Pidato Kawan Nursuhud

(Sekretaris CDB PKI Sumatera Barat)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kawan-kawan,

Sebagaimana kawan-kawan ketahui, delegasi Sumatera Barat telah menyatakan persetujuan sepenuhnya terhadap Laporan Umum Kawan Aidit. Demikian juga terhadap Pidato Pengantar untuk Rencana Perubahan Konstitusi Partai yang disampaikan oleh Kawan Lukman dan Pidato Pengantar untuk Rencana Perubahan Program Partai yang disampaikan oleh Kawan Nyoto.

Laporan Umum Kawan Aidit telah menyimpulkan secara ilmiah sukses-sukses besar dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh Partai sejak Kongres Nasional ke-V dan bersamaan dengan itu ia juga telah merumuskan tugas-tugas baru di lapangan ideologi, politik, dan organisasi, yang akan memimpin semua aktifitas kita sesudah Kongres. Kesimpulan-kesimpulan ini adalah kesimpulan-kesimpulan daripada sukses-sukses dan kesukaran-kesukaran proletariat Indonesia dalam menggalang front persatuan nasional dan dalam mengembangkan dirinya untuk perjuangan kemerdekaan nasional, demokrasi, dan perdamaian. Karena ia dirumuskan secara ilmiah, artinya didasarkan pada pandangan Marxis-Leninis dan berdasarkan penyelidikan yang mendalam tentang kekhususan-kekhususan negeri kita, maka ketepatannya adalah tidak diragukan lagi. Ini berarti sukses-sukses baru lagi dalam memadukan kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktek revolusi Indonesia.

Kendati pun banyak kesukaran dan kesulitan yang ditemuinya, CC Partai kita di bawah pimpinan Kawan Aidit pada pokoknya telah berhasil melaksanakan dengan baik tugas-tugas yang diberikan oleh Kongres Nasional ke-V. Belum pernah Partai kita begitu meluas dan berakar di kalangan rakyat kita, belum pernah Partai kita begitu terkonsolidasi dan bersatu di lapangan ideologi, politik, dan organisasi, dan belum pernah perjuangan anti-kolonialisme sejak persetujuan KMB begitu meluap-luap dan berkobar-kobar seperti sekarang ini. Semuanya ini adalah berkat sukses-sukses kita dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kongres Nasional ke-V. Pendeknya, dengan sedikit pun tidak melupakan kesukaran-kesukaran dan kesulitan-kesulitan yang tetap akan kita alami, hari depan Rakyat Indonesia sudahlah pasti, yaitu Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis.

Kawan-kawan,

Sekarang dalam memberikan sambutan terhadap Laporan Kawan Aidit, izinkanlah saya di hadapan Sidang Kongres yang bersejarah ini mengemukakan sedikit pengalaman Partai kita di Sumatera Barat dalam perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner “Dewan Banteng-PRRI”.

Tetapi sebelum itu, terlebih dahulu saya atas nama seluruh kaum Komunis dan pencinta-pencintanya di Sumatera Barat ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya terutama kepada Comite Central Partai kita yang dalam keadaan-keadaan yang sukar selama perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner itu tetap terus-menerus memberikan pimpinan dan bimbingan kepada kami, dan juga kepada semua CDB yang telah membantu kami berupa apa saja, terutama CDB dan CS-CS di Sumatera Utara yang solidaritas Komunis dan solidaritas nasionalnya sangat kami rasakan.

I. Tingkat-tingkat Perjuangan dan Sikap-sikap Partai

Kawan-kawan,

Perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner “Dewan Banteng-PRRI” adalah perjuangan melawan fasisme, melawan diktatur militer lokal, melawan separatisme, melawan kaum kontra-revolusioner dalam negeri yang berusaha mati-matian untuk merebut kembali kekuasaan Pemerintah sentral dan melawan subversi kaum imperialis yang dikepalai oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu ia sekaligus adalah perjuangan untuk demokrasi, untuk mempertahankan kesatuan Republik Indonesia, untuk mempertahankan Pemerintah yang maju yang disokong oleh Rakyat dan untuk mempertahankan kemerdekaan nasional. Pada pokoknya perjuangan ini dapat dibagi dalam 5 periode sebagai yang akan saya uraikan di bawah ini.

1. Periode Kemenangan Kontra-Revolusi dan Persiapan-persiapan Aksi Massa

(20 Desember 1956 – 21 Agustus 1957)

Kawan-kawan,

Sebagaimana diketahui periode ini dimulai dengan perebutan kekuasaan oleh apa yang dinamakan “Dewan Banteng” atas pemerintahan Propinsi Sumatera Tengah pada tanggal 20 Desember 1956, yang kemudian disusul oleh peristiwa yang sama di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Utara. Perebutan kekuasaan ini telah dimungkinkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah bahwa perimbangan kekuatan di Sumatera Tengah ketika itu masih sangat menguntungkan kekuatan partai-partai kepala batu Masyumi-PSI, bahwa kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahan banyak dikuasai oleh orang-orang reaksioner, koruptor-koruptor, serta elemen-elemen fasis dan bahwa kaum pemberontak jauh sebelumnya telah mendapat jaminan bantuan senjata dari pihak SEATO yang dikepalai oleh Amerika Serikat itu. Seandainya jaminan bantuan senjata dari pihak kaum imperialis itu tidak ada, setidak-tidaknya mereka harus berpikir-pikir dulu beberapa kali untuk melakukan perebutan kekuasaan itu.

Berdasarkan pengalaman ini saya merasa perlu untuk menggarisbawahi kesimpulan Laporan Kawan Aidit bahwa untuk mengalahkan bahaya fasisme dan mempertahankan demokrasi adalah perlu sekali mendemokrasikan dan mereorganisasi alat-alat negara, memecat dari jabatan-jabatan sipil dan militer pengkhianat-pengkhianat bangsa, penggelap-penggelap dan koruptor-koruptor dan supaya orang-orang ini dihukum, dan bersamaan dengan itu mengisi jabatan-jabatan tersebut dengan orang-orang yang bersedia mengabdikan diri kepada kepentingan rakyat.

Kawan-kawan,

Dari kenyataan bahwa kekuatan kepala batu masih sangat besar seperti saya katakan tadi, maka dapatlah dipahami mengapa dalam bulan-bulan pertama dari kekuasaannya, kaum pemberontak dengan mempergunakan semboyan-semboyan “pembangunan daerah” berhasil menarik massa ke pihaknya. Bersamaan dengan itu mereka melancarkan propaganda anti-Pusat, anti-Sukarno, dan anti-Komunis yang tidak kepalang tanggung dan menyebarkan ancaman-ancaman dan intimidasi-intimidasi bahwa akan diambil tindakan keras terhadap siapa saja yang menentang mereka. Menghadapi kenyataan ini kekuatan tengah menjadi bimbang dan goncang. Malahan sebagian tokoh-tokoh mereka menyeberang ke pihak pemberontak dan turut terang-terangan menghantam Pemerintah Pusat dan menyerang Partai, sedang sebagian lainnya tinggal pasif. Ya, memang tidak mudah untuk tetap mengibarkan panji-panji revolusioner dalam saat-saat mengamuknya kontra-revolusi, dalam periode kontra-revolusioner.

Dalam keadaan demikian itu dapatlah kawan-kawan bayangkan betapa beratnya dan sukarnya situasi yang dihadapi oleh Partai kita. Partai boleh dikatakan terisolasi sama sekali dan oleh karena itu terpaksa bekerja di bawah tanah dan terpaksa memikul sendirian tugas melawan kaum pemberontak. Tetapi Partai Komunis mana di dunia ini yang tunduk kepada kesukaran-kesukaran dan kesulitan-kesulitan?

Soal yang sangat mendesak ialah bahwa semboyan-semboyan kaum fasis harus ditelanjangi dan aksi-aksi massa harus dimulai. Ini dimulai dengan dikeluarkannya Statement Comite Propinsi pada tanggal 2 Januari 1957 yang melontarkan semboyan “Gulingkan Diktatur Militer-fasis Dewan Banteng”, “Pulihkan Hubungan Antara Daerah dan Pusat”, “Kembalikan Pemerintahan Sipi di Bawah Gubernur”, “Bentuk DPRDP Propinsi”, dan lain-lain.

Sekarang dua macam semboyan berdiri sejajar, yang satu semboyan kaum pemberontak, yang lain semboyan kaum republiken dan patriot; yang satu kontra-revolusioner, yang lain revolusioner. Rakyat Sumatera Barat dihadapkan kepada keadaan, dimana mereka harus memilih salah satu di antara keduanya.

Untuk lebih membulatkan pendirian di dalam Partai bahwa adalah perlu sekali melawan fasisme dan membela demokrasi, Comite Propinsi segera mengorganisasi Konferensi-Konferensi Partai, di antaranya ialah Konferensi Padang yang diadakan pada pertengahan Januari 1957 dan Konferensi Kota Lawas-Bulaan Gadang yang diadakan pada tanggal 11-14 Februari 1957.

Konferensi-konferensi ini mempunyai arti yang penting sekali dalam melahirkan aksi-aksi dan gerakan massa yang makin lama makin meluas. Di antaranya yang penting ialah: aksi penyebaran surat-surat selebaran yang terus-menerus; gerakan pengiriman delegasi-delegasi; gerakan melawan berita-berita bohong pihak pemberontak; gerakan sistem “tiga-tiga”; gerakan “kartu pos”; gerakan mendirikan perkumpulan-perkumpulan “non-politik”; aksi-aksi sosial ekonomi yang bersifat politik; aksi serentak menaikkan papan-papan nama Partai dan organisasi-organisasi massa; rapat-rapat umum di dalam hutan, dan lain-lain. Apakah arti aksi-aksi dan gerakan-gerakan ini? Arti daripada aksi-aksi dan gerakan-gerakan ini ialah bahwa ia telah menelanjangi kepalsuan politik dan semboyan-semboyan kaum pemberontak dan bahwa ia telah merupakan persiapan penting untuk aksi-aksi yang lebih tinggi selanjutnya. Tanpa aksi-aksi dan gerakan-gerakan ini tidaklah mungkin untuk mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi dan perjuangan bersenjata rakyat dalam periode-periode berikutnya.

Aksi-aksi dan gerakan-gerakan ini lebih didorong lagi oleh adanya kesimpulan-kesimpulan Rapat Pleno Merapi yang dilangsungkan pada tanggal 8-12 Maret 1957 dan Konferensi Singgalang pada pertengahan Mei 1957, yang memeriksa pelaksanaan putusan-putusan Konferensi-konferensi dan Rapat-rapat Pleno sebelumnya. Konferensi Singgalang juga merumuskan sebuah memorandum kepada Penguasa Militer Sumatera Tengah dan Pemerintah Pusat. Memorandum ini yang memuat tuntutan-tuntutan yang paling mendesak dari Rakyat Sumatera Barat juga dimaksudkan ketika itu sebagai program aksi bagi rakyat agar dengan demikian aksi-aksi massa lebih bisa didorong lagi.

Kawan-kawan,

Disebabkan makin meluasnya aksi-aksi massa dan disebabkan pula kontradiksi-kontradiksi yang terdapat di antara pendukung-pendukungnya satu sama lain; kejayaan “Dewan Banteng” tidaklah berlangsung lama. Kongres Adat se-Sumatera dan Kongres Alim Ulama se-Sumatera dalam bulan Maret 1957 di Bukit Tinggi yang diorganisasi oleh kaum pemberontak untuk kepentingan-kepentingan pemberontakan mereka dengan sokongan penuh kaum reaksioner dalam negeri tidak mencapai hasil sebagaimana yang mereka harapkan dan berakhir dengan perpecahan. Beberapa putusan Kongres, yaitu putusan-putusan yang menolak Konsepsi Presiden, yang menuntut pembentukan zaken-kabinet di bawah pimpinan Hatta, dan yang mendukung pemberontakan Sumatera hanya dapat dipaksakan setelah sebagian peserta Kongres meninggalkan sidang, sedangkan usul mengenai pembentukan negara federasi ditolak oleh Kongres. Kegagalan ke dua Kongres ini adalah kemenangan politik yang pertama dari Rakyat Sumatera Barat.

2. Periode Aksi Massa Terbuka

(21 Agustus 1957 – 15 Februari 1958)

Kawan-kawan,

Periode ini ditandai oleh kebangkitan gerakan demokratis dengan terjadinya demonstrasi Rakyat Bukit Tinggi pada tanggal 21 Agustus 1957, yang disusul oleh demonstrasi Rakyat Lubuk Basung dan Payakumbuh serta aksi-aksi rakyat lainnya di sekitar Ulang Tahun RI ke-12 di bawah semboyan-semboyan “Bubarkan Dewan Banteng”, “Pulihkan Hubungan yang Normal Antara Daerah dan Pusat”, dan “Bebaskan Semua Tahanan Politik”. Juga di kalangan kaum buruh dan pegawai mulai timbul aksi-aksi, misalnya aksi kaum buruh untuk menurunkan produksi di perusahaan-perusahaan pemerintah dan gerakan “malas” di kalangan pegawai negeri sebagai aksi-aksi sabotase terhadap kekuasaan kaum pemberontak.

Tak perlu diterangkan lagi bahwa demonstrasi-demonstrasi dan aksi-aksi ini mempunyai arti yang penting sekali dalam mengubah dan mendorong maju situasi. Ia adalah hasil daripada pekerjaan yang tak kenal kepentingan diri sendiri dari Partai kita yang tidak henti-hentinya membangkitkan kesadaran rakyat bahwa adalah perlu sekali melawan fasisme, meskipun dalam keadaan-keadaan yang sukar dan sulit. Meletusnya demonstrasi-demonstrasi rakyat ini justru pada saat Musyawarah Nasional (Munas) akan dilangsungkan telah memperkuat kedudukan Pemerintah Juanda dalam menghadapi kaum pemberontak. Sebagaimana diketahui Munas yang dilangsungkan pada tanggal 10-16 September 1957 itu adalah untuk menormalisasi keadaan sesuai dengan Program Kabinet Juanda.

Berhubung dengan perkembangan-perkembangan baru ini, Kawan Aidit dalam Laporannya kepada Sidang Pleno ke-VI CC mengatakan antara lain sebagai berikut: “……… bukanlah rahasia, bahwa kekuasaan komplotan Ahmad Husein makin hari makin keras mendapat tentangan dari massa rakyat dalam bentuk perlawanan tertutup dan terbuka, dalam bentuk sabotase-sabotase dan demonstrasi-demonstrasi. Di berbagai tempat di Sumatera Barat telah diadakan demonstrasi-demonstrasi menentang kekuasaan ‘Dewan Banteng’ dari klik Ahmad Husein. Adalah sangat mengharukan bahwa demonstrasi-demonstrasi massa ini diikuti oleh banyak wanita, dan di sementara tempat malahan dipelopori oleh wanita-wanita. Para wanita yang gagah berani ini kemudian ditangkapi oleh kempetai-kempetai Ahmad Husein. Keteguhan hati dan keberanian wanita-wanita Minangkabau ini telah menjadikan mereka teladan bagi wanita Indonesia dan bagi Rakyat Indonesia umumnya, bagaimana seharusnya bersikap, bertindak, dan berlawan terhadap kekuasaan fasis”. Demikian Kawan Aidit.

Kawan-kawan,

Perkembangan-perkembangan baru sebagai disebutkan di atas sudah barang tentu menghadapkan Partai kita kepada tugas-tugas yang baru pula. Kemenangan-kemenangan rakyat yang sudah dicapai itu haruslah dikonsolidasi agar dengan demikian tersedialah syarat-syarat yang lebih baik untuk mengadakan aksi-aksi yang lebih tinggi sifatnya. Tugas-tugas ini diselesaikan di luar daerah pada awal September 1957. Dalam resolusinya mengenai situasi ketika itu Sidang merumuskan antara lain sebagai berikut: “Demonstrasi-demonstrasi rakyat di Bukit Tinggi, Lubuk Basung, dan Payakumbuh baru-baru ini dan aksi-aksi rakyat lainnya di sekitar Ulang Tahun ke-12 RI yang lalu adalah merupakan titik balik dalam situasi di Sumatera Barat. Jika sebelumnya kaum kontra-revolusioner terus-menerus berada dalam kedudukan memegang inisiatif dan melakukan ofensi, maka dengan peristiwa ini kekuatan progresif dan demokratis mulai berpindah ke kedudukan memegang inisiatif dan melakukan serangan-serangannya yang pertama terhadap kaum kontra-revolusioner”.

Berdasarkan analisa ini Sidang memutuskan tugas-tugas baru di lapangan politik, organisasi, dan ideologi. Dengan berpedoman kepada putusan-putusan Sidang Pleno ke-V CC, di lapangan politik Sidang mengambil resolusi untuk memimpin perkembangan situasi daerah lebih lanjut dengan penekanan pada aksi-aksi sosial ekonomi untuk lebih mengeratkan hubungan Partai dengan massa rakyat disamping meneruskan aksi-aksi politik. Di lapangan organisasi Sidang mendiskusikan pelaksanaan Plan Tiga Tahun Pertama mengenai Organisasi dan Pendidikan dengan penekanan pada keharusan tetap dilaksanakannya prinsip sentralisme-demokratis dan pimpinan kolektif di dalam Partai serta penyelesaian penggrupan anggota dan calon anggota. Di lapangan ideologi Sidang memutuskan untuk memperhebat perjuangan melawan menyerahisme. Putusan-putusan Sidang Pleno September ini mempunyai arti yang luar biasa pentingnya bagi rakyat dalam memimpin situasi dan dalam melaksanakan tugas-tugas Partai di hari-hari kemudian.

Kawan-kawan,

Untuk menjelaskan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di Sumatera Barat pada akhir tahun 1957 dan awal 1958, saya merasa perlu untuk sedikit menyinggung perkembangan situasi secara nasional sejak Munas benar-benar tidak menguntungkan pihak reaksi. Munas yang tadinya mereka harapkan dapat dijadikan gelanggang untuk menghantam Presiden Sukarno, Kabinet Juanda, dan PKI, berakhir dengan kegagalan total di pihak mereka. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) juga berakhir dengan kekecewaan kaum reaksi berhubung ditolaknya konsep politik dan ekonomi mereka yang reaksioner. Dalam pada itu, gelombang gerakan revolusioner untuk membebaskan Irian Barat memuncak dengan dilakukannya pengoperan-pengoperan perusahaan-perusahaan Belanda oleh kaum buruh, tentara, dan Pemerintah, yang ditentang oleh kaum reaksi. Di tengah-tengah kesibukan ini terjadilah pula percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno yang terkenal sebagai “teror Cikini” itu. Takut akan ditangkap maka tokoh-tokoh Masyumi Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap, Syafruddin Prawiranegara, dan lain-lain melarikan diri ke Sumatera Barat menyusul Dr. Sumitro dari PSI. Semuanya ini menyebabkan semakin terbukanya mata rakyat akan maksud-maksud jahat kaum reaksi. Dalam hubungan ini Kawan Aidit dalam Laporannya kepada Sidang Pleno ke-VI CC mengatakan bahwa dengan adanya peristiwa-peristiwa ini “prestise kaum reaksioner menjadi sangat merosot. Sebaliknya prestise Presiden Sukarno dan semua kaum revolusioner dan demokrat, prestise Pemerintah dan pimpinan Angkatan Perang, prestise partai-partai revolusioner dan demokratis, menaik tinggi”. Demikian Kawan Aidit.

Bagaimana pengaruh peristiwa-peristiwa ini di Sumatera Barat? Peristiwa-peristiwa ini juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap rakyat dan Angkatan Perang yang berada di Sumatera Barat. Mereka menjadi lebih menyadari apa yang tersirat di belakang semboyan-semboyan “pembangunan daerah” dan “anti-Pusat” dari kaum pemberontak. Mata rakyat menjadi makin terbuka lagi setelah terbukanya rahasia komplotan Sungai Dareh yang khianat itu. Sebagaimana diketahui rapat rahasia tersebut yang dihadiri antara lain oleh Z. Lubis, M. Simbolon, Dahlan Jambek, Achmad Husein, Moh. Natsir (Masyumi), Sumitro Djojohadikusumo (PSI) dan lain-lain telah menelorkan putusan untuk membentuk “Pemerintah Pusat Republik Indonesia” yang baru, yang kemudian ternyata berwujud apa yang mereka namakan “PRRI”.

Semakin merosotnya prestise kaum reaksi dan bersamaan dengan itu meningkatnya kesadaran rakyat dan alat-alat Negara yang patriotik telah memungkinkan timbulnya perkembangan-perkembangan baru lagi pada akhir tahun 1957. Dalam bulan November 1957 tejadilah untuk kedua kalinya aksi-aksi Rakyat yang di berbagai tempat hanya dapat digagalkan oleh “Dewan Banteng” dengan pengerahan kekuatan bersenjata yang luar biasa dan dengan penangkapan-penangkapan massal. Dalam bulan Desember 1958 dalam Angkatan Perang bekas KDMST berkembang gerakan Saptamarga yang dipelopori oleh perwira-perwira dan bintara-bintara yang patriotik untuk menjatuhkan kekuasaan klik Achmad Husein dan dengan demikian memulihkan hubungan normal antara Daerah dan Pusat. Dalam pada itu pertentangan-pertentangan antara tokoh-tokoh dan pendukung-pendukung “Dewan Banteng” semakin menghebat. Juga tokoh-tokoh kekuatan tengah nampak mengubah sikap mereka. Beberapa di antara mereka mulai mendengarkan suara yang menentang. Meskipun ancaman-ancaman penangkapan semakin deras diperdengarkan oleh penguasa-penguasa “Dewan Banteng”, ketika itu banyak sekali diadakan pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat rahasia di antara tokoh-tokoh partai yang melawan kaum pemberontak. Ini berarti bertambah luas dan kuatnya front anti-fasis.

Berhubung dengan perkembangan-perkembangan baru ini, pada tanggal 14 Januari 1958 Comite Propinsi mengeluarkan sebuah Statement, dimana antara lain dikatakan sebagai berikut: “Pada hari-hari yang paling akhir dan pada hari-hari ini tengah berlangsung perkembangan-perkembangan yang menunjukkan kemajuan yang penting. Ciri-ciri yang khas daripada perkembangan-perkembangan ini ialah (1) bahwa, kecuali golongan-golongan dan orang-orang yang paling berkepala batu, kalangan-kalangan yang luas daripada Rakyat menghendaki supaya keadaan yang serba kacau di bawah teror ‘Dewan Banteng’ diakhiri dan bahwa partai-partai dan orang-orang yang tadinya menentang secara sembunyi-sembunyi, sekarang memperdengarkan suaranya dan mulai mengadakan perlawanan secara terbuka, (2) bahwa, unsur-unsur patriotik di dalam Angkatan Perang sekarang juga tampil ke depan untuk bersama-sama Rakyat turut menyelamatkan Republik Indonesia dari pengacauan kaum separatis; dan (3) bahwa, bersamaan dengan bertambah luasnya perlawanan Rakyat dan turut ambil bagiannya Angkatan Perang dalam perlawanan ini, maka juga Pemerintah Pusat telah menunjukkan tindakan-tindakan yang lebih tegas dan lebih berani untuk tidak membiarkan keadaan sekarang berlarut-larut lebih lama lagi”.

“Situasi baru ini”, demikian Statement tersebut melanjutkan, “dengan jelas menunjukkan bahwa keadaan sekarang sudah lebih matang untuk mengakhiri rezim militer-fasis ‘Dewan Banteng’ yang sudah lebih setahun memperbudak Rakyat Sumatera Tengah. Tak perlu diterangkan lagi bahwa situasi baru ini menuntut dari setiap Komunis, dari setiap patriot, dan setiap demokrat lebih banyak keberanian, lebih banyak pengabdian, lebih banyak curahan pikiran dan tenaga, lebih banyak kecakapan dan ketangkasan serta kewaspadaan dan daya juang yang lebih tinggi. Tetaplah di pos masing-masing dan tunaikanlah kewajiban dengan kesadaran nasional yang sedalam-dalamnya. Seorang pun tidak boleh absen dalam perjuangan ini. Kepada Rakyat, terutama kepada kaum buruh dan kaum tani, PKI menyerukan supaya terus-menerus merapatkan dan memperkuat barisannya. Himpunlah kekuatan dan bersiaplah untuk perjuangan-perjuangan yang lebih sengit. Dorong majulah keadaan sekarang dengan aksi-aksi yang lebih luas dan jagalah supaya jangan kena provokasi. Istimewa kepada Angkatan Perang Republik Indonesia, PKI menyerukan supaya meneruskan darma-baktinya untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari bahaya petualangan-petualangan kaum reaksi”. Demikian Statement tersebut yang menjelaskan tugas-tugas yang sangat mendesak ketika itu.

Jadi pada pokoknya seluruh aktifitas Partai ketika itu dicurahkan untuk menggerakkan massa Rakyat menyokong gerakan Saptamarga yang bermaksud menggulingkan kekuasaan “Dewan Banteng” dan memulihkan hubungan yang normal antara Daerah dan Pusat. Tetapi gerakan-gerakan dan aksi-aksi ini belum berhasil mencapai tujuannya berhubung beberapa kelemahan dalam organisasi menyebabkan kurangnya kemampuan dalam menampung perkembangan situasi yang sangat cepat. Selain daripada itu keadaan lebih dipersukar lagi oleh sangat sempitnya ruang bergerak berhubung semakin mengamuknya teror kontra-revolusi. Namun demikian ia merupakan pengalaman penting bagi proletariat dan Rakyat Sumatera Barat.

3. Periode Perjuangan Rakyat Bersenjata

(15 Februari 1958 – 17 April 1958)

Kawan-kawan,

Periode ini dimulai dengan diproklamasikannya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (“PRRI”) oleh apa yang dinamakan “Dewan Perjuangan”. Proklamasi ini didahului ultimatum yang keras dari Achmad Husein, ketika itu sebagai ketua “Dewan Perjuangan”, kepada Pemerintah Pusat. Ini berarti bahwa kaum pemberontak dengan proklamasi ini berpindah dari pemberontakan yang tidak terang-terangan kepada pemberontakan yang terang-terangan.

Tetapi situasi yang sudah berubah, baik secara nasional maupun di daerah Sumatera Barat sendiri, telah memungkinkan Pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang tegas terhadap kaum pemberontak. Tindakan-tindakan tegas tersebut adalah berupa pemecatan terhadap Achmad Husein, Z. Lubis, M. Simbolon, dan Dahlan Jambek dari semua jabatannya dalam Angkatan Perang, pembekuan KDMST dan perintah supaya masing-masing Batalyon dalam slagorde KDMST berhubungan langsung dengan KSAD, perintah penangkapan terhadap orang-orang yang menamakan dirinya “menteri PRRI” dan kemudian pengerahan APRI untuk membasmi kaum pemberontak.

Tak perlu diterangkan lagi bahwa situasi baru ini menghadapkan Partai kepada tugas-tugas yang lebih berat lagi. Dengan menarik pelajaran dari kegagalan aksi-aksi Desember dan Januari, Partai berpendapat bahwa perimbangan kekuatan belumlah memungkinkan untuk dengan kekuatan front anti-fasis yang ada menggulingkan kekuasaan kaum pemberontak seluruhnya dan membebaskan daerah Sumatera Barat dari kekuasaan mereka. Oleh karena itu Partai memutuskan perhatiannya kepada usaha-usaha mengorganisasi aksi-aksi massa dan perlawanan bersenjata dan dimana mungkin membebaskan kota-kota dan kabupaten-kabupaten, dimana kekuatan pemberontak relatif lemah, sebagai bantuan penting bagi pasukan-pasukan Pemerintah yang akan mendarat. Sikap Partai ini dirumuskan ketika itu dalam Mimbar Partai No. 1/58.

Dalam menyimpulkan situasi, dalam Mimbar Partai tersebut dikatakan antara lain sebagai berikut: “Putusan Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap pemberontak adalah peristiwa yang sangat penting. Dengan ini Pemerintah secara resmi telah menghukum mereka sebagai pemberontak. Berdasarkan pengalaman-pengalamannya sendiri Pemerintah sudah sampai kepada kesimpulan bahwa kaum pemberontak memang tidak bisa diajak berunding dan bahwa tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali jalan kekerasan. Ini berarti bahwa Pemerintah kalau perlu akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk menggulung mereka. Jadi jelaslah bahwa dengan adanya putusan Pemerintah ini, kita telah memasuki tingkatan baru dalam perjuangan melawan kaum pemberontak, dimana nasib mereka telah ditentukan dan dimana kemenangan Republik telah dipastikan”.

“……… aksi-aksi perlawanan”, demikian Mimbar Partai tersebut selanjutnya, “tidak hanya harus diluaskan, tetapi juga harus ditingkatkan. Dewasa ini di mana saja mungkin mata rantai-mata rantai kekuasaan kaum pemberontak harus diputuskan dan di situ dipulihkan kembali kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah. Di daerah-daerah dimana hal ini belum mungkin maka di sana kaum pemberontak harus dihantam sehebat-hebatnya di mana saja dan kapan saja. Gudang-gudang senjata dan gudang-gudang makanan mereka harus diledakkan. Radio mereka yang setiap hari menyiarkan berita-berita bohong dan tidak henti-hentinya menghasut Rakyat supaya mau melawan Pemerintah harus dihancurkan. Jembatan-jembatan dan jalan-jalan yang diperlukan untuk gerakan-gerakan militer kaum pemberontak harus diputuskan. Demikian juga kawat-kawat telepon dan alat-alat perhubungan lainnya. Gerakan-gerakan militer mereka harus dihalang-halangi dan senjata-senjata mereka harus direbut. Usaha-usaha sabotase dan bumi hangus oleh kaum pemberontak harus digagalkan. Baik Rakyat maupun kesatuan-kesatuan tentara yang masih setia kepada Pemerintah harus berusaha untuk menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak. Jangan biarkan mereka meloloskan diri ke luar negeri. Disamping itu pasukan-pasukan yang melarikan diri dari kaum pemberontak harus diberi perlindungan dan bantuan secukupnya oleh Rakyat. Pendeknya kita harus lakukan apa saja yang merugikan dan melemahkan kaum pemberontak dan menguntungkan Pemerintah. Jangan biarkan mereka sekejap pun tinggal diam dan ganggulah mereka terus-menerus sehingga mereka menjadi panik. Musuh yang telah jatuh panik pasti tidak akan mampu lagi berbuat apa-apa. Singkatnya, kaum pemberontak harus dibikin lumpuh baik di lapangan militer maupun di lapangan politik dan ekonomi”. Demikian Mimbar Partai tersebut.

Jadi jelaslah bahwa politik Partai yang pokok dalam periode ini sebagai dikatakan di atas ialah mendorong dimulainya dan dikembangkannya perlawanan bersenjata dan dimana mungkin membebaskan kota-kota dan daerah-daerah dari kekuasaan kaum pemberontak serta memulihkan kekuasaan Pemerintah Republik yang sah di tempat-tempat itu.

Dalam hal ini penting sekali arti pertemuan besar para pemuda dari hampir seluruh daerah yang dilangsungkan di Payobado (Kabupaten Padang-Pariaman) pada tanggal 1-6 Maret 1958 yang mengongkritkan perlawanan bersenjata Rakyat dengan membentuk barisan-barisan gerilya Rakyat. Dengan cepat barisan-barisan gerilya Rakyat itu meluas dan di mana-mana mereka mulai beraksi. Di banyak tempat terjadi penyerangan-penyerangan mendadak terhadap pos-pos pemberontak dan pencegatan-pencegatan terhadap satuan-satuan pemberontak yang terpencar-pencar. Di beberapa kota, misalnya di Padang Panjang, Sicincin, Pariaman, dan Padang terjadi penggeranatan-penggeranatan. Untuk menghalang-halangi gerakan militer pemberontak, mereka mengorganisasi gerakan pemutusan kawat-kawat telepon, merusak jalan-jalan, dan menebang batang-batang kayu di pinggir jalan. Adalah sangat mengharukan bahwa barisan-barisan gerilya ini yang mulai dengan senjata-senjata sederhana bikinan sendiri berangsur-angsur menjadi barisan-barisan yang persenjataannya makin baik sebagai hasil dari pencegatan-pencegatan dan perampasan-perampasan yang mereka lakukan terhadap satuan-satuan pemberontak. Dalam pada itu di Pasaman terjadi pemberontakan Batalyon Imam Bonjol. Tetapi karena menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar berhubung berkumpulnya kekuatan pemberontak ke daerah tersebut Batalyon ini terpaksa menyingkir ke hutan-hutan dan kemudian setelah APRI mendarat menggabungkan diri dengan APRI. Selain daripada itu juga satuan-satuan militer dan satuan-satuan polisi serta Mobrig yang setia kepada Pemerintah mengadakan perlawanan-perlawanan dan melepaskan diri dari kaum pemberontak.

Bersamaan dengan timbulnya aksi-aksi bersenjata ini kaum pemberontak juga dibikin kalang-kabut oleh demonstrasi-demonstrasi Rakyat di beberapa tempat. Di antaranya ialah: demonstrasi raksasa 20.000 Rakyat VII Koto (Kabupaten Padang-Pariaman), demonstrasi-demonstrasi Rakyat Sicincin (Kabupaten Padang-Pariaman) dan Talawi (Kabupaten Sawah Lunto) pada akhir Februari dan awal Maret 1958.

Tak dapat disangkal bahwa semua aksi-aksi dan perlawanan-perlawanan bersenjata Rakyat ini merupakan bantuan yang sangat penting bagi pendaratan dan gerakan pasukan-pasukan Pemerintah yang mulai mendarat di Padang pada tanggal 17 April 1958.

4. Periode Pembebasan dan Pematahan Kekuatan Pokok Pemberontak

(17 April 1958 – 17 September 1958)

Kawan-kawan,

Periode ini dimulai dengan direbut dan didudukinya Kota Padang oleh APRI pada tanggal 17 April 1958. Sementara itu aksi-aksi Rakyat yang semakin hebat di daerah-daerah, di beberapa tempat meletus menjadi pemberontakan militer dan Rakyat, sehingga berhasil membebaskan daerah-daerah tersebut sebelum kedatangan APRI. Dalam hubungan ini perlu disebut pembebasan Kabupaten Sawah Lunto oleh suatu pemberontakan militer dan kaum buruh Tambang yang disokong oleh Rakyat pada tanggal 22 April 1958, pembebasan Kabupaten Padang-Pariaman oleh barisan gerilya Rakyat pada tanggal 23 April 1958 dan pembebasan Kecamatan Tarusan oleh kekuatan militer dan Rakyat pada tanggal 24 April 1958. Sebagai dikatakan di atas aksi-aksi Rakyat dan pemberontakan-pemberontakan ini merupakan bantuan yang sangat penting bagi kelancaran dan gerakan pasukan-pasukan APRI selanjutnya. Dengan ini terbuktilah di dalam praktek kebenaran garis “dwitunggal Rakyat dan Tentara”, yaitu garis “Rakyat bantu Tentara dan Tentara bantu Rakyat” atau “Saling-bantu Rakyat dan Tentara”.

Gerakan APRI selanjutnya berjalan dengan lancar sekali. Keunggulan bertempur, ketinggian daya tempur, dan ketepatan taktik APRI di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani telah membikin musuh kucar-kacir dan tidak berdaya sama sekali, sehingga dalam waktu singkat sebagian besar kota-kota penting telah dapat dibebaskan. Kemudian gerakan operasi besar-besaran yang dilancarkan selama pertengahan bulan September telah lebih menghancurkan tempat-tempat konsentrasi yang penting dari pemberontak dan telah dapat membebaskan Kabupaten-Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci yang terkenal sebagai daerah beras. Yang belakangan ini dibebaskan pada tanggal 17 September 1958.

Dengan dibebaskannya sebagian besar kota-kota penting dengan daerah-daerah sekitarnya, terutama kota-kota Padang dan Bukittinggi yang sebelumnya merupakan pusat pemerintahan pemberontak dan landasan politik mereka dalam hubungan-hubungan internasional, dan dengan terdesaknya pemberontak ke hutan-hutan, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kekuatan bersenjata pemberontak pada pokoknya telah dapat dipatahkan dan bahwa dengan demikian kita memasuki taraf baru, yaitu taraf perang anti-gerilya.

Dalam keadaan dimana barisan mereka telah menjadi berantakan sama sekali dan kehancuran mereka tak dapat dihindarkan lagi, kaum pemberontak menjadi lebih kalap dan tidak segan-segan untuk bertindak nekad dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan massal terhadap para tawanan. Demikianlah mereka telah membunuh 137 orang tawanan di Situjuh pada tanggal 23 Mei 1958, di Suliki 179 orang pada tanggal 27 Mei 1958, dan di Atar 54 orang pada tanggal 5 Agustus 1958. Selain daripada itu masih ada pembunuhan-pembunuhan massal di tempat-tempat lain yang belum diketahui sampai kini jumlahnya yang pasti. Sebagian besar dari mereka itu adalah anggota-anggota dan kader-kader Komunis. Tulang-belulang mereka adalah saksi dari kesetiaan mereka kepada tanah air dan Komunisme.

Kawan-kawan,

Dengan telah dibebaskannya sebagian daerah, maka sekarang terdapatlah dua macam daerah, yaitu daerah-daerah yang sudah dibebaskan dan daerah-daerah yang belum dibebaskan . Dengan sendirinya Rakyat dan Partai di dua daerah tersebut mempunyai tugas yang berbeda pula. Tugas-tugas ini dirumuskan dalam seruan Comite Propinsi pada tanggal 30 April 1958.

“Berhubung dengan itu (dua macam daerah – NS)”, demikian Seruan tersebut, “PKI menyerukan kepada Rakyat, kepada Angkatan Perang dan alat-alat Negara lainnya yang kini masih dikuasai oleh kaum pemberontak supaya akan lebih mengobarkan perlawanan dan pemberontakan terhadap mereka. Dimana mungkin gulingkanlah kekuasaan mereka dan dirikanlah di situ kekuasaan Republik yang sah sebagai yang dengan berhasil telah dilaksanakan oleh Rakyat Padang-Pariaman, Sawahlunto-Sijunjung dan Tarusan. Inilah cara yang setepat-tepatnya untuk membantu Pasukan-Pasukan Gabungan dalam menunaikan tugas-tugasnya. Kepada Rakyat di daerah-daerah yang sudah dibebaskan, PKI menyerukan supaya dengan sekuat tenaga membantu APRI dalam memulihkan keadaan yang normal di segala lapangan. Di atas segala-galanya Rakyat harus turut aktif memulihkan dan memelihara keamanan. Juga dalam menjaga jalan-jalan, jembatan-jembatan, dan alat-alat perhubungan lainnya, Rakyat harus ambil bagian yang aktif supaya jangan sampai dirusak oleh sisa-sisa anasir pemberontak dan harus tetap waspada terhadap kemungkinan aksi-aksi sabot lainnya dari pihak mereka. Disamping itu berikanlah bantuan sebesar-besarnya dalam memulihkan kekuasaan sipil dan adakanlah penjelasan-penjelasan yang benar kepada Rakyat tentang keadaan sekarang. Pendeknya daerah-daerah yang sudah dibebaskan harus segera mencapai stabilisasi di lapangan politik, ekonomi, dan militer”.

Jadi jelaslah bahwa tugas pokok Rakyat dan Partai dalam periode ini ialah: di daerah-daerah yang belum dibebaskan supaya mengobarkan perlawanan dan pemberontakan terhadap kaum pemberontak dan di daerah-daerah yang sudah dibebaskan supaya membantu APRI dalam menormalisasi keadaan.

Bertolak dari pokok pendirian menormalisasi keadaan, maka di daerah-daerah yang sudah dibebaskan barisan-barisan gerilya Rakyat segera dibubarkan dan dilebur ke dalam OKR, hingga dengan demikian mendapat kedudukan setengah resmi di bawah pimpinan APRI. Tindakan ini tidak hanya penting untuk menertibkan keadaan, tetapi juga sangat penting untuk mencegah fitnahan-fitnahan dari pihak elemen-elemen reaksioner.

Juga rakyat di desa-desa dengan cepat bergerak mengorganisasi Pemerintahan negeri (desa) dengan memilih wali negeri-wali negeri baru untuk menggantikan wali negeri-wali negeri yang memihak pemberontak. Inisiatif rakyat ini tidak hanya penting artinya dalam usaha menormalisasi keadaan Pemerintahan, tetapi juga penting dalam memulihkan keamanan dan pembangunan OKR.

Partai juga ambil bagian yang aktif dalam mendorong terbentuknya Pemerintahan-Pemerintahan sementara (koordinator-koordinator pemerintahan sipil) di daerah-daerah yang sudah dibebaskan. Semuanya ini telah sangat meringankan beban APRI dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam pengalaman yang pendek saja ternyata bahwa OKR-OKR tidak hanya penting untuk tujuan operasi dan pembersihan, tetapi juga penting untuk menyetabilkan keamanan dan kelancaran perekonomian Rakyat. Dengan terbentuknya OKR, yang dengan mengkordinasi dan di bawah pimpinan APRI turut dalam gerakan-gerakan operasi dan pembersihan, maka hasil-hasil yang dicapai adalah lebih baik. Selain daripada itu adanya OKR juga sangat penting dalam usaha memberantas mata-mata musuh.

5. Periode Pembasmian Sisa-Sisa Pemberontak Sampai ke Akar-Akarnya

(17 September 1958 – sampai sekarang)

Kawan-kawan,

Sesudah kekuatan bersenjata pemberontak pada pokoknya telah dapat dipatahkan, maka tugas yang paling mendesak ialah membasmi sisa-sisa kaum pemberontak sampai ke akar-akarnya, dan menormalisasi keadaan.

Soal yang paling pokok dalam hal ini ialah tetap adanya politik Pemerintah yang tegas dan soal mengikutsertakan Rakyat dalam arti yang seluas-luasnya. Tanpa mengikutsertakan rakyat, kita tak mungkinlah berbicara tentang penumpasan sisa-sisa kaum pemberontak sampai ke akar-akarnya. Tetapi adalah tidak mudah bagi Partai untuk memenangkan prinsip ini. Sementara pejabat karena didorong oleh maksud-maksud untuk membendung perkembangan kekuatan progresif telah mengadakan pembatasan-pembatasan kegiatan politik, termasuk pembatasan bagi partai-partai dan golongan-golongan yang melawan kaum pemberontak. Tak perlu diterangkan lagi bahwa politik membendung kekuatan progresif ini telah sangat merugikan usaha membasmi kaum pemberontak dan menormalisasi keadaan.

Dalam hubungan ini penting sekali arti “Program 10 Pasal” dari Comite Propinsi yang disampaikan sebagai memorandum kepada Pemerintah dan Penguasa Perang Pusat dan Daerah pada tanggal 22 September 1959, yang mendapat sambutan baik dari massa Rakyat, partai-partai maupun dari pejabat-pejabat sipil dan militer. Program 10 Pasal tersebut pada pokoknya menunjukkan bahwa diikutsertakannya dan dimobilisasinya Rakyat itu adalah syarat yang tidak dapat tidak dalam usaha membasmi pemberontak dan bahwa ini hanya mungkin dicapai dengan jalan memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat yang melawan pemberontak.

Berpedoman kepada Program 10 pasal, Partai kita adalah peserta aktif dalam Musyawarah Rakyat Sumatera Barat (MBRSB) yang sukses itu yang dimulai dengan pencetusan Manifes Persatuan tanggal 17 November 1958 yang ditandatangani oleh 33 partai, organisasi dan golongan fungsional tingkat Propinsi. Berhasilnya MBRSB yang dilangsungkan tanggal 9-15 Februari 1959 yang mendapat sokongan penuh dari Komandan Operasi 17 Agustus Letkol Pranoto dan Gubernur Kaharuddin gelar Dt. Rangkayo Besar berarti langkah penting dalam memenangkan prinsip mengikutsertakan Rakyat dalam usaha membasmi pemberontak dan dalam pekerjaan front persatuan.

Tentang ini akan saya bicarakan lebih lanjut dalam bagian lain.

 

II. Sedikit tentang Masalah Ideologi dalam Perjuangan Melawan Fasisme

Kawan-kawan,

Masalah ideologi adalah masalah yang menentukan segala-galanya dalam semua keadaan. Tetapi dalam perjuangan melawan fasisme masalah ideologi adalah masalah yang paling menonjol, masalah yang pertama-tama harus mendapat perhatian Partai.

Perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner, sebagaimana halnya dengan perjuangan melawan fasisme pada umumnya, adalah perjuangan melawan musuh yang paling biadab. Ia adalah perjuangan proletariat dan Rakyat pekerja melawan serangan-serangan kapital yang paling bengis. Ia adalah pertarungan yang sengit dimana fasisme telah bertekad untuk memusnahkan putra-putra terbaik dari proletariat dan Rakyat pekerja. Dari sini saja dapat dilihat bahwa perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner itu bukanlah perjuangan yang ringan.

Selain daripada itu berhubung kaum pemberontak untuk sementara dalam kedudukan yang lebih kuat dan berkuasa, maka adalah tidak bisa lain bahwa Partai harus bekerja dalam keadaan-keadaan yang berat dan sukar, dalam keadaan senantiasa diuber-uber dan dikejar. Di daerah seperti Sumatera Barat adalah tidak mudah bagi pejuang-pejuang revolusioner untuk menghindarkan diri dari penangkapan-penangkapan. Ini ialah karena keadaan alamnya dan masyarakatnya yang tidak menyediakan syarat-syarat yang cukup baik bagi pekerjaan-pekerjaan revolusioner dalam keadaan-keadaan semacam itu. Di Sumatera Barat tidak ada kota-kota besar dengan jumlah penduduk yang besar, dimana orang-orang tidak begitu mudah ditangkap dan digerebek oleh alat-alat kekuatan fasis. Kota-kotanya kecil dimana orang bisa dikenal di setiap sudut. Desa-desanya juga tidak besar-besar dengan jumlah penduduk yang tipis. Di setiap desa terdapat massa partai-partai kepala batu yang fanatik, malahan di banyak desa mereka merupakan mayoritas, yang setiap saat siap sedia untuk melaporkan setiap orang baru yang mereka curigai kepada alat-alat kekuasaan kaum fasis. Selain daripada itu karena berlakunya sistem matriakat, di desa-desa Sumatera Barat jarang sekali terdapat rumah-rumah dengan hanya satu keluarga, kebanyakan lebih dari satu atau banyak keluarga. Masing-masing keluarga  itu pula memasuki atau menjadi pengikut dari partai-partai yang berbeda-beda. Oleh karena itu bagi seorang revolusioner tidaklah begitu mudah untuk mendapat tempat pertemuan atau tempat bersembunyi dari pengejaran-pengejaran kaum fasis. Menghadapi kenyataan ini, sudah sejak zaman kolonialisme Belanda dulu kaum Komunis mencari pemecahannya dalam mengombinasikan faktor massa dan faktor alam untuk di satu pihak bisa menghindarkan diri dari penangkapan-penangkapan dan di pihak lain bisa meneruskan pekerjaan-pekerjaan revolusioner.

Jadi jelaslah bahwa Partai kita selama perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner “Dewan Banteng-PRRI” itu menghadapi kesukaran yang dobel. Dalam keadaan yang demikian itu orang hanya mungkin turut mengambil bagian yang aktif dalam perjuangan melawan fasisme, apabila ia sudah yakin benar bahwa jalan revolusioner yang ditempuhnya adalah jalan yang setepat-tepatnya, apabila ia sudah siap sedia dalam pikirannya untuk bergelimang dengan kesukaran-kesukaran dan kesulitan-kesulitan dalam waktu yang lama. Pendeknya ia menuntut keteguhan yang tidak mungkin goncang, keteguhan ideologi proletariat, ideologi Marxisme-Leninisme. Itulah sebabnya mengapa masalah ideologi merupakan masalah yang paling menonjol dalam perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner.

Kawan-kawan,

Bagaimana pengalaman Partai kita di Sumatera Barat? Dalam keadaan demikian itu, dimana kontra-revolusioner mengamuk dan barisan kelas buruh untuk sementara terdesak, timbulnya penyelewengan ideologi, terutama penyelewengan kanan, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Dalam kehidupan Partai kita penyelewengan kanan ini terkenal dengan nama menyerahisme. Beberapa kader dan anggota Partai karena tidak tahan menghadapi kesukaran-kesukaran dan kesulitan-kesulitan menjadi goncang imannya dan lalu menjadi pasif. Sebagaimana kita semua maklum, ketidakteguhan ini adalah pernyataan ketidakteguhan borjuis kecil, jadi pernyataan ideologi borjuis kecil yang menonjol pada saat-saat ujian itu.

Pengalaman gerakan kelas buruh di mana-mana juga menunjukkan hal-hal yang sama. Ada kalanya luas dan ada kalanya tidak berarti, tergantung kepada pengalaman-pengalaman revolusioner yang telah dialaminya dan derajat pendidikan Marxisme-Leninisme yang dimilikinya. Meskipun demikian asalkan dalam pimpinan Partai terjamin kemurnian ideologi Marxisme-Leninisme, maka penyelewengan-penyelewengan itu bisa diatasi dan akhirnya bisa dilikuidasi, sehingga ia tidak atau tidak begitu berakibat merugikan Partai. Tetapi apabila yang terkena itu adalah pimpinan Partai sendiri, maka sudah barang tentu ia berakibat sangat merugikan Partai. Di sini kita lihat peranan yang menentukan dari pendidikan Marxisme-Leninisme itu dalam menyapu bersih ideologi non-proletariat di dalam Partai dan dengan demikian mengecilkan kemungkinan-kemungkinan penyelewengan dalam ideologi dan politik. Sebagai dikatakan oleh Kawan Liu Sau-tji bahwa yang menentukan itu akhirnya adalah pendidikan Marxisme-Leninisme.

Apa yang menjadi akar penyelewengan ideologi, penyakit menyerahisme ini? Keterangannya ialah bahwa sebagian terbesar dari anggota Partai berasal dari elemen-elemen borjuis kecil dan bahwa mereka belum mendapat pendidikan Marxisme-Leninisme yang baik dan belum mempunyai pengalaman-pengalaman revolusioner yang cukup banyak.

Kawan-kawan,

Tak perlu diterangkan lagi bahwa penyakit menyerahisme itu merupakan perintang bagi pelaksanaan politik Partai dalam mengembangkan perjuangan melawan kaum pemberontak. Oleh karena itulah perjuangan melawan menyerahisme itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan melawan kaum pemberontak. Ia selalu merupakan bagian yang penting dalam konferensi-konferensi, rapat-rapat pleno, dan rapat-rapat Partai lainnya serta dalam penerbitan-penerbitan Partai ketika itu.

Tentang akibat-akibatnya dan bentuk-bentuknya sudah pernah saya tulis dalam brosur Menyingkap Tabir Dewan Banteng dan oleh karena itu tak perlu dikemukakan lagi di sini. Tetapi masih ada yang belum ditulis dan kiranya perlu dikemukakan di sini.

Pertama-tama perlu disimpulkan bahwa ketidakteguhan borjuis kecil itu, disamping faktor-faktor lain, juga telah memainkan peranan negatif yang penting dalam kegagalan aksi-aksi Desember 1957 dan Januari 1958. Dengan demikian keadaan objektif yang baik ketika itu tidak dapat digunakan semaksimal-maksimalnya untuk setidak-tidaknya memberikan pukulan-pukulan yang keras terhadap kaum pemberontak.

Kemudian dalam periode ke-3, yakni setelah kaum pemberontak memproklamasikan “PRRI” dan setelah Pemerintah bertindak tegas, menyerahisme itu muncul lagi dalam bentuk yang baru, yakni menungguisme. Sebagai saya katakan di bagian muka, politik Partai ketika itu ialah supaya mengorganisasi aksi-aksi massa dan perlawanan bersenjata dan dimana mungkin membebaskan kota-kota dan kabupaten-kabupaten sebagai bantuan penting bagi pasukan-pasukan Pemerintah yang akan mendarat. Tetapi ada kawan-kawan yang berpendapat bahwa dengan akan mendaratnya pasukan-pasukan Pemerintah, maka kita tak perlu lagi berbuat apa-apa. Partai mengadakan perlawanan yang tidak mengenal ampun terhadap pikiran-pikiran ini.

Di dalam Mimbar Partai No. 1/58 antara lain ditulis sebagai berikut: “Pada pokoknya kawan-kawan yang dijangkiti penyakit ini hanya mau menunggu segala penyelesaian dari Pemerintah Pusat tanpa berbuat apa-apa. Alangkah terbaliknya efek sikap tegas Pemerintah itu pada waktu-waktu ini, yang seharusnya menimbulkan semangat yang semakin berkobar-kobar pada diri setiap pejuang dan apalagi pada diri setiap Komunis. Karena bukankah dengan sikap tegas Pemerintah itu kehancuran kaum pemberontak hanya tinggal soal waktunya saja lagi dan kemenangan Republik sudah berada di ambang pintu? Alangkah pula bertentangannya sikap kawan-kawan ini dengan semangat dan tuntutan massa yang dengan sikap Pemerintah itu menghendaki supaya kaum pemberontak digulung sekarang juga. Dari sini juga menjadi jelas betapa kawan-kawan ini tidak mengetahui semangat dan tuntutan massa dan betapa mereka terlepas dari kehidupan massa. Bukankah misalnya demonstrasi raksasa 20.000 Rakyat VII Koto yang gagah berani dan demonstrasi-demonstrasi di tempat-tempat lain pada awal Maret yang lalu adalah bukti tentang semangat dan kemauan massa?”

Selanjutnya: “……… kalau kita dalami persoalannya, di pundak siapakah pertama-tama terletak tanggung jawab untuk melaksanakan tugas ini (tugas menggulingkan pemberontak – NS)? Adakah ia pertama-tama tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pimpinan Angkatan Perang? Adakah ia pertama-tama tanggung jawab Rakyat di daerah-daerah lain? Sama sekali tidak. Sesungguhnya kewajiban Rakyat Sumatera Barat sendiri, termasuk Angkatan Perangnya. Mengapa? Justru karena komplotan pemberontak itu bersarang di daerah ini. Justru karena daerah inilah yang mereka jadikan basis kekuatan mereka. Dan justru pada kening putra-putra Minang-lah sekarang tercoreng arang akibat perbuatan khianat pemberontak-pemberontak ini. Jadi misalnya tidak ada perlawanan sama sekali dari Rakyat dan Angkatan Perang di daerah ini, maka hal itu akan berarti bahwa di sini seolah-olah tidak ada putra-putra Minang yang berdarah patriot dan seolah-olah di Sumatera Barat ini tidak ada pembela-pembela Proklamasi 1945. Untuk berbicara sebagai seorang yang berasal dari suku Minang, maka ini adalah aib yang sebesar-besarnya bagi kita. Ini menunjukkan kurang mendalamnya kesadaran ber-Republik dan kesadaran 17 Agustus 1945. Sedangkan untuk seorang kekasih orang mau mengorbankan segala-galanya, mengapa untuk Republik dan tanah air yang kini terancam bahaya perpecahan dan keruntuhan akibat petualangan-petualangan beberapa gelintir manusia-manusia khianat, justru tidak? Lagi pula hal ini sangat tidak sesuai dengan perjuangan dan pengorbanan Rakyat Sumatera Barat sendiri beserta Angkatan Perangnya dalam mempertahankan Proklamasi dan menegakkan Republik dalam tahun-tahun Revolusi di masa yang lalu. Lebih-lebih bagi kaum Komunis tidak ada aib yang sebesar ini, karena di manakah lagi terletaknya kedudukan pelopor dari Partai Komunis?” Demikian ditulis dalam Mimbar Partai tersebut.

Dari kutipan ini jelaslah Partai ketika itu melakukan perjuangan yang tidak mengenal ampun terhadap penyakit menungguisme sebagai syarat mutlak untuk meluaskan perlawanan bersenjata Rakyat.

Kawan-kawan,

Dengan banyak membicarakan penyakit menyerahisme sama sekali tidak berarti bahwa ideologi inilah yang berkuasa dalam Partai kita di Sumatera Barat. Sebagai saya katakan tadi ia hanya merupakan penyakit yang menghinggapi beberapa kawan yang di sana-sini merintangi pelaksanaan politik Partai dan oleh karena itu harus dibasmi sampai ke akar-akarnya agar politik Partai dapat dilaksanakan dengan baik.

Dari kenyataan bahwa politik Partai pada pokoknya berhasil dilaksanakan, maka tidak mungkin diambil kesimpulan lain bahwa Partai kita di Sumatera Barat selama perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner itu dipimpin oleh ideologi yang tepat. Selain daripada itu perlu pula saya kemukakan di sini bahwa sejarah Partai yang singkat selama perjuangan melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner itu kaya dengan sikap-sikap pahlawan dari kader-kader dan anggota-anggotanya. Sebagai diketahui banyak anggota dan kader Partai yang ditangkap, disiksa, dan kemudian dibunuh. Tetapi adalah kenyataan bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang berkhianat dalam arti membocorkan rahasia Partai atau menjadi kaki tangan musuh, dan tidak sedikit yang menunjukkan keteguhan pendirian meski dalam menghadapi maut sekalipun. Untuk menyebut satu contoh kiranya patut apabila di sini saya kemukakan sikap Kawan Mawardi, anggota Sekretariat Comite Propinsi, ketika ia bersama-sama dengan kawan-kawan lainnya akan dibunuh oleh serdadu-serdadu “PRRI” dalam pembunuhan massal di Atar pada tanggal 5 Agustus 1958 yang mengerikan itu. Demikian katanya: “Saya tidak percaya akan keterangan saudara itu. Saya juga tidak percaya bahwa kami di tempat yang saudara katakan itu akan diistirahatkan sambil menunggu keputusan terhadap kami, dan juga terhadap kami akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Karena di antara kami sudah ada yang berulang-ulang diperiksa. Saya tidak yakin bahwa di tempat yang saudara katakan itu, kami bukan akan diistirahatkan, tetapi saudara akan membunuh dan membakar kami di sana. Semenjak tadi malam kami telah mengetahui rencana saudara itu. Karena itu saya lebih suka kalau saudara hendak membunuh kami, lebih baik saudara membunuh atau menembaki kami di sini saja, agar Rakyat di kampung ini menjadi saksi atas kematian kami. Rakyatlah kelak yang akan menentukan di pihak yang benarkah kami atau tidak! Tetapi saya yakin bahwa kamilah yang benar. Kematian kami adalah karena membela Republik Proklamasi dan menentang ‘PRRI’ yang saudara bela. Saya yakin bahwa Republik Proklamasi yang kami bela pasti menang dan ‘PRRI’ yang saudara bela pasti hancur”. (Zulkifli Suleiman, “Laporan dari Kamp Maut”, hal. 26). Mungkinkah sikap pahlawan yang demikian itu jika tidak berdasarkan ideologi yang teguh, ideologi proletar sejati?

Sudah barang tentu semuanya ini bisa terjadi karena kader-kader dan anggota-anggota Partai itu sedikit banyak telah mendapat pendidikan Marxisme-Leninisme walaupun belum pendidikan yang baik dan sedikit banyak juga telah mempunyai pengalaman-pengalaman revolusioner dalam berbagai aksi massa walaupun belum banyak.

Kawan-kawan,

Berdasarkan pengalaman-pengalaman Partai kita di Sumatera Barat sebagai saya uraikan di atas, maka saya makin merasakan tepatnya kesimpulan dalam Laporan Umum Kawan Aidit yang mengatakan bahwa salah satu tugas kita yang terpenting sekarang ialah meneruskan pembangunan Partai dengan penekanan pada segi pembangunan ideologi dan bahwa untuk itu di masa-masa yang akan datang akan lebih diutamakan pelajaran filsafat Marxisme-Leninisme, yaitu filsafat Materialisme Dialektika dan Histori.

Kawan-kawan,

Tadi sudah saya katakan bahwa pengalaman dan perjuangan-perjuangan revolusioner itu adalah penting sekali bagi pembentukan ideologi kader dan anggota Partai. Oleh karena itu perjuangan Partai kita dalam melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner itu dengan sendirinya telah memperkuat ideologi Partai kita di Sumatera Barat. Dalam hubungan ini benar sekali apa yang dikatakan oleh Kawan Aidit di dalam Laporannya kepada Sidang Kongres kita ini bahwa “perlawanan gagah berani dan pengorbanan-pengorbanan besar yang sudah diberikan oleh anggota-anggota Partai ini telah menggembleng seluruh barisan Partai kita, telah lebih mengeratkan hubungan Partai kita dengan massa Rakyat dan dengan alat-alat Negara yang patriotik. Bersamaan dengan itu ia juga telah membajakan persatuan di dalam Partai, persatuan di kalangan pimpinan atasan, persatuan antara pimpinan atasan dengan bawahan dan persatuan antara pimpinan dengan massa anggota. Kecintaan dan solidaritas antara sesama Komunis adalah semangat yang berkuasa dalam Partai kita, dan semangat ini pulalah yang telah memberi inspirasi kepada anggota Partai untuk lebih sungguh-sungguh mengabdikan diri kepada kepentingan tanah air dan Rakyat pekerja”. Demikian Kawan Aidit.

III. Sedikit tentang Masalah Organisasi dalam Perjuangan Melawan Fasisme

Kawan-kawan,

Sekarang marilah saya beralih kepada soal-soal organisasi. Setelah politik Partai itu ditetapkan dan bersamaan dengan perjuangan menyingkirkan rintangan-rintangan ideologi di dalam Partai, maka soal yang seharusnya mendapat perhatian utama daripada Partai ialah masalah organisasi Partai. Sebab walaupun politik yang benar itu telah dirumuskan dan walaupun Partai telah bulat dalam pendirian untuk melancarkan perlawanan terhadap kaum pemberontak, hal itu tetap akan merupakan omong-kosong belaka jika tidak diiringi dengan usaha-usaha mengonsolidasi Partai.

Tetapi harus diakui bahwa Partai kita di Sumatera Barat justru mengenai soal yang penting ini mempunyai banyak keteledoran. Ini ternyata dari sangat kurangnya kesimpulan-kesimpulan mengenai organisasi selama perjuangan melawan kaum pemberontak itu. Keteledoran-keteledoran ini sudah barang tentu telah sangat mengurangi hasil-hasil yang seharusnya dapat dicapai.

Namun demikian dalam keadaan-keadaan yang sukar selama perjuangan melawan kaum pemberontak itu Partai kita tetap berusaha untuk sejauh mungkin dilaksanakan memenuhi prinsip-prinsip pokok organisasi daripada Partai. Sentralisme-demokratis sebagai prinsip pokok organisasi Partai Leninis tetap merupakan prinsip yang memimpin dalam kehidupan keorganisasian Partai kita. Sebagai dianjurkan oleh Marxisme-Leninisme untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan melawan fasisme, sentralisme yang tinggi itu merupakan syarat yang tidak boleh tidak. Tetapi sebagai juga telah menjadi pendirian kita, sentralisme yang tinggi hanya bisa kita capai melalui pelaksanaan demokrasi dalam Partai. Dalam keadaan bagaimana pun juga kita harus setia kepada keharusan memadu kedua-duanya secara dialektis. Oleh karena itulah Partai kita di Sumatera Barat dalam perjuangan melawan fasisme itu tidak hanya berusaha mempertahankan demokrasi dalam Partai, tetapi juga berusaha untuk terus-menerus mengembangkannya. Ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa dalam hampir satu setengah tahun di bawah kekuasaan “Dewan Banteng-PRRI” itu Comite Propinsi telah melaksanakan 3 kali Konferensi Daerah, 3 kali Rapat Pleno, 1 kali Konferensi Wanita Komunis, dan banyak rapat-rapat kader sebagai yang dimungkinkan oleh pasal 24 Konstitusi Partai yang lama. Rapat-rapat kader ini kadang-kadang memainkan peranan yang penting sekali dalam menyatukan pandangan dan pendapat-pendapat, dalam membasmi menyerahisme dan dalam membulatkan pendirian di dalam Partai bahwa adalah perlu sekali untuk melancarkan perlawanan terhadap kaum pemberontak.

Tetapi memang ada masa-masa dimana Konferensi dan Rapat-Rapat Pleno itu tidak mungkin diadakan, misalnya sesudah aksi-aksi Agustus dimana ketika itu teror fasisme mengamuk sejadi-jadinya. Dalam masa yang demikian itu Partai memberi tekanan kepada keharusan dipatuhinya sentralisme Partai dengan tiada bersyarat. Untuk ini Partai melancarkan gerakan memperkuat disiplin Partai dan melawan pikiran-pikiran yang mau mengurangi dan malahan mau meniadakan rapat-rapat organisasi Partai. Melalui tulisan atau pertemuan-pertemuan kecil Partai memberikan penjelasan tentang ketentuan-ketentuan Konstitusi Partai yang bersangkutan dengan hal ini dan menekankan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan ini merupakan kesalahan yang serius. Juga Partai menjelaskan bahwa berhubung mengamuknya teror fasisme rapat-rapat organisasi-organisasi Partai tidak hanya harus dikurangi, tetapi justru harus diperbanyak dan bahwa bukan rapatnya yang harus dikurangi atau ditiadakan tetapi bentuknya yang harus diubah.

Timbulnya kecenderungan untuk tidak mematuhi disiplin Partai dan untuk mengurangi dan meniadakan rapat-rapat organisasi-organisasi Partai itu erat sekali hubungannya dengan adanya menyerahisme dalam lapangan ideologi dalam masa itu. Ia adalah pencerminan oportunisme kanan dalam lapangan organisasi ideologi dan politik. Oleh karena itu perlawanan terhadap kedua-duanya tidak dapat tidak harus disejalankan.

Tetapi dalam masa-masa yang sukar sekalipun, Partai tidak sama sekali tidak melaksanakan demokrasi di dalam Partai. Sebagai dikatakan di bagian muka dalam bulan September 1957 Comite Propinsi telah melangsungkan Rapat Plenonya di luar daerah. Ini satu cara untuk tetap melaksanakan demokrasi di dalam Partai dalam masa itu. Cara yang lain ialah dengan mengadakan sistem “penghubung”. Berhubung sudah sangat sempitnya ruang bergerak bagi fungsionaris-fungsionaris Partai karena mengamuknya teror fasisme, tiap Comite Partai melatih sejumlah kader Partai yang mampu mendiskusikan masalah-masalah politik dan organisasi untuk dalam waktu-waktu tertentu ditugaskan menyampaikan instruksi-instruksi Partai kepada Comite bawahan dan menerima pikiran-pikiran dari Comite-Comite bawahan itu serta meminta instruksi dan menyampaikan pikiran-pikiran kepada Comite atasan. Dengan sistem ini dimaksudkan untuk tetap memelihara hubungan antara Comite atasan dengan Comite bawahan dan sebaliknya, sebagai suatu hal yang penting dalam masalah sentralisme-demokratis. Dengan sistem ini, meskipun keadaan yang dihadapi ketika itu adalah sukar, Partai tetap dimungkinkan untuk menerima pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat dari bawah dan dari massa serta untuk menyampaikan pendirian-pendirian Partai kepada massa dan menjadikannya pendirian massa. Adalah pula satu hal yang perlu disebut di sini bahwa dalam pekerjaan yang banyak meminta resiko ini banyak kader wanita yang mengambil bagian. Dengan demikian sistem ini boleh dikatakan semacam demokrasi tidak langsung ketika itu dalam kehidupan keorganisasian Partai kita. Dengan cara lain dapat dikatakan bahwa sistem ini adalah pelaksanaan konferensi-konferensi dan rapat-rapat Partai yang tidak langsung.

Kawan-kawan,

Salah satu soal pokok pula dalam masalah sentralisme-demokratis ialah soal pimpinan kolektif di dalam Partai kita. Tetapi bagaimana dengan pengambilan putusan sehari-hari? Mengenai ini Partai tetap berpegang teguh kepada ketentuan bahwa soal-soal penting harus diputuskan oleh badan kolektif Partai dan tidak boleh oleh orang seorang. Oleh karena itu Partai dengan segala daya upaya berusaha untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tentang rapat-rapat periodik Comite Partai. Dalam kampanye sebagai yang disebutkan di atas, keharusan memenuhi ketentuan-ketentuan mengenai rapat-rapat periodik ini merupakan bagian yang penting. Malahan dalam aksi-aksi Desember 1957 dan Januari 1958 Sekretaris dan anggota-anggota Comite Propinsi berhubung pembagian tugas pada waktu itu berada di kota-kota yang berlainan. Namun demikian putusan tetap diambil dengan jalan bertukar pikiran dan pendapat. Ini juga hanya dimungkinkan oleh adanya sistem “penghubung” itu. Jadi jelaslah bahwa jika saya di sini memakai perkataan “penghubung” bagi kawan-kawan yang bertugas demikian itu, maka mereka bukanlah sekedar penghubung biasa, tetapi penghubung politik, jadi petugas politik.

Jadi dengan tetap melaksanakan konferensi-konferensi dan rapat-rapat Partai, termasuk rapat-rapat periodik Comite-Comite Partai dan dengan melaksanakan sistem “penghubung”, artinya dengan melaksanakan prinsip pimpinan kolektif di dalam Partai, Partai kita di Sumatera Barat selama di bawah kekuasaan kaum fasis itu tetap berdaya-upaya melaksanakan prinsip “dari massa kembali kepada massa”, tetap berdaya-upaya untuk melaksanakan garis massa di dalam Partai, sebagai prinsip yang tidak dapat dipisahkan dari masalah sentralisme-demokratis.

Dengan uraian di atas ini bukanlah maksud saya bahwa segala sesuatu mengenai sentralisme-demokratis dan masalah pimpinan kolektif itu sudah beres. Sama sekali tidak. Dalam mempraktekkan sentralisme-demokratis dan pimpinan kolektif masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan. Sebagai juga dikonstatasi dalam Laporan Kawan Aidit, kelemahan yang penting ialah bahwa pimpinan kolektif itu masih sering merupakan pimpinan kolektif yang subyektif. Sebagai contoh dapat saya kemukakan di sini putusan-putusan Rapat Pleno bulan September 1957 yang dilangsungkan di luar daerah itu. Mengenai pelaksanaan Plan Tiga Tahun Pertama Organisasi dan Pendidikan. Sidang tidak hanya memerinci dan memilih apa-apa saja dari Plan Tiga Tahun itu yang mungkin dilaksanakan dalam keadaan-keadaan yang dihadapi Partai ketika itu, tetapi malahan menambahnya. Sekarang jika kita telah menyimpulkan bahwa Plan Tiga Tahun Organisasi dan Pendidikan yang belum direvisi itu adalah subyektif, maka dapatlah dimengerti betapa terlalu subyektifnya putusan-putusan Rapat Pleno September itu. Hasilnya ialah bahwa sebagian besar putusan itu tidak bisa dilaksanakan. Ini sudah barang tentu tradisi yang sangat buruk yang segera diakhiri. Dari kenyataan ini betul-betul dapat dirasakan bahwa soal yang paling pokok bukannya ada atau tidak adanya pimpinan kolektif itu, tetapi ada atau tidak adanya hakekat pimpinan kolektif itu, ada atau tidak adanya pimpinan kolektif yang bersandarkan garis massa, pimpinan kolektif yang realistis.

Apakah yang diajarkan oleh kenyataan ini kepada kita? Ia dengan jelas menunjukkan bahwa kita dalam menetapkan sesuatu masih bersikap sewenang-wenang tanpa memperhitungkan dengan semasak-masaknya kemampuan dan keadaan yang sesungguhnya, bahwa kita masih belum mendengarkan suara-suara dan pikiran-pikiran dari massa dengan kerendahan hati seorang Komunis. Agar tercapai pimpinan kolektif yang tidak subyektif, pimpinan kolektif yang realistis, tiada jalan lain bahwa kita harus memadukan pimpinan kolektif dengan garis massa dengan jalan mengembangkan demokrasi di dalam Partai dan dengan rajin mendengarkan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat massa.

Kawan-kawan,

Tadi sudah saya jelaskan bahwa pengaturan hubungan antara Comite atasan dengan Comite bawahan itu merupakan satu soal yang penting dalam masalah sentralisme-demokratis dalam hubungan daya-upaya Partai untuk mengumpulkan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat massa serta untuk menyampaikan pendirian Partai kepada massa dan menjadikannya pendirian massa. Ini benar, tetapi ini belum semua. Soal yang tidak kurang pentingnya ialah soal hubungan antara Partai dengan segenap anggotanya. Ini diatur dengan jalan mengorganisasi mereka dalam grup-grup Partai. Oleh karena itu pengaturan hubungan Partai dengan para anggotanya melalui grup-grup Partai itu juga termasuk masalah sentralisme-demokratis yang penting. Pengalaman Partai kita di Sumatera Barat selama perjuangan melawan fasisme itu menunjukkan bahwa peranan grup-grup Partai adalah luar biasa pentingnya. Berhasilnya Partai mengorganisasi aksi-aksi massa itu antara lain ialah karena berhasilnya Partai dalam usaha mengaktifkan grup-grup Partai. Grup-grup Partai juga penting artinya untuk berbagai pekerjaan di bawah tanah lainnya. Oleh karena itu penyelesaian penggrupan anggota Partai dalam grup-grup Partai yang lebih diperkecil lagi merupakan putusan yang penting dari Rapat Pleno September 1957 di lapangan organisasi.

Bahwa dikembangkannya demokrasi di dalam Partai memperkuat sentralisme di dalam Partai, juga telah menjadi pengalaman Partai kita di Sumatera Barat. Dari kehidupan keorganisasian dan politik dari Partai kita di Sumatera Barat dewasa ini, dapat dikatakan bahwa belum pernah sentralisme di dalam Partai begitu kuat sebagaimana halnya sekarang. ini sudah barang tentu baik. Tetapi dalam pada itu kita harus berjaga-jaga akan kemungkinan timbulnya ekses yang lain, yaitu bahwa keadaan sekarang ini jangan sampai menjurus ke arah sentralisme yang keterlaluan. Dalam keadaan sekarang ini dimana Partai telah mencapai hasil-hasil tertentu dalam perjuangan melawan kaum pemberontak ekses semacam itu adalah mungkin sekali. Oleh sebab itu pada waktu ini dari tiap kader Partai, terutama kader-kader Comite atasan, lebih-lebih lagi dituntut supaya bersikap rendah hati.

Kawan-kawan,

Betapa pun Partai kita di Sumatera Barat banyak teledor dalam masalah organisasi sebagai saya katakan di atas, tetapi tetap intact-nya Partai selama massa perjuangan melawan fasisme itu telah memungkinkan Partai kita untuk mengorganisasi dan memimpin perlawanan Rakyat.

IV. Politik yang Tegas Pangkal Kemenangan

Kawan-kawan,

Sesudah saya membicarakan sedikit masalah ideologi dan organisasi dalam masa melawan kaum pemberontak kontra-revolusioner itu, marilah saya sekarang kembali kepada soal-soal yang kita hadapi sekarang. Dalam usaha menumpas kaum pemberontak banyak sukses telah dicapai. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita sekarang sudah boleh berpangku tangan. Secara ringkas situasi yang kita hadapi sekarang dapat dikatakan sebagai berikut: Kekuatan pokok kaum pemberontak telah dapat dipatahkan, tetapi sisa-sisa kekuatan mereka tidaklah boleh diremehkan. Kota-kota dan daerah-daerah sudah dibebaskan, tetapi masih ada daerah-daerah yang dikuasai oleh kaum pemberontak. Pengaruh politik kaum pemberontak dan partai-partai kepala batu Masyumi-PSI yang mengorganisasi dan mendalangi pemberontakan ini sudah jauh merosot, tetapi di pedalaman pengaruh politik mereka masih ada dan di daerah-daerah yang sudah dibebaskan masih belum dilumpuhkan sama sekali. Kita berusaha menormalisasi keadaan, tetapi kaum pemberontak juga berusaha mengonsolidasi diri. Kita melancarkan perang anti-gerilya, tetapi kaum pemberontak melancarkan perang gerilya. Dengan ini saya hanya hendak menunjukkan bahwa usaha membasmi sisa-sisa pemberontak itu masih merupakan acara kita yang urgen yang harus dilanjutkan dengan kekuatan yang lebih besar lagi.

Untuk membasmi kaum pemberontak sampai ke akar-akarnya, soal yang paling pokok di atas segala-galanya ialah tetap adanya politik Pemerintah yang tegas, yang tidak setengah-setengah, dan yang tidak mengenal kompromi jalan tengah. Sebab hanya dengan politik yang demikian sajalah Pemerintah akan mampu memobilisasi alat-alatnya dan kekuatan Rakyat yang sebesar-besarnya untuk dipukulkan kepada kaum pemberontak yang disokong oleh kaum imperialis asing itu.

Sebagai diketahui politik yang demikian itu sudah ada sejak Pemerintah Juanda dalam bulan Januari 1958 mengambil tindakan tegas terhadap kaum pemberontak. Dan adalah berkat politik yang tegas ini Republik kita masih berdiri sampai sekarang.

Bagaimana dengan politik keamanan Kabinet Sukarno-Juanda sekarang ini? Dalam Manifesto Politiknya yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus yang baru lalu, dalam memberikan keterangan mengenai politik keamanan Pemerintah, Presiden Sukarno mengatakan antara lain sebagai berikut: “Beleid keamanan Pemerintah tetap tegas. Pemerintah meneruskan dan memperhebat operasi-operasi keamanan dengan pengerahan kekuatan alat-alat negara dan Rakyat secara maksimal. Pemeritah tidak akan mengadakan perundingan atau kompromi dengan pemberontak”. Dengan meneruskan politik keamanan yang demikian itu, Presiden Sukarno benar-benar  mewakili perasaan dan hasrat Rakyat di daerah-daerah yang masih dikacau oleh kaum pemberontak. Untuk kesekian kalinya Bung Karno menunjukkan dirinya sebagai penyambung lidah Rakyat.

Kalau politik keamanan Pemerintah sudah demikian tegasnya, masihkah perlu hal ini dipersoalkan lagi? Jawabnya: masihsangat perlu! Sebab bukankah partai-partai reaksioner Masyumi-PSI yang mendalangi pemberontakan itu masih ada? Bukankah kedua partai ini bersama-sama dengan kaum reaksioner lainnya beberapa waktu yang lalu giat-giatnya mengusahakan supaya diadakan “islah” dengan kaum pemberontak, setelah kaum pemberontak terdesak ke hutan-hutan? Dan bukankah pula ada sementara pejabat-pejabat, sipil dan militer, yang bersimpati dan menjalankan politik dari kedua partai ini? Jika mereka pada waktu sekarang berdiam diri, hal ini hanyalah karena ketegasan sikap Presiden Sukarno dan karena desakan Rakyat yang menggelora supaya diambil tindakan tegas terhadap kaum pemberontak kontra-revolusioner itu. Hanyalah orang-orang yang naif saja yang menganggap bahwa partai-partai pemberontak Masyumi-PSI dan kaum reaksioner dalam negeri menghentikan usaha-usahanya untuk setidak-tidaknya mencegah Pemerintah meneruskan tindakan-tindakan tegas terhadap kaum pemberontak, sementara menunggu kesempatan yang mereka anggap baik untuk sama sekali merehabilitasi mereka. Selain daripada itu juga masih ada tuan Hatta yang sebagai diketahui pada waktu yang lalu menjagoi kaum pemberontak dalam memukul Pemerintah Juanda dan Presiden Sukarno. Bukankah tuan Hatta pada waktu masih hebat-hebatnya “Dewan Banteng” telah disambut di Sumatera Barat dengan cara-cara yang melebihi penyambutan raja-raja feodal di zaman dahulu kala? Rakyat Sumatera Barat masih belum lupa bahwa tuan Hatta ketika kembali ke ibukota dari perkunjungannya ke Sumatera Barat itu telah menulis artikel-artikel yang panjang yang membela kaum pemberontak. Jika tuan Hatta sekarang juga berdiam diri, maka hal itu ialah karena sebab-sebab yang sama sebagai saya katakan tadi.

Seandainya usaha-usaha mereka ini berhasil, artinya seandainya politik tegas sekarang diganti dengan politik yang setengah-setengah, politik yang lunak terhadap pemberontak, maka hal itu tidak hanya berarti mengurangi operasi-operasi keamanan, tetapi juga akan membikin merosot semangat perlawanan Rakyat dan prajurit-prajurit Angkatan Perang kita yang bertugas. Ini berarti memberi nafas kepada gerombolan-gerombolan pemberontak itu untuk meneruskan pengacauannya. Dengan demikian keadaan tidak aman dan kacau seperti sekarang ini akan berlarut-larut. Keadaan yang demikian itu justru sangat diinginkan oleh kaum reaksioner dalam negeri untuk membuktikan ketidakmampuan Pemerintah dan Rakyat. Apabila keamanan tetap tidak bisa dipulihkan dan kaum pemberontak tetap belum terbasmi, kaum reaksioner dalam negeri pada waktunya akan tampil lagi untuk memaksakan supaya diadakan “islah” dengan kaum pemberontak untuk merehabilitasi mereka. Tidakkah hal ini demikian jelasnya?

Selain daripada itu kaum imperialis, terutama kaum imperialis Amerika, tentu tidak rela begitu saja melihat kaki-tangannya menemui kehancuran seperti sekarang ini. Untuk tetap melaksanakan maksud-maksud jahatnya, dewasa ini mereka menjalankan politik segidua yang sangat licik. Di satu pihak mereka berusaha mendekati elemen-elemen kanan dalam kekuatan tengah, baik sipil maupun militer, dan di pihak lain mereka terus berusaha untuk mengembalikan kekuasaan partai-partai Masyumi-PSI. Tentang ini di dalam Laporan Kawan Aidit dikatakan sebagai berikut: “Berhubung dengan jatuhnya ‘prestise’ kaum kepala batu, untuk sementara waktu kaum imperialis Amerika tidak dapat menjalankan politiknya di Indonesia secara efektif lewat saluran kaum kepala batu yang dikepalai oleh pimpinan-pimpinan Masyumi-PSI. Oleh karena itu kaum imperialis memang sangat membutuhkan komprador baru dari kalangan kekuatan tengah, baik sipil maupun militer, sambil berusaha menegakkan kembali kedudukan kepala batu Indonesia”.

Politik baru dari kaum imperialis ini tidaklah sia-sia belaka dan sampai batas-batas tertentu juga berhasil. Ini dimungkinkan oleh adanya elemen-elemen kanan dalam kekuatan tengah yang karena takut setengah mati pada perkembangan kekuatan progresif bersedia bekerja sama dengan kaum imperialis dan kaum reaksioner dalam negeri. Orang-orang inilah yang dalam hubungan sikapnya terhadap kaum pemberontak, atau dalam politik keamanan pada umumnya, menganut politik “memelihara sampai batas-batas tertentu tetap adanya gerombolan-gerombolan pemberontak sebagai imbangan terhadap kemajuan Komunis”.

Juga politik “pukul kanan, pukul kiri” ini apabila dilaksanakan akan berakibat yang sama seperti yang telah saya kemukakan tadi. Gerombolan-gerombolan pemberontak akan dapat bernafas kembali untuk meneruskan pengacauannya. Rakyat dan prajurit-prajurit yang bertugas akan menjadi bingung dan semangat perlawanan mereka akan merosot. Akhirnya keadaan ini akan ditunggangi oleh kaum imperialis dan kaum reaksioner dalam negeri untuk memaksakan politik mereka, yaitu supaya Pemerintah mengadakan perundingan dengan kaum pemberontak untuk merehabilitasi mereka.

Dari kenyataan-kenyataan tersebut di atas jelaslah bahwa politik tegas Pemerintah itu masih tetap terancam bahaya. Oleh karena itu kewaspadaan yang setinggi-tingginya sangat diperlukan untuk menggagalkan usaha-usaha kaum reaksioner itu. Sebab jika usaha-usaha kaum reaksioner untuk memaksakan perundingan dengan kaum pemberontak dan apalagi untuk merehabilitasi mereka sampai berhasil, maka akan menjadi sia-sialah segala korban yang telah jatuh baik di kalangan Angkatan Perang kita maupun di kalangan Rakyat.

Politik Pemerintah yang sekarang adalah yang setepat-tepatnya. Hanya dengan politik yang demikian sajalah kaum pemberontak dapat dihancurkan dan Republik dapat diselamatkan.

V. Mengikutsertakan Rakyat adalah Syarat Kemenangan

Kawan-kawan,

Dengan adanya politik Pemerintah yang tegas itu, apakah kemenangan atas kaum pemberontak sudah terjamin? Jawab yang jujur atas pertanyaan ini ialah: Belum! Sebab meskipun Pemerintah sudah bertekad bulat untuk menghancurkan kaum pemberontak tetapi apabila ia hanya menyandarkan diri kepada kekuatan alat-alatnya saja dan mengabaikan kekuatan massa Rakyat, maka usaha itu tentu saja akan menemui kegagalan. Sejarah operasi-operasi militer yang dilakukan oleh APRI terhadap kaum pemberontak sampai sekarang dengan sejelas-jelasnya menunjukkan bahwa operasi-operasi militer itu berjalan lancar dimana ia mendapat bantuan Rakyat dan bahwa sebaliknya operasi-operasi militer itu tidak atau kurang berjalan lancar dimana ia tidak atau kurang mendapat bantuan Rakyat. Lihatlah betapa tidak bisa diabaikannya rol daripada massa Rakyat itu.

Oleh karena itu untuk menghancurkan kaum pemberontak sampai ke akar-akarnya, disamping perlu adanya politik Pemerintah yang tegas, Pemerintah haruslah pula berusaha untuk mengikutsertakan Rakyat dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan perkataan lain dapatlah disimpulkan bahwa perpaduan antara politik yang tegas dan diikutsertakannya Rakyat adalah jaminan satu-satunya bagi kemenangan Republik atas kaum pemberontak.

Tetapi bagaimana praktek yang berlaku sekarang?

Di satu pihak kita melihat bahwa Pemerintah sampai batas-batas tertentu memang telah menunjukkan usaha-usaha untuk mengikutsertakan Rakyat, misalnya dengan dibentuknya OKR-OKR dan lain-lain organisasi keamanan semacam itu. Dan Presiden Sukarno dalam Manifesto Politiknya pada tanggal 17 Agustus yang lalu pun telah lebih menegaskan lagi bahwa dalam rangka mengikutsertakan Rakyat Pemerintah akan mengintensifkan organisasi-organisasi keamanan Rakyat dan wajib latih bagi pemuda-pemuda dan veteran. Tak perlu diterangkan lagi bahwa pernyataan ini sudah sewajarnya mendapat sambutan hangat dari massa Rakyat, karena dengan lebih disempurnakannya organisasi-organisasi keamanan Rakyat itu berarti makin terbukalah kesempatan yang lebih luas bagi kaum tani untuk di bawah pimpinan APRI turut mengangkat senjata membela diri terhadap kekejaman-kekejaman kaum pemberontak.

Tetapi di lain pihak kita juga melihat adanya usaha-usaha dari sementara pejabat terutama di pusat untuk membatasi diikutsertakannya Rakyat dalam usaha membasmi kaum pemberontak kontra-revolusioner itu. Ini nampak pada kenyataan bahwa di daerah-daerah yang sudah dibebaskan hak-hak demokrasi dan kebebasan bagi Rakyat tidak cepat dipulihkan dan malahan ada usaha-usaha untuk tetap mengekangnya. Padahal tanpa hak-hak demokrasi dan kebebasan tak mungkinlah kita berbicara tentang mengikutsertakan dan memobilisasi Rakyat dalam arti yang seluas-luasnya. Rakyat hanya mungkin dimobilisasi melalui organisasi-organisasinya dan dengan memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada organisasi-organisasinya itu. Perlu saya tekankan di sini hak-hak demokrasi dan kebebasan bagi Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat. Bagi musuh-musuh Rakyat? Hak-hak itu haruslah dicabut sama sekali atau dibatasi sejauh-jauh mungkin. Jadi teranglah bahwa mengikutsertakan Rakyat itu tidak bisa dipisahkan daripada hak-hak demokrasi dan kebebasan bagi Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat itu sendiri dan bahwa ia adalah syarat mutlak untuk dapat menghancurkan kaum pemberontak baik secara militer maupun secara politik.

Bahwa dibatasinya kebebasan-kebebasan demokratis bagi Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat dan dengan demikian tidak melaksanakan secara konsekuen prinsip mengikutsertakan Rakyat telah sangat merugikan usaha penghancuran kaum pemberontak, juga telah dijelaskan oleh Kawan Aidit di dalam Laporannya kepada Sidang Pleno ke-VII CC pada tanggal 14-21 November 1958 yang antara lain mengatakan sebagai berikut: “……… Pemerintah tidak cukup melaksanakan prinsip memobilisasi Rakyat dalam usaha menghancurkan pemberontak. Ini nampak dengan jelas pada kenyataan, bahwa sistem yang dipakai oleh Pemerintah sekarang pada umumnya ialah sistem perang sepihak, yaitu perang yang pada pokoknya hanya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan Angkatan Perangnya tanpa cukup mengikutsertakan Rakyat. Sedangkan di pihak lain, kaum pemberontak mengerahkan secara maksimal Rakyat yang dapat ditipu oleh mereka. Sebagai akibatnya maka operasi-operasi militer dari pihak Pemerintah belum sepenuhnya mencapai hasil-hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa keadaan ini, jika sistem ini tidak diubah segera, bisa berakibat kaum pemberontak kembali dalam kedudukan berinisiatif, hal mana nampak pada penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh kaum pemberontak terhadap beberapa kota di Sumatera Barat yang telah dibebaskan”. Demikian Kawan Aidit.

Kawan-kawan,

Dari kutipan ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa untuk menghancurkan kaum pemberontak sampai ke akar-akarnya sistem yang berat sebelah ini haruslah diubah. Sistem perang sepihak harus diubah dengan sistem perang keseluruhan. Ini berarti pemobilisasian Rakyat sehebat-hebatnya, supaya mereka bangkit bersatu untuk melawan gerombolan-gerombolan pengacau itu. Dan ini – sekali lagi – hanya mungkin dengan memberikan kebebasan-kebebasan demokratis kepada Rakyat dan organisasi-organisasi Rakyat.

Oleh karena itulah Rakyat Sumatera Barat menyambut dengan gembira peraturan Peperda Sumatera Barat tertanggal 12 Agustus 1959 yang lalu yang dalam batas-batas tertentu telah memberikan kelonggaran-kelonggaran untuk mengadakan kegiatan-kegiatan politik bagi Partai-Partai dan organisasi-organisasi yang melawan pemberontak.

Lebih-lebih dalam taraf perang anti-gerilya sekarang, dimana strateginya seharusnya diletakkan pada soal memisahkan Rakyat dari gerilya pemberontak sebagai pangkal untuk mencapai kemenangan-kemenangan militer, masalah mobilisasi Rakyat dan mengikutsertakan Rakyat itu semakin mendapat arti yang menentukan.

Apakah yang hendak kita capai dengan prinsip memobilisasi dan mengikutsertakan Rakyat itu? Yang hendak kita capai tak lain tak bukan ialah agar supaya Rakyat itu sendirilah yang membela diri dan membela kampung halamannya dan agar supaya sisa-sisa pengaruh politik kaum pemberontak itu dapat dihancurkan sama sekali. Pendeknya, agar supaya kaum pemberontak itu kehilangan pangkalan-pangkalannya di tengah-tengah Rakyat, sehingga dengan demikian terciptalah syarat-syarat bagi satuan-satuan Angkatan Perang kita untuk dengan operasi-operasi militer menghancurkan mereka.

Dengan memberi tekanan pada pemobilisasian Rakyat sudah barang tentu bukan maksud saya bahwa operasi-operasi militer boleh diremehkan. Sama sekali tidak. Sebab betapa pun kita telah berhasil dalam membangkitkan Rakyat dan dalam menghancurkan sisa-sisa pengaruh politik pihak pemberontak, namun gerombolan-gerombolan bersenjata pemberontakan hanya dapat dihancurkan dengan operasi-operasi militer belaka.

Kawan-kawan,

Sebagai telah saya katakan di bagian muka prinsip ini juga adalah putusan-putusan daripada MBRSB. Sebagaimana diketahui putusan-putusan ini telah disampaikan kepada Presiden, kepada Pemerintah, kepada ketiga Kepala Staf daripada Angkatan Perang kita dan kepada pejabat-pejabat lain yang bertanggung jawab, yang semuanya membenarkan dan menerima putusan-putusan tersebut. Jadi jika Rakyat Sumatera Barat sekarang menuntut supaya prinsip-prinsip ini dilaksanakan sepenuhnya di dalam praktek, maka yang mereka tuntut itu sebenarnya tidak lebih daripada apa yang telah dibenarkan dan diterima oleh Pemerintah.

Tetapi namun demikian kenyataan sekarang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ini masih belum sepenuhnya dilaksanakan dan malahan ada usaha-usaha untuk menguranginya.

Dari kenyataan-kenyataan ini teranglah bahwa prinsip-prinsip ini masih harus terus-menerus kita perjuangkan dengan ulet dan dengan tidak kenal lelah, kalau kita mau supaya sisa-sisa kaum pemberontak itu dapat dibasmi sampai ke akar-akarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Singkatnya, masalah kewaspadaan supaya tetap adanya politik Pemerintah yang tegas dan masalah mengikutsertakan Rakyat masih tetap merupakan masalah-masalah  pokok kita sampai sekarang di lapangan pemulihan keamanan.

Kawan-kawan, demikianlah sambutan saya.

Hidup Partai Komunis Indonesia yang besar lagi bersatu!

Hidup Rakyat Indonesia yang jaya!