Dekon Dalam Bahaya, Selamatkan Dekon

Pokok-pokok ceramah di hadapan Musyawarah Besar Keuangan dan Ekonomi Veteran Seluruh Indonesia di Taman Ciboyo, Bogor, tanggal 6 Juni 1963

D.N. Aidit (1963)


Sumber: Dekon Dalam Ujian. Yayasan "Pembaruan", Jakarta, 1963. Scan PDF Brosur "Dekon Dalam Ujian"


Pertama-tama ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pimpinan Musyawarah Besar Keuangan dan Ekonomi Veteran Seluruh Indonesia yang telah mengundang saya untuk memberikan ceramah tentang Deklarasi Ekonomi. Saya menyambut kesempatan ini, kesempatan untuk mengemukakan pikiran-pikiran serta pendapat-pendapat kami, kaum Komunis Indonesia, mengenai soal-soal hangat di negeri kita. Kenyataan ini sekali lagi membutktikan betapa sudah mendalamnya pengertian masyarakat terhadap kedudukan partai-partai politik sehingga main seringlah musyawarah-musyawarah, seminar-seminar atau pun diskusi-diskusi besar, baik yang resmi maupun yang tidak, yang mengajak partai-partai NASAKOM untuk menguraikan pendapat-pendapat mereka.

Dari kenyataan ini, saya mendapat kesan betapa sudah dirasakan, bahwa suatu musyawarah, seminar, atau diskusi besar belum lengkap dan belum memuaskan kalau Nasakom belum diikutsertakan dan didengar. Ini merupakan perwujudan yang nyata dari pada perasaan kegotongroyongan nasional kita.

            Mungkin, akan da yang mengira bahwa dalam menghadapi permintaan-permintaan yang begitu banyak untuk mengadakan ceramah, saya hanya tinggal mengulangi apa yang pernah saya katakan dalam ceramah-ceramah sebelumnya. Tidaklah demikian, Saudara-saudara. Perkembangan keadaan di negeri kita berjalan begitu cepatnya sehingga setiap waktu, biarpun hanya selisih satu minggu, tentu ada soal-soal baru yang harus dibahas atau pendapat-pendapat baru yang kurang tepat yang harus dilempangkan. Saya benar-benar merasakan, bahwa setiap kali menghadapi tugas memberi ceramah, tentu persoalan yang diminta kepada saya untuk dibahas harus ditinjau dari segi-segi yang baru, berdasarkan perkembangan-perkembangan baru. Jadi, bagi saya sendiri, di samping harus bekerja keras, ini juga merupakan kesempatan yang baik untuk terus-menerus mengajukan sikap tentang hal-hal yang baru timbul. Maka dari itu, saya benar-benar merasa berterima kasih pada setiap kesempatan yang sedemikian ini.

PERSOALAN POLITIK BERESKAN DULU!

            Saudara-saudara sedang melangsungkan suatu Musyawarah Besar Keuangan dan Ekonomi. Memang, sudah sewajarnyalah kalau kaum veteran, seperti halnya golongan-golongan Rakyat lainnya, mencurahkan perhatiannya secara intensif kepada persoalan keuangan dan ekonomi.

Persoalan keuangan dan ekonomi adalah persoalan pokok yang dihadapi oleh Rakyat Indonesia pada saat ini. Kalau saya katakan bahwa persoalan ekonomi merupakan persoalan pokok, ini tidak berarti bahwa persoalan politik menjadi tidak pokok. Justru dengan menganggap persoalan ekonomi sebagai persoalan pokok, kita akan senantiasa berhadapan dengan persoalan politik, baik politik dalam mau pun luar negeri. Jadi, persoalan ekonomi membikin kita berhadapan secara langsung dan secara mendesak dengan persoalan politk dalam arti bahwa soal-soal ekonomi hanya akan bisa diatasi jika soal politik dibereskan lebih dulu. Bangunan politik harus sesuai dengan susunan ekonomi yang mau kita dirikan. Setiap diskusi tentang persoalan-persoalan ekonomi harus berdasarkan sikap ini.

Saya ingin memberikan suatu contoh. Kaum imperialis Amerika Serikat melalui pers mereka sering melancarkan tuduhan-tuduhan ke alamat Presiden Sukarno dengan mengatakan bahwa beliau sengaja mengobar-ngobarkan perasaan anti-imperialisme, anti-kolonialisme, anti-neokolonialisme Malaysia, dan sebagainya dengan maksud untuk menutupi kesulitan-kesulitan ekonomi di dalam negeri, artinya dengan maksud untuk membelokkan perhatian Rakyat dari kesulitan-kesulitan di dalam negeri. Dengan demikian, Presiden Sukarno “mengurangi oposisi”, demikian katanya. Ini adalah suatu pemutarbalikkan yang sangat kasar. Sikap anti-imperialisme, anti-kolonialisme, anti-neokolonialisme merupakan syarat-syarat mutlak jika kita ingin mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dalam negeri dan ingin membangun ekonomi yang bersih dari imperialisme. Selama kita tetap berpegang teguh pada sikap-sikap ini, maka ada jaminan bahwa kesulitan-kesulitan ekonomi dalam negeri akan teratasi dengan cara yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan Rakyat dan dalam semangat patriotisme yang setinggi-tingginya. Tetapi begitu ada keragu-raguan dalam sikap anti-imperialis, apalagi menghentikan sikap yang demikian untuk mulai main mata dengan imperialis atau mulai memberi konsesi-konsesi kepada mereka, maka pada saat itu timbullah bahaya bahwa kesulitan-kesulitan ekonomi takkan dapat diatasi, atau dapat “diatasi” menurut cara imperialis, yaitu membuka selebar-lebarnya pintu penetrasi ekonomi oleh kaum imperialis.

Memang, tuduhan-tuduhan kaum imperialis yang sedemikian itu mempunyai maksud yang jelas, yaitu untuk membelokkan perhatian kita dari persoalan melawan imperialisme, supaya kita tidak melawan dan menyerah kepada imperialisme dan dengan demikian kaum imperialis bisa memenangkan konsepsi-konsepsinya di bidang ekonomi. Oleh karena itu, semakin memuncak kesulitan-kesulitan ekonomi, maka sikap anti-imperialis kita harus menjadi semakin tajam. Kita harus waspada terhadap mereka yang menginginkan sebaliknya.

DEKON MELIPUTI 3 SOAL POKOK

            Saudara-saudara telah meminta kepada saya untuk berbicara mengenai Dekon, yaitu dokumen bersejarah yang diumumkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 28 Maret yang lalu dan yang oleh Sidang Umum MPRS yang II dalam bulan Mei yang baru lalu, telah ditetapkan sebagai pedoman pelaksanaannya garis-garis besar haluan pembangunan di bidang ekonomi. Dekon adalah senjata penting di samping Manipol dalam perjuangan Rakyat Indonesia untuk menyelesaikan tahap pertama dari pada revolusinya. Dekon juga merupakan senjata penting bagi perjuangan Rakyat Indonesia untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang makin hari makin memuncak.

Dekon meliputi tiga soal pokok yang sangat penting. Pertama, Dekon menetapkan strategi dasar ekonomi Indonesia pada tahap revolusi sekarang ini, yaitu tahap revolusi nasional dan demokratis di mana yang menjadi tugas pokoknya ialah membersihkan atau mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Kedua, Dekon menggariskan kebijaksanaan jangka pendek yang harus segera dilaksanakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini. Ketiga, Dekon menetapkan syarat-syarat politik yang mutlak perlu bagi pelaksanaan Dekon itu sendiri, yaitu tercapainya kegotoroyongan nasional berporoskan Nasakom melalui pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat yang terorganisasi baik dalam bidang administratif maupun eksekutif, atau dengan kata-kata lain pembentukan Pemerintah Gotong Royong berporoskan Nasakom.

Tiga pokok ini membikin Dekon menjadi sebuah program yang dalam dasar-dasarnya boleh dikatakan membahas persoalan ekonomi dalam keseluruhannya. Strategi dasar dan kebijaksanaan jangka pendek merupakan satu-kesatuan yang tak terpisah-pisahkan. Strategi dasar hanya bisa dilaksanakan melalui pelaksanaan kebijaksanaan jangka pendek. Pelaksanaan kebijaksanaan jangka pendek harus sepenuhnya didasarkan pada pinrip-prinsip anti-imperialisme dan anti-feodalisme sesuai dengan strategi dasar ekonomi. Sedangkan, syarat mutlak untuk menjamin supaya strategi dasar dan kebijaksanaan jangka pendek dapat dilaksanakan benar-benar sebagai satu-kesatuan adalah pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat yang terorganisasi di bidang administratif dan eksekutif.

RESOLUSI MPRS WAJIB DILAKSANAKAN

            Di samping Dekon kita sekarang juga sudah mempunyai dokumen penting lain, yaitu Resolusi MPRS No. I/1963 yang menetapkan berbagai prinsip tentang pelaksanaan pembangungan di setiap lapangan. Resolusi MPRS ini sangat penting karena ia disusun oleh lembaga negara yang tertinggi di mana diwakili segenap lapisan Rakyat yang mencerminkan kegotongroyongan nasional. Resolusi MPRS adalah sangat penting karena ia disusun berdasarkan pembahasan yang benar-benar menyeluruh dari pada berbagai dokumen penting yang merumuskan pengalaman-pengalaman pembangunan, yaitu (1) amanat Presiden Sukarno “Ambeg Parama-Arta” tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No. I dan II, tahun 1960; (2) kesimpulan Sidang Pimpinan MPRS tentang perkembangan pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana; (3) memorandum Pimpinan MPRS tanggal 5 Januari 1963 tentang prioritas-prioritas pembangunan; dan (4) intisari hasil karya panitia-panitia MPRS Daswati I. Jadi, Resolusi MPRS itu didasarkan pada bahan-bahan yang lengkap tentang pengalaman sehingga dapat melempangkan kesalahan-kesalahan yang telah timbul dalam pelaksanaan Pola Pembangunan dan dapat juga menekankan prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh dalam menghadapi berbagai soal pada saat ini. Resolusi MPRS itu perlu sekali dipelajari dengan sebaik-baiknya dalam hubungan dengan pelaksanaan Dekon.

Saya menekankan pentingnya Resolusi MPRS ini sebab nyatanya ada pikiran pada sementara orang bahwa Resolusi MPRS bisa dianggap sepi, diremehkan, tidak dijalankan atau malahan dilanggar. Sikap atau perbuatan yang demikian adalah sama sekali bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, di mana dinyatakan bahwa: “Kedaulatan adalah di tangan Rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, (Pasal 1, ayat 2), dan juga bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara” (pasal 3). Selama belum ada MPR, MPRS ditetapkan sepenuhnya menjalankan kedaulatan Rakyat dan oleh karena itu Rakyat harus berjuang supaya Ketetapan-Ketetapan serta Resolusi MPRS benar-benar dijalankan. Tugas ini sepenuhnya sejalan dengan tugas memperjuangkan pelaksanaan sungguh-sungguh dari pada Dekon itu sendiri.

Memang sudah menjadi kenyataan di negeri kita, bahwa belum cukup memperjuangkan supaya politik-politik yang baik diterima sebagai politik resmi. Setelah politik-politik yang baik itu diterima maka harus pula dilakukan perjuangan sengit supaya dilaksanakan.

SEKTOR KOPERASI DAN SWASTA HARUS ANTI-IMPERIALIS DAN ANTI-FEODAL

Musyawarah yang sedang diadakan oleh Saudara-saudara ini tentu dimaksudkan bukan hanya untuk meninjau secara umum keadaan ekonomi dan keuangan, tetapi di samping itu juga berusaha agar kaum veteran sendiri bisa memegang peranan, bisa mendapat tempat yang wajar, bisa mencurahkan “funds and forces”-nya dalam pekerjaan besar yang dihadapi oleh Rakyat Indonesia pada waktu ini. Kaum Komunis Indonesia menyambut dengan hangat usaha-usaha yang demikian karena kita memang sangat menginginkan supaya segenap “funds and forces” nasional dan domestik dihimpun dan dikerahkan. Dalam Dekon ditegaskan, bahwa “Dalam perjuangan untuk menyelesaikan tahap nasional dan demokratis ini, maka sudah tibalah waktunya untuk mengerahkan segenap potensi, baik potensi Pemerintah mau pun potensi koperasi dan swasta (nasional dan domestik) dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan untuk meningkatkan produksi dan menambahkan penghasilan Negara”. (Deklarasi Ekonomi pasal 5).

Ada pihak yang sengaja ingin menimbulkan kesan seakan-akan kaum Komunis memusuhi swasta, dan seakan-akan kaum Komunis hanya menyetujui adanya ekonomi sektor negara dan koperasi. Fitnahan demikian memang dimaksudkan untuk memecah belah potensi nasional kita supaya kemudian masing-masing potensi bisa dikuasai oleh kaum imperialis. Menurut PKI, seperti halnya di bidang politik dibutuhkan penghimpunan segenanp potensi nasional yang anti-imperialis dan anti-feodal yang diwujudkan dalam bentuk kegotongroyongan nasional berporoskan NASAKOM, demikian pula segenap potensi nasional di bidang ekonomi yang anti-imperialis dan anti-feodal harus dihimpun. Tugas untuk menghimpun potensi di bidang politik dan di bidang ekonomi ini, harus kita kerjakan sekaligus demi menyelesaikan tahap revolusi sekarang ini di mana seperti dikatakan dalam Dekon: “kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme”. (Dekon pasa 3).

Sikap PKI ini bukanlah sikap baru yang cepat-cepat ditetapkan untuk menyesuaikan diri dengan alam Manipol atau alam Dekon. sikap ini adalah sikap sejak lama, seperti dapat Saudara-saudara lihat sendiri di dalam Program Umum PKI yang disahkan oleh Kongres Nasional V yang diadakan dalam tahun 1954 dan yang kemudian diperkuat lagi oleh Kongres Nasional VI (1959) dengan kalimat sebagai berikut:

Ekonomi Indonesia, di samping mengutamakan ekonomi sektor negara yang memimpin, tidak seharusnya menentang industri dan perdagangan yang diselenggarakan oleh kaum kapitalis nasional, melainkan harus dengan konsekuen menentang ekonomi kaum imperialis dan feodal. ... Proteksi dan fasilitas harus diberikan kepada kapitalis-kapitalis nasional, terutama industrialis-industrialis nasional, untuk berkembang dalam batas-batas yang tidak dapat menguasai kehidupan Rakyat dan negara, dan disamping itu ekonomi individual Rakyat pekerja harus dibantu”.

Tetapi tidaklah cukup jika kita hanya menekankan perlunya ada tiga potensi (ekonomi sektor negara, koperasi, dan swasta). Harus pula diingat perspektif Revolusi Indonesia, yaitu Sosialisme Indonesia. Adanya Sosialisme sebagai perspektif mempunyai konsekuensi yang sangat penting bagi potensi-potensi swasta dan koperasi. Adanya Sosialisme sebagai perspektif revolusi berarti bahwa potensi swasta tidak boleh berkembang sedemikian rupa sehingga dapat menguasai kehidupan Rakyat dan negara, karena jika ini terjadi maka perspektif revolusi akan berubah menjadi kapitalisme. Sekotr swasta tidak boleh berkembang secara “liberal”, secara sesuka-sukanya. Demikian pula, tidak boleh dibiarkan sektor koperasi menjadi tempat berkembangnya kapitalis-kapitalis baru dan untuk mematikan produsen-produsen yang lebih lemah. Sektor koperasi justru harus menghambat proses diferensiasi antara produsen-produsen kecil supaya dapat membawa mereka langsung menuju ke koperasi-koperasi Sosialis setelah tahap pertama Revolusi kita selesai.

Sektor swasta dan sektor koperasi memegang peranan penting dalam membangun ekonomi nasional dan demokratis justru karena mereka aktif ikut serta dalam melawan imperialisme dan feodalisme. Tidak hanya itu. Sektor-sektor koperasi dan swasta yang nasional dan progresif tidak mungkin berkembang kalau mereka tidak konsekuen anti-imperialis dan anti-feodal. Maka dari itu, susunan ekonomi nasional dan demokratis membutuhkan sektor koperasi dan swasta, sebagaimana halnya sektor koperasi dan swasta membutuhkan susunan ekonomi yang nasional dan demokratis.

SEKTOR NEGARA HARUS MEMEGANG PIMPINAN

Diterimanya Sosialisme sebagai perspektif Revolusi Indonesia, seperti yang tercantum dalam Manipol, mempunyai konsekuensi yang sangat penting bagi ekonomi sektor negara sendiri. Dengan Sosialisme sebagai perspektif, maka berarti bahwa ekonomi sektor negara harus diperkembangkan sehingga di kemudian hari menjadi unsur Sosialis yang terpenting dalam ekonomi Indonesia. Sektor negara harus memegang pimpinan bukan hanya dalam politik harga atau mengurus soal-soal ekonomi dalam arti yang sempit, melainkan juga dalam menjalankan politik anti-imperialis dan anti-feodal. Dengan Sosialisme sebagai perspektif, unsur ekonomi yang sudah termasuk sektor negara tidak boleh diswastakan atau “diliberalkan”. Liberalisasi dari pada PTT, DKA, dan lain-lain, dengan menjadikannya PN, artinya dengan sangat melonggarkan kontrol Pemerintah dan Parlemen terhadap perusahaan-perusahaan tersebut, adalah bertentangan dengan penerimaan Sosialisme sebagai perspektif Revolusi Indonesia. Di samping itu, sudah tentu PN dan PDN tidak boleh dijadikan sarang-sarang bagi perkembangan kapitalis-kapitalis birokrat yang memperkaya diri dengan kekayaan negara, dan melalui kedudukan-kedudukannya sendiri atau pun kedudukan-kedudukan konco-konconya dalam aparatur negara akhirnya berhasil menguasai bidang-bidang ekonomi tertentu. Sektor ekonomi negara, atau kongkretnya perusahaan-perusahaan negara, tidak boleh diserahkan kepada kapitalis-kapitalis birokrat untuk dijalankan sesuka hatinya. Perusahaan-perusahaan negara adalah milik negara, dan dengan demikian berarti milik seluruh Rakyat, PN-PN itu harus dijalankan oleh negara dengan mempergunakan tenaga-tenaga yang benar-benar ahli, cakap, jujur, sungguh-sungguh, dan patriotik, yang berjiwa Manipol, yang bersedia dan mampu menjalankan Dekon secara konsekuen.

SEKTOR SWASTA STABIL DAN TERPERCAYA DI BIDANG PRODUKSI

Bagi mereka yang ingin ikut melaksanakan Dekon dengan menyediakan diri baik sebagai potensi swasta mau pun koperasi, tentu satu hal yang masih sangat perlu ditegaskan ialah mengenai bidang-bidang ekonomi yang mana yang terbuka dan yang paling baik bagi potensi-potensi itu. Perlu diingat bahwa salah satu sebab terpenting mengapa sektor perusahaan swasta masih begitu lemah di negeri kita ialah oleh karena menurut perbandingan masih terlalu banyak yang bergerak di bidang perdagangan, dan masih terlalu kurang yang bergerak di bidang industri. Kenyataan ini membikin sektor swasta lemah bukan hanya secara ekonomi karena selalu bisa diombang-ambingkan oleh fluktuasi-fluktuasi di bidang ekspor dan impor, tetapi juga secara politis, yaitu sikap anti-imperialisnya dan anti-feodalisme yang tidak teguh.

Lagipula, harus kita ingat bahwa baik dalam Ketetapan MPRS No. II/1960 mau pun dalam Dekon ditegaskan bahwa sektor ekspor dan impor harus dikuasai dan/atau diselenggarakan seluruhnya oleh negara sehingga dengan sendirinya, akhirnya tidak akan ada tempat di situ bagi usaha swasta. Sedangkan di bidang distribusi (perdagangan eceran) yang harus diberi prioritas menurut Resolusi MPRS No. I/tahun 1963 (pasal 9), ayat 1) ialah koperasi.

Jadi, ditinjau dari segala segi, segi ekonomi maupun segi politik, adalah jelas kiranya bahwa sektor swasta seharusnya mencurahkan perhatiannya kepada bidang produksi, khususnya sektor industri. Justru di sinilah diperlukan pengerahan funds and forces progresif sebanyak-banyaknya untuk memperkuat daya-produksi ekonomi kita dan justru di sinilah perusahaan-perusahaan swasta bisa mendapat kedudukan yang stabil dan terpercaya di dalam tata perekonomian negeri kita.

Persoalan ini tentu akan mendapat perhatian Saudara-saudara. Untuk mewujudkannya, saya berpendapat diperlukan dua hal, yaitu: Pertama, pengertian dari mereka yang ingin menyumbangkan funds and forces-nya. Dan kedua, langkah-langkah kongkret dari Pemerintah yang memungkinkan funds and forces itu disumbangkan sebanyak-banyaknya. Hal ini dapat dicapai jika Resolusi MPRS No. I/1963 dilaksanakan. Di situ ditegaskan bahwa: “Dalam mengerahkan modal dan tenaga swasta nasional dan domestik, harus diciptakan iklim yang menarik yang menjamin fasilitas dan keuntungan serta kepastian hukum yang mendorong investasi di bidang produksi”. (Resolusi MPRS No. I/1963, bab 10, ayat f). Kalau fasilitas ini tidak diberikan, maka tidaklah mungkin untuk menghimpung segenap funds and forces. Malahan yang sudah dihimpun akan atau sedang menjadi lesu dan akhirnya mati.

PERATURAN-PERATURAN EKONOMI 26 MEI 1963 BERTENTANGAN DENGAN DEKON

Ya, Saudara-saudara Resolusi MPRS adalah sangat jelas dalam hal ini dan juga dalam hal-hal lain. Tetapi kita menghadapi kenyataan bahwa bukan hanya Resolusi yang baik itu (yang notabene adalah keputusan lembaga negara kita yang tertinggi) tidak dilaksanakan, tetapi malahan sebaliknya, sudah diambil tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan Resolusi itu. Bagaimana bisa dikatakan bahwa peraturan-peraturan ekonomi tanggal 26 Mei 1963 “menciptakan iklim yang menari” dan “mendorong investasi di bidang produksi”, kalau akibatnya tak lain ialah kenaikan harga barang yang keterlaluan. Harga barang-barang yang harus dibeli oleh industrialis serta jasa-jasa yang mereka gunakan seperti listrik, pelajaran, kereta api, PTT sudah atau sedang meningkat dengna sangat sebagai akibat peraturan baru di bidang impor dan harga serta sebagai akibat kenaikan-kenaikan tarif. Akibatnya ialah bahwa pengusaha-pengusaha yang sudah cukup sulit mem-financiering berdasarkan peraturan-peraturan impor atau tarif-tarif yang lama menjadi semakin sulit. Di samping itu, barang-barang sandang pangan juga sedang meningkat dengan sangat sehingga dengan sendirinya kaum buruh memerlukan upah yang lebih besar untuk bisa hidup pada tingkat yang paling minimal. Kaum pengusaha sulit karena diancam bahaya gulung tikar. Kaum buruh sulit karena gaji yang sudah tidak cukup itu menjadi semakin tidak cukup, dan mereka diancam bahaya pengangguran. Seluruh ekonomi negeri mengalami kesulitan yang lebih besar, karena produksi yang sudah begitu macet akan menjadi semakin macet, dan kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi inflasi menjadi semakin jauh.

Musyawarah yang Saudara-saudara langsungkan pada saat ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk membahas Dekon bukan hanya sebagai dokumen resmi, tetapi juga dalam rangka perkembangan-perkembangan yang telah terjadi sejak Dekon itu diucapkan dua bulan yang lalu. Dalam waktu akhir-akhir ini kita banyak mendengar tentang “pelaksanaan Dekon” dengan keluarnya berbagai Peraturan Pemerintah yang katanya “untuk melaksanakan Dekon”. Tetapi kenyataannya, Dekon disambut hangat oleh Rkayat, sedangkan peraturan-peraturan pemerintah yang dikatakan “untuk melaksanakan Dekon” itu sama sekali tidak disambut, bahkan telah menimbulkan kekecewaan-kekecewaan dan kecaman-kecaman Rakyat. Rakyat yang sangat menunggu pelaksanaan Dekon yang baik itu mulai mengetahui bahwa apa yang dikatakan “untuk melaksanakan Dekon” adalah langsung bertentangan dengan Dekon.

Dengan demikian, di samping sekarang ada orang-orang yang Manipolis munafik atau Manipolis gadungan, sekarang juga sudah ada Dekonis-dekonis munafik atau Dekonis gadungan, yaitu orang-orang yang “ber-Dekon dalam kata-kata tetapi anti-Dekon dalam perbuatan”. Inilah satu-satunya kualifikasi yang paling tepat, yang harus diberikan kepada orang-orang yang menjadi konseptor-konseptor atau arsitek-arsitek peraturan-peraturan tanggal 26 Mei serta tukang-tukang menaikkan tarif yang keterlaluan itu.

Salah satu tugas kaum revolusioner yang sangat penting pada saat ini ialah meratakan pengertian tentang perbedaan Dekon dengan peraturan-peraturan 26 Mei 1963 yang dikatakan “untuk melaksanakan Dekon” itu. Ini sangat perlu, karena jika perbedaan ini tidak dimengerti, maka kemarahan Rakyat terhadap peraturan-peraturan tersebut bisa berkembang menjadi kemarahan terhadap Dekon dan selanjutnya terhadap Bung Karno. Ini tidak dapat dibiarkan, karena Dekon adalah program untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia di bidang ekonomi. Melanggar Dekon sama halnya dengan menghambat atau mencederai tugas menyelesaikan Revolusi Indonesia.

Dekon sekarang berada dalam bahaya, seluruh potensi nasional harus dikerahkan untuk menyelamatkan Dekon! menyelamatkan Dekon sama halnya dengan menyelamatkan Manipol, menyelamatkan Ketetapan-ketetapan dan Resolusi MPRS dan menyelamatkan Revolusi Indonesia.

Dekon menetapkan prinsip-prinsip yang sangat penting dan maju, yaitu tentang perlu adanya pengerahan segenap potensi Rakyat, tentang perlu bagi negeri kita untuk berdiri di atas kaki sendiri, untuk tidak menggantungkan diri pada bantuan luar negeri. Prinsip ini harus dijunjung tinggi karena prinsin ini adalah patriotik. Adalah omong kosong tugas membersihkan sisa-sisa imperialisme akan dapat dilakukan tanpa semangat patriotik dan lebih omong kosong lagi dengan “bantuan” kaum imperialis.

Dekon berbicara tentang betapa pentingnya usaha-usaha untuk “memperbesar daya produksi, sehingga dengan demikian di dalam waktu jangka pendek itu dapat dijamin bertambahnya peredaran barang di dalam masyarakat sebagai imbangan dari pada beredarnya uang”, (Dekon pasal 30).

Dekon juga menetapkan bahwa: “Sesuai dengan pertumbuhan kesadaran sosial dan kesadaran ekonomi Rakyat Indonesia, maka tiap konsepsi dan tindakan Pemerintah harus dapat dirasakan dan dimengerti oleh Rakyat, bahwa kepentingan mereka diperhatikan”, (Dekon pasal 26).

Dalam semangat yang sama pula, Dekon mengatakan bahwa inflasi dan kekurangan devisa tidak mungkin diatasi dengan tindakan-tindakan moneter konvensional belaka melainkan harus diatasi dengan jalan “menggerakkan segenap potensi dan kekuatan Rakyat sesuai dengan konsepsi integral menanggulangi persoalan ekonomi nasional kita”, (Dekon pasal 13).

Peraturan-peraturan ekonomi 26 Mei yang lalu, sama sekali tidak sesuai dengan tiga prinsip Dekon yang baru saya kutip itu, yaitu prinsip memperbesar daya-produksi, prinsip memperhatikan kepentingan Rakyat dan prinsip mengatasi inflasi dengan menggerakkan segenap potensi dan keuatan Rakyat. Adalah tidak mungkin untuk memperbesar daya produksi dengan jalan menaikkan harga di segala bidang. Pidato Presiden Juanda dalam konferensi persnya mengatakan, bahwa di dalam Dekon tidak ada larangan untuk menaikkan tarif. Tetapi bagaimana bisa dikatakan bahwa tindakan-tindakan menaikkan harga dan tarif itu sesuai dengan Dekon yang mengatakan bahwa tindakan Pemerintah harus “dapat dirasakan dan dimengerti oleh Rakyat, bahwa kepentingan mereka diperhatikandan bahwa tindakan-tindakan itu ditujukan untuk mengatasi inflasi? Justru sebaliknya. Tindakan-tindakan itu akan lebih memerosotkan produksi dan memperhebat inflasi, dan akan dirasakan serta dimengerti oleh Rakyat bahwa “kepentingan mereka tidak diperhatikan”. Ini adalah nyata sekali dari protes-protes yang membanjir dari segala penjur. Partai-partai Nasakom dan organisasi-organisasi masa revolusioner sudah dan masih terus menyatakan kecamannya terhadap kenaikan berbagai tarif.

TINDAKAN-TINDAKAN 26 MEI 1963: KONVENSIONAL!

Tindakan-tindakan 26 Mei itu adalah serupa dengan tindakan-tindakan yang pernah atau malahan sering diambil dahulu, artinya konvensional, yaitu mengabdikan segala sesuatu pada penyelesaian ketidakseimbangan atau disparitas yang timbul di bidang ekspor dan impor dengan perubahan-perubahan transaksi kurs. Sejalan dengan itu, kehidupan Rakyat menjadi lebih berat lagi karena kenaikan-kenaikan yang keterlaluan dalam pungutan-pungutan terhadap impor. Satu-satunya segi yang “non-konvensional” ialah bahwa belum pernah dilakukan serangan langsung dan demikian hebatnya terhadap kehidupan Rakyat. Belum pernah Rakyat kita menghadapi kenaikan-kenaikan harga dan tarif sebesar 300% atau lebih dalam satu kali pukul.

Lagi pula, tindakan-tindakan menaikkan harga sangat bertentangan dengan Resolusi MPRS No. I/1963 yang dengan tegas menetapkan bahwa “politik harga harus ditujukan untuk mencegah kenaikan harga dan tarif ... dan menjamin peningkatan daya beli Rakyat pekerja, termasuk petani-produsen”, (Resolusi MPRS No. I/1963, bab 9, ayat 7).

Kesulitan-kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh peraturan-peraturan 26 Mei di satu pihak telah membikin Rakyat menderita, tetapi di pihak lain telah membikin Rakyat bertambah mengerti hal-hal ekonomi, bertambah pandai dalam menyusun konsepsi-konsepsinya sendiri, dan bertambah teguh dalam memperjuangkan konsepsi-konsepsinya itu. Kenyataan ini harus diperhatikan oleh mereka yang menjadi konseptor-konseptor peraturan-peraturan 26 Mei dalam menghadapi banjir protes dan tuntutan-tuntutan supaya peraturan-peraturan itu ditinjau kembali untuk diganti dengan yang sesuai dengan Dekon.

Mengenai hal devaluasi, Dekon jelas sejelas-jelasnya mengatakan bahwa “tidak akan diambil tindakan-tindakan moneter drastis, seperti umumnya devaluasi”, (Dekon pasal 31). Baru sebulan yang lalu, sewaktu saya memberikan cerama di muka Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), saya telah berkata sebagai berikut: “Jangan misalnya, devaluasi sudah resmi ditolah, tahu-tahu masih terus saja diadakan perubahan-perubahan dalam peraturan-peraturan ekspor dan impor dengan berbagai macam transaksi kurs yang pada hakekatnya tidak lain dari pada devaluasi yang diselimuti”. Seperti kita sama-sama tahu, peraturan-peraturan 26 Mei memang secara efektif telah mengubah kurs rupiah terhadap dolar dari Rp 45,- menjadi kurang lebih Rp 450,- (jika kita menghitung secara kasar keuntungan-keuntungan rupiah dari hak resensi sebesar 5% dari penghasilan devisa ditambah hak mendapat alokasi devisa sebanyak 10% bagi eksportir dan 15% bagi eksportir-produsen). Dalam sistem SIVA yang baru saja dihapuskan dan yang juga mengandung devaluasi, kurs dasar Rp 45,- toh masih memegang peranan tertentu. Dalam sistem baru bedasarkan Perpres no. 5/1963, boleh dikatakan kurs Rp 45,- sama sekali tidak memegang peranan lagi.

Dengan demikian, peringatan saya ternyata masih kurang kena, karena devaluasi yang telah dilakukan itu ternyata sama sekali tidak diselimuti. Yang terjadi ialah suatu devaluasi de fakto dan terbuka. Hanya saja, nama devaluasi tidak dipakai. Itulah satu-satunya konsesi kepada Dekon! devaluasi dijalankan tetapi tidak dinamakan devaluasi!

BAHAYA KAPITALISME BIROKRATIS SEMAKIN BESAR

Saya ingin pada kesempatan ini membahas pula peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 26 Mei yang baru lalu mengenai Perusahaan-perusahaan Dagang Negara, yaitu Perpres No. 7 tahun 1963. Saya anggap peraturan itu sangat perlu diperhatikan karena menyangkut hal susunan ekonomi yang yang mau kita bangun dalam tahap pertama Revolusi kita, yaitu tahap nasional dan demokratis. Peraturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan wewenang yang luas kepada PDN, sehingga mereka telah ditetapkan sebagai perusahaan-perusahaan komersil biasa dengan BPU PDN-PDN sebagai semacam Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris. PDN boleh dikatakan tidak terikat lagi pasa suatu kebijaksanaan resmi, dan hanya dijalankan untuk mengejar keuntungan-keuntungan. Di samping itu, di dalam peraturan tanggal 26 Mei tentang apa yang dinamakan “kebijaksanaan harga” (lebih baik dinamakan “tentang tidak adanya kebijaksanaan harga”!) setiap usaha untuk mengendalikan harga barang-barang yang dijual oleh Pemerintas sama sekali dibatalkan. Yang berkuasa dan memimpin di dalam ekonomi kita sejak saat itu ialah harga pasar bebas alias kaum spekulan dan tukang catut-tukang catur. PDN malahan diwajibkan mendekati harga pasar dan tidak boleh menjual dengan selisih lebih besar dari 30% dengan harga pasar bebas setempat (lokal). Dapat dibayangkan bahwa akan terjadi kongkalikong antara tukang-tukang salah duduk dan salah urus di dalam PDN dengan kaum spekulan dan tukang catut-tukang catut di pasar bebas untuk menjamin terus adanya “keuntungan-keuntungan luar” bagi mereka sendiri.

Saya anggap hal ini sebagai hal yang sangat penting, karena di samping mengakibatkan kerugian-kerugian yang sangat besar bagi Rakyat, ia juga berarti melanggar prinsip yang telah lama ditekankan, yaitu tentang peranan komando atau peranan memimpin yang harus dipegang oleh sektor negara. Perusahaan-perusahaan yang menjadi milik negara sebagai hasil perjuangan kaum buruh dan Rakyat yang mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda 5 tahun yang lalu, telah dijadikan perusahaan-perusahaan komersil biasa yang dapat pula dibebaskan dari kewajiban menyumbang kepada Dana Pembangunan. Kredit yang begitu banyak yang mereka peroleh dari Pemerintah untuk sebagian akan dijadikan modal perusahaan.

Dengan adanya peraturan-peraturan baru tersebut kita menghadapi bahaya bahwa ekonomi akan semakin dkuasai oleh kaum kapitalis birokrat, terutama mereka yang berkaliber besar. Mereka akan bisa memperoleh keuntungan-keuntungannya (namanya yang resmi sekarang bukan keuntungan melainkan “perangsang”!) seperti kapitalis biasa, tetapi berbeda dengan kapitalis biasa mereka tidak mengambil resiko apa pun karena modalnya seluruhnya dari Pemerintah! Itulah bedanya antara kapitalis biasa dengan kapitalis birokrat! Itulah sebabnya mengapa kaum Komunis bisa menyetujui adanya kapitalis-kapitalis atau pengusaha-pengusaha nasional pada tahap revolusi nasional dan demokratis sekarang, tetapi melawan dengan kerjas adanya kaum kapitalis birokrat. Pantas saja, justru suara si kapitalis birokrat yang “sok-sosialis” adalah satu-satunya suar yang menyambut baik peraturan-peraturan 26 Mei dan kenaikan tarif-tarif sehingga menjadikan dirinya tertawaan seluruh Rakyat.

REVISIONISME MODERN MENIKAM “PERUT NEGARA”

Cara-cara mengatur perusahaan-perusahaan milik negara seperti yang kita lihat sekarang ternyata diilhami oleh apa yang sedang terjadi di Yugoslavia. Dengan demikian revisionisme modern yang sudah lama dilawan oleh kaum Komunisme dalam berbagai bentuk kongkret, seperti misalnya kegiatan mereka mengacau perjuangan Rakyat-rakyat Asia-Afrika melawan imperialisme. Konferensi Kolombo, Konferensi Buruh Asia-Afrika, dan lain-lain sebagainya, ternyata sudah menjalar sehingga menjadi persoalan kongkret bagi Rakyat Indonesia dalam hubungan dengan susunan ekonomi yang mau dibangun. Revisionisme modern telah menikam “perut negara” atau perekenomian negara Republik Indonesia.

Walaupun kita di Indonesia sekarang belum menghadapi persoalan pembangunan Sosialisme, namun oleh karena perspektif Revolusi Indonesia adalah Sosialisme, maka dalam membangun susunan ekonomi nasional dan demokratis kita tidak boleh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pembangunan Sosialisme.

Cara-cara mengatur ekonomi sektor negara di Yugoslavia dalam kenyataannya melepaskan perusahaan-perusahaan milik negara dari kebijaksanaan negara dan dari perencanaan sentral sehingga menimbulkan kelas kapitalis yang baru dan akhirnya memperhebat anarki di bidang ekonomi. Inilah yang mau dipraktekkan dengan Perpres 7/1963. Saya tidak berkeberatan orang belajar atau mengambali contoh dari luar negeri, malahan ada baiknya, tetapi lakukanlah dengan kritis dan tujukanlah untuk memperkuat Republik dan memperbaiki penghidupan Rakyat Indonesia.

JUGA KAUM PENGUSAHA NASIONAL HARUS MELAWAN KABIR

Kapitalisme birokrat (kabir) membahayakan ekonomi sektor negara karena menghilangkan sama sekali sifat-sifatnya yang progresif. Ia membahayakan bagi kaum buruh karena penghisapan terhadap buruh ditutupi dengan kata-kata yang muluk-muluk mengenai “kerja sama” antara pimpinan dan buruh sebagai “karyawan”. Ia membahayakan bagi kaum tani karena persekutuannya dengan kaum tuan tanah di desa-desa yang berkepentingan untuk meneruskan penghisapan terhadap kaum tani. Tetapi tidak hanya itu. Kapitalisme birokratis juga membahayakan bagi pengusaha-pengusaha nasional, bagi sektor ekonomi swasta progresif, karena cara-caranya yang berdasarkan penyalahgunaan wewenan, catut, korupsi, dan sebagainya. Di mana-mana kaum pengusaha nasional menghadapi rintangan-rintangan yang mudah disingkirkan kalau “semir-semir”nya cukup. Untuk dapat izin perusahaan, harus ada “semir”. Untuk membeli bahan bangunan perusahaan harus ada “semir”. Untuk dapat alokasi bahan-bahan, harus ada “semir”. Dan banyak lagi macam-macam “semir”.

Di mana ada catut, korupsi, spekulasi, salah urus dan cara-cara lain yang menjadi kelaziman kaum kapitalis birokrat, di situ tidak mungkin bagi pengusaha nasional untuk berkembang dengan sehat. Resolusi MPRS mengharuskan adanya fasilitas-fasilitas bagi perusahaan-perusahaan nasional, tetapi kapitalisme birokratis bukan hanya tidak memberikan fasilitas tetapi malahan menambah rintangan-rintangan.

Lagi pula, kapitalisme birokratis juga bersekutu dengan kaum imperialis yang memang sengaja berusaha mendorong kapitalisme birokratis itu untuk menyelewengkan kita dari real yang benar yang menuju ke arah ekonomi nasional dan demokratis, dengan Sosialisme Indonesia sebagai perspektifnya.

Oleh karena itu, kapitalisme birokratis dan pemberantasannya merupakan soal besar bagi seluruh Rakyat Indonesia dalam menyelesaikan revolusinya. Juga kaum pengusaha yang sungguh-sungguh nasional harus ambil bagian dalam perjuangan yang besar ini, perjuangan melawan kaum kabir (kapitalis birokrat).

Demikianlah, Saudara-saudara, hal-hal yang ingin saya sampaikan dalam ceramah ini. Sekali lagi, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Saudara-saudara yang mengundang saya untuk berbicara di sini atas nama PKI sebagai salah satu partai Nasakom.

Mudah-mudahan Musyawarah yang sedang Saudara-saudara langsungkan ini akan mencapai sukses sebesar-besarnya. Sukses bagi kaum veteran sendiri dalam memberi sumbangannya kepada pekerjaan besar yang sedang dihadapi oleh negeri kita, mau pun bagi seluruh Rakyat dalam lebih memperkuat tekad untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini, untuk menyelamatkan Dekon dan menyelesaikan revolusi kita di bidang ekonomi.

Hanya dengan demikian tanah air kita bisa menjadi negeri yang benar-benar merdeka, baik di lapangan politik mau pun di lapangan ekonomi.