Pidato Kawan Sakirman

(Anggota Politbiro CC PKI)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kawan-kawan yang tercinta,

Kawan-kawan Presidium, dan

Kongres yang Mulia ini (tepuk tangan).

Pertama-tama saya menyatakan menyetujui sepenuhnya Laporan Umum yang telah diberikan oleh Kawan Sekretaris Jenderal CC Partai, Kawan D. N. Aidit kepada Kongres yang terhormat ini. Juga saya dapat menyetujui sepenuhnya Rencana Perubahan Konstitusi dan Rencana Perubahan Program yang berturut-turut telah dijelaskan oleh Kawan-kawan M. H. Lukman dan Njoto. (tepuk tangan).

Sekarang saya akan mengemukakan beberapa soal ekonomi, terutama berupa fakta-fakta yang untuk memperkuat kebenaran daripada kesimpulan yang telah dirumuskan dalam Laporan Umum itu mengenai soal ekonomi. (tepuk tangan).

EKONOMI EKSPOR KOLONIAL SEBAGAI CIRI POKOK EKONOMI INDONESIA

Analisa yang telah diberikan oleh Kawan Aidit secara mendalam dan objektif mengenai soal ekonomi Indonesia, telah mengungkapkan betapa “gevoelignya” Indonesia, yang ekonominya pada pokoknya masih merupakan ekonomi ekspor kolonial (koloniale export ekonomi) dan yang karenanya sangat tergantung kepada pasar dunia kapitalis, terhadap krisis-krisis ekonomi dunia kapitalis.

Lebih daripada itu, pada waktu kenaikan aktivitas ekonomi di negeri-negeri kapitalis sekalipun, keadaan ekonomi Indonesia tetap suram dan terbenam dalam lumpur krisis ekonomi yang terus-menerus dengan akibat-akibatnya yang sangat kejam yaitu penderitaan Rakyat Indonesia, terutama kaum buruh dan tani di bawah pemerasan dobel dari kaum imperialis asing dan tuan tanah. (tepuk tangan).

Sejak Perang Dunia II, krisis umum kapitalisme sebagaimana telah kita ketahui semakin hebat karena beberapa sebab:

  1. sistem Sosialisme telah meluas dan meliputi daerah yang kuasa (machtig) dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 1.000 juta atau lebih dari sepertiga jumlah penduduk seluruh dunia (tepuk tangan);
  2. krisis kolonialisme daripada sistem imperialisme semakin mendalam;
  3. semakin meruncingnya kontradiksi-kontradiksi antara kaum buruh dan kaum kapitalis besar di negeri-negeri kapitalis, dan
  4. kontradiksi-kontradiksi baru yang lebih meruncing lagi yang timbul di antara negeri-negeri imperialis.

Sesudah Perang Dunia II juga kita lihat ciri baru dalam sistem kapitalisme yaitu kenyataan bahwa ekonomi Amerika Serikat mempunyai kedudukan yang paling berkuasa dalam dunia kapitalis, tetapi yang telah mengalami krisis terus-menerus semenjak Perang Dunia II. Tidak kurang dari 4 kali ekonomi Amerika Serikat telah diserang oleh krisis, yaitu dalam tahun-tahun 1946, 1948-1949, 1953-1954 dan 1957-1958. Peranan yang domineerend dari ekonomi AS ini membawa akibat bahwa pengaruh daripada setiap krisis yang timbul di AS atas dunia kapitalis menjadi lebih besar lagi. Krisis yang paling akhir di AS, yang sekarang katanya memang sudah mulai memasuki fase “recovery” telah mengakibatkan turunnya produksi industri yaitu dari angka indeks 143 dalam tahun 1956 (1947- 1948 = 100), menjadi 135 dalam bulan Desember tahun 1957 dan 127 dalam bulan Maret 1958. Pengangguran menurut angka-angka resmi sekalipun, mencapai puncaknya sesudah Perang Dunia II yaitu 5,2 juta dan masih terus berlangsung pada tingkat yang tinggi.

Angka-angka berikut ini kawan-kawan, menunjukkan betapa beratnya kapasitas-kapasitas menghasilkan dari Indonesia itu terkena oleh krisis ekonomi AS dan betapa sangat sedikitnya terdapat perbaikan dalam periode di antara krisis-krisis itu sekalipun. Kalau kita lihat misalnya:

 

Harga karet New York dalam dolar sen AS setiap lb*

Harga timah London dalam £ tiap ton

1951

71,875

1167,5

1952

39,27

959,5

1953

24,95

780,75

1954

25,42

713,44

1955

39,375

756

1956

35,01

803,5

1957

30,59

760,2

1958

28,76

734,63

1959

30,225 (Maret)

776,07 (Februari)

* 1 lb = lebih kurang 0,435 kg.

Dengan sengaja di sini hanya dikemukakan angka-angka tentang harga dari dua bahan ekspor kita yang terpenting, yaitu karet dan timah.

Menteri Luar negeri Subandrio menyatakan dalam kunjungannya ke Amerika Serikat tahun yang lalu, bahwa setiap penurunan harga 1 dolar sen untuk tiap-tiap lb karet berarti suatu kehilangan pendapatan devisa tidak kurang dari $ AS 15.000.000, setiap tahunnya, berdasarkan perhitungan bahwa setiap tahun Indonesia mengekspor karet ke luar negeri lebih kurang 1.500.000.000 lb.

Disamping kerugian yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat turunnya harga dihitung dalam dolar AS, maka Indonesia juga menderita kerugian disebabkan oleh merosotnya volume ekspor dan juga oleh merosotnya nilai uang rupiah kita terhadap dolar atau sterling.

Ambillah sebagai contoh misalnya jumlah kehilangan devisa kita karena turunnya nilai ekspor karet dalam tahun 1958 dibandingkan dengan pendapatan devisa dalam tahun 1955. Jumlah volume ekspor karet perkebunan dan karet rakyat dalam tahun 1955 adalah 738.865 ton atau 738.865.000 kg dengan harga 39.375 dolar sen setiap lb, sedangkan jumlah volume ekspor dalam tahun 1958 adalah 599.989 ton atau 599.989.000 kg dengan harga 28 dolar sen setiap lb. Jadi jumlah turunnya pendapatan devisa yang diakibatkan oleh merosotnya volume ekspor saja, adalah (738.865.000 - 599.989.000) X 2,2 X 39,375 sen dolar AS = $ 120.281.125. Di samping itu Indonesia menderita kerugian riil sebagai akibat daripada merosotnya harga karet sebanyak 39,375 - 28 = 11,375 sen dolar setiap lb yang berarti kerugian sebanyak 2,2 X 599.989.000 X 11,375 sen dolar = $150.199.512.

Jadi jumlah kerugian yang telah diderita oleh Indonesia dalam satu tahun saja, yaitu tahun 1958, dimana Amerika Serikat sedang diserang oleh krisis kapitalisme dibandingkan dengan tahun 1955 yaitu salah satu tahun dalam periode antara krisis-krisis 1953-1954 dan 1957-1958 adalah tidak kurang dari $ 120.281.125 + $ 150.199.512 = $ 270.480.673.

Sekarang, kita periksa lebih lanjut jumlah kerugian rata-rata tiap-tiap tahun sebagai akibat daripada turunnya harga karet sejak tahun 1952, dibanding dengan harga tahun 1951, yaitu “tahun keemasan” Indonesia.

Harga karet selama 7 tahun yaitu dari tahun 1952 sampai dengan tahun 1958, rata-rata adalah 31,9 sen dolar AS atau jika dibandingkan dengan harga tahun 1951 sebesar 71,9 sen dolar, merupakan suatu kemerosotan 40 sen dolar rata-rata setiap tahun setiap lb. Dan angka-angka yang diumumkan oleh Kantor Pusat Statistik dapat kita ketahui bahwa volume ekspor karet selama periode 1952-1958 adalah rata-rata 708.143 ton.

Ini berarti bahwa kerugian Indonesia rata-rata setiap tahun adalah 2,2 X 708.143.000 X 40 sen dolar = $ 623.165.840 dan kerugian selama 7 tahun, sebagai akibat kemerosotan harga karet dibandingkan dengan harga tahun 1951, adalah 7 X $ 623.165.840 = $ 4.362.160.880 atau lebih kurang $ 4,4 milyar.

Selanjutnya dapat kita ketahui dengan mudah berapa besarnya kerugian yang telah kita alami sampai sekarang ini berhubung turunnya harga timah rata-rata setiap tahun dibandingkan dengan harga dalam tahun 1951. Harga timah internasional selama jangka waktu 7 tahun ini yaitu dari tahun 1952 sampai dengan tahun 1958 adalah rata-rata setiap tahun £ 785,5, dan harga dalam tahun 1951 £ 1167,5 sehingga kemerosotan harga setiap tahun rata-rata adalah £ 1167,5 - £ 785,5 = £ 382,-. Volume ekspor rata-rata setiap tahun menurut angka-angka Kantor Pusat Statistik adalah 43.554 ton yang berarti kerugian rata-rata setiap tahun adalah 43.554 X £ 382 = £ 16.637.628, jadi selama 7 tahun sama dengan 7 X £ 16.637.628 = £ 116.463.396 atau jika dihitung dalam rupiah menurut kurs riil yang berlaku sekarang sama dengan 300 X Rp. 116.463.396 = Rp. 34.939.018.800 = Rp. 35 milyar.

Mungkin ada di antara kita yang terkejut melihat angka-angka yang jauh berbeda dengan angka-angka dari Kantor Pusat Statistik.

Hal ini memang mudah dimengerti, akan tetapi perlu juga diketahui bahwa angka-angka dari Kantor Pusat Statistik mengenai nilai ekspor dan impor masih diperhitungkan dalam rupiah yang kursnya masih ditetapkan pada dasar yang lama yaitu 1 $ AS = Rp. 11,40, padahal kurs riil rupiah kita sebulan yang lalu menurut catatan-catatan yang dapat kita kumpulkan sudah sangat merosot, yaitu 1 $ AS = Rp. 120,-.

Kerugian raksasa yang berjumlah berpuluh-puluh milyar rupiah yang telah diderita oleh Indonesia selama tahun-tahun kemerdekaan setelah persetujuan KMB yang timbul sebagai akibat masih bercokolnya politik ekspor kolonial itulah yang terutama merupakan sumber daripada segala kesulitan ekonomi dan keuangan, merupakan sumber dari semua krisis ekonomi Indonesia yang semakin mendalam ini.

Angka-angka yang dikemukakan di atas belumlah sepenuhnya mencerminkan kerugian yang sebenarnya yang telah dialami oleh Indonesia selama 7 tahun belakangan ini, karena angka-angka tersebut baru meliputi jumlah-jumlah kemerosotan volume ekspor dan turunnya harga dua jenis bahan ekspor saja, yaitu karet dan timah yang memang sebagaimana telah kita terangkan merupakan “inti” daripada bahan-bahan ekspor Indonesia.

Disamping itu perlu juga kita ketahui bahwa angka-angka resmi mengenai ekspor bahan-bahan mentah kita belumlah menggambarkan keadaan yang sesungguhnya, karena sebagaimana telah diketahui oleh umum banyak terjadi kerugian-kerugian besar yang disebabkan oleh apa yang dinamakan “undergrading” dan “kelebihan berat” dalam hal menetapkan kualitas bahan-bahan ekspor dan volume ekspor. Pelanggaran berupa “undergrading” terjadi apabila kualitas daripada bahan yang diekspor sebenarnya lebih tinggi daripada kualitas yang secara resmi diketahui oleh Pemerintah, sedangkan “kelebihan berat” kita jumpai apabila berat bahan-bahan yang diekspor melebihi daripada beratnya yang resmi.

Lain daripada itu masalah penyelundupan sampai sekarang ini masih tetap merupakan suatu masalah yang belum dapat terpecahkan secara baik, apalagi secara sempurna, sehingga tidaklah meleset dugaan kita apabila merosotnya volume ekspor kopra misalnya yang sangat menyolok itu, terutama disebabkan oleh penyelundupan-penyelundupan secara besar-besaran selama beberapa tahun belakangan ini, yang dilakukan oleh kaum pemberontak kontra-revolusioner “PRRI”-Permesta dan tukang-tukang penyelundup lainnya yang berkaliber internasional.

Sangatlah menarik perhatian kita sebuah berita dalam harian Suluh Indonesia dalam bulan Oktober tahun yang lalu, bahwa kekayaan kaum pembetontak kontra-revoiusioner yang telah dapat dikumpulkan selama beberapa tahun belakangan ini katanya tidak kurang dari $ 390 milyar Malaya.

Selanjutnya perlu kita peringatkan sekali lagi bahwa salah satu sebab yang pokok, mengapa Indonesia selalu kekurangan persediaan devisa, ialah karena Pemerintah-pemerintah Indonesia yang pernah berkuasa semenjak persetujuan KMB tidak ada yang mempunyai kesanggupan dan keberanian (tepuk tangan) untuk menguasai devisa yang dihasilkan oleh maskapai-maskapai minyak raksasa asing, seperti BPM-SHELL, STANVAC dan CALTEX (tepuk tangan). Minyak tanah merupakan ekspor Indonesia nomor satu dalam tahun 1958 dan menduduki lebih kurang sepertiga dari nilai ekspor Indonesia seluruhnya dibandingkan dengan 23,8% dalam tahun 1938.

Lebih daripada itu, keuntungan-keuntungan maskapai-maskapai minyak tersebut yang semestinya sebagian menjadi hak Pemerintah, tidak masuk kas negara akan tetapi “diserahkan kembali” oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah dibuat dengan mereka. Sebagai contoh misalnya bagian daripada keuntungan CALTEX selama tahun 1953-1957 sebanyak Rp. 175.122.148,81 (diperhitungkan menurut kurs resmi) dan keuntungan bersih dalam 2,5 tahun yang akan datang sebanyak Rp. 67.791.985 yang semestinya menjadi haknya pemerintah, telah dilepaskan oleh Pemerintah sebagai akibat daripada perjanjian-perjanjian tanah kontrakan 5a yang telah dua kali diperpanjang yaitu dari 1 Januari 1957 sampai dengan 1 Januari 1958 dan dari tanggal 1 Juli 1958 sampai dengan 1 Januari 1961.

Sangat menyolok dan mengherankan ialah kenyataan bahwa perkembangan volume dan nilai ekspor minyak tanah yang menghasilkan devisa melimpah-limpah bagi kaum monopolis asing, menunjukkan gambaran yang sangat berbeda dengan perkembangan volume dan harga ekspor bahan-bahan mentah Indonesia lainnya.

Sebagaimana ternyata dari angka-angka berikut, maka baik volume maupun harga ekspor minyak tanah menunjukkan garis yang naik terus-menerus:

EKSPOR MINYAK TANAH 1955-1957

 

Minyak Tanah dan hasil-hasilnya

Semua bahan ekspor lainnya

Volume

Nilai

Volume

Nilai

1955

9,473juta ton

Rp. 2,716 juta

2,716 juta ton

Rp. 8,197 juta

1956

10,527 juta ton

Rp. 2,507 juta

2,507 juta ton

Rp. 7,491 juta

1957

15,615 juta ton

Rp. 3,677 juta

2,379 juta ton

Rp. 7,375 juta

BAHAYA INFLASI SPIRAL

Krisis ekonomi Indonesia yang bersumber pada kenyataan masih tetap bercokolnya ekspor ekonomi kolonial Indonesia (koloniale ekspor ekonomi) sudah tentu mempunyai banyak seginya. Disamping segi-segi seperti telah diuraikan di atas, yaitu kemerosotan volume ekspor dan kemerosotan harga bahan-bahan ekspor tiap-tiap kesatuan berat, maka kita lihat, sebagai akibat daripada segi-segi ini, segi-segi lainnya yang tidak kurang bahayanya bagi keselamatan negara dan tanah air kita.

Dalam menghadapi keadaan ekonomi yang sedang mencapai puncak-puncak kesulitannya, yang timbul sebagai akibat daripada keterbelakangan ekonomi Indonesia dan lebih-lebih lagi sebagai akibat daripada krisis umum kapitalisme dunia, maka jalan yang klasik yang selalu ditempuh oleh Pemerintah-pemerintah Indonesia adalah:

  1. mengurangi pemasukan barang-barang impor, berhubung dengan berkurangnya pendapatan devisa negara,
  2. mencari prosedur impor yang “baru” yaitu mengadakan penggolongan-penggolongan baru dalam barang-barang impor dengan TPI-nya yang “baru” pula, dan
  3. berusaha mendorong ekspor dengan mengadakan indusemen-indusemen, baik yang dinamakan bukti indusemen, bukti ekspor dolar atau yang oleh bekas Menteni Keuangan Mr. Sutikno Slamet dinamakan bukti ekspor (BE).

Tindakan untuk mengurangi masuknya barang-barang impor, sudah terang mempunyai segi-segi yang positif, karena hal ini berarti menghemat devisa negara. Akan tetapi tindakan itu jika tidak dibarengi dengan usaha untuk memperbanyak produksi barang-barang kebutuhan rakyat sebagai pengganti daripada barang-barang impor ini, sudah pasti membawa akibat yang merugikan yaitu meningkatnya harga barang-barang kebutuhan yang diimpor dan secara tidak langsung juga naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya yang pada umumnya dihasilkan di dalam negeri sendiri. Ini adalah sebab pertama yang secara langsung mempengaruhi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, kenaikan mana dalam prakteknya terus meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi lagi karena perbuatan manipulasi dan spekulasi daripada pedagang-pedagang tukang catut, kaki tangan-kaki tangan kaum kapitails besar asing dan lain-lain.

Sebab kedua daripada kenaikan harga bersumber kepada sistem TPT, yang dalam teorinya berarti suatu sistem kurs yang berbeda-beda untuk barang impor yang dibagi dalam beberapa penggolongan, sistem TPI yang juga dinamakan “sistem kurs yang berbeda-beda”.

Sementara orang berpendapat bahwa sistem TPI atau “sistem kurs yang berbeda-beda” ini mempunyai segi-seginya yang positif dan menguntungkan negara. Pendapat ini dalam batas-batas tertentu memang bisa dikatakan sebagian benar juga. Sebab dengan menerapkan cara itu bisa diusahakan bahwa pemasukan barang-barang impor jumlahnya bisa ditetapkan menurut kebutuhan, sehingga barang-barang lux dan setengah lux misalnya dikenakan TPI yang lebih tinggi daripada barang-barang kebutuhan pokok.

Akan tetapi di pihak lain sistem ini bisa dan menurut pengalaman memang selalu membuka jalan bagi banyak penyalahgunaan. Negeri-negeri yang baru merdeka termasuk Indonesia mempunyal banyak ciri-ciri yang khusus, di antaranya bahwa kekuatan pokok daripada ekonomi dipusatkan kepada sektor-sektor yang dikuasai sepenuhnya oleh modal besar asing dan pemerintah-pemerintah negeri-negeri itu selalu berada dalam tekanan terus-menerus dalam berbagai bentuk, secara terbuka atau tidak terbuka, untuk tidak membebankan pajak-pajak yang berat kepada kaum monopolis asing itu.

Akibatnya ialah bahwa keuangan negara pada pokoknya bersandar kepada pajak langsung maupun tidak langsung. Dan sistem TPI yang memang sangat cocok untuk maksud-maksud demikian itu, yaitu terutama untuk memaksakan pajak-pajak tidak langsung, bisa dan memang telah digunakan tidak untuk menciptakan “kurs” yang berbeda-beda akan tetapi terutama lebih banyak untuk menguras pajak-pajak tidak langsung.

Dan lebih daripada itu, sistem itu seperti dikatakan di atas, membawa akibat yang sangat jelek terhadap perkembangan harga barang-barang termasuk harga barang-barang kebutuhan pokok. Sebab meskipun secara teoretis kenaikan harga itu hanya menyangkut barang-barang lux dan semi lux yang dikenakan TPI yang tinggi, tetapi menurut kenyataannya kenaikan harga selalu meluas dan merata sehingga menyangkut harga barang-barang kebutuhan lainnya yang bukan lux atau setengah lux.

Jadi sistem TPI meskipun harus diakui, secara teoretis mempunyai satu-dua segi yang positif dalam prakteknya membawa dua akibat yang sangat merugikan rakyat banyak, yaitu pertama kenaikan secara umum harga barang-barang impor dan barang-barang dalam negeri dan kedua sistem itu sekarang telah menjelma menjadi sistem pajak tidak langsung yang sangat memberatkan beban rakyat banyak.

Seperti diuraikan di atas, maka disamping tindakan mengurangi masuknya barang-barang impor dan mengadakan tambahan pembayaran impor atau TPI, Pemerintah-pemerintah RI dalam usahanya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang sejak tahun-tahun belakangan ini sudah menjelma menjadi suatu krisis ekonomi yang permanen, juga menempuh suatu cara untuk mendorong ekspor, dengan mengadakan apa yang dinamakan indusemen yaitu suatu cara yang mengharuskan kepada importir yang mengimpor barang-barang tertentu membeli Bukti indusemen yang berasal dari ekspor menurut kurs yang ditetapkan oleh perimbangan antara permintaan dan penawaran. Kecuali Bukti indusemen yang berasal dari ekspor juga kita kenal dulu Bukti indusemen yang bisa dibeli dari Bank Indonesia. Sesudah bulan Maret 1952, maka kedua-dua sistem Indusemen itu dihapuskan dan kemudian kita kenal apa yang dinamakan Bukti Ekspor Dolar atau disingkat BED. Dengan sistem BED ini dimaksudkan supaya kaum importir yang hendak mendatangkan barang-barang dari daerah dolar menyediakan BED yang dapat dibelinya dari kaum eksportir yang telah mendapat BED dari ekspornya ke daerah dolar. Nilai paritas daripada BED ini dalam prakteknya adalah dulu lebih kurang 2 kali nilai paritas resmi.

Sistem Bukti Ekspor-nya (BE) Mr. Sutikno Slamet adalah pada hakikatnya suatu “perbaikan” atau “penyempurnaan” daripada sistem-sistem indusemen (BI, BED, dan lain-lain) yang pernah kita kenal dulu beberapa tahun yang lalu. Kalau dulu sistem BI atau BED hanya diberlakukan terhadap golongan barang-barang impor atau ekspor tertentu, maka sistem BE-nya Sutikno Slamet meliputi semua barang-barang impor dan ekspor sehingga akibatnya sangat luas dan berlangsung dengan sangat cepatnya, terutama juga karena sistem ini diberlakukan dalam keadaan devisa negara sudah sangat payah. Inilah sebabnya mengapa dalam tempo yang pendek saja kurs BE telah meningkat pada angka 332 dan akan terus meningkat dalam praktek, meski pun secara resmi telah ditetapkan kurs itu tidak boleh melebihi 332. Ini berarti bahwa sistem BE-nya Sutikno Slamet tidak bisa lain kecuali suatu bentuk politik devaluasi yang membikin harga barang-barang impor dan barang-barang buatan dalam negeri terus membubung tinggi dan hampir-hampir tidak bisa terkendalikan lagi. Lebih dari itu, karena TPI sekarang ini, atau di zaman Kabinet Karya diperhitungkan bukan lagi dari jumlah harga nominal menurut kurs resmi, tetapi dari harga nominal menurut kurs BE, maka hal ini juga merupakan suatu faktor tambahan yang menyebabkan harga barang-barang terus naik dengan sangat cepatnya dan dengan segala akibat-akibatnya.

Kenaikan harga barang-barang yang berlangsung dengan sangat cepatnya dan bertambahnya arus peredaran uang yang berlipat-lipat juga merupakan sumber yang sangat subur bagi tukang-tukang catut, kaum spekulan dan pengacau-pengacau ekonomi lainnya untuk menggaruk keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya di atas penderitaan rakyat banyak yaitu kaum konsumen yang bagian terbesar terdiri dari kaum buruh dan kaum tani miskin. Hal ini telah menyebabkan terbentuknya apa yang dinamakan “hot money” atau “uang panas” yang beredar secara liar di tengah-tengah masyarakat dan tidak dapat terawasi oleh Bank. “Hot money” ini merupakan senjata yang kuat bagi kaum spekulan untuk mempermainkan harga barang-barang dan mengacau keadaan ekonomi. Menurut sumber-sumber yang boleh dipercaya, pada pertengahan tahun 1958, ketika volume uang yang beredar berjumlah lebih kurang Rp. 21 milyar, maka Rp. 6 milyar adalah uang giral, dan Rp. 15 milyar uang chartal, dan dari jumlah ini Rp. 8 milyar merupakan jumlah yang dapat diawasi oleh Bank, sedangkan yang Rp. 7 milyar merupakan “hot money”. Pada pertengahan tahun 1959 ketika uang yang beredar jumlahnya lebih kurang Rp. 30 milyar, maka jumlah “hot money” ditaksir lebih kurang Rp. 9. sampai Rp. 10 milyar.

Berhubung dengan sangat banyaknya uang yang beredar, maka beberapa hari yang lalu Pemerintah atau Kabinet Kerja telah mengambil tindakan “radikal dan drastis” untuk memperbaiki keadaan moneter. Yaitu dengan mengurangi nilai uang kertas lembaran Rp. 1000 dan Rp. 500 dengan 90% dan membekukan 90% dari jumlah uang simpanan di atas Rp. 25.000 yang disimpan dalam bank-bank.

Dengan tindakan ini, maka menurut perhitungan kasar dapat ditarik sejumlah Rp. 15 milyar dari Rp. 32 milyar yang sekarang berada dalam peredaran.

Tindakan ini disamping mempunyai segi-segi yang sangat negatif yaitu karena secara langsung juga merugikan kaum produsen dan pedagang kecil dan secara tidak langsung merugikan kaum buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan partikelir, sudah tentu juga mempunyai di sana-sini segi-segi positifnya, yaitu dengan berkurangnya sejumlah uang beredar yang tidak sedikit jumlahnya. Kewajiban Pemenintah sekarang adalah untuk mengembangkan segi-segi positif ini dengan jalan antara lain membanjiri masyarakat dengan barang-barang kebutuhan pokok melalui suatu aparat distribusi yang sepenuhnya dikuasai oleh Pemerintah dan dengan harga yang sesuai dengan kemampuan atau daya beli rakyat banyak. Jika hal ini tidak dikerjakan, maka dalam tempo yang pendek harga barang-barang kebutuhan pokok akan melonjak lagi, hal mana sudah tentu menurut kebiasaan akan disusul oleh Pemerintah dengan tindakan untuk menambah lagi banyaknya uang yang beredar sehingga akan timbul bahaya inflasi yang lebih membahayakan, karena antara lain: kepercayaan orang akan nilai uang rupiah kita akan sangat berkurang. Lebih-lebih jika nanti ternyata nilai ekspor kita turun dan dengan demikian membawa akibat kurangnya volume barang-barang konsumsi yang kita impor dari luar negeri dengan kita punya ekspor itu.

Juga penggantian sistem TPI dengan PUIM dan PBE dengan PUEX tidak akan merubah kenyataan bahwa jumlah-jumlah penerimaan negara berupa PUIM dan PUEX akan tetap memberatkan beban hidup rakyat banyak. Adapun penghapusan sistem BE dengan kursnya yang “tetap” dan penilaian baru kurs rupiah kita dengan perbandingan 1$ = Rp. 45,- juga tidak akan dapat menahan kemerosotan kurs riil rupiah kita (menurut keterangan tak resmi kurs rupiah Indonesia yang riil dan gelap terus merosot juga setelah diambilnya tindakan “drastis” di lapangan moneter, dan sekarang kurs riil rupiah Indonesia di pasar bebas adalah 1 $ = Rp. 250,-).

Dari seluruh keterangan di atas seperti yang diuraikan dalam Bab I dan Bab II, sebagai laporan tambahan mengenai soal-soal ekonomi dan keuangan dapatlah ditarik kesimpulan bahwa laporan tambahan ini telah memperkuat kebenaran daripada Laporan Umum Kawan Aidit mengenai ciri-ciri khusus daripada krisis ekonomi Indonesia yaitu:

  1. kemacetan dalam produksi, kerugian-kerugian sangat besar yang terus menerus dialami oleh Indonesia, disebabkan oleh tergantungnya ekonomi Indonesia yang selalu mengalami kegoncangan, semakin banyaknya volume uang beredar yang tidak produktif, dan semakin merajalelanya inflasi serta kenaikan harga barang-barang pokok, dan
  2. tindakan-tindakan Pemerintah-pemerintah RI pada umumnya sadar atau tidak sadar ditujukan untuk melimpahkan akibat-akibat buruk daripada krisis ekonomi dunia kapitalis dan krisis ekonomi dalam negeri kepada massa Rakyat Indonesia terutama kaum buruh dan kaum tani.

TINDAKAN-TINDAKAN POKOK DAN URGEN UNTUK ATASI KRISIS EKONOMI INDONESIA

Jadikan Perekonomian Sektor Negara Sebagai Sektor Yang Memimpin Seluruh Perekonomian Nasional

Adalah tepat dan benar keterangan Presiden/Perdana Menteri RI Soekarno, bahwa tindakan Pemenintah Djuanda dulu untuk mengambil alih perusahaan Belanda adalah suatu tindakan yang sangat penting dan bersejarah. Tindakan itu adalah sangat penting dan bersejarah, karena dengan diambilalihnya sebagian besar perusahaan-perusahaan milik kaum imperialis Belanda, Indonesia pada pokoknya telah memasuki fase baru dalam perjuangan untuk merombak susunan ekonomi kolonial menjadi susunan ekonomi nasional. Oleh karena itu tindakan ambil alih juga merupakan langkah-langkah pertama daripada pelaksanaan seruan Presiden/Perdana Menteni Soekarno dalam Manifesto Politiknya yang diucapkan pada Hari Peringatan Proklamasi 17 Agustus yang ke-XIV, untuk menaikkan tingkat semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” dan semboyan yang diserukan menjadi semboyan yang dipraktekkan.

Jika Pemerintah bisa menggunakan modal besar Belanda yang telah diambil alih itu secara efisien dan rasional sebagai nanti akan diuraikan lebih lanjut, maka dapatlah dikatakan bahwa kekuasaan modal negara di lapangan ekonomi akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan kekuasaan modal besar asing, sebagaimana tergambar dari angka-angka sebagai berikut:

Modal besar asing: (dalam jutaan dolar AS)

Amerika, sudah termasuk tambahan investasi akhir

$350

Belanda, sesudah terjadi ambil alih

$250

Inggris

$262,5

Perancis

$105

Lain-lain

$52,5

Total

$1020

Uang Negara sebagai modal atau peserta modal yang ditanam dalam perusahaan-perusahaan bukan IBW menurut Laporan Dewan Pengawas Keuangan berjumlah Rp. 932.366 juta

Modal perusahaan negara IBW sukar dinilai, angka-angka yang tersedia hanya tentang “gestort kapital” dulu dalam gulden Belanda. Penghasilan rata-rata setahun, yaitu Saldo perusahaan IBW dan bukan merupakan semata-mata keuntungan adalah rata-rata Rp. 450 juta. Kalau kita taksir saldo tersebut lebih kurang 10%, maka jumlah modal IBW adalah lebih kurang Rp. 4.500 juta

Jumlah Rp. 5.432.366 juta atau $ 121 juta (1$ = Rp. 45,-)

Modal perusahaan Belanda yang telah diambil alih $1.250 juta

Jumlah seluruhnya $1.371 juta

Jadi kalau kita memberi gambaran tentang perbandigan antara modal besar asing dan modal yang telah dikuasai oleh Negara, maka perbandingan itu menunjukkan angka 1.020 : 1.371 = 73 : 100.

Angka-angka tentang jumlah daripada modal partikelir warga negara Indonesia belum dapat kita kumpulkan dan saya kira memang tidak mudah untuk mengetahui secara tepat besarnya atau jumlah modal yang terpencar dalam bentuk-bentuk modal sedang dan kecil di lapangan perdagangan impor dan ekspor, perdagangan menengah dan kecil, perindustrian ringan, dan modal yang dimiliki oleh tuan tanah dan tani kaya.

Adapun modal domestik yang dimiliki oleh warga negara keturunan Tionghoa dan oleh warga negara Tionghoa asing menurut keterangan Ketua MAGUNA, Mr. Phoa Thoan Hian, ditaksir lebih kurang Rp. 10 milyar atau jika dihitung dalam dolar AS menurut kurs resmi lebih kurang $ 222 juta.

Kalau kita katakan bahwa modal yang dikuasai oleh kaum monopolis asing besarnya lebih kurang 0,73 modal yang dikuasai oleh negara, maka hal ini sama sekali tidak berarti bahwa perekonomian sektor negara sekarang ini sudah memainkan peranan memimpin.

Meskipun sudah banyak sekali perusahaan-perusahaan Belanda yang telah diambil alih oleh Pemerintah — jumlah semuanya adalah tidak kurang dari 436, belum termasuk BPM — maka hal ini tidaklah berarti bahwa ekonomi Indonesia sudah bebas sama sekali dari kekuasaan Belanda. Ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa cara kerja perusahaan-perusahaan yang telah diambil alih itu, terutama perusahaan bank, impor, ekspor masih menggunakan cara-cara seperti yang dulu dipakai oleh Belanda, karena pada hakikatnya perusahaan-perusahaan itu masih dikuasai dan dipimpin oleh orang-orang Belanda. Empat dari apa yang dinamakan “Big Eight”, yaitu PT Indestin Corp, PT Juda Bhakti Corp, PT Satya Negara Trading Corp dan PT Indevitra yang masing-masing telah menggantikan Lindetevis NV, Jacobson Van Den Berg & Co, Internationale Credit en Handelsvereeniging Rotterdam NV dan Borsumy NV, belum juga dapat membebaskan diri dari kekuasaan Belanda. Juga Bank-bank besar Belanda seperti NHB dan Factory masih tetap berkuasa seperti dulu dengan memainkan rol yang besar di lapangan ekonomi dan keuangan.

Ini semuanya telah menyebabkan, bahwa menurut hasil peninjauan dari Departemen Perdagangan Urusan Ekspor RI sebagian besar bahan-bahan mentah Indonesia yang telah mendapat “pasaran baru” di Jerman Barat, Inggris, Belgia, Luxemburg, dan lain-lain masih tetap jatuh di tangan Belanda karena adanya perusahaan-perusahaan duplikat Belanda di negara-negara tersebut. Sebaliknya dari nilai impor barang-barang konsumsi yang kita datangkan dari negara-negara barat, Belanda masih juga menerima komisi-komisi dari perusahaan-perusahaan besar penghasil barang-barang tersebut, karena masih tetap berlakunya dalam praktek apa yang dinamakan perjanjian-perjanjian “sole agency” sebagaimana yang telah disinyalir dalam Laporan Umum ini.

Oleh karena itu, jika kita menginginkan supaya modal Belanda yang telah dan yang akan kita ambil alih menjadi suatu kekuatan ekonomi yang bisa memberikan pimpinan atas pembangunan ekonomi yang berencana, maka tidaklah cukup dengan merubah kulit dan nama perusahaan-perusahaan Belanda itu (tepuk tangan), misalnya Onderling Belang diganti dengan Obor Baru, Het Snoephuis dengan Sum berhidup (tawa) dan lain-lain, tetapi harus merombaknya sampai ke akar-akarnya dengan cara yang telah ditunjukkan oleh Kawan Aidit dalam Laporan Umum, yaitu: (a) menempatkan perusahaan-perusahaan yang telah diambil dan dinasionalisasi menjadi milik negara dibawab pimpinan yang demokratis, patriotik dan cakap, (b) mempertinggi tingkat efisiensi dan produktivitas kerja, (c) mengikutsertakan kaum buruh dalam usaha memecahkan masalah peningkatan produksi, penyempurnaan teknik dan organisasi perusahaan.

Jika nanti Pemerintah Indonesia mengambil alih modal Belanda yang ditanam dalam perusahaan campuran minyak, modal negara pertama yang bisa digunakan sebagai senjata untuk memimpin pembangunan ekonomi berencana adalah sebesar $1.371 juta + $250 juta $1.621 juta atau sama dengan Rp. 73 milyar yang menurut taksiran kasar akan dapat memberikan keuntungan setiap tahunnya tidak kurang dari Rp. 10 sampai Rp. 1.5 milyar, asal saja dapat diambil tindakan sebagai berikut: (a) merubah politik perdagangan luar negeri secara drastis dan radikal, dan (b) menggerowoti kekuasaan modal besar asing lainnya.

Merubah secara radikal politik perdagangan luar negeri

Seperti telah diuraikan dalam Laporan Umum dan dalam laporan tambahan ini, maka pasaran dunia kapitalis yang terus menerus mengalami krisis, tidak bisa memberikan perspektif yang baik bagi pasaran daripada bahan-bahan mentah ekspor Indonesia, karena krisis umum kapitalisme itu selalu membawa akibat baik turunnya volume, maupun turunnya harga bahan-bahan ekspor kita. Di samping itu masih ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa kita tidak boleh menaruh harapan lagi terhadap pasaran dunia kapitalis itu. Yaitu antara lain kenyataan bahwa dalam pasaran itu misalnya kopi Indonesia mendapat saingan dari Brasilia dan Afrika Tengah, teh Indonesia mendapat saingan teh dari Langka, kopra dari Filipina, karet dari Malaya, tembakau dari Italia dan Amerika Selatan dengan tembakau-Deli surrogatnya. Lain daripada itu pasaran kapitalis di Eropa Barat juga bersifat diskriminatif terhadap bahan-bahan mentah ekspor kita dengan berlakunya peraturan-peraturan Pasaran Bersama Eropa (PBE) yang beranggotakan negara-negara Belanda, Belgia, Luxemburg, Perancis, Italia dan Jerman Barat. Peraturan-peraturan PBE itu menetapkan, bahwa bahan-bahan mentah yang diimpor dan negeri-negeri jajahan yang tidak dikuasai oleh negara-negara tersebut dikenakan bea-masuk yang sangat tinggi, dan begitu pula bea-ekspor yang sangat tinggi dikenakan kepada barang-barang ekspor ke negara jajahan di luar kekuasaan negara-negara tersebut.

Dengan tidak mengurangi kenyataan adanya pertentangan-pertentangan antara negara-negara anggota PBE itu sendiri, maka harus diakui bahwa politik diskriminatif daripada PBE itu sangat merugikan Indonesia.

Satu-satunya jalan untuk dapat menjamin stabilitas dan perkembangan volume dan harga ekspor bahan-bahan mentah kita ialah dengan mencarikan pasaran bahan-bahan ekspor itu di negeri-negeri Sosialis dan Demokrasi Rakyat (tepuk tangan), yang tidak pernah dan tidak akan mengalami krisis-krisis ekonomi sebagaimana yang pernah dan akan terus menerus dialami oleh negeri-negeri kaptalis.

Untuk mencapai maksud yang objektif dan masuk akal yaitu supaya lebih kurang sepertiga daripada nilai ekspor-impor Indonesia bisa dilayani oleh negara-negara Sosialis dan Demokrasi Rakyat berdasarkan politik perdagangan yang saling menguntungkan, maka perlu direncanakan satu “ekspor-impor planning” untuk waktu misalnya 3 tahun, di mana Indonesia bisa mengekspor sejumlah bahan-bahan ekspor dengan minimum volume dan harga tertentu. Selama jangka waktu tiga tahun itu juga direncanakan impor barang-barang modal, baku dan penolong dari barang-barang konsumsi dengan harga tertentu.

Barang-barang modal yang kita impor itu merupakan tambahan daripada barang-barang modal yang kita peroleh dengan jalan pinjaman atau kredit dari negeri-negeri tersebut dan dapat kita gunakan untuk menghasilkan barang-barang konsumsi yang pokok, seperti makanan dan pakaian, sehingga dalam tempo yang tidak terlalu lama Indonesia bisa memenuhi kebutuhan sendiri akan barang-barang konsumsi baik barang-barang yang bahan-mentahnya untuk sementara terpaksa masih diimpor dari luar, maupun barang-barang konsumsi yang bahan-mentahnya sudah kita dapati di Indonesia sendiri. Ini akan berarti suatu penghematan devisa negara yang tidak sedikit jumlahnya, dan devisa ini selanjutnya dapat kita gunakan untuk keperluan-keperluan lain yang dapat melancarkan pembangunan nasional kita yang berencana. Sudah tentu tujuan pokok daripada “ekspor-impor planning” kita adalah untuk secara berangsur-angsur, mengurangi impor barang-barang konsumsi dan memperbesar impor barang-barang modal yang vital bagi pembangunan ekonomi nasional dalam jangka jauh. Tujuan pokok inilah justru yang memperkuat alasan mengapa pasaran dunia kapitalis tidak bisa memberikan perspektif bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Sebab negeri-negeri imperialis, termasuk Jepang dan Jerman Barat, akan tetap mempertahankan politik kolonial mereka yang klasik yaitu untuk tidak membantu setiap usaha negara-negara yang baru merdeka (termasuk Indonesia) membangun industri berat dan industri sedang yang bisa membahayakan kedudukan negara-negara tersebut. Berhubung dengan kemungkinan adanya harapan besar sementara orang terhadap sikap “baik-budi” Jerman Barat, maka patutlah diperingatkan, bahwa dalam Konferensi Persatuan Insinyur Jerman Barat di Aschen baru-baru ini banyak wakil-wakil monopoli industri Jerman Barat yang secara terus terang menentang kemajuan pembangunan industri negara-negara yang baru merdeka. Dr. Henle wakil terkemuka dari Klökner Konzern dan Plettner direktur Siemens-Schuckert mengatakan pada pokoknya bahwa perkembangan industri dan teknik beberapa negara Asia-Afrika dan Amerika Latin adalah merupakan bahaya yang besar bagi negara-negara Eropa, dan oleh karena itu harus diusahakan supaya negara Asia-Afrika dan Amerika Latin hanya dapat membangun industri kecil-kecilan saja.

MENGGEROWOTI KEKUASAAN MODAL BESAR ASING

Sesuai dengan keterangan Bung Karno dalam pidatonya pada hari peringatan Proklamasi ke-XIV pada tanggal 17 Agustus 1959, maka Pemerintah seharusnya segera mengambil tindakan-tindakan untuk mengambil alih modal BPM yaitu milik Belanda dalam modal campuran Inggris-Belanda, dan untuk memberlakukan semua peraturan dan ketentuan yang berlaku bagi modal asing, juga terhadap kongsi-kongsi minyak raksasa STANVAC dan CALTEX. Semua devisa yang dihasilkan oleh STANVAC, CALTEX, SHELL-BPM harus diserahkan kepada negara, sedangkan syarat-syarat untuk mengimpor barang-barang yang mereka perlukan misalnya pembayaran PUIM, demikian juga pembayaran PUEX jika mereka mengekspor barang-barang harus juga dipenuhi; dan juga sama sekali tidak beralasan untuk memperpanjang kontrak-kontrak dengan CALTEX yang membebaskan CALTEX dan kongsi-kongsi minyak raksasa lainnya dari kewajiban mereka untuk menyetor sebagian dari keuntungan yang mereka peroleh menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Dengan menguasai semua devisa yang dihasilkan oleh kongsi-kongsi raksasa minyak itu Indonesia akan dapat menambah persediaan devisa setiap tahunnya dengan jumlah yang tidak sedikit yaitu dengan lebih kurang Rp. 3,6 milyar, berdasarkan perhitungan 1 $ AS =Rp. 11,40, atau menurut kurs resmi sekarang tidak kurang dari lebih kurang Rp. 15 milyar.

Perjuangan untuk menggerowoti kekuasaan modal besar asing seharusnya juga berarti perlawanan terhadap setiap usaha dalam bentuk apapun yang dapat memudahkan secara langsung atau tidak Iangsung bertambahnya investasi modal besar asing dari negara manapun juga. Dalam hubungan ini patutlah kiranya dua hal mendapat perhatian kita. Yang pertama ialah gejala-gejala tentang kemungkinan dibentuknya kongsi-kongsi campuran Indonesia-Jepang untuk mengeksploitasi hutan-hutan di Kalimantan Selatan, untuk memperluas industri pertambangan minyak di Sumatera Utara dan mendirikan perusahaan-perusahaan pelayaran campuran. Yang kedua ialah pikiran-pikiran yang hidup dalam sementara kalangan atas, bahwa apa yang dinamakan pinjaman SAC (Surplus Agricultural Commodities) dari Amerika Serikat sejumlah $ 97 juta merupakan suatu “bantuan besar” bagi Indonesia, karena pinjaman ini dapat dibayar kembali dalam rupiah yang dapat digunakan untuk keperluan pembangunan dan bahwa SAC itu merupakan bukti tentang kemakmuran bangsa dan Rakyat Amerika yang melimpah-limpah. Sebagaimana telah kita ketahui, maka pinjaman SAC itu ditanda tangani oleh Kabinet BH dan sebagian dari pinjaman ini yaitu $ 5,5 juta digunakan untuk membeli beras dari Amerika.

SAC adalah tidak lain daripada barang-barang kelebihan pertanian yang dibeli oleh Pemerintah Amerika dari kaum kapitalis monopoli Amerika yang praktis telah menguasai pertanian, dengan kaum tani sedang dan kecil sebagai kaum buruhnya. Persediaan hasil pertanian gandum dalam 1954 adalah 2,4 kali besarnya daripada persediaan tingkat tertinggi tahun-tahun 1929-1933 dan 7 kali persediaan rata-rata tahun 1946-1948. SAC karenanya bukanlah suatu tanda kemakmuran Rakyat Amerika melainkan suatu krisis kelebihan produksi pertanian (tepuk tangan) yang dibeli oleh negara atas pengorbanan-pengorbanan Rakyat Amerika yang diwajibkan membayar pajak yang berat.

Dengan pinjaman SAC kepada Indonesia sudah tentu Amerika bermaksud untuk menarik Indonesia ke dalam lingkungan pengaruh krisis umum kapitalisme dengan tujuan lebih Ianjut memperbesar jumlah investasi modalnya di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa di banyak negara yang telah mendapat pinjaman SAC dari Amerika investasi atau penanaman modal monopoli Amerika semakin bertambah besar sebagaimana dapat dilihat dari angka-angka sebagai berikut:

Investasi di

Tahun 1950 (dalam milyar $)

Tahun 1958 (dalam milyar $)

Timur Jauh

Timur Tengah

Amerika Latin

Eropa

Seluruh Dunia

0,556

0,704

4,445

1,720

11,788

1,691

1,681

8,730

4,382

27,775

Di Indonesia sendiri yang termasuk dalam golongan negara Timur Jauh penanaman modal besar Amerika dalam tahun 1950 adalah sebesar $ 58 juta dan dalam tahun 1959 tidak kurang dari $350 juta.

Sudah tentu Amerika menggunakan semua jalan untuk memudahkan investasi modal besarnya di Indonesia dan terutama dengan usaha memaksakan pembentukan suatu Pemerintahan yang sepenuhnya dapat menjalankan politik Amerika. Tetapi di samping itu, jalan-jalan lainnya, termasuk pemberian kredit SAC adalah merupakan jalan yang penting juga bagi Amerika untuk memudahkan usaha menambah investasi modalnya. Oleh karena itu jika Pemerintah sekarang sudah bersikap teguh dan berpendirian bulat untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, maka jalan lain tidak ada kecuali memelihara dan mengembangkan modal negara kita dan bersamaan dengan itu menggerowoti kekuasaan modal besar asing, termasuk dan terutama modal besar Amerika dengan jalan menolak pinjaman SAC. (tepuk tangan).

Demikianlah sekedar laporan tambahan dari saya dan sebagai penutup saya nyatakan sekali lagi menyetujui sepenuhnya Laporan Umum Kawan Aidit atas nama CC Partai kepada Kongres Nasional Ke-VI PKI yang mulia ini.

Hidup PKI! (“Hidup!“)

Hidup Kongres Nasional Ke-VI PKI! (“Hidup!”, tepuk tangan).