Pidato Kawan Djokosudjono

(Anggota Sekretariat CC PKI)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kongres yang mulia, dan Kawan-kawan yang tercinta,

Saya menyetujui sepenuhnya laporan Kawan Aidit atas nama Comite Central Partai, demikian juga laporan Kawan Lukman tentang Perubahan Konstitusi dan laporan Kawan Njoto tentang Perubahan Program Partai.

Selama 30 tahun lebih sejak berdirinya Partai kita, masalah front persatuan nasional yang merupakan ketentuan daripada syarat sejarah dan syarat sosial negeri kita hanya dimengerti dan dijalankan oleh Partai secara “meraba-raba di dalam gelap”, dan barulah sesudah tahun 1951, dengan disinari oleh koreksi besar mendiang Kawan Musso, Partai di bawah pimpinan Kawan Aidit berpikir dan bekerja di lapangan front persatuan ini atas dasar pengertian teori.

Pada zaman-zaman penjajahan Belanda dan militerisme Jepang setiap Komunis sudah bisa merasakan betapa pentingnya ada front persatuan dari segenap lapisan Rakyat Indonesia untuk menentang penjajahan Belanda dan militerisme Jepang, karena:

  1. setiap Komunis mengerti, baik kaum kolonialis Belanda maupun militeris Jepang adalah musuh dari segenap Rakyat Indonesia, bahwa tidak semua Rakyat Indonesia adalah Komunis, dan bahwa hanya dengan kekuatan kaum Komunis saja tidak mungkin kaum kolonialis Belanda dan kaum militeris Jepang bisa dienyahkan dari Indonesia.
  2. taktik besar proletariat sedunia tentang “Front Persatuan Rakyat Anti-Fasis” sedikitnya sudah dipahami oleh orang-orang Komunis pada waktu itu betapa objektifnya taktik tersebut untuk perjuangan Rakyat Indonesia.

Tetapi karena Partai belum memiliki pengertian tentang hakikat dan cara menggalang front persatuan nasional, ditambah lagi dengan sempitnya keleluasaan bergerak bagi Partai berhubung Partai harus bekerja sangat ilegal, maka Partai pada waktu itu belum mampu menggalang front persatuan nasional.

Dalam zaman revolusi ada organisasi “Front Nasional” dimana PKI juga duduk di dalamnya, tetapi karena orang-orang Komunis pada waktu itu kurang paham apa yang harus diperbuat untuk memperkuat front persatuan tersebut sebagai senjata revolusi, akhirnya berhenti sampai kepada menerima bentuk formal dari front persatuan itu saja.

Dengan mempelajari pengalaman-pengalaman revolusi, terutama revolusi-revolusi di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan, serta menyadari, bahwa front persatuan revolusioner bukan saja merupakan syarat kemenangan revolusi Indonesia, tetapi juga tidak bisa dipisahkan dengan masalah pembangunan Partai, maka Comite Central Partai pada tahun 1951 merumuskan masalah front persatuan nasional ini dalam Program Umum Konstitusi Partai sebagai berikut: “Pekerjaan Partai sekarang adalah berat dan pelik. Masalah yang langsung dan segera kita hadapi ialah masalah penggalangan front persatuan yang berbasiskan persekutuan kaum buruh dan kaum tani dan masalah pembangunan Partai, sebab itu bekerja di kalangan kaum buruh dan kaum tani adalah bentuk kegiatan yang terpenting dan pokok daripada Partai. Anggota Partai harus memimpin aksi-aksi yang mengenai kepentingan langsung dari massa serta memberikan penjelasan yang terus-menerus, dengan tidak jemu-jemu, dengan sistematik kepada massa rakyat banyak (kaum buruh, kaum tani, prajurit, kaum intelektual, pengusaha nasional, dan golongan-golongan rakyat yang demokratis lainnya)”.

Kawan-kawan,

Bagi orang Komunis, berbicara tentang front persatuan nasional adalah tidak mungkin dengan tidak pertama-tama memperkeras usahanya untuk memperluas dan mengonsolidasi persekutuan buruh dan tani. Ini adalah bagian utama dalam pekerjaan front persatuan nasional disamping bagian-bagian penting lainnya yaitu menarik semua lapisan rakyat bukan pekerja yang bisa bekerja sama dengan kelas buruh, baik dalam jangka waktu panjang maupun dalam jangka waktu pendek sesuai dengan syarat sejarah yang berlainan, dan mengisolasi golongan kontra-revolusioner. Dengan tidak adanya persekutuan buruh dan tani yang meluas dan terkonsolidasi tidak mungkin kelas buruh melakukan peranan memimpin dalam front persatuan nasional, dengan tidak adanya rol memimpin Partai kelas buruh dalam front persatuan nasional tidak mungkin ada front persatuan nasional yang kuat, dan dengan tidak adanya front persatuan nasional yang kuat tidak mungkin revolusi bisa mencapai tujuannya. Serangkaian tiga pokok soal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya ini merupakan hukum kemenangan revolusi di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan, juga revolusi Indonesia.

Di antara rakyat bukan pekerja yang harus kita tarik dalam front persatuan nasional ini borjuasi nasional merupakan suatu golongan yang mempunyai kedudukan penting dalam waktu yang panjang, karena itu masalah menggalang front persatuan dengan golongan ini merupakan suatu masalah yang meminta bagian penting dalam garis politik Partai dalam waktu yang panjang pula.

Sejarah front persatuan dengan borjuasi nasional selama 14 tahun ini bisa dibagi menjadi dua tingkat dalam dua keadaan. Tingkat pertama ialah periode sejak meletusnya Revolusi Agustus 1945 sampai kepada tercapainya persetujuan KMB, dan tingkat kedua ialah periode sesudah KMB ditandatangani sampai kepada UU Dasar 45 didekritkan kembali.

Sejarah front persatuan dengan borjuasi nasional pada tingkat pertama adalah sejarah front persatuan nasional dimana Partai berada dalam kedudukan lemah sehingga borjuasi nasional berkapitulasi terhadap kaum imperialis dan borjuasi komprador, dan beralihnya revolusi bersenjata ke perjuangan “damai”.

Sejak meletusnya revolusi bersenjata melawan militerisme Jepang dan kolonialisme Belanda hingga persetujuan KMB ditandatangani, Partai berada dalam keadaan yang sangat lemah karena kesalahan-kesalahannya yang serius dalam lapangan politik dan organisasi, dan dengan sendirinya juga dalam lapangan front persatuan. Ini semua disebabkan karena lemahnya ideologi Partai. Pada waktu itu Partai telah kehilangan kebebasannya dan tidak mungkin mempertahankan kebebasannya dalam menggalang front persatuan dengan borjuasi nasional, karena:

  1. Secara sukarela Partai telah memperkecil kedudukannya sebagai Partai kelas buruh dan pelopor revolusi dengan cara mengilegalkan diri dan memecah kekuatannya di berbagai Partai kelas buruh (PKI legal, PBI dan Partai Sosialis). Dengan begitu borjuasi nasional tidak bisa melihat kekuatan kelas buruh yang bisa diandalkan dalam perlawanan menghadapi imperialisme dan kontra-revolusi dalam negeri.
  2. Partai tidak menarik kaum tani dalam revolusi sebagai sekutu yang setia daripada kelas buruh. Dengan begitu tidak ada basis front persatuan nasional.
  3. Partai menyokong politik kaum reformis St. Sjahrir karena terpengaruh dengan propaganda membesar-besarkan kekuatan imperialis Amerika dan memperkecil kekuatan revolusi Indonesia dan barisan revolusioner anti-imperialis sedunia. Partai tidak mengerti bahwa pada waktu itu Uni Soviet mempunyai kedudukan yang sangat kuat di benua Asia setelah membebaskan Mansyuria dari pendudukan Jepang dan dapat mengikat banyak tenaga militer Amerika, Inggris dan Australia, sehingga memberi kesempatan kepada Rakyat Indonesia untuk memulai revolusinya. Partai kurang memahami apa artinya bahwa justru pada saat revolusi berkobar komando tentara Amerika dan Inggris di Asia masih menolak permintaan imperialis Belanda supaya kapal-kapalnya dikembalikan untuk mengangkut tentara Belanda guna menindas revolusi Rakyat Indonesia. Partai kurang memahami aksi-aksi yang berhasil dari kaum buruh Australia, Inggris, Belanda dan negeri-negeri lainnya terutama negeri-negeri Asia yang secara gagah berani menahan tentara Belanda di tempat-tempat yang hendak diberangkatkan ke Indonesia. Karena ini semualah maka secara tidak langsung Partai telah menambah besarnya kebimbangan borjuasi nasional yang memang wataknya sudah bimbang.

Pada saat borjuasi nasional dalam keadaan yang sangat bimbang inilah kaum komprador yang dikepalai oleh Hatta dan Sukiman dengan dibantu oleh kekuatan imperialis Belanda pada clash ke-Il berhasil menarik borjuasi nasional untuk menghentikan revolusi bersenjata dan mengadakan kompromi yang merugikan revolusi dengan imperialis Belanda (KMB) setelah lebih dahulu menghancurkan kekuatan kelas buruh dengan provokasi Madiun.

Sejarah front persatuan dengan borjuasi nasional pada tingkat kedua, yaitu sesudah KMB ditanda tangani sampai didekritkanya UUD 45 kembali, adalah sejarah pembangunan Partai yang berhasil dalam pembangunan “damai”, sehingga dapat membangkitkan perlawanan borjuasi nasional terhadap imperialis dan kaum komprador, dan berangsur-angsur memencilkan kaum komprador.

Sejak Partai menyadari kesalahan-kesalahannya di waktu-waktu yang lampau, barulah 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun ‘51, di bawah pimpinan Kawan Aidit Partai dapat bekerja memperbaiki kelemahan-kelemahannya di lapangan politik, organisasi dan ideologi, dan mengambil bentuk perjuangan kombinasi antara perjuangan parlementer dan gerakan massa di luar parlemen. Dalam rangka pekerjaan front persatuan, setelah menganalisa tentang adanya 3 macam kekuatan politik di Indonesia, yaitu kekuatan kepala batu, kekuatan progresif, dan kekuatan tengah Comite Central Partai menetapkan garis, bahwa kewajiban PKI sekarang ialah bekerja keras untuk mengembangkan kekuatan progresif, bersatu dengan kekuatan tengah dan memencilkan kekuatan kepala batu.

Dengan garis front persatuan yang tepat ini, Partai dapat dengan tepat pula menetapkan garis politik dalam menghadapi tiap-tiap situasi, dapat menyusun program tuntutan yang bisa diyakini kebenarannya oleh kaum buruh, kaum tani dan borjuasi kecil kota, dapat memperhatikan dan membela kepentingan-kepentingan yang wajar daripada borjuasi nasional, dan dapat mendorong kekuatan progresif guna memukul secara tepat kekuatan kepala batu.

Pengaruh Partai di kalangan massa buruh dan tani berangsur-angsur bertambah besar, politik Partai mulai diakui kebenarannya bukan saja oleh borjuasi kecil kota dan umumnya intelektual revolusioner, tetapi juga dapat menarik perhatian golongan kiri borjuasi nasional, sedang golongan kanan borjuasi nasional yang sering-sering suka menyerang Partai serangannya tidak lagi secara terbuka dan ditujukan kepada politik Partai, tetapi lebih banyak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan bersifat “sentimen” dan purbasangka karena tiap serangan terhadap politik Partai berarti membuka politik reaksioner mereka sendiri di mata rakyat.

Pada mulanya borjuasi nasional mengira, bahwa dengan bekerja sama dengan kaum kepala batu mengadakan perjanjian KMB dengan imperialis Belanda akan mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Tetapi kemudian dirasakan, bahwa bekerja sama dengan golongan kepala batu itu lebih banyak rugi daripada untungnya. Pengaruhnya di kalangan massa rakyat dan di massanya sendiri menjadi makin merosot, karena:

  1. Kedudukan politiknya ala KMB tidak bisa digunakan untuk kepentingan ekonominya berhubung kekuasaan politik yang diberikan oleh imperialis Belanda kepada Indonesia dalam rangka KMB sangat terbatas, yaitu hanya untuk melindungi kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. KMB hanya memberi kesempatan berkembangnya borjuasi dagang ekspor dan impor yang dalam banyak hal malahan memperkuat kedudukan ekonomi imperialis di Indonesia.
  2. Dalam kekuasaan KMB politik kaum komprador sangat reaksioner, dan sikap “netral” dari borjuasi nasional terhadap politik reaksioner kaum komprador ini membawa akibat borjuasi nasional tidak bisa menghindarkan diri dari pukulan-pukulan rakyat yang dialamatkan kepada kaum komprador. Akibat selanjutnja ialah bahwa makin berkurangnya pengaruhnya atas massa rakyat makin dirasakan tekanan-tekanan kaum komprador terhadapnja.

Dari sinilah mulai borjuasi nasional merasa bahwa dirinya tidak lebih daripada “antek” saja dari kaum komprador dalam permainan KMB, dan mulailah membutuhkan bantuan dari kelas buruh untuk merebut kekuasaan atas pemerintahan dari tangan kaum komprador. Politik “anti-KMB” yang dijalankan oleh PKI sejak KMB mau diadakan mulai diakui kebenarannya oleh borjuasi nasional dan akhirnya dengan bantuan kelas buruh dan golongan progresif lainnya berhasillah borjuasi nasional memegang kekuasaan atas pemerintahan dan membatalkan KMB setelah kabinet-kabinet komprador Hatta, Natsir, Sukiman dan Burhanudin Harahap ditumbangkan.

Hasil-hasil penting lainnya dan perjuangan front persatuan antara kelas buruh dengan borjuasi nasional selama ini bisa dicatat misalnya dalam hal menggagalkan provokasi Sukiman tahun 1951, mempertahankan demokrasi dari serangan kaum “17 Oktobrist”, menggagalkan usaha kup Z. Lubis, dan mengalahkan pemberontakan “PRRI”-Permesta.

Dengan jatuhnya kabinet-kabinet komprador Hatta, Sukiman, Natsir dan Burhanudin Harahap, dan batalnya KMB serta berkuasanya borjuasi nasional atas sokongan kelas buruh, kaum komprador mulai mata gelap meninggalkan perjuangan parlementer dan menempuh jalan “ekstra parlementer” dengan mengadakan pemberontakan “PRRI”-Permesta. Tetapi tindakan kaum komprador ini membawa akibat lain daripada yang diharapkannya, karena:

  1. Kedoknya bersekongkol dengan kaum imperialis untuk menghancurkan RI makin terbuka lebar, dan pengaruhnya atas massanya sendiri menjadi makin merosot dan “prestise” politiknya hancur.
  2. Front persatuan revolusioner menjadi bertambah meluas dan kuat.

Tetapi pada saat-saat borjuasi nasional berkuasa ternyata tidak dapat menggunakan sokongan kelas buruh dan golongan progresif pada umumnya untuk lebih mengembangkan dan meneguhkan front nasional, misalnya dengan jalan:

  1. lebih mengeratkan hubungannya dengan golongan progresif untuk memecahkan semua persoalan rakyat, terutama di lapangan penghidupan.
  2. lebih mengeratkan hubungan dagang dengan negeri-negeri anti-imperialis.
  3. lebih berani menghadapi golongan komprador dan imperialis.

Bukan jalan revolusioner inilah yang ditempuh oleh borjuasi nasional pada saat-saat mereka berkuasa, tetapi malahan sering bertindak yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, misalnya mengurangi hak-hak demokasi bagi rakyat, menolak tuntutan-tuntutan yang wajar dari rakyat, berkorupsi, dan tindakan-tindakan lainnya yang merugikan perjuangan revolusioner, sehingga kaum imperialis mempunyai kesempatan yang baik menghasut-hasut golongan petualang di kalangan tentara untuk mengadakan junta militer.

Guna mengatasi berlarut-larutnya keadaan inilah maka Presiden Soekarno mengambil jalan lain yaitu mendekritkan UUD 45 kembali.

Hubungan kita dengan borjuasi Indonesia selama 14 tahun ini memberi pelajaran-pelajaran sebagai berikut:

  1. Penindasan yang paling berat oleh imperialisme Belanda dan militeris Jepang terhadap Indonesia adalah penindasan nasional dimana borjuasi Indonesia juga turut merasakan beratnya tindasan itu. Ini sebabnya maka dalam Revolusi Agustus 1945 menentang imperialisme dan feodalisme borjuasi Indonesia pada umumnya menunjukkan sifat-sifat revolusionernya melawan imperialisme. Keinginan subjektif borjuasi Indonesia dalam revolusi ialah pembangunan kapitalisme Indonesia, karena itu pengertian tentang penyelesaian Revolusi Agustus ’45 bagi borjuasi Indonesia tidak lain daripada kejayaan hari depan kapitalisme Indonesia. Perbedaan antara golongan komprador dan borjuasi nasional tentang pembangunan kapitalisme Indonesia ialah, borjuasi komprador ingin pembangunan kapitalisme Indonesia atas bantuan dan di bawah kekuasaan imperialisme, tetapi borjuasi nasional ingin kapitalisme Indonesia di mana perlu dengan menerima bantuan imperialisme tetapi tidak mau dikuasai imperialisme.
  2. Keinginan subjektif borjuasi nasional dan komprador menentukan wataknya masing-masing dalam revolusi. Borjuasi komprador karena langsung mengabdi kepada kepentingan imperialisme ia bersatu dengan feodalisme dan menjadi tenaga kontra-revolusi, dan oleh karenanya menjadi musuh dan kekuatan anti-imperialis. Tetapi satu kenyataan bahwa kaum komprador Indonesia pada pokoknya pecah menjadi 3 bagian, yaitu bagian yang mengabdi imperialis Belanda, bagian yang mengabdi imperialis Inggris, dan bagian yang mengabdi imperialis Amerika yang masing-masing ingin berkuasa atas Indonesia dan bertentangan satu sama lain. Karena itu sikap kaum komprador terhadap sesuatu imperialis tidak sama. Ini memungkinkan pada satu saat sesuatu klik komprador menunjukkan sifat anti-imperialisnya, tetapi terbatas kepada imperialis tertentu yang menjadi saingan majikannya. Karena itu dalam menghadapi imperialis tertentu dan dalam batas-batas tertentu pula kaum komprador yang menjadi antek daripada imperialis lain bisa merupakan tambahan kekuatan bagi front persatuan nasional anti-imperialis. Tetapi watak reaksionernya tidak berubah, yaitu selalu menjalankan politik memecah-belah kekuatan revolusi dan memukul dengan terang-terangan kekuatan kelas buruh. Juga tiap-tiap klik komprador berbeda-beda tingkat kereaksionerannya. Golongan kaum komprador yang menurut perbandingan kurang reaksionernya masih berpikir dua-tiga kali dalam menentukan langkah-langkahnya membela kepentingan imperialis, karena masih memikirkan hubungannya dengan rakyat. Tetapi golongan yang paling reaksioner sepenuhnya menjalankan perintah kaum imperialis.
  3. Watak borjuasi nasional, karena keinginannya pembangunan kapitalisme Indonesia lepas dari kekuasaan imperialisme, maka ia anti-imperialis dan dalam batas-batas tertentu juga anti-feodalisme. Dalam hal ini borjuasi nasional Indonesia pada saat tertentu dan dalam batas-batas tertentu bisa menjadi sekutu daripada revolusi, yaitu menjadi sekutu daripada kaum buruh, kaum tani dan borjuasi kecil kota dan juga merupakan sekutu daripada proletariat dunia dalam melawan imperialisme. Tetapi karena kedudukan ekonomi dan sosialnya yang lemah dan keinginannya untuk mendapatkan bantuan dari kaum imperialis, dan karena ketakutannya kepada kekuatan rakyat pekerja menyebabkan borjuasi nasional Indonesia tidak teguh melawan imperialisme. Pada satu saat ia keluar dari barisan revolusioner menyeberang ke barisan kontra-revolusi, pada satu saat lainnya netral dan pada satu saat lainnya lagi kembali memihak revolusi. Dalam perjuangan melawan imperialisme borjuasi nasional Indonesia selalu melihat kekuatan kelas buruh dan golongan progresif lainnya, kalau kekuatan kelas buruh dan kekuatan progresif pada umumnya besar dan dapat mengadakan pukulan-pukulan yang kuat pada imperialis, borjuasi nasional ikut melawan imperialis sambil sibuk memperkuat kedudukannya dengan mengumpulkan kekayaan; kalau kekuatan antara kelas buruh dan imperialis seimbang ia netral sambil bersiap-siap diri untuk pada waktunya yang tepat mendekati yang menang, tetapi kalau kekuatan imperialis mendapat angin borjuasi nasional, mulai membebek kaum komprador memusuhi kelas buruh dan mencari-cari jalan kompromi yang merugikan revolusi dengan kaum imperialis. Borjuasi nasional tidak senang melihat perkembangan kekuatan kelas buruh, karena kelas buruh, sesuai dengan tuntutan Revolusi Agustus 45, membatasi perkembangan kapitalisme Indonesia jangan menjadi monopoli dan lebih mengutamakan ekonomi sektor negara. Tetapi borjuasi nasional membutuhkan kekuatan kelas buruh untuk mengimbangi kekuatan kaum komprador. Karena itu kontradiksi antara borjuasi nasional dan kelas buruh ini belum merupakan kontradiksi yang antagonistis. Dalam kalangan borjuasi nasional ada golongan kiri dan tengah (sentris) di samping golongan kanan.

Golongan kiri dari borjuasi nasional lebih dekat dan mewakili kepentingan borjuasi kecil karena itu lebih teguh melawan imperialisme dan ia merupakan “rem” bagi golongan kanan untuk tidak terlalu menganan, sedang golongan tengah hanya memihak mana yang menang. Kritik-kritik yang bijaksana dan meyakinkan dari Partai kepada golongan kanan sangat membantu golongan kiri dalam usahanya membawa golongan kanan untuk tidak gampang berkapitulasi kepada kaum imperialis.

  1. Tani adalah sekutu yang setia daripada kelas buruh.
  2. Borjuasi kecil kota merupakan sekutu daripada kelas buruh yang dapat dipercaya.
  3. Masalah agama merupakan masalah penting dalam perkerjaan menggalang front persatuan. Kaum Komunis tidak menentang agama, malahan menghormati dan menghargainya. Yang ditentang oleh kaum Komunis ialah penggunaan agama oleh orang-orang yang berpengaruh atau sedang mencari pengaruh dalam kalangan agama untuk memecah-belah persatuan di kalangan massa rakyat, baik antara rakyat yang beragama dengan yang tidak beragama, maupun di antara rakyat yang berbeda kepercayaan agamanya untuk kepentingan politiknya yang reaksioner. Di antara banyak macam agama di Indonesia, agama Islamlah yang lebih besar pengaruhnya di kalangan massa rakyat, dan mempunyai perwakilan politik agak kuat. Karena itu bukan sesuatu yang mengherankan apabila kaum imperialis berusaha sungguh-sungguh mencari pengaruh di kalangan tokoh-tokoh agama Islam untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia. Adanya DI-TII, dan “PRRI”-Permesta yang selalu membawa-bawa agama untuk menyelimuti tujuan-tujuannya yang jahat bukan sesuatu yang kebetulan, tetapi adalah hasil rencana kaum imperialis untuk memperkuda kepercayaan agama di kalangan massa rakyat. Karena itu usaha menarik massa Islam yang anti-imperialis dari pengaruh kaum komprador yang bersembunyi di kalangan agama Islam dan memperkuat kerjasama antara massa Islam, Nasionalis dan Komunis adalah pekerjaan front persatuan yang penting.

Dengan didekritkannya U.U. Dasar 45 kembali tugas sejarah Rakyat Indonesia, dimana PKI memikul tanggung jawab besar pada pokoknya masih tetap seperti yang telah dirumuskan oleh Kongres ke-V Partai, yaitu menyelesaikan tuntutan Revolusi Agustus 45 sampai ke akar-akarnya. Musuh terpokok rakyat Indonesia masih tetap imperialis Belanda dan kekuatan kepala batu yang diwakili oleh Masyumi dan PSI, dengan tidak mengabaikan sedikit pun juga rol imperialisme A.S. sebagai musuh Rakyat Indonesia yang paling berbahaya, berhubung sikapnya yang sangat agresif, berhubung dengan penanaman modalnya yang makin besar di Indonesia, berhubung masih agak banyak orang-orang Indonesia yang berkedudukan penting tetapi naif, mengira bahwa imperialisme A.S. tidak begitu jahat.

Bentuk perjuangan kita pun tidak berubah, yaitu dengan penuh tanggung jawab melakukan perjuangan parlementer dengan titik berat pekerjaan di kalangan massa rakyat dan memperbaiki pekerjaan front nasional untuk lebih memencilkan kekuatan kepala batu.

Tetapi dengan didekritkannya U.U. Dasar 45 kembali yang diikuti dengan pembentukan Kabinet Kerja yang terdiri dari orang-orang non-Partai dan golongan militer, dan disamping itu ada kekuasaan militer dan ada pula pembatasan-pembatasan aktivitas politik atas dasar kekuasaan militer, menimbulkan acara baru yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dalam rangka pekerjaan front persatuan. Acara baru itu ialah adanya kekuatiran yang meluas dan beralasan di kalangan masyarakat tentang kemungkinan timbulnya bahaya militerisme di Indonesia dengan gaya yang berlainan daripada yang pernah diusahakan oleh Z. Lubis, M. Simbolon, dan Akhmad Husein. Sekalipun sudah berulang kali Presiden Soekarno menyatakan pendiriannya tidak suka sama segala macam diktator, baik militer maupun perseorangan, dan Presiden Soekarno sendiri telah menunjukkan keteguhannya dalam menolak adanya diktator militer gaya “17 Oktoberis” dan Z. Lubis, dan juga berbagai tokoh-tokoh penting di kalangan militer pernah menyatakan tidak setujunya ada diktator militer, namun ini semua belum dapat menghilangkan kekhawatiran di kalangan masyarakat tentang kemungkinan timbulnya bahaya militerisme itu selama kekuasaan militer atas dasar berlakunya U.U. Keadaan Bahaya masih dipertahankan dan hak-hak demokrasi bagi rakyat belum dipulihkan kembali.

Berlakunya U.U. Keadaan Bahaya hanya cocok pada waktu bahaya “PRRI”-Permesta sedang mengancam seluruh negeri, tetapi pada saat “PRRI”-Permesta sudah tidak merupakan bahaya bagi seluruh negeri maka berlakunya U.U. Keadaan Bahaya itu sudah tidak perlu lagi, atau paling-paling hanya bisa berlaku di daerah-daerah di mana sisa-sisa “PRRI”-Permesta itu masih ada.

Tentang demokrasi yang merupakan sendi dari kehidupan negara dan rakyat adalah suatu hak asasi yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Demokrasi terpimpin artinya harus tidak boleh lain daripada pencegahan penggunaan demokrasi ini secara salah, yaitu untuk merongrong Republik Indonesia, tetapi bukan untuk mengebiri golongan-golongan yang justru memperkuat R.I.

Tidak ada satu Partai atau golongan pun yang sungguh-sungguh mencintai demokrasi sekarang ini yang menyetujui tetap berlakunya U.U. Keadaan Bahaya untuk seluruh negeri dan pengekangan hak-hak demokrasi bagi rakyat. Karena itu adalah kewajiban kaum Komunis sesudah Kongres Nasional ke-VI Partai ini bekerja lebih baik lagi untuk memperkuat kerjasama antara partai-partai dan semua golongan pencinta demokrasi untuk menormalkan kembali sendi-sendi demokrasi di Indonesia.