Pidato Kawan P. Pardede

(Anggota Sekretariat CC PKI)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kongres yang mulia, kawan-kawan yang tercinta!

Saya sepenuhnya menyetujui Laporan Umum Comite Central Partai kita yang disampaikan oleh Kawan D. N. Aidit. (tepuk tangan).

Laporan Umum itu antara lain menyerukan, untuk mengalahkan bahaya anti-demokrasi yang menuju pada sistem pemerintah diktator perseorangan atau pun diktator militer supaya seluruh Rakyat Indonesia dengan gigih memperjuangkan agar pemerintah:

“menghormati kedudukan dan hak-hak daripada Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat Pusat (Parlemen) dan Daerah dan mempertahankan sistem Kepala Daerah yang dipilih oleh rakyat (tepuk tangan), meluaskan wewenang daripada pemerintahan-pemerintahan Daerah Swatantra I dan II dan melaksanakan pembentukan pemerintah Daerah Swatantra tingkat III.” (tepuk tangan).

Khusus terhadap persoalan ini sajalah saya tujukan sambutan saya ini.

Bagaimana Partai kita memberikan arti yang penting pada perjuangan parlementer dapat dilihat dari Programnya, dimana diajukan pertanyaan:

“Dapatkah dicapai Demokrasi Rakyat di Indonesia melalui jalan damai?” yang dijawab sebagai berikut:

“Ini adalah satu kemungkinan dan kemungkinan yang dengan sekuat tenaga harus kita jadikan kenyataan. Memang kalau tergantung kepada kaum Komunis, bentuk yang sebaik-baiknya, bentuk yang ideal dari peralihan ke sistem kekuasaan rakyat yang demokratis, yaitu tingkat persiapan ke sistem sosialis, ialah bentuk yang damai, bentuk yang parlementer. (tepuk tangan).

Jika tergantung kepada kaum Komunis jalan damailah yang dipilih.” (tepuk tangan).

Selanjutnya dalam penjelasan Program Tuntutan PKI dikatakan sebagai berikut:

“PKI telah ambil bagian dan akan terus ambil bagian yang paling aktif dalam pemilihan-pemilihan dan perjuangan parlementer. PKI sadar sepenuhnya akan tanggung jawab politiknya, menjalankan pekerjaan parlementer dengan penuh kesungguh-sungguhan.”

Dituntun oleh pendirian tersebut maka PKI selama ini sudah berusaha bekerja sebaik-baiknya dalam dewan-dewan perwakilan di pusat maupun di daerah. Melalui perjuangan parlementer ini diusahakan untuk:

  1. Ikut serta dalam Pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
  2. Melaksanakan Program Partai dan memadukan perjuangan itu dengan perjuangan di kalangan massa.
  3. Mendorong politik Pemerintah yang maju, mengkritik politknya yang ragu-ragu supaya menjadi maju dan menentang politiknya yang reaksioner dan mengusulkan peraturan-peraturan, perundang-undangan dan pikiran-pikiran yang maju dan menguntungkan rakyat kepada pemerintah.
  4. Menjelaskan tentang benar dan tepatnya politik Partai dengan sekaligus menunjukkan politik reaksioner kaum kepala batu dan praktek-praktek jahat daripada modal besar asing yang kesemuanya itu berarti mempertinggi kecerdasan dan kesadaran politik rakyat.

Berhasil atau tidaknya usaha tersebut di atas disamping bergantung kepada penguasaan garis politik Partai oleh kawan-kawan yang langsung bekerja dan bertanggung jawab dalam dewan-dewan perwakilan di pusat maupun di daerah, juga bergantung kepada kecakapan dan kesungguh-sungguhan usaha serta ketepatan dalam memadukan perjuangan itu dengan perjuangan di kalangan massa untuk melawan dan mengatasi segala kejahatan politik kelas-kelas dan golongan reaksioner sebagai musuh-musuh rakyat.

Berkat komposisinya, dimana golongan demokratis merupakan mayoritas di dalamnya, dan berkat cara kerja yang semakin baik daripada fraksi Partai kita sendiri, Parlemen sekarang jika dibanding dengan Parlemen sementara, adalah lebih produktif. (tepuk tangan). Walaupun tidak semua UU yang dihasilkannya menguntungkan rakyat, tetapi sebagian besar dari undang-undang itu adalah berguna untuk mengonsolidasi Republik Indonesia dan untuk memperkuat perjuangan anti-imperialisme. Perjuangan kelas dalam Parlemen di negeri kita belum begitu sengit sehingga usul-usul dari pihak kita masih besar kemungkinan diterima oleh golongan lain, lebih-lebih jika usul-usul kita itu benar-benar objektif dan realistis dan dikemukakan serta diselesaikan dalam rapat-rapat tertutup (rapat-rapat kerja, pertemuan-pertemuan informal, hubungan-hubungan langsung) dan sebagainya.

Walaupun sebagian besar dari Undang-Undang yang dihasilkan oleh Parlemen sekarang boleh dikatakan baik dalam arti kata berguna untuk mengonsolidasi Republik Indonesia dan untuk memperkuat perjuangan anti-imperialisme, tetapi karena isi undang-undang itu bersifat ketentuan-ketentuan yang umum, kebaikan dan kegunaan itu tidak segera dan tidak begitu langsung dirasakan oleh rakyat banyak. Malahan ada kalanya undang-undangnya baik, tetapi pelaksanaannya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, jelek.

Lebih-lebih dengan adanya hasil perundang-undangan yang sangat jelek dari Parlemen, seperti UU Penanaman Modal Asing, kebaikan dan kegunaan dari undang-undang lainnya menjadi lebih terutup. Jadi, kita harus berjuang untuk Undang-Undang yang baik dan aktif serta waspada mengawasi pelaksanaannya. Lain halnya dengan pekerjaan di DPRD/DPD. Dalam DPRD/DPD persoalan-persoalannya adalah lebih langsung mengenai kehidupan sehari-hari dari rakyat. Karena itu, jika ada hasil-hasil dari perjuangan kita, bagaimanapun juga kecilnya, akan lebih langsung bisa dirasakan atau dilihat oleh massa rakyat.

Mengingat bahaya anti-demokrasi yang kita hadapi, yang mengancam kedudukan Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat, maka Dewan ini pada masa yang akan datang harus lebih mempopulerkan diri. Untuk itu, disamping membuat undang-undang yang isinya lebih baik dan demokratis, harus lebih menunjukkan perhatian terhadap persoalan-persoalan yang lebih langsung dirasakan oleh rakyat banyak dalam mengikuti dan mengawasi tindakan-tindakan Pemerintah dengan menggunakan hak-haknya seperti bertanya kepada Pemerintah, mengajukan interpelasi dan sebagainya. Juga DPR harus menunjukkan kesungguh-sungguhannya lebih daripada waktu yang sudah-sudah, sampai kepada menjaga jangan sampai terjadi sidang DPR tidak bisa dilangsungkan hanya karena tidak mencapai quorum.

Anggota-anggota fraksi kita harus terus-menerus berusaha untuk mempertinggi kemampuan masing-masing sampai bisa lebih berhasil dalam menggunakan serta mengembangkan hak-hak keanggotaan DPR untuk membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Hanya dengan cara inilah rakyat bisa dibangkitkan untuk melawan tiap-tiap usaha jahat yang akan melumpuhkan atau meniadakan sama sekali Parlemen pilihan rakyat.

Semua kekuatan demokratis harus dihimpun untuk menghadapi bahaya anti-demokrasi ini, yang di antaranya, dengan bersemboyan “demokrasi terpimpin”, katanya, tetapi sebenarnya hendak mengebiri demokrasi. (tepuk tangan). Kalau Parlemen Sementara pada tahun 1953 oleh kaum 17 Oktobris sudah mau dibubarkan dengan jalan mengobrak-abrik ruangan sidang DPR dan mengepungnya dengan mulut meriam, apalagi terhadap Parlemen pilihan rakyat sekarang dimana mayoritas anggotanya terdiri dari kekuatan demokratis.

Juga dengan berlakunya kembali UUD 1945, dengan adanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai satu lembaga yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi, Parlemen tetap merupakan satu Dewan yang tidak kalah pentingnya, yang berkewajiban membuat undang-undang, yang oleh Pasal-Pasal 20, 21, dan 22 UUD 45 ditetapkan bahwa tiap-tiap Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang harus mendapat persetujuan DPR (tepuk tangan) dan bahwa anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan undang-undang, bagi rakyat tetap merupakan salah satu alat penting untuk membela dan memperjuangkan kepentingannya.

Pekerjaan Partai dalam Dewan Perwakilan dan Pemerintahan Daerah

Kawan-kawan,

Sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Laporan Umum, salah satu masalah yang kita hadapi sekarang ialah supaya Pemerintah meluaskan wewenang dari Pemerintah Daerah tingkat I dan II.

Wewenang daripada Daswati I, lebih-lebih Daswati II, masih sangat sedikit sekali. Betapa sedikitnya wewenang itu dapat dilihat dari suatu kenyataan bahwa sampai sekarang masih ada Daswati II yang hanya mempunyai satu wewenang yang kongkrit, yaitu urusan Pasar. (suara dalam ruangan).

Sedikitnya wewenang ini sangat menghambat perkembangan pendemokrasian pemerintahan Daerah. Kepercayaan rakyat kepada sistem otonomi bisa goyang karena Pemerintah Daerah yang dipilihnya ternyata tidak atau kurang sekali mempunyai kekuatan untuk melakukan usaha-usaha perbaikan bagi penghidupan rakyat dan tuduhan segelintir orang-orang pamong praja yang reaksioner seolah-olah dibenarkan bahwa Kepala Daerah dan DPD-DPD yang dipilih rakyat tidak punya kemampuan dan keahlian. Padahal dengan tidak usah memperdebatkan soal ukuran yang disebut “ahli” dan “mampu” tetapi yang terang ialah bahwa pemerintah yang kolegial dan dipilih akan lebih mampu, lebih dicintai rakyat, lebih berwibawa daripada suatu pemerintahan perseorangan dan ditunjuk. (tepuk tangan). Tetapi bagaimana dapat menunjukkan kemampuannya secara baik, jika wewenangnya sangat dibatasi, apalagi kalau hanya diberi wewenang untuk mengurus pasar, kuburan, gedung pertemuan, dan sebagainya. (tawa).

Karena itu, atas inisiatif Partai, dengan melalui perjuangan perwakilan di pusat maupun di daerah, dengan melalui Konferensi-Konferensi antar-Swatantra tingkat I dan II, dengan melalui aksi-aksi massa secara langsung, dituntutlah penyerahan secara riil berbagai wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Daerah yang dianggap menjadi hak atau wewenangnya.

Berkat perjuangan itu, akhirnya diserahkanlah oleh Menteri Dalam Negeri kepada Parlemen satu RUU Penyerahan Pemerintahan Umum yang kemudian oleh Parlemen disahkan menjadi Undang-Undang (UU No. 6/1959).

Sekalipun isi UU No. 6/1959 ini tidak memuaskan kita, karena tiga wewenang pemerintahan umum tidak turut diserahkan ke daerah, yaitu tugas mengurus ketertiban dan keamanan umum, tugas pengawasan dan tugas koordinasi jawatan-jawatan, namun UU No. 6/1959 itu jika dilaksanakan ada juga artinya. Dalam usaha kita, sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1957 untuk melikuidasi eenhoofdigbestuur (Pamong Praja), lahirnya UU No. 6/1959 itu bisa membantu sebab dengan begitu semua wewenang Pamong Praja, kecuali yang 3 tersebut di atas, diserahkanlah kepada Pemerintah Daerah.

Dengan adanya UU No. 6/1959 itu timbul pertanyaan-pertanyaan:

  1. Kepada siapakah wewenang-wewenang yang dikecualikan itu, termasuk wewenang pengawasan atas jalannya Pemerintah Daerah, akan diserahkan? Dijawab Pemerintah: Kepada penguasa lain. Ini jawaban Menteri Dalam Negeri Sanusi dari Kabinet Karya, bukan oleh Menteri Ipik Gandamana.
  2. Di manakah “penguasa lain” itu akan berkedudukan? Dijawab Pemerintah: Di Tingkat I.
  3. Apakah “penguasa lain” itu tidak penjelmaan baru dari semacam “Komisaris Pemerintah Pusat di Daerah”, suatu hal yang ketika membahas UU No. 1/1957 secara prinsipiil telah ditolak dengan suara bulat dalam DPR? Dijawab Pemerintah: “Tidak”, karena sekalipun nanti di Daerah ada wakil Pemerintah Pusat, ia tidak lagi mempunyai dan menjalankan wewenang umum (bestuur) sebagai lazim melekat pada dan dijalankan oleh pejabat Pamong Praja sekarang.

Demikianlah, mengenai UU No. 6/1959 yang membuktikan bahwa rakyat dalam usahanya untuk meluaskan wewenang Swatantra Tingkat I dan II sudah sedikit berhasil dalam lapangan perundang-undangan. Saya katakan dalam perundang-undangan, sebab undang-undang penyerahan Pemerintahan Umum No. 6/1959 itu sampai sekarang belum dilaksanakan sama sekali.

Begitu juga halnya mengenai wewenang lainnya yang sampai sekarang masih dipegang oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian-Kementerian atau sekarang sesuai dengan UUD 45 disebut Departemen, dengan Jawatan-Jawatannya, pada umumnya baru sedikit sekali yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Karena itu seorang pun tidak mungkin menjatuhkan vonis pada DPD yang kolegial, berhubung dengan masih barunya badan-badan ini dibentuk sebagai hasil pemilihan dan berhubung dengan belum pernahnya wewenang diberikan seluruhnya kepada Pemerintah Daerah.

Sekalipun begitu Pemerintah Daerah dimana Komunis turut duduk, lebih-lebih yang di DPRD-nya Komunis merupakan mayoritas mutlak, tidak tinggal bertopang dagu menanti-nanti diserahkannya wewenang-wewenang itu. Dalam batas-batas wewenang yang ada fraksi kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk lewat Pemerintah Daerah melaksanakan program yang dikemukakan Partai ketika kampanye pemilihan DPRD, dengan sebaik-baiknya.

Oleh Pemerintah Daerah, dimana wakil-wakil Partai kita turut duduk, lebih-lebih dimana kita merupakan mayoritas mutlak, dengan mengombinasikan kekuasaan Pemerintah dengan kemampuan massa telah diusahakan untuk mempertinggi produksi bahan makanan dengan cara mengorganisasi gerakan membikin rabuk kompos, mewajibkan menanami tanah kosong, mensahkan garapan tanah bekas perkebunan asing, mengorganisasi gerakan-gerakan perbaikan saluran air, meluaskan penjualan rabuk-rabuk dan bibit, bergotong-royong mencegah bahaya banjir dengan memperbaiki tanggul-tanggul, memberikan bantuan pada usaha pemberantasan hama, dan lain sebagainya. Juga untuk kepentingan rakyat penduduk kota sudah diusahakan untuk memperbaiki jalan-jalan dan got-got di kampung-kampung, membuat atau memperbaiki sumur-sumur bor dan kakus-kakus umum, mengubah peraturan daerah yang tidak demokratis, dan sebagainya.

Sekalipun begitu, kawan-kawan yang duduk dalam Pemerintahan Daerah lebih-lebih dimana pemilih palu-arit merupakan mayoritas mutlak, di hari-hari yang akan datang harus lebih giat, lebih tekun, dan dengan berpedoman pada garis massa melaksanakan program Partai sehingga rakyat banyak dapat merasakan perbedaan antara suatu pemerintahan yang dipimpin oleh kaum Komunis dengan yang bukan. Pada akhir-akhir ini kita melihat adanya perbaikan cara kerja kawan-kawan yang memimpin Pemerintahan Daerah.

Program yang mereka susun tentang cara mempertinggi produksi bahan makanan, tentang perbaikan jalan-jalan, kampung, kakus umum, air minum, penerangan, dan sebagainya di kota-kota, sudah lebih kongkrit, artinya, program itu sudah didasarkan atas hasil pemeriksaan, hasil perundingan dengan rakyat yang bersangkutan tentang syarat-syarat dan kemungkinan pelaksanaannya. Dalam menyusun anggaran keuangan sudah ada titik berat. Kalau dulu semua-semua dianggap serba penting, sekarang sudah ada titik berat pada pekerjaan rutin dan pada persoalan-persoalan yang urgen sekali bagi rakyat. Juga sekarang sudah semakin tambah pengalaman kebijaksanaan dan keuletan dalam mengatasi rintangan-rintangan, baik yang berupa ketentuan-ketentuan atau pembatasan-pembatasan yang tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang, maupun dalam hal meyakinkan pihak militer tentang tepat dan urgennya program kita itu. Lebih-lebih jika kita sudah lebih mampu menghimpun semua kekuatan termasuk pengusaha-pengusaha di daerah itu untuk melaksanakan program Pemerintah Daerah maka menjadi lebih sempurnalah cara kerja kita itu.

Tentang Kepala Daerah

Kawan-kawan,

Masalah pokok lainnya yang kita hadapi dalam lapangan otonomi dan Pemerintahan Daerah ialah persoalan digantinya UU No. 1 Tahun 1957 dengan Penetapan Presiden oleh Menteri Ipik Gandamana yang antara lain menetapkan supaya Kepala Daerah tidak dipilih oleh rakyat melainkan diangkat oleh Pusat. Suara-suara ini mula-mula datangnya dari orang-orang Pamong Praja, yang yakin tidak akan dipilih oleh rakyat (tawa, tepuk tangan) lalu mengusulkan pengangkatan supaya dengan begitu ia bisa berkuasa kembali seperti sedia kala tanpa dukungan rakyat. Mereka kemudian mendapat dukungan dari beberapa perwira dan dengan dalih tetap utuhnya negara kesatuan mereka berusaha supaya UU No. 1/1957 ditinjau kembali dan Kepala Daerah supaya tidak dipilih melainkan diangkat saja oleh Pusat. Tetapi berkat kegigihan kekuatan demokratis pikiran-pikiran yang tidak demokratis itu dapat dikalahkan. (tepuk tangan).

Tetapi sesudah dicetuskan gagasan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 45, pikiran-pikiran yang tidak demokratis itu mendapat angin kembali. Mereka tampil ke depan untuk “meretoolcorps pamong praja yang lama dan dengan berlindung di balik semboyan “konsekuen pada UUD 45” mau mengubur UU No. 1/1957 tentang Otonomi Daerah dan mencoba mengembalikan sistem Pemerintahan Daerah yang pada hakekatnya mengebiri demokrasi dan otonomi. Konsep mereka adalah menghapuskan Kepala Daerah dan DPD pilihan, dan menggantinya dengan sistem Kepala Daerah tunjukan dari Pusat dan pada gilirannya Kepala Daerah tunjukan itu harus menunjuk anggota-anggota DPD sebagai pembantunya. Pendeknya mereka mau kembalikan zaman keemasan para kanjeng dan ndoro dari pemerintahan tunggal, yang anti-demokratis dan anti-kolegial.

Kalau pikiran-pikiran ini dilaksanakan maka tamatlah riwayat otonomi di Indonesia, maka “di-retooled-lah” corps pamong praja lama dengan baju “UUD 45”, baju Demokrasi Terpimpin, dengan alasan berpengalaman dalam pemerintahan. (tepuk tangan). Sebab seperti yang diterangkan di atas, otonomi Daerah di Tingkat I dan II baru mempunyai sedikit wewenang dan hak-hak, malahan di tingkat bawah belum lagi berotonomi. Jadi kalau yang sedikit itu juga ditiadakan, mana lagi ada sisa daripada otonomi itu, mana lagi ada sisa hak-hak daerah?

Mereka menepuk dada sebagai pahlawan UUD 45, padahal UUD 45 sama sekali tidak memuat ketentuan seperti itu. Mereka mengatakan, Pemerintah Daerah harus disesuaikan dengan Pemerintah Pusat. Tetapi sengaja menyembunyikan, bahwa menurut UUD 45 Presiden itu hasil pilihan rakyat (tepuk tangan), sedang Kepala Daerah kok mau ditunjuk dari atas! (tawa). UUD 45 sudah menetapkan ketentuan-ketentuan tentang bentuk pemerintahan di Pusat secara tersendiri dan tentang pemerintahan Daerah secara tersendiri pula (Bab VI UUD 45). Kalau betul-betul mau melaksanakan UUD 45 akan lebih masuk akal jika mereka menuntut berlakunya kembali UU Pokok No. 22 tahun 1948, sebab UU inilah yang mengatur ketentuan-ketentuan mengenai pemerintahan Daerah atau otonomi yang sepenuhnya didasarkan kepada UUD 45. Mereka tidak berbuat begitu sebab dengan menyetujui UU No. 22 tahun 1948 tidak lagi ada alasan untuk tidak menyetujui UU No. 1/1957 (tawa) sebab UU ini hanya merupakan lanjutan dan penyempurnaan daripada UU No. 22/1948. Alasan yang mereka kemukakan untuk tidak kembali kepada UU No. 22 tahun 1948, adalah karena UU No. 22 tahun 1948, katanya, sudah “me-liberal-kan” UUD 45, sudah tidak sesuai dengan demokrasi terpimpin. Kalau benar begitu, kita bertanya: “Di bidang pemerintahan, apakah sifat kolegial itu yang dianggap liberal dan sifat tunggal (eenhoofdig) itu demokrasi terpimpin?” (tepuk tangan). Kalau “ya”, kami menolaknya! PKI menerima demokrasi terpimpin dengan pengertian bahwa yang diterimanya adalah demokrasi dan bukan diktator perseorangan. (tepuk tangan).

Adalah tepat sekali canang Laporan Umum dan tajuk rencana Harian Rakyat tertanggal 28 Agustus yang lalu, supaya seluruh Rakyat Indonesia dengan gigih mempertahankan UU No. 1/1957 (tepuk tangan lama), mempertahankan Kepala Daerah dan DPD pilihan. (tepuk tangan). Lebih-lebih sekarang, sesudah keluar Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 oleh Menteri Inti Dalam Negeri Ipik Gandamana yang dengan terang-terangan mau merealisasi pikiran orang-orang pamong praja anti-demokrasi, anti-otonomi, tersebut di atas dan dengan begitu saja mau meniadakan UU No. 1 tahun 1957. Jawaban kita terhadap beliau-beliau itu adalah seperti yang dinyatakan oleh Kawan D. N. Aidit, bahwa di Indonesia hanya ada satu Soekarno (tepuk tangan), dan bahwa Rakyat Indonesia tidak akan mau mengenal “Soekarno-Soekarno kecil” (tepuk tangan) di daerah-daerah yang mau mencoba main angkat ini angkat itu. Bung Karno mendapat kepercayaan besar dari Rakyat Indonesia karena beliau adalah pejuang kemerdekaan yang sudah teruji, sedangkan orang-orang pamong praja yang mau “me-retool” diri sekarang ialah umumnya orang-orang yang bekerja dengan Belanda pada waktu Bung Karno melawan Belanda.

Tentang Otonomi Tingkat III

Kawan-kawan,

Salah satu kepincangan yang terpokok dalam Pemerintahan Daerah ini sehingga juga ikut mengurangi kemampuannya adalah belum dilaksanakannya ketentuan dalam UU No. 1/1957 untuk membentuk otonomi tingkat III. Belum adanya otonomi tingkat III ini, otonomi tingkat II tidak mempunyai kaki ke bawah dan kepada rakyat di desa yang merupakan bagian terbesar dari seluruh penduduk belum diberi kesempatan untuk turut mengatur sendiri rumah tangganya sesuai dengan dasar-dasar demokrasi yang ada pada tingkat I dan II.

Sadar akan hal ini maka Partai kita dengan melalui berbagai kesempatan yang ada menuntut dilaksanakannya otonomi tingkat III ini. (tepuk tangan). Pada mulanya boleh dikata baru Partai kita saja dan massa yang kita pimpin yang lebih banyak menuntut otonomi tingkat III ini. Tetapi berkat usaha kita yang bersungguh-sungguh menuntut terlaksananya otonomi tingkat III maka Menteri Dalam Negeri Kabinet Karya terpaksa sedikit mendekati pikiran kita itu, yaitu dengan berjanji untuk segera mendemokrasikan Desa dengan jalan mengubah IGO (Inlands Gemeente Ordonantie).

Fraksi kita dalam DPR di pusat berpendapat bahwa tidak semestinya IGO dan IGOB itu hanya sekedar diubah saja, melainkan harus dicabut sama sekali. (tepuk tangan). Berdasarkan pendirian ini Dep. Front Persatuan CC PKI telah menyiapkan satu usul inisiatif RUU, untuk mencabut dan mengganti sama sekali IGO dan IGOB yang kolonial itu dan sekaligus “mendirikan rangka perumahan” untuk otonomi tingkat III. (tepuk tangan).

Apakah artinya kalau hanya mengubah satu-dua ketentuan dalam IGO tanpa menyinggung sistem pemerintahannya? Berkat desakan dan tuntutan kita, kini kekuatan yang menghendaki segera terbentuknya otonomi tingkat III sudah semakin besar. Dalam konferensi dinas seluruh Kepala Daerah dan Ketua DPRD tingkat I dengan seluruh Gubernur pada bulan April 1959 yang lalu telah diambil satu keputusan, yaitu supaya diadakan persiapan-persiapan untuk segera mewujudkan pembentukan Daerah-Daerah tingkat III. (tepuk tangan). Para peserta konferensi itu juga mengakui bahwa banyak di antara kesulitan-kesulitan yang dialami oleh Pemerintah sampai sekarang ini adalah juga akibat diabaikannya kedudukan kampung-kampung dan persekutuan-persekutuan yang lebih kecil yang melingkupi kampung-kampung, yang masih hidup di dalam masyarakat seperti: Desa, Negeri, Kuria, Marga, dan sebagainya, yang sebenarnya menjadi suatu landasan yang kokoh, di atas mana berdiri swatantra, yang sekarang sedang kita perjuangkan untuk disempurnakan kedudukannya.

Juga Presiden di dalam Manifesto Politiknya 17 Agustus 1959 yang lalu, sudah mengutuk sistem pemerintahan warisan kolonial itu dan karena itu harus diganti, harus diretool.

Memang, terwujudnya program sandang-pangan dan masyarakat yang adil dan makmur akan hanya ada dalam impian jika pemerintahan Desa yang eenhoofdig sekarang tidak diretool dan diganti dengan suatu sistem pemerintahan yang kolegial dan berotonomi luas. Menghalangi pembentukan otonomi tingkat III pada waktu sekarang berarti mempertahankan warisan kolonial dan sabotase dalam usaha mengikutsertakan rakyat dalam pembangunan negara. (tepuk tangan). Rakyat yang diperintah secara kolonial dan feodal tidak bisa cepat menemukan kesadaran nasionalnya. Kita juga harus turut mencegah supaya seruan “retooling” itu tidak hanya tinggal semboyan saja, lebih-lebih supaya ia jangan disalahgunakan. Jangan otonomi di tingkat I dan II “diretool” sehingga hak-hak otonominya dilucuti dan demokrasinya dikebiri, sebaliknya pemerintah Desa yang seharusnya diretool menjadi otonomi tingkat III dibiarkan tetap begitu saja. (tepuk tangan).

Demi melawan bahaya anti-demokrasi, demi demokrasi yang luas di dalam sistem pemerintahan di pusat dan di daerah-daerah, saya yakin bahwa di bawah pimpinan Partai kita yang jaya, apa yang disebutkan oleh Kawan D. N. Aidit dalam Laporan Umum itu akan dapat terlaksana. (tepuk tangan).

Hidup demokrasi! (“Hidup!”, tepuk tangan).