"BPS" Aksi Reaksi


Sumber: "BPS" Aksi Reaksi, P.T. Rakyat, Jakarta, 1965. Scan PDF Brosur


Kata Awal

Pada permukaannya, perjuangan mempertahankan atau membubarkan “BPS” itu seperti perjuangan di bidang persuratkabaran belaka, tetapi pada dasarnya ia adalah perjuangan politik yang besar, yaitu antara anti-Manipolisme dan Manipolisme munafik di satu pihak dan Manipolisme di pihak lain.

Kearahan telah diberikan oleh Presiden Sukarno ketika beliau memaklumkan “BPS” dan segala koran-koran serta antek-anteknya harus dibubarkan, tetapi perjuangan tidak berakhir, malahan baru dimulai sebenarnya dengan permakluman itu. Sebelum itu, PWI dan koran-koran yang setia kepada garis revolusioner PWI telah melancarkan perjuangan beberapa waktu lamanya melawan “BPS”. “Harian Rakyat” ambil bagian aktif di dalamnya dan artikel serial “HR” yang menguliti habis-habisan “teori BPS”, yaitu “Yutiisme” pernah menjadi pusat perhatian seluruh kehidupan pers di tanah air kita. Argumen-argumen yang diberikan “HR” itu hingga kini tak sedikitpun kehilangan nilainya, dan sekalipun untuk sebagian pembaca-pembaca di luar negeri, soal-soalnya mungkin terasa agak terlampau detail, tetapi bagi perjuangan politik di Indonesia, antara keprogresifan dan reaksi, perang pena ini penting sekali artinya, ketika itu, sekarang, dan di waktu-waktu yang akan datang.

Ini adalah pertimbangan utama mengapa artikel serial itu diputuskan dibukukan, bersama dengan pokok-pokok pidato Presiden Sukarno di depan rapat umum PWI yang terkenal, rapat maju tak gentar, serta keputusan Menpen Brigjen Achmadi tentang langkah pertama penutupan sejumlah harian-harian “BPS”.

Hingga kini, medio Juni 1965, perjuangan mempertahankan atau membubarkan “BPS” tetap merupakan salah satu persoalan pokok dalam perjuangan politik di negeri kita, dan hingga kini membela atau menolak “BPS” itu tetap merupakan salah sebuah kriteria atas apakah seseorang sesuatu golongan khas, partai itu revolusioner ataukah tidak.

Tak ada orang yang bisa mengatakan kapan koran-koran dan antek-antek “BPS” itu akan habis sama sekali. Sementara itu bisa dibayangkan, dan kenyataannya memang demikian, muncul golongan-golongan baru yang kalaupun tidak membela “BPS” itu secara plintat-plintut, mengusahakan semacam neo-BPS-isme dengan percobaan menerbitkan koran-koran “BPS” jubah baru. Untuk sementara waktu mereka itu bisa saja berhasil, tapi dalam jangka yang lebih panjang, garis revolusioner pasti menang atas garis reaksioner, garis anti-“BPS” pasti mengalahkan sama sekali garis “BPS” ataupun “neo-BPS”. Malahan, percobaan-percobaan reaksioner atau munafik sekarang ini untuk membela “BPS”-new look atau “BPS”-streamline, ada juga membantu kita kaum revolusioner dalam membikin kemenangan atas “BPS” nanti, kemenangan yang benar-benar stabil, bermutu, dan langgeng – suatu kemenangan dialektis!

Kendari ataupun berkat tingkah laku kaum reaksioner, front persatuan nasional di negeri kita kian hari kian luas dan kokoh, dan penyelesaian revolusi nasional-demokratis kian hari kian tampak di pandangan mata. Seakan-akan kita ini pelaut yang mulai melihat kaki langit kemenangan di senja pagi, dan seperti halnya pelaut itu pemberani, marilah kita dengan berani melanjutkan perjuangan yang sekali telah kita mulai, dan mari kita akhiri “BPS” dengan segala antek dan induk semangnya, sebagai bagian dari perjuangan besar kita menghabisi imperialisme dan sisa-siaa feodalisme!

 

Nyoto 

 

BAGAIMANA HARUSNYA TIDAK MEMPELAJARI TULISAN-TULISAN BUNG KARNO

Sebuah ulasan kantor berita AS “Associated Press” baru-baru ini menyimpulkan bahwa selama ketiadaan Presiden Sukarno di dalam negeri, kampanye anti-“Malaysia” di Indonesia menyepi. Tak meragukan lagi, yang berjasa bagi keadaan yang menyenangkan kaum imperialis ini adalah ribut-ribut perkara filsafat dan ideologi, yang oleh komplotan reaksi di dalam negeri sengaja ditimbulkan untuk mengalihkan perhatian dan membelokkan sasaran serta memporak-porandakan persatuan.

Paling akhir didirikan orang apa yang disebut “Badan pendukung Sukarnoisme”, yang tujuannya “mendukung penyelesaian revolusi”. Padahal revolusi sendiri tak membutuhkan sekadar “pendukung-pendukung” – revolusi membutuhkan penyelesai-penyelesai itu sendiri!

Adapun usahanya – di dalam teori mereka mengatakan “mencegah pembelokan atau usaha-usaha pengaburan ajaran-ajaran Bung Karno”, tetapi di dalam praktik yang mereka lakukan adalah justru pembelokan dan pengaburan itu.

Mereka sekarang mendapatkan dalam tulisan serial Sayuti Melik “Belajar Memahami Sukarnoisme”, yang mulai dimuat “Berita Indonesia” 5 bulan yang lalu, tepatnya 8 Juni 1964, “senjata” untuk membelokkan dan mengaburkan ajaran-ajaran Bung Karno itu sambil memecah belah persatuan nasional.

Tulisan Sayuti Melik yang tipikal Melik itu, yaitu bertele-tele, jika dipelajari dengan seksama, adalah contoh yang baik tentang bagaimana harusnya tidak mempelajari tulisan-tulisan Bung Karno.

Sayuti Melik sendiri pernah mengutip di dalam tulisan serialnya pembedaan yang dilakukan ketua dewan redaksi “HR”, bahwa ada dua cara pendekatan tulisan-tulisan Bung Karno: pertama yang dialektis revolusioner, kedua yang pragmatis reaksioner. Tulisan serial Sayuti Melik tersebut yang memakai pandangan tata bahasa sampai fitrah, Suryomataraman sampai Driyakoroan pasti sukar sekali digolongkan pada cara pendekaran dialektis revolusioner.

Kita takkan pernah menyinggung pribadi Sayuti Melik, sekiranya dia sendiri tidak (sudah dalam seri tulisannya yang ke-5) berbicara tentang “Manusia Yuti”. Dikatakannya bahwa mula-mula ia “Marxis-Leninis” baru kemudian dia menjadi “Sukarnois”. Bahkan tanggal 12 November yang belum lama, setelah pertemuannya dengan WPM Dr. Subandrio, Yuti mengatakan bahwa bagi “yang belum menyecap salah satu ideologi lain, Sukarnoisme memang mudah dipahami...Tetapi bagi yang lebih dulu sudah menyecap salah satu ideologi tertentu, sebagai pribadi Sayuti sendiri, itu tidak mudah”.

Kita ingin mencatat hal-hal sebagai berikut. Pertama, Yuti hanya mengatakan “pernah Marxis-Leninis” dan sekarang “mlungsungi” menjadi “Sukarnois”, tetapi dia tidak menerangkan bahwa dia pernah giat dalam “Persatuan Perjuangan” Tan Malaka. Kedua, menjadi pertanyaan banyak orang, mengapa Yuti si orang PNI lebih suka menulis di “Berita Indonesia” si koran Tan Malakais. Ketiga, ucapannya tentang “yang lebih dulu sudah menyecap salah satu ideologi tertentu” sangat berbau “Merdeka”-isme, yang mencoba mengekskomunikasikan kaum Marxis-Leninis dari front nasional dengan dalih bahwa ideologi kaum Marxis-Leninis “tidak murni”.

Ada dibanggakan bahwa tulisan Yuti “Belajar Memahami Sukarnoisme” itu sekarang dikutip oleh “50 lebih surat kabar”. 50 atau tidak 50, kenyataannya adalah bahwa yang mengutipnya hanya surat-surat kabar dari “Berita Indonesia” ke kanan, sedang yang di sebelah krii “BI” tidak satupun yang mengutipnya, termasuk “Suluh Indonesia”, harian resmi PNI tidak!

Lalu dibanggakan bahwa tulisan Yuti itu “sudah mendapat restu” Presiden Sukarno. Baiklah tuan-tuan itu menjawab: kapan “restu Presiden” itu datangnya? Dan sesudah “restu” itu masih berapa artikel lagi ditulis? Apakah mau tuan-tuan katakan bahwa tulisan-tulisan sesudahnya tidak mengandung pembelokan dan pengaburan, dus tidak menyalahgunakna “restu”? Tentang ini akan kita kupas dalam ulasan selanjutnya. Baru-baru ini “Warta Berita” menuduh kita menyalahgunakan pensahan PKI oleh Penpres 7 dan Perpres 13, suatu tuduhan yang tak beralasan sama sekali dan yang hanya membuktikan ketidakmampuan “Warta Berita” memberikan sanggahan yang masuk akal atas jawaban kita. Tapi penyalahgunaan “restu Presiden” dalam hal ini “Belajar Memahami Sukarnoisme” sudahlah nyata. Ini tak bisa dicoba diringankan atau dicarikan pengampunan dengan ekskus “apa yang ditulis (Yuti) itu belum tentu benar...”, seperti dikatakan oleh Yuto sendiri beberapa hari yang lalu.

WPM Subandrio sudah memperingatkan bahwa hanya ada satu interpretasi atas ajaran-ajaran Bung Karno, yaitu tulisan-tulisan Bung Karno sendiri. Ini sebenarnya jeweran yang tak tanggung-tanggung ke alamat apa yang menamakan diri “Badan Pendukung Sukarnoisme”, jeweran yang oleh “BI” secara licik digelapkan di dalam verslag-nya!

Besok akan kita mulai ulasan kita tentang “Belajar Memahami Sukarnoisme”.

“Harian Rakyat” 17-11-‘64

 

“BERITA INDONESIA”-LAH YANG MEMULAI

Dalam seri tulisannya No. 1 Sayuti Melik menunjukkan dari mana asalnya api yang menimbulkan asapnya, atau dengan kata-kata Yuti sendiri, “sangkan paraning dumadi” istilah “Sukarnoisme”. Katanya: “Pada hari-hari dalam minggu terakhir ini, ‘Berita Indonesia’ sering melancarkan penggunaan istilah ‘Sukarnoisme’”.

Dan “BI” itu jugalah yang kemarin menulis tajuk rencana khusus membela Yuti dengan memujinya setinggi-tingginya, antara lain sebagai seorang yang tak punya ambisi apapun. Mudah-mudahan Yuti juga tak punya ambisi untuk membelokkan dan mengaburkan tulisan-tulisan Bung Karno...

Sementara itu, dalam sudutnya, “BI” begitu marahnya terhadap harian “partainya” Yuti, “Suluh Indonesia” –tidak, bukan sekadar harian “partainya” Yuti, tetapi harian yang Yuti sendiri salah seorang redakturnya— dengan menuduh “Suluh Indonesia” telah membredel tulisan-tulisan Yuti. Apa artinya ini? Mengapa “BI” tiba-tiba membongkar fakta bahwa harian Yuti membredel Yuti? Kata tajuk rencana “BI” Yuti itu “sangat setia”, lalu kalau beliau sangat setia kepada politik PNI, bagaimana mungkin tulisan-tulisannya dibredel oleh koran PNI? Ataukah “sangat setia”-nya Yuti mengarah ke jurusan lain?

Tajuk rencana “BI” lebih lanjut hanya mengatakan bahwa Yuti itu “tak pernah membohong selama hidupnya”. Sayangnya tak diterangkan oleh “BI” apakah Yuti itu pernah ceroboh. Kita ambillah seri tulisannya No. 1. Di sana ditulis Yuti bahwa Bung Karno sendiri menamakan (ajarannya) ‘Marhaenisme’, ‘Pancasila’, ‘Takem’, ‘Resopim’, ‘Gesuri’, dan lain-lain lagi...”

Juli 1932 Bung Karno menerangkan bahwa “Marhaen itu perkataan politik yang dipakai oleh kaum politik-radikal”, dan setahun kemudian, dalam karya utama beliau “Mencapai Indonesia Merdeka” (“MIM”), beliau menjelaskan bahwa Marhaenisme adalah “azas perjuangan dan program yang 100 % radikal”. Jadi bagaimana seluruh azas perjuangan Bung Karno, “Marhaenisme”, diidentikkan saja dengan “Takem”, “Resopim”, “Gesuri”, yang memang penting sekali, tetapi merupakan pedoman pelaksanaan dari tahun ke tahun dari azas perjuangan itu, setelah mendapatkan kristalisasinya dalam suatu Program Umum Revolusi yaitu “Manifesto Politik RI”!

Dalam seri tulisannya No. 3 Yuti menyebut dengan pasti tanggal suatu pidato Bung Karno, yaitu 4 Juli 1957, tetapi hanya bisa menjanjikan “maksudnya kurang lebih demikian”. Kurang lebih! Mudah-mudahan tidak lebih kurangnya daripada lebihnya!

Dalam seri tulisannya No. 6, dia mengejek sikap yang menganggap “bahwa ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme itulah yang paling benar di dunia ini”. Kalaupun bukan Marxisme-Leninisme, mudah-mudahan yang paling benar di dunia ini bukan...”Yutiisme”.

Kenapa kita tuliskan “doa” ini?

Bukan saja karena Yuti menyatakan “baiklah kini penyusun kemukakan sedikit pula soal “Manusia Yuti”...Ini perlu!, tetapi lebih-lebih karena dalam seri tulisannya No. 3 Yuti mengatakan bahwa “komponen-komponen” dari Sukarnoisme itu sudah cukup banyak...namun...yang merupakan satu keseluruhan lengkap dari ajaran-ajarannya...sedikit sekali. Malah seperti belum ada!”.

Lalu siapa yang mesti menyusun “keseluruhan lengkap” itu? Kalau Bung Karno dikatakan Yuti “dengan petunjuk Tuhan...menemukan ajaran-ajaran” beliau, mungkin adalah tak kurang dari “Manusia Yuti” yang “dengan petunjuk Tuhan” menyusun “keseluruhan lengkap itu”!

Maka berkatalah Yuti: “Plato banyak menuliskan ajaran-ajaran Socrates, Lenin banyak menuliskan ajaran-ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels, Stalin banyak menuliskan ajaran-ajaran Lenin.” Nah, Yuti banyak (memang banyak, sampai sekarang sudah seri No. 67, belum terhitung tulisan-tulisan “mBah Sodrono” yang adalah pula Sayuti Melik) menuliskan “ajaran-ajaran Bung Karno”. Begitulah, peranan historis “Manusia Yuti” bisa disamakan kira-kira dengan Plato, Lenin, dan Stalin...

Sekiranya pun tak ada tajuk rencana “BI” yang memuji Yuti kemarin, kita sudah akan kagum dibuatnya!

Kita tak pernah menganggap “Mencapai Indonesia Merdeka” itu “seperti belum ada”, “Indonesia Menggugat” ini “seperti belum ada”, “Sarinah” itu “seperti belum ada” dan (O, Tuhan Seru Sekalian Alam, ampunilah hambamu yang daif ini) “Manipol” itu “seperti belum ada”!

Dan seperti dikatakan Menpen Brigjen Achmadi semalam: penafsiran ajaran-ajaran Bung Karno lain daripada penafsiran Bung Karno sendiri “bisa membahayakan ajaran Bung Karno itu sendiri yang berarti pula membahayakan revolusi kita”.

“Harian Rakyat” 18-11-‘64

 

AJARAN-AJARAN BUNG KARNO ADALAH MARHAENISME

Rasanya tidak sering kita menjumpai sikap puas diri seperti yang dipertontonkan “Berita Indonesia” kemarin. Sambil hakikatnya menolak dalil bahwa satu-satunya tafsiran bagi ajaran-ajaran Bung Karno adalah tulisan-tulisan Bung Karno sendiri, harian tersebut menamakan tulisan-tulisan Sayuti Melik “sukses besar” dan menyebut penyebarannya oleh “BI”...”telah mendekati kesempurnaannya”!

Tetapi apa salahnya “BI” mempunyai penyakit puas diri, asal penyakit ini tak menghinggapi pers kita umumnya!

Yuti sendiri mengharap agar murid-murid Bung Karno yang lain akan menguraikan ajaran-ajaran Bung Karno secara “lebih sempurna”. Rupanya yang Yuti punya memang sudah sempurna!

Dari tulisan-tulisan Yuti itu, yang paling masuk akal dan maka itu paling bisa diterima –dari seluruh tulisannya yang sudah lebih dari 150 kolom itu— hanyalah satu kalimat, yaitu (dalam seri tulisannya No. 3): “Oleh Bung Karno sendiri, ajaran-ajarannya itu dinamakan Marhaenisme”.

Yuti rupanya mempunyai voorliefde kepada tata bahasa, sehingga tak kurang dari 10 kali ia meninjau hal ihwal dari sudut tata bahasa. Oleh sebab itu, karena baik kata-kata maupun tata bahasa kalimatnya dalam seri tulisan No. 3 itu, begitu gamblangnya, kiranya tidak ada yang dubius di sini, dan hanya satu arti yang bisa diberikan kepadanya: ajaran-ajaran Bung Karno adalah Marhaenisme.

Apa yang ditulis oleh Yuti?

Seri tulisannya No. 1, 2, 3, 4, tidak berjudul, tetapi tiba-tiba seri tulisannya No. 5 diberinya berjudul dan judul itu seram sekali, yaitu: “Pribadi penyusun sendiri”, artinya, pribadi “Manusia – Yuti”, dan baru pada seri No. 50 kita jumpai karangan berjudul: “Dari kata-kata Bung Karno sendiri”.

Apakah bagian-bagian lainnya pada umumnya bukan dari kata-kata Bung Karno sendiri? Ini akan kita buktikan nanti, tetapi kalau kita baca judul-judul karangan-karangan Yuti itu seperti “Mengapa kodrat hidup manusia?” (49), “Apakah kodrat hidup itu?” (51), “Apakah kodrat manusia?” (53), “Ciri-ciri tubuh hidup” (56), “Bagaimana kodrat manusia itu?” (57), “Apakah persona rohani itu?” (59), “Apakah bakat membudaya itu?” (60), “Memasyarakat untuk melakukan pembudayaan” (62), “Proses pembudayaan dan pemasyarakatan” (66 dan 67), dan sebagainya, dan sebagainya, orangpun akan bertanya: apa hubungannya hal-hal ini dengan ajaran-ajaran Bung Karno, dengan Marhaenisme?

Yuti menyesalkan bahwa oleh sebagoan orang, tulisan-tulisannya tidak “diteliti benar”. Kita meneliti benar tulisan-tulisan Yuti itu, dan sebagai salah satu hasil penelitian ini terbukti, bahwa Yuti “belajar memahami” bukan ajaran-ajaran Bung Karno itu sendiri, melainkan “latar belakang alam pikirannya”. Ini dalam seri tulisannya No. 47 sampai tak kurang dari 3 kali dia nyatakan!

Maka tak mengherankan apabila “BI” kemarin dalam seluruh tajuk rencananya tidak ada pernyataan yang menerima dan menyokong keterangan WPM Subandrio dan Menpen Achmadi. Bahkan, seluruh tajuk rencana itu hakikatnya berisi penolakan atas yang dinyatakan WPM dan Menpen. “Apakah cukup setiap orang diberi sebuah buku ajaran Bung Karno dengan dikatakan: Belajarlah!, demikian tulis “BI”, yang dengan perkataan lain rupanya mau mengatakan bahwa tulisan-tulisan dan pidato-pidato Bung Karno baru “cukup” jika, “dilengkapi” dengan...tulisan-tulisan Yuti. Cukup, cukup!

Besok akan kita mulai dengan menunjukkan di bagian-bagian mana ajaran-ajaran Bung Karno dibelokkan dan dikaburkan.

“Harian Rakyat” 19-11-‘64

 

“BPS” MENGAKU YUTI TIDAK KEMUKAKAN AJARAN-AJARAN BUNG KARNO

Siapa menyangka!

Pembenaran pertama atas ulasan-ulasan kita datangnya justru dari apa yang menamakan dirinya “Badan Pendukung Sukarnoisme” (“BPS”)!

Semalam “Berita Indonesia”, dan juga “Warta Berita”, memutar statement “BPS” itu dengan headline: “Harian Rakyat mulai bikin heboh”.

Seperti para pembaca maklum, kemarin kita tunjukkan bahwa Yuti lebih dulu berbicara tentang dirinya sendiri (dan tentang hal-hal lain) dan “baru pada seri No. 50 kita jumpai karangan berjudul: “Dari kata-kata Bung Karno sendiri’”.

Rupanya kita masih memakai ukuran yang rendah! Sebab menurut statement “BPS” tersebut, “sebegitu jauh”, artinya sampai seri tulisan Yuti No. 67 (!) belum juga dikemukakan “Sukarnoisme” itu! Kita harus mengucapkan terima kasih.

Perhatikanlah kata-kata statement “BPS” itu: “Perlu diingat, bahwa sebegitu jauh tulisan-tulisan saudara Sayuti itu belum sampai pada ajaran-ajaran Bung Karno sendrii –dan baru mempelajari cara berpikirnya dan menganalisis beberapa cetusannya”.

Perkataan “cetusan” itu sendiri, yang juga sering dipakai oleh Yuti, sesungguhnya penghinaan terhadap ajaran-ajaran Bung Karno – seakan-akan hal yang belum matang dipikirkan, seakan-akan hal yang keluar begitu saja.

Tentu tiap pengarang mempunyai gayanya sendiri-sendiri. Dan kita tak punya keberatan apapun bahwa ada pengarang yang membikin “kata pengantar” sampai 67 seri, dan bahwa dalam “kata pengantar” itu terlebih dulu dibicarakan apa yang oleh statement “BPS” disebut “cara berpikir” Bung Karno, atau yang oleh Yuti sendiri disebut “latar belakang alam pikirannya”, asal yang dikemukakan memang “cara berpikir” dan “latar belakang alam pikiran” Bung Karno, dan bukan Yuti atau yang lainnya. Kita bahkan mengakui hak-hak pengarang untuk menganut individualisme, selama isme ini tidak disugestikan kepada khalayak ramai. Kita misalnya tak pernah berkeberatan bahwa Yuti pernah memakai nama samaran “Saya”.

Sekarang timbul pertanyaan: Jadi, kalau seri tulisan yang 67 banyaknya itu diakui “belum sampai pada ajaran-ajaran Bung Karno sendiri” – ajaran siapa yang sudah dikemukakan? Dan – ajaran siapapun dan apapun yang telah dikemukakan itu – tidakkah ia justru bertentangan dengan ajaran-ajaran Bung Karno?

Sekurang-kurangnya ada 3 hal pokok tulisan-tulisan Yuti membelokkan ajaran-ajaran Bung Karno, yaitu dalam hal-hal:

  1. Filsafat;
  2. Tahap-tahap revolusi; dan
  3. Nasakom.

Dalam hal-hal yang tidak pokok banyak lagi pembelokan-pembelokan lainnya kita jumpai.

Dan – di samping menyelewengkan ajaran-ajaran Bung Karno, pengarangnya sempat pula menyelewengkan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme.

“Berita Indonesia” mempersoalkan kenapa baru sesudah 5 bulan tulisan-tulisan Yuti disebarkannya orang baru membahasnya. Membacapun “BI” tak pandai? Dalam seri tulisan kita No. 1, “Bagaimana harusnya tidak mempelajari tulisan-tulisan Bung Karno” sudah kita jelaskan: “Paling akhir didirikan orang apa yang disebut ‘BPS’...Mereka sekarang mendapatkan dalam tulisan serial Sayuti Melik...’senjata’ untuk membelokkan dan mengaburkan ajaran-ajaran Bung Karno itu sambil memecah belah persatuan nasional”.

Jadi jelas-jemelas: kita baru sekarang mengangkat pena, karena “BPS” pun 5 bulan yang lalu belum lahir dan karena tulisan-tulisan Yuti belum dipakai aktif untuk memecah belah persatuan nasional.

Dari sini jelas juga jadinya apakah “HR” yang “mulai bikin heboh”, ataukah justru “BPS”!

“Harian Rakyat” 20-11-‘64

 

PAMRIH UNTUK LEBIH SUKARNOIS DARIPADA SUKARNO

“Berita Indonesia” hingga kini tidak memberikan pertanggungjawaban mengapa dikorupnya (vide “BI” 13 November) keterangan WPM Subandrio bahwa hanya ada satu tafsiran ajaran-ajaran Bung Karno yaitu tulisan-tulisan Bung Karno sendiri. Bahwa di sini ada kesengajaan, tentu tak perlu kita membeberkannya lebih lanjut.

“BI” 17 November ini memuat juga keterangan WPM Subandrio supaya “jangan menimbulkan gerakan-gerakan baru”, dan “BI” menambahkan dengan mengatakan “BPS...memang tidak menimbulkan gerakan-gerakan baru”. Tetapi! Sehari sebelumnya, yaitu 16 November, “BI” masih dengan bangga mengatajan bahwa “BPS” itu suatu “organisasi”. Dan ketika 11 November yang lalu, “BI” mengumumkan “maksud tujuan” dan “usaha-usaha” “BPS”, dengan tegas –seperti juga namanya— “BPS” itu disebutnya suatu “badan”. Jadi: bukan gerakan baru, cuma badan dan cuma organisasi? “Logika” ini kira-kira bisa disamakan dengan “logika” yang mengatakan: “ini bukan makhluk, cuma binatang...”

Sementara itu kita baca dalam “Suluh Indonesia” kemarin sebuah sudut: “Ada orang yang takut menyebut ajaran Sukarno itu dengan Marhaenisme. Sama istilahnya saja sudah takut...”

Ada pula hal yang menarik dalam gerakan baru “BPS” ini. “BI” entah sudah berapa kali membanggakan bahwa “sampai kini satu-satunya penulis mengenai ‘Belajar Memahami Sukarnoisme’...adalah Yuti atau Sayuti Melik”. Tapi tiba-tiba Yuti sendiri mengatakan: “apa yang ditulis (olehnya) itu belum tentu benar...” Jadi, suatu badan, suatu organisasi, suatu gerakan baru diadakan atas dasar sesuatu yang yang “belum tentu benar”! Tidakkah ini meriah? Ini hanya mengingatkan kita kepada Hatta yang melangsungkan teror-putihnya atas dasar sesuatu yang diakuinya sendiri “entah benar entah tidak”...

Lalu dalam tajuk rencananya 17 November yang lalu yang berjudul panjang “Sayuti Melik, Sukarnois sejati, berjuang tanpa pamrih kenyang dengan asab perjuangan”, “BI” mengatakan bahwa “HR cs...menuduh-nuduh secara murah”. Apakah kita melantunkan “tuduhan-tuduhan” yang “murah” pula, para pembaca bisa menimbang sendiri, dan lebih dari itu, para pembaca bisa membandingkan fakta-fakta argumentasi-argumentasi, bahkan nada ulasan-ulasan “HR” dengan tulisan-tulisan “BI”.

Bahkan, kalau kita berbicara tentang jurnalistik, para pembaca bisa mencatat kengawuran ini dalam sejarah jurnalistik kita: tajuk rencana “BI” menulis 17 November yang lalu seakan-akan “HR” telah melontarkan ke alamat “BPS” “tuduhan-tuduhan dengan kata-kata kontra-revolusi, subversif...(dan) tuduhan dengan kata-kata Sukarno akan menjatuhkan nama Sukarno”. Semua yang dikatakannya keluar daru “HR” ini, sekalipun benar, tidak ada ditulis oleh “HR”. Maka terjadilah “keajaiban” dialektis: kengawuran jurnalistik “BI” sendiripun bisa memukul “BI” secara kena!

Kita kemarin hanya menulis ini di dalam sudut: “Baru diteropong sedikit sudah heboh...dasar barang yang tak tahan uji.”

Dan sesudah “BI” memulai, baiklah kita tambahkan hari ini bahwa”BPS” ternyata tempat berhimpunnya kaum Manipolis-munafik, maka itu mereka-mereka yang tidak munafik dan terlanjur masuk, cepat atau lambat harus keluar dari gerakan baru munafik itu.

Pendek kata, gerakan baru “BPS” itu berpamrih lebih Sukarnois daripada Sukarno sendiri. Inilah pokoknya soalnya! Ini takkan terlalu berbahaya, sekiranya dengan pamrih itu mereka tidak justru membelokkan dan mengaburkan tulisan-tulisan Bung Karno.

Mulai Senin yang akan datang akan kita bahas berturut-turut pemalsuan Yuti atas ajaran-ajaran Bung Karno mengenai filsafat, tahap-tahap revolusi, Nasakom, dan lain-lain.

“Harian Rakyat” 21-11-‘64

 

AKHIRNYA PENGAKUAN YUTI: MEMANG BUKAN AJARAN-AJARAN BUNG KARNO

Kita terpaksa menyisipkan bagian ini ke dalam serial kita, mendahulukannya daripada kupasan tentang filsafat, tahap-tahap revolusi dan Nasakom, karena Sabtu yang lalu “Berita Indonesia” terbit dengan pengakuan Sayuti Melik sendiri yang amat kita hargai.

Dengan pengakuan Yuti itu hampir-hampir tak peru lagi sebenarnya untuk meneruskan serial ini, karena maksud utama kita, yaitu menunjukkan bahwa yang ditulis Yuti “Belajar Memahami Sukarnoisme” itu bukan ajaran-ajaran Bung Karno, bahkan dalam banyak hal bertentangan dengan ajaran-ajaran Bung Karno, sudah tercapai!

Inilah yang dinyatakan Yuti:

“Yang saya tulis itu bukan ajaran-ajaran Bung Karno sendiri, melainkan bagaimana memahami ajaran-ajaran tersebut sebagai hasil perenungan beberapa tahun lamanya.”

Tentu adalah hak Yuti untuk tidak memaparkan ajaran-ajaran Bung Karno dan adalah haknya pula untuk memaparkan pikiran-pikirannya sendiri. Dan tentang judul serialnya, Yuti selalu bisa kembali ke alasan tata bahasa dengan mengatakan: “Yang saya tulis adalah ‘Belajar Memahami Sukarnoisme’.” Tetapi, setiap orang pun tahu bahwa “BPS” –boleh juga ditinjau dari sudut tata bahasa— adalah “Badan Pendukung Sukarnoisme”, dan bukan misalnya “Badan pendukung belajar memahami Sukarnoisme”...

Sementara itu Yuti Sabtu yang lalu dalam seri tulisannya No. 68 memulai dengan kalimat ini: “Uraian ini masih lanjutan uraian No. 67...tetapi lantas diberi judul lain, hanya supaya tiada menjemukan.” Apakah Yuti sendiri sudah mulai merasa bahwa tulisannya sudah mulai menjemukan?

Kalau sesuatu tulisan atau serial tulisan hanya tidak memaparkan ajaran-ajaran Bung Karno dan hanya menjemukan saja, ini tentu tak mengapa. Dan kita tak akan ambil pusing terhadapnya. Kita mengangkat pena, sekali lagi, karena tulisan-tulisan Yuti itu nyata-nyata membelokkan dan mengaburkan ajaran-ajaran Bung Karno, mengemukakan justru pemalsuan-pemalsuan tertentu atas ajaran-ajaran Bung Karno.

Dalam statemennya Sabtu yang lalu, Yuti masih mengatakan bahwa “yang terpenting ialah mempelajari alam pikiran Bung Karno yang telah dapat melahirkan ajaran-ajaran” beliau. Sedang WPM Subandrio menandaskan bahwa yang harus dipelajari adalah ajaran-ajaran Bung Karno sendiri dari tulisan-tulisan dan pidato-pidato Bung Karno sendiri, Yuti mementingkan “alam pikiran”, atau seperti dinyatakannya di tempat lain “latar belakang pemikiran” Bung Karno.

Dari ulasan kita ini akan ternyata apakah yang dikemukakan Yuti memang sesuatu “latar belakang” ataukah sesuatu yang terbelakang!

“Harian Rakyat” 23-11-‘64

 

PEMALSUAN DALAM HAL FILSAFAT

Seperti sudah kita tuliskan, sempat juga Yuti melakukan pemalsuan-pemalsuan atas ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme. Misalnya dalam menerangkan dalil Lenin tentang syarat-syarat kemenangan revolusi, Yuti mengatakan seakan-akan Lenin mengatakan revolusi akan menang “di mana tekanan mata rantai imperialisme kebetulan kendor”. Dalil Lenin yang sesungguhnya adalah: di mana mata rantai imperialisme paling lemah. Jadi: mata rantai, bukan “tekanan mata rantai”, dan yang paling lemah, bukan yang “kebetulan kendor”. Kecerobohan Yuti yang sampai kedodoran ini apa namanya kalau bukan membelokkan dan mengaburkan teori Marxisme-Leninisme! Kita takkan bicarakan pemalsuan-pemalsuan Yuti lainnya atas Marxisme-Leninisme, karena yang kita bicarakan sekarang pemalsuan-pemalsuannya atas ajaran-ajaran Bung Karno.

Dalam hal filsafat, Yuti sebenarnya tak ada memper-mempernya dengan Bung Karno. Pada 16 September 1959, seperti pada sejumlah kesempatan lainnya, Bung Karno dengan jelas mengatakan: “Saya adalah seorang historis materialis.” Dengan sendirinya pandangan Bung Karno akan tempat manusia dalam sejarah, hubungannya dengan masyarakat, “boodschap sejarah”-nya, dan sebagainya adalah pandangan historis materialis. Sedang Yuti, dari serialnya yang berketiakular itu terbukti seorang yang lebih dekat pada mistik daripada pada materialisme, lebih dekat pada Suryomataram dan Driyarkoro daripada pada Marx, lebih dekat pada individualisme daripada pada pandangan historis. Segala cakapnya tentang “dialektis rohanisme” dan macam-macam lagi hanya menunjukkan betapa jauhnya ia tercampak atau mencampakkan diri dari historis materialisme. Buat Yuti yang paling penting adalah “mem”: “membudaya, memasyarakat, membikin alat, membahasa, mengaku, mengkita, mengkawan, mengkelompok, mengekonomi, mengadat, mengkultur, mengadab, mengilmu, menseni” dan entah “mem-mem” apa lagi! Buat Yuti individulah pusat segala sesuatu –individu yang bahkan tidak “berbahasa” melainkan “membahasa”!— dan dalam seri tulisannya yang terakhir (No. 68), dia tambahkan lagi apa yang disebutnya “mensikap-hidup, mengagama, dan memfilsafat”. Dunianya berpusing-pusing di seputar yang dinamakannya “kodrat hidup”, dan “filosof” yang khas ini akhirnya menyudahi: “Bagaimana caranya Tuhan menciptakan kodrat hidup tadi tidaklah merupakan persoalan yang pokok”.

Dia skeptikus dari A sampai Z, dan dalam usahanya menyelundupkan ketidakpercayaan orang, juga terhadap historis materialisme, maka dikatakannyalah: “Tetapi manakah teori filsafat yang tidak mengandung kelemahan?” Bagaimana membuktikan hal ini? Ah, buat Yuti pembuktian ini perkara sepele, maka dituliskannyalah: “Jika ada teori filsafat yang tidak mengandung kelemahan, tentulah tidak akan terjadi ada teori yang macam-macam.” Konsekuensi cara berpikir ini kira-kira begini: teori Manipol tentang revolusi nasional-demokratis mengandung kelemahan-kelemahan, sebab jika tidak mengandung kelemahan tentulah tidak akan terjadi teori yang macam-macam, antara lain teori Yuti tentang “langsung ke sosialisme” yang acak-acakan itu! Tentang hal ini akan kita tulis besok. Tetapi tidakkah hebat betul kalau adanya “teori yang macam-macam” sudah dijadikan “bukti” akan lemahnya sesuatu dalil atau teori atau filsafat?

Kata Yuti: “Bung Karno mempergunakan historis materialisme sebagai metode berpikir. Tetapi interpretasinya mengenai gejala-gejala alam semesta tidak mempergunakan filsafat materialisme.” Bandingkanlah tafsiran Yuti ini dengan yang sesungguhnya dikatakan oleh Bung Karno sendiri di depan Kongres ke-VI PKI: “Saya adalah seorang historis materialis. Tetapi saya bukan seorang wijsgerig materialis...Historis materialisme adalah satu ilmu...Jika sosial-ekonominya pada waktu itu demikian, ideologinya adalah demikian...Ilmu inilah yang dinamakan historis materialisme, dan saya termasuk pengikut daripada ilmu ini.” Lalu apa yang diartikan Bung Karno dengan “wijsgerig materialisme”? ini tidak seperti ditafsirkan oleh seorang indoktrinator seakan-akan ajaran Marx, melainkan justru ajaran yang telah dijungkirbalikkan oleh Marx, yaitu ajaran Feuerbach (lihat Bung Karno “Camkan Pancasila!”, halaman 151).

Satu-satunya “alasan” Yuti mempertentangkan Marxisme dengan “Sukarnoisme” adalah soal tempat agama dalam Marxisme dan tempat unsur agama dalam nation building. Padahal jelas: nation building harus dengan menegakkan persatuan Nasakom, dan salah satu unsur Nasakom adalah A. Bung Karno berpendapat bahwa adanya “nasionalisme” dan adanya “rasa keagamaan” di Indonesia yang “agraris” adalah “hal-hal yang objektif”, suatu pandangan yang sama dengan yang dianut Bung Aidit.

Tetapi Yuti lebih menyukai “paduan kreatif”: dia kawinkan “mekanisme” dengan “vitalisme”, materialisme dengan idealisme, dan Marxisme dengan mistik!

                                                                          “Harian Rakyat” 24-11-‘64

 

PEMALSUAN TENTANG DUA TAHAP REVOLUSI

Manipol yang merupakan kristalisasi ajaran-ajaran Bung Karno dan kini diterima oleh segenap bangsa Indonesia sebagai Program Umum Revolusi yang menjawab secara tepat Persoalan-Persoalan Pokok Revolusi Indonesia, dengan tegas menggariskan ada dua tahap revolusi, yaitu revolusi nasional-demokratis dan revolusi sosialis.

Dekon kemudian menegaskan: “Kita sekarang sedang berada dalam tahap pertama revolusi kita. Kewajiban kita di bidang ekonomi dalam tahap ini ialah mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di bidang ekonomi, menggerakkan semua potensi nasional untuk meletakkan dasar dan mempertumbuhkan suatu ekonomi nasional yang bebas dari imperialisme dan feodalisme sebagai landasan menuju ke masyarakat Sosialis Indonesia.”

Tavip menegaskan lebih lanjut: “Revolusi selalu punya tahap-tahapnya; dalam hal revolusi kita: tahap nasional-demokratis dan tahap sosialis; tahap yang pertama meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua – inilah dialektik revolusi” (hukum keempat revolusi).

Tetapi Sayuti Melik menulis: “Nah, dalam tahun 1928 dulu Bung Karno telah mengemukakan pendapat, bahwa dari masyarakat feodal, kolonial Indonesia nanti, sesudah kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai, langsung dapat ditujukan ke masyarakat sosialis. Tidak usah melalui masyarakat borjuis.”

Apakah Yuti menyangkal sama sekali perlunya tahap-tahap revolusi? Tidak, dia tidak menyangkalnya, dia malahan mengakui perlunya “tahap-tahapan”, tetapi...hanya satu tahap, dus tanpa tahap! (Sepintas lalu dari sudut yang disukai Yuti, yaitu sudut tata bahasa, rupanya memang bukan tak ada artinya dia pakai akhiran “an” dalam “tahap-tahapan”!).

Inilah yang ditulisnya: “Sekarang ini kita tidak akan membentuk masyarakat borjuis. Melainkan langsung hendak membentuk masyarakat sosialis – meskipun juga memerlukan tahap-tahapan. Yakni tahapan revolusi sosialis!”.

Tetapi barangkali Yuti toh benar? Toh tidak sembarangan Yuti menyebut tahun 1928? Barangkali Sukarno yang sudah berbalik?

Maka timbullah pertanyaan: Mengapa Yuti justru diam mengenai dalil-dalil Manipol, Dekon, dan sebagainya tentang dua tahap revolusi? Mengapa justru disebutnya apa yang “dikemukakan” Bung Karno tahun 1928? Yuti melakukan hal ini tentunya ada maksudnya, bukan, sebab Yuti adalah seorang penulis yang selalu punya maksud? Ataukah Yuti ingin barangkali “membuktikan” bahwa Sukarno tidak konsekuen mengenai tahap-tahap revolusi, bahwa Sukarno “mengkhianati” Sukarno? Bukankah Yuti “lebih kenal” Sukarno daripada Sukarno sendiri?

Baiklah kita ikut “kembali” ke tahun 1928, dan agar Bung Karno sendiri yang berbicara, inilah yang dikatakan Bung Karno di depan sidang Depernas 28 Agustus 1959:

“Kita hendaknya jangan masuk di dalam golongannya orang-orang yang berteori evolusi...Sebab nyata bahwa teori yang demikian ini adalah salah...Di balik daripada teori evolusi ini ada lagi teori lain yang di dalam tahun 1928 saya namakan teori pelompatan fase, teori fasensprong, yang mengatakan: dari masyarakat agraria kita bisa melompat ke masyarakat sosialis. Teori yang demikian inipun tidak benar.”

Apa? Teori Yuti tidak benar? Apa boleh buat – yang berbicara adalah Bung Karno sendiri!

“Harian Rakyat” 25-11-‘64

 

PEMALSUAN TENTANG NASAKOM

Menurut Sayuti Melik, Bung Karno itu dalam banyak hal terbelakang. Kalau dalam Tavip beliau menamakan diri “perasaan Nasakom”, maka menurut Yuti, Yutilah yang terlebih dulu punya “penemuan” ini. Juga kalau Bung Karno melantunkan ide Nasakom, maka ide inipun menurut Yuti tidak orisinal Sukarno. Orisinal dari siapa? Tentang ini jawabnya kita tangguhkan sampai bagian pengunci serial kita ini.

Setiap orang tahu bahwa ide Nasakom itu awal mulanya tulisan Bung Karno, 1926, dalam “Suluh Indonesia Muda”, berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Di dalam Jarek Presiden Sukarno menegaskan: “justru karena saya ingin bangsaku menang, maka dulu dan sekarang pun saya membanting tulang mempersatukan semua tenaga revolusioner, — Islamkah dia, Nasionaliskah dia, Komuniskah dia!” Lalu menjelang keberangkatan delegasi yang dipimpin Presiden sendiri ke PBB, terlahirlah istilah “Nasakom”, kelanjutan dan sekaligus penyempurnaan gagasan 1926 Bung Karno.

Tetapi bagaimana soal-soalnya menurut Yuti? Menurut dia ini “Nasakom” adalah bentuk kerja sama tiga aliran revolusioner (tepat!), tetapi bahwa bentuk kerja sama ini bukan yang terpenting dan adapun yang terpenting bagi Yuti adalah “Nasoma” (singkatan “Nasionalisme, Sosialisme, dan Agama”) alias “orang-orang perasan Nasakom”.

Dan karena di dalam Tavip Presiden Sukarno menamakan diri beliau “perasan Nasakom”, maka Yuti lalu merasa menang, merasa bahwa dengan senjata “teori perasaan” ini, dia bisa mengobrak-abrik kerja sama Nasakom dan merusak serta membubarkannya. Padahal, tidak satu kalipun Presiden Sukarno mengatakan bahwa Rakyat Indonesia harus menjadi “perasaan-perasaan Nasakom”! Dan padahal, bahwa Bung Karno menamakan diri “perasaan Nasakom”, ini bukan hal baru. Di tahun 1941, dalam tulisan “Sukarno, oleh...Sukarno sendiri”, beliau menamakan diri “campuran dari semua isme-isme itu” dan “sintesis dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada”.

Yuti, setelah menyebarkan ketidakpercayaan dan kecurigaan umum terhadap Nasakom dengan menulis “Pak Aidit, Pak Idham, dan Pak Ali, harus diselidiki lebih dulu, — mungkin ada yang bukan Nasakomis”. Dia menyimpulkan: “Jika seseorang tidak dapat mencakup tiga komponen yang terkandung dalam pribadi Bung Karno...tidak dapatlah menjadi Sukarnois sejati.”

Timbullah pertanyaan: Kalau Aidit, Idham, dan Ali pun diragukan “kenasakomannya”, lalu siapa yang bisa “menjadi Sukarnois sejati”? Yuti seorang diri? Setelah kita kupas tulisan-tulisan Yuti yang membelokkan dan mengaburkan ajaran-ajaran Bung Karno ini, mungkin mayoritas terbesar Rakyat Indonesia akan berkata: “Kalau Yuti itulah Sukarnois, biarlah kami bukan-Sukarnois...”

Sekalipun Bung Karno menamakan dirinya “perasaan Nasakom” (beliau berhak menamakan dirinya demikian, karena beliaulah pelantun gagasan Nasakom itu 38 tahun yang lalu, sedang semua orang lainnya, termasuk Yuti, sekaligus tidak berhak dan tidak punya syarat untuk menamakan diri demikian!), Bung Karno tidak pernah menyaratkan Nasakom itu sebagai “keharusan perasaan” pada diri masing-masing kita, melainkan menyaratkannya sebagai keharusan persatuan segenap tenaga nasional revolusioner.

Di dalam Tavip, Bung Karno menandaskan: “Akhirilah segala fobia-fobiaan, hentikanlah jegal-jegalan dan srimpung-srimpungan, tulislah di atas panjimu ‘Nasakom’ dan sekali lagi ‘Nasakom’...Unsur-unsur keprogresifan itu terdapatlah di semua lapisan masyarakat Indonesia. Ada di kalangan agama. Ada di kalangan nasionalis. Ada di kalangan sosialis-komunis...Karena itu, maka Nasakom adalah keharusan progresif daripada Revolusi Indonesia. Siapa anti-Nasakom, ia tidak progresif! Siapa anti-Nasakom, ia sebenarnya adalah memincangkan Revolusi, mendingklangkan Revolusi! Siapa anti-Nasakom, ia tidak-penuh-revolusioner...!”

Yuti dengan segala teori-teoriannya tentang “Nasoma” dan “Nasasos”, yang hakikatnya adalah Nasakom-fobia, memang harus kita akui sebagai seorang ahli dalam...mendingklangkan revolusi, seorang yang tidak-penuh-revolusioner...

“Harian Rakyat” 26-11-‘64

 

BAGAIMANA YUTI MENGACAUKAN KAWAN DAN LAWAN

Salah satu jasa Manipol yang terutama adalah ditariknya garis demarkasi yang jelas antara kawan dan lawan revolusi. Dalam semua pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan negara, mulai Jarek sampai Tavip, hal ini seperti benang merah menjelujur di sekujur “tubuh”.

Bahkan pun dalam hal yang fundamental ini, Yuti menganut “Sukarnoisme” yang istimewa, yaitu “Sukarnoisme” yang anti-Manipol, “Sukarnoisme” yang anti-Sukarno!

Dalam serial tulisannya No. 31, di bawah judul “No medicancy but self reliance”, Yuti antara lain mengemukakan dalam kesimpulannya bahwa: “Untuk mencapai tujuan kita harus mempercayakan kepada kekuatan sendiri. Tidak boleh minta-minta kepada orang-orang lain. Jangan lagi kepada musuh, kepada kawan sendiripun hendaknya tidak dilakukan.”

Sepintas lalu tampaknya uraian Yuti ini benar-benar sesuai dengan pendirian Bung Karno. Bahwa kita harus percaya kepada kekuatan sendiri dalam melawan musuh-musuh revolusi, kita harus berdiri di atas kaki kita sendiri. Tetapi jika isinya didalami sungguh-sungguh, maka bertentanganlah ia dengan gagasan Nasakom serta Nefo dari Bung Karno.

Bung Karno senantiasa mengemukakan betapa pentingnya sekutu di dalam perjuangan. Di dalam perjuangan kita harus memperbesar kawan dan memperkecil lawan. Tidak berusaha memperbanyak kawan, apalagi jika menyamakan kawan dengan lawan, akhirnya barisan lawan bertambah besar dan ini adalah bunuh diri.

Yuti dalam tulisannya mensenapaskan “musuh” dengan “kawan”. Sama-sama jangan diminta bantuannya. Ia bahkan tak tahu bahwa sangat berbeda antara “musuh” dan “kawan”! Dengan musuh tidak ada persoalan “meminta”, dengan musuh persoalannya hanya “memberi”, yaitu memberi pukulan-pukulan! Sedang kepada kawan tidak saja kita harus bisa menerima, tetapi juga harus benar-benar bisa memberi. “Inilah rahasianya persatuan”, kata Bung Karno dalam “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.

Mensenapaskan “musuh” dan “kawan” bertentangan langsung dengan hukum revolusi seperti yang dikemukakan Presiden Sukarno dalam Tavip, yaitu bahwa “harus ditarik garis pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan terhadap lawan Revolusi”.

Menolak bantuan kawan, mengabaikan peranan bantuan sekutu sama dengan menganggap tidak penting adanya front persatuan nasional dalam menyelesaikan revolusi nasional. Seolah-olah Revolusi nasional dan demokratis Indonesia bisa diselesaikan oleh satu kelas saja! Bandingkanlah ini dengan sepak terjang Bung Karno untuk mempersatukan semua kekuatan yang bisa dipersatukan guna menghancurkan imperialisme dan feodalisme!

Juga secara internasional mengabaikan peranan sekutu berarti menolak gagasan Nefo, yaitu persatuan internasional melawan imperialis. Seolah-olah perjuangan kita berdiri sendiri saja dan tidak menjadi bagian dari revolusi dunia. Padahal Presiden Sukarno dengan terus terang berkata dalam karya beliau “Sarinah”, bahwa “Partai Nasional Indonesia pun, partai saya sendiri dulu, di dalam bentuknya dan politiknya yang dulu, tak akan dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena itu ia terlalu memandang perjuangan Rakyat Indonesia itu sebagai satu perjuangan nasional tersendiri, dan kurang memperhatikan kedudukan perjuangan Rakyat Indonesia itu sebagai satu bagian daripada satu Revolusi Besar Internasional”.

Dengan melalui tulisannya, Yuti hendak mengembangkan sovinisme nasional, sedang di dalam “Lahirnya Pancasila” dengan jelas dikatakan bahwa “kebangsaan” kita “bukan berarti satu kebangsaan yang sempit”.

Dengan sovinisme nasional, ia hendak memecah front persatuan nasional di dalam negeri dan hendak memecah persatuan internasional Nefo, tidakkah hebat sekali ambisi Yuti dengan segala “Berita Indonesia”-nya itu?

“Harian Rakyat” 27-11-‘64 

 

BAGAIMANA YUTI MENYABOT FRONT NASIONAL

Mengapa kita bersikap keras terhadap tulisan-tulisan Yuti? Kita sekadar mengikuti “jalan Yuti”! Pada awal serialnya, Yuti membandingkan keilmiahan “Sukarnoisme” dengan Marxisme-Leninisme, dan dia sendiri berpretensi untuk mengupas soal-soalnya “secara imliah”.

Politik memang ilmu. Bung Aidit misalnya dalam membicarakan peranan ilmu selalu berkata: ilmu harus mengabdi kepada politik yang ilmiah. Dalam politik yang ilmiah, tak mungkin kecerobohan ini atau kesembronoan itu, apalagi pembelokan dan penyelewengan, dicoba dimaafkan dengan “belum tentu semua tulisan saya benar”...

Dan karena Yuti begitu suka akan perbandingan-perbandingan sejarah, baiklah Yuti tak usah berkecil hati dan mengingat bagaimana Engels dulu memperlakukan Herrn Dühring dan bagaimana Lenin memperlakukan gospodin Kautsky!

Dalam seri tulisannya No. 30, “Dari Buku Sarinah”, dinyatakan Yuti bahwa “prinsip revolusioner dasarnya adalah kecintaan dan kesetiaan pada golongan lemah”.

Adakah ini sesuai dengan ajaran Bung Karno?

Presiden Sukarno dalam banyak tulisannya, termasuk dalam “Sarinah” dan yang terakhir dalam Tavip menyatakan, bahwa “...siapapun yang melawan imperialisme adalah objektif seorang revolusioner...selama mereka melawan imperialisme, selama itu mereka adalah revolusioner”.

Tegas bahwa menurut Presiden Sukarno semua kekuatan yang berjuang melawan imperialisme, baik kaum buruh, tani, borjuasi kecil, maupun borjuasi-nasional adalah revolusioner, dengan tidak mempersoalkan apakah mereka secara subjektif cinta dan setia pada golingan lemah atau tidak!

Kenyataannya sekarang borjuasi nasional di Indonesia dewasa ini ikut berjuang melawan imperialisme. Adakah mereka melawan imperialis karena “cinta dan setia” kepada “golongan lemah”? Bukankah karena cinta dan setia kepada golongannya sendiri, kelasnya sendiri yang juga dirugikan oleh imperialisme? Kelas mereka bukan “golongan lemah”! Mereka berjuang melawan imperialisme mungkin malahan dengan tujuan supaya dapat lebih bebas menghisap kaum buruh dan Rakyat pekerja lain, yang ekonominya memang lemah. Ini kalau kita bicara perkara hal-hal yang subjektif – tetapi soalnya adalah soal objektivitas!

Jika diikuti lohika Yuti bahwa prinsip revolusioner itu dasarnya “cinta dan setia” pada “golongan lemah”. Maka borjuasi nasional, karena tidak revolusioner, tentunya harus disingkirkan dari front anti-imperialis. Dan kalau ini terjadi, maka berlangsunglah sabotase yang licik terhadap front nasional!

Ataukah Yuti menginginkan bahwa borjuasi nasional harus disamakan dengan imperialis dan karena itu harus diganyang? Kita rasanya berhak mengajukan pertanyaan ini karena Yuti mau “langsung ke sosialisme”, tanpa melewati “masyarakat borjuis”. Tetapi siapa borjuasi nasional itu? Ke dalamnya termasuk kaum kapitalis, walaupun pakai adjektif “jelata”, “marhaen”, atau “murba”! Tapi kalau adjektifnya saja “murba”, sedang menjadinya kapitalis dengan menggaet kekayaan negara, dengan machinasi-machinasi birokratis, maka ia adalah kapitalis birokrat yang memang harus diganyang. Bersediakah Yuti bersama-sama Rakyat mengganyang mereka ini?

Apa yang secara minimum harus kita sebut ketidakcermatan Yuti dan secara maksimum mungkin harus disebut pencideraan atas ajaran-ajaran Bung Karno –yang oleh Asnawi Said dikatakan ditulis secara “berbelit-belit”— rupanya membelit Yuti sendiri...

“Harian Rakyat” 28-11-‘64

 

BAGAIMANA YUTI MENYULAP DIALEKTIKA

 Ada sebuah pepatah Italia: kalau tak bisa memasukkan babi ke lubang dari kepalanya, masukkan ia dari pantatnya.

Ini bukan dialektika – ini pragmatisme murni!

Juga “dialektika” diartikan secara seenaknya saja oleh Yuti. Dia memberikan batasan yang terpisah sama sekali dari hukum-hukum objektif dialektika. Inilah tulisannya dalam artikelnya “Bagaimana secara dialektis itu?”: “Secara dialektis ialah secara serba terhubung satu sama lain, pengaruh-mempengaruhi dan tentu-menentukan, dinamis dan bergerak meningkat-ningkat.:

Seperti biasa tentu Yuti mulai dengan tata bahasa bahwa asal dialektika itu dari Bahasa Yunani, bahwa ada “dialektika klasik” dan “dialektika modern”, bahwa yang pertama berarti “meninjau sesuatu persoalan dari beberapa sudut”, dan bahwa yang “modern” berarti “menambah cara berpikir klasik tadi dengan hukum perkembangan ditinjau dari pengertian dialektika tadi”.

Tidakkah fantastis semua ini? Terhadap dialektika idealis yang berdiri-di atas-kepala (secara kiasan maupun harfiah) itu, Marx dan Engels telah menjungkirbalikkannya, tetapi menurut Yuti soalnya hanya “menambah” yang lama...

Kekisruhan Yuti tidak berhenti di sini. Apa itu dialektika “modern”? Menurut Yuti: ini adalah “dialektika Hegel dan Marx”. Ya, olehnya disenapaskannya yang dua ini: raksasa idealisme dan raksasa materialisme ini!

Barangkali Yuti tak pernah mendengar kata-kata Lenin bahwa Marx telah “menyelamatkan dialektika” dari idealisme dan kata-kata Marx sendiri bahwa dialektikanya bukan saja berlainan, melainkan “lawan langsung” metode Hegel?

Juga di sini kekisruhan Yuti belum berakhir. Mari kita ikuti lagi apa yang ditulis si arif bijaksana ini: “Dialektika itu sebenarnya adalah suatu metode berpikir, suatu cara untuk mendekati (meng-approach) gejala-gejala alam.”

Inilah idealisme dari kaki sampai ke uban! Marx melakukan “ekstraksi” dan “abstraksi” dialektika itu dari alam, tetapi Yuti mulai dari “dialektika” dan mau memaksakannya kepada alam, untuk “mendekati”-nya...

Jadi: menyamakan dialektika modern dengan yang lama, menyamakan pula Marx dengan Hegel. Rupanya filsafat “serba sama” inilah yang memberi keyakinan pada diri Yuti bahwa “isme”-nya (yang oleh “Bintang Timur” disebut “Yutiisme”) “sama” dengan “Sukarnoisme”...

Tak usah kita terangkan lagi bahwa orang takkan tahu ABC-nya dialektika apabila orang tak kenal akan hukum-hukum dialektika, yang disimpulkan Engels dalam 3 hukum: perubahan kuantitas ke kualitas, interpenetrasi, dan negasi daripada negasi.

Kemudian Yuti juga mengajukan definisinya tentang manusia: “Manusia adalah pribadi Kromodongso murni (Das Uebelch) yang mengenal hakikat pribadinya, yaitu kemanusiaan dan perikemanusiaan, dan yang memiliki kekuatan terpendam untuk secara dialektis mengolah dan mengembangkan pribadinya tadi, supaya menjadi manusia sejati, guna melahirkan macam-macam kemajuan yang sangat diperlukan bagi kesejahteraan hidup lahir batin — serta yang memikul pertanggungan jawab segala karmanya, terhadap lain-lain Kromodongso, terhadap penciptanya, dan juga terhadap pribadinya sendiri.”

Dari definisinya yang berbelit-belit, sesungguhnya tercermin pandangan Yuti yang bertentangan langsung dengan materialisme historis yang diterima oleh Bung Karno. Yuti selalu menonjolkan apa yang ia namakan “pribadi manusia dengan kekuatan terpendamnya”, tipikal pandangan sejarah idealis yang menganggap “pahlawan-pahlawan” dan “manusia-manusia istimewa” sebagai pencipta sejarah. Sedangkan Marxisme mengajarkan Rakyat pekerjalah pencipta sejarah yang sesungguhnya. Bung Karno pun selalu menyatakan, bahwa tanpa Rakyat beliau bukan apa-apa.

Idealisme Yuti adalah idealisme subjektif. Ini tercermin dalam definisinya tentang manusia yang sangat menekankan pada “aku”, “bakat”, “potensi”, “kekuatan terpendam”, “Kromodongso murni”.

Yuti menekankan dalam definisinya tentang manusia pada “pengenalannya” terhadap “hakikat pribadi”-nya sehingga jika ada manusia yang tidak mengenal hakikat pribadinya maka ia bukan manusia lagi...Definisi Yuti tentang manusia bahkan menggambarkan seolah-olah manusia bisa ada tanpa adanya masyarakat!

“Harian Rakyat” 30-11-‘64

 

YUTI MINTA “DIGANTUNG”?

Ketika kita tunjukkan watak reaksioner “BPS” dari kenyataan bahwa penyokong-penyokong pertama dari apa yang disebut “Sukarnoisme” adalah “Soksi” dan HMI, koran-koran “BPS” naik pitam. Tetapi sekarang...Lagi-lagi Yuti sendiri yang memberikan pembenarannya. Setelah dia berbicara di depan “Soksi”, dia menurut “BI” semalam berbicara di depan HMI. Kata pepatah Belanda “soort zoekt soort” (jenis mencari jenis), bukan?

Dalam ceramahnya itu Yuti mengatakan bahwa “semua golongan sudah menerima ajaran-ajaran Bung Karno, tapi ketika dinamakan Sukarnoisme, lalu ada yang ramai-ramai”. Ini sama dengan “argumentasi” “BI” yang berkata kenapa tulisan serial Yuti sudah 5 bulan dibiarkan, kenapa 5 bulan kemudian baru ada yang menentangnya. Menurut pantun kuno: Sudah gaharu, cendana pula! Kita pun berhak bertanya: Kenapa 5 bulan lamanya tuan-tuan tidur, dan baru 5 bulan kemudian ribut-ribut bikin “BPS”?! Soalnya bukan soal ideologi atau filsafat – soalnya soal politik praktis, politik anti-Komunis dan anti-Nasakom!

Lalu Yuti memberi keterangan kenapa dia menuliskan tulisan-tulisannya: “Karena banyak yang mempunyai tafsiran sendiri-sendiri terhadap ajaran Bung Karno.” Amboi, bukankah keadaan sesungguhnya sebaliknya? Bukankah mayoritas Rakyat Indonesia memahamkan ajaran-ajaran Bung Karno sebagaimana adanya, termasuk kaum Komunis, dan bukankah hanya minoritas reaksioner yang berhimpun di dalam “BPS” yang punya tafsiran sendiri, yaitu tafsiran ke-yuti-yuti-an?

Bahkan ada yang senang mencukil-cukil ajaran Bung Karno, kata Yuti kemudian. Amboi, siapakah yang selalu memakai istilah “cetusan”? Bung Karno selalu berpesan “jangan ambil abunya, ambil apinya”, tapi mengenai ajaran-ajaran Bung Karno sendiri, Yuti rupanya tak mau ambil abunya dan tak bisa ambil apinya. Jadi? Dia cuma menangkap pletik-pletiknya, “cetusan-cetusan”-nya...

Kenapa Yuti menamakannya “Sukarnoisme”? Inilah penjelasan Yuti: “Menganut ajaran Bung Karno dengan nama suatu isme yang lain, masih bisa nyeleweng-nyeleweng.” Amboi, sadarkan Yuti bahwa yang dia serang dengan ini bukan lagi orang lain, melainkan...Presiden Sukarno sendiri, tak kurang dan tak lebih? PNI menamakannya “Marhaenisme”, dus masih bisa nyeleweng-nyeleweng! Partindo menamakannya “Marxisme-Sukarnoisme”, dus masih bisa nyeleweng-nyeleweng! Dan aduhai, Bung Karno sendiri menamakannya bukan “Sukarnoisme” melainkan “Marhaenisme”, dus...Bung Karno masih bisa nyeleweng-nyeleweng!

Lalu perhatikanlah kegagahan Yuti ini: “Kalau kita sengaja hendak mengelirukan ajaran tersebut, kita bisa setiap saat ditunjuk disalahkan, bahkan digantung, karena Bung Karno sekarang masih ada dan berkuasa.” Amboi, Yuti yang begitu jagoan dan sudah katam, tamat dan hapal “Sukarnoisme” rupanya tak tahu bahwa Bung Karno (seperti antara lain dinyatakannya pada percobaan kudeta 17 Oktober) tak mau jadi diktator? Tidak, Bung Karno sekalipun punya wewenang sebesar apapun takkan pernah menggantung Yuti. Hanya saja, dengan gerakan “BPS”-nya sekarang ini, Yuti dan “BI” dan segenap kliknya hanya memasang jerat di leher sendiri.

“Teori” Yuti tentang “Nasoma” dan non sense lainnya akan kita kupas lagi agak lebih luas lusa.

Sementara ini baik kita catat apa yang ditulisnya tentang Bung Karno dan Marxisme. Marxisme menurut Yuti “digunakan Bung Karno dalam bentuk pure science dan bukan applied science”. Pure non sense indeed! Yuti dengan pernyataannya ini hendak mensucikan Marxisme, membakarinya kemenyan, dan mengubahnya menjadi “ilmu”-nya sendiri: ilmu klenik! Sebab, apa penjelasan Bung Karno sendiri? Seperempat abad yang lalu Bung Karno sudah menegaskan bahwa Marxisme “adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat (spasi dari kita, HR) memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan”. Mustahil bukan bahwa seorang Yuti tak tahu arti “memecahkan”? Kalaupun tidak dalam arti teori, dalam arti (hobi Yuti) tata bahasa pun, kata ini toh tak mungkin disalahartikan?

“Harian Rakyat” 1-12-‘64

 

NASAKOM BUNG KARNO DICOBA DITANDINGI ANTIKOM “BPS”

Bersitegang adalah pula watak Yuti. Demikianpun “BPS”, “Soksi”, “HMI”. Watak ini tak asing bagi kita. Kalau tak karena dibubarkan, mana Masyumi-PSI akan pernah bubar! Juga “Liga Demokrasi”, juga “Manikebu”!

Dalam ceramahnya di depan “HMI”, Yuti bersitegang pada “teori”-nya: “Kalau ada golongan yang hanya menerima ideologi Nasoma (Pancasila), tetapi menolak kerja sama Nasakom...maka golongan itu bukan pengikut ajaran Bung Karno. Demikian pula kalau ada yang mau bekerja sama Nasakom, tetapi hanya menerima Pancasila sebagai alat pemersatu tok. Golongan itu juga bukan pengikut ajaran Bung Karno.”

Kita tak mempersoalkan berhak-tidaknya “BI” secara yuridis mempermasalahkan Pancasila (kendati “Bintang Timur” pernah dibredel hanya karena menyinggung Pancasila), tetapi teori-teorian Yuti tentang “Nasoma” yang tak ada bau-baunya ajaran Bung Karno ini begitu disenangi mereka rupanya, sehingga kitapun senang melayaninya.

Pertama, mengapa Yuti mengetengahkan rumusan “Nasoma”. Di atas segala-galanya untuk menghindari istilah “Kom”, karena menentangnya terang-terangan tak mungkin lagi (kaum soska pernah mendesas-desuskan “Nasasos”). Jangankan membicarakan hari ini atau hari esok, bahkan membicarakan zaman baheula, Yuti menyulap “Kom” menjadi “Sos”! Ini jelas dari tulisan serialnya yang terbaru (baru seri ke-72!) yang mula-mula menyebut zaman-mula itu “Komunisme purba”, “Komunisme primitif”, “Komunisme asli”, lalu kemudian memodulisasinya menjadi “masyarakat sosialis/komunis yang masih primitif” (ini batu loncatan untuk menuju ke...nopla) akhirnya menjadi masyarakat “sosialisme primitif”. Ya, buang segala istilah Komunis, tukar ia dengan istilah “Sosialis”, biar tidak populer Komunisme biar kabur Nasakom, dan biar hidup...Komunisto-fobia atau anti-Komunisme alias Antikom, bukan begitu mBah Sodrono, maaf Bung Yuti?

Kedua, setelah menghindari istilah Nasakom, tujuan Yuti dan segala “BPS”, “Soksi”, dan “HMI”-nya adalah untuk menghindarkan kerja sama Nasakom itu sendiri! Bolak-balik Yuti mengatakan bahwa Nasakom itu hanya “bentuk kerja sama” dan bahwa yang terpenting, terhebat, dan terdahsyat adalah “Nasoma”, karena ini adalah “ideologi”. Tetapi ideologi adalah ekspresi terkonsentrasi dari kepentingan sesuatu kelas, maka bertanyalah kita: kelas apa yang diwakili oleh “ideologi Nasoma” itu? Yuti selalu merasa menang, karena Bung Karno di dalam Tavip menyebut diri “perasaan Nasakom”. Padahal, bahwa Bung Karno menganggap dirinya demikian ini bukan hal baru, dan beliau tak pernah menganjurkannya bagi orang lain! Orang lain, dalam pendapat kita, bahkan tidak berhak dan tidak punya syarat untuk menamakan dirinya demikian. Dalam pidatonya ketika melantik menteri-menteri baru, 14 September 1964, Presiden Sukarno berkata:

“Saya punya rahasia ialah, saya bisa ngrangkul, bekerja sama dengan semua tenaga-tenaga revolusioner. Sayalah, misalnya, yang dapat gieten prinsip Nasakom, Nas-A-Kom...Saya adalah Nas, adalah A, adalah Kom...Nah, saya minta kepada saudara-saudara, saya anjurkan kepada saudara-saudara dalam saudara-saudara menjalankan saudara-saudara punya kewajiban...supaya saudara pun bisa bertindak, bersikap, berlaku demikian itu, ngrangkul semua tenaga-tenaga revolusioner, ngrangkul, mempergunakan segenap tenaga-tenaga yang ada di dalam Revolusi kita ini.”

Bisakah Yuti dan segala “BPS”, “Soksi”, dan “HMI”-nya membaca permintaan, anjuran Presiden Sukarno ini dengan tidak keliru atau tidak dikelirukan? Syarat yang diletakkan Presiden Sukarno bagi kita sekalian adalah bukan supaya menjadi “perasaan Nasakom”, melainkan supaya bisa “ngrangkul semua tenaga-tenaga revolusioner”. Ya, kalau Tavip menyerukan: “Tulislah di atas panjimu Nasakom dan sekali lagi Nasakom”, maka mulai hari ini mari kita segenap kaum revolusioner serukan bersama-sama “Enyahkan dari panjimu ‘Nasoma’ dan sekali lagi enyahkan ‘Nasoma’.”

Kepintaran Yuti adalah yang dalam Bahasa Jawa disebut: pinter keblinger. Perhatikanlah “logika”-nya yang berantakan ini: menurut dia setuju kerja sama Nasakom harus Nasoma, dan Nasoma harus setuju kerja sama Nasakom. Tapi, Tuan Yuti, kalau sudah jadi “Nasoma” semua kepala-somah dan isi-somah, siapa lagi yang harus di-“kerja sama Nasakom”-kan! Dus, untuk berterus terang — maksud kalian adalah menghindarkan Nasakom, ya, menghapuskan Nasakom, membunuh Nasakom, jadi menyabot habis-habisan ajaran-ajaran Bung Karno. Kita akan tetap mati-matian membela asaz Nasakom dan dengan demikian membela ajaran-ajaran Bung Karno, dan kita akan terus melawan “BPS” dengan “Sukarnoisme”-nya yang palsu karena soalnya soal hidup-matinya ajaran-ajaran Bung Karno. Seperti dikatakan Shakespeare: “To be, or not to be: that is the question!”

“Harian Rakyat” 3-12-‘64

 

REALISME BUNG KARNO KONTRA MISTIK YUTI

Lagi-lagi Yuti membikin pertanggungjawaban atas judul tulisan-tulisannya dan mengapa “judulnya dibikin macam-macam” (baik para ahli tata bahasa memperhatikan hal ini: “macam-macam” dan bukan “bermacam-macam”!) dikatakannya: “Hanya supaya tiada menjemukan.” Apakah di sini bukan bawah sadar yang berbicara yang beranggapan mempelajari ajaran-ajaran Bung Karno itu bisa “menjemukan”? Tapi ya, soalnya tak akan menjemukan, jika yang dipelajari ajaran-ajaran Bung Karno, tetapi kalau yang harus ditelan dan dicernakan tulisan-tulisan Yuti...memang lain perkara!

Yuti dalam serialnya No. 34, di bawah judul “Jiwa Penggali dan Pencipta” telah “menguraikan” bagaimana caranya Bung Karno mendapat “ilham” untuk menciptakan karyanya “Pancasila”. Dikatakan Yuti bahwa malam menjelang 1 Juni 1945 itu Bung Karno terlebih dulu “bertafakur”.

Yuti dengan begitu hendak membayangkan bahwa Bung Karno dalam menyiapkan pidato “Lahirnya Panca Sila” tidaklah aktif meneliti “tentang keadaan nasion Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa...berbagai aliran politik...berbagai macam keyakinan agama, dan sebagainya” tetapi hanya secara pasif “mengharapkan” datangnya “ilham”.

Padahal Bung Karno dengan pisau Marxisme telah menganalisis keadaan masyarakat Indonesia, di mana di dalamnya terdapat “perbedaan-perbedaan, tetapi satu jua” (Bhineka Tunggal Ika). Karena adanya perbedaan-perbedaan itulah maka diperlukan alat untuk mempersatukannya dan alat pemersatu itu yang dapat dijadikan dasar negara.

Ini adalah sesuai dengan apa yang dikatakan Bung Karno dalam tulisannya “Menjadi Pembantu Pemandangan”, bahwa Marxisme itu “satu-satunya teori yang...kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan” (Di Bawah Bendera Revolusi, halaman 510 – 511).

Tentang aktifnya Bung Karno untuk menciptakan karyanya “Pancasila” itu dapat dilihat dari Amanat beliau pada resepsi pembukaan Kongres ke-X PNI di Purwokerto. Presiden Sukarno dengan tegas menyatakan: “Saya gali, gali, gali...terdapatlah lima mutiara yang amat indah dan lima mutiara itu adalah Pancasila, yang kemudian saya persembahkan kembali kepada Rakyat Indonesia”, (Penerbitan Khusus Deppen RI No. 282, halaman 7). Inilah realisme Bung Karno.

Bung Karno dapat mengenal ini dan sifat masyarakat Indonesia dan berdasarkan pengenalannya itu menentukan jalan yang harus ditempuh, sesuai pemecahan menurut metode Marxis. Ini jugalah sebabnya maka Presiden Sukarno senantiasa menganjur-anjurkan agar orang belajar Marxisme untuk mengenal kondisi-kondisi Indonesia, situasi Indonesia, problem-problem Indonesia untuk memecahkannya.

Yuti mencoba “memistikkan” hasil karya Bung Karno, tetapi mana usaha begini akan berhasil!

Lebih dari itu: Yuti juga mencoba memistikkan perkembangan sejarah, seperti terbukti dari dua tulisannya yang terakhir (No. 72 dan 73). Tentang ini kita tulis besok.

“Harian Rakyat” 4-12-‘64

 

MATERIALISME HISTORIS DILAWAN YUTI DENGAN “TEORI NAFSU”

Bahwa Bung Karno menganut materialisme historis, tak perlu ini dijelaskan lagi. Jika benar Yuti seperti dilukiskan “BI” seorang “murid baik” Bung Karno, tentu tak mungkin Yuti tak menganut, apalagi menolak materialisme historis. Tapi apa kenyataannya?

Dalam serial tulisannya No. 72, “Dari Komunisme purba sampai Komunisme modern” Yuti menerima pembabakan zaman menjadi 5: “zaman komunisme purba”, “zaman perbudakan”, “zaman feodal”, “zaman borjuis”, dan “masyarakat sosialis dan komunis modern”. Bagaimana Yuti menerangkan perubahan dari satu zaman ke zaman lain ini?

Kita dengarkanlah apa yang dikatakannya: “Jika menurut analisis historis materialisme, yang demikian tadi terjadi tanpa melalui kesadaran manusia.” Saudara tidak kagum akan pemvulgaran Yuti atas Marxisme ini? Kita sudah tak bisa kagum lagi! Kita sudah terbiasa membaca pemvulgaran yang demikian, tetapi bukan dari seseorang yang memakai merk “murid baik Sukarno”, melainkan dari siaran-siaran (maaf, para pembaca) Sendenbu, RVD dan USIS! Entahlah kalau Yuti pernah sempat memungut cara-cara baru “sinar baru” dalam propaganda antikom seperti di zaman pendudukan Jepang...Kalau Yuti bersungguh-sungguh dan tidak bermaksud berseloroh, kita undang beliau untuk menunjukkan di mana dan kapan Marx dan Engels ataupun kaum Marxis umumnya berpendirian meremehkan kesadaran manusia itu!

Kata Yuti kemudian: perkembangan masyarakat itu “jika menurut analisis historis materialisme...terjadi sebagai akibat dari penemuan alat-alat produksi baru”, tetapi (dan inilah pendirian Yuti yang sesungguhnya) “analisisnya menurut kodrat hidup manusia...mengapa masyarakat sosialis primitif yang begitu bagus berkembang menjadi masyarakat perbudakan yang begitu jelek...karena yang mendapat kesempatan berkembang lebih banyak pada waktu itu adalah bakat kebinatangan...”.

Lalu dalam serial tulisannya No. 73, “Berontaknya Rasa Peri-Kemanusiaan”, diperikanlah oleh Yuti peri peri-kemanusiaan dan peri-kebinatangan itu, begitu mengasyikkannya, sehingga tak terperikan lagi...Tapi baiklah kita dengarkan agak sedikit: “Ada kalanya bakat kebinatangan yang unggul, dan ada kalanya bakat kemanusiaan yang unggul”...”Baik penguasaannya di dalam kehidupan manusian seseorang”.

Yang tidak diterangkan Yuti adalah berapa persen pada tiap-tiap ketika peri-kemanusiaan atau peri-kebinatangan itu berkuasa, berapa persen pada diri masing-masing orang dan berapa persen dalam kehidupan masyarakat, berapa persen di tiap-tiap negeri dan berepa persen di seluruh dunia, maka peri tentang bakat dan nafsu dan peri-peri itu menentukan jalan sejarah! Juga tidak diterangkannya, mengapa wong sama-sama peri-kebinatangannya yang berkuasa kok masyarakatnya sekali tempo bisa “perbudakan”, sekali tempo “feodalisme”, dan sekali tempo lagi “kapitalisme”! Sedang apa yang diterapkan Bung Karno? Dalam seri kursus “Camkan Pancasila”, justru ketika menjelaskan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Bung Karno menerangkan: “Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum.”

Jadi di mana memper-mempernya tulisan-tulisan Yuti dengan ajaran-ajaran Bung Karno? Di mana mirip-miripnya? Di mana bau-baunya?

“Harian Rakyat” 5-12-‘64

 

“DARI PENJARA KE PENJARA” YUTI

“Pembaktian hidup menurut kodratnya” adalah judul tulisan Yuti yang paling belakangan (tentu belum yang terakhir). Tetapi apa isinya? Para pembaca tak usahlah terperanjat: kalau menurut Bung Karno seorang historis materialis itu seorang yang tahu dia punya “historische taak” dan maka itu “dedikasi”-nya tercurah kepada “historische taak”  itu, maka menurut Yuti seorang historis materialis itu lebih rendah daripada...seekor ayam betina!

Kita tidak mengada-ada: itulah yang ditulis Yuti 5 Desember kemarin dulu. Dalam tulisannya itu Yuti –rupanya sudah jadi kesukaannya— banyak berbicara tentang dirinya sendiri. Bahwa dia pernah masuk “penjara di zaman penjajahan”, bahwa ini “berkali-kali, tidak hanya satu kali saja”, bahwa “pengembaraan dari penjara ke penjara” itu mengalami penjara-penjara “yang dikuasai oleh penjajah Belanda...Inggris...Jepang”, bahwa di sana dia “merenungkan...pengalaman-pengalaman sendiri” (Yuti di atas segala-galanya merenungkan dirinya sendiri, bukan misalnya nasib Rakyatnya atau ajaran-ajaran Bung Karno, dan Yuti hanya bercerita tentang pernah masuk penjara ini penjara itu, tapi tidak menceritakan bagaimana sikapnya di penjara, misalnya setelah keluar penjara Jeoang apa polahnya di sisa zaman Jepang itu) dan bahwa “mempelajari pengalaman/pengamatan sendiri” itu “lantas dicocokkan dengan ajaran-ajaran Bung Karno”. Kita hanya ingin numpang tanya dari sudut tata bahasa: apakah “dicocokkan” itu dalam arti “disamakan” ataukah “ditusukkan”?

Nah, yang terpenting sekarang apa hasil perenungan Yuti dari penjara ke penjara itu? Yuti bertanya-tanya “mengapa banyak orang suka membaktikan hidupnya sama seklai kepada masyarakat dan perikemanusiaan”. “Dengan historis materialisme...jalan pikiran malah cenderung menuju ke arah yang agak sebaliknya”, kata Yuti kemudian. Cenderung ke mana? Inilah menurut Yuti “kecenderungan pengertian, bahwa tiap hidup itu pertama-tama memikirkan/berjuang untuk kepentingan sendiri terlebih dulu”...Lalu kata si filosof yang luar biasa itu, Mas Yuti: “Dan setiap orang tentu sudah menyaksikan, bahwa ayam betina yang sedang mengasuh anak-anaknya, bersedia membaktikan hidupnya untuk keselamatan anak-anaknya itu!”

Yuti memang punya “teori” yang istimewa: historis materialis hanyalah “untuk kepentingan sendiri terlebih dulu”. Agama? Menurut Yuti ada yang “setiap kali menyebut-nyebut nama Tuhan, tetapi perbuatannya sehari-hari hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja”. Jadi? Marxisme mesti “ditambah” dengan agama. Dua hal yang jelek digabungkan menjadilah satu kebaikan? Two wrongs make one right? Tidakkah sederhana rumusan Yuti ini? Mungkin Yuti menarik kesimpulan ini dari praktik bahwa orang-orang PKI yang tak beragama ternyata memperkaya diri dan bahwa “murba-murba” yang “menambahkan” agama pada “Marxisme” ternyata tidak memperkaya diri...?

Prof. J. B. Haldane pernah mengatakan bahwa kaum materialis historis itu ternyata “lebih idealis daripada kaum idealis”. Karena setiap orang tahu bahwa historis materialisme adalah suatu pengertian filsafat, sedang dalam pengertian akhlak, moral, kaum ini justru yang termasuk paling “idealis”, yang termasuk paling besar “dedikasi”-nya.

Bung Karno pun sudah pernah memperingatkan jangan dua pengertian ini ditukar-tukar. “Dua faham ini”, kata beliau dalam tulisan terkenal beliau “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, “oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropa, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarlah dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme, mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan faham itu...tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang ber-Tuhankan materi...”.

Ini ditulis Bung Karno di tahun 1926. Rupanya “kemajuan” kaum anti-Marxis selama 38 tahun ini adalah bahwa mereka sudah sampai kepada puncak menamakan kaum historis materialis itu lebih rendah “kodrat”-nya daripada...ayam betina! Tidakkah sudah terlampaui propaganda Sendenbu di sini?

Tapi apa mau dikata: Yuti mengakui sendiri — dia cuma memakai “sedikit pengetahuannya tentang historis materialisme, dan sedikit tentang Darwinisme...juga dengan ajaran-ajaran agama...yang juga sedikit-sedikit pernah (Yuti) pelajari...”, sedikit-sedikit ...nyelekit. Tapi biarlah kita tetap menjaga diri dengan merosot ikut-ikutan membandingkan “BPS”, “Soksi”, “HMI”, dan sebangsanya dengan binatang, betina maupun jantan, dan biarlah tentang tempat “BPS”, “Soksi”, maupun “HMI” di dunia fana ini kita serahkan kepada Rakyat dan di akhirat nanti kita serahkan sepenuhnya kepada Malaikat Nungkar wa Nangkir...

“Harian Rakyat” 7-12-‘64

 

“ANTI-HISTORISME” YUTI

“Kalau mau berenang di lautan, orang harus tahu hukumnya laut! Orang bisa bunuh diri dengan menentang hukumnya laut, tetapi orang tidak bisa membunuh hukumnya laut! Orang tak bisa membunuh hukum Sejarah, orang tak bisa membunuh hukum Revolusi!”, demikian kata Bung Karno dengan baiknya di dalam Tavip.

Tetapi apa dongeng Yuti di dalam tulisannya “Mengikuti jalan sejarah”?

Yuti tidak menghilangkan terlalu banyak dari pendapat Bung Karno. Dia “hanya” menghilangkan justru hukum sejarah itu!

Kita bacalah cermat-cermat apa yang ditulisnya: “Sejarah tidak lain adalah perkembangan kenyataan itu pula, perkembangan kenyataan di dalam masyarakat.”

Ketika suatu peristiwa Feuerbach menyatakan dia bisa menerima setiap kenyataan, Engels menunjukkan bahwa kerajaan Prusia adalah suatu kenyataan — apakah Feuerbach menerimanya?

Sekarang Yuti mengatakan bahwa sejarah adalah “perkembangan kenyataan”, tanpa sesuatu hukumpun. Setiap kenyataan? Dan berkembang bagaimanapun dan ke arah manapun? Kalau suatu waktu Kabinet Ali Sastroamijoyo digantikan oleh suatu kabinet Burhanuddin Harahap –suatu “perkembangan kenyataan”!— maka menurut Yuti ini adalah “sejarah”, dan barangkali inilah “sejarah”...”Harian Rakyat” ketika kabinet-badut itu berdiri, menulis bahwa ia takkan berumur panjang, karena ia “anti-historis”, berlawanan dengan arus-pokok sejarah, dengan hukum sejarah.

Tapi kita bisa berbuat apa: Yuti punya “teori” tersendiri. Ketika “Liga Demokrasi” berdiri, sebagai “perkembangan kenyataan” tentulah ia itu “sejarah”. Begitupun ketika “Manikebu” berdiri. Begitupun ketika baru-baru ini orang bikin klub reaksioner “BPS”...

Untunglah hukum sejarah tak bisa ditiadaka, atau menurut kata Bung Karno tak bisa “dibunuh”, maka hukum itupun selalu menang atas “kenyataan” Yuti, selalu mengacau-balaukan, mengatasi, dan mengalahkan “kenyataan” Yuti.

“Tenslotte beslist de mens”, kata Bung Karno selalu. Ini serasi dengan ajaran Marxis bahwa sesungguhnya manusia itu membuat sejarahnya sendiri. Baik Bung Karno maupun Marx berbicara justru mengenai sejarah, dan bukan “tambo seorang-seorang”. Dalam Manipol pun ditegaskan, bahwa sekalipun jawaban atas persoalan-persoalan pokok revolusi sudah tersedia, “tetapi realisasinya sangat tergantung pada orang-orang yang diberi tugas untuk melaksanakannya”. Tapi apa kata Yuti? Menurut tafsiran dia “bukan manusia yang membikin sejarah”. Lalu ditambahkannya: “Masing-masing individu memang juga membikin sejarah, yakni sejarahnya sendiri. Bukan membikin sejarah masyarakat.” Ini bukan kekeliruan, bukan kesalahan, cuma...terjungkir balik!

Dalam arti tertentu “masing-masing individu” itu justru tidak “membikin sejarahnya sendiri”, karena ia tergantung pada hukum perkembangan masyarakat. Sebaliknya, dalam artian sejarah manusia itu tidak seperti yang dilukiskan Yuti “hanyalah merupakan alat”, melainkan aktif menjadi perombaknya. Yuti lagi-lagi mencoba menyelundupkan salah tafsir, untuk menyesatkan orang dan untuk membikin orang percaya seakan-akan menurut materialisme historis tak ada peranan kesadaran subjektif. Dan percobaan memfitnah materialisme historis ini dilakukan dengan taraf ilmiah yang bukan main tingginya, inilah katanya: “Jika hendak dinyatakan ‘manusia membikin sejarah’ juga boleh, tetapi...membikinnya tadi bukannya dengan kesadaran.” Untuk menjadi dungu dan tak paham apapun tentang materialisme historis memang bisa tak sadar, tapi untuk memfitnah materialisme historis, ini hanya bisa dilakukan dengan sadar! Ataukah Yuti barangkali bewust...bewusteloos?

Lalu katanya pula: “Manusia (orang-seorang) adalah alat sejarah. Sudah barang tentu alat itu ada yang baik dan ada yang tidka baik. Yang baik adalah yang revolusioner, yang tidak baik adalah yang kontra-revolusioner!” Lihatlah eklektisisme ini: yang revolusioner ya “alat sejarah”, yang kontra-revolusioner juga “alat sejarah”. Kesimpulannya? Sejarah itu bisa revolusioner, bisa juga kontra-revolusioner...Opo ora hebat?!

“Harian Rakyat” 8-12-‘64

 

YUTI MENOLAK BUNG KARNO PRESIDEN SEUMUR HIDUP

Kini tuntutan-tuntutan datang dari mana-mana agar “BPS”, badan penyerimpung Sukarno itu dibubarkan. Kaum Nasionalis revolusioner, kaum Agama revolusioner, maupun kaum Komunis menuntut hal tersebut. Watak anti-Nasakom, anti-Komunis, anti-Rakyat, dan terutama anti-Sukarno dari “BPS” kian hari kian nyata. Ajaran-ajaran Bung Karno yang sesungguhnya, yang mudah dapat dibaca, dipelajari, ditelaah, dan diendapkan dari tulisan-tulisan dan pidato-pidato beliau sendiri, kini makin terang dan jelas. Dialektika sejarah telah memenuhi kewajibannya: sekaligus dicapai dua hal — kian jelasnya ajaran-ajaran Bung Karno sebagai sesuatu yang progresif dan kian jelasnya “Sukarnoisme BPS” sebagai sesuatu yang reaksioner. Dan klub reaksioner “BPS” boleh menghibur diri dengan kenyataan bahwa perkembangan dialektis ini terjadi berkat vokal “BPS” sendiri!

Di Surabaya terjadi heboh karena Sukarni Kartodiwiryo menyatakan sesuatu yang jelas bernada anti-Sukarno. Ada golongan naif yang terperanjat oleh kenyataan ini, tetapi barang siapa mengikuti perkembangan politik di tanah air kita seperempat abad terakhir ini, terutama sejak 1945 hingga sekarang dengan cermat, tak ada yang mengherankan dari kenyataan tersebut. Melalui “Berita Indonesia” pagi kemarin Sukarni telah mencoba memberikan bantahan, tetapi bantahan itu sangat lemah dan sama sekali tidak meyakinkan. Soalnya tak bisa dinilai sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, yang lepas dari fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa lainnya. Fakta baru yang sekarang tak terbantah oleh siapapun adalah, bahwa baik Sayuti Melik maupun Sukarni Kartodiwiryo dibela mati-matian oleh “Berita Indonesia”. Dan kalaupun orang masih menimbang-nimbang apakah keputusan Komisi Politik Musyawarah Daerah Angkatan ’45 Jatim dan “Terompet Masyarakat” serta “Jawa Timur” yang benar ataukah Sukarni dan “BI”, tetapi orang takkan bisa membantah kenyataan bahwa di “BI” juga Yuti sekali peristiwa menulis dengan sejelas-jelasnya menolak penetapan Bung Karno oleh MPRS sebagai Presiden seumur hidup. Apakah fakta ini akan dicoba dibantah oleh “BI”? Apakah tak cukup kesopanan politik pada kaum klub “BPS” itu untuk mengakui tulisan Yuti ini dan apakah kita akan terpaksa harus memuat reproduksi dari tulisan Yuti yang menolak Bung Karno itu?

“Penjelasan” Sukarni kepada “BI” yang mengutip Manipol bahwa “otoritas tertinggi ini bukan orang, bukan Presiden, bukan Pemerintah, bukan dewan” justru membuktikan bahwa hakikatnya dia bertahan pada sikapnya yang anti-Sukarno. Lalu versinya atas pidato-Surabayanya yang berbunyi “Pimpinan sekarang dipersonifikasikan pada Bung Karno” dan “pimpinan dari revolusi adalah menjuruskan ke arah satu jurusan, yaitu suatu ide yang diamanatkan oleh Rakyat” membuktikan kekacaubalauan pikiran yang lebih-lebih lagi. Kenapa spesial dia tekankan pimpinan “sekarang”? Dan kalimatnya bahwa “pimpinan dari revolusi adalah menjuruskan ke arah...” hanya membuktikan, bahwa di samping menolak Sukarno, diapun ternyata menolak Amanat Penderitaan Rakyat — seakan-akan kita sekarang belum dipimpin oleh Ampera, seakan-akan kita baru “menjurus” ke arah “ide yang diamanatkan Rakyat”!

Singkat kata, baik dari heboh di Surabaya maupun dari tulisan Yuti jelas penolakan klub “BPS” & Co terhadap diri Sukarno. Dulu atas nama “demokrasi” menolak demokrasi, lalu atas nama “kebudayaan” menolak kebudayaan, sekarang kaum reaksioner atas nama “Sukarnoisme” menolak Sukarno. Tak ada yang orisinal!

“Harian Rakyat” 9-12-‘64

 

BUNG KARNO “PUNTODEWO”?

Bahwa tulisan Yuti yang menolak Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup maupun pidato-Surabaya, Sukarni tidak berdiri sendiri, ini jelas dari suatu kejadian di Madiun seperti tersebut di bagian akhir tulisan ini.

“Berita Indonesia” kemarin, sambil “menyangkal” bahwa “BPS” itu semacam “PWI tandingan”, terus mengecam apa yang disebutnya “sikap mengotot PWI”, dus menempatkan diri di luar PWI, dus berkonfrontasi terhadap PWI, dus benar menempatkan diri sebagai “PWI tandingan”. Lalu dikisahkannya hal ini: “Sifat dan tugas BPS itu mula-mula menolong kesulitan-kesulitan teknis Sayuti Melik untuk melayani surat-surat kabar dan majalah-majalah mengenai bahan-bahan yang harus disebarkannya. Pembaca sendiri dapat membayangkan bagaimana seorang diri seperti Sayuti Melik itu harus men-supply bahan-bahan kepada lebih dari 50 buah surat kabar/majalah di seluruh Indonesia...dengan banyak pertolongan dan bantuan dari BPS itulah maka Sayuti Melik bisa memusatkan perhatiannya terhadap penulisan ‘Belajar Memahami Sukarnoisme’...”

Jadi siapa menolong siapa? Ada kisah versi lain, yang mengatakan bahwa Yuti itu “bukan anggota” dari “BPS”, bahwa dia hanya dianggap sebagai “tukang ideologi” yang “menolong” hidup “BPS”, sedang menurut versi “BI” di atas “BPS” lah yang “penolong” Yuti. Jadi siapa dalangnya dan siapa wayangnya?

Beberapa waktu yang lalu, Yuti sesumbar, mengatakan bahwa “partainya” (kita sambut ketika itu: partai yang mana!) “tidak melarang” dia menulis untuk koran-koran “BPS”. Tetapi sekarang setiap pembaca koran menjadi tahu (kecuali pembaca koran-koran klub “BPS”) bahwa Front Marhaenis menuntut “BPS” dibubarkan! Adalah sangat menarik untuk menyaksikan sikap apa yang akan diambil Yuti pada hari-hari ini, atau, seperti suatu mulut usil membisikkan: siapa yang kali ini akan dikhianatinya — “BPS” atau PNI?

Sementara itu “BI” kemarin mengumumkan “hasil kolektif para notulis” mengenai pidato Surabaya Sukarni. Ini adalah notulen, dan bukan catatan stenografis! Jadi, apa-apa yang tidak ditulis di dalam notulen ini masih bisa diucapkan oleh Sukarni ketika di Surabaya! Lagipula, bagian yang mengenai Bung Karno yang menimbulkan heboh itu, lain di dalam inteview “BI” kemarin dulu, lain lagi di dalam notulen yang diumumkan “BI” kemarin. Kitapun lalu bertanya: “BI” Selasa atau “BI” Rabu yang benar?

Suatu hari di tahun 1945, di suatu tempat di dekat Gedung Proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta, Yuti pernah mengusulkan supaya Sukarno sebagai Presiden diganti saja dengan...(tentang ini baru pada akhir serial kita ini akan kita umumkan, Red. HR). Tetapi orang bisa mengatakan: itu ‘kan 19 tahun yang lalu...O, baiklah, kalau tak mau mendengar peristiwa 19 tahun yang lalu, bagaimana tentang peristiwa satu tahun yang lalu?

Waktunya 1963. Tempatnya rumah walikota Madiun. Ketika itu, seorang sahabat dekat Karni-Yuti mengatakan bahwa Bung Karno “sudah invalid”, “politis juga sudah invalid”, lebih baik Bung Karno seperti dalam wayang ditempatkan seperti “Puntodewo”...

Ini bukan soal kepleset-tidaknya lidah atau soal cermat-tidaknya notulen — ini soal sikap yang sesungguhnya dari golongan Karni-Yuti terhadap Presiden Sukarno!

“Harian Rakyat” 10-12-‘64

 

AJARAN-AJARAN BUNG KARNO DICOBA DIJAUHKAN DARI RAKYAT

10 Desember kemarin Yuti menulis: “Akhir tahun 1933 dulu waktu baru dikembalikan ke Jawa dari Digul-Atas, penyusun (Yuti) menentang ‘ilmu bahagia’ (ngelmu begja), ajaran K. A. Suryomataram, karena menganggap ajaran-ajarannya itu melemahkan perjuangan.” Kita kira Yuti memberi sangkalan terhadap tulisan-tulisan kita, kita kira Yuti menyanggah pembuktian kita bahwa dia bukan “Sukarnois” melainkan Suryomataramis, kiranya...Kalimatnya itu masih bersambung!

Inilah sambungannya: “Tetapi di dalam penjara tahun 1937 ini penyusun menyaksikan suatu kebenaran dalam ajaran ‘ilmu bahagia’ tersebut, dengan pengalaman hidupnya sendiri...Oleh karena itu tidak perlu ditakutkan.”

Satu lagi pembenaran tambahan diberikan Yuti atas tulisan-tulisan kita! Para pembaca jangan tergesa-gesa: sabarlah agak sedikit, dan pembenaran-pembenaran itu lebih lanjut akan berdatangan dari Yuti sendiri...

Sementara itu amat menarik perhatian bagaimana Yuti meletakkan “syarat”, bahkan “syarat mutlak” yang menurut dia harus dimiliki seseorang untuk memahami ajaran-ajaran Bung Karno. “Syarat mutlak” itu menurut dia adalah “ketangguhan seseorang berpijak pada dinamika masyarakat”. Kata Yuti kemudian, apabila orang “tangguh”, orang akan “selamat”, dan bila tidak, orang akan “terpelanting”.

Kita tak ingin membicarakan tangguh-tidaknya dan terpelanting-tidaknya Yuti, tetapi dengan di satu pihak menonjol-nonjolkan pengalaman sendiri, di penjara dan di mana-mana, dan di pihak lain meletakkan sesuatu “syarat mutlak” bagi orang lain, Yuti rupanya benar-benar mau menjadi “jagoan Sukarnoisme”, bahwa “Sukarnoisme” itu sudah diketahuinya di luar kepala, sedang orang lain...orang lain jangan main-main, harus “tangguh...berpijak pada dinamika masyarakat”...

Adalah satu hal berpijak pada dinamika masyarakat, hal lain dipijak oleh dinamika masyarakat! Setelah keputusan PNI yang melarang anggota-anggotanya menjadi anggota “BPS”, kitapun ingin tahu sekarang seberapa dinamisnya Mas Yuti...entah dinamis dalam kesetiaan pada “Marhaenisme”, entah dinamis dalam...berbalik-balik haluan!

Jadi apa yang dimaui Yuti dengan klub “BPS”-nya?

Pertama, mereka membatasi ajaran-ajaran Bung Karno hanya untuk mereka yang “tangguh”, yang “mampu”, yang “sanggup”, yang “cakap”, dan entah yang apa-apa lagi;

Kedua, mereka dengan demikian mau mendirikan tembok tebal yang memisahkan ajaran-ajaran Bung Karno dari massa Rakyat;

Ketiga, mereka dengan demikian mau memisahkan Bung Karno sendiri dari Rakyat;

Keempat, mereka dengan “menyebarkan” ajaran-ajaran Bung Karno memaksudkan “memonopoli”-nya.

Tetapi karena yang mereka “monopoli” hanyalah “Sukarnoisme” yang bukan ajaran-ajaran Bung Karno yang sesungguhnya maka monopoli itu memang tepat dan baik! Akan celaka dunia ini kalau banyak orang mengikuti jejak “BPS”, suatu hal yang takkan pernah terjadi!

“Harian Rakyat” 11-12-’64

 

“KECAKAPAN” & “KEBERANIAN” UNTUK APA?

Sejak kita kembali ke UUD ’45, yang pasal 17-nya menyatakan bahwa “Presiden dibantu oleh Menteri-Menteri Negara” dan dengan demikian semua menteri disebut “pembantu Presiden”, ada gejala-gejala buruk yaitu mau dapat nama jika pekerjaannya berhasil, walau sedikit saja, sebaliknya, tidak mau memikul tanggung jawab dan buru-buru menyatakan diri “saya kan cuma pembantu Presiden” jika pekerjaannya gagal, walaupun gagal total. Tetapi ini hanya mengenai menteri-menteri yang jelek. Menteri-menteri yang baik tentu saja tidak bersikap demikian.

Dalam tulisan serialnya No. 33, di bawah judul “Buangkanlah penyakit njelimet” Yuti menyatakan antara lain bahwa Bung Karno “memberikan kepercayaan kepada murid-murid dan pembantunya”, dan bahwa “oleh karena itu tiap murid dan pembantu Bung Karno harus mempunyai kecakapan dan keberanian untuk melakukan kebijaksanaan sendiri, yang disertai dengan pertanggungjawaban”.

Kita setuju saja dengan pernyataan Yuti bahwa “pembantu-pembantu” Bung Karno harus “mempunyai keberanian untuk bertindak sendiri dan bertanggung jawab”. Tetapi praktik selama ini membuktikan bahwa ada dua macam “murid” atau “pembantu” Bung Karno. Ada murid yang sungguh-sungguh berusaha memahami dan memperjuangkan pelaksanaan ajaran-ajaran Bung Karno, tetapi ada pula “murid” yang dalam kata-kata saja mengaku “murid” Bung Karno, tetapi dalam perbuatan merusaknya. Demikian juga “pembantu”: ada pembantu yang sungguh-sungguh membantu memperjuangkan garis-garis politik yang ditetapkan Bung Karno, tetapi ada pula yang mengaku “pembantu”, tetapi yang “bantuan”nya malahan merusak dan menyabot ketetapan-ketetapan politik Bung Karno.

Untuk bisa mengetahui mana murid atau pembantu yang sungguh-sungguh setia kepada ajaran-ajaran Bung Karno dan mana pula murid atau pembantu yang munafik harus ada pegangannya. Dewasa ini pegangannya adalah Manipol dan pedoman-pedoman pelaksanaannya. Karena ini adalah kristalisasi daripada ajaran-ajaran Bung Karno. Dan justru pegangan Manipol dan pedoman-pedoman dan pedoman-pedoman pelaksanaannya ini yang jarang sekali, ya, hampir tak pernah dikemukakan Yuti!

Yuti atas nama “Belajar memahami Sukarnoisme” mengemukakan Driarkoro-isme dan Suryomentaramisme sebagai Sukarnoisme! Dan Yuti daripada membeberkan “Manifesto Politik” membeberkan semacam “Manifes Pribadi” …. Ini dilakukannya dengan penuh “kecakapan” dan “keberanian” serta “pertanggungjawaban”. “Keberanian”, “kecakapan” serta “pertanggungjawaban yang entah diabdikan kepada siapa…

Sekali peristiwa, telah ada “pembantu” Bung Karno yang penuh dengan “kecakapan”, “keberanian” serta “pertanggungjawaban” membikin… 14 peraturan 26 Mei, yang mentorpedir Dekon, dan bahkan Manipol!

Sekarang Yuti dan orang-orang munafik “BPS” (yang mengaku “murid” atau “pembantu” Bung Karno dengan segala “kecakapan”, “keberanian” dan “pertanggungjawaban” terus menyerimpung ajaran-ajaran Bung Karno!

“Harian Rakyat” 12-12-’64

 

“HUMANISME UNIVERSAL” YUTI

Pemalsu-pemalsu ajaran-ajaran Bung Karno paling gemar membual seakan-akan Bung Karno menyangkal perjuangan kelas. Bualan begini tentu tak sukar dijual kepada kaum orang awam, tetapi barang siapa suka membaca tulisan Bung Karno selama hampir 40 tahun ini dia akan tahu bahwa Bung Karno sama sekali tidak menyangkal perjuangan kelas, Bung Karno bahkan bukan hanya mengakui perjuangan kelas itu sebagai suatu kenyataan obyektif, tetapi memahami hukum-hukum pokok perjuangan kelas. Yang selalu ditekankan oleh Bung Karno dalam hubungan revolusi nasional, artinya revolusi anti-imperialis adalah, bahwa perjuangan kelas itu hendaknya ditundukkan kepada perjuangan nasional. Ambil saja kenyataan ini: Bung Karno merestui perjuangan kaum tani melawan tuan tanah dan perjuangan kelas buruh melawan kaum kapitalis birokrat – apa ini kalau bukan perjuangan kelas?

Dalam serial tulisan Yuti perjuangan kelas itu dihapuskan sama sekali dan ditukar dengan semacam – jangan kaget – “humanisme universal”.

Kita pelajarilah “persoalan-persoalan pokok revolusi” (Manipol) dan “hukum-hukum revolusi” (Tavip), maka jelas di sana bahwa hukum perjuangan dalam pemahaman Bung Karno adalah hukum obyektif perkembangan masyarakat yang sesuai dengan materialisme historis, dengan perjuangan kelas, bukannya tanpa.

Tetapi dalam “Sukarnoisme”-nya Yuti perjuangan kelas lenyap entah ke mana, dan digantikannya perjuangan kelas itu dengan segala macam cerita tentang “kodrat hidup”, “perikemanusiaan lawan perikebinatangan” dan macam-macam lagi.

Lalu dikatakannya: “Bakat kemanusiaan tidak pernah mati sama sekali dalam kehidupan manusia”. Apa bedanya ini dengan dalil Manikebu bahwa sejelek-jelek manusia masih memancarkan “cahaya Ilahi”?

Saudara tak usah merasa diperlakukan seperti anak kecil oleh Yuti, kalau dia tampil dengan logika-logika yang mengagumkan sekali. Dalam kesibukannya mengotak-atik “pertarungan sendiri antara dua kekuatan… bakat kebinatangan dan bakat kemanusiaan”, Yuti berhasil “menemukan” sesuatu yang hebat sekali, yang saudara barangkali belum pernah mendengar sebelumnya. Inilah kata Yuti: “Bung Karno itu manusia, seperti kita semua ini”. Yuti gemar sekali tampil dengan “logika-logika yang kerempeng seperti ini!

Ada sebuah kisah: seorang orang Eropa, yang mengira bahwa Indonesia ini hutan belantara belaka, tanpa peradaban dan tanpa kemajuan teknik, datang ke Indonesia dengan membawa gramofon untuk dipamerkan di sini… Tak diketahuinya bahwa di Indonesia bukan saja “binatang gramofon” sudah lama dikenal, tapi bahkan piringan hitam pun sudah diproduksi sendiri! Begitulah kira-kira Yuti memperlakukan pembaca-pembacanya, yang dipamerinya selalu dengan “logika-logika” dan “penemuan-penemuan” yang … kurus kering dan pucat pasi!

“Sukarnoisme BPS” memang semacam Manikebuisme atau humanisme universal, sedang “BPS” sendiri adalah semacam “Liga Demokrasi”, apa hendak dikata!

“Harian Rakyat” 14-12-’64

 

“ILMU KLENIK” SEBAGAI PENGGANTI PERJUANGAN REVOLUSIONER

Yuti dalam serial tulisannya No. 44 di bawah judul: “Banyak berbicara dan banyak bekerja” menulis antara lain dalam kesimpulannya:

“Dengan banyak berbicara dan dengan kecakapannya berbicara itu Bung Karno berusaha untuk menanamkan pengertian di dalam kalangan rakyat jelata. Bukan banyaknya pengikut yang diutamakan, melainkan banyaknya pengertian serta besarnya kesanggupan yang harus dimiliki oleh para pengikutnya”.

Tentu saja benar bahwa Bung Karno banyak berbicara dan bekerja sekaligus untuk menanamkan pengertian di kalangan rakyat, supaya rakyat bangkit berjuang mengalahkan musuh-musuhnya. Tujuan dari banyak bicara dan bekerja adalah untuk menghimpun semassal-massalnya, sebesar-besarnya kekuatan yang berpengertian tentang mutlaknya menggulingkan musuh, untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

Banyaknya pengertian memang penting, tetapi lebih penting lagi banyaknya jumlah orang, atau luas massanya yang mempunyai pengertian yang banyak itu, yang mempunyai kesanggupan untuk memikul segala konsekuensi perjuangan.

Bandingkan uraian Yuti yang menyatakan bahwa “Bung Karno tidak mengutamakan banyak pengikut” itu dengan ajaran Bung Karno sendiri yang dikemukakan dalam “Sarinah”: “Buatlah rakyat jelata itu bergelora dalam semangatnya dan tindakannya, buatlah revolusi kita semassal-massalnya, buatlah rakyat jelata itu basis sosialnya revolusi”!

Kita lihatlah betapa Yuti dan seluruh klik “BPS”nya berusaha mensterilkan, mensalonkan, mengebiri ajaran-ajaran Bung Karno!

Usaha Presiden Sukarno untuk tergalangnya FPN yang berporoskan Nasakom di Indonesia dan usaha Presiden Sukarno untuk memperkuat persatuan Nefo secara internasional menunjukkan dengan seterang-terangnya bahwa harus ada kekuatan yang besar guna memenangkan revolusi. Revolusi tidak bisa dimenangkan oleh hanya sekelompok kecil, “kader yang berpengertian”. Revolusi kita seperti dinyatakan dalam Tavip, bukanlah revolusinya pemimpin-pemimpin, tetapi adalah revolusinya rakyat.

Tafsiran Yuti tentang dalil “banyak bicara dan banyak kerja” dari Presiden Sukarno bukan saja mengaburkan ajaran Bung Karno dan memperkecil tujuan yang hendak dikejar Bung Karno, tetapi pun mencoba mengubah perjuangan revolusioner aktual dengan omong-kosong intelektualis dengan bumbu-bumbu ilmu klenik. Tujuan Yuti dan klub “PBS” rupanya ialah agar revolusi Indonesia jangan revolusi rakyat, tetapi revolusi pemimpin-pemimpin saja…

Atas nama “Sukarno-isme” dicoba dikuburnya ajaran-ajaran Sukarno!

“Harian Rakyat” 15-12-’64

 

YANG DIJAJAKAN: KUASI ILMU

Yuti gemar sekali tampil dengan definisi-definisi, batasan-batasan. Tetapi acap kali yang kita jumpai daripadanya adalah batasan-batasan yang tak tampak batas-batasnya!

Pernah Yuti menamakan Bung Karno seperti “dokter yang pengalaman” (sedikit tentang tata bahasa: pengalaman atau berpengalaman?). Dalam dunia ketabiban labil saja batas antara “ahli obat” dan “tukang obat”… althans bagi si awam. Sama halnya di dunia politik dan ilmu. Susahnya bagi si “tukang-tukang obat” (atau “raja gigi” seperti di Medan) bahwa “pembeli-pembeli” sudah kritis, dan Aspirin yang terletak tenang-tenang di apotek toh tetap mujarab daripada “obat” yang dijajakan dengan ributnya oleh si “tukang”…

Kita ambillah satu-dua definisi yang dijajakan Yuti.

Apakah manusia itu? Menurut Yuti: Manusia “adalah semacam binatang berkaki dua, yang jika berjalan tubuhnya tegak berdiri” (O, pemvulgeran, adakah Yuti namamu?). Di tempat lain Yuti menulis bahwa menurut “filsafat materialisme” manusia itu “hakikatnya adalah mesin” (dari “materialisme” mana kedangkalan, kesembronoan dan kengawuran ini dipungut?).

Setelah bertele-tele berbicara tentang “pemasyarakatan”, “pembudayaan” dan “pem-pem” lain lagi, tanpa sejenak pun meninggalkan Driyarkoro dan Suryomentaramnya, Yuti mengatakan (lagi suatu definisi bersiap-siaplah!): “Supaya dapat langsung hidup, pertama-tama supaya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia harus memasyarakat, harus mendapatkan bantuan masyarakat, hidup bersama-sama dengan manusia-manusia lainnya.”

Tak banyak yang dilupakan Yuti di sini – “hanya” satu faktor yang esensial, yaitu: kerja produktif!

“Memasyarakat” atau tidak, “mendapatkan bantuan masyarakat” atau tidak, namun di atas segala-galanya manusia harus (kita ikuti Yuti dengan gudang “mem”nya) memproduksi. Sebab, dasar kehidupan masyarakat adalah produksi materiil, dan tak ada cerita tentang “langsung hidup” jika manusia tidak memproduksi, tidak bekerja.

Jika batasan Yuti di atas diterima secara berkabur-kabur – batas secara abstrak tampaknya memang “tidak apa-apa”, “tidak begitu punya arti”. Tapi cobalah kita berpindah dari alam abstrak ke alam konkret, maka muncullah watak reaksionernya. Reaksioner? Ya, sekali lagi ya!

Buat apa tuan tanah dan kapitalis birokrat diganggu-ganggu, buat apa landreform dan hukum mati buat koruptor-koruptor besar… Bukankah sebagai “manusia” mereka itu “harus mendapat bantuan masyarakat”? Kerja atau tidak kerja tidaklah soal, yang soal adalah “manusia” yang “memasyarakat” dan “membudaya”…

Dalam serial tulisannya No. 2 Yuti menjanjikan tidak akan menulis “awur-awuran”. Tapi sejak kapan kuasi-ilmu itu tidak awur-awuran?

“Harian Rakyat” 16-12-’64

 

SEDIKIT TENTANG TIMUR DAN BARAT

“Manusia Timur itu berbeda dengan manusia Barat”, tulis Yuti, yang meneruskan kemudian: “manusia Barat adalah manusia-manusia Eropa dan Amerika. Juga manusia Australia (kulit putih) sekarang ini. Singkatnya orang berkulit putih pada umumnya. Sedang yang dinamakan manusia Timur adalah manusia Asia dan Afrika, orang kulit berwarna pada umumnya”.

Manusia Amerika Latin tak digolongkan ke mana-mana oleh Yuti. Apakah mereka “manusia Barat, karena tinggalnya di benua Amerika, ataukah mereka “manusia Timur”, karena kulit mereka “berwarna”? Jelaskan dong, mas Yuti!

Ada baiknya diingatkan kebenaran ini: jika seseorang berdiri di ibukota Irian Barat, maka dunia Barat itu ada di sebelah Timurnya dan dunia Timur itu ada di sebelah Baratnya… Tapi baiklah, kita bukannya berkeberatan atas penamaan-penamaan Timur dan Barat; yang kita berkeberatan adalah terhadap “metode” Yuti!

Kali ini Yuti tak tinggal mengurung diri pada Driyarkoroisme dan Suryomentaramisme, dan dia “memperkaya” dirinya dengan… Agus Salimisme! Inilah katanya: orang Barat menjawab “bagaimana caranya hidup”, orang Timur menjawab “apakah tujuan hidup”.

Lalu Yuti sendiri menambahkan bahwa “kodratnya manusia Barat dan manusia Timur itu sama saja”, bahwa “yang menyebabkan perbedaannya, adalah perkembangannya”. Lalu kembalilah dia kepada dalil kegemarannya tentang “manusia itu mempunyai kodrat membudaya” dan sesudah itu sampailah dia kepada kesimpulannya, dengan seakan-akan bersorak: “Nah, perkembangan pembudayaannya itulah yang berbeda, antara manusia Barat dan manusi Timur. Dan inilah yang menyebabkan perbedaan…”

Lalu? Yuti mengabarkan kepada kita bahwa “perbedaan itu makin lama makin kecil, dan akhirnya dapat lenyap pada garis besarnya”.

Semua ini diterangkannya setelah dia memberitahukan kepada kita bahwa (terutama para ibu baik memperhatikan hal ini): “membudaya mengandung arti mengolah. Maka selanjutnya kebudayaan berarti ‘olahan’ atau ‘masakan’. Sedang pembudayaan artinya pengolahan atau pemasakan…”

Para pembaca barangkali menggeleng-gelengkan kepada bertanya-tanya: Apa hubungannya semua itu dengan ajaran-ajaran Bung Karno? O, jangan khawatir, hubungannya tentu saja ada, sebab Yuti bukan penyeleweng, bukan pendurhaka, maka itu selalu didapatkannya sesuatu dari Bung Karno, dan inilah dia: “Mankind is one! … Kemanusiaan… adalah satu”.

Beberapa waktu yang lalu sudah kita tunjukkan humanisme universal Yuti, Manikebuismenya. Uraiannya tentang “Timur dan Barat” yang ngalor-ngidul itu membuktikan lagi tentang kebenaran konklusi kita.

Kita ikutilah betapa dahsyatnya Yutiisme ini: manusia itu pada dasarnya sama, cuma dia menjadi berbeda-beda karena pembudayaannya, tetapi perbedaan itu makin lama makin kecil dan akhirnya akan lenyap…

Kita pun bertanya jadinya: barangkali perbedaan-perbedaan di dunia ini bisa dilenyapkan dengan… tukar-menukar kebudayaan (atau “perkawinan kebudayaan” seperti dikatakan Yuti) dengan kirim-mengirim misi-misi kesenian?

Tak dihubungkannya sedikit pun soal-soalnya itu dengan imperialisme, dengan penjajahan ya, kalau mau juga dengan kapitalisme, setan-setan yang selalu disorot dan disemprot Bung Karno! Dipejamkannya saja matanya, ditulikannya saja telinganya dan dibisukannya saja mulutnya terhadap kenyataan bahwa sistem kapitalisme kemudian imperialisme itulah yang membikin perbedaan perkembangan dan perbedaan “nasib” antara “Timur dan Barat”. Seakan-akan tak ada kapitalisme dan tak ada imperialisme di dunia ini…

Juga impian Yuti tentang “dunia satu”, dalam anggapannya bisa dicapai tanpa mengusik-usik atau menyentuh-nyentuh kapitalisme dan imperialisme… “Perbedaan makin lama makin kecil dan akhirnya dapat lenyap…”, kata Yuti.

Sungguh! Perbedaan makin lama makin kecil, dan akhirnya dapat lenyap antara Yuti dan Jassin, antara “PBS” dan “Manikebu”!

“Harian Rakyat” 17-12-’64

 

AKHIRNYA DIBUBARKANLAH “BPS”

Harian “Berita Indonesia” mengatakan bahwa Sayuti Melik menulis secara “lugu”. Istilah Jawa yang sukar diterjemahkan ini kira-kira berarti “lurus, sederhana, biasa”.

Maka teringatlah kita akan yang pernah ditulis oleh Friedrich Engels, bahwa oportunis yang “jujur” adalah oportunis yang paling berbahaya!

Presiden Sukarno telah turun tangan dan membubarkan “BPS” yang telah memecah-belah persatuan dan membahayakan revolusi itu. Seperti pertentangan di dalam dialektika: pendukung-pendukung “PBS” gela, rakyat banyak lega!

Sampai ulasan ini kita tulis, kita belum tahu lagi apa sikap kaum klub reaksioner “BPS” terhadap keputusan Presiden itu.

Mungkin mereka akan katakan, bahwa keputusan itu “melanggar hak-hak asasi warga negara”. Jika demikian, maka semakin nyatalah bahwa mereka itu “demokrat” yang jelek!

Adapun Yuti sendiri mungkin dia akan mengatakan bahwa “yang dilarang kan PBS-nya, bukan tulisan-tulisan saya”. Jika demikian, maka semakin nyatalah bahwa dia itu pokrol bambu yang jelek!

Tetapi mungkin pula mereka akan melakukan lip-service baru: “kami taat kepada keputusan Presiden”. Jika demikian, maka semakin nyatalah bahwa mereka itu sesungguhnya kaum neo-Manikebuis! Persis begitulah sikap kaum Manikebuis, ketika Manikebu dilarang tempo hari. Bagi mereka “taat” berarti munafik, tak lebih dan tak kurang!

Masih banyak sebenarnya yang bisa kita kupas dari tulisan-tulisan Yuti dan pernyataan-pernyataan “BPS” yang begitu disokong oleh segala kaum reaksioner mulai “Soksi” sampai “HMI” itu, tetapi setelah larangan Presiden terhadap “BPS” kita pikir tak ada gunanya lagi melanjutkan serial ulasan kita. Kecuali, jika Yuti dan “BPS”nya akan tetap mengotot dan membandel.

Kepada para pencinta “HR” yang telah mendorong dan membantu kita dalam menyelenggarakan serial ulasan ini kita ucapkan diperbanyak terima kasih.

Hendaklah segala pengalaman dengan “Liga Demokrasi III” ini (“Liga Demokrasi” adalah “Liga Demokrasi I, “Manikebu” adalah “Liga Demokrasi II” dan “BPS” adalah “Liga Demokrasi III”) menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mau belajar!

Dibungkus dengan apapun, barang busuk tetap bau! Dibungkus dengan apapun, aksi reaksioner tetap berbau busuk! Atau pepatah Jawa ini, mengingat barangkali mas Yuti akan lebih paham: Becik ketitik, ala ketara.

Untuk kesekian banyak kalinya terbukti bahwa bumi Indonesia tidak subur bagi Komunisto dan Nasakom phobi dan bahwa bumi Indonesia hanya subur bagi persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom!

“Harian Rakyat” 18-12-’64

 

Jawaban untuk “Merdeka”:

JANGANLAH MEMONOPOLI KEPANDAIAN BERPIKIR

Harian “Merdeka” pagi kemarin tampil lagi menyerang “Harian Rakyat” dengan tuduhan “korupsi” atas ajaran-ajaran Bung Karno. Tuduhan ini tuduhan berat, dan karena “Merdeka” merasa berhak menyerang “HR” maka ia pun rasanya berhak atas jawaban kita.

Judul tulisan oleh “Pimpinan Redaksi Merdeka” kemarin itu “Sukarnoisme – untuk rakyat Indonesia”, yang berpikir secara Indonesia, tetapi “berpikir secara Indonesia”nya “Merdeka” ini rupanya setelah berpusing-pusing berpokok hanya pada satu hal, yaitu yang telah ditulis “HR” 17 November yang lalu “mencoba mengekskomunikasikan kaum Marxis-Leninis dari front nasional dengan dalih bahwa ideologi kaum Marxis-Leninis ‘tidak murni’”.

Hal ini 17 November yang lalu sebagai selingan kita sebut “Merdekaisme” dan ternyata harian – yang kalau hanya Kepala Eksekutif Dewan Pimpinan Umumnya berada di Indonesia tidak banyak bikin ribut tetapi apabila Ketua Pimpinan Umum Redaksinya berada di tanah air selalu bikin gara-gara – ini diam-diam membenarkan definisi yang kita berikan atasnya dan sedikit pun tak membantahnya.

“Merdeka” dalam tulisannya kemarin membela bukan saja apa yang dinamakan “Sukarnoisme”, tetapi juga “BPS” dan Sayuti Melik. Rupanya setelah Sayuti Melik kewalahan menghadapi ulasan kita, dirasakan perlu oleh kaum “BPS” untuk menampilkan lagi “Merdeka” sebagai “juru selamat”… Baiklah, dengan segala senang hati kita layani serangan-serangan “Merdeka” yang memecah-belah persatuan nasional berporoskan Nasakom itu dan yang demikian mengkhianati ajaran-ajaran Bung Karno.

Berceritalah “Merdeka” dalam tulisannya itu tentang kaum yang “tidak pernah mengkhianati Revolusi Agustus kita, baik di tahun 1945, atau 1947, atau 1948, atau 1952, atau 1955 dan seterusnya”. Ingin kita katakan ini kepada “Merdeka”: Berkhianat memang tak perlu tahun 1955, berkhianat bisa juga tahun 1964! Ini baik dicatat oleh semua saja yang, seperti dikatakan WPM Subandrio, memahamkan ajaran-ajaran Bung Karno dari Bung Karno sendiri, dan tidak membuat tafsiran-tafsiran sendiri-sendiri.

Dengan tak mengerutkan kening sedikit pun “Merdeka” melemparkan tuduhan “korupsi” ke alamat “HR”, hanya karena kita menulis seminggu yang lalu tentang “sepak terjang Bung Karno untuk mempersatukan semua kekuatan yang bisa dipersatukan guna menghancurkan imperialisme dan feodalisme”. Apa “alasan” yang diajukan “Merdeka”? Tulisnya: “Apa yang korup di sini? Perkataan revolusioner”.

Seolah-olah bukan “Merdeka” yang pernah mengkorup perkataan revolusioner itu ketika dalam polemik besarnya dengan kita dibelanya dalil penggabungan “segala kekuatan yang ada”! Seakan-akan dalam kehidupan modern ini tak ada lagi arsip dan dokumentasi yang eksak yang bisa membuktikan segala sesuatu dengan tepat dan tidak lancung! Tapi apa mau dikata: kita sudah menerbitkan seluruh polemik “Merdeka-Harian Rakyat” itu dalam bentuk buku yang bertanggung jawab dan dengan demikian memenuhi janji kita, sedang “Merdeka” yang menjanjikan hal yang sama kepada pembaca-pembacanya ternyata hanya bisa menjual janji di mulut saja… O, terang bulan terang di kali…

Apa yang salah dari yang kita tulis? Kata pengritik kita karena tak ada perkataan “revolusioner”. Tapi bisakah pengritik itu membaca kalimat bahasa Indonesia dengan betul? Mari kita ulang baca dengan cermat dan perlahan-lahan: “sepak terjang Bung Karno untuk mempersatukan semua kekuatan yang bisa dipersatukan guna menghancurkan imperialisme dan feodalisme”.

Lalu apa komentar “Merdeka”? Katanya: “Kita tidak bermaksud mempersatukan segala kekuatan yang bisa dipersatukan saja, karena itu berarti bahwa juga kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner…” Aha, ternyata si pengritiklah si tukang korup! Apa yang dikorup di sini? Perkataan “guna menghancurkan imperialisme dan feodalisme”! Tidak, tuan-tuan “Merdeka”, kritik tuan-tuan yang ,dengan segala hormat kepada sekalian kaum pokrolbambu harus kita sebut seperti pokrolbambu itu tidak menimpa kami, karena pukulannya tidak kena dan memukulkannya agak bodoh, dan sebaliknya pukulan itu – untuk memakai kiasan dari dunia tinju gaya Muangthai – ibarat tendangan kaki sudah diayunkan tetapi karena dihindari lawannya maka berakhir dengan kejatuhan yang menyedihkan dan kaki pun patahlah…

Mempersatukan semua kekuatan yang bisa dipersatukan guna menghancurkan imperialisme dan feodalisme – inilah sepak terjang Bung Karno, inilah sepak terjang segenap kekuatan revolusioner Indonesia, karena menurut ajaran Bung Karno sendiri, setiap orang yang melawan imperialisme dan feodalisme adalah revolusioner!

Kita cukup kenal akan cara-cara “Merdeka” berpolemik – kalau tak tahu menjawab maka sederhana saja jawaban tak diberikannya dan beralih dia ke soal-soal lain –, maka kali ini dengan segala hormat kita minta, ya, kita mohon kepada “Merdeka” untuk menjawab secara kategoris jawaban kita ini, berdasarkan fakta-fakta dan dengan argumentasi-argumentasi yang rasional, kalau kita masih ada rasio tertentu yang menjadi miliknya.

“Merdeka” menuduh (menuduh siapa?) “mau memonopoli politik, kepandaian berpikir dan bersiasat” dan “menyangka… satu-satunya ahli dalam penelaah seluruh masalah kenegaraan, politis, ekonomis, spiritual, dan material secara ilmiah…” Kita khawatir bahwa kali ini pun tuduhannya hanya menimpa dirinya sendiri! Ini kesan yang mau tak mau didapat orang dari membaca gaya tulisan “Merdeka”, gayanya yang otoriter, yang dulu (18 Juni 1964) mengatakan “Kita terang pro Manipol” dan kemarin (3 Desember 1964) mengatakan “Kita pendukung Sukarnoisme berada di jalan yang benar” serta “keyakinan Bung Karno” kita jadikan juga keyakinan, konviksi kita”. Bahwa anti-Komunisme “Merdeka” dan juga anti-Komunisme “BPS” dengan segala Yuti, “Soksi” dan “HMI”nya itu suatu konfeksi, ini jelas, tapi konviksi…? Konviksi Bung Karno, seperti kita tuliskan kemarin adalah Nasakom, sedang konviksi tuan-tuan “Sukarnois” itu adalah Antikom!

“Merdeka” membanggakan apa yang disebutnya “kekuatan-kekuatan nasional revolusioner yang digabungkan oleh pendukung-pendukung Sukarnoisme”. Dibanggakannya pula bahwa “Di mana-mana gerakan untuk mempelajari dan memahami Sukarnoisme itu tumbuh di pelosok-pelosok Indonesia”. Rupanya “Merdeka” agak silap dan selip: yang “tumbuh” dikira gerakan memahami ajaran-ajaran Bung Karno, kiranya cuma gerakan memahami tulisan-tulisan Yuti. Ini bahkan diakui sendiri oleh “BPS” dan oleh Yuti: bahwa yang mereka sebarkan bukan ajaran-ajaran Bung Karno! Jadi apa itu “kekuatan-kekuatan nasional revolusioner yang digabungkan oleh pendukung-pendukung Sukarnoisme”? Seperti sudah pernah kita tuliskan: hanya dari “Berita Indonesia” ke kanan, yaitu “Soksi” (yang begitu dikutuk kaum buruh tetapi begitu dipuji-puji B.M. Diah dalam pidatonya di Bandung baru-baru ini), “HMI” (yang sudah divonis oleh praktis semua organisasi mahasiswa lainnya) dan kaum avonturis, anarkis, nihilis, profitor, parvenu dan sebangsanya yang impiannya cuma “bubarnya Partai-Partai”, dus bubarnya kekuatan-kekuatan penting revolusi kita, dus sabotase terhadap revolusi.

Dalam pada itu baik dicatat bahwa pandangan “Merdeka” tentang dua tahap revolusi sama kacaunya dengan pandangan Yuti. “Merdeka” sementara itu juga tak separtai-partai dus bubarnya kekuatan-kekuatan penting revolusi kita, dus sabotase terhadap revolusi.

“Harian Rakyat” 4-12-’64

 

Jawaban untuk “Merdeka” (2):

WATAK ANTI-TANI DAN ANTI BURUH “BPS” – “SOKSI” – “HMI”

Tentang tahap-tahap revolusi “Merdeka” menulis begini: “mencapai masyarakat adil dan makmur, melenyapkan imperialisme, feodalisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme di mana saja di dunia ini dan kemudian mencapai dasar-dasar perdamaian dunia yang kekal dan abadi. Selanjutnya Revolusi Indonesia… menuju kepada sosialisme Indonesia”.

Kita lihatlah betapa kacaunya: “masyarakat adil dan makmur” dulu, baru kemudian “sosialisme Indonesia”. Sedang setiap orang tahu bahwa masyarakat Sosialis barulah masyarakat tanpa eksploitasi oleh manusia atas manusia, jadi masyarakat yang adil, tetapi bahwa kemakmuran masih harus diperjuangkan lagi. Ini bahkan diakui oleh Sayuti Melik dalam tulisannya 1 Desember yang lalu: “Masyarakat sosialis adalah… masyarakat yang sudah adil, meskipun belum makmur. Sedang masyarakat komunis adalah masyarakat adil dan makmur, karena produksi telah melimpah-limpah dan untuk kepentingan masyarakat seluruhnya”. Tetapi kalau seperti ditulis “Mereka” terlebih dulu mencapai masyarakat adil dan makmur”, maka buat apa “selanjutnya… menuju kepada sosialisme Indonesia”? Hal tahap-tahap revolusi ini bukan hal sepele, karena ini adalah salah satu sari pati Manipol dan karena tidak memahami ini berarti – meminjam istilah “Merdeka” – tidak “kena pada jantung hatinya”.

Tetapi inti daripada inti soalnya adalah bahwa “Merdeka” tetap pada semacam “Ariaisme” yang menganggap dirinya dan kliknya saja yang “asli Indonesia”, “murni Indonesia”, “berpikir secara Indonesia”, sedang kaum yang lain daripada diri dan kliknya dicoba diekskomunikasikannya, diasingkannya, dengan dalil begini: “Kita berkeyakinan bahwa sesuatu gerakan atau partai yang sudah mempunyai landasan ideologi asing, yang bukan khusus Indonesia, tidak mungkin menerima Sukarnoisme ini”.

Pernahkah “Merdeka” memikirkan betapa jauh konsekuensi dari pendalilannya ini?

Mari kita kaji soal-soalnya. Di Indonesia dewasa ini terdapat 10 partai politik, 4 tergolong Nas, 5 tergolong A, dan 1 Kom.

PKI – partai ini menurut “Merdeka” sudah pasti tak bisa termasuk “kekuatan-kekuatan nasional revolusioner” dan “tidak mungkin menerima Sukarnoisme”, karena partai ini menganut Marxisme-Leninisme;

PARKINDO – partai ini “berasaskan firman Tuhan yang termaktub dalam Kitab Suci (Alkitab)”, dan karena Injil, juga Perjanjian Baru, bukan asli dan bukan khusus Indonesia, maka partai ini “tidak mungkin menerima Sukarnoisme”;

PARTAI KATOLIK – partai ini “bertindak menurut asas-asas Katolik”, dan karena asas-asas ini bukan asli dan bukan khusus Indonesia, bahkan mempunyai pusatnya di Vatikan partai ini pun tidak mungkin menerima Sukarnoisme”;

PERTI – partai ini berasaskan “Agama Islam; dalam i’itiqad menurut Mazhab Alhussunnah wal Jama’ah dan dalam syariat dan ibadat menurut Mazhab Imam Syafi’i Rahimahumullah”, yang juga tak asli dan tak khusus Indonesia, jadi juga, “tidak mungkin menerima Sukarnoisme”;

NU – parti ini “berasas Agama Islam” dan bertujuan “menegakkan Syariat Islam” dan “mengusahakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat”, dan karena ini tidak asli dan tidak khusus Indonesia maka partai ini pun jadinya “tidak mungkin menerima Sukarnoisme”;

PSII – partai ini pun seperti halnya PERTI dan NU dan sebagai partai Islam asasnya tidak asli dan tidak khusus Indonesia, maka itu “tidak mungkin menerima Sukarnoisme”;

Bagaimana sekarang dengan partai-partai Nasionalis?

PNI – asas partai ini adalah “Marhaenisme” dan ini adalah “Marxisme yang dilaksanakan di Indonesia”, jadi juga tak asli dan tak khusus Indonesia jadi juga “tidak mungkin menerima Sukarnoisme”;

PARTINDO – asas partai ini “Marxisme-Sukarno-isme”, pun tak asli dan tak khusus Indonesia, dus “tidak mungkin menerima Sukarnoisme”;

Tinggal sekarang IP-KI dan Partai Murba.

IP-KI – menyatakan bahwa asasnya “Proklamasi 17 Agustus 1945”, tapi apa persisnya asas ini menurut IP-KI tentu partai ini masih harus mengelaborasinya dan di dalam praktik ia harus membuktikan amalnya dalam suatu kompetisi Manipolis; sebab, apakah warga negara yang bernama Polan lebih baik daripada warga negara yang bernama Basalamah atau Liem atau Avé, amallah yang menentukannya;

PARTAI MURBA – menurut Adam Malik yang baru-baru ini berbicara atas nama pimpinan partainya maka partai ini menerima “Sukarnoisme”; tetapi mengapa? Karena “banyak persamaannya dengan Tan Malakaisme”, jadi atas yang disebut “Sukarnoisme” itu karena “banyak persamaan”nya dengan asasnya sendiri; dan apakah “Tan Malakaisme” itu sesuatu campur-aduk atau sesuatu yang asing, ini pun harus dipersoalkan (jika perlu kita sanggup memaparkan perbedaan-perbedaannya, ya, pertentangan-pertentangannya antara “Tan Malakaisme” dengan ajaran-ajaran Bung Karno, Red. HR)

Jadi kekuatan apa dan mana yang digolongkan “Merdeka” ke dalam “kekuatan-kekuatan nasional revolusioner” yang dibanggakannya itu? Praktis tinggal kekuatan restan-restan! Dan ini memang sesuai dengan sikap politik kaum avonturir dan anarkis itu yang dari kuku kaki sampai ke buntut rambut mati-matian anti partai-partai politik, anti kehidupan kepartaian dan bernafsu membubarkan partai-partai, dus anti Manipol.

“Merdeka” kemudian dengan tak tahu menahan diri lagi memaki-maki “mentalitas mereka”, artinya mentalitas kaum tani (berhubung “aksi sepihak” “peristiwa Indramayu”) dan mentalitas kaum buruh (“loc maut”) serta mentalitas pembela-pembela kaum tani dan kaum buruh. Dalam sudutnya harian tersebut bahkan meminta Jaksa Agung turun tangan terhadap pers yang berpihak kepada kaum tani dan kaum buruh.

Hal ini bagi kita adalah hal yang baik. Belum tentu “HR” dan segenap pers patriotik dan demokratik akan sanggup dalam waktu sangat singkat menyingkap watak anti-tani dan anti-buruh “Merdeka” dan segala “BPS”nya, tetapi dengan tulisannya yang sekali pukul itu maka sekaligus rakyat Indonesia, ya, segenap rakyat Indonesia melihat sendiri, menyaksikan sendiri dan mengalami sendiri watak anti-tani dan anti-buruh, jadi watak anti-sokoguru-sokoguru revolusi dari harian “Merdeka”, “BPS”, “Soksi”, “HMI”, dan sebagainya dengan tokoh-tokohnya yang , demi menghormat mereka, baiklah kita sebut penyusun “Yutiisme”, “Diahisme”, “Sumantoro-Sukarniisme”.

Di samping mengoceh kembali tentang “herordening”, “tirani pikiran”, “tirani fisik” dan sebagainya yang semuanya telah kita jawab dalam polemik besar yang lalu, “Merdeka” agak berhati-hati sedikit mengenai Nasakom dengan menyinggungnya sekali, yaitu menyatakan “menyetujui”nya (bukannya aktif menggalangnya, bukannya aktif mengusahakannya), dan agak berhati-hati pula terhadap Marxisme dengan berbicara tentang “Marxisme seperti yang diterapkan oleh Bung Karno di dalam masyarakat kita, dengan keyakinan-keyakinannya bagaimana sebaik-baiknya menerapkan pikiran-pikiran asing ini”. Kita hanya sedikit bertanya: jadi toh diakui yang diterapkan Bung Karno itu “pikiran-pikiran asing”? Kalau begitu, menurut “logika Merdeka”, Bung Karno pun jadinya “tidak mungkin menerima Sukarnoisme”?

Dengan tambahan catatan tentang betapa “Diahisme” selaku “juru selamat Yutiisme” itu berusaha memecah-belah persatuan Nasakom dengan mencoba menghadap-hadapkan “partai-partai Nasional atau Agama” dengan yang lain, yang tentunya terutama PKI, maka baiklah kita akhiri sekadar jawaban kita untuk “Merdeka” ini dengan sebuah kutipan dari Friedrich Engels, yang dalam salah sebuah suratnya kepada Sorge pernah mengupas kaum “borjuis… yang mau membebaskan proletariat dari atas” karena beranggapan bahwa “massa yang kasar, tak berpendidikan” itu “tak bisa membebaskan dirinya sendiri dan tak bisa mencapai sesuatu apapun tanpa berkah pokrol bambu-pokrol bambu yang pandai… dan nyai-nyai tua yang sentimentil…”

Tapi soalnya sudah klop: mereka rupanya tak membutuhkan kaum buruh dan tani, terbukti dari maki-makian mereka terhadap sokoguru-sokoguru revolusi ini, dan memang kaum buruh dan tani tidak membutuhkan mereka! Persetan “BPS” dan Cc!

“Harian Rakyat” 5-12-’64

 

QUO VADIS “SUKARNOIS-SUKARNOIS BPS”?

WPM Menlu Subandrio menegaskan bahwa hanya ada satu interpretasi mengenai ajaran-ajaran Bung Karno, yaitu tulisan-tulisan Bung Karno sendiri. Peringatan ini, yang secara licik dikorup dan tidak disebutkan dalam berita “Berita Indonesia”, diberikan oleh WPM Subandrio kepada apa yang menamakan dirinya “Badan Pendukung Sukarnoisme” (“BPS”) dan “Soksi”.

Tak ada fakta yang lebih penting akan watak kereaksioneran “BPS” selain kenyataan bahwa yang pertama-tama menyatakan mendukung “Sukarnoisme” itu adalah… “Soksi” dan “HMI”!

Bahwa ada sebuah badan Kristen ikut-ikut dalam gerakan ini, kita hanya ingin mencatat kenyataan sejarah bahwa tempo hari pun ada badan Kristen yang ikut-ikut “Liga Demokrasi” dan “Manikebu” yang kedua-duanya kemudian dilarang itu. Mudah-mudahan mereka tidak terlambat belajar dari pengalaman.

Ribut-ribut belakangan ini tentang filsafat dan ideologi, yang hanya bertujuan dan berakibat membelokkan kegiatan dari mempersatukan potensi konfrontasi menjadi memecah potensi front nasional, membelokkan sasaran dari terhadap “Malaysia” menjadi terhadap Nasakom, sekarang ini dicoba orang untuk diberi baju baru yaitu dengan mencatut, dan dengan demikian menodai, nama Sukarno.

Kita hanya ingin bertanya: Quo vadis “Sukarnois-Sukarnois BPS”? Mau mengikuti jejak “Liga Demokrasi” dan “Manikebu”?

Bayangkanlah betapa fantastisnya – nama baik Sukarno digabungkan dengan nama cemar “Soksi” dan “HMI”! Hanya jika semua patriot dan demokrat, semua Manipolis bersatu-padu melawan penodaan nama Kepala Negara dan membongkar kereaksioneran “BPS” dengan terus terang, maka kaum reaksi akan bisa dibendung dan dikalahkan. Jelas bagi rakyat bahwa dalam keharusan Manipolis demarkasi antara kawan dan lawan revolui, kaum “BPS” itu berada di seberang sana garis perbatasan.

Kesalahan terutama dari “BPS” adalah bahwa mereka meremehkan kesadaran politik rakyat dan menyangka bahwa rakyat bisa dikaburkan pandangannya sehingga tak bisa lagi menapis emas dari ampas. Rakyat boleh dipengapakan saja, tetapi begitu rakyat diremehkan, maka rakyat itu akhirnya akan meremehkan tuan-tuan!

Editorial “Harian Rakyat” 16-11-’64

 

Instruksi CC PKI: GANYANG TERUS ‘SUKARNOISME-BPS’!

Pada tanggal 10 Desember 1964 Ketua CC PKI, D.N. Aidit telah mengeluarkan instruksi dengan telegram kepada semua Comite Daerah Besar dan Comite Pulau PKI yang bunyinya sebagai berikut:

Sesudah mempelajari dengan lebih teliti maka CC PKI memperkuat kesimpulan yang sudah pernah diambilnya tentang “Sukarnoisme-BPS”, “Sukarnoisme” yang dijajakan “BPS” tidak lain adalah Manikebuisme di bidang politik sedangkan “BPS” adalah “Liga Demokrasi” Gaya Baru.

CC PKI menyerukan kepada semua Komunis Indonesia untuk bersama-sama dengan kekuatan Manipolis lainnya mengganyang terus “Sukarnoisme-BPS”.

Demikian diberitakan oleh Biro Informasi CC PKI.

“Harian Rakyat” 11-12-’64

 

“DEKLARASI BOGOR”

Dalam suatu pertemuan yang historis 10 partai politik kita yang bermusyawarah di bawah pimpinan Presiden Sukarno telah bermufakat memaklumkan suatu “Pernyataan Kebulatan Tekad” yang historis.

Ini membuktikan daya hidup yang luar biasa dari sistem Demokrasi Terpimpin, kehidupan kepartaian kegotongroyongan nasional revolusioner berporoskan Nasakom, dan kompetisi Manipolis.

Ketika Tavip diumumkan, sudah terbayang bahwa perjuangan akan bertambah intensif. Dan Tavip benar-benar berpandangan jauh dengan membayangkan, bahwa perjuangan terutama akan berlangsung antara kaum Manipolis dan kaum munafik, antara kaum yang lurus dan yang menyeleweng. Terjadinya sejumlah ketegangan di dalam negeri pada waktu-waktu belakangan ini adalah pencerminan perjuangan ini. Yang di bulan September yang lalu diusulkan Ketua CC PKI D.N. Aidit yaitu tata krama Nasakom, yang disambut oleh Asmara Hadi dan Ali Sastroamidjojo, yaitu bahwa antara kawan harus ditempuh konsultasi, dan terhadap lawan konfrontasi, kian dirasakan ketepatan dan keperluannya.

“Deklarasi Bogor” adalah teladan yang sebaik-baiknya tentang bagaimana harusnya mengurus masalah-masalah yang timbul di dalam front persatuan nasional. Dengan ini tak ada yang kalah, selain musuh, dan semua menang, selain musuh!

Setelah “Bogor” ini tak meragukan lagi bahwa konfrontasi mengganyang “Malaysia” akan menghebat.

Dengan menunda komentar kita atas isi Pernyataan itu sampai besok, kita sampaikan salam bahagia kita kepada semua saja, Presiden Sukarno, Presidium Kabinet Dwikora, partai-partai politik dan pers serta rakyat yang telah membantu lahirnya kemenangan Bogor yang historis itu!

Editorial “Harian Rakyat” 14-12-’64

 

“DEKLARASI BOGOR”

“Deklarasi” bersejarah yang lahir dari “KTT Bogor” itu selengkapnya berbunyi seperti di bawah ini.

Kami, pemimpin-pemimpin 10 Partai Politik yang merupakan poros Nasakom, yaitu, 1. PNI, 2. NU, 3. PKI, 4. Perti, 5. Partindo, 6. PSII, 7. Partai Katolik, 8. Murba, 9. Parkindo, 10. IP-KI, yang bermusyawarah di Istana Bogor pada tanggal 12 Desember 164, di bawah Pimpinan Besar Revolusi/Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno, setelah meninjau sedalam-dalamnya berbagai persoalan penting yang dihadapi oleh Rakyat dan Negara Republik Indonesia dewasa ini, menyatakan sebagai berikut:

Pertama: Demi suksesnya Revolusi Indonesia, kami seiya sekata dan bertekad untuk lebih memperhebat pengganyangan terhadap proyek Neokolonialisme “Malaysia” untuk lebih memperhebat lagi pelaksanaan Dwikora, yaitu membantu perjuangan Rakyat-rakyat Malaya, Singapura dan Kalimantan Utara; khusus mengenai bantuan kepada Rakyat Kalimantan Utara kami akan memperhebat gerakan sukarelawan dan memperbesar sokongan kepada Negara Kesatuan Kalimantan Utara di bawah PM Azahari.

Kedua: Dalam rangka memperhebat ketahanan revolusi Indonesia kami bertekad untuk memupuk dan memelihara persatuan Nasional yang progresif revolusioner berporoskan Nasakom untuk lebih baik mengamalkan Pancasila, Manipol/USDEK dan pedoman-pedoman pelaksanaannya. Kami akan terus mengembangkan massa-aksi revolusioner, terus mengganyang Nekolim dan kontra-revolusi serta subversi. Kami akan saling menjaga untuk tidak mengadakan interpretasi-interpretasi tentang ajaran golongan lain yang berakibat merugikan golongan lain yang sudah menerima Pancasila dan Manipol?USDEK itu.

Ketiga: Untuk melaksanakan hal-hal tersebut di atas dan untuk menyelesaikan problem-problem nasional, misalnya masalah-masalah yang menyangkut pelaksanaan UUPA dan UUPBH, maka kami akan mengutamakan sistem konsultasi dan musyawarah yang dijiwai oleh semangat kegotongroyongan Nasional revolusioner berporoskan Nasakom, baik di antara partai-partai maupun antara Partai-partai dan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Khusus dalam menyelesaikan sengketa tanah, kami berpendapat, bahwa pejabat-pejabat dan kaum tani juga wajib bermusyawarah, tanpa menggunakan insinuasi, intimidasi dan senjata.

Keempat: Kami membantah sekeras-kerasnya berita bohong dari pihak Nekolim yang mengatakan, bahwa Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno telah mengangkat Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup dan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno tidak pernah minta meletakkan jabatan, dan Rakyat Indonesia pun tidak akan mengizinkan Bung Karno meletakkan jabatan, baik sebagai Presiden Panglima Tertinggi, maupun sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

Demikian kebulatan tekad kami yang keluar dari hati sanubari kami dan berdasarkan keyakinan kami masing-masing.

Semoga Tuhan memberikan usia yang panjang kepada Bung Karno dengan lindungan taufik dan hidayah-Nya dan semoga Allah SWT memberikan kekuatan lahir batin kepada kami sekalian untuk melaksanakan kebulatan tekad kami ini.

Istana Bogor, 12 Desember 1964.

KAMI:

PNI: Hardi SH (Ketua 1), 2. Ir. Surachman (Sekjen); NU: 1. KH. Idham Chalid (Ketua Umum), 2. Aminudin Aziz (Sekjen); 3. PKI: 1. DN Aidit (Ketua), 2. MH Lukman (Wakil Ketua I); 4. Perti: 1. KH Siradjudin Abbas (Ketua Umum), 2. Sofjan Siradi (Wakil Ketua Umum); 5. Partindo: 1 Adisumanto (Sekdjen I), 2. Phoa Thoan Hian SH (Anggota Dewan Harian); 6. PSII: 1. Arudji Kartasaswita (Ketua LT), 2. Anwar Tjokroaminoto (Ketua DP); 7. Partai Katolik: 1. IJ Kasimo (Wakil Ketua), 2. FC Palaun Suka (Wakil Ketua); Murba: I Wasid Suwarto (Ketua Umum), 2. Sukarni Kartoworjo (Ketua II); 9. Parkindo: 1. M. Siregar (Wakil Ketua Umum I), 2. Sabah Sirait (Sekjen); IP-KI: 1. Achmad Sukanadijdaya (Pd. Ketua UMUM.

SEBUAH PENILAIAN

Hanya empat pasal termaktub dalam “Deklarasi Bogor”, tetapi empat pasal yang bagaimana?

Pasal pertama, yang mengenai perhebatan konfrontasi terhadap “Malaysia” dengan perhebatan gerakan sukarelawan dan sokongan kepada PM Azahari, berbicara untuk dirinya sendiri. Begitu gamblangnya pasal ini, sehingga setiap usaha membelokkan usaha dan kegiatan Rakyat dari konfrontasi kepada ribut-ribut seperti ribut-ribut soal “Pancasila”, “Sukarnoisme” yang hanya memecah persatuan itu, benar-benar khianat adanya.

Pasal kedua mengandung kebulatan tekad untuk lebih baik mengamalkan Pancasila, Manipol, Usdek, dengan mengutamakan persatuan Nasakom dan mengutamakan aksi massa. Ini berarti pukulan bagi kaum munafik dan kaum lipservice, juga bagi kaum yang massa-phobi, buruh-phobi, tani-phobi dan aksi-phobi. Kebulatan tekad untuk tidak saling meninterpretasi ajaran golongan lain yang berakibat merugikan golongan lain, penting sekali arti praktisnya. Dengan ini dihentikanlah hendaknya, sekali dan selama-lamanya, misalnya “tafsiran” oleh “HMI”, “Soksi” dan “BPS” atas Marhaenisme, atau “tafsiran” golongan Katolik misalnya terhadap Marxisme, dsb., dsb.

Pasal ketiga menggolongkan pelaksanaan UUP dan UUPBH sebagai problem nasional dengan memberikan tekanan pada perlunya konsultasi dan musyawarah. Hukuman dalam pasal ini atas “insinuasi, intimidasi dan senjata”, yang terang ditarik antara lain dari pengalaman penembakan yang terkutuk dari sebagian alat negara terhadap kaum tani baru-baru ini, akan bisa menyehatkan iklim politik di tanah air kita.

Pasal keempat sekaligus berarti hantaman bagi kaum imperiais yang membuat akhir-akhir ini tentang “pengunduran diri Presiden Sukarno” dan hantaman bagi kaum munafik bumiputra yang, sekalipun secara samar-samar mulai menanapkan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Bung Karno. Hanya empat pasal termaktub dalam “Deklarasi Bogor”, tetapi empat pasal yang bagaimana?

Masalah-masalah paling urgen dalam kehidupan politih di tanah air kita telah mendapatkan jawaban di dalam “Deklarasi” itu, dan dengan dokumen itu sebagai senjata, dapatlah kita sekalian, dari aliran politik dan kepercayaan agama apapun, berkompetisi dalam amal Manipolis kita.

Editorial “Harian Rakyat” 15-12-‘64

 

“BPS” DIBUBARKAN

Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/KOTI dengan keputusan No.72/KOTI/1964 tanggal 17 kemarin membubarkan dan melarang adanya organisasi “Badan Pendukung/Penyebar Sukarno-isma” (“BPS”).

Dalam keputusan Presiden itu disebutkan bahwa apa yang dinamakan Badan Pendukung/Penyebar Sukarno-isme dalam kenyataannya telah menimbulkan gejala-gejala perpecahan di antara kekuatan nasionalis progresif revolusioner, sehingga dapat membahayakan kelancaran usaha mencapai tujuan Revolusi dalam tingkatan dewasa ini. Keputusan yang ditandatangani oleh Bung Karno sendiri itu selengkapnya adalah sebagai berikut:

Menimbang:

1.  Bahwa untuk memperhebat dan meningkatkan pelaksanaan Dwikora dewasa ini, harus dicegah adanya perpecahan di antara kekuatan nasional yang progresif-revolusioner, dan harus dipupuk kesatuan dan persatuan seluruh Bangsa.

2.  Bahwa apa yang dinamakan Badan Pendukung/Penyebar Sukarnoisme dalam kenyataannya telah menimbulkan gejala-gejala perpecahan di antara kekuatan Nasional Prograsif-Revolusioner, sehingga dapat membahayakan kelancaran usaha-usaha mencapai tujuan Revolusi dalam tingkatan dewasa ini;

3.  Bahwa berhubung hal-hal tersebut di atas perlu membubarkan dan melarang “Badan Pendukung/Penyebar Sukarnoisme”.

Mengingat:

1.  Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1962 Lembaran Negara tahun 1962 No. 97 tentang Keadaan Tertib Sipil;

2.  Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 266 tahun 1963.

Mendengar:

Ikrar Bersama sepuluh Partai Politik di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964.

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

Keputusan Presiden tentang Pembubaran dan larangan adanya organisasi “Badan/Penyebar Sukarnoisme.”

Pasal 1

Organisasi “Badan Pendukung/Penyebar Sukarnoisme” dibubarkan dan dilarang.

Pasal 2

Keputusan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1964

DITAMPUNG KOTRAR

Selanjutnya dengan keputusan No. 73/KOTI/1964 Presiden menugaskan KOTRAR untuk menampung segala persoalan yang timbul sebagai akibat dari keputusan pembubaran dan larangan adanya “BPS” itu.

“Harian Rakyat” 18-12-‘64

 

PADA PEMBUBARAN “BPS”

Maka tamatlah riwayat “BPS” sebagai bentuk terbaru dari kemunafikan dan pendurhakaan Manipol.

Kenyataan bahwa sedang “Manikebu” dulu dibubarkan oleh Presiden Sukarno dengan suatu Keppres, membuktikan bahwa kadar bahaya bagi persatuan dan revolusi adalah lebih besar pada diri “BPS” daripada “Manikebu”.

Kenyataan lain, yaitu bahwa Keppres ini diambil dengan mendengar “Deklarasi Bogor” membuktikan bahwa Keputusan Presiden ini memang satu kebijaksanaan yang sedemokratis-demokratisnya.

Sukses perjuangan Rakyat revolusioner membubarkan “BPS” sekarang ini untuk kesekian kalinya membuktikan. Bahwa tak ada perjuangan yang sia-sia, dan bahwa setiap tuntutan yang adil bisa dan pasti tercapai apabila didukung oleh kekuatan massa yang besar.

Salah satu kebulatan tekad 10 partai dalam “Deklarasi Bogor” berbunyi: “Kami akan terus mengembangkan massa-aksi revolusioner”. Setelah “BPS” dibubarkan sekarang ini, kebulatan tekad ini harus lebih-lebih lagi ditunaikan oleh setiap partai, ormas, golongan, perorangan yang tidak munafik.

Salut kita atas Keputusan Presiden Sukarno!

Editorial “Harian Rakyat” 18-12-‘64

 

Kebandelan

Kemarin sudah kita bayangkan, bahwa seperti halnya kaum Manikebuis tempo hari – segala Manikebu dilarang – menyatakan “taat” kepada keputusan Presiden, demikian pun “BPS”.

Kalau kita baca “Pengumuman pembubaran “BPS” yang ditandatangani Sumantoro dan Asnawi Idris, di sana tidak ada sedikitpun pengakuan akan kesalahan-kesalahan mereka. Dan kalau kita baca editorial koran-koran utama “BPS” maka kita jumpailah bahwa “Berita Indonesia”, menulis tujuan utama dari BPS untuk menyebarluaskan Sukarnoisme dengan KEPPRES tersebut menjadi lebih terjamin”, sedang “Warta Berita”, mengatakan bahwa BPS telah “sedikit banyak ada hasilnya”.

Ini adalah kebandelan yang cukup di luar batas, kengototan yang tak tahu malu, kenekadan yang mengagumkan, ya, kebrutalan dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya!

Setiap orang bisa membaca di dalam Keppres penegasan bahwa “BPS” dibubarkan karena menimbulkan perpecahan dan karena membahayakan revolisi. Adapun yang mengenai penugasan Kotrar, setiap orang pun bisa membaca bahwa yang harus ditampung adalah bukan “pekerjaan BPS”, seperti yang digambarkan “BI” dan “Warta Berita”, melainkan akibat dari pembubaran BPS. Orang toh tak usah menjadi ahli hukum untuk mengerti, bahwa akibat dari pembubaran “BPS” dan kenyataan bahwa yang diserahi mengurusnya Kotrar. Adalah terutama rituling dari kaum “BPS” dari berbagai badan dan instansi. Jadi, kalau pembubaran “Manikebu” tempo hari tidak disertai keharusan retuling, dan rituling baru terjadi setelah massa menuntutnya, maka pembubaran “BPS” sekarang ini disertai keharusan rituling itu, sehingga rituling dari kaum “BPS” menjadilah kewajiban alat-alat negara!

Seperti sejak Manipol dimaklumkan selalu dibayangkan oleh Presiden Soekarno: kaum reaksioner itu biasanya tak mau minggir secara sukarela – mereka harus dipinggirkan! “BPS sudah “dipinggirkan”, maka datanglah sekarang giliran koran-koran dan orang-orang “BPS”. Ini adalah konsekuensi yang paling logis dari Keppres 72 dan 73!

Editorial “Harian Rakyat” 19-12-‘64

 

SETELAH PEMBUBARAN “BPS”

Setelah “BPS” dilarang dan dibubarkan, sebagai tindakan yang pertama dikeluarkan “Pengumuman Presiden” yang ditandatangani Jenderal Yani yang antara lain melarang “tafsiran-tafiran dan tulisan-tulisan yang bertentangan dengan semangat keputusan-keputusan (Keppres 72 dan 73) tersebut.”

Yang tidak bertentangan, yang bahkan mendukung dan merupakan materialisasi Keprres 72 dan 73, tentu saja diperkenankan dan bahkan diperlukan. Demikianlah misalnya tindakan PWI Jakarta Raya memecat-sementara 12 orang anggotanya (Sumantoro & Co) adalah tindakan yang diperkenankan dan bahkan diperlukan, dan maka itu terpuji.

Tetapi bagaimana dengan koran-koran klub reaksioner “BPS”? Mereka bukan saja tidak sedikitpun mengakui kesalahan-kesalahan dan pengkhianatannya, tetapi bahkan menulis tajuk rencana-tajuk rencana yang justru bertentangan dengan keputusan-keputusan Presiden. Mereka bahkan, tanpa merasa berdosa sedikitpun, memutarbalikkan persoalan dengan seenaknya saja. Bayangkanlah: “Berita Indonesia” dalam tajuk rencana yang cuma 35 baris panjangnya menuduh Menko DN Aidit “membahayakan persatuan”, “meracuni persatuan”, “membahayakan kebulatan tekad”, berpikir sewenang-wenang” dsb., dsb. Kenyataan bahwa setelah “BPS” dibubarkan “BI” dan Co masih begitu mengotot dalam memecah belah dan begitu kaya akan maki-makian tetapi begitu miskin akan alasan-alasan, betapa tepatnya sudah Keppres 72 dan 73. Ini membuktikan pula sekaligus, bahwa pembubaran “BPS” saja tidaklah cukup, dan bahwa pembubaran itu harus disusul oleh tindakan-tindakan retuling oleh KOTRAR atas koran-koran dan orang-orang “BPS”.

“BI” menuduh Aidit “melanggar, tidak mempedulikan sama sekali pada peringatan …. KOTI”. Padahal apa yang dinyatakan Aidit? Bahwa “BPS” merupakan “sambungan kegiatan kaum imperialis untuk melemahkan potensi nasional kita sehingga membahayakan Dwikora dan penyelesaian revolusi”. Apa yang salah di sini? Bacalah Keppres 72, dan di sana jelas dikatakan bahwa “BPS” itu “dalam kenyataanya telah menimbulkan gejala-gejala perpecahan di antara kekuatan nasional progresif revolusioner, sehingga dapat membahayakan kelancaran usaha mencapai tujuan revolusi”. Jadi apa yang “dilanggar” dan apa yang Aidit “tidak pedulikan”?

“BI” Menuduh Aidit “sewenang-wenang” karena kata mereka Aidit mau keadaan “harus nurut” kepadanya. Taruhlah, sekali lagi taruhlah yang dikatakan “BI” ini benar, maka kita jumpailah konsekuensi pikiran semacam ini: Aidit bersama kekuatan progresif lainnya mengendaki “BPS” dibubarkan, ternyata kemudian Presiden Sukarno “nurut” padahal Aidit itu “sewenang-wenang”, dus….Presiden Sukarno “sewenang-wenang”?

Tuduhan “BI” yang lain adalah bahwa Aidit “mengingkari kebulatan tekad nasional yang ditelurkan di Bogor sebagai pernyataan 10 partai politik”. Padahal, Keppres 72 dikeluarkan setelah mendengar “Deklarasi Bogor”, dus pembubaran “BPS” itulah yang sesuai dengan “Bogor”, dus kecaman Aidit terhadap “BPS” pun sesuai dengan “Bogor”, jadi bagaimana bisa “BI-BPS” yang justru dihukum oleh Keppres, menyalah-nyalahkan orang yang menyambut dan mendukung Keppres? Ah, sebenarnya tak ada yang aneh di sini–baik tajuk rencana “BI” Jumat maupun Sabtu adalah bukti hidup bahwa seseungguhnya “BI” itu anti-Keppres. “BI” konsekuen dalam menimbulkan perpecahan, konsekuen dalam membahayakan revolusi, konsekuan dan kerekasionerannya–tidakkah kita harus angkat topi kepada “BI” dan Co?

Adalah “BI” yang memulai heboh tentang “Pancasila”, dan dengan demikian memecah persatuan adalah “BI” yang memprovokasi amarah Rakyat dengan membela film-film AS dan kenaikan harga beras, adalah “BI” yang anti aksi-aksi pendobrakan kemacetan landreform, adalah “BI” yang lagi-lagi memecah persatuan gara-gara “Sukarnoisme”, dan jika semua ini dihubungkan dengan kegiatan agen-agen provokator yang menyebarkan “Dokumen PKI” yang palsu yang sudah dikupas di “KTT Bogor”, maka lengkaplah kerekasioneran kaum “BI” dan Co.

Tajuk rencana “BI” Sabtu yang baru lalu ini seperti mau berkata begini: “Kami menghalangi kemauan Aidit, ini kami beritahukan kepada khalayak ramai, kenapa kami dilarang” Tetapi bagaimana pun dua hal sekaligus dibikin makin jelas oleh “BI”: kerekasioneran PKI dan kereaksioner “BI-BPS” dan Co. Suatu hal yang terpuji, dan maka itu terpuji jugalah tuntutan-tuntutan untuk meritul koran-koran dan orang-orang “BPS”!

Editorial “Harian Rakyat” 21-12-‘64

 

SEDIKIT TENTANG POJOK

Ruang Pojok atau sudut adalah salah satu ciri khas surat kabar Indonesia, atau, salah satu ciri kepribadiannya jika para pembaca mau menyebutnya demikian.

Djawoto dalam “Jurnalistik dalam praktek” menyatakan bahwa pojok-pojok surat kabar-surat kabar kita “sering baik, bahkan kadang-kadang baik sekali, yaitu dalam bentuk humor atau paling jauh scherts”, tetapi kata bekas Ketua Umum PWI dan Pemimpin Redaksi “Antara” itu, juga sering digunakan tidak sebagaimana mestinya di waktu memuncaknya pertentangan-pertentangan politik, “sinis”.

Kita yakin akan rasa-humor sebagian amat terbesar para pembaca kita, maka itu kita yakin bahwa para pembaca tidak akan bisa tertawa membaca misalnya pojok koran “BPS”, “Warta Berita” 18 Desember yang lalu, yang antara lain memuat kata-kata yang ditujukan kepada kita kaum anti-“BPS”–Maaf untuk pengutipan ini! “pantat”, “keparat”, “bajingan tengik”, “setan bedebah”, “berak”, “buaya”, “bacot”, “dekil”, dsb., dsb., dan kalau juga kita baca harian itu tertanggal 21 Desember, maka akan dilengkapilah khazanah caci maki itu dengan “bulus”, “monyet”, “domba”, “cindil”, “kucica”. Sekalipun kita mengakui hak akan voorlefde kepada segala kotoran dan binatang itu pada koran-koran “BPS”, khususnya “Warta Berita”, tetapi sebagai Rakyat yang beradab, yang sedang membina pers yang beradab pula rasanya kita tak mengindahkan gejala-gejala yang miring itu. Tetapi satu hal harus kita akui, bahwa koran-koran “BPS” memang pemegang rekor dalam segala hal: bahkan dalam kerendahan mutu pojoknya dilampauinya prestasi Mochtar Lubis!

Kita tak tahu apakah redaktur-redaktur klub reaksioner “BPS” sendiri masih punya rasa humor, tetapi sebuah koran di Surabaya, yang pertama yang membongkar “Gerakan Antisukarno”, yaitu “Djawa Timur”, membuat awal bulan ini sebuah pojok sebagai berikut:

Jangkrik ngerik ngisore boto

Udan gerimis budal nang gaden

Becik ketitik, olo ketoro

Jare “Sukarnois” kok anti-Presiden!

Ada dikatakan orang bahwa lelucon itu tak mungkin diterjemahkan, maka kita pun tak menerjemahkannya. Tetapi tentulah tidak semua klik “BPS” paham bahasa Jawa, maka barangkali “pedes-gemes”-nya, “mang cubit” dari “Harian Ekonomi Nasional”– berhubung dengan ucapan Prof. Dr. H. Dj. Roeslan Abdulgani– ini lebih bisa mereka tangkap:

“Karena ketangkap basah “Merdeka” coba bela diri: kalau yang tidak disetujui penumpang gelapnya, turunkan sajalah dan kereta toh jalan terus, katanya…

Bagaimana pun orang bisa membandingkan antara humor-humor begini dan maki-makian atas nama “pojok” oleh koran-koran “BPS”, yang nota bene belakangan ini saling pojok-memojok di halaman-halaman mereka sendiri…

Sudah dari dulu kita peringatkan: berhati-hatilah memberikan izin kepada petualang-petualang pers. Sekarang memang nasi sudah menjadi bubur. Barangkali KOTRAR yang bisa mengganyang bubur ini…

Editorial “Harian Rakyat” 22-12-‘64

 

CATATAN ATAS CATATAN (I)

“Berita Indonesia” kemarin membuat “Noot Redaksi” atas editorial kita 21 Desember “Setelah Pembubaran BPS”.

Ada yang sangat baik dalam catatan “BI” itu, yaitu: pengakuannya membela film-film AS dan membela kenaikan harga beras. Bayangkanlah–“harian pelopor proklamasi” yang membela kebudayaan imperialis dan membela penyengsaraan Rakyat! Voila!

Diakuinya pula bahwa, “BI” telah membocorkan bahan Pekarev. Rupanya begitu terpisahnya “BI” dari soal-soal Pekarev, sehingga sedikitpun tak diketahuinya aturan-aturan Pekarev. Bahan Pekarev, terutama yang ceramah, boleh diumumkan apabila yang melakukannya menerjemahkannya sendiri. Sedang dalam hal “BI”, diselundupkannya wartawannya yang bukan Karev ke dalam Pekarev dan dibocorkannya “Pancasila”.

Adalah sangat menarik perhatian bahwa editorial “HR” 19 Desember tidak diberinya “noot”. “HR” menunjukkan berkali-kali dan ini tak pernah disangkal oleh “BI” dan CO; bahwa baik “Pengumuman Pembubaran “BPS” maupun komentar-komentar koran-koran klub rekasioner “BPS” tidak sedikitpun mengakui kesalahan “BPS” itu “benar”, bahkan lagi, –o, brutalitet!–menganggap bahwa KONTRAR akan “melanjutkan” kegiatan “BPS”. Harus kita namakan apa sikap begini ini kalah bukan brutal, –maaf para pembaca atas pemakaian isitilah ini–kurang ajar?

Lalu “BI” menyatakan “tidak bisa membenarkan” tafsiran Aidit atas “Deklarasi Bogor” tentang persatuan nasional. Tentu saja! Aidit menghendaki dan membela persatuan dari semua tenaga revolusioner, sedangkan “BI” dan “BPS” dan Co dengan teriak-teriak persatuannya menghendaki dan mengimpikan persatuan antara tenaga-tenaga revolusioner dan tenaga-tenaga reaksioner (tulisan tidak terbaca) “BPS”–kira-kira dong, bung!

Editorial “Harian Rakyat” 23-12-‘64

 

CATATAN ATAS CATATAN (II)

Untuk kedua kalinya para pembaca kita persilakan menikmati kenyataan betapa si koran pelopor “BPS”, “Berita Indonesia”, benar-benar teguh dalam membela film-film AS dan membela kenaikan harga beras. Bravo!

“BI” dalam “Not redaksi”-nya yang kedua kalinya 24 Desember yang lalu, jadi menjelang Natal, menuduh kita dengan memilih kata-kata kasar yaitu dakwaan “sewenang-wenang” sampai dua kali: “sewenang-wenang” dalam “berpikir” dan dalam “memaksakan kehendak”. Kita tak tahu apa maksud “BI” bahwa kita “sewenang-wenang” dalam “berpikir”–entahlah apakah ini hasil pemikiran yang amat luar biasa arifnya dari “BI” si bijak bestari, tetapi, kalau “BI” begitu rindu untuk “terserah kepada kita sendiri”, lalu apa yang dimaksudkannya dengan berpikir “sewenang-wenang”? Tentu kita punya pikiran yang bebas, terserah kepada kita sendiri, antara lain untuk membongkar sifat palsu “BPS”, untuk mengupas tulisan-tulisan Yuti (?), juga untuk menganjurkan “BPS” dibubarkan. Tidakkah jalannya kejadian justru membenarkan kita?

Menurut “BI” kemudian, menolak film-film AS dan menentang kenaikan beras itu “menyerang” politik Pemerintah. Apa sajalah yang “BI” katakan, tapi kita tidak menyerang Rakyat dan kita di pihak rakyat! Dan amatlah jenakanya bahwa menyokong boikot atas film AS yang sampai sekarang berlangsung terus, dus toh dibenarkan oleh Pemerintah, dikatakan “menyerang” Pemerintah. Lalu orang pemerintah mana yang kiranya bagitu gairah menyetujui kenaikan beras? Sebaliknya, sedang Keppres 72-73 tegas-tegas mengatakan “BPS” menimbulkan perpecahan dan membahayakan revolusi, dan “BI” menafsirkan Keppres ini menurut pas badannya sendiri dengan menganggap bahwa kerja “BPS” itu “benar” dan bahkan “diteruskan” oleh Kotrar, ini menurut “BI” tentulah “tidak menyerang” politik Pemerintah… Barangkali kutub utara sudah di selatan dan yang di selatan sudah di utara?

Dalam pojoknya pada hari yang sama, “BI” membayangkan bahwa setelah “BPS” dibubarkan, mungkin “korannya ditutup, partai-partai dan menteri-menteri pendukungnya akan dapat giliran”. Kali ini pojok “BI” mengandung humor yang dalam!

Editorial “Harian Rakyat” 29-12-‘64

 

RASIALISME “BERITA INDONESIA”

Tak salah perhitungan kita bahwa setelah “BPS” dibubarkan, pasti kaum “BPS” itu mencari cara-cara lain untuk meneruskan politik pecah belahnya. Sampai sebegitu jauh belum lagi jelas tema apa yang akan mereka pilih dan cara apa yang akan mereka tempuh. Tetapi dasar situasi di tanah air kita situasi revolusioner, maka segala sesuatu berjalan cepat, juga terbukanya rencana-rencana kaum “BPS”!

Tajuk rencana “Berita Indonesia” 5 Januari kemarin sungguh teramat penting untuk dilewatkan begitu saja. Kita anjurkan kepada semua orang Indonesia yang berminat kepada masalah-masalah politik untuk membacanya, membaca-ulang, mempelajari, menganalisis dan menyimpulkan tajuk rencana “BI” itu.

“BI” bukan hanya untuk kesekian banyak kalinya membela kenaikan-kenaikan, atau lebih tepat penaikan-penaikan harga-harga barang, tetapi bahkan secara lebih tak terkendali lagi menunjukkan watakanya yang anti-rakyat. Dia begitu membenci delegasi dan demonstrasi-demonstrasi Rakyat yang menunut penurunan harga, dan dalam sangkanya akan dapat mendiskreditkan demonstrasi-demonstrasi itu, maka disebutnyalah aksi-aksi itu “permainan politik golongan tertentu” yang alangkah kasarnya” dalam mencatut nama “Rakyat”. Rupanya urusan yang dibela “BI” itu sudah begitu jauh berjalin dengan catut-mencatut sehingga tidak bisa lagi dipahaminya alam pikiran dan perasaan Rakyat memang menghendaki supaya harga-harga barang-barang turun. Seandainya pun benar ada soal “mencatut nama Rakyat”, rasanya Rakyat tak keberatan namanya “dicatut” asal untuk memperbaiki keadaan ekonomi umumnya dan khususnya untuk penurunan harga-harga barang! Yang terang tidak mencatut nama Sukarno….

Lalu “BI” menyarankan supaya “Pemerintah bertindak menguasai seluruh peredaran uang rupiah”. Tahukah “BI” apa yang dimaksudkannya dengan kalimat ini” Siapa doktor ekonominya maka tampil dengan saran yang tak ada sangkutpautnya dengan teori dan praktik ekonomi apapun selain terori dan praktek ekonomi…fasis ini?

Ja, “BI” dan Co sudah punya tema baru, dan tema pilihannya kali ini adalah jiplakan dari teroris-teroris “10 Mei” yang ayah rohanianya tidak lain daripada Adolf Hitler, yaitu: rasialisme.

“Teori” yang dikemukakan “BI” sangat sederhana: Pemerintah hanya menguasai 40% dari peredaran rupiah, sedang yang 60% berada di tangan modal asing-domestik”. Lalu “BI” menjanjikan akan memberikan segala sokongan apabila Pemerintah “berani bertindak tegas menguasai” modan itu semuanya.

Juga tujuan “BI” jadinya sederhana: menindas kaum kapitalis asing-domestik, apakah ia berbangsa Arab, India, Pakistan, Tionghoa, atau lain-lain, dan dengan demikian memberikan jasa yang amat luar biasa setianya kepada Stanvac, Caltex, BPM-Shell, Unilever, dll., pendeknya, jasa yang tentu akan sangat diterimakasihi oleh kaum modal imperialis!

Dan seperti galibnya, semua usaha reaksioner selalu dimulai dengan pemalsuan atas Manipol. Juga “BI” kali ini! “BI” melukiskan seakan-akan sarasnnya untuk menindas modal asing-domestik itu sesuai dengan “semangat Manipol”. Padahal betapa huruf dan jiwa Manipol tentang hal ini akan bisa disulap! Inilah bunyi Manipol: segala tenaga dan segala modal yang terbukti progresif akan kita ajak dan akan kita ikut-sertakan dalam pembangunan Indonesia. Dus juga tenaga dan modal bukan-asli yang sudah menetap di Indonesia.. akan mendapat tempat dan kesempatan yang wajar…untuk melaksanakan maksud itu maka perlu adanya iklim kerja sama yang baik. Oleh karena itu semua yang berkepentingan hendaknya menjauhi sesuatu tindakan yang dapat merugikan iklim kerja sama itu”

Sengaja kita kutip Manipol agak panjang, agar jelas bagi para pembaca bahwa justru “merugikan iklim kerja sama” itulah yang kini dilakukan oleh “BI” dan Co! Apa namanya ini kalau bukan sabotase terang-terangan terhadap Manipol?

Rupanya kaum rasialis tak bosan-bosan untuk mengulang-ulang tema usangnya. Baiklah, kita pun dan segenap Rakyat yang progresif takkan bosan-bosan untuk “mengulang-ulang” perlawanan dan hantaman-hantaman terhadap kaum rasialis!

Editorial “Harian Rakyat” 6-1-‘65

 

Partai “Murba” Dilarang

Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/KOTI dalam surat keputusannya tanggal 6 Januari 1965 menetapkan, melarang untuk sementara waktu Partai Politik “Murba” baik pimpinan pusatnya, daerah-daerah, cabang-cabang dan sebagainya, maupun anggota-anggotanya termasuk pula organisasi-organisasi massa dan lembaga-lembaga lainnya yang berinduk dan bernaung pada Partai Politik Murba, melakukan kegiatan apapun.

Pelanggaran terhadap keputusan ini, diancam dengan tindakan-tindakan berasarkan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1963 tentang kegiatan paolitik, Penetapan Presiden No. 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan ketentu-ketentuan lainnya yang berlaku.

Keputusan Presiden/Panglima ABRI/KOTO itu, disampaikan hari Rabu jam 14.00 kepada para wartawan Ibukota, oleh Kepala Penerangan KOTI Kol. M.Ng Sunorjo dalam suatu konferensi pers di kantor pusat penerangan KOTI di Jakarta.

Keputusan selengkapnya sebagai berikut:

Keputusan Presiden/panglima tertinggi ABRI/KOTO No. 1/KOTI/1965

Kami Presiden/panglima tertinggi angkatan bersenjata republik indonesia/komando operasi tertinggi

Menimbang:

1.  bahwa untuk meningkatkan pelaksanaan Dwikora dewasa ini dibutuhkan adanya kesatuan dan persatuan seluruh kekuatan Nasional yang progresif revolusioner.

2.  bahwa adanya gejala-gejala perpecahan di antara kekuatan Nasional yang prograsif revolusioner yang timbul dewasa ini perlu dicegah dan dihindarkan;

3.  bahwa demi berhasilnya pelaksanaan Dwikira dewasa ini, segala kegiatan dari seluruh masyarakat termasuk organisasi-organisasi massa dan partai-politik harus diarahkan dalam rangka pengganjangan proyek Nekolim “Malaysia”;

4.  bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, perlu untuk sementara waktu melarang kegiatan partai politik Murba;

Mengingat:

1.  Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 4 tahun 1962 Lembaran Negara tahun 1962 No. 97 tentang Keadaan Tertib Sipil;

2.  Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 tahun 1963;

Memperhatikan:

Ikrar Bersama Sepuluh Partai Politik di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964;

Memutuskan

Menetapkan:

Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi tentang larangan untuk sementara waktu partai politik Murba melakukan kegiatan apapun.

Pasal 1

Untuk sementara waktu partai politik Murba baik pimpinan pusatnya, daerah-daerah, cabang-cabang dan sebagainya, maupun anggota-anggotanya termasuk pula organisasi-organisasi lainnya yang berinduk dan bernaung pada partai politik Murba dilarang melakukan kegiatan apapun.

Pasal 2

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dalam pasal 1 dapat diambil tindakan berdasarkan Penetepan Presiden No. 5 tahun 1963 tentang kegitan Politik, Penetapan Presiden No. 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang berlaku.

Pasal 3

Keputusan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 6-1-1965

presiden/panglima tertinggi angkatan bersenjata republik indonesia/komando operasi tertinggi

Ttd.

SUKARNO

“Harian Rakyat” 7-1-‘65

 

MURBA SEBAGAI PARTAI TERLARANG

Kalau Keppres 72-73 tahun yang silam membubarkan “BPS”, maka Keppres 1 tahun ini melarang untuk sementara waktu Partai Murba yaitu untuk meningkatkan pelaksanaan Dwikora dan berdasarkan “Deklarasi Bogor”, sedang penggaran-pelanggaran terhadapnya digolongkan kegiatan subversif.

Kiranya tak ada seorang pun yang tahu akan hubungannya antara “BPS” dan Partai Murba. Dan sekali kegiatan Murba dilarang, tentulah tinjauan kita tak bisa dibatasi pada hubungan “BPS”-Murba saja, tapi harus diluaskan pada kegiatan-kegiatan Partai Murba lainnya.

Mereka dalam politik praktis bukan hanya ikut giat memecahbelah persatuan kelas buruh (Pandu Kartawigina misalnya adalah salah seorang pelopor “Soksi”), tetapi mereka juga menghang-halangi aksi-aksi anti-imperialis (dengan antara lain membela agar film-film imperialis AS diputar kembali) dan mengacaukan perekonomian Rakyat (dengan menganjurkan diperbanyaknya uang beredar dengan 200 milyar rupiah dan membela kenaikan harga beras, harga bensin). Mereka bahkan giat menyebarkan Komunisto-phobi (dengan antara lain menyebarkan pendapat bahwa “PKI adalah musuh paling berbahaya”), menentang Keppres 72-73 (dengan antara lain mendirikan “Pusat Penerangan” sebagai penerus “BPS”) dan berusaha mengganti Presiden Sukarno (yang tanda-tandanya kentara antara lain pidato-Surabaya Sukarni).

Juga dalam hal-hal yang boleh dikatakan prinsipil-ideologis Partai Murba selalu bersikap negatif. Di dalam Konstituante tempo hari mereka menolak Pancasila, dan belakangan ini mereka praktis juga menyabot Nasakom. Dengan antara lain menggolongkan diri mereka sendiri kadang-kadang dalam “Nas”, kadang-kadang lagi dalam “Kom”. Dan paling akhir mereka mau menaburkan lagi rasialisme.

Jika pada kenyataan ini ditambahkan kenyataan lain, bahwa di antara tokoh-tokoh Murba ada yang–sedang Rakyat banyak yang menderita akibat kesulitan-kesulitan ekonomi–menggaet kekayaan negara, menggendutkan perut sendiri dan menjadi kapitalis-kapitalis birokrat yang kaya-raya, maka lengkaplah pencideraan mereka.

Kita sepenuhnya dapat memahami dimaklumkanya Keppres 1, dan kita kira menjadilah kewajiban kita sekalian kaum Manipolis untuk membantu terlaksananya tujuan Keppres tersebut dengan sebaik-baiknya, demi keselamatan dan perkembangan front persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom, anti-“Malaysia”, anti-imperialisme dan anti-feodalisme umumnya.

Editorial “Harian Rakyat” 8-1-‘65

 

SIKAP “MERDEKA” DIPERSEMBAHKAN KEPADA CAKRAWARTI

(Oleh: Pimpinan Redaksi "Merdeka")

Sejak Koti melarang dan membubarkan "Badan Pendukung dan Penyebar Sukarno-isme", dengan pertimbangan untuk “memperhebat dan meningkatkan pelaksanaan Dwikora dewasa ini” dan “harus dipupuk kesatuan dan persatuan seluruh Bangsa”, sudah banyak air Ciliwung mengalir ke laut.

Bersama air yang mengalir itu ikut serta pula mengalir kotoran, fitnahan, segala hasutan-hasutan dan ucapan-ucapan keji dilemparkan kepada surat kabar “Merdeka” ini sebagai surat kabar, dan juga kepada pemimpin-pemimpinnya serta anggota-anggota stafnya sebagai manusia.

Mereka ini, senantiasa dapat membuat kesalahan karena berani berbuat, berani berjuang, ya, berani berkorban untuk keyakinannya dan kepercayaannya kepada cita-cita Revolusi Bangsa dan Negara yang tersusun dan terjalin dengan tegas-tegas dalam ajaran-ajaran Bung Karno yang dengan singkat kami sebutkan selama ini dengan satu kata: “Sukarno-isme”

Saban hari sejak tanggal 11 Desember 1964 sampai hari ini surat kabar ini dan pengasuh-pengasuhnya dituduh kontra-revolusi, diintimidasi, dipaksa supaya mengaku bersalah, diganyang melalui tirani pikiran dan segala cara fasistis oleh golongan-golongan tertentu agar kita hancur sendiri atau dihancurkan, akan tetapi syukurlah sampai hari ini kita masih tegak dan berdiri, berjuang dengan tidak sempat menghela napas, tetapi dengan keyakinan bahwa terhadap Revolusi, terhadap Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, terhadap bendara Sang Saka Merah Putih serta Tanah-air dan Rakyat yang kita cintai kita tidak ada ingatan, pikiran atau pertimbangan sejenakpun untuk mengkhianatinya! Golongan-golongan dengan siapa kita berkompetisi Manipol dalam melaksanakan cita-cita revolusi dari atas dan dari bawah, boleh menuduh kita bertubi-tubi…dengan semboyan hantam terus, gasak terus, ganyang terus…dia pasti patah dan…kepada para pembaca itu kita majukan dalil ini untuk diketahuinya.

Sejak “Merdeka” ikut serta aktif dan tidak pernah absen dalam Revolusi Agustus, harian ini berpedoman demikian:

Bagi harian “Merdeka” perjuangan dalam Revolusi hanyalah dapat berakhir dengan menang, hidup adil dan makmur atau musnah, mati dengan tulang berserakan. Sebagai Revolusioner kita tahu bahwa jalan tengan tidak ada, pilihan lain tidak ada. Dengan keyakinan inilah kita berjuang dan akan berjuang terus. Di dalam masa ini ada kekuatan-kekuatan revolusioner lain yang ini membantu kita, ingin memberikan kepada kita ayoman, ingin melindungi kita. Maksud baik itu tentulah sangat kami hargai, mengingat bahwa tenaga-tenaga Revolusioner ini pun tidak enggan ingin berdiri menyokong kita, yang kita artikan bahwa dengan ini kita tetap merupakan kekuatan revolusioner.

Di samping itu perlulah kita jelaskan pula, bahwa landasan kita berpijak ini kita batasi dengan jelas. Surat kabar “Merdeka” akan terus kami hidupkan, terus kami pupuk sebagai tenaga revolusioner progresif, yang mengakui akan kemutlakan persatuan segala kekuatan-kekuatan revolusioner dan progresif yang ada di dalam masyarakat kita untuk mencapai cita-cita Revolusi Indonesia. Tida ada satu butir manusia pun berhak mengatakan kita mengkhianati Revolusi. Golongan-golongan tertentu yang gigih yang hendak mengaku dia berbuat demikian, berbuat demikian atas dasar kesombongan, keangkuhan bahwa yang menentukan berhasil atau gagalnya Revolusi dan siapa Revolusioner adalah mereka semata-mata. Apabila tuduhan-tuduhan ini, yang telah bersifat provokasi, tidak kita jawab, maka akan masuklah “Merdeka” dan pengasuh-pengasuhnya dalam sejarah Revolusi sebagai memang bersalah, sebagai pengecut, sebagai orang lari malam. Kita tidak berdiam diri terus dan dengan keinsafan akan kejujuran kita pada Pemimpin Besar Revolusi dan Revolusi itu sendiri, kami susun keterangan ini.

Bagi “Merdeka” ia hanya mengakui hukum-hukum Revolusi sepanjang yang tercantum dalam Manipol Usdek. Ia hanya tunduk pada “Cakrawarti”-nya Revolusi Indonesia.

Jika “Cakrawarti”-nya Revolusi mengatakan bahwa “Merdeka” adalah penentang Revolusi Agustus, adalah penyeleweng Revolusi, adalah Pengkhianat Revolusi, maka saat itu juga kami pengasuhnya serta surat kabar ini sendiri sedia menerima hukuman seberat-beratnya yang dikenakan kepada seorang pengkhiatan Revolusi: hukuman mati….! Kami tidak akan meminta apapun, bahkan juga tidak meminta kemungkinan self-correction karena mungkin kita telah dibawa hanyut oleh angin badai politik beraneka muka, atau sesat di taman bunga yang mengembangkan beribu kembang pikiran, tetapi patu dan tunduk atas putusan-putusan Cakrawarti itu, karena bagi pengkhianat seyogyanya tida ada lain pilihan atau lain hukuman! Inilah sikap “Merdeka”! Inilah sikap seluruh pengasuhnya.

Inilah persembahan kita kepada Cakrawarti.

Merdeka” 17 Februari 1965

 

TENTANG SIKAP “MERDEKA”

Harian “BPS” “Merdeka” Sabtu kemarin terbit dengan tulisan “Pimpinan Redaksi Merdeka” berjudul “Sikap ‘Merdeka’–dipersembahkan kepada Cakrawarti”.

Tiga hal amat menarik perhatian dari tulisan itu: pensaatannya, caranya, isinya.

Pensaatannya: Tulisan itu sendiri dibuka dengan kalimat “Sejak Koti melarang dan membubarkan BPS…” Jadi teranglah, bahwa tulisan itu sengaja dibuat berhubung larangan dan pembubaran “BPS”, dan justru di saat usaha penertiban pers mendekati realisasinya. Rupanya “Merdeka”, punya juga rasa dosa (schuldbewust) sehingga tidak usah kita jelaskan pun para pembaca tentu maklum bahwa “Merdeka” kini tengah berjuang untuk survival (kelangsungan hidup)-nya.

Caranya: Kalau diikuti seluruh tulisan itu maka seakan-akan cuma “Merdeka” yang benar dan semua golongan lainnya salah. Orang lain membodohi, menipu, mengitimidasi” Rakyat, seadang “Merdeka” (amboy!)…”alat penyambung lidah rakyat”…Tidak saja itu! Orang lain berbuat “atas dasar kesombongan, keangkuhan”, sedang “Merdeka” atas dasar “kejujuran”. Pera pembaca toh masih bisa membedakan antara dua sifat itu, dan apakah namanya hal-hal berikut ini kalah bukan kesombongan, keangkuhan: “Merdeka” menamakan dirinya “bukan bunglon”, “berani berkorban”, mendapat restu Rakyat”, dan (dengarkanlah baik-baik!) “darah Revolusi Agustus ada jatuh, Tujuan mereka sudah terang: membinasakan Surat Kabar “Merdeka” sebagai mass media atau alat menyambung lidah rakyat dengan segala daya, agar tidak ada suara lain selain daripada suaranya sendirilah yang terdengar.

Mereka rupanya menganggap rakyat tidak tahu akan siasatnya itu. Tidak, rakyat tahu dari mana angin bertiup, dan karena itu mengetahui pula apa yang menjadi persoalan sesungguhnya.

Rakyat mengenal “Merdeka” dan pengasuhnya selama hampir dua puluh tahun, hampir sama dengan usianya Revolusi.

Bagi rakyat yang mengerti, darah Revolusi Agustus adalah darah Merdeka, daging Revolusi adalah dagingnya, cita-cita Revolusi adalah cita-citanya dan napas serta jiwa Revolusi adalah napas dan jiwanya Sura Kabar “Merdeka”.

Surat kabar ini bukan bunglon, bukan pula promotor daripada sejarah kita yang bertujuan menghancurkan, sekurang-kurangnya menyelewengkan Revolusi Agustus, tidak! Sebaliknya, “Merdeka” dalam sejarahnya adalah penghalang bagi sekalian avonturir-avonturir politik ini yang bertujuan mula-mula mengkonstitusionalkan Pemimpin Besar Revolusi ataupun menghalangi perjalanan Revolusi, dan kemudian mengambil alih Pimpinan Revolusi. Tentulah ada yang nyeletuk menentang tesis kita ini dan datang dengan dialektika tiraniknya, dengan mengatakan: Ya Bung, dulu Revolusioner sekarang kontra-revolusioner….

Kita akan bertanya lagi: Rakyat yang mana? Yang kau bodohi, yang kau tipu dengan tipu muslihatmu? Yang kau intimidasi?

Kepada para pembaca yang mejadi kekuatan Surat Kabar “Merdeka” selama dia boleh hidup di atas persada Tanah air Indonesia dan dengan restu rakyat yang meminta dibebaskan daripada penderitaan dari tindakan-tindakan kolonialisme, feodalisme, kapitalisme, fasisme, oligarkisme, nepotisme, tiran-tiran dan naga-gana yang haus akan darah rakyatlah darah ‘Merdeka’, daging Revolusi adalah dagingnya, cita-cita Revolusi adalah cita-citanya dan napas serta jiwa Revolusi adalah napas dan jiwa Surat Kabar ‘Merdeka’…Harian ini menolak dirinya disebut pengecut, dia bilang tidak akan “lari malam”, dan jika “Cakrawarti Revolusi” (dibubuhkan di sana gambar Presiden Sukarno sebesar 240 cm2 dan judul tulisannya dicetak merah!) mengatakan bahwa “Merdeka” itu “penyeleweng” atau “pengkhiatan Revolusi” maka, “kami pengasuhnya serta surat kabar ini sendiri sedia menerima hukuman seberat-beratnya yang dikenakan kepada seorang pengkhiatan Revolusi: hukuman mati.” Tetapi di samping itu “Merdeka”–karena jangan lupa ia itu “mass media” atau alat penyambung lidah rakyat–memohon janganlah ia “dibinasakan”. Sebabnya? Adakah para pembaca lupa bahwa darah, daging, cita-cita, napas serta jiwa Revolusi, semuanya adalah punya “Merdeka”? Kalau “Merdeka” misalnya dibinasakan (tentu oleh konsekuensi larangan dan pembubaran “BPS” oleh Presiden/PBR/Panglima Tertinggi ABRI/KOTI) maka akan binasalah Revolusi.

Isinya: Seantero tulisan “Merdeka” itu dengan pernyataan “tidak akan meminta ampun” sebenarnya dari A sampai Z suatu percobaan meminta ampun belaka.

“Rakyat mengenal ‘Merdeka’ dan pengasuhannya selama hampir dua puluh tahun, hampir sama dengan usianya Revolusi”, tulis Pemimpin “Merdeka”. Benar, benar sekali, kata kita.

Karena “Merdeka” tidak menyokong tulisannya dengan fakta-fakta dan b ukti-bukti dan membatasi diri pada penyataan-pernyataan umum yang serba kabur saja, maka kita pun kali ini berlum merasa perlu untuk tampil dengan misalnya kutipan-kutipan dari harian “Merdeka” sendiri (kalau perlu sikap-sikapnya yang karekaterisitik selama 20 tahun ini kesemuanya) dan kita pun mebatasi diri pada fakta-fakta yang pokok dan yang akhir-akhir ini saja.

Bahwa “Merdeka” adalah salah satu penyebar apa yang disebut “Sukarnoisme”, ini diakui oleh harian itu kemarin.

Bahwa “Merdeka” pendukung, kalau bukan promotor “Manikebu”, ini adalah fakta.

Bahwa “Merdeka” pendukung, kalau bukan promotor “Soksi”, ini adalah fakta.

Bahwa “Merdeka” pendukung, kalau bukan promotor “BPS”, ini adalah fakta.

Bahwa, bahwa…fakta-fakta ini bis ditambah dengan sederetan lainnya lagi.

Misalnya, berbicara tentang “pengasuh” harian “Merdeka”, siapa yang tak ingat bahwa harian ini pernah untuk waktu yang lama diserahkan asuhannya kepada seorang Harris Sitompul, seorang yang pernah mengabdi kepada Pemerintah penjajah Belanda di waktu Rakyat sedang melangsungkan revolusinya?

“Merdeka” menuduh orang lain menjalankan “tirani pikiran”, tetapi kalau dia sendiri tak hendak disebut menjalankan tirani itu, sekurang-kurangnya harus dipertanggungjawabkannya segala sikapnya di atas sebelum menyombongkan diri seolah-olah sebagai satu-satunya yang “revolusioner”. Ini kita tegaskan, karena kesombongan “Merdeka” memang sudah asing samasekali dari segala sifat jujur dan rendah hati, sehingga bukan saja “darah Revolusi” adalah darah ‘Merdeka”, tapi “sebagai Revolusioner” dia sajalah yang “berjuang dan akan berjuang terus”, sedangkan “kekuatan-kekuatan revolusioner” lainnya hanya “membantu kita, menyokong kita”.

“Merdeka” mengatakan “tidak ada ingatan, pikiran atau pertimbangan sejenakpun untuk mengkhianati” tanah air, tetapi bagaimana kalau tanpa ingatan, pikiran atau pertimbangan ada tindakan mengkhianatinya?

“Merdeka”, seperti senantiasa, dengan mengatakan “Rakyat tahu dari mana angin bertiup”, mencoba menggambarkan bahwa kecaman-kecaman terhadap “Merdeka”, paling akhir mengenai pembelaannya yang berkobar-kobar atas “BPS”, datang hanya dari satu-dua golongan yang kecil. Tetapi kalau PWI, FN, bahwakan DPA dan orangs-ormas serta partai-partai yang tak sedikit jumlahnya menuntut rituling korang-koran “BPS” itu dan tuntutan ini datang dari segenap penjuru negari siapa yang minroritas dan siapa yang mayiritas dan mana yang sesungguhnya (bukan dalam pernyataan, tapi dalam kenyataan) “lidah Rakyat?”

“Mereka” jengkel benar bahwa dirinya seperti “dipaksa supaya mengaku bersalah”. Tiap orang tahu bahwa yang memaksanya tak ada dan tak perlu. Tapi sekiranya “Merdeka” kali ini agak rendah hati sedikit dan mau mengakui kesalahan-kesalahannya, mungkin orang masih akan mempertimbangkan sesuatu pengampunan. Akan tetapi, sesudah tulisannya Sabtu kemarin itu, air sungai sudah terlanjur masuk lautan dan menjadi asin dan tak mungkin tawar kembali….

Tidak satu butir manusia pun berhak mengatakan kita mengkhianati Revolusi” kata “Merdeka”. Kalau satu butir memang tidak akan ada yang menghiraukannya. Tetapi bagaimana kalau yang mengatakannya “puluhan juta butir?” Dan rakyat bukannya pasir, Rakyat adalah mutiara!”

“Harian Rakyat” 15 Februari 1965

 

PERINTAH BUNG KARNO: SEMUA ALAT YANG DJADI ANTEK-ANTEK “BPS” SUPAYA DIBUBARKAN

Presiden Sukarno ditengah-tengah rapat raksasa peringatan genap 19 tahun usia Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dilangsungkan Selasa Malam di Gelora Bung Karno telah memerintahkan kepada Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi agar supaya segera membubarkan segala alat-alat yang menjadi antek-anteknya “BPS”, yaitu gerakan subversif dan kontra revolusi yang telah dibubarkan oleh Bung Karno.

“Sudah nyata-nyata saya telah membubarkan “BPS”. Sudah nyata-nyata pula “BPS” itu sudah saya larang. Jadi sekarang ini saya perintahkan kepada Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi agar membubarkan surat kabar-surat kabar apapun juga, organisasi-orgaisasi apapun juga atau alat-alat apapun juga yang menjadi antek-anteknya “BPS”, kata Kepala Negara beberapa kali mengulang-ulangi isi perintahnya itu yang disambut oleh massa rakyat yang memenuhi Istana Gelora Bung Karno dengan gegap gempita dan gembira.

Jangan dikira saya plintat-plintut. Saya tegas-tegas membubarkan gerakan “BPS” itu. Apapun yang jadi antek-anteknya “BPS” harus dibubarkan. Kita harus bersihkan revolusi kita ini dari segala macam penghambat dan rintangan. Kita harus bersihkan revolusi kita ini dari segala macam gerakan yang bertujuan memecahbelah kekuatan-kekuatan progresif-revolusioner, kata Bung Karno yang menyejajarkan “BPS” itu dengan gerakan-gerakan Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar dan Partai Masyumi.

Saya sekarang ini sengaja tidak menyebut-nyebut surat kabar-surat kabar mana, organisasi-organisasi apa dan nama-nama orangnya yang menjadi biang keladi “BPS” tersebut, hal mana agar tidak menjadikan Menteri Achmadi kewalahan, kata Bung Karno.

Alasan Bubarkan “BPS”

Pernyataan-pernyataan, sikap dan resolusi-resolusi PWI sungguh-sungguh tegas agar antek-antek “BPS” dibubarkan. PWI sekarang ini benar-benar menjadi alat revolusi yang tangguh dan terpercaya.

“BPS sudah saya bubarkan dan pembubaran itu sudah tentu pula punya alasan-alasan yang kuat. Kaum imperialis dan “Central Intelligence Agency”, yaitu Pusat Dinas Rahasia AS telang menunggangi “BPS” itu untuk dijadikan mereka alat melawan Komunisme.

Apa yang paling ditakuti oleh kaum imperialis dan CIA itu ialah komunisme. Segala apa saja yang dapat mereka gunakan sudah tentu akan mereka pakai untuk melaksanakan maksud-maksud mereka itu.

Mereka telah mempergunakan “Islam-nya Kartosuwirjo” untuk menentang Komunisme. “Islam-nya Kartosuwirjo” mereka dukung. Demikian juga “Islamnya Kahar Muzakar”, demikian pula “Islamnya Masyumi” dan baru-baru ini gerakan-gerakan “BPS” mereka tunggangi untuk melaksanakan maksud-maksud mereka menentang Komunisme yang mereka paling takuti.

Demikian “Islam-nya Kartosuwiryo” telah digempur oleh Rakyat Indonesia. “Islamnya Kahar” telah digempur oleh Rakyat Indonesia pula, sedangkan “Islam-nya Masyumi” telah dibubarkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Berbicara tentang “Islam” itu, demikian Bung Karno, sama sekali bukanlah saya maksudkan Agama Islam yang kita semua dan saya cintai itu. Tetapi tegas-tegas “Islam-nya Kartosuwiryo-Kahar dan Masyumi”, ditandaskan oleh Kepala Negara agar masyarakat jangan salah mengerti.

Ternyata kaum imperialis telah gagal dalam mempergunakan gerakan-gerakan kontra-revolusi itu dalam usaha mereka menentang Komunisme. Setelah gagal maka lalu mereka mempergunakan “BPS”. Gerakan “BPS” telah mereka tunggangi dan mereka pergunakan, karena “BPS” itu anti-Nasakom.

“Saya mendapt info, bahwa “BPS” adalah gerakan untuk membunuh Sukarnoisme dan membunuh Sukarno”, kata Kepala Negara, yang menurut catatan para wartawan inilah untuk pertama kalinya Bung Karno membuka tabir alasan pembubaran “BPS” itu di muka umum secara luas.

Dikatakan oleh Kepala Negara, bahwa dalam prakteknya “BPS” itu memang anti-Nasakom: lalu “BPS” ia bubarkan.

Sesudah “BPS” dibubarkan, Maka PWI adakan tuntutan pada Menteri Penerangan Achmadi supaya surat kabar-surat kabar antek-antek “BPS” itu dicaput izinnya dan dibubarkan.

Revolusi Punya Musuh-Musuh

Dikemukakan pula oleh Bung Karno, bahwa setiap revolusi sudah tentu mempunyai musuh-musuhnya. Kalau tidak punya musuh maka itu bukan revolusi namanya, karena revolusi berarti pembongkaran dari akar-akarnya.

Musuh-musuh revolusi sudah tentu akan mempertahankan dirinya agar supaya pembongkaran-pembongkaran itu tidak dadakan. Setiap revolusi tentu ada musuhnya. Revolusi Indonesia sudah tentu pula mempunyai musuh-musuhnya. Dalam tingkat revolusi nasionalis-demokratis sekarang ini, maka musuh kita yang paling pokok adalah imperialisme, feodalisme, dan kaki tangan-kaki tangannya.

“Jadi kewajiban kita semua ialah membersihkan segala hambatan yang merintangi jalannya revolusi kita itu,” Kata Bung Karno.

Tidak Ada “Pers Bebas”

Ditegaskan oleh Kepala Negara bahwa di dalam suatu revolusi sudah tentu tidak ada “pers-bebas”. Yang diperbolehkan ialah pers yang membentuk dan mendukung sepenuhnya pelaksanaan revolusi.

“Pers yang tidak mendukung dan tidak membantu serta yang mengancam jalannya revolusi harus tegas-tegas kita nyatakan sebagai musuhnya revolusi”, kata Kelapa Negara ketika membantah pikiran-pikiran pers Barat yang selalu mengagung-agungkan istilah “pers bebas”.

“Revolusi Indonesia harus kita bersihkan dari pers yang jadi penghambat revolusi kita itu,” kata Bung Karno yang kemudian menambahkan, bahwa dalam revolusi Indonesia pers yang diizinkan ialah pers yang mendukung pelaksanaan revolusi. Mana-mana yang menentang revolusi, mana-mana yang merugikan revolusi, dan mana-mana yang menghambat revolusi harus kita gembur habis-habisan.

Jalan terus dan maju terus, pantang mundur, seru Presiden Sukarno kepada warga PWI khusunya dan kepada seluruh rakyat Indonesia dan Nefos.

“Antara” 24-2-1965


SURAT KEPUTUSAN MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA No. 17/S.K/M/65 \

TENTANG

PENCABUTAN IZIN TERBIT SURAT-SURAT KABAR/ MAJALAH PENDUKUNG EX BPS

________

MENTERI PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENIMBANG:

Bahwa dalam rangka pelaksanaan perintah Presiden RI/Pemimpin Besar Revolusi dalam Rapat Umum “Maju Tak Gentar”, yang diselenggarakan oleh PWI pada tanggal 23 Februari 1965, untuk membubarkan surat kabar-surat kabar, organisasi serta alat-alat apapun yang menjadi antek-antek BPS, maka perlu segera diambil tindakan pencabutan izin-izin terbit atas surat kabar-surat kabar/majalah-majalah yang menjadi antek-antek BPS tersebut.

MENGINGAT:

  1. Penetapan Presiden R.I. No. 6 Tahun 1963.
  2. Surat Keputusan Presiden R.I. No. 72 dan No. 73 Tahun 1964.

MEMPERHATIKAN:

Saran-saran yang diajukan Dewan Pembantu Menteri Penerangan dalam Pembinaan Pers dan Dewan Pertimbangan Pers.

MEMUTUSKAN:

MENETAPKAN:

Pertama:

Mencabut izin terbit dari surat kabar-surat kabar harian/mingguan sebagai berikut:

A. Untuk Daerah Jakarta Raya

1. Harian Semesta,

Izin Terbit 4/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tanggal 27-6-1963.

Penanggung Jawan: T. Syahril.

Alamat: Jalan Kemakmuran No. 31, Jakarta

2. Harian Berita Indonesia,

Harian Berita Indonesia,

Izin Terbit 17/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 27-6-1963,

Penanggung Jawab: Muljono,

Alamat : Jalan Kemakmuran no. 31, Jakarta

4. Harian Merdeka,

Izin terbit 23/SK/UPPG /SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 27 6-1963,

Penanggung Jawab:

1. Hiswara Darmaputra

2. Anhar Tanuwidjaja

3. Asnawi Idris.

Alamat : Jalan Hajamwuruk No. 9, Jakarta.

5. Indonesian Observer,

Izin terbit 25 /SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 27-6-1963,

Penanggung Jawab: Sutomo Satiman,

Alamat : Jalan Hajamwuruk no. 9, Jakarta.

6. Warta Berita,

Izin terbit 27/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 27-6-1963;

Penanggung Jawab: Junus Lubis,

Alamat: Jalan Gadjahmada no. 146, Jakarta.

7. Revolusioner,

Izin terbit 47/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 28-6-1963,

Penanggung Jawab:

1. Hidajat Rahardjo

2. A.R. Saleh.

Alamat : Jalan Kramat Pulo Dalam no. 9 Jakarta.

8. Garuda ,

Izin terbit 166/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 3-7-1963,

Penanggung Djawab: Suhartono,

Alarnat : Jalan Kramat Raya no. 45, Jakarta.

9. Karyawan,

Izin terbit 49-b/SK/UPPG/SIT/64,

Dikeluarkan tgl. 10-6-1 964,

Penanggung Jawab: Sjamsul Basri,

Alamat : Jalan Tanah Abang 11/23, Jakarta.

10. Gelora Minggu,

Izin 310 SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 5-1-1964, -

Penanggung Jawab: Achmad Dahlan,

Alamat : Jalan Sei Kera no. 37.

1 1. Suluh Minggu,

Izin terbit 944/SK/UPPG/SIT/64,

Dikeluarkan tgl. 5-1 1-1964,

Penanggung Djawab : Imam Halilintar B.A.,

Alamat : Jalan Wedana Dalam 12/A Jatinegara.

B. Untuk Daerah Medan

1. Indonesia Baru

Izin terbit 128/SK/UPPG/SIT/63,

dikeluarkan til. 2-7-1 963.

Penanggung Jawab: M.I. Rangkuty,

Alamat : Jalan Jenderal Sudirman no. 2.

Izin terbit 130-a/SK/UPPG/SIT/64,

Dikeluarkan tgl. 5-1-1964,

Penanggung Jawab: Achmad Dahlan,

Alamat : Jalan Sei Kera no. 37.

3. Cerdas Baru,

Izin terbit 34/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 2-7-1963,

Penanggung Jawab: Naruda Pasya,

Alamat : Jalan Kebudayaan no. 36.

4. Mimbar Umum,

Izin terbit 135/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 2-7-1963,

Penanggung Jawab:

1. Bustaman

2. Sjamsuddin Manan

Alamat: Jalan Sutomo no. 305.

5. Waspada,

Izin terbit 138/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgi. 2-7-1963,

Penanggung Jawab: Ani Idrus,

Alamat : Jalan Pusat Pasar 126 P.

6. Duta Minggu,

Izin terbit 142/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 2-7-1963,

Penanggung Jawab: Dharmawan,

Alamat : Jalan Sutomo 626.

7. Suluh Massa,

Izin terbit 147/SK/UPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 2-7-1963,

Penanggung Jawab: S. Ridwan Siregar,

Alamat : Jalan Balai Gedung Olah Raga.

8. Mimbar Teruna,

Izin terbit l.53/SK/IUPPG/SIT/63,

Dikeluarkan tgl. 2-7-1963,

Penanggung Jawab: Amir Hasan,

Alamat : Jalan Berastagi no. 3.

9. Genta Revolusi d/h Warta SOKSI,

Izin terbit 68Oa/SK/UPPG/SIT/64,

Dikeluarkan tgl. 3-1-1 964,

Penanggung Jawab: Kapten Baharuddin,

Alamat : Jalan Pemuda no. 9.

10. Resopim,

Izin terbit 895/SK/UPPG/SIT/64,

Dikeluarkan tgl. 6-8-1964,

Penanggung Jawab: Sjamsul Bahri Rangkuti.

Alamat : Sei Deli no. 17.

Kedua :

Surat Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

    Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 24 Febuari 1965

MENTERI PENERANGAN R.I.

t.t.d.

( A C H M A D I )

Mayor Jenderal TNI