Pidato Kawan Torey

(Irian Barat)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kawan-kawan dan para utusan yang tercinta,

Pertama-tama atas nama Rakyat Irian, saya sampaikan salam perjuangan kepada semua delegasi Kongres Nasional ke-VI Partai Komunis Indonesia yang mulia. Melalui kawan-kawan saya sampaikan salam yang sehangat-hangatnya kepada kelas buruh, kaum tani dan semua kaum Komunis serta pemimpin-pemimpinnya dan segenap Rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan pendudukan kolonialis Belanda di Irian Barat.

Pada saat yang bersejarah ini, saya tidak hanya diliputi oleh perasaan terharu dan terima kasih, tetapi juga oleh perasaan gembira dan bangga, karena kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan sepatah dua kata kepada Kongres yang jaya ini.

Dalam kata penutup Kongres ke-V, 5 tahun yang lalu Kawan D. N. Aidit mengharapkan agar Kongres ke-VI dilangsungkan dalam keadaan yang lebih baik, dalam keadaan dimana persatuan rakyat dan Partai jauh lebih kuat dan jauh lebih besar dan diikuti oleh kawan-kawan dari suku-suku bangsa yang dalam Kongres ke-V belum ikut. Harapan Kawan Aidit dan segenap kaum Komunis Indonesia sudah menjadi kenyataan.

Kawan-kawan, saya menyetujui sepenuhnya Laporan Umum CC PKI kepada Kongres Nasional ke-VI ini, Laporan tentang Perubahan Konstitusi dan Laporan tentang Perubahan Program yang berturut-turut disampaikan oleh Kawan Aidit, Kawan Lukman, dan Kawan Nyoto. Pertama karena isinya tidak hanya menyimpulkan pengalaman-pengalaman yang berharga dan yang penting, tetapi telah menetapkan tugas dan kewajiban yang urgen di waktu yang akan datang. Kedua, karena disamping ia membikin sempurna pekerjaan Partai di lapangan ideologi, politik dan kebudayaan, juga telah lebih menghidupkan hubungan-hubungan dan lebih menggiatkan pekerjaan-pekerjaan Partai di lapangan organisasi.

Imperialisme adalah musuh terpokok Rakyat Indonesia dan dalam hal ini, imperialisme Belanda masih tetap merupakan musuh pertama Rakyat Indonesia. Kenyataannya ialah bahwa tidak hanya kapital Belanda masih menempati kedudukan-kedudukan yang penting di lapangan ekonomi dan keuangan di Indonesia, tetapi yang terpenting, karena wilayah Irian Barat adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari Republik Indonesia masih diduduki oleh kaum kolonialis Belanda. Irian Barat yang terkenal kaya dengan pelikan-pelikan yang banyak ragamnya itu dengan luasnya kira-kira 388.000 km2 atau sama dengan 3 kali pulau Jawa, dengan penduduknya kurang lebih 2 juta mempunyai arti yang strategis. Sebab selama Irian Barat masih dikuasai oleh kaum kolonialis Belanda, selama itu pun keamanan Republik Indonesia akan terus-menerus terancam oleh pesawat-pesawat udara dan kapal selam Belanda, dan oleh gerakan-gerakan subversi dan agresi kaum imperialis AS. Kaum kolonialis Belanda terus-menerus memperkuat kedudukan militernya di Irian Barat. Tugas-tugas pembebasan nasional mau tidak mau harus diselesaikan dengan perjuangan yang sengit, dan tidak kenal ampun untuk mengakhiri kekuasaan mereka atas Irian Barat.

Kawan-kawan, saya sepenuhnya menyetujui garis yang ditetapkan oleh Partai bahwa untuk membebaskan Irian Barat, semua jalan harus ditempuh. Baik dalam negeri maupun luar negeri, baik lewat PBB maupun di luar PBB. Di dalam negeri agar Republik Indonesia terus-menerus memperbesar kekuatan pertahanannya dan terus-menerus mempersatukan serta memobilisasi rakyat yang penuh semagat anti-kolonialisme. Di luar negeri dan di PBB untuk memaksa dunia mengakui kebenaran dan hak kita atas Irian Barat dan untuk mengonfrontasikan negara-negara imperialis dan Belanda dengan opini dunia internasional.

Pendirian ini adalah sepenuhnya sesuai dengan pendirian suku Irian, dan sesuai pula dengan kehendak bagian terbesar dari bangsa Indonesia. Setiap patriot tidak akan menerima dalih surat kabar kaum soska “Pedoman” yang mengatakan, jika masalah Irian Barat diajukan ke PBB, “ia hanya membuka jalan lagi bagi kaum Komunis untuk beragitasi di dalam negeri”.

Bung Karno sebagai seorang nasionalis yang revolusioner, dalam Manifestonya “Penemuan Kembali Revolusi Kita” mengatakan antara lain “Dunia luaran harus tahu bahwa mengenai pembebasan Irian Barat itu kita tidak main-main dan tidak mengenal kompromis”. Benar bahwa dunia luar harus tahu, karena kolonialisme dan imperialisme adalah persoalan internasional dan merebut kembali Irian Barat adalah perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Demikian persoalan Irian Barat tidak hanya merupakan persoalan antara Indonesia dan Belanda, tetapi sudah menjadi persoalan yang mengonfrontasikan dua kekuatan dunia, yaitu kekuatan anti-imperialis di satu pihak dengan kekuatan imperialis di pihak lain.

Kawan-kawan, kecuali kaki tangan kolonialis Belanda dan imperialis Amerika Serikat di dalam negeri, kami dari Irian Barat tidak pernah meragukan kekuatan dan kesanggupan rakyat dan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Kekuatan dan kesanggupan nasional kita, terutama persatuan dan keutuhan jiwa nasion Indonesia akan lebih terkonsolidasi, jika Irian Barat dimasukkan dalam acara PBB. Bung Karno sendiri mengatakan bahwa “membebaskan Irian Barat berarti mempersatukan kembali Bangsa Indonesia”, malahan “akan mengutuhkan kembali jiwa Indonesia”. (muka 21 “Penemuan Kembali Revolusi Kita”).

Kawan-kawan, menjelang pembicaraan di PBB, pada peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1957, kita mengalami kehangatan aksi pembebasan Irian Barat yang menjulang tinggi dan klimaksnya sejak tanggal 3 Desember 1957 dengan diambil-alihnya perusahaan Belanda oleh kaum buruh. Sekali lagi dengan tidak mementingkan diri sendiri proletariat menunjukkan rol pelopornya yang gagah berani dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan tanah air dan kepentingan seluruh nasion. Sekarang pun sudah tiba saatnya untuk memasukkan Irian Barat dalam acara PBB, bukan untuk “membuka pintu untuk berunding” seperti yang dikehendaki oleh Menlu Subandrio 2 tahun yang lalu, tetapi berunding untuk membicarakan kedaulatan atas Irian Barat.

Tuntutan ini harus disertai dengan tindakan radikal yang melumpuhkan Belanda di lapangan ekonomi. Politik dan tindakan demikian akan mendapatkan sokongan massa dan merupakan kekuatan yang besar. Sebaliknya sesuatu tuntutan yang tidak disertai dengan tindakan di lapangan ekonomi, akan merupakan tuntutan yang hanya mengharapkan belas kasihan. Tidak mengherankan, jika tuntutan yang demikian itu dianggap sepi oleh Belanda. Contohnya ialah kegagalan politik kompromi PSI-Sutan Syahrir yang hanya mementingkan perjuangan diplomasi dan sekaligus merintangi penyusunan kekuatan nasional. Contoh yang kedua ialah kegagalan politik Masyumi dan Anak Agung Gde Agung yang juga berkompromi dan berunding dengan Belanda dan sekaligus menyampingkan kekuatan nasional.

Kawan-kawan, pemerintah pun mengakui “bahwa perjuangan Irian Barat harus dilakukan di segala lapangan, ya di dalam negeri ya di luar negeri”. Sekalipun dikemukakan oleh Presiden bahwa Pemerintah tidak akan memasukkan soal Irian Barat ke PBB tahun ini, tetapi berpegang pada pernyataan Presiden dapat diartikan bahwa dalam tahun ini sudah harus dilaksanakan tindakan perlawanan di lapangan ekonomi terhadap Belanda.

Kami melihat kenyataan bahwa Belanda tetap akan membandel dalam persoalan Irian Barat, karena kami tidak pernah melihat kemungkinan Belanda tidak berkepala batu terhadap tuntutan nasional kita. Buktinya baru-baru ini Belanda memasukkan Irian Barat ke Kementerian Dalam Negeri-nya. Maka itu dalam tahun ini juga, seharusnya pemerintah sudah melaksanakan tindakan yang menghabis-tamatkan sama sekali riwayat semua modal Belanda di Indonesia, termasuk yang berada dalam perusahaan-perusahaan campuran seperti BPM-SHELL, dan sebagainya.

Saya berpendapat bahwa Pemerintah seharusnya memasukkan Irian Barat dalam acara PBB – sekarang juga. Sekalipun terdapat perbedaan dalam taktik perjuangan, namun pada pokoknya pernyataan Presiden dapat dijadikan pegangan, baik dalam membantu dan menyokong pelaksanaan program Kabinet Kerja Sukarno-Juanda, maupun dalam menagih pelaksanaannya yang tepat kepada Menteri-Menteri pembantu Presiden. Politik Menlu Subandrio terhadap perjuangan pembebasan Irian Barat masih mendapatkan kesempatan untuk berorientasi kepada kehendak dan kekuatan Rakyat Indonesia.

Melihat perimbangan kekuatan di PBB belum dapat dipastikan bahwa 2/3 suara akan tercapai untuk keuntungan Indonesia. Sekalipun demikian ia mendapatkan dukungan 2 miliar dari 2.737 miliar jumlah penduduk dunia yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Di negeri Belanda sendiri terdapat suara-suara yang menyokong tuntutan nasional kita. Misalnya Dr. Verkuyl, Van der Straten, Partai Komunis Nederland (CPN), Organisasi Pemuda Belanda A.N.J.V (Algemene Nederlandse Jeugd Vereniging), demonstrasi para pemuda Friesland di Leeuwarden, dan akhir-akhir ini sebuah organisasi Mahasiswa Progresif Belanda “Pericles” dalam suratnya kepada “Pemuda Rakyat” juga menyatakan tuntutan mereka kepada Pemerintah Belanda supaya menyerahkan Irian Barat segera dan tanpa syarat kepada Pemerintah Indonesia. Bukankah ini bukti, dari antara bukti-bukti lain yang telah diberikan oleh negeri-negeri kubu Sosialis, dan juga oleh kaum buruh Amerika Serikat dan Australia, bahwa kekuatan nasional kita bisa ditambah dan dipersatukan dengan kekuatan internasional? Karena itu sudah sewajarnyalah persoalan Irian Barat diusahakan oleh Pemerintah untuk dibawa ke Sidang Umum Majelis Umum PBB, dalam tempo 6 bulan yang akan datang.

Kawan-kawan, bagaimanakah situasi di daerah Irian Barat sendiri? Berita-berita menyatakan bahwa bekas pekerja dari NNGPM di Sorong dikeluarkan dan dikirim kembali ke Ambon oleh pihak Belanda. Alasan yang dikemukakan ialah, bahwa keadaan perusahaan telah menjadi mundur dan karena itu diperkecilkan. Di sini kami lihat bagaimana pihak lawan menemukan dalih untuk mengeluarkan orang Indonesia yang bukan asli suku bangsa Irian.

Pada tanggal 19 Agustus 1959 yang lalu telah tiba di Makasar 150 orang buruh dari NNGPM (Nederlandse Nieuw Guinea Petroleum Maatschappy) sebagai cabang dari BPM di Sorong yang dengan sengaja dipulangkan dari sana atas desakan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Pemulangan buruh Indonesia dari Sorong adalah untuk yang ketiga kalinya. Dalam wawancara dengan sk. Marhaen, salah seorang dari rombongan menerangkan bahwa mereka dipulangkan kembali, setelah perusahaan minyak berkali-kali menerima desakan dan instruksi dari Pemerintah Belanda dengan alasan-alasan kekhawatiran terhadap usaha mata-mata yang bisa menumbangkan kekuasaan kolonial Belanda di Sorong. Hal ini disebabkan karena serdadu-serdadu Belanda menjadi ketakutan dan ribut oleh meluasnya desas-desus, bahwa ada organisasi di bawah tanah yang dipimpin dengan baik untuk mengacau ketentraman kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Mereka mengharapkan bahwa tindakan itu bisa memperkecil pengaruh nasionalisme atas suku bangsa Irian sendiri. Memang nasionalisme selalu bertentangan dan tidak bisa berkompromi dengan kepentingan imperialisme yang berusaha keras untuk melanjutkan penjajahannya atas Irian Barat.

Kawan-kawan, modal Amerika Serikat telah berhasil menggeser 60% modal Belanda di NNGPM di Sorong dengan komposisi 40% Stanvac dan 20% California Standard. Dari daerah yang luasnya 338.000 km2 mereka mendapatkan Konsesi seluas 150.000 km2. Produksinya setahun adalah sama dengan produksi Sungai Gerung, Plaju, dan Tarakan bersama. Disamping itu kaum imperialis sedang berusaha membuka tambang tembaga dengan bantuan modal Amerika.

Kawan-kawan, membiarkan perusahaan minyak modal besar asing mengeduk kekayaannya di Republik Indonesia berarti bahwa kita secara tidak langsung membantu melanjutkan penjajahan mereka atas Irian Barat.

Kami dari Irian Barat tidak melihat manfaatnya sesuatu politik, apalagi politik melawan imperialisme, yang disandarkan pada “kemauan baik” dari Amerika Serikat. Politik yang demikian ini berarti bencana nasional. Tidak ada satu bangsa yang tertindas yang dapat mencapai kemerdekaan dan kebebasan dengan “sokongan” imperialis. Kalau ada orang yang mengharapkan hadiah sokongan dari imperialis Amerika Serikat untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan di Irian Barat, maka hal itu akan menimbulkan kerugian yang besar dan sangat berbahaya. Apalagi kalau kita berusaha mendapatkan bantuan dari mereka melalui Penanaman Modal Asing.

Kawan-kawan, bukan saja kaum buruh Indonesia di Sorong dan kota-kota dan pelabuhan-pelabuhan lainnya di Irian Barat yang menimbulkan ketakutan Pemerintah Kolonial Belanda, tetapi juga pengaruh Bahasa Indonesia. Hal ini dapat dipelajari dalam Laporan Misi Parlementer Belanda dalam masa Sidang tahun 1953-1954 lampiran ke 9 tentang Bahasa dan Pengajaran. Hal ini dikemukakan oleh V. E. Bloemhard bekas Direktur Sekolah Mulo di Hollandia, bahwa menggunakan bahasa Indonesia membawa akibat yang sangat jelek bagi “orang Papua”. Mereka masih tetap menggunakan istilah Papua karena Irian itu katanya, berarti: i (ikut), r (republik), i (Indonesia), a (anti), n (nederland). Karena itu bahasa Indonesia tidak boleh digunakan dalam pergaulan dan pengajaran, dengan alasan bahwa bahasa Indonesia bukan bahasa yang mendukung kebudayaan Barat dan bahasa ini hanya digunakan oleh orang yang anti-Christ. Sekalipun demikian meluasnya Bahasa Indonesia di Irian Barat tidak dapat dielakkan. Laporan itu sendiri mengemukakan bahwa seorang  pendeta  bernama Wattimena dalam khotbahnya yang diucapkan dalam bahasa Indonesia mengutuk penjajahan Belanda. Sebagai akibat ia dikeluarkan dari Irian Barat dan sebagai balasan pendeta itu mengirimkan 8 bendera merah-putih ke gereja. Selanjutnya diakui oleh Laporan itu bahwa bahasa Indonesia menimbulkan hubungan yang erat antara orang Indonesia dan orang Indonesia suku bangsa Irian. Demikian Bahasa Indonesia merupakan senjata untuk melawan pembentukan “Negara Irian” sebagai saluran untuk melanjutkan pemerasan lebih lanjut terhadap Rakyat Indonesia di Irian Barat.

Kawan-kawan, pada pokoknya pihak Belanda dengan sekuat tenaga melalui kaki tangan mereka, mencoba menanamkan pengertian bahwa suku bangsa Irian Barat secara politik, kultural, etnografis, etnologis, geografis, bukan termasuk bangsa Indonesia, bahwa mereka orang Belanda “melenyapkan penjajahan dan penindasan” orang Indonesia (Tidore dan Ternate) dan pemerintahan Belanda adalah lebih baik daripada pemerintahan trusteeship PBB. Karena katanya Pemerintah Belanda mengeluarkan 90 juta Gulden untuk Irian Barat, sedangkan PBB hanya 16 juta Gulden untuk daerah-daerah yang diawasinya. Padahal pengeluaran yang 90 juta Gulden itu hanya dipergunakan untuk kepentingan militer dan eksploitasi Belanda, bukan untuk kepentingan rakyat.

Berapa lama lagi kita harus mendengarkan obrolan Belanda semacam ini yang menjual obatnya tidak hanya di Irian Barat, tetapi juga di luar negeri. Disamping penindasan yang dilakukan oleh imperialis Belanda, dalam bentuk penculikan, penangkapan, pemasukan dalam penjara dan pembunuhan terhadap pemuda-pemuda suku bangsa Irian, mereka tidak diperbolehkan menggunakan aliran listrik, saluran air, dan mendapatkan bahan-bahan distribusi bahan makanan yang pokok. Perasaan bahwa mereka dijajah sudah merata di kalangan Rakyat Irian dan hal ini membangkitkan perlawanan. Misalnya perlawanan pemuda di danau Paniai (Wisselmeer) yang mengakibatkan matinya 12 orang Belanda dan 2 orang Amerika. Demonstrasi sejumlah 2.500 pemuda yang menentang resolusi yang ditandatangani oleh kaki tangan Belanda Marcus Kasiepo yang tidak menyetujui Indonesia membawa Irian Barat ke Sidang Umum PBB pada tahun 1957. Reaksi rakyat begitu meluap terhadap tipu muslihat Belanda sehingga 3 orang wanita Irian membakar Radio Omroep Belanda di Hollandia. Ketiga wanita itu masih ditahan dalam penjara. Begitu pula kawan J. A. Dimara yang sampai sekarang masih meringkuk dalam penjara di Digul sebagai akibat perlawanannya terhadap polisi Belanda. Hal ini sangat bertentangan dengan usaha pejabat-pejabat tertentu di Jakarta yang mengeluarkan Van Krieken dan Schmidt dari penjara dan dengan secara istimewa dikeluarkan dari Indonesia.

Kawan-kawan, untuk melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat, kami sebagai putera suku Irian tidak menyetujui Soasiu dijadikan Ibukota Propinsi Perjuangan Irian Barat dan tidak pula menyetujui kepala daerahnya yang sekarang. Kami tahu benar, bahwa ia adalah seorang Sultan bekas anak mas dari bekas residen Belanda van Eechoudt. Propinsi Perjuangan Irian Barat yang dipimpin oleh seorang Sultan ini sekarang ternyata hanya menggantungkan beberapa gelintir orang feodal dan tidak bisa mengorganisasi dan mempersatukan rakyat dan suku bangsa Irian di daerah perbatasan. Kebijaksanaan ini memecah persatuan yang justru sangat dibutuhkan di kalangan rakyat. Kami berpendapat untuk menyukseskan perjuangan pembebasan Irian Barat, agar Pimpinan Propinsi Perjuangan Irian Barat diserahkan kepada patriot-patriot Indonesia yang tidak berkedudukan di Soasiu dengan tugas melanjutkan tugas Propinsi Perjuangan Irian Barat, yaitu mempersatukan, mengorganisasi, dan mempersiapkan Rakyat Indonesia di Irian Barat dan untuk membangun daerah-daerah perbatasan.

Ditempatkannya Sultan ini sebagai Kepala Daerah, mengingatkan kami kembali kepada perlakuan kaum feodal yang merugikan suku Irian di masa yang lampau. Disamping itu, kami berpendapat bahwa pemerintah mengambil tindakan untuk pembebasan Irian Barat di antaranya dengan mendidik dan melatih putera-putera Irian yang dikeluarkan dari Irian Barat menjadi kader di segala tingkatan baik sipil maupun militer.

Kawan-kawan, sekian sambutan kami atas nama Rakyat Irian dengan harapan agar Kongres Nasional ke-VI Partai Komunis Indonesia di bawah pimpinan kawan-kawan dapat merumuskan garis-garis yang kongkrit untuk membebaskan Irian Barat.

Sekian terima kasih.

 

L a m p i r a n:

RESOLUSI TAHANAN-TAHANAN POLITIK DI IRIAN BARAT

Para bekas tahanan politik di Hollandia telah membuat resolusi yang dikirimkan antara lain kepada Sekjen PBB, Sekjen Konferensi A-A, dan Pemerintah Republik Indonesia, bunyinya antara lain sebagai berikut:

Tetap menolak sekeras-sekerasnya pelanjutan penjajahan Belanda atas daerah Irian Barat, menuntut kemerdekaan bagi seluruh daerah Irian Barat, serta hak-hak untuk menentukan nasib diri sendiri, sebagaimana halnya dengan lain-lain bangsa yang merdeka di atas bumi ini;

Menyerukan dan mendesak pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNO) agar:

  1. Mengakui daerah Irian Barat sebagai bagian dari bekas wilayah Hindia-Belanda dahulu, sebagai daerah yang seharusnya juga dimerdekakan kembali, sebagaimana halnya dengan lain-lain bagian yang sekarang telah bebas dari penjajahan dan merupakan suatu negara yang berdaulat;
  2. Ikut campur secara aktif dalam masalah Irian Barat, dan mendesak kepada Nederland dan Republik Indonesia untuk menyelesaikan persengketaan mereka mengenai Irian Barat secara damai dengan jalan berunding yang harus selekas mungkin dimulai.
  3. Mendesak baik kepada Nederland maupun kepada Republik Indonesia untuk menghentikan segala usaha dan persiapan yang dapat menjadikan daerah Irian Barat sebagai tempat pertempuran senjata antara kedua pihak tersebut, dalam mana rakyat jelatalah yang akan menjadi korban keganasan;
  4. Mengirim peninjau-peninjau yang bersikap anti-kolonial untuk melihat keadaan Irian Barat.

Resolusi tersebut dibuat atas pertimbangan-pertimbangan bahwa hingga kini daerah Irian Barat tersebut masih saja menjadi daerah penjajahan asing, ialah: karena ketika daerah penjajahan Hindia-Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 memperoleh kembali kemerdekaannya Irian Barat dikecualikan, meskipun terang bahwa daerah ini adalah bagian dari wilayah bekas Hindia-Belanda dahulu, sedang penduduknya merasa senasib dan sebangsa dengan lain-lain bagian yang mendapat kembali kedaulatannya tadi. Bahwa karena hal tersebut, Irian Barat hingga kini merupakan daerah perselisihan antara Republik Indonesia (ialah yang terdiri dari bagian-bagian jajahan Hindia-Belanda dahulu di atas) dan Nederland perselisihan mana dapat meletus dan mengganggu perdamaian Dunia. Bahwa pengecualian daerah Irian Barat dari pengembalian kedaulatan tadi telah terjadi tanpa didengar penduduknya lebih dahulu apa yang diinginkan oleh mereka.

Demikian antara lain resolusi tersebut.

(Antara, 9 September 1955)