Pidato Kawan M. Zaelani

(Sekretaris CDB PKI Sumatera Selatan)

Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960


Kawan-kawan Presidium,

Kawan-kawan peserta Kongres yang tercinta,

Atas nama delegasi Partai daerah Sumatera Selatan, saya menyatakan persetujuan terhadap Laporan Umum CC PKI yang disampaikan oleh Kawan D. N. Aidit, demikian pula terhadap Rencana Perubahan Konstitusi dan Rencana Perubahan Program Partai. (tepuk tangan).

Delegasi kami hendak memperkuat persetujuannya dengan mengemukakan perkembangan situasi politik di daerah Sumatera Selatan sendiri, yaitu tentang pengalaman-pengalaman dan peranan Partai dalam perjuangan melawan kontra-revolusi.

Laporan Umum secara tepat menyimpulkan bahwa pada pokoknya kita telah dapat melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kongres Nasional ke-V Partai. Ini dimungkinkan berkat pimpinan CC Partai dan persatuan yang semakin kokoh di dalam Partai. Kami sependapat bahwa tugas-tugas urgen Partai kita sampai sekarang adalah belum berubah dari yang kita tetapkan dalam Kongres Nasional ke-V Partai, yaitu tentang penggalangan front persatuan nasional dan pembangunan Partai.

Sumatera Selatan dijadikan pangkalan kontra-revolusi

Kawan-kawan sekalian,

Laporan Umum menyatakan bahwa secara politik Indonesia dalam tahun-tahun belakangan ini bergeser ke kiri, dan bahwa front persatuan nasional makin bertambah kuat, sedang dalam rangka front persatuan nasional itu proletariat Indonesia telah semakin dapat menempatkan dirinya dan sudah mulai mendapat pengakuan sebagai pelopor perjuangan Rakyat Indonesia dalam menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945.

Perkembangan situasi politik di daerah Sumatera Selatan pada tahun-tahun belakangan ini menunjukkan kebenaran analisa Laporan Umum itu.

Sesudah pemilihan umum Parlemen pertama dan pemilihan umum Konstituante pada tahun 1955 yang lalu, walaupun situasi politik secara nasional adalah baik dan menguntungkan demokrasi, tetapi situasi di daerah-daerah tertentu, khususnya daerah Sumatera Selatan sejak akhir tahun 1956 tidaklah demikian halnya. Kekuatan front nasional adalah demikian labilnya karena kekuatan progresif yang merupakan basis front persatuan itu masih kecil, kekuatan tengah tidak seberapa besar, sedang kekuatan kepala batu masih besar. Dalam keadaan perimbangan kekuatan demikian itulah daerah Sumatera Selatan telah dijadikan oleh kaum kontra-revolusioner sebagai terugvalbasis mereka, karena terdesak oleh kemajuan dari kekuatan demokrasi dan front nasional di seluruh negeri. Daerah Sumatera Selatan mereka jadikan salah satu pangkalan untuk merebut kembali kedudukan berkuasa dalam pemerintahan sentral Republik Indonesia.

Dengan mempertentangkan apa yang dinamakan “daerah dengan pusat”, dengan membangkitkan sentimen suku bangsa yang sempit, dengan semboyan-semboyan untuk “pembangunan daerah” kaum kontra-revolusioner menjalankan politik separatis, memecah-belah persatuan rakyat dan mengoyak-ngoyak keutuhan Republik. Demokrasi mereka injak-injak dan kemerdekaan Indonesia mereka dorong ke dalam posisi yang berbahaya. Coup “Dewan Banteng” yang disusul coup Simbolon yang gagal telah diikuti oleh berbagai persiapan kontra-revolusi di Sumatera Selatan, yang merasa terlambat dalam memulai tindakannya. Setelah gagal menggunakan apa yang dinamakan “BPKMSS”, kaum kontra-revolusioner menempuh jalan seperti yang telah dirintis oleh “Dewan Banteng” dengan membentuk “Dewan Garuda”, dengan merk “revolusioner” tetapi dilahirkan oleh elemen-elemen yang paling reaksioner, yang dapat mereka himpun dalam apa yang dinamakan “kongres adat”.

Kekuatan sisa-sisa feodalisme, petualang-petualang politik, dan petualang-petualang ekonomi yang gagal, serta petualang-petualang militer dengan pelopornya pemimpin-pemimpin Masyumi-PSI, dan sudah pasti dengan dorongan dan bantuan imperialisme melalui modal-modal monopoli seperti SVPM dan BPM serta KMT, itulah kekuatan hitam yang mendukung “Dewan Garuda” yang aktifitasnya tidak kalah reaksionernya daripada dewan-dewan partikelir lainnya.

Kebangkitan perlawanan heroik kekuatan demokratis

Berpedoman pada statement CC PKI tanggal 23 Desember 1956 mengenai coup “Dewan Banteng”, PKI Sumatera Selatan sejak semula telah mencanangkan tentang bahaya perkembangan situasi bagi demokrasi dan keutuhan Republik. Aksi-aksi massa kaum buruh, kaum tani, wanita, dan pemuda memrotes pelanggaran hak-hak demokrasi mulai meningkat, karena kontra-revolusi mulai menggunakan kekuasaan militer untuk menindas gerakan rakyat. Rapat-rapat umum serentak diadakan oleh PKI di berbagai kota dan daerah perburuhan pada tanggal 25 Januari 1957 yang dihadiri ribuan rakyat, untuk menjelaskan situasi politik yang sedang berlaku dan apa tugas-tugas rakyat dalam membela demokrasi dan keutuhan Republik. Aksi front persatuan dari partai-partai demokratis mendukung konsepsi Presiden Sukarno pada akhir Februari 1957 dengan rapat-rapat umum mendemonstrasikan tantangan terang-terangan dari rakyat terhadap “Dewan Garuda”, bahwa jika mereka meneruskan maksud-maksud jahatnya, akan pasti menghadapi perlawanan yang setimpal. (tepuk tangan).

Melalui sidang DPRDP, PKI bersama dengan PNI dan kekuatan demokratis lainnya, dengan gigih membela politik persatuan dan menelanjangi maksud-maksud jahat kaum separatis yang menjalankan politik pecah-belah a la van Mook dengan “NSS”-nya. Apa yang dicanangkan PKI akhirnya terbukti kebenarannya. Pada tanggal 9 Maret 1957, mayoritas yang dipelopori Masyumi dan PSI dan dengan menarik sebagian dari kekuatan tengah telah menggunakan DPRDP sebagai stempel untuk melakukan tindakan menggerowoti kekuasaan Republik, dengan memaksakan keputusan yang bertentangan dengan hukum, yaitu menyerahkan kekuasaan pemerintahan sipil Propinsi Sumatera Selatan kepada kekuasaan militer “Dewan Garuda”. Gubernur yang sah mereka exitkan, DPRDP kemudian mereka bekukan. Seterusnya, makin menjadi-jadilah kekurangajaran mereka dalam menginjak-injak demokrasi, dengan serangan terhadap kaum buruh yang memperjuangkan dan membela nasibnya, terhadap kaum tani yang mempertahankan tanah garapannya, dan lain-lain.

Tetapi kekurangajaran kontra-revolusi itu tidak didiamkan oleh rakyat. Atas seruan umum Partai dan atas instruksi Dewan Daerah SOBSI Sumatera Selatan pada tanggal 18 Maret 1957 telah dilakukan pemogokan heroik (tepuk tangan); tiga puluh ribu kaum buruh di kilang-kilang dan pertambangan-pertambangan minyak SVPM dan BPM, perkebunan-perkebunan asing, penggilingan-penggilingan karet, pelabuhan, dan lain-lain, dengan tuntutan: “Laksanakan Perintah Harian Presiden/Panglima Tertinggi”, “Jamin Hak-Hak Demokrasi dan Pulihkan DPRD/Pemerintah Sipil”, dan “Pecat Letkol. Barlian sebagai Panglima TT II”. (tepuk tangan).

Aksi kaum buruh yang heroik itu, walaupun ia meminta korban penangkapan dan pengejaran terhadap kader-kader Partai, dan hanya berhasil memulihkan DPRDP dan pemerintah sipil, serta belum dapat melikuidasi kekuasaan “Dewan Garuda”, tetapi ia telah menggugah perlawanan dari berbagai lapisan kekuatan demokratis yang setia kepada Republik terhadap kaum kontra-revolusioner yang berkuasa. Adalah tepat kesimpulan Kawan Aidit, bahwa pemogokan kaum buruh Sumatera Selatan terhadap “Dewan Garuda” itu adalah bukti tentang tingginya kesadaran politik proletariat Indonesia, dan bahwa kaum kontra-revolusioner separatis telah gagal menarik massa kaum buruh disamping kegagalannya menarik kaum tani ke pihaknya. Ini berarti bahwa basis kekuatan perlawanan terhadap kontra-revolusi adalah utuh. Peranan pelopor dari proletariat dalam membela hasil-hasil Revolusi Agustus ’45, dengan pemogokan heroik itu telah mendapatkan perwujudannya yang kongkrit dan mulai mendapat pengakuan dari rakyat. Pemogokan itu juga menaikkan martabat PKI di mata rakyat, yang memberikan syarat baru dalam penggalangan front persatuan yang luas untuk mengalahkan kontra-revolusi separatis.

Dari segi organisasi pemogokan 18 Maret menunjukkan otoritas yang besar dari SOBSI (tepuk tangan), vaksentral revolusioner kita, disertai kewaspadaannya yang tinggi. Ini mungkin terjadi karena persiapan-persiapan politik yang baik, karena pemaduan yang tepat antara garis politik Partai dengan pekerjaan-pekerjaan serikat buruh.

Pemogokan 18 Maret juga telah memberikan pendidikan ideologi yang penting bagi kader-kader Partai, pendidikan tentang kesadaran kelas, tentang sikap bebas dalam politik dalam menghadapi keadaan bagaimana pun, serta watak pelopor yang harus dimilikinya dalam perjuangan rakyat.

Laporan Umum secara tepat mengemukakan bahwa faktor Angkatan Perang tidak dapat diabaikan dalam perkembangan politik di negeri kita. Kaum kontra-revolusioner separatis berhasil untuk sementara berkuasa di beberapa daerah, adalah karena mereka dapat mempergunakan sebagian perwira-perwira dalam pimpinan APRI untuk melaksanakan politik reaksioner mereka. Akan tetapi karena dalam APRI di daerah bergolak itu masih ada kekuatan demokratis yang tetap setia kepada cita-cita Revolusi Agustus ’45, kaum kontra-revolusioner menghadapi perlawanan-perlawanan. Ini dibuktikan oleh peristiwa 30 Maret 1957, yaitu aksi dari kekuatan Saptamarga dalam APRI di Sumatera Selatan melawan kebijaksanaan pimpinan TT II yang membahayakan keutuhan Republik Indonesia.

Aksi Saptamarga tanggal 30 Maret 1957, sebagaimana halnya aksi 18 Maret 1957 dari kaum buruh, belum berhasil melikuidasi kekuasaan kaum kontra-revolusioner separatis. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa aksi 18 Maret dari kaum buruh dan aksi 30 Maret dari kekuatan Saptamarga melawan “Dewan Garuda” tidak dapat berarti lain kecuali berhakekat aksi dwitunggal Rakyat-Tentara dalam membela demokrasi dan keutuhan Republik Indonesia. (tepuk tangan). Ia adalah aksi bersama yang walaupun pada taraf pertama belum mencapai kemenangan, tetapi memberikan harapan untuk di masa selanjutnya.

Persatuan Partai Syarat Pokok untuk Memobilisasi Perlawanan Rakyat

Kontra-revolusi yang untuk sementara dapat menangkis serangan perlawanan kekuatan demokratis, melakukan pembalasan sewenang-wenang. Penangkapan dan pengejaran semakin menghebat; tahanan bertambah, baik kader-kader Partai dan orang-orang demokratis lainnya maupun prajurit Saptamarga. Di antara tahanan itu ada yang mengalami siksaan biadab. Pers demokratis daerah dan pusat dikekang dan dilarang peredarannya di Sumatera Selatan. Posisi-posisi penting baik sipil maupun militer mereka bersihkan dari orang-orang yang konsekuen setia kepada Republik.

Situasi yang jelek itu membikin kebanyakan tokoh-tokoh kekuatan tengah berkapitulasi dan sebagian menjadi pasif, kecuali kekuatan progresif dan sayap kiri kekuatan tengah yang tetap bertahan dan meneruskan perlawanan. Di kalangan sementara kader Partai ada yang kurang tepat memahami situasi.

Untuk mengatasinya Partai di Sumatera Selatan segera menganalisa secara teliti perkembangan situasi, dan atas analisa itu ditetapkan garis-garis dan tugas-tugas pokok Partai di lapangan organisasi dan politik.

Partai menyimpulkan, walaupun kontra-revolusi berhasil menegakkan kekuasaannya untuk melaksanakan perongrongan terhadap Republik, tetapi kekuasaan mereka adalah terbatas dan tidak merata di seluruh daerah. Berbagai bentuk perlawanan kekuatan demokratis sampai bulan Maret 1957, merupakan bukti tentang adanya kekuatan yang dapat mengimbangi dan dalam batas-batas tertentu menahan dan membatasi usaha kaum kontra-revolusioner yang akan menjadikan daerah Sumatera Selatan sebagai pangkalan mereka.

PKI Sumatera Selatan, Partainya proletariat yang bertugas menjalankan peranan pelopor dan memimpin perjuangan melawan kontra-revolusi separatis, sudah agak merata di seluruh daerah, dan memiliki kemampuan yang mulai meningkat dalam organisasi dan politik. Walaupun kontra-revolusi bernafsu hendak menghancurkan Partai, tetapi Partai tetap utuh dan bersatu. Gerakan massa rakyat, terutama gerakan massa buruh dan tani yang agak besar adalah basis kekuatan perlawanan dan sandaran yang terpercaya dari Partai.

Belajar dari pengalaman Razzia Agustus 1951, Partai menyimpulkan untuk tetap mempertahankan legalitasnya. Disamping perlu menyelamatkan kader-kader Partai yang menjadi sasaran pengejaran dan penangkapan, panji-panji Partai harus tetap dikibarkan (tepuk tangan), seperti, kantor Partai tetap dibuka, wakil-wakil Partai dalam DPRD/DPD dan badan-badan lain tetap pada posnya. Dalam pada itu legalisme dalam organisasi yang mengakibatkan lemahnya kewaspadaan dan, sebaliknya, tindakan-tindakan yang praktis memungkinkan ditinggalkannya legalitas Partai secara sukarela adalah dua kecenderungan yang harus dilawan.

Dalam pekerjaan Partai sehari-hari pernah dialami ketiadaan keseimbangan aktifitas Partai dalam lapangan politik dan organisasi. Karena sengitnya pergolakan situasi, terjadi kegiatan yang berat sebelah, yaitu melakukan aktifitas politik dengan tanpa mengingat perlunya mengkonsolidasi organisasi. Akibatnya garis-garis politik Partai tidak mungkin dapat membangkitkan dukungan massa, dan terpisahnya Partai dari massa.

Dalam pada itu karena subjektif dan menjadi tidak yakin akan kemampuan massa, berpengaruhlah pikiran-pikiran menggantungkan sepenuhnya masalah penggulungan kaum kontra-revolusioner separatis kepada Pemerintah Pusat. Dengan demikian telah diabaikan hal-hal yang esensial dalam tiap perjuangan mengalahkan musuh-musuh rakyat, yaitu, bahwa kemenangan rakyat atas musuh-musuhnya adalah bergantung kepada pengubahan imbangan kekuatan. Rakyat pasti menang apabila imbangan kekuatan menguntungkan rakyat. Selanjutnya, jangan diabaikan bahwa dalam perjuangan rakyat mengalahkan musuh-musuhnya itu, Partai harus melakukan peranan memelopori dan memimpin. Hanya itulah jaminan dari kemenangan rakyat atas musuh-musuhnya.

Dalam perjuangan menghadapi kaum kontra-revolusioner separatis di Sumatera Selatan, kita tentukan garis: meneguhkan persatuan dalam Partai, semakin mempererat hubungan dengan massa sebagai syarat guna mengubah imbangan kekuatan, untuk memperluas front pembela Republik Proklamasi dan mengalahkan kekuatan kontra-revolusioner separatis.

Taktik muka-dua kontra-revolusi, dan dari “Pembangunan Daerah” ke “Anti-Komunis”

Kawan-kawan sekalian,

Sejak mengambil kekuasaan, kaum kontra-revolusioner separatis di Sumatera Selatan mempraktekkan politik anti Republiknya; berbagai ketentuan Pemerintah Pusat mereka anggap sepi; pemerintahan daerah, yaitu, DPD dan Jawatan-Jawatan daerah mereka bikin menjadi boneka yang tidak berdaya, keuangan Pemerintah daerah dan uang-uang negara dalam bank-bank mereka kuasai dan hambur-hamburkan semaunya, mereka lakukan barter liar yang merugikan bermiliar-miliar rupiah pemasukan uang negara. Kesemuanya itu adalah baru beberapa di antara tindakan-tindakan mereka yang dilakukan “demi pembangunan daerah” tetapi untuk mengisi kantong-kantong klik mereka yang tak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan kepentingan daerah.

Disiplin militer mereka ingkari, mereka bentuk sendiri “Pasukan Sukarela”. Senjata dibagi-bagikan kepada orang-orang partikelir pendukung-pendukung politik mereka, centeng-centeng, dan tukang-tukang pukul pribadi mereka. Perintah-perintah, mutasi-mutasi dari MBAD mereka tolak.

Karena perimbangan kekuatan yang tidak mengizinkan, mereka melakukan taktik muka dua. Memang, mereka tidak secara terang-terangan tidak mengakui Pemerintah Pusat seperti Simbolon, atau mendirikan secara resmi “Pemerintah Dewan Garuda” seperti Achmad Husen dengan “Pemerintah Dewan Banteng”-nya, akan tetapi dengan berpura-pura dan dalam omongan tetap mengakui Pemerintah Pusat, dalam perbuatan mereka terus menjalankan garis-garis politik yang sama dengan konco-konconya di daerah lain. Katanya mereka tetap mengakui Pemerintah Pusat, tetapi buron Zulkifli Lubis mereka lindungi, “Dewan Banteng” mereka bantu, Palembang dijadikan tempat menerima konferensi-konferensi “alim ulama” dan “FAK” se-Indonesia yang melakukan kegiatan linea recta bertentangan dengan politik persatuan bangsa dan keutuhan Republik. Juga di Palembanglah diadakan perundingan kepala-kepala “dewan partikelir” menjelang “MUNAS” yang menelurkan “piagam Palembang”, bagian penting dari persiapan pengkhianatan kontra-revolusioner ke arah proklamasi “PRRI”. Mereka juga terlibat dalam persiapan teror Cikini dengan pengiriman senjata-senjata dari Sumatera Selatan ke Jakarta.

Kegiatan kontra-revolusioner menjelang akhir tahun 1957 ditandai oleh memuncaknya usaha mengalihkan perhatian rakyat dari perjuangan melawan kolonialisme dan mempertahankan keutuhan Republik kepada aksi-aksi anti-Komunis. Dalam hubungan ini tidak boleh dilupakan peranan tuan Hatta, kepala kaum reaksioner Indonesia, yang mereka usahakan untuk kembali ke singgasana kekuasaan, yang mengadakan perjalanan keliling di Sumatera Selatan dan mengobar-ngobarkan slogan anti-Komunis. Dengan slogan anti-Komunis mereka mau tutupi politik memecah-belah kekuatan nasional yang sedang dipusatkan untuk menghadapi kolonialisme Belanda dalam persoalan Irian Barat. Dengan slogan anti-Komunis, mereka mau menutupi tangannya yang berlumuran darah dalam teror Cikini yang gagal terhadap Presiden Sukarno. Akan tetapi Rakyat Indonesia yang sudah tinggi kesadaran politiknya menghukum mereka dengan kenyataan-kenyataan yang pahit, dengan rentetan kegagalan-kegagalan, karena rakyat telah diajar oleh pengalaman-pengalamannya sendiri dan menyimpulkan bahwa anti-Komunis adalah sama dengan anti-demokrasi, anti-kemerdekaan, dan anti-Republik Indonesia. (tepuk tangan).

Pernyataan perlawanan Rakyat Sumatera Selatan terhadap kegilaan kampanye anti-Komunis itu diwujudkan dengan jalan memenangkan PKI dalam pemilihan umum DPRD tanggal 1 Desember 1957. (tepuk tangan). Di bawah telapak kekuasaan kontra-revolusi, dengan kedudukan Partai yang setengah legal, dengan dikejar-kejar dan ditangkapinya ratusan kader Partai, dengan pengekangan dan teror terhadap kampanye Partai dan terhadap pemilih-pemilih Palu-Arit, dengan serangan dari “FAK” dan gabungan 11 partai kepala batu dan partai-partai tengah yang dapat mereka tarik, tetapi berkat pimpinan dan bantuan CC Partai, berkat keuletan kader-kader dan kesetiaan para pemilih Palu-Arit, PKI bukan saja tidak dapat dikurangi suaranya, sebaliknya, mencapai kenaikan 28% (tepuk tangan) dibandingkan dengan hasil pemilihan Parlemen. Sedang partai-partai lain mengalami kemerosotan, PKI dari partai nomor 3 keluar menjadi partai nomor 2. (tepuk tangan). Kontra-revolusi hanya berhasil membatasi kenaikan suara PKI, karena jika pemilihan dilakukan secara bebas dan demokratis, hasil yang dicapai PKI tentu lebih daripada itu.

Kemenangan PKI itu adalah kemenangan dari politik persatuan, demokrasi, dan keutuhan Republik. Kemenangan itu juga merupakan ukuran akan terbatasnya kekuatan kontra-revolusioner, dan pada waktu rakyat bangkit melawannya, mereka pasti dapat digulung. Kemenangan itu mendemonstrasikan kemampuannya dalam melawan kontra-revolusi dan mengatasi segala perangkap provokasi mereka. Ini berpengaruh pada penggalangan front persatuan dan berakibat bisa ditariknya kembali elemen-elemen bimbang, karena mereka telah melihat perspektif kemenangan kekuatan demokratis atas kontra-revolusi.

Tentu saja kemenangan PKI itu adalah juga didapat karena pengaruh pergeseran ke kiri dari situasi nasional, yang antaranya ditandai oleh kemenangan-kemenangan PKI dalam pemilihan-pemilihan DPRD di Pulau Jawa dan juga karena pengaruh situasi internasional yang baik. (tepuk tangan).

Ke dalam Partai sendiri kemenangan PKI itu telah semakin membulatkan persatuan dan keyakinan dalam melaksanakan garis politik Partai memimpin perlawanan rakyat untuk menggulung kekuasaan kontra-revolusioner separatis.

Penggulungan Kontra-revolusi

Kawan-kawan sekalian,

Tahun 1958 bagi Indonesia adalah taraf baru dari perjuangan anti-kolonialisme, taraf yang sangat penting artinya dalam perjuangan Rakyat Indonesia menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus ’45. Ini adalah karena berhasilnya aksi ambil-alih perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan oleh kaum buruh Indonesia dalam rangka perjuangan Irian Barat.

Memasuki tahun 1958 Politbiro CC PKI dalam Pesan Tahun Barunya menyatakan, bahwa ada dua tugas pokok Rakyat Indonesia, yaitu menggulung tiap-tiap komplotan subversif dan melikuidasi kekuasaan Belanda di lapangan ekonomi.

Kepada apa yang dinamakan “gerakan daerah” Pesan Tahun Baru tersebut memperingatkan, bahwa jika mereka bukan bagian dari gerakan subversif asing, maka tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali ambil bagian aktif dalam perjuangan Irian Barat dan dalam mengusir kekuasaan ekonomi Belanda dengan menghimpun semua tenaga anti-kolonialisme, dan pertama-tama mereka harus membebaskan pemimpin-pemimpin rakyat yang ketika itu masih meringkuk di dalam tahanan-tahanan di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Sulawesi Utara.

Sejarah membuktikan, bahwa apa yang dinamakan “gerakan daerah” memang bukanlah bagian dari kekuatan nasional. Di daerah-daerah yang mereka kuasai tidak terjadi tindakan-tindakan terhadap perusahaan-perusahaan Belanda. Di Sumatera Selatan bahkan kaum buruh perkebunan yang mengadakan aksi untuk mengikuti jejak kaum buruh di Jawa mengambil-alih perkebunan Belanda, ditangkapi. Perusahaan-perusahaan Belanda ada yang memindahkan pusatnya dari Jawa ke Palembang untuk mendapat perlindungan. (tawa). Pemimpin-pemimpin rakyat yang ditahan bukan saja tidak dilepaskan, sebaliknya, tahanan-tahanan baru ditambah.

Sejalan dengan kepentingan SEATO dalam usahanya untuk membikin Korea ke-II di Indonesia, tokoh-tokoh kontra-revolusioner yang dipelopori Masyumi-PSI, termasuk tokoh-tokoh kontra-revolusioner Sumatera Selatan, mempersiapkan suatu pengkhianatan tinggi dalam perundingan Sungai Dareh bulan Januari 1958 yang disusul dengan proklamasi pemerintah pemberontak “PRRI” pada tanggal 15 Februari 1958 di Bukittinggi dan diikuti kemudian oleh Permesta di Sulawesi Utara. Tindakan ini mereka lakukan karena tidak mungkinnya lagi mereka merebut kekuasaan sentral Republik Indonesia secara parlementer.

Menghadapi proklamasi “PRRI” ini barulah Pemerintah Juanda sampai kepada sikap tahu batas yang telah lama dinanti-nantikan rakyat, yaitu, bertindak tegas dengan operasi militer dalam membasmi pemberontak “PRRI”-Permesta.

Dalam situasi baru itu kaum kontra-revolusioner yang berkuasa di Sumatera Selatan, sekali lagi mencoba menjalankan taktik muka duanya. Dengan berkedok sikap “netral”, “tidak memihak” Pusat dan “tidak memihak ‘PRRI’” mereka menolak wilayah Sumatera Selatan dijadikan pangkalan operasi militer terhadap “PRRI”. Sikap tersebut tidak bisa berarti lain kecuali memihak pemberontak karena dengan itu pada hakekatnya Sumatera Selatan mereka jadikan bukan daerah Republik lagi.

Sementara itu karena tindakan tegas Pemerintah Pusat dan karena perubahan perimbangan kekuatan di daerah sendiri, terjadilah pergeseran-pergeseran di dalam barisan kontra-revolusioner. Walaupun mereka dengan susah-payah mengusahakan pembulatan kekuatannya, tetapi perpecahan di antara mereka tak terhindarkan. Dalam situasi demikian adalah kewajiban kita untuk mengenal dan menguasai secara tepat mana kontradiksi pokok dan mana kontradiksi yang tidak pokok, untuk dapat menghimpun kekuatan sebesar-besarnya dan memencilkan grup yang paling reaksioner dan paling berbahaya. Sebagian dari barisan mereka dapat ditarik ke pihak Pemerintah Pusat, sebagian menjadi ragu-ragu dan bimbang dan dapat dinetralisasi. Tinggallah grup yang paling berkepala batu yang dikepalai oleh Nawawi dengan Masyumi-PSI dan FAK-nya yang merupakan sasaran utama.

Sejalan dengan kemenangan-kemenangan dalam operasi membasmi “PRRI”, pada tanggal 30 April 1958 dilancarkan operasi oleh APRI bersama rakyat, dengan pemuda-pemuda buruh yang dipersenjatai, menggulung kaum pemberontak dengan menangkapi tokoh-tokoh politik dan militer mereka dan menurunkan mereka dari panggung kekuasaan. (tepuk tangan). Tetapi sebagian dari mereka dapat meloloskan diri dan lari ke hutan. Operasi ini tepat pada waktunya telah dapat menggagalkan rencana mereka untuk membakar kilang minyak SVPM Sungai Gerong, sebagai isyarat memanggil intervensi SEATO, yang sebelumnya telah dapat kita cegah memasuki Pakanbaru.

Perkuat Front Persatuan Nasional, Pencilkan Lebih Lanjut Kekuatan Kepala Batu

Kawan-kawan sekalian,

Dengan turun panggungnya kekuasaan kontra-revolusioner separatis daerah Sumatera Selatan dapat dinormalisasi kembali sebagai daerah Republik. Tindakan kelanjutan yang diharapkan rakyat adalah pembersihan sisa-sisa elemen pemberontak dari seluruh aparatur negara. Di sana-sini memang dilakukan pembersihan, tetapi dalam kenyataannya masih cukup banyak elemen-elemen dan/atau simpatisan pemberontak yang menduduki posisi-posisi penting. Karena Masyumi dan PSI terlibat dalam gerakan pemberontak, seharusnya kedua partai ini juga dilarang di Sumatera Selatan. Tindakan yang kepalang tanggung dalam menghadapi kontra-revolusi, tidak memberikan syarat bagi perspektif yang baik, karena ia memberikan kesempatan kepada kontra-revolusi untuk memulihkan posisi-posisinya dan setidak-tidaknya mengurangi kerusakan-kerusakan dalam barisannya, sebagai resiko petualangan mereka. Adalah keliru pikiran yang menyatakan bahwa pembersihan terhadap elemen-elemen pemberontak hanya menguntungkan PKI, dan karenanya perlu dibatasi. Pembersihan elemen pemberontak pertama-tama adalah menguntungkan Republik, karena dengan demikian tertutup syarat bagi kegiatan gelap pemberontak yang terus-menerus merongrong Republik. Karenanya kunci dari kemenangan adalah tindakan tegas membersihkan seluruh sisa-sisa kekuatan pemberontak di mana pun dia berada.

Perkembangan sesudah normalisasi keadaan di Sumatera Selatan, disusul oleh realisasi Undang-Undang No. 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dengan DPRD dan DPD-DPD hasil pemilihan Desember 1957. Kaum reaksi yang dipelopori Masyumi-PSI menjadikan DPRD-DPRD/DPD-DPD ini sebagai tempat mereka berlindung dan gelanggang untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka, karena kegagalan petualangannya telah mengakibatkan kemerosotan prestise mereka di mata rakyat. Ini mungkin karena posisi Masyumi dalam Dewan-Dewan tersebut pada umumnya masih agak besar, sebagai hasil pemilihan daerah pada waktu kontra-revolusi berkuasa. Akan tetapi situasi baru itu pun telah memungkinkan penggalangan front persatuan antara PKI dengan partai-partai tengah, dan dapat memencilkan kaum kepala batu; karena kedudukan PKI yang telah menjadi agak besar dalam Dewan-Dewan tersebut dapat memberikan keuntungan-keuntungan tertentu kepada partai-partai tengah.

Kenyataan-kenyataan ini sepenuhnya membenarkan analisa Laporan Umum CC PKI, bahwa sesudah pemberontak “PRRI”-Permesta dapat dikalahkan, golongan tengah yang tadinya ikut kontra-revolusi, yang menyatakan setia kembali kepada Republik dapat ditarik kembali ke dalam front persatuan nasional.

Normalisasi daerah Sumatera Selatan seharusnya disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan ekonomi dan perbaikan nasib rakyat, karena dengan demikian rakyat dapat merasakan perbedaan antara tindakan kongkrit Pemerintah dengan propaganda kosong kaum pemberontak.

Pemulihan keamanan pada waktu ini merupakan persoalan yang penting di Sumatera Selatan. Sisa-sisa kekuatan gerombolan pemberontak “PRRI” yang dikepalai Nawawi yang tadinya melarikan diri ke daerah Kerinci, setelah pembebasan daerah tersebut, kembali beroperasi di daerah Bengkulu dan sebagian daerah Palembang. Walaupun secara militer posisi mereka tidak kuat, tetapi kerugian dan ketidakamanan rakyat karena perampokan dan teror mereka belum dapat diakhiri. Beberapa kader-kader Partai yang memimpin perlawanan rakyat dengan heroik seperti Sekretaris-Sekretaris Comite Subseksi Kawan Sair dan Kawan M. Taib serta beberapa kader dan anggota Partai lainnya telah gugur sebagai korban teror mereka, tetapi kepahlawanan mereka telah memberi inspirasi kepada rakyat untuk memperhebat perlawanan terhadap gerombolan pemberontak. (tepuk tangan).

Dengan adanya ketentuan TT II tentang pembentukan OPR-OPR yang anggota-anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda anti-“PRRI” dan pendukung UUD ’45, maka pembasmian gerombolan dengan prinsip kerja sama dwi-tunggal Rakyat-Tentara diharapkan dapat direalisasi.

Pembasmian gerombolan tidak bisa cukup dilakukan hanya dengan tindakan-tindakan operasi militer, justru karena gerombolan-gerombolan itu adalah kekuatan pendukung politik kontra-revolusi. Dalam kenyataannya gerombolan mendapat dukungan kekuatan reaksioner sisa-sisa feodalisme dan partai kepala batu Masyumi di desa-desa, karena itu operasi militer perlu dibarengi dan didukung oleh aksi-aksi politik dari rakyat. Karena itu adanya larangan kegiatan politik yang juga dikenakan pada golongan-golongan yang membantu pembasmian pemberontak dan yang mendukung UUD ’45, adalah sangat merugikan. Di Sumatera Selatan, di sana-sini memang terjadi kebijaksanaan dengan kelonggaran-kelonggaran hak-hak demokratis terhadap golongan-golongan pendukung politik Pemerintah, akan tetapi adanya peraturan larangan kegiatan politik yang dilaksanakan tanpa membedakan keadaan daerah-daerah dan tempat ditinjau dari segi keamanannya adalah merugikan penggalangan potensi rakyat dalam membasmi sisa-sisa gerombolan “PRRI” dan dalam mendukung pelaksanaan Program Pemerintah. Karena itu adalah bijaksana jika diambil tindakan pencabutan larangan kegiatan politik pada khususnya dan peninjauan tentang berlakunya Keadaan Perang pada umumnya. (tepuk tangan).

Kawan-kawan sekalian,

Uraian tentang perkembangan situasi daerah Sumatera Selatan ini membuktikan betapa benarnya kesimpulan Laporan Umum bahwa front persatuan nasional bertambah kuat. Akan tetapi mengingat bahwa elemen-elemen pemberontak belum dibersihkan, sisa-sisa gerombolan “PRRI” masih mengacau keamanan dan meneror, kewaspadaan kita harus senantiasa dipertinggi. Sebagaimana dinyatakan oleh Laporan Umum, sumber dan dasar dari kekuatan kepala batu itu masih cukup tersedia, yaitu karena masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme di desa-desa di Sumatera Selatan dan dominasi dari modal monopoli asing dalam ekonomi, seperti adanya BPM dan SVPM di Sumatera Selatan. Posisi imperialisme dalam ekonomi tercermin pula dalam politik, sebagai terbukti dalam pergolakan politik tahun-tahun belakangan ini, yaitu tentang satunya kepentingan dan mesranya hubungan tokoh-tokoh kontra-revolusioner separatis dengan modal monopoli asing.

Tugas kita dalam mengubah imbangan kekuatan adalah, di samping terus mengembangkan kekuatan progresif dan semakin mempererat persatuannya dengan kekuatan tengah, di dalam menghadapi kekuatan kepala batu kita tidak boleh meremehkannya dan adalah tepat bahwa kita harus tidak henti-hentinya menelanjangi politiknya yang anti-nasional itu dan melawannya dengan segenap kekuatan. (tepuk tangan).

***

Kawan-kawan sekalian,

Kongres kita sekarang ini akan menetapkan tugas-tugas pokok Partai di lapangan politik, organisasi dan ideologi. Berpedoman kepada tugas-tugas pokok yang akan ditetapkan Kongres kita sekarang ini, di bawah pimpinan Partai, dengan kader-kader yang semakin mampu melaksanakan garis politik Partai dan semakin mempererat hubungannya dengan massa, perkembangan situasi di daerah Sumatera Selatan akan semakin maju, sebagai bagian dari perkembangan situasi nasional yang menuju kepada semakin kuatnya front persatuan nasional untuk demokrasi dan terbentuknya kabinet harapan rakyat, Kabinet Gotong-Royong. (tepuk tangan).