Pidato Kawan J. Adjitorop

(Calon anggota Politbiro CC PKI)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kongres yang mulia!

KAWAN-KAWAN yang tercinta!

Laporan Umum yang disampaikan Kawan Aidit, Rencana Perubahan Konstitusi Partai yang pengantarnya disampaikan Kawan Lukman, dan Rencana Perubahan Program Partai yang pengantarnya disampaikan oleh Kawan Njoto, telah kita setujui sepenuhnya dan dengan suara bulat.

Walaupun demikian, saya merasa perlu untuk meminta perhatian kita semua pada soal yang ditekankan Kawan Aidit dalam Laporan Umum, yaitu perlunya lebih mendalam meninjau persoalan kaum intelektual di Indonesia untuk lebih memperbaiki pekerjaan Partai di kalangan mereka.

Kawan Aidit dalam Laporan Umum itu juga meminta perhatian kita terhadap kenyataan bahwa kemajuan Partai di kalangan kaum intelektual masih terlampau lambat dan tidak seimbang dengan kemajuan yang diperoleh di lapangan lain, dan karena itu menjadi keharusan bagi kader Partai di lingkungan kaum intelektual untuk bekerja lebih giat dan lebih baik dan harus bekerja supaya menjadi contoh dalam memperkaya dan mengembangkan ilmu untuk kepentingan rakyat.

Keadaan Kaum Intelektual dan Tugas Utama Pekerja Ilmu dan Kebudayaan dalam Tingkat Revolusi Sekarang

Sebelum menjawab pertanyaan, apakah yang menjadi tugas pokok pekerjaan Partai di kalangan kaum intelektual dan bagaimana memperbaiki pekerjaan Partai di kalangan mereka, perlu kita tinjau secara singkat keadaan intelektual di negeri kita sekarang ini dan apakah tugas utama pekerja ilmu dan kebudayaan progresif di negeri kita dalam tingkat revolusi sekarang ini.

Kegagalan revolusi Rakyat 1945 menyebabkan penderitaan bagian terbesar Rakyat Indonesia tetap berat. Penderitaan ini selain menimpa kaum buruh, kaum tani, kaum miskin kota, nelayan, dan lain-lain, juga menimpa pekerja ilmu dan kebudayaan dalam wujud kurangnya alat-alat, kurangnya biaya, sukarnya syarat kerja dan tingginya pajak.

Kurangnya biaya dan sukarnya syarat-syarat kerja sering menggagalkan cita-cita pekerja ilmu yang berbakat untuk memperkuat barisan pengajar di perguruan-perguruan tinggi, sekolah-sekolah menengah serta di lapangan penyelidikan ilmiah, karena sebagian dari mereka terpaksa pindah ke lapangan lain yang sesungguhnya tidak begitu memerlukan tenaga mereka. Semuanya ini mempersulit perkembangan ilmu dan kebudayaan di negeri kita.

Bagaimana gambaran pengaruh-pengaruh kekuatan-kekuatan politik di kalangan kaum intelektual di Indonesia sekarang ini?

Berhubung dengan kedudukan sosialnya, yang berkuasa di kalangan kaum intelektual di negeri kita terutama yang menjadi pekerja merdeka karena mampunyai keahlian tertentu, demikian juga halnya dengan kaum intelektual yang bekerja di lapangan lain, pada umumnya adalah ideologi kelas tengah. Ini disebabkan bukan hanya karena negeri kita merupakan lautan borjuis kecil dimana pikiran borjuasi yang berdominasi dan karena pada umumnya kaum intelektual di negeri kita berasal dari kelas borjuis seperti lazimnya di negeri-negeri kapitalis, akan tetapi juga karena bagian terbesar kaum intelektual di negeri kita masih melihat pada borjuasi sebagai kelas yang sampai batas-batas tertentu mampu memberi nama dan kedudukan kepada mereka. Seperti yang lazim terdapat di masyarakat kapitalis, asal kelas kaum intelektual ialah kelas tengah dan atas. Pendidikan dalam sekolah adalah berdasarkan ideologi borjuis, karena itu ideologi kaum intelektual pada umumnya adalah ideologi borjuis.

Seperti kita ketahui kaum intelektual bukan merupakan satu kelas tersendiri disamping lain-lain kelas, akan tetapi bagian dari atau mengabdi kelas-kelas mayoritas; di dalam masyarakat sosialis bagian dan mengabdi kepada proletariat dan di masyarakat kapitalis mengabdi kepada kelas kapitalis.

Kaum intelektual di negeri-negeri kapitalis banyak yang kecewa bukan saja karena syarat-syarat penghidupan dan syarat-syarat kerja yang jelek dan bertambah buruk, sebab ada juga di antara mereka yang menjadi kaya, akan tetapi mereka terutama menjadi kecewa karena dekadensi, degradasi, dan hari depan yang gelap dari ilmu dan kebudayaan. Karena pimpinan Partai yang tepat dan pekerjaan intelektual Komunis di kalangan mereka, tidak sedikit di antara mereka menjadi pejuang yang ulet dan teguh untuk kepentingan Sosialisme, untuk kepentingan proletariat, dan dengan tidak mengenal susah-payah berjuang untuk menghapuskan pengisapan oleh manusia atas manusia, seperti contoh yang ditunjukkan oleh guru besar-guru besar kita, Marx dan Engels, walaupun mereka menurut asal-usul kelasnya adalah intelektual borjuis.

Marx dan Engels sepenuhnya mengabdikan diri mereka untuk kepentingan proletariat internasional, mempersenjatai gerakan buruh internasional dengan teori revolusioner yang ilmiah yang dapat digunakan proletariat sebagai pedoman untuk membebaskan dirinya dari sistem perbudakan upah untuk membangun dunia baru sosialis.

Betapa jayanya ilmu yang diabdikan tanpa syarat kepada rakyat dan umat manusia, telah dibuktikan oleh guru besar kita, intelektual terbesar abad ke-XX, Vladimir Ilyich Lenin, yang mengikuti jejak guru besar-guru besar proletariat, intelektual-intelektual raksasa dalam abad ke-XIX, Karl Marx dan Friedrich Engels.

Kenyataan ini mematahkan dongengan yang masih sering disebarkan sebagian intelektual di negeri kita, yaitu bahwa untuk belajar teknik boleh belajar dari negeri-negeri sosialis tetapi soal-soal yang menjadi lapangan pengetahuan sosial biar tetap belajar dari Barat atau Anglo-Saxon saja.

Keunggulan Marxisme-Leninisme terletak selain dalam kemampuannya mengungkap hukum-hukum gerak perkembangan masyarakat, terutama karena dia adalah senjata yang tajam di tangan proletariat untuk merombak dan memperbarui sistem masyarakat yang bobrok, lapuk, dan usang.

Kedudukan kelas tengah Indonesia yang sangat lemah di lapangan ekonomi, membuat kemampuannya untuk menampung harapan-harapan dan ambisi perseorangan kaum intelektual sangat terbatas. Ketidakmampuan untuk memberi bimbingan di lapangan ilmu dan kebudayaan pada pekerja ilmu dan kebudayaan, menyebabkan pengaruh dan prestise kekuatan tengah semakin menurun di kalangan intelektual yang jujur dan patriotik.

Tentang kekuatan kepala batu, kaum sosialis kanan (PSI), Masyumi, dan kaum reaksioner lainnya di kalangan intelektual dengan singkat dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pergeseran ke kiri dari seluruh kehidupan politik di negeri kita telah mempengaruhi golongan ini dan telah membukakan mata mereka, bahwa kaum kepala batu bukanlah sahabat rakyat dan bukan pengabdi kepentingan Indonesia, terutama setelah Prof. Dr. Sumitro, Prof. Drs. Tan Gwan Po, Mr. Burhanuddin Harahap, dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara memimpin komplotan pengkhianat “PRRI”-Permesta.

Bagaimana tentang pengaruh Partai kita di kalangan kaum intelektual?

Partai kita adalah Partai dari suatu negeri yang masih terbelakang. Di negeri kita yang masih setengah feodal, proletariatnya tidak saja kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah kaum tani dan kelas borjuis kecil umumnya, tetapi juga masih muda umurnya jika dibandingkan dengan proletariat Eropa dan kebudayaannya masih ketinggalan jika dibandingkan dengan kebudayaan kelas borjuis. Tetapi, proletariat Indonesia di bawah pimpinan ideologi dan politik PKI yang Marxis-Leninis telah berdiri di barisan depan dalam perjuangan politik untuk Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis.

Perjuangan politik yang dilakukan oleh Partai kita, yang tidak terbatas semata-mata pada soal-soal yang hanya mengenai kepentingan kaum buruh, tetapi terhadap segala kelaliman, penindasan, kekerasan, penghinaan dan penganiayaan yang dialami semua kelas yang dirugikan imperialisme dan feodalisme, singkatnya politik nasional Partai kita membikin prestise Partai kita meningkat juga di mata kaum intelektual Indonesia. Ini tercermin dalam pengaruh yang semakin bertambah dari Partai kita di kalangan kaum intelektual, yang sejak zaman penjajahan Belanda bersama rakyat sudah bangkit untuk melawan penindasan dan penghinaan.

Tetapi walaupun dalam tahun-tahun belakangan ini Indonesia secara politik telah bergeser ke kiri, kemajuan terlampau lambat dan tidak seimbang yang dicapai Partai kita di lapangan kaum intelektual dibandingkan dengan di lapangan lain, membikin kekuatan politik kepala batu masih mempunyai arti yang tak boleh diremehkan di kalangan kaum intelektual. Gerakan-gerakan rakyat yang makin maju mematahkan “kebenaran-kebenaran” dan “kejayaan” ilmu borjuis, tetapi kaum intelektual progresif di negeri kita yang selain jumlahnya masih terlalu sedikit, belum cukup mampu menerapkan Marxisme-Leninisme dalam berbagai cabang ilmu terutama cabang ilmu sosial yang menjadi saluran utama dari pengaruh ideologi borjuasi di kalangan intelektual. Disamping itu, kaum intelektual progresif di negeri kita pada umumnya belum cukup menyadari tugas sejarahnya untuk memberi pimpinan dan belum menggunakan secara maksimal kemungkinan-kemungkinan yang ada untuk memperbesar barisannya dan untuk mengembangkan dirinya.

Situasi yang demikian itu membuka kemungkinan bagi penetrasi imperialis di lapangan ilmu dan kebudayaan dan menjadi bibit yang subur untuk mengembangkan “American way of life” di kalangan kaum terpelajar dan dunia keilmuan di negeri kita. Selama negeri kita masih merupakan negeri setengah jajahan dan setengah feodal, kekuatan kepala batu yang mewakili kepentingan kaum imperialis di Indonesia masih tetap mempunyai pendukungnya di kalangan kaum intelektual. Karena itu, bekerja di kalangan intelektual tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan penjajahan dan melawan sisa-sisa feodalisme di negeri kita.

Dalam tingkat revolusi sekarang ini, tugas menelanjangi kekuatan kepala batu dan pengaruh imperialis di lapangan kehidupan sosial, kebudayaan dan ilmu di negeri kita secara ilmiah serta mempersatukan kaum intelektual yang patriotik mengamalkan ilmu dan kebudayaan untuk menyelesaikan Revolusi Agustus sampai ke akar-akanya, itulah tugas utama dari pekerja ilmu dan kebudayaan progresif di negeri kita, terutama pekerja ilmu dan kebudayaan anggota partai.

Dalam “Bersatu untuk Menjelesaikan Tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945”, Laponan Kawan Aidit kepada Sidang Pleno ke-IV CC PKI, telah disampaikan permintaan PKI kepada pekerja ilmu dan kebudayaan revolusioner supaya mereka dengan setia mencintai tanah air dan rakyat dan bahwa untuk menciptakan kebudayaan Rakyat Indonesia baru, kita membutuhkan banyak pendidik dan guru-guru yang bersemangat kerakyatan. Kita membutuhkan banyak sarjana di berbagai lapangan, teknikus, insinyur, dokter, ahli-ahli, wartawan, sastrawan, penulis, dalang dan seniman-seniman rakyat serta pekerja kebudayaan rakyat lainnya.

Kepada rakjat dan Pemerintah dalam Laporan itu oleh PKI diminta supaya menghargai pekerja-pekerja ilmu dan kebudayaan dan menghargai jasa-jasa mereka. Mereka adalah kekayaan rakyat yang berharga. Indonesia baru yang merdeka, bersàtu, demokratis, maju dan makmur tidak mungkin dicapai dengan tiada pekerja-pekerja kebudayaan yang bensemangat kerakyatan. Sebaliknya, pekerja-pekerja kebudayaan tidak mungkin berkembang dan mekar jika tidak ada Indonesia baru dimana rakyat adalah satu-satunya sumber kekuatan.

Disamping patriotisme yang kuat di kalangan intelektual Indonesia yang dapat dilihat dan peranan kaum intelektual dalam lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908, lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dan pada waktu meletusnya Revolusi Agustus 1945, sejarah perjuangan Rakyat indonesia membuktikan bahwa semangat kerakyatan terdapat cukup besar di kalangan kaum intelektual dan para seniman Indonesia. Di zaman penjajahan Belanda ini misalnya dibuktikan oleh sejarah perguruan nasional Taman Siswa dan Perguruan Rakyat, dimana pamong-pamong dari perguruan-perguruan ini, yang disamping kaum intelektual juga terdiri dari seniman-seniman, tidak hanya menunjukkan bahwa mereka mempunyai semangat kerakyatan yang kuat, tetapi juga berani hidup menderita untuk mendidik anak-anak rakyat dan untuk memperjuangkan cita-cita rakyat. Kaum intelektual dan seniman progresif meneruskan tradisi kerakyatan yang baik ini dalam Universitas Rakyat (UNRA) di berbagai tempat di tanah air kita.

Jadi semenjak zaman penjajahan Belanda kaum intelektual telah merasakan dan mengetahui saling-hubungan antara nasib seluruh bangsa dan nasib mereka sendiri. Ini adalah faktor yang penting yang memudahkan peningkatan kesadaran politik kaum intelektual ke taraf yang lebih tinggi. Prestise Partai kita yang semakin meningkat, disebabkan politiknya yang tepat mencerminkan kepentingan tanah air dan rakyat kita, mendorong lebih banyak pekerja-pekerja ilmu dan kebudayaan serta mahasiswa menceburkan diri ke dalam gerakan yang bersimpati kepada Partai atau masuk Partai.

Sebaliknya, prestise yang semakin merosot dan kaum kepala batu yang bukan sahabat rakyat dan bukan pengabdi kepentingan Indonesia membikin banyak kaum intelektual meninggalkan barisan mereka. Kekuatan tengah yang bersikap ragu dan bimbang untuk mengabdi kepentingan rakyat dan tanah air dan tidak mampu memberikan pimpinan dan jalan keluar dari kesulitan yang dialami rakyat dan tanah air kita, sudah semakin berkurang pengaruhnya di kalangan intelektual.

Politik menghargai kaum intelektual, adalah politik PKI sejak semula. Sebelum Sidang Pleno ke-IV CC, dalam Djalan Baru untuk Republik Indonesia, koreksi besar Kawan Musso, juga telah tercantum program yang berkenaan dengan kepentingan kaum intelektual yaitu: “Penghargaan yang layak oleh Pemerintah, sebab banyak pekerja intelektual yang merasa diri dan pekerjaannya samasekali tidak dihargai oleh Pemenintah”.

Dalam Program Tuntutan yang dirumuskan oleh Sidang Pleno ke-IV CC, dituntut penambahan anggaran belanja untuk Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, supaya gedung-gedung sekolah ditambah, dan yang dipakai untuk keperluan lain supaya dikembalikan, fasilitas-fasilitas di lapangan pendidikan bagi murid-murid dan mahasiswa dijamin, supaya nasib guru diperbaiki dan dipergiat pemberantasan buta huruf. Melalui Parlemen, Partai mengajukan rencana Undang-Undang Perguruan Tinggi. Di masa datang Partai harus bekerja lebih keras lagi untuk kemajuan kebudayaan, membantu dan membangkitkan perjuangan untuk syarat-syarat bekerja yang lebih baik lagi bagi para pekerja ilmu dan kebudayaan dan untuk syarat-syarat belajar yang lebih menguntungkan bagi mahasiswa dan pelajar sesuai dengan Program Partai yang telah disahkan Kongres ini.

Adalah satu kenyataan bahwa borjuasi nasional Indonesia dan sebagian besar kader-kader pimpinan dan kekuatan tengah adalah intelektual. Karena itu dalam rangka penggalangan persatuan antara kekuatan progresif dengan kekuatan tengah, pekerjaan Partai di kalangan intelektual dan para mahasiswa mempunyai peranan yang penting, baik untuk sekarang maupun untuk masa datang.

Sudah menjadi keyakinan Partai kita, bahwa di samping kaum buruh, kaum tani, kaum miskin kota, nelayan dan lain-lain, pekerja ilmu dan kebudayaan adalah bagian yang penting dari kekuatan nasional untuk menyelesaikan revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya. Terwujudnya Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis, banyak tergantung dari suksesnya pekerjaan Partai di kalangan intelektual, di samping kegiatan pokok di kalangan kaum buruh dan kaum tani.

Tugas-tugas Pokok Partai di Kalangan Intelektual

Kawan-kawan.

Untuk dapat menjadikan kaum intelektual sebagai bagian yang aktif dari kekuatan nasional dalam perjuangan menyelesaikan revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya. Laporan Umum telah menggariskan tugas-tugas pokok Partai di kalangan kaum intelektual. Jika diperinci tugas-tugas itu ialah: mempersatukan kaum intelektual serta menarik kaum intelektual ke dalam perjuangan, mengkonsolidasi dan mengembangkan asas kerakyatan daripada ilmu, memperbesar jumlah anggota Partai di kalangan kaum intelektual, dan memperbaiki cara kerja Comite di kalangan kaum intelektual. Keempat tugas pokok tersebut saling-berhubungan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Sejak zaman penjajahan di kalangan kaum intelektual Indonesia telah tertanam jiwa patriotisme dan anti-kolonialisme yang kuat, sebagai akibat sistem “pendidikan” yang diberikan oleh kaum penjajah kepada kaum intelektual yang ditujukan untuk kepentingan eksploitasi kaum imperialis dan karena pekerjaan dalam lapangan mengembangkan ilmu oleh putra-putra Indonesia selalu dihalang-halangi. Dalam keadaan seperti sekarang ini, dimana penderitaan bagian terbesar dari Rakyat Indonesia termasuk kaum intelektual bertambah berat, tanggung jawab Partai untuk memperkuat persatuan di kalangan intelektual sebagai bagian dan kekuatan nasional anti-imperialisme selain bertambah besar, juga lebih dimungkinkan.

Berhubung dengan sifat khusus kaum intelektual yang dibawa oleh kedudukan sosialnya, perlu kita sadari bahwa pekerjaan menarik intelektual ke dalam perjuangan bukanlah pekerjaan yang gampang yang bisa diselenggarakan dalam satu dua hari. Sikap sabar, tepat dan sesuai dengan tingkat-tingkat kesadaran politik mereka diperlukan dalam usaha menarik kaum intelektual ke dalam perjuangan.

Kawan Tjou En-lai dalam Laporan tentang Masalah KaumIntelektual yang disampaikan dalam sidang tentang masalah intelektual yang diselenggarakan oleh CC Partai Komunis Tiongkok di bulan Januari 1956, mengatakan bahwa pengubahan kaum intelektual itu umumnya melalui tiga jalan: Yang pertama melalui peninjauan dan praktek atas kehidupan sosial; yang kedua melalui praktek dalam pekerjaan mereka sendiri; dan yang ketiga melalui pelajaran teori yang umum, dan bahwa ketiga segi itu saling berhubungan. Oleh Kawan Tjou En-lai dikatakan bahwa pada umumnya kehidupan sosial mereka memainkan peranan yang paling luas dan langsung. Pengalaman kita di Indonesia juga membenarkan kesimpulan ini.

Dalam Menempuh Djalan Rakyat, pidato untuk memperingati ulang tahun ke-32 Partai pada tanggal 23 Mei 1952, Kawan Aidit menyimpulkan, bahwa dalam berorientasi ke Barat, dalam mengambil orang-orang Barat, terutama Belanda, sebagai guru dan teladan dalam usaha mencapai persamaan derajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia, orang-orang Barat tidak memberikan pelajaran dan contoh-contoh yang baik. Mereka mengajarkan demokrasi kepada kaum terpelajar Indonesia, tetapi kepada Rakyat Indonesia mereka memaksakan otokrasi kolonialisme. Mereka mengajar kaum terpelajar Indonesia tentang revolusi-revolusi dan tentang keperwiraan bangsa-bangsa Barat dalam perjuangan untuk kemerdekaan tanah airnya. Sebaliknja, orang-orang Indonesia tidak hanya tidak dibantu dalam mewujudkan apa yang mereka pelajari dari Barat, tetapi mereka dilarang mempraktekkannya. Ya, malahan mengucapkan dan menulis perkataan “revolusi” dan “merdeka” mereka tidak dibolehkan.

Kawan Aidit menilai secara tepat perlawanan kaum intelektual di zaman penjajahan Belanda, peranan massa rakyat dan teori revolusioner dalam perjuangan, seperti disimpulkan dalam bagian lain dari pidato itu yang berbunyi sebagai berikut: “Tetapi perlawanan diatasbelum dipimpin oleh suatu teori yang tepat dan belum diikuti olehmassa rakyat yang banyak dan terorganisasi. Perlawanan-perlawanan ini tentu mempunyai arti yang besar dalam menggugah semangat perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda dan terhadap imperialisme pada umumnya, tetapi ia akan mudah dipatahkan karena tidak dipimpin oleh teori revolusioner”.

Yang paling luas pengaruhnya adalah revolusi Agustus 1945. Tentang kemajuan Indonesia di lapangan pendidikan sebelum dan sesudah revolusi Agustus 1945 dalam pidato peresmian “Universitas Rakyat” tanggal 25 September 1958 di Jakarta, Prof Dr. Prijono mengemukakan angka-angka sebagai perbandingan sebagai berikut:

 

tahun 1940

tahun 1957

Jumlah murid Sekolah Rakyat

Jumlah murid Sekolah lanjutan Pertama dan Atas

Jumlah mahasiswa

Jumlah Sekolah Rakyat

Jumlah Sekolah lanjutan Pertama dan Atas

Jumlah Fakultas

2.021.990

26.617

1.700

18.091

144

5

7.336.536

736.221

32.221

34.830*

4.655*

65

*Kadang-kadang dipakai dua kali, bahkan tiga kali sehari.

 

Jumlah-jumlah tersebut di atas adalah mengenai sekolah-sekolah Pemerintah dan sekolah-sekolah Partikelir (sampai Sekolah Lanjutan dan Atas) yang mendapat bantuan dari Pemerintah saja. Disamping itu masih banyak sekolah yang belum terdaftar. Walaupun jumlah tersebut di atas masih belum memenuhi kebutuhan, dibandingkan dengan di zaman penjajahan Belanda telah didapat banyak kemajuan. Kemungkinan bagi anak-anak rakyat pekerja untuk memasuki perguruan tinggi sudah lebih besar dibandingkan dengan di masa penjajahan, yang mengakibatkan bertambahnya elemen-elemen progresif di kalangan mahasiswa sebagai calon-calon intelektual.

Revolusi Agustus 1945 menempa patriotisme dan harga diri dan kepercayaan pada diri sendiri di kalangan kaum intelektual Indonesia, tetapi setelah revolusi mengalami kegagalan, di kalangan sebagian kaum intelektual selain timbul pesimisme juga timbul rasa kehilangan harga diri.

Mereka kembali menyesuaikan diri kepada konsepsi-konsepsi Barat di lapangan ilmu, terutama ilmu sosial yang di Barat sendiri sudah dianggap usang dan sudah tidak dapat dipertahankan lagi, atau setidak-tidaknya sudah sangat diragukan para sarjana sifat ilmiahnya, tetapi pengaruh yang bertambah besar dan kekuatan progresif di dalam masyarakat, di kalangan mahasiswa dan kaum intelektual, memaksa untuk berhati-hati dan dengan cara yang ditutup-tutupi serta samar-samar dan ragu melaksanakan penyesuaian tersebut yang membikin mereka seperti perahu yang kehilangan dayung di tengah lautan.

Peranan praktek dalam pekerjaan, yang juga memainkan peranan penting bagi pengubahan ideologi kaum intelektual, sangat erat hubungannya dengan usaha mengonsolidasi dan mengembangkan asas kerakyatan daripada ilmu atau mengabdikan ilmu kepada tuntutan-tuntutan mendesak dan rakyat pekerja. Walaupun masih dalam tingkat permulaan, praktek dalam pekerjaan telah berhasil menggugah kesadaran kaum intelektual betapa jayanya ilmu jika diamalkan kepada rakyat. Sebagai contoh dapat kita kemukakan usaha-usaha beberapa orang intelektual progresif, seperti Lembaga Pertanian Dr. A. Cokronegoro di Klaten yang telah berhasil memperbaiki berbagai jenis tanaman yang merupakan kebutuhan pokok bagi rakyat, seperti padi, kedele, kacang tanah, kapas, semangka dan lain sebagainya, dengan mempergunakan hasil penyelidikan yang berhasil di negeri-negeri sosialis dan demokrasi rakyat di Tiongkok dan lain-lain. Usaha Yayasan Budaya di Solo yang mengadakan percobaan-percobaan botani untuk memperbesar produksi bahan makanan. Usaha mahasiswa progresif di Surabaya yang mendorong berdirinya sebuah Badan Konsultasi yang dapat memberikan nasihat dan pembelaan dalam perkara kaum buruh dan tani, dan di lingkungan Fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada yang menyeminarkan masalah Demokrasi Terpimpin dan masalah pendemokrasian pemerintahan daerah, khususnya otonomi tingkat III. Pengalaman ini perlu didorong dan dikembangkan. Berkat usah-usaha serta prestasi pekerja ilmu dan kebudayaan yang jujur dan progresif untuk mengabdikan ilmu dan seni untuk rakyat, di negeri kita pada pokoknya telah diturunkan bendera usang “ilmu untuk ilmu” dan “seni untuk seni”. Walaupun demikian, dalam kenyataannya di perguruan-perguruan tinggi masih banyak maha guru-maha guru yang masih memberikan kuliah dalam langgam dan isi yang sama seperti yang mereka terima dari profesor-profesor, maha guru-maha guru dan dosen-dosen Belanda sebelum perang dunia kedua, yang menurunkan derajat ilmu menjadi alat untuk mengabdi kolonialisme. Usaha maha guru-maha guru yang progresif, jujur dan patriotik dengan bantuan intelektual dan mahasiswa progresif yang sedang mempersiapkan diri untuk dalam waktu yang tidak terlalu lama mengganti kedudukan mereka ini, senantiasa mendapat sambutan dan bantuan Partai kita. Yang berdominasi di kalangan kaum intelektual Indonesia sekarang ini adalah semboyan “ilmu untuk kedudukan dan diri sendiri” karena tidak atau kurang yakin bahwa masa depan Indonesia adalah untuk rakyat pekerja, dimana juga termasuk kaum intelektual yang jujur asal saja mereka bersedia mengabdikan ilmu untuk revolusi dan rakyat tanpa mengecualikan ilmu apapun juga yang benar-benar ilmiah dan kerakyatan yang mereka miliki. Sikap Partai kita terhadap mereka ini adalah dengan sabar dan sesuai dengan tingkat kesadaran mereka masing-masing, menunjukkan perspektif revolusi Indonesia kepada mereka dan meyakinkan mereka bahwa dalam Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis intelektual jenis apapun juga diperlukan dalam jumlah yang berpuluh-puluh kali, yang ratusan kali lebih banyak daripada yang diperlukan sekarang ini, tanpa kekhawatiran diancam pengangguran atau tanpa keharusan memerosotkan dirinya menjadi pelarian dari lapangan ilmu ke lapangan lain sekedar untuk mempertahankan hidup, asalkan mereka bersedia melemparkan dalil usang “ilmu untuk ilmu”, “ilmu untuk diri sendiri”, dan mempraktekkan semboyan “ilmu untuk rakyat”.

Kenyataan yang ada di U.R.S.S., negara pertama yang didirikan kaum Komunis adalah, bahwa dan 8.250.000 anggota P.K.U.S. tidak kurang dari 2.300.000 bekerja sebagai pekerja ilmu, dalam kegiatan kesenian dan kebudayaan, teknologi dan dalam melancarkan ekonomi nasional.

Karena itu adalah omong kosong kalau dikatakan bahwa kaum Komunis merendahkan dan tidak mengindahkan kaum intelektual.

Memberikan pendidikan Marxisme-Leninisme, yang mempunyai arti yang menentukan bagi kaum intelektual dalam menegakkan pandangan hidup yang revolusioner dan pandangan dunia yang ilmiah, itulah tugas utama dari Comite-Comite Partai di kalangan kaum intelektual anggota Partai. Tingkat teori Marxisme-Leninisme yang tinggi dan kader-kader intelektual, selain akan memperkuat barisan pengajar teori dan Partai, juga akan memperbesar kemampuan kader intelektual menarik lebih banyak intelektual ke dalam Partai dan dengan demikian memperbesar peranan memimpin dari Partai di kalangan intelektual.

Partai kita telah tepat pada waktunya memperbaiki penyelenggaraan pendidikan teori di kalangan intelektual, baik di dalam menentukan Comite yang menyelenggarakan pendidikan di kalangan intelektual anggota Partai dan di dalam memilih tenaga pengajar yang setepat-tepatnya, maupun di dalam menentukan urutan-urutan mata pelajaran yang diberikan.

Untuk menarik lebih banyak kaum intelektual ke dalam Partai, Partai kita pertama-tama harus mempunyai garis pandangan yang jeias mengenai semua soal yang timbul di lapangan politik, kebudayaan dan ilmu, terutama yang menyangkut kepentingan rakyat dan negeri kita. Kedua, kita harus membuktikan kekuatan dan ideologi dan metode kerja kita, memperkaya dan memperbaikinya dan bersamaan dengan itu mengonsolidasi hasil-hasil yang dicapai secara maksimal.

Tentang soal-soal yang timbul di lapangan politik Partai kita telah mempunyai garis yang terang, dan di lapangan kebudayaan Sidang Pleno ke-IV CC telah memberi pedoman yang tepat. Kebudayaan harus kita kupas dengan pisau yang bermata dua. Di satu pihak sasaran kita ialah pikiran yang menolak semua yang datang dari luar dan di pihak lain sasaran kita pikiran yang tidak menghargai kebudayaan-kebudayaan kuno kita sendiri. Kebudayaan reaksioner yang datang dari luar negeri, karena tidak ilmiah dan meracuni pikiran rakyat harus kita tolak. Tetapi kebudayaan dari luar negeri yang progresif, yang ilmiah dan kerakyatan harus kita terima sebanyak-banyaknya untuk memadukan kebudayaan kita sendiri dengan menjauhkan sikap menjiplak, tetapi mengolahnya dan menyesuaikannya dengan kebutuhan Rakyat Indonesia. Sikap kita terhadap kebudayaan kuno kita yang progresif yang ilmiah dan yang kerakyatan harus kita kembangkan, tetapi yang reaksioner, yang tidak ilmiah dan tidak kerakyatan tidak seharusnya kita pupuk dan kembangkan.

Laporan yang telah disampaikan Kawan Aidit kepada Kongres ini telah menekankan sebagai kewajiban para sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan anggota Partai untuk memperluas dan memperdalam keahlian dan pengetahuannya disamping mempertinggi mutu pengertian Marxisme-Leninisme dengan tujuan untuk dapat membantu Partai dalam memberi jawaban yang sebaik-baiknya mengenai soal-soal yang timbul di lapangan ilmu dan kebudayaan atau mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat menjawab soal-soal apa saja yang dihadapi oleh negeri dan Rakyat.

Pengalaman kita menunjukkan bahwa masih terlalu banyak intelektual progresif yang bersikap berat sebelah, yaitu terlalu mengutamakan segi politik; tetapi melalaikan kewajiban memperluas dan memperdalam keahlian maupun pengetahuan dalam cabang ilmu yang menjadi lapangannya, atau sikap sementara kader yang mengira dengan mengetahui dasar-dasar umum Marxisme-Leninisme saja, tanpa mempelajari sesuatu cabang ilmu secara khusus telah dengan sendirinya tahu segala-galanya atau yang berkenaan dengan intelektual anggota Partai, merasa dirinya tetap ahli tanpa mempelajari perkembangan terakhir dan cabang ilmu yang menjadi Iapangannya baik di negeri-negeri sosialis maupun di negeri-negeri kapitalis.

Dalam pada itu perlu kita sinyalir sikap yang memalukan dan yang tidak ilmiah dari sebagian “pekerja ilmu” di negeri kita, yang mengira bahwa dengan memperoleh gelar kesarjanaan karena sudah menyelesaikan studi di salah satu perguruan tinggi dengan sendirinya tahu Marxisme-Leninisme tanpa mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

Mereka yang dengan sengaja belajar “Marxisme-Leninisme” dan kaum imperialis dengan maksud menipu rakyat, tepat pada waktunya harus dibuka kedoknya sebagai penipu dan pemalsu ilmu.

Orang-orang tukang bikin onar seperti itu tidak selayaknya ada di lapangan ilmu, dan sebaiknya untuk kepentingan ilmu lebih baik menjadi ahli nujum atau tukang jual obat di pinggir jalan.

Dalam Laporan tentang Masalah Intelektual Kawan Tjou En-lai dengan tepat mengkritik cara yang kaku dan mekanis dalam hal belajar dari negeri-negeri sosialis dan sikap sementara kader-kader yang dengan mentah-mentah menyangkal hasil-hasil ilmiah dan teknik negeri-negeri kapitalis. Dengan sikap yang tidak ilmiah terhadap ilmu yang digambarkan di atas, atau yang bersikap ke kiri-kirian itu, kader-kader intelektual anggota Partai tidak mungkin mendapat otoritas di lapangannya masing-masing dan hanya akan mengisolasi mereka dan massa intelektual yang akibatnya tidak bisa lain daripada mengisolasi Partai dan massa intelektual.

Dalam rangka perbaikan cara kerja Comite-Comite Partai di kalangan intelektual ingin saya meminta perhatian kawan-kawan terhadap dua kecendenungan yang disinyalir kawan Njoto dalam sambutannya terhadap Laporan Umum pada Sidang Pleno ke-V CC. Kecenderungan yang pertama ialah yang meremehkan tenaga-tenaga intelektual, kecenderungan kedua adalah yang menganakemaskan kader-kader intelektual. Sikap yang meremehkan kawan-kawan intelektual, karena kebanyakan kawan-kawan intelektual itu bukan “proletariat tulen”, membawa akibat bahwa kecakapan-kecakapan dan pengetahuan yang ada pada kawan-kawan intelektual tidak digunakan secara sebaik-baiknya dan semaksimal-maksimalnya untuk membantu pekerjaan Partai di berbagai lapangan. Karena hubungannya yang kurang dengan massa rakyat, kebanyakan kawan-kawan intelektual, dibandingkan dengan kawan-kawan yang bekerja di kalangan kaum buruh dan kaum tani, tidak langsung berhubungan dengan gerakan massa, dan tidak begitu berbahagia untuk dapat membajakan ideologinya dan sumbernya yang langsung, yaitu api perjuangan kelas. Tetapi karena pendidikannya mereka dapat lebih mudah mengerti teori Marxisme-Leninisme dan karena itu dapat memberikan bantuan-bantuan yang penting untuk mengajarkan Marxisme-Leninisme kepada kader-kader yang bukan intelektual.

Sikap yang tidak tepat terhadap kawan-kawan intelektual selain bersumber karena penilaian yang berat sebelah terhadap kedudukan kelas atau asal-usul kelas dari kawan-kawan intelektual, juga bisa terjadi karena kurang tepat memilih kawan yang ditugaskan menghubungi atau memimpin pekerjaan kader-kader intelektual anggota Partai. Tingkat pengetahuan yang terlalu jauh berbeda antara kawan yang ditugaskan memimpin atau menghubungi untuk mendiskusikan tugas-tugas kawan-kawan intelektual dapat menimbulkan sikap yang tidak korek dari kedua belah pihak. Kawan Comite dalam hal yang demikian itu sering membawa diskusi ke soal-soal lain yang tidak berhubungan langsung dengan soal yang dikemukakan.

Akibatnya adalah, kawan intelektual yang bersangkutan segan mengemukakan soal-soal yang dihadapinya, dan kawan yang bertugas memimpin atau menghubungi enggan bertemu, atau kalaupun bertemu membawa pembicaraan ke soal-soal lain yang jauh dari lapangan kawan intelektual yang bersangkutan. Gejala lain, ialah semacam penyalahgunaan diktatur proletariat dari kawan yang bertugas memimpin, yang mau mempertahankan kewibawaannya dengan mengintip-intip kelemahan-kelemahan kecil dari kawan intelektual yang bersangkutan sebagai bahan untuk mempertanggungjawabkan tugasnya kepada badan kolektif atau Comite yang bertugas memimpin, dalam diskusi-diskusi yang melaporkan pekerjaan.

Sikap menganakemaskan kawan-kawan intelektual juga berpangkal kepada penilaian yang berat sebelah terhadap kawan-kawan intelektual. Karena hanya melihat segi-segi positifnya bagi Partai, membiarkan kawan-kawan intelektual menempati semacam kedudukan yang berbeda dengan kawan-kawan yang bukan intelektual dalam kewajiban dan haknya terhadap Konstitusi Partai, dalam bentuk terlalu menggantungkan kepada kawan-kawan intelektual perlu tidaknya membayar iuran, perlu tidaknya tergabung dalam organisasi-organisasi Partai, atau perlu tidaknya mengikuti kursus-kursus atau sekoiah-sekolah Partai. Semua anggota sama mempunyai hak dan sama mempunyai kewajiban seperti ditentukan dalam Konstitusi Partai.

Keadaan seperti disinyalir di atas yang dengan variasi yang berbeda-beda masih terdapat di sana-sini harus kita akhiri untuk memperbaiki kedudukan memimpin dari Partai terhadap kaum intelektual dengan memilih kawan-kawan yang setepat-tepatnya memimpin atau mengurusi pekerjaan di kalangan kaum intelektual.

Sudah selayaknya apabila kita mengharap dari kawan-kawan intelektual untuk bersedia membantu mendidik kawan-kawan lain yang bukan intelektual, tetapi, bersamaan dengan itu hendaknya juga bersedia untuk menerima pendidikan dari massa, dari kawan-kawan lain, dari Partai.

Yang berkenaan dengan kaum intelektual di luar Partai, masih kita tandai adanya sikap sektaris di kalangan sebagian kader-kader Partai termasuk kader-kader intelektual anggota Partai. Mungkin tidak semua tingkah laku dan sikap intelektual, sekali pun sudah dekat dengan Partai, masuk akal kita dan menyenangkan kita, dan perlu mengkritik mereka dengan bijaksana, akan tetapi kita tidak boleh mengasingkan diri dari mereka atau bersikap kesusu untuk meminta dari mereka segera berbuat sesuatu yang menurut anggapan kita sudah tepat dan perlu. Yang ahli di kalangan mereka jika mereka betul-betul ahli dan patriotik harus kita berusaha menghargainya sebagai ahli dan harus dicegah interpretasi-interpretasi yang tidak perlu tentang ilmu yang menjadi lapangan mereka, jika kita sendiri belum mempelajarinya secara sungguh-sungguh. Bantuan kita kepada mereka adalah dalam mempelajari teori Marxisme-Leninisme. Dari kesadaran mereka sebagai hasil studi mereka sendiri tentang Marxisme-Leninisme, melalui praktek mereka sendiri atas kehidupan sosial dan dalam pekerjaan mereka, mereka sendirilah yang mengembangkan atau melakukan pembaharuan dalam cabang ilmu yang menjadi lapangannya untuk mengabdikannya kepada rakyat dan tanah air. Kita harus lebih mengutamakan kerjasama dengan mereka dengan tujuan yang pasti membawa mereka ke dalam perjuangan. Bersama-sama dengan pekerja ilmu dan kebudayaan dari Partai, berangsur-angsur meyakinkan mereka tentang nilai kerja mereka untuk masyarakat dan menanamkan semangat cinta kerja pada mereka. Kaum intelektual, karena mengetahui bahwa tanpa kebebasan mengutarakan pendapat dan pikiran tidak mungkin kesusastraan, seni dan ilmu berkembang, adalah bagian dari kekuatan nasional yang demokratis yang mempunyai kepentingan melawan setiap pelanggaran hak-hak demokrasi.

Dengan mengombinasi aktivitas kaum intelektual Komunis dengan pekerjaan propaganda, penerbitan, pendidikan dan penyelidikan dan dengan mengorganisasi elemen-elemen intelektual progresif di luar Partai melakukan bermacam-macam kegiatan di kalangan massa intelektual dan di kalangan rakyat, Partai kita akan semakin mampu membantu kaum intelektual mencapai kemajuan dalam mengembangkan asas kerakyatan daripada ilmu.

Untuk mencapai ini sebaik-baiknya, di kota-kota besar dimana sudah tersedia syarat-syarat untuk itu perlu dibentuk di bawah pimpinan Comite grup-grup yang terdiri dari kalangan intelektual di berbagai cabang ilmu dibantu oleh aktivis-aktivis Partai dari lapangan yang sejenis untuk meletakkan dasar penyelidikan teori di berbagai lapangan ilmu. Penyelidikan teori di lapangan ilmu, sebagaimana pekerjaan teori pada umumnya, tidak mungkin semua hasilnya dapat dirasakan dengan segera, tetapi tanpa dasar penyelidikan yang sistematis secara ilmiah tidak mungkin ada kemajuan dan pembaruan di lapangan ilmu.

Partai kita sekarang memiliki syarat-syarat yang lebih baik untuk menarik lebih banyak tenaga intelektual ke dalam Partai, dalam jumlah yang lebih besar daripada di masa lampau. Untuk dapat lebih baik melakukan pekerjaan di kalangan intelektual dan lebih baik lagi membantu kaum intelektual kita mencapai kemajuan, pimpinan Partai di berbagai tempat harus mengadakan kontak yang langsung dengan mereka, lebih banyak dan lebih teratur daripada di waktu yang sudah-sudah supaya secara tepat dapat membantu mereka memperjuangkan apa yang menjadi tuntutan dan kepentingan mereka.

Intelektual Komunis bukan hanya sekedar dekorasi bagi Partai kita, bersama-sama dengan anggota-anggota Partai lainnya dia adalah pejuang yang militan dan bagian yang penting dari Partai.

Hidup kongres Nasional Ke-VI PKI yang jaya!

Hidup PKI dengan Comite Central yang baru di bawah pimpinan Kawan-kawan: AIDIT, LUKMAN dan NJOTO, putra-putra teladan Rakyat Indonesia yang perwira!

Hidup ilmu untuk rakyat dan Revolusi!

Hidup Marxisme-Leninisme!