Pidato Kawan Abubakar Siddiq

(Aceh)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kawan-kawan!

Atas nama delegasi PKI Aceh, saya menyatakan persetujuan kami terhadap Perubahan Program PKI yang dimajukan oleh Comite Central PKI di dalam Kongres ini dan telah kita sahkan dengan suara bulat.

Adanya Program Umum dan Program Tuntutan sangat membantu kader-kader dan anggota-anggota Partai dalam mengorganisasi dan memobilisasi massa rakyat dengan semboyan-semboyan yang terang membangkitkan aksi-aksi untuk mencapai tujuan tertentu dalam tiap tingkat revolusi. Dengan Program Umum bisa diketahui secara jelas apa yang harus dikerjakan oleh Partai, begitu terwujudnya Pemerintah Demokrasi Rakyat, dengan demikian Program Umum adalah program strategis dan jangka panjang, serta merupakan kunci untuk sampai kepada Sosialisme. Dengan Program Tuntutan bisa diketahui apa yang menjadi tuntutan PKI terhadap tiap pemerintahan sebelum pemerintahan Demokrasi Rakyat. Ia merupakan Program Front Persatuan Nasional yang menyediakan syarat-syarat bagi terciptanya Program Umum.

Dibanding dengan program yang diputuskan oleh Kongres Nasional ke-V yang lalu, Program PKI sekarang ini sudah jauh lebih lengkap dan sempurna, sesuai dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh Revolusi Indonesia selama lima tahun ini. Ini sekali lagi membuktikan bahwa di bawah pimpinan Comite Central Partai kita, apa yang telah diputuskan oleh Kongres Nasional ke-V, sebagian besar telah dapat dilaksanakan. Maka menjadilah kewajiban Kongres Nasional Partai sekarang ini, mengkonsolidasi dan mengembangkan hasil-hasil yang telah dicapai itu serta meningkatkannya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih sempurna.

Dalam hal ini kami melihat bahwa Perubahan Program PKI baik Program Umum maupun Program Tuntutan telah memenuhi harapan delegasi kami. Sungguhpun demikian baiklah dalam kesempatan ini, saya mengemukakan beberapa bagian daripada Program yang saya anggap perlu digarisbawahi dalam membicarakan Program ini. Sebagian besar kami tujukan kepada Program Tuntutan, sedangkan mengenai Program Umum kami anggap cukup, dan tidak memerlukan penekanan-penekanan lagi.

1. Dalam Program “Untuk Kemerdekaan Nasional”, pada ayat 3 dikemukakan, “menasionalisasi semua perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk modal Belanda di dalam perusahaan campuran, antara lain BPM. Perlakukan perusahaan-perusahaan AS sama dengan perusahaan-perusahaan Belanda, jika AS terus-menerus mempersenjatai gerombolan-gerombolan kontra-revolusioner atau membantu Belanda dengan senjata aresinya terhadap RI”.

Kami sepenuhnya sependapat menjadikan tuntutan-tuntutan ini sebagai tuntutan yang mendesak dalam Program Tuntutan, tidak lagi dalam Program Umum sebagai Program yang lalu, karena secara objektif dengan adanya pengambilan alih terhadap perusahaan-perusahaan Belanda dan adanya undang-undang tentang nasionalisasi Perusahaan Belanda, maka pelaksanaan Program ini sudah ada syarat-syarat untuk dapat dilaksanakan sekarang juga. Sikap yang sama terhadap perusahaan AS dan perusahaan asing yang membantu Belanda adalah sikap yang tepat, karena sesuai dengan perasaan keadilan rakyat dan pengalaman rakyat sendiri. Ini adalah suatu  kemenangan yang sangat jaya daripada perjuangan Rakyat Indonesia selama ini. Tertangkapnya A. L. Pope, telah sangat memukul propagandis-propagandis kaum petualang di Aceh yang selalu mengggembar-gemborkan kesucian perjuangan “PRRI”/Permesta dan mendorong tindakan tegas dari negara terhadap kaum petualang di Aceh.

2. Mengenai “Untuk hak-hak Demokrasi”, apa yang diajukan dalam Program Tuntutan merupakan tuntutan yang mendesak daripada situasi sekarang ini. Tidak dapat disangkal bahwa demokrasi adalah alat yang paling pokok untuk mencapai tujuan revolusi kita. Justru untuk kebebasan-kebebasan demokrasi inilah Rakyat Indonesia sejak zaman Belanda, Jepang dan sampai kepada revolusi 1945 berjuang dengan sekuat tenaga menghadapi segala kemungkinan. Salah satu kerugian yang paling besar dan sangat dirasakan Rakyat Indonesia sekarang ini adalah pengekangan hak-hak demokrasi yang telah diperolehnya dengan perjuangan selama Revolusi Agustus 1945. Pengekangan ini hanya dapat ditebus dengan lebih membangkitkan perjuangan rakyat untuk kebebasan-kebebasan demokratis. Pengalaman membuktikan bahwa tanpa adanya kebebasan-kebebasan demokratis rakyat tidak mungkin ambil bagian secara aktif untuk mengembangkan hasil-hasil revolusi di segala lapangan. Terutama di daerah-daerah seperti Aceh dimana sebagian besar aparat pemerintahan dikuasai oleh pemimpin-pemimpin Masyumi yang anti-demokrasi, maka rakyat sangat merasakan bagaimana jahatnya pengekangan terhadap hak-hak demokrasi tersebut.

Atas landasan ini kami berpendapat tepat sekali semua tuntutan “untuk hak-hak demokrasi” yang dimuat dalam Program Tuntutan, antara lain agar diadakannya Pemilihan Umum yang demokratis tepat pada waktunya; berikan kebebasan demokratis yang seluas-luasnya kepada rakyat dan Organisasi Rakyat dan batalkan semua U.U. dan peraturan yang membatasi kebebasan gerakan patriotik dan lain-lain sebagainya.

Disamping itu tersiar pula berita bahwa Pemerintah telah meninjau kembali U.U. No. 1 tahun 1957, terutama mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan penetapan kepala daerah dan anggota-anggota DPDP. Kami berpendapat bahwa maksud-maksud yang demikian tidak membawa akibat yang baik bagi perkembangan otonomi dan demokrasi dan karenanya tidak dapat dibenarkan karena isi daripada .U.U. No. 1/1957 itu dalam taraf sekarang memenuhi prinsip-prinsip politik memberikan otonomi kepada daerah-daerah. Tindakan ini bisa menimbulkan kembali ketegangan-ketegangan yang tidak perlu antara daerah dengan pusat. Apalagi selama masih ada imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di Indonesia seperti sekarang tindakan seperti itu bisa dipergunakan oleh kaum separatis dan kaum kontra-revolusi untuk mempertentangkan pusat dengan daerah. Walaupun terang bahwa untuk daerah Aceh sendiri sistem perimbangan ini sekarang ini lebih banyak menguntungkan kaum kepala batu yang diwakili oleh Masyumi, karena di sana Masyumi mempunyai kedudukan mutlak. Tetapi keadaan yang demikian sifatnya hanya sementara dan dengan adanya kebebasan demokratis gerakan rakyat dalam waktu yang singkat pasti akan mengalahkan kekuatan kepala batu dan memenangkan revolusi. Ini juga menunjukkan betapa besarnya pengabdian kaum Komunis kepada demokrasi dan kepada rakyat. Karena itu kami sependapat dengan tuntutan supaya sungguh-sungguh melaksanakan otonomi daerah sebagai yang ditetapkan di dalam Undang-undang No. 1/1957 tersebut.

3. Dalam bagian “untuk perbaikan nasib” kami ingin mengemukakan beberapa persoalan sebagai berikut.

  1. Mengenai tuntutan 6: 4. Pada umumnya sewa tanah di Aceh sekarang ini “bagi lhee” atau “bagi limong”. Bagi lhee, yaitu bagi tiga, sebagian untuk tuan tanah dua bagian untuk kaum tani, sedang bibit dan sebagian alat dari tuan tanah. Bagi limong yaitu dibagi lima, sebagian untuk tuan tanah, 4 bagian untuk kaum tani, sedang alat dan bibitnya dari kaum tani sendiri. Disamping itu ada pula sistem mawah, yaitu tanah, perbelanjaan (makan, bibit dan alat disediakan oleh tuan tanah), hasilnya dibagi dua, sebagian untuk tuan tanah dan sebagian untuk kaum tani. Maka kami berpendapat bahwa semboyan 6: 4, yaitu minimum 60% dari hasil untuk kaum tani dan maksimum 40% untuk tuan tanah; adalah sesuai dengan keadaan secara nasional. Untuk daerah-daerah tuntutan ini harus diperinci lagi, disesuaikan dengan keadaan masing-masing daerah. Partai kita di daerah Aceh sudah menetapkan garis secara umum yaitu menuntut turunnya sewa tanah, yang harus dirumuskan lebih konkret, karena sewa tanah di Aceh masih sangat rumit dan terdapat bermacam-macam sesuai dengan perkembangan dan kebiasaan masing-masing kabupaten, sedang hubungan sewa menyewa ini pun sebagian besar masih diliputi oleh suasana kekeluargaan. Dengan penjelasan ini tidak berarti kaum tani di daerah Aceh sudah hidup makmur, karena kaum tani mengalami penindasan lain seperti penindasan DI-TII, pengisapan supra-ekonomi dan lain-lain.
  2. mengenai sita tanah tuan tanah yang memihak gerombolan, kami anggap adalah merupakan program yang terpenting dan terpokok yang dapat menentukan suksesnya pekerjaan Partai dalam mengalahkan kaum kontra-revoIusioner dan memenangkan revolusi. Sebagaimana dikemukakan oleh Kawan Muhammad Samikidin, di dalam pemandangannya terhadap Laporan Umum Comite Central, bahwa lahirnya gerombolan DI-TII di daerah Aceh, pada hakikatnya tidak lain daripada bersumber dari masalah tanah, masalah agraria, la merupakan kelanjutan proses perebutan kekuasaan oleh tuan tanah yang mulai tumbuh dari tuan tanah yang masih berkuasa. Justru itu maka program “sita tanah tuan tanah yang melakukan pemberontakan terhadap Republik” memberikan garis yang terang untuk memisahkan tuan tanah DI dengan tuan tanah anti-DI/TII dan dengan dasar demikian bisa menarik tuan tanah yang anti-DI/TII ke dalam kubu Republik relawan DI-TII. Dengan demikian maka kekuatan Republik mendapat tambahan tenaga. Tetapi kepada mereka juga harus ditentukan tuntutan sehingga massa kaum tani yang demikian besar jumlahnya dan menjadi tenaga pokok dalam penggalangan Front Nasional tidak tenggelam dalam kerja sama tanpa melakukan perjuangan untuk mengurangi pengisapan yang dilakukan kepadanya. Dan terhadap mereka kami berpendapat tepat sekali diajukan tuntutan “turunkan sewa tanah”.
  3. Mengenai koperasi kami telah menyimpulkan bahwa Program Partai di lapangan koperasi adalah Program yang sangat objektif dan sesuai dengan perkembangan desa di daerah Aceh. Pada umumnya di daerah Aceh jumlah kaum tani yang memiliki tanah lebih besar daripada kaum tani yang tidak mempunyai tanah karena masih luasnya tanah yang belum dikerjakan. Usaha yang tepat menurut pendapat kami adalah mengorganisasi mereka di dalam koperasi-koperasi, karena tuntutan turun sewa tanah dan sebagainya tidak menyangkut dengan kepentingan mereka. Di daerah Samalanga, satu Kecamatan di Aceh Utara, koperasi ini telah pernah mempunyai akar sejak revolusi yang lalu. Karena itu di daerah ini lintah darat tidak dapat hidup, kaum tani tidak kesulitan makan. Sayangnya koperasi ini telah dirusak dan diobrak-abrik oleh DI-TII sehingga belakangan ini sangat mengganggu kehidupan rakyat di daerah tersebut. Partai telah berusaha untuk menghidupkan kembali koperasi di daerah ini dan menjadi contoh dalam memulai pekerjaan Partai di lapangan koperasi di daerah Aceh.
  4. Mengenai hak kaum tani untuk mengangkat senjata melawan gerombolan teroris, merupakan program yang amat mendesak sekarang ini. Pengalaman menunjukkan, bahwa tanpa adanya bantuan rakyat, TNI tidak dapat berbuat banyak untuk memulihkan keamanan. Sebaliknya tanpa bantuan daripada TNI, terutama di lapangan persenjataan dan latihan-latihan militer, rakyat tidak akan dapat mengusir gerombolan dan desanya.

Partai kita di daerah Aceh mempunyai pengalaman yang kaya terhadap kebenaran tuntutan ini. Dimana Komandan-komandan operasi setempat mau bekerja sama dengan rakyat maka pengaruh DI-TII tidak bisa berakar dan keamanan bisa terjamin, tetapi sebaliknya dimana kerjasama antara Angkatan Perang dengan rakyat tidak baik, keamanan tidak dapat dipulihkan dan gerombolan tidak dapat diusir sama sekali.

Dalam memberikan bantuan terhadap rakyat ini hendaklah dilaksanakan secara sungguh-sungguh tanpa adanya kecurigaan, dan jangan hanya mau mempergunakan rakyat untuk menyukseskan operasi saja, tanpa menyediakan syarat-syarat yang memungkinkan rakyat membela dirinya kalau daerah yang telah dibebaskan itu ditinggalkan oleh TNI. Karena tidak jarang terjadi daerah tersebut diduduki kembali oleh gerombolan, sehingga akibatnya rakyat yang tadinya membantu TNI dimusnahkan oleh gerombolan. Jadi kerja sama ini harus sungguh-sungguh didasarkan kepada kepentingan untuk menghancurkan gerombolan dan menyelamatkan rakyat, bukan sekadar untuk memudahkan operasi Angkatan Perang saja. Ini hanya bisa kalau Angkatan Perang membantu rakyat dengan mengadakan latihan-latihan untuk membela diri terhadap serangan kaum pemberontak. Sehubungan dengan itu mengenai bantuan terhadap kaum pengungsi harus diperinci secara terang, bahwa bantuan itu bukan hanya bersifat memberikan sekadar beberapa ratus rupiah uang tiap bulan, tetapi yang penting ialah memberikan pekerjaan sehingga kaum pengungsi bisa mengembangkan bakatnya dan dapat ambil bagian yang aktif dalam proses produksi kemasyarakatan dan perjuangan revolusioner. Sekarang ini kaum pengungsi di dalam Aceh atas tuntutan dan perjuangan kaum pengungsi sendiri mendapat bantuan uang pada umumnya untuk yang berkeluarga Rp. 200.— sampai Rp. 250,— sekeluarga dan untuk yang belum berkeluarga Rp. 100,—; bantuan yang demikian tidak mendidik kaum pengungsi, dan bisa menyebabkan semangat revolusioner menjadi tertekan.

Kawan-kawan!

Demikianlah pandangan kami terhadap Perubahan Program PKI yang diajukan oleh CC kepada Kongres ini, dengan keyakinan bahwa Program ini akan mampu memobilisasi massa untuk mendekatkan Rakyat Indonesia kepada tujuan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya.

Terima kasih.