Pidato Kawan Akhmad Jacub

(Sumatera Utara)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kawan-kawan,

Izinkanlah saya, atas nama delegasi Partai Sumatera Utara, menyatakan persetujuan kami sepenuhnya atas Rencana Perubahan Program dan Rencana Perubahan Konstitusi Partai yang masing-masing disampaikan oleh Kawan M. H. Lukman dan Kawan Njoto. Dalam kesempatan ini akan saya sorot Rencana Perubahan Program PKI — Untuk Hak-hak Demokrasi dan Untuk Perbaikan Nasib — dalam hubungannya dengan tugas-tugas memperkuat Negara Kesatuan RI, Otonomi Daerah dan untuk menumpas sampai ke akar-akarnya sisa-sisa gerombolan pengacau “PRRI” dan DI-TII yang kesemuanya ini langsung menyangkut kepentingan objektif Rakyat Sumatera Utara. Sedang dalam Rencana Perubahan Konstitusi akan saya bahas soal-soal khusus sekitar keanggotaan Partai, karena ini berarti memperbarui Partai, yaitu — seperti dinyatakan dalam Laporan Umum Kawan Aidit — “memasukkan ke dalam Konstitusi Partai kemenangan-kemenangan yang telah dicapai semenjak Kongres Nasional ke-V Partai dalam lapangan politik, dan organisasi” dan, bahwa “pasal-pasal daripada Konstitusi ditujukan untuk memperbesar daya mobilisasi, daya mengorganisasi serta daya memimpin daripada Partai”.

Rakyat di Sumatera Utara memerlukan napas demokrasi dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya karena demokrasi itu adalah salah satu hak asasi manusia yang telah diakui oleh semua bangsa beradab dan dijamin dalam UUD ‘45, tetapi pertama-tama karena Rakyat Sumatera Utara telah mengalami penderitaan yang pahit bahwa di bawah pemerintahan perseorangan Abd. Hakim (Masyumi) arsitek “Traktor Maut” itu, kaum tani telah dikirim ke liang kubur, bahwa di bawah junta militer lokal dan bekas kolonel penyelundup Maludin Simbolon bukan hanya telah diumumkan berlakunya SOB dan peraturan Larangan Mogok serta ancaman-ancaman hukuman mati secara tidak sah, tetapi juga persiapan-persiapan pembentukan DPRDP telah dibekukan sama sekali. Teranglah bahwa pengalaman Rakyat Sumatera Utara mengajarkan bahwa setiap tindakan anti-demokrasi dan anti-rakyat selalu identik dengan anti-RI.

Jadi, kalau dalam Kongres ini dibicarakan tuntutan-tuntutan di sekitar hak-hak demokrasi dan rakyat, bukanlah karena hak-hak demokrasi itu sudah terlalu banyak jatuh ke tangan rakyat, tetapi justru karena terlalu sering dirampas oleh elemen-elemen kepala batu yang kebetulan sedang memegang kekuasaan. Lagi pula bagaimanakah logikanya sementara orang berbicara tentang otonomi daerah tetapi bersamaan waktu merongrong atau mencoba merongrong hak-hak demokrasi dan rakyat di daerah-daerah? Juga adalah omong kosong orang berbicara tentang perimbangan keuangan yang adil antara Pusat dan Daerah – tentang bantuan terhadap ekonomi daerah dan perkembangan kebudayaan suku bangsa-suku bangsa tanpa menjamin kebebasan-kebebasan demokrasi bagi rakyat di daerah-daerah.

Itulah alasannya mengapa kami menyetujui pasal 9 Program Tuntutan PKI ini yang menyatakan: “Laksanakan dengan sungguh-sungguh otonomi daerah seperti yang ditetapkan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, adakan perimbangan keuangan yang adil antara Pusat dan Daerah serta bantu perkembangan ekonomi daerah dan kebudayaan tiap-tiap suku bangsa”. Delegasi kami menganggap bahwa pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 bukan saja menjamin hak kontrol oleh rakyat atas Pemerintah Daerah, tetapi juga mengandung unsur anti-liberalisme, karena kedudukan-kedudukan dalam DPRD dan DPD-DPDnya tidak didapat sebagai hasil “dagang sapi” atau politik kongkalikong lainnya, melainkan berdasarkan pengaruh riil partai-partai atau siapa saja yang berkepentingan dalam Pemilihan Umum daerah. Adalah satu kenyataan bahwa dengan Pemerintahan Daerah yang dihasilkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 sekaligus dicerminkan pemerintahan perwakilan berimbang atau pemerintahan daerah yang — menurut kearifan Indonesia yang terkenal — “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat”, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, atau dengan singkat: Pemerintahan Gotong-Royong.

Karena itu, setiap tindakan yang mencoba melenyapkan isi pokok Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 itu dan menggantinya dengan pemerintahan main tunjuk yang mempertahankan stelsel “corps pamong praja” semacam “instituut amtenar Hindia-Belanda” dulu, selalu mengingatkan Rakyat Sumatera Utara akan kenang-kenangan pahit di bawah kepala daerah tunjukan Abd. Hakim arsitek traktor maut itu.

Dalam pada itu, otonomi daerah yang sebenarnya tidaklah lengkap jika orang hanya sibuk dengan tuntutan-tuntutan dan urusan-urusan otonomi tingkat I dan II saja tanpa menggubris sama sekali otonomi yang paling bawah, yaitu otonomi tingkat III. Karenanya Rakyat Sumatera Utara yang terdiri dari banyak suku bangsa itu, bahkan banyak di antara mereka yang tinggal di desa-desa, sangat berkepentingan sekali dengan otonomi tingkat III. Dan betapa gembiranya mereka itu bahwa kepentingan mereka telah tercantum dalam Program Tuntutan PKI pasal 11 yang antaranya mengajukan tuntutan “...... membentuk daerah swatantra tingkat III”. Program Tuntutan PKI tentang pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1/57 bukan hanya memperkuat kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan RI tetapi juga sekaligus menciptakan syarat untuk pembangunan daerah yang sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar ‘45.

Kawan-kawan,

Juga jika dalam Kongres ini banyak dibicarakan tentang hak-hak demokrasi dari rakyat, itu sama sekali tidak ada persamaannya dengan liberalisme. Rakyat cukup mengetahui bahwa pembela-pembela demokrasi liberal selalu menyalahgunakan demokrasi untuk melakukan politik “dagang sapi” atau politik kongkalikong lainnya untuk maksud-maksud yang korup dan jahat. Itulah sebabnya mengapa Rakyat Sumatera Utara dengan antusiasme yang besar mendukung gagasan demokrasi terpimpin Presiden Soekarno yang anti-liberalisme itu, yang kemungkinan pelaksanaannya sekarang telah terbuka dengan berlakunya UUD ’45. Tetapi bersamaan waktu juga rakyat cukup tahu bahwa kini ada segelintir elemen-elemen fasis di negeri kita yang berlindung di balik nama “anti-liberalisme”, dibalik “UUD ‘45” bahkan di balik merk “menumpas PRRI-DI-TII” untuk mencoba melenyapkan sama sekali hak-hak demokrasi dari rakyat yang sudah tidak banyak itu, untuk tujuan-tujuan yang korup dan khianat. Padahal tidak lain dari Presiden Soekarno sendiri yang dengan tandas menelanjangi elemen-elemen fasis yang berlindung di balik telunjuk itu di dalam Manifesto Politik RI yang beliau ucapkan pada Ulang tahun Proklamasi ke-XIV bahwa “...... benar, tanpa tedeng aling-aling kita memberikan talak tiga kepada demokrasi-barat yang free-fight liberalistis itu, tetapi sebaliknya kita pun dari-dulu-mula menolak mentah-mentah kepada kediktatoran”. Adalah jahat —sebagaimana dinyatakan oleh Kawan D. N. Aidit dalam laporannya kepada sidang Pleno ke-VIll CC Partai bulan yang lalu — orang yang menganggap rakyat tidak memerlukan demokrasi asal mendapat makan. Jahat, karena orang ini mempersamakan rakyat dengan hewan. Adalah Presiden Soekarno sendiri yang memberi peringatan kepada orang-orang yang berpikiran jahat yang barang tentu termasuk orang-orang yang memegang kekuasaan negara di dalam pidato 17 Agustusnya tahun ini bahwa “Kalau mereka memimpin, maka ketahuilah, bahwa yang mereka pimpin bukan satu rombongan kambing atau satu rombongan bebek  atau satu rombongan tuyul, tetapi satu rakyat yang kesadaran sosialnya dan kesadaran politiknya telah tinggi”.

Sementara itu ada pendapat aneh, yang mungkin maksudnya baik tetapi menyatakan bahwa pejabat-pejabat negara secara hukum tidak bisa dan tidak boleh membeda-bedakan antara golongan-golongan tertentu yang terang-terangan membela pengkhianat-pengkhianat “PRRI” dan DI-TII dengan rakyat yang tegas-tegas menentangnya dan karena itu, katanya, peraturan-peraturan yang mengekang kebebasan-kebebasan demokratis berlaku bagi siapa saja tanpa pilih bulu. Pendapat ini aneh, karena rakyat diwajibkan untuk bisa membedakan — dan memang rakyat pandai membedakan — antara TNI dengan “PRRI”, antara Bung Karno dengan Sjafruddin Prawinegara, antara Pemerintah RI yang sah dengan “Pemerintah” separatis “PRRI” yang khianat. Apabila seorang dua rakyat kurang atau tidak bisa membeda-bedakannya tidak jarang mereka dijebloskan ke dalam tahanan. Mengapa hanya rakyat yang berkewajiban demikian sedang sementara pejabat tidak merasa dirinya berkewajiban untuk membeda-bedakan siapa-siapa yang setia kepada Repubuk Proklamasi 1945 dan siapa-siapa penentang-penentang dan pengkhianat-pengkhianatnya? Sejarah dari semua revolusi mengajarkan bahwa demokrasi harus diberikan dan hanya ada bagi pendukung-pendukungnya dan bukan bagi penentang-penentangnya!

Kami mendukung sepenuhnya ketegasan Presiden Soekarno yang dinyatakan dalam Manifesto Politik RI 17 Agustus yang lalu bahwa “beleid keamanan Pemerintah tetap tegas”, bahwa “pemerintah meneruskan dan memperhebat operasi-operasi keamanan dengan pengerahan kekuatan alat-alat negara dan rakyat secara maksimal” dan bahwa “pemerintah tidak mau mengadakan perundingan atau kompromis dengan pemberontak”. Ketegasan Presiden ini sangat membantu melapangkan jalan bagi pelaksanaan pernyataan bersama tokoh-tokoh sipil dan militer di Sumatera Utara pada 9 Januari tahun ini yang antara lain ditanda tangani oleh Plm. TT I Kolonel Jamin Gintings, Gubernur St. Kumala Pontas, Ketua DPRDP Adnan Nur Lubis dan lain-lain bahwa tahun 1959 adalah Tahun ketentuan hancurnya sama sekali gerombolan-gerombolan pengacau “PRRI” dan DI-TII di Sumatera Utara. Tetapi untuk bisa mengerahkan kekuatan alat-alat negara dan rakyat secara maksimal dan untuk mengalahkan sama sekali pikiran-pikiran kompromis terhadap pemberontak yang menyelinap dalam otak sementara orang yang oleh Presiden Soekarno disebut sebagai “...... orang peragu ...... orang defaitis, yang menyebut dirinya” ahli falsafah ...... maka pertama-tama orang harus berorientasi kepada rakyat. Orientasi kepada rakyat tidak bisa lain artinya kecuali memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada rakyat tanpa sedikit pun mengurangi kewaspadaan terhadap kaum pengacau kontra-revolusioner. Itulah sebabnya mengapa kami menyetujui sepenuhnya Program Tuntutan PKI pasal 12 yang antaranya menyatakan: “Berikan kebebasan demokratis yang seluas-luasnya kepada rakyat dan organisasi-organisasi rakyat, dan batalkan semua undang-undang dan peraturan-peraturan yang membatasi kebebasan gerakan patriotik”. Ini menciptakan syarat untuk melaksanakan prinsip dwi tunggal, yaitu prinsip saling bantu rakyat dan Tentara dan menjadikan Tentara benar-benar pengabdi rakyat yang sesuai dengan tradisi APRI yang bersemangat revolusi Agustus 1945, yang selama perang kemerdekaan melawan tentara kolonial Belanda dan selama pertempuran menumpas pemberontak kontra-revolusioner “PRRI”-Permesta maupun menumpas gerombolan DI-TII senantiasa sehidup-semati dengan rakyat.

Kawan-kawan! Dalam kesempatan ini adalah berat sebelah jika tidak dibicarakan masalah perbaikan nasib rakyat yang sekarang lebih populer dengan istilah sandang-pangan, terutama sekali mengenai nasib kaum tani. Di Sumatera Utara, khususnya di Sumatera Timur, ribuan kaum tani diusir dan tanah garapannya di bekas-bekas tanah onderneming dan tidak sedikit yang dijebloskan dalam penjara. Sekedar gambaran betapa luasnya tanah-tanah onderneming kaum imperialis di Sumatera Utara, khususnya di Sumatera Timur, statistik menurut tahun 1953 di bawah ini, akan menolong seseorang menjernihkan pikirannya dalam menghadapi kaum tani selama dia masih berkemauan baik. Di Sumatera Timur yang luasnya 3.031.000. HA. terdapat 1.891.000 HA. tanah hutan cadangan dan liar, 888.000 HA. tanah onderneming yang hanya digunakan 63% saja, sedang tanah garapan kaum tani hanya 252.000 HA. Karenanya mudahlah dimengerti mengapa sampai sekarang Sumatera Utara terpaksa mendatangkan beras tambahan 150.000 ton tiap tahunnya, dan mudah pulalah dipahami mengapa kaum tani di Sumatera Timur, terutama sekali tani tak bertanah dan tani miskin tetap haus akan tanah garapan. Memang ada seorang dua tengkulak tanah yang menunggangi kepentingan kaum tani ini, tetapi tidaklah dapat dibenarkan bahwa hanya karena seorang dua tengkulak saja lalu kaum tani dijadikan kambing hitam. Orang tidak seharusnya meneruskan politik “traktor maut” Abdul Hakim yang bangkrut itu meski pun dipulas dengan cara-cara atau alasan-alasan “baru”. Penjara tidak dapat memenuhi kekurangan akan sandang-pangan, dan kaum tani tidak dapat ditenteramkan dengan perut yang keroncongan! Maka itu pasal 22 dari Program Tuntutan PKI yang berbunyi: “Sahkan milik kaum tani atas tanah yang dulunya milik perkebunan-perkebunan asing tetapi yang sudah lama dikerjakan oleh kaum tani, larang perampasan tanah-tanah tersebut oleh pihak perkebunan, dan selesaikan sengketa-sengketa tanah dengan jalan berunding” benar-benar langsung mewakili kepentingan kaum tani di Sumatera Utara dan sesuai dengan program sandang-pangan Kabinet Soekarno-Djuanda sekarang. Jika Presiden Soekarno dengan tandas menyatakan dalam Manifesto Politik RI bahwa hak-hak eigendom dari kaum imperialis akan dihapuskan, maka Program Tuntutan PKI pasal 11 ini memberikan jalan bahwa penghapusan hak-hak eigendom kaum imperialis atas tanah itu benar-benar memberi manfaat kepada kaum tani dan bukan sebaliknya!

Dalam pada itu kaum tani di Sumatera Utara, terutama sekali di Tapanuli dan di sebagian Sumatera Timur bukan hanya diisap secara feodal oleh tuan-tuan tanah bumiputra, tetapi juga mengalami tindakan-tindakan teror, pembakaran-pembakaran massal atas rumah-rumah mereka, perkosaan biadab, penggarongan-penggarongan dan macam-macam “pajak perang” yang dipaksakan oleh sisa-sisa gerombolan pengacau “PRRI” dan DI-TII dan tuan-tuan tanah yang memihak pemberontak. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, tidak lain artinya kecuali melemahkan potensi Republik Indonesia dan membiarkan rakyat menjadi makanan empuk sisa gerombolan pengacau. Tetapi adalah keliru jika ada anggapan bahwa seolah-olah rakyat begitu saja menyerahkan nasibnya dijadikan mainan maut oleh kaum pengacau! Yang menjadi soal sekarang hanyalah masalah pimpinan dan bantuan yang diberikan kepada kaum tani untuk mengakhiri keadaan celaka itu yang sekaligus berarti menegakkan kekuasaan RI. Karenanya adalah masuk akal sekali Program Tuntutan PKI pasal 32 yang antaranya mengatakan bahwa “Beri hak kepada kaum tani untuk dengan latihan dan pimpinan TNI mengangkat senjata membela diri terhadap gerombolan-gerombolan teroris yang membunuh kaum tani dan menghancurkan desa-desa. Beri bantuan kepada kaum pengungsi korban keganasan gerombolan-gerombolan teroris”. Dan bersamaan dengan itu terhadap tuan-tuan tanah yang memihak pemberontak, hanya ada satu perlakuan adil, yaitu seperti diajukan oleh Program Tuntutan PKI pasal 24: “Sita tanah dan milik lain dari kaum tuan tanah yang memihak gerombolan pengacau kontra-revolusioner dan gerombolan-gerombolan teroris lainnya, dan bagikan tanah-tanah kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin”.

Semua Program Tuntutan PKI yang membela kaum tani ini adalah salah satu langkah yang penting untuk mengakhiri sama sekali hubungan-hubungan agraria dan pertanian yang bersifat imperialis dan feodal dan menggantikannya dengan hubungan-hubungan agraria dan pertanian yang bersifat merdeka dan demokratis.

Kawan-kawan, kini saya tiba kepada beberapa alasan mengapa delegasi kami menyetujui sepenuhnya Rencana Perubahan Konstitusi Partai, khusus tentang keanggotaan. Di dalam Konstitusi lama yang disahkan oleh Kongres ke-V Partai kewajiban-kewajiban anggota Partai kurang lengkap dan sistematiknya kurang teratur. Tetapi kini berkat pengalaman bertahun-tahun dalam kehidupan intern Partai, di dalam Rencana Perubahan Konstitusi Partai ini, kewajiban-kewajiban anggota itu sudah lengkap dan sistematis. Ambillah misalnya contoh kewajiban anggota terhadap harian dan penerbitan-penerbitan Partai lainnya serta kewajiban anggota untuk memperteguh solidaritas dan persatuan Partai yang dalam Konstitusi lama tidak dimasukkan sebagai kewajiban anggota, tetapi kini kewajiban-kewajiban itu secara tegas telah dipakukan dalam pasal 6 sebagai kewajiban anggota.

Dipakukannya dalam pasal yang mengatur kewajiban anggota untuk “...... membaca dan menyebarkan harian serta penerbitan-penerbitan Partai” berarti di satu pihak mengakhiri sikap keliru atau acuh-tak-acuh seolah-olah pers maupun penerbitan-penerbitan Partai lainnya hanya masalah teknis belaka, dan di lain pihak ini berarti menegaskan bahwa membaca dan menyebarkan harian maupun penerbitan-penerbitan Partai lainnya pertama-tama adalah masalah ideologi! Tanpa menjadikannya masalah ideologi tidaklah mungkin memperluas harian maupun penerbitan-penerbitan Partai lainnya, malah tunggakan-tunggakan yang banyak kini menyangkut di daerah-daerah yang mengancam kelanjutan hidup harian maupun penerbitan-penerbitan Partai lainnya, akan tetap merupakan penyakit yang kronis dalam tubuh kita. Pemakuan bahwa “memperteguh solidaritas dan persatuan Partai” dalam pasal 6 sub e sebagai kewajiban anggota, bukan hanya menegaskan bahwa di sinilah letaknya salah satu kekuatan kaum Komunis yang tiada taranya yang tak mungkin dimiliki Partai-partai borjuis mana pun — tetapi juga merupakan salah satu kriteria yang penting bagi Partai apakah kawan-kawan kita terutama kader-kader Partai, menempatkan Partai, yaitu kepentingan massa rakyat di atas kepentingan perseorangan. Pengalaman Partai di Sumatera Utara mengajarkan bahwa apabila solidaritas dan persatuan teguh di dalam Partai, reaksi apapun yang dihadapi, Partai bersama-sama dengan massa rakyat yang luas tetap keluar sebagai pemenang. Sebaliknya dimana solidaritas dan persatuan Partai menjadi kendor bukan saja kemenangan-kemenangan sukar dikonsolidasi malah dalam menghadapi pukulan-pukulan reaksi, kadang-kadang ada kawan-kawan yang tidak menunjukkan sikap kelas yang tepat bahwa bagaimana pun soalnya apabila Partai dan kelas telah dipukul, buat kaum Komunis tidak ada jalan lain kecuali memihak Partai dan kelas dengan menegakkan tinggi-tinggi panji-panji solidaritas dan persatuan Partai!

Kawan-kawan, delegasi kami berpendapat bahwa pasal-pasal dalam Konstitusi Partai asal saja dilaksanakan dengan sepenuh hati dengan gaya yang hidup menjamin dikombinasikannya “gerakan berkobar-kobar” dengan pekerjaan tekun, atau: “berjalan dengan dua kaki”! Pengombinasian “gerakan berkobar-kobar” dengan pekerjaan tekun sangat membantu pelaksanaan semboyan pembangunan Partai sekarang, yaitu “memperkuat, memperluas, dan memperbarui Partai”. Dengan demikian pepatah Indonesia yang terkenal “sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” kita wujudkan dalam kenyataan.

Terima kasih!

Hidup Kongres ke-VI PKI!