulai buruhnya sampai burjuasinya, mengalami apa artinya berada di dalam RPA, mereka memilih kembali jalan menentukan nasib sendiri dengan merenggutkan diri dari Mesir dan mendirikan kembali Suriah merdeka. Republik Suriah ini kemudian memaklumkan “sosialisme” juga: “sosialisme sejati.” Nah, kita lihatlah, “sosialisme” ditentang oleh “sosialisme,” “sosialisme á la Arab” ditentang oleh “sosialisme sejati.”

Di Indonesia ini ada yang mengira bahwa sosialisme itu akan terselenggara jika kita melakukan “indonesianisasi.” Ini jugalah sebetulnya yang dilakukan oleh Mesir. Menurut Ali Sabri, menteri Mesir yang tugasnya mendampingi presiden, di sana dilakukan apa yang disebutnya “arabisasi” atau bahkan “mesirisasi.”

Bahwa “indonesianisasi” saja belum berarti perbaikan, hal ini dapat diterangkan dari dua sudut. Pertama, siapa yang mengadakan “indonesianisasi” itu; kedua, siapa orang-orang Indonesia yang ditugaskan menggantikan kedudukan-kedudukan orang-orang asing. Pasal siapa yang menugaskan, juga siapa yang ditugaskan ini, penting sekali. Pada suatu hari diberitahukan kepada anggotaanggota parlemen kita, bahwa pada tanggal sekian jam sekian akan datang wakil-wakil dari BPM-Shell. Anggota-anggota parlemen sudah mengasah bahasa Inggrisnya, tahu-tahu yang muncul orang- orang berkulit sawo matang, bermata hitam, berambut hitam. Inilah “indonesianisasi” oleh BPM-Shell. Juga apabila yang menugaskan “indonesianisasi” itu pihak Indonesia, termasuk pemerintah Indonesia, belumlah tentu bahwa yang ditugaskan dalam “indonesianisasi” itu orang-orang Indonesia yang patriotik dan cakap. Bukankah Presiden Sukarno berkali-kali mencanangkan tentang masih adanya orang-orang “blandis,” orang-orang yang hollands-denken, dan bukankah kita dalam masyarakat terkadang menjumpai orang-orang yang bahkan merasa “lebih Belanda daripada si Belanda”? Ya, jika seandainya setiap “indonesianisasi” sudah beres, tentulah Manipol tidak perlu menggariskan keharusannya retooling, dan tentulah Resopim tidak perlu menggariskan keharusannya membersihkan segala aparat dari “pencoleng-pencoleng.”

Sosialisme bukanlah suatu sistem ekonomi semata. Dia suatu sistem sosial yang menyeluruh. Dia ya sistem ekonomi, ya sistem politik, ya sistem kultural, ya malahan sistem militer.

Dalam pidatonya 1 Juni 1945, yaitu “Lahirnja Pantja Sila” yang diucapkan tatkala kaum militer-fasis Jepang masih di Indonesia sini, Bung Karno–ketika itu belum Presiden RI–antara lain berkata:

“Jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik … tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.”

Dalam pidato itu juga yang sangat saya anjurkan untuk dipelajari sungguh-sungguh oleh setiap manipolis, Bung Karno juga menganjurkan “cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!”

Apakah hakikat sosialisme di lapangan ekonomi, di lapangan politik kebudayaan?

Prinsip-prinsip sosialisme di lapangan ekonomi sudah saya bentangkan tadi, sekalipun secara cekak-aos. Bagaimana bisa ada “sosialisme” yang pemilikan alat-alat produksinya tidak bersifat sosial, sedang UUD’45 pun menggariskan pada pasal 33-nya:

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.”

Kalau dalam UUD’45 sudah demikian, apa pula dalam sosialisme nanti.

Di lapangan politik sosialisme haruslah berarti kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam arti yang sesungguh-sungguhnya, kedaulatan rakyat yang bukan hanya semboyan, tetapi kenyataan. Mayoritas terbesar rakyat di negeri kita adalah kaum buruh dan kaum tani. Oleh sebab itu wajarlah apabila mereka, kaum buruh dan kaum tani itu, yang harus mengurusi dirinya sendiri dan mengurusi urusan-urusan kenegaraan umumnya. Jika tidak ada ini, maka pastilah akan terjadi apa yang dikatakan Jean Jaures seperti yang dikutip oleh Bung Karno dalam pidato “Lahirnja Pantja Sila,” yaitu: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu di dalam parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik, – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilemparkan ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa.”

Jika seperti yang dikatakan Jean Jaures dan Bung Karno ini masih terjadi, itu tandanya masyarakat masih berada dalam susunan kapitalis, betapapun demokratisnya, dan belum berada dalam susunan sosialis! Manipol pun sudah menetapkan bahwa “Revolusi Indonesia harus mendirikan kekuasaan gotong royong, kekuasaan demokratis yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat.” Dalam mendefinisikan “seluruh kekuatan nasional” ini Manipol mengatakan: “Seluruh rakyat Indonesia dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya. Jadi: kekuasaan gotong-royong… yang menjamin terkonsentrasikannya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat… dengan kaum buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya. Argumentasi bagi garis Manipol ini bahkan sudah diberikan Bung Karno tujuhbelas tahun yang lalu dalam pidato yang saya tak jemu-jemu menyebutkannya, yaitu “Lahirnja Pantja Sila,” yang antara lain berbunyi:

“Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong.’ Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!”

Demikianlah Bung Karno merumuskan cita-citanya. Tidaklah perlu saya berikan redenasinya, tentulah Sosialisme Indonesia di lapangan politik sedikitnya harus menjalankan asas Sukarno tentang kenegaraan ini.

Bagaimana Sosialisme Indonesia di lapangan kebudayaan? Ketika pemuda-pemuda revolusioner yang bekerja ilegal di jaman Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia mendatangi Sutan Sjahrir di hari-hari Agustus 1945, Sjahrir mengatakan bahwa Indonesia “belum matang” buat merdeka, bahwa “paling sedikit dibutuhkan lima tahun sampai rakyat Indonesia bisa merdeka.” Melihat keadaan yang belum baik sekarang ini, mungkin ada orang yang akan berkata, “Kalau begitu Sjahrir betul juga – sudah enambelas tahun lebih kita merdeka, kita belum bisa membereskan ekonomi dan soal-soal lain.” Pikiran begini adalah pikiran berbahaya sekali! Sebelum kita bicarakan ekonomi beres atau tidak beres, pertamatama dan di atas segala-galanya harus kita persoalkan: kalau Proklamasi 17 Agustus 1945 ditunda apakah sekarang ini akan ada Republik Indonesia! Saya tak tahu apa akan jadinya Indonesia ini dalam hal begitu, tetapi kalaupun tidak Jepang atau Belanda menjajah kita kembali, maka imperialis-imperialis lain seperti Inggris, Amerika, Pernacis, Belgia, Portugal dan Jerman Barat, kalau tidak salah satu dari mereka menjajah kita, semuanya menjajah kita bersama-sama. Sehingga, Indonesia ini merupakan suatu polikoloni, menjadi ajang penjajahan kolektif oleh kaum imperialis, mungkin langsung, mungkin pula dengan bendera PBB seperti halnya di Korea Selatan atau Kongo sekarang. Bung Karno, dalam pidatonya–ijinkanlah saya mengutipnya lagi–”Lahirnja Pantja Sila” berkata:

“Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet Rusia Merdeka, telah mempunyai Dnieprpetrovsk, dam yang mahabesar di sungai Dniepr? Apa ia telah mempunyai rediostasion, yang menyundul angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat. Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radiostasion, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche, baru mengadakan Dnieprpetrovsk! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka… apakah saudara-saudara (sekarang) akan menolak serta berkata: “Mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka..?” “Di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghiilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya.”

Demikianlah Bung Karno tujuhbelas tahun yang lalu. Sekarang, sudah ada plan buat memberantas butahuruf sampai tahun 1964, dan Manipol pun mengatakan bahwa

“kita bergerak tidak karena ‘ideal’ saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingkin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni dan kultur - pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya.”

Dan saya kira Presiden Sukarno tidak salah, bila beliau berkata kemudian dalam Manipol itu pula bahwa “perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen, bilamana masyarakat sudah tidak ada lagi kapitalisme dan imperialisme,” jadi, bilamana sudah terselenggara masyarakat sosialis.

Demikianlah “sosialisme” yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia” itu tidak mungkin berarti diingkarinya ciri-ciri umum sosialisme, seperti penghapusan pengisapan oleh manusia atas manusia, perbaikan nasib… 100% dsb. Mengingkari sifat-sifat khusus Sosialisme Indonesia berarti bahwa ia bukan sesuatu yang bersifat Indonesia; mengingkari sifat-sifat umum Sosialisme Indonesia berarti, bahwa ia bukan sosialisme sama sekali. Kekhususannya harus diintroduksikan, tetapi keumuannya harus dipertahankan. Beginilah dan hanya beginilah kita bisa berbicara tentang Sosialisme Indonesia.

Apakah sosialisme sebagai perspektif Revolusi Indonesia itu terjamin akan tercapai? Ketua CC PKI dan Ketua Dewan Kurator UNRA, Bung Aidit, menerangkan bahwa perspektif Revolusi Indonesia tak mungkin lain daripada sosialisme, “karena Revolusi Indonesia pada tingkat sekarang adalah ditandai oleh kebangunan sosialisme dunia dan kehancuran kapitalisme dunia.” Ini dinyatakan Bung Aidit dalam bukunya Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia, yang oleh ahli sejarah dan Kepala Arsip Negara, Drs. Moh. Ali dinamakan suatu buku sejarah modern Indonesia “yang tegas.” Tentang jaminan akan tercapainya perspektif revolusi itu, Bung Aidit dalam bukunya tersebut menunjukkan, bahwa benar revolusi nasional-demokratis akan menyingkirkan perintangperintang bagi perkembangan kapitalisme, benar kapitalisme nasional sampai batas-batas tertentu akan berkembang, tetapi ini hanya satu segi dari masalahnya, sedang segi lainnya adalah bahwa akan ada juga

“perkembangan faktor-faktor sosialis seperti pengaruh politik proletariat yang makin lama makin diakui kaum tani, intelegensia dan elemen-elemen burjuasi kecil lainnya; perusahaanperusahaan negara dan koperasi-koperasi kaum tani, kaum kerajinan tangan, nelayan dan koperasi-koperasi rakyat pekerja lainnya. Semua ini adalah faktor-faktor sosialis yang menjadi jaminan bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme dan bukan kapitalisme.”

Bagaimana sekarang menyelenggarakan sebaik-baiknya Sosialisme Indonesia itu? Dalam “Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berentjana,” yang berarti juga “Djarek” dan “Membangun Dunia Kembali” oleh MPRS telah disahkan sebagai pedoman pelaksanaan Manipol, Presiden Sukarno dengan keras mengritik di satu pihak golongan “evolusionis,” karena “teori yang demikian itu adalah salah,” dan pihak lain golongan “melompat” atau “fasensprong,” karena “teori yang demikian itu pun tidak benar.” Saya menyokong kritik terhadap di satu pihak “evolusionisme” dan di pihak lain “fasensprong” ini, karena yang pertama akan berarti penyelewengan ke kanan, oportunisme kanan atau reformisme, sedang yang kedua akan berarti penyelewengan ke kiri, oportunisme kiri atau radikalisme. Baik yang pertama maupun yang kedua akan membikin perjuangan mandek di jalan, sosialisme tidak tercapai dan revolusi gagal.

“Evolusionisme” berarti tidak mengganti sarana-sarana lama dengan sarana-sarana baru, berarti tidak menjebol kekuasaan lama dan mendirikan yang baru, berarti sumonggo dawuh dan monggo kerso serta sendiko dalem alias menyerah-isme. Perjuangan harus revolusioner, dan tidak evolusioner, tidak reformis.

“Fasensprong” berarti melompati apa yang tidak boleh dilompati, yaitu fase revolusi nasional-demokratis, berarti memimpikan yang tidak-tidak, berarti antirealis, alias avonturisme. Perjuangan harus obyektif dan tidak subyektif, tidak acak-acakan atau awur-awuran.

Kita sekarang berada dalam fase revolusi nasional dan demokratis, artinya, revolusi melawan imperialisme dan melawan feodalisme. Fase revolusi ini tidak boleh kita takuti, dia harus kita tempuh.

Perincian “Djarek” menegaskan:

“Jelaslah, ada dua tujuan dan dua tahap Revolusi Indonesia: Pertama, tahap mencapai Indonesia yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme–dan yang demokratis–bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus diselesaikan… Kedua, tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari exploitation de l’homme par l’homme. Tahap ini hanya bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan seluruhnya.”

Bisakah dipikirkan perumusan yang lebih gamblang daripada ini? Baiklah saya bahas tahap pertama, yang di satu pihak tak boleh ditakuti dan di pihak lain tak boleh dilompati itu. Mengapa sasaran revolusi kita sekarang imperialisme dan feodalisme? Ini mudah dipahami jika orang suka mengingat bahwa 20% dari wilayah tercinta kita, yaitu Irian Barat, masih diduduki kaum imperialis. Juga jika diingat bahwa sebagian penting dari perekonomian kita, terutama minyak, masih dikuasai oleh kapital imperialis BPMShell, Stanvac dan Caltex. Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagi di Indonesia, tentulah Manipol tidak mengancam “semua modal Belanda, termasuk yang berada dalam perusahaan-perusahaan campuran, akan habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia.” Andaikata kapital imperialis sudah tidak ada lagi di Indonesia, tentulah Manipol tidak mengancam modal monopoli asing yang bukan Belanda akan diperlakukan “sama dengan modal yang asalnya dari negeri Belanda,” artinya juga dibikin “habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia.”

Antievolusionisme berarti harus melaksanakan ketentuan Manipol ini. Jika sebaliknya, jika ketentuan-ketentuan Manipol ini tidak dijalankan dan jika kita tidak membikin habis tamat riwayatnya kapital imperialisme asing di bumi Indonesia, maka kita sesungguhnya–sadar ataupun tak sadar–menjalankan evolusionisme, menjalankan reformisme atau oportunisme kanan, kita sesungguhnya menjadi takut kepada kemenangan revolusi!

Demikian yang mengenai imperialisme. Yang mengenai feodalisme pun demikian pula. Andaikata feodalisme sudah habis, tentulah tidak ada perlunya dibikin Undang-undang Bagi Hasil dan Undang-undang Pokok Agraria atau Undang-undang Landreform. Ya, andaikata feodalisme sudah habis, tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi,” tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia,” dan tentulah “Djarek” tidak menegaskan bahwa “tanah tidak boleh menjadi alat pengisapan.” “Djarek” tidak hanya berhenti di sini. Seakan-akan khawatir kalau politik landreformnya tidak akan dituruti oleh golongan-golongan tertentu, maka Presiden Sukarno dalam “Djarek” itu juga menegaskan:

“Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan landreform, adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen”!

Jelaslah, bahwa antirevolusionisme harus berarti setuju dan melaksanakan landreform. Jika tidak setuju, dan tidak menjalankan landreform, maka disadari atau tidak orang sudah menjalani evolusionisme, reformisme atau oportunisme kanan, orang sudah takut kepada kemenangan revolusi.

Pendeknya kita harus awas-awas terhadap orang-orang yang “revolusi yes, landreform no” atau “revolusi okay, menghabisi riwayat kapitalis imperialis tunggu dulu.” Di Sumatera Utara agak sering terjadi orang-orang berangkat ke luar negeri, pulang memakai jubah dan kupiah haji, padahal dia tidak ke Mekkah, cuma ke Singapura… inilah yang di Medan disebut “lebai Singapura”– mereka lebai-lebai palsu. Begitulah tidak semua orang yang menyebut dirinya “revolusioner” adalah sesungguhnya revolusioner–ada juga revolusioner palsu, ada revolusioner gadungan!

Saya sudah menguraikan perkara “evolusionisme” di dalam praktek. Bagaimana “fasensprong” di dalam praktek?

Fasensprong tidak mau tahu akan revolusi nasional dan demokratis. Fasensprong mau langsung ke sosialisme, sekalipun syarat-syarat untuknya belum tersedia. Fasensprong mengobrak-abrik pengusahapengusaha nasional dan pengusaha-pengusaha kecil, tetapi membiarkan pengusaha-pengusaha imperialis seperti BPM-Shell, Stanvac, Caltex dan Unilever. Mereka lebih hebat daripada “sosialisme dengan kemiskinan” – mereka mau “sosialisme dengan imperialisme”!

Terhadap masalah tanah, fasensprong tak mau ambil perduli terhadap perlunya pemilikan perseorangan oleh kaum tani atas tanah: mereka mau langsung “pengkoperasian pertanian” atau yang tak kalah seringnya, mereka mau “menasionalisasi tanah-tanah.”

Jelaslah, bahwa fasensprong sebetulnya tak lain daripada sabotase terhadap revolusi.

Bagaimana hubungannya antara tingkat revolusi yang pertama dengan tingkat yang kedua? Bung Aidit dalam karyanya Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia menulis bahwa

“Dua tingkat revolusi, yang demokratis dan yang sosialis (adalah) dua proses revolusioner yang berbeda dalam watak, tetapi yang satu dengan yang lainnya berhubungan. Tingkat pertama ialah persiapan yang diperlukan untuk tingkat kedua, dan tingkat kedua tidak mungkin sebelum tingkat pertama selesai.”

Menyelesaikan “tingkat pertama” bukan hanya berarti menyelesaikan tugas-tugas ekonominya yang pokok-pokok, terutama terhadap kapital imperialis dan monopoli tuan tanah atas tanah. Menyelesaikan “tingkat pertama” harus berarti juga dikerjakannya hal-hal yang mendesak sekali seperti mempraktekkan dan bukan hanya menyerukan semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.” Jika penghasilan negara terutama didapat dari pajak-pajak, langsung maupun tak langsung, jika pajak-pajak yang sudah ada dinaikkan dan pajak-pajak baru diadakan, dan jika tarif-tarif transpor, telekomunikasi dsb. dinaikan, juga jika harga minyak, gula, dan lain-lainnya dinaikkan, dan jika sebaliknya perusahaan-perusahaan negara tidak memberikan sumbangan yang sepertinya kepada kas negara, apalagi jika karena belum diberantasnya yang dikatakan Presiden Sukarno dalam Manipol “syaitan korupsi” dan “syaitan garuk kekayaan hantam kromo” maka semua ini menandakan semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” baru semboyan yang diserukan dan belum semboyan yang dipraktekkan.

Ketika memasuki tahun ke-2 Manipol, Presiden Sukarno berkata: “Kita harus dengan lebih tegap melangkah untuk secara konsekuen melaksanakan Manipol dan dalam tahun ke-2 Manipol Usdek ini kita harus sungguh-sungguh aanpakken soal retooling ini benarbenar.” Kita sekarang sudah berada di tahun ke-3 Manipol, tahun batas bagi pelaksaan triprogram kabinet, bagi kabinet sendiri, bagi keadaan bahaya juga. Jika dalam tahun ke-2 Presiden Sukarno sudah begitu menekankan mutlaknya melaksanakan secara konsekuen Manipol dan “aanpakken soal retooling benar-benar,” apalagi sekarang di tahun ke-3 Manipol ini!

Beberapa patah kata tentang Pancasila. Harus jelas bagi siapa pun, bahwa Pancasila itu sesuatu keutuhan integral yang tidak boleh direnggut-renggut satu-satu silanya dari sila-sila lainnya, dan bahwa Pancasila itu alat pemersatu. Jika Pancasila direnggut-renggut, maka bisa nanti atas nama “Kebangsaan” misalnya orang menentang “Ketuhanan Yang Mahaesa” atau “Kemerdekaan Beragama” misalnya orang menentang “Kedaulatan Rakyat” atau “Demokrasi.” Sosialisme di mana pun di dunia menjamin kemerdekaan beragama. Sosialisme Indonesia tak terkecuali. Sdr. KDH Sudjarwo dengan tepat menganjurkan “Pancasila secara ilmiah setaraf dengan interpretasi penciptanya,” yaitu Bung Karno. Memang kalau kita bertolak dari “Lahirnja Pantja Sila,” pidato 1 Juni 1945 Bung Karno yang sudah banyak saya kutip itu, dalam mebicarakan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” Bung Karno menekankan “hormat-menghormati satu sama lain,” “yang berkeadaban,” “yang berkebudayaan,” “yang tidak onverdraagzaam,” dan dengan tegas beliau kemudian berkata: “Segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya.” UUD’45 dalam pasal 29 yang mengenai “Ketuhanan Yang Mahaesa” menegaskan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.” Dalam “Djarek” Presiden Sukarno menggasak “hantu kebencian” dan membela “toleransi politik.” Dan dalam “Membangun Dunia Kembali” atau pidato PBB-nya yang terkenal itu, Presiden Sukarno menerangkan bahwa sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” dalam Pancasila berarti “hak untuk percaya,” bukan kewajiban untuk percaya kepada Tuhan, dan berkatalah Presiden: “Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama.” Kemudian Presiden menunjukkan bahwa “bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun” diliputi oleh “toleransi.” Pernyataan Presiden ini tepat sekali, karena sesungguhnya “yang tidak menganut sesuatu agama” atau “yang tidak percaya kepada Tuhan pun” adalah bangsa Indonesia–mereka rakyat Indonesia. Dan tentulah kita semua belum lupa pada canang yang dipukul Presiden dalam “Resopim,” bahwa Pancasila adalah alat pemersatu, bahwa Pancasila tidak boleh dijadikan alat pemecah-belah, dan bahwa barang siapa menjadikan Pancasila alat pemecah-belah, sesungguhnya dia itu–dalam istilah Presiden Sukarno sendiri– ”sinting.”

Sampailah saya sekarang pada alat yang terpenting, yang terbaik, dan yang satu-satunya untuk menyelenggarakan Sosialisme Indonesia melalui penyelesaian fase pertama, fase revolusi nasionaldemokratis, yaitu persatuan nasional. Persatuan nasional ini dengan Nasakom sebagai porosnya, bukan hanya sesuatu yang sudah resmi dan maka itu harus dituruti mutlak oleh setiap warganegara dari golongan politik maupun karya, sipil maupun militer, tetapi dia pun syarat yang tak boleh tidak jika kita mau menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi ’45 dengan perbuatan dan tidak dengan lipservice atau lamis-lamis bibir saja. Presiden Sukarno mengatakan dalam “Resopim” bahwa menolak Nasakom berarti bertentangan dengan UUD’45, dan dalam “Djarek” beliau berpesan, “Bangsa kita harus menggembleng dan menggempurkan persatuan dari segala kekuatan-kekuatan revolusioner, – menggembleng dan menggempurkan de samenbundeling van alle revolutionaire krachten in de natie.”

Demikianlah secara pokok-pokok Sosialisme Indonesia–ilmu dan amalnya: ilmu dan amal pengakhiran pengisapan oleh manusia atas manusia. Saya anjurkan kepada para siswa UNRA dan para peminat lainnya yang mau memperdalam soalnya–supaya mempelajari buku Bung Aidit, Sosialisme Indonesia dan Syarat-syarat Pelaksanaannya.

Penegasan saya sebagai kesimpulan: Tanpa persatuan nasional dengan kaum buruh dan tani sebagai kekuatan pokoknya dan Nasakom sebagai porosnya, takkan ada pelaksanaan Manipol secara konsekuen, sedang tanpa pelaksanaan Manipol secara konsekuen, takkan ada Sosialisme Indonesia.