Pidato Kawan Th. P. Rissi

(Sekretaris CDB PKI Nusa Tenggara Timur)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kawan-kawan yang tercinta,

Bagi saya hari ini adalah hari yang selama kehidupan saya sangat dan sungguh bersejarah dan karenanya saya merasakannya sebagai suatu kebanggaan Komunis, mendapatkan kepercayaan dari Partai setempat untuk mewakilinya di dalam Kongres yang jaya ini.

Selain dari itu pula saya dititipkan oleh kaum Komunis se-Nusa Tenggara Timur dan juga oleh seluruh rakyat yang jujur yang masih berada di luar Partai kita di daerah-daerah kami guna meneruskan salam yang hangat selain daripada rasa terima kasihnya yang tak terhingga sebagai suvenir abadi yang setia kepada Partai Komunis Indonesia melalui Kongres Ke-VI PKI yang mulia, karena rakyat di Nusa Tenggara Timur yang tertindas, sekurang-kurangnya sudah merasa diberikan jalan keluar dari dunia kegelapan, berkat pimpinan PKI yang dijiwai oleh keunggulan teori Marxisme-Leninisme yang sudah dipraktekkan kebenarannya.

Dalam Laporan Umum Kawan D. N. Aidit telah dijelaskan bahwa hasrat Rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan nasional yang penuh, untuk kebebasan-kebebasan demokratis dan untuk memperbaiki penghidupannya, masih belum terpenuhi. Hal ini masih sangat terasa di daerah kami.

Perkenankan saya memberikan fakta-fakta yang membenarkan perumusan-perumusan Kawan Aidit di dalam Laporan Umumnya.

Kawan-kawan,

Nusa Tenggara Timur dengan luas daerahnya ± 48.169 km2 dan berpenduduk ± 2 juta orang, meliputi pulau-pulau Timor, Sumba, dan Flores. Pada umumnya sistem perbudakan disamping feodalisme masih bertahta dan berkuasa penuh di daerah kami, terutama dalam bentuk monopoli tanah-tanah, artinya setiap jengkal tanah adalah milik raja. Demikian, beratus-ratus ribu kaum tani hidup di atas tanah, tetapi tidak bertanah. Praktek-praktek sewa tanah yang berujud barang dan berujud kerja yang lazim disebut “kerja abeat” menempatkan kaum tani dalam kedudukan budak atau abeat.

Secara bergilir kaum tani harus bekerja tanpa upah dan tanpa diberi makan selama 14 hari atau lebih di istana raja. Mereka membawa makanannya sendiri-sendiri dan malamnya tidur di atas tanah, bagaikan hewan-hewan di padang rumput, berbantalkan batu dan berselimutkan ketidakadilan sosial.

Selama ia berada di istana ia dipanggil “abeat”. Pekerjaan abeat ini terutama mencari kayu api, mengerjakan dan menyiram kebun-kebun bunga, kebun sayur, dan lain-lain pekerjaan sehari-hari di lingkungan istana raja. Bila ikatan dinas sudah selesai boleh mereka pulang ke kampungnya masing-masing dengan berjalan kaki.

Waktu musim ladang selain kaum tani bekerja di ladangnya sendiri, mereka diharuskan pula mengerjakan sebuah ladang untuk tuan raja dan menanamnya dengan bibit kepunyaan kaum tani sendiri. Pokoknya tuan raja sesudah panen menerima 100% hasilnya dengan tidak mengeluarkan sepeser pun upah. Kebun untuk raja itu dinamakan “etu”. Hal ini terpaksa dikerjakan oleh kaum tani agar bisa mendapatkan izin mengerjakan ladang guna hidup beserta sekeluarganya. Kaum tani benci kerja “etu” maupun “abeat”, yang dilegalisasi dengan peraturan raja, karena pekerjaan abeat dan etu harus dilakukan juga untuk fetor-fetor dan kepala-kepala kampung. Partai kita tampil ke depan dengan program-program yang tepat terutama sekali dalam hal membantu kaum tani, terutama kaum buruh tani dan tani miskin, yaitu mengorganisasinya, meningkatkan keberaniannya untuk berlawan dan memupuk kepercayaan pada dirinya sendiri. Tidak usah diherankan kalau PKI sudah mulai dicintai oleh Rakyat Nusa Tenggara Timur yang memang mempunyai tradisi yang revolusioner, kecuali oleh raja-raja dan tuan tanah sebagai lawannya. Kaum tani menyambut dengan antusias putusan Konferensi Tani PKI tentang pembagian hasil minimum 60% bagi kaum tani penggarap, karena ia akan dijadikan senjata yang ampuh bagi kaum tani di Nusa Tenggara Timur.

Kawan-kawan,

Jadi praktek-praktek perbudakan di daerah kami bukanlah praktek yang bisa dinamakan sandang-pangan untuk rakyat, tetapi sandang-pangan untuk raja dan tuan tanah. Soal lain, kalau ada salah seorang keluarga kaum tani meninggal dunia, sebelum dikuburkan keluarga itu diharuskan membayar 25 Ringgit Perak Belanda kepada raja. Bila kaum tani tidak beruang Belanda, harus diserahkan seorang anak kepada tuan feodal untuk dijadikan budaknya. Anak ini harus bekerja seumur hidup di bawah siksaan dan selama itu menunggu-nunggu sampai 25 Ringgit Perak ditebus. Begitulah perikemanusiaan raja, sampai-sampai mayat pun menjadi objek pengisapan dan penindasan. Kejadian-kejadian ini masih berlaku hingga ini hari. Dan bagaimana sikap Partai kita? Perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai lagi dengan zaman kita ini harus dilawan, ditelanjangi melalui aksi massa. Bukan itu saja usaha Partai tetapi melalui rupa-rupa jalan terutama sekali melalui pendidikan-pendidikan dan mengorganisasi aksi-aksi kaum tani untuk melawan praktek-praktek pengisapan mayat itu.

Pada umumnya kaum tani mendapatkan tempat untuk berladang di tanah-tanah yang tidak subur dan penuh batu-batu karang. Ini berarti bahwa kaum tani di Nusa Tenggara Timur dipaksakan menggali batu daripada bekerja produktif menambah hasil panen.

Cara-cara bercocok tanam yang berpindah-pindah dan belum menetap di suatu tempat, mengakibatkan rumah-rumah, kampung-kampung mereka pun ikut berpindah-pindah. Kampung-kampung mereka itu hanya terdiri dari 2 sampai 3 rumah saja dan letaknya satu kampung dengan kampung lainnya adalah sangat berjauhan tidak kurang dari 10 km jaraknya. Jadi untuk mendatangi kampung-kampung itu tidak mungkin kita bersepeda apalagi bermobil. Jalan kaki, naik kuda itu transpornya, jadi berbeda dengan Kalimantan Tengah.

Kaum tani pada umumnya di daerah kami masih terbelakang. Hidupnya masih sangat sederhana. Perkakas-perkakas produksi yang digunakan untuk mengolah tanah dan membuat ladang-ladang mereka hanya parang saja yang biasanya parang itu merupakan warisan dari mbahnya, parang itu selain untuk memotong ladang digunakan juga untuk membersihkan rumput-rumputan yang menyerang tanaman mereka yang lazim disebut “Tofa”, jadi parang itu mempunyai 2 fungsi selain memotong/menebas semak/belukar juga dijadikan “Totofa”. Untuk mengolah tanah atau membalik tanah mereka menggunakan batang-batang kayu yang diruncing ujungnya dan sewaktu menanam jagung atau padi-padian digunakan juga alat yang semacam itu atau bambu runcing yang disebut “sokot”. Karena mereka itu pada umumnya mesti bekerja dan membuat 2 kebun, yang satu untuk dia sekeluarga, yang lainnya “etu” kebun raja, membikin mereka harus kerja dalam jumlah yang banyak, bergotong-royong dan karenanya pekerjaan-pekerjaan harus dibagi-bagi.

Kawan-kawan,

Berpindah pada struktur pemerintah feodal yang sepenuhnya masih berkuasa, susunan pemerintahannya ada 5 tingkat, yaitu raja, fetor, temukung besar, kepala kampung, dan barnemeng-barnemeng. Mereka masing-masing mempunyai kekuasaannya sendiri-sendiri dalam lingkungannya masing-masing. Setiap putusan-putusannya adalah sah dan didasarkan kepada “Hukum Adat”. Bila raja perlu memanggil seseorang yang dianggapnya bersalah maka pesuruhnya itu dipukulnya lebih dahulu sebanyak 25 kali dengan rotan dan setibanya di tempat dimana orang itu berada, maka pesuruh ini memukul lagi orang yang dipanggilnya itu, dengan menunjukkan tanda bukti sesuatu yang kepunyaan raja, biasanya topi raja yang dibawa si pesuruh itu. Dan orang yang tadi itu sesudah dipukul 25 kali, kedua-duanya pergi menghadap raja. Inilah salah satu bentuk adat tua yang masih berlaku.

Kerja sama yang erat antara raja-raja dengan golongan agama katolik merupakan ciri khusus di desa-desa di daerah kami, dan karenanya Partai telah menyimpulkan pula, bahwa hakekat daripada pengaruh kekuatan-kekuatan partai-partai agama terutama katolik yang terdapat di seluruh NTT, justru karena feodal-feodal itu berlindung di dalamnya. Hubungan timbal-balik yang saling butuh-membutuhkan berdasarkan kebutuhan masing-masing membikin hingga hari ini kekuasaan feodal masih utuh, malahan mendapat perlindungan hukum dari pemerintah berdasarkan PP No. 68 Tahun 1958 (yang Kepala Daerahnya berkuasa secara turun-temurun jadi tidak dipilih oleh rakyat) dan pastor-pastor bangsa Belanda yang tidak mustahil anti-Republik Proklamasi dan merupakan mata-mata musuh yang sangat berbahaya, dengan aman dilindunginya.

Partai Katolik di 7 Swatantra tingkat II merupakan partai mutlak dan barangkali belum pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia bahwa dalam sesuatu Daswati II bila hanya ada 15 kursi maka seluruhnya itu dimonopoli oleh Partai Katolik. Dari 12 Daswati II, 7 tempat mutlak dan di 5 tempat lainnya merupakan salah satu partai besar. Sedangkan di Daswati I, katolik lebih dari separuh.

Kawan-kawan,

Situasi imbangan kekuatan di daerah kami ini yang demikian itu, membikin pastor-pastor bangsa Belanda yang tidak sedikit jumlahnya yang tersebar meluas di daerah-daerah kami terutama tempat-tempat mereka ini di pedalaman, memainkan peranan yang tidak boleh diremehkan terutama rolnya dalam “mata-mata musuh”. Salah satu kejadian yang sangat membenarkan, pastor Belanda v. Wissing secara terang-terangan ikut aktif dalam peristiwa “Dropping senjata” di Daswati II Timor Tengah Utara dan segera rakyat mengetahuinya bahwa biang keladi dari permainan mata-mata musuh ini adalah pastor Belanda pengkhianat itu. Rakyat segera mendatangkan angkatan bersenjata dan menjebloskannya di dalam tahanan militer. Tetapi pada waktu itu Grootmajor Permesta Kodeowa seorang katolik berkuasa di atas segala-galanya dan menjalankan diktator miilter perseorangannya, dan karena pastor Belanda ini adalah sama-sama katoliknya dan merupakan majikannya pula mendadak sontak dibebaskan dari tahanan dan oleh tokoh-tokoh partai katolik pastor Belanda ini diarak keliling kota sambil diikuti dengan teriakan-teriakan bahwa pastor Belanda ini adalah orang suci dia datang dari negerinya untuk membantu kita naik ke surga ……… Apa lacur ……… Beberapa hari kemudian terdengar desas-desus bahwa pasukan Brawijaya akan mendarat di Kupang maka pastor khianat ini mulai terbongkar akan kedoknya sebagai “mata-mata musuh” karena mendadak menghilang dari tempatnya dan dengan menunggang kuda, Belanda khianat ini melarikan diri ke luar negeri dengan diam-diam melalui Portugis, kemudian diselamatkan melalui Australia, dan kini kemungkinan besar sudah berada di negerinya yaitu Holland dan bisa juga ia berada di Irian Barat.

Selain dari itu praktek-praktek celaka dari Grootmajor Permesta bekas serdadunya Ratu Juliana yang biasa disebut bekas Knil ini mengeluarkan surat perintah untuk segera menangkap semua aktivis-aktivis Partai kita dan membeslag semua stempel Partai. Berdasarkan instruksi tersebut maka serdadunya bekas Knil juga yang aktif bergerak untuk menegakkan kekuasaan Permesta yang menerima gaji dari Rakyat Indonesia, menangkap para kader Partai dan dianiayanya dengan membanting ke atas tanah sambil diinjak-injak, mengakibatkan aktivis dan kader Partai kita digotong ke rumah sakit. Bukan saja di satu tempat tetapi 35 para kader lainnya termasuk Sekretaris-Sekretaris Comite Seksi dan wakil-wakilnya serta ditangkapinya yang berjumlah 35 orang dan dijebloskan ke dalam penjara Permesta. Di Flores Yan Jon anggota Dewan Pemerintah Swapraja Sementara mengorganisir rakyat Katolik untuk membunuh kader-kader Komunis di Maumere. Kader Partai dilempar batu dan batu mana kena sasarannya. Kawan ini bisa segera tertolong karena tepat pada waktunya oleh tiga barisan keamanan. Kantor Partai saja masih sempat dibakar tetapi kantor tersebut telah dibangunkan kembali oleh Partai.

Jadi berbicara tentang Indonesia masih setengah feodal saya rasa tidak perlu diragukan lagi akan kebenaran perumusan Kawan Aidit untuk Daerah Nusa Tenggara Timur.

Kawan-kawan yang tercinta,

Berbicara tentang pelaksanaan plan 3 tahun Partai seperti apa yang diputuskan oleh Sidang Pleno ke-IV CC untuk memimpin perkembangan Partai terutama di dalam bagian Organisasi dan Pendidikan, betul-betul merupakan putusan yang bersejarah, sebab di daerah kami terasa sekali rol dan peranan Plan 3 Tahun Partai. Plan ini telah menimbulkan suasana baru, telah membawa kesegaran dan kegembiraan bekerja dalam barisan Partai. Plan ini telah mempertinggi daya memobilisasi daripada Partai. Di dalam Partai mulai dibiasakan cara kerja yang rasional dan efektif.

Bekerja dengan plan berarti berusaha meluaskan dan mengonsolidasi Partai. Perlu kami tekankan di sini bahwa memang masih belum berhasil seluruhnya pekerjaan kita disebabkan karena di daerah kami itu praktis baru dikerjakan dalam bulan November 1958, pada akhir tahuan penutupan plan Partai, sehingga dengan demikian masih perlu mendapat penekanan-penekanan lagi dalam plan 3tahun kedua.

Kawan-kawan,

Justru karena mendalamnya penindasan kepada Rakyat ini, maka perkembangan Partai juga sangat dirasakan. Jumlah keanggotaan telah meningkat dengan lebih dari 400% apabila dibandingkan dengan 1955. Kemajuan ini dicerminkan dalam kemenangan-kemenangan Partai dalam pemilihan umum untuk DPR dan Konstituante yang lalu, dan setiap Komunis yakin, bahwa kesimpulan-kesimpulan Kongres Nasional ke-VI Partai sekarang ini menimbulkan daya penarik yang lebih kuat kepada rakyat untuk berdiri dengan teguh di sekitar Partai.

Akhirnya kami sepenuhnya merasakan pentingnya tekanan Kawan D. N. Aidit “Teruskan bekerja dengan plan 3 tahun” dan  semboyan pokok yang berbunyi antara lain “Lanjutkan pembangunan Partai di seluruh negeri yang bersatu erat dengan massa, yang terkonsolidasi di lapangan ideologi, politik, dan organisasi” menjiwai penuangan isi pidato pendek kami ini dan ia merupakan penyuluh yang menyuruh.

Kawan-kawan yang tercinta,

Sebagai penutup, atas nama CDB NTT saya perlu tekankan sekali lagi bahwa Laporan Umum yang disampaikan oleh Kawan D. N. Aidit dari Comite Central PKI kepada Kongres Nasional ke-VI ini, dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab diwujudkan di dalam satu nada, kami se-NTT setuju dan mengesahkan kebenaran isinya atas seluruh Laporan Umum maupun Konstitusi baru dan Program dari Partai Komunis Indonesia yang jaya dan yang kami cintai.

Sekian dan terima kasih.