Sosialisme Hari Ini

dan Hari Esok Bangsa-bangsa

Depagitprop CC PKI


Sumber: Sosialisme Hari Ini dan Hari Esok Bangsa-Bangsa

Penerbit: Pustaka Marxis 1 , Depagitprop CCPKI, Jakarta 1963.


Pasaran Bersama Eropa:

Suatu Revolusi Dalam Pola Perdagangan Dunia?

Oei Hay Djoen

MASANYA sudah lampau untuk berilusi dan berpolitik burung unta, bahwa Pasaran Bersama Eropa adalah semata-mata urusan negeri-negeri yang langsung bersangkutan dengannya, yaitu negeri-negeri Masyarakat Ekonomi Eropa atau yang lebih terkenal dengan nama “Enam-Dalam” yang meliputi Republik Federal Jerman, Perancis, Belgia, Nederland, Luxemburg, dan Italia. Yang terang, pada waktu pembentukannya, yaitu dengan peresmian Perjanjian Roma (Maret 1957, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1958), secara otomatis dan tanpa konsultasi atau tanpa diminta pendapat, telah dimasukkan untuk jangka waktu 5 tahun, negeri-negeri koloni di Afrika yang 16 banyaknya, yaitu Dahomei, Pantai Gading, Volta-Atas, Niger, Chad, Senegal, Mali, Mauritania, Republik Afrika Tengah, Gabon, Kamerun, Togo, kedua (Brazzaville dan Leopoldville), Konggo, Somali, dan Republik Malagasi. Pada akhir tahun 1961 negeri-negeri ini telah menegaskan kembali penggabungan mereka dengan PBE setelah perundingan-perundingan yang berkali-kali macet. Satu-satunya negeri bekas koloni Perancis yang tegas menolak penggabungan ke dalam PBE adalah Republik Guinea.

Peranan imperialisme AS serta kedudukannya di dalam perkembangan PBE dapat dicari kembali pada usahanya untuk menegakkan dominasi politik dan ekonomi AS di Eropa Barat sesudah berakhirnya Perang Dunia Ke-2, terutama yang terwujud dalam penetrasi ekonomi melalui Rencana Marshall dan politik militerisasi ekonomi Eropa Barat serta pembentukan blok politik dan militer seperti NATO.

Sejak semula bentrokan kepentingan-kepentingan negeri-negeri imperialis menyertai pembentukan PBE itu. “Integarasi politik dan ekonomi” yang dijadikan slogan pembentukan PBE itu pada hakekatnya telah memecah Eropa Barat ke dalam kelompok-kelompok yang sengit bersaingan dari kekuasaan-kekuasaan monopoli internasional dunia imperialis. Hal ini segera tampak pada perlawanan yang sengit dan percobaan Inggris untuk mempertahankan kedudukannya dengan dibentuknya Persatuan Perdagangan Bebas Eropa dengan Daerah Perdagangan Bebas atau yang lebih terkenal dengan sebutan “Tujuh-Luar” yang meliputi Kerajaan Inggris, Denmark, Norwegia, Swedia, Austria, Swiss, dan Portugal, pada bulan Juni 1959.

Dan jika perlawanan terhadap rencana akan masuknya Kerajaan Inggris ke dalam PBE pada waktu akhir-akhir ini semakin keras, hal ini adalah karena kepentingan negeri-negeri Commonwealth (negeri-negeri Persemakmuran: Kanada, Australia, Selandia Baru, India, Pakistan, dan negeri-negeri bekas koloni Inggris di Afrika dan Hindia Barat turut terbawa-bawa).

PBE memang bukan sekedar mengatur hubungan-hubungan antar-negeri-negeri anggotanya, ia sekaligus dan bahkan terutama mengatur hubungannya dengan dan kesatuan dirinya terhadap negeri-negeri ketiga, yaitu negeri-negeri bukan anggota PBE. Dan sesuai dengan wataknya sebagai komplotan dari monopoli-monopoli imperialis yang berkuasa di Eropa Barat di bawah dominasi Jerman Barat, maka hubungannya dengan negeri-negeri ketiga adalah saling mengeliminasi. Memang kepentingan-kepentingan PBE dengan kepentingan-kepentingan pihak ketiga tidak bisa dipersatukan.

 

I

PBE pada hakekatnya adalah salah satu bentuk yang karakteristik dari pembagian kembali pasaran dunia kapitalis atau lebih tepat pembagian kembali dunia yang sudah sangat menjadi sempit bagi kapitalisme dengan lahirnya negeri-negeri sosialis, demokrasi rakyat serta negeri-negeri merdeka setelah Perang Dunia Ke-2.

Kesempatan yang sangat baik setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-2 berupa hancur berantakannya negeri-negeri Eropa, sedangkan AS sendiri keluar dari perang itu dalam keadaan utuh,, tidak disia-siakan oleh imperialisme AS. Dalam perhitungan-perhitungan ekonomi, bagian AS dalam produksi dunia kapitalis telah naik dengan dua-per-lima selama perang dan mencapai jumlah 60% menjelang akhir perang. Sebaliknya, bagian negeri-negeri Eropa Barat telah jatuh dengan hampir seperempat.

Ekspansi ekonomi AS ke Eropa terutama sekali dilancarkan dalam bentuk Rencana Marshall. Dalam tahun 1947/1948 saja “bantuan luar negeri” AS mencapai angka US $ 11.300 juta dan ini adalah zaman emas bagi ekspor AS. Sebagai perbandingan dapat dicatat bahwa jika pada tahun 1946 ekspor AS telah merosot sampai hanya US $ 9.700 juta, sedangkan angka tertinggi yang pernah dicapai adalah US $ 14.200 juta dalam tahun 1944, maka tahun 1947 telah mencatat meningkatnya secara luar biasa ekspor AS yang mencapai angka US $ 15.300 juta.

Untuk penampung pelaksanaan Rencana Marshall pada bulan April 1948, telah dibentuk Organisasi Kerjasama Ekonomi Eropa yang terikat pada satu syarat, yaitu keharusan menyelenggarakan “integrasi ekonomi” Eropa Barat.

Tentang arti daripada “integrasi ekonomi” Eropa Barat ini bulan Oktober 1949 mengatakan Bankir Hoffman, kepala Pelaksana Rencana Marshall, dalam sebagai berikut: “Eropa Barat harus diintegrasikan menjadi satu pasaran tunggal dari 270 juta penduduk; dalam pasaran itu restriksi-restriksi (pembatasan-pembatasan) kuantitatif atas geraknya barang-barang, rintangan-rintangan pabean dan moneter yang membatasi perdagangan serta setiap bentuk tarif bea haruslah sama sekali hapus”.

Itulah pula sebabnya, mengapa AS segera saja menyatakan sikap dan dukungan positif pada pikiran untuk pembentukan suatu Pasaran Bersama Eropa yang disuarakan pada pertengahan tahun-tahun 1950-an. Kepentingan AS sudah terlalu jauh dan besar di Eropa Barat untuk berbuat lain. Kalau dihitung pinjaman-pinjaman selama perang dan tahun-tahun pertama setelah perang, maka hutang negeri-negeri Eropa Barat pada AS pada tahun 1957 berjumlah US $ 8.600 juta. Penanaman modal partikelir AS di Eropa Barat yang berjumlah US $ 1.660 juta pada tahun 1950 telah meningkat menjadi US $ 3.969 juta pada tahun 1957. (Pada tahun 1960 telah mencapai angka US $ 6.400 juta). Minat imperialisme AS untuk menanam modalnya di Eropa Barat didorong oleh kenyataan bahwa tingkat laba yang diperoleh oleh AS dalam penanaman modal di Eropa (dan di luar negeri pada umumnya) adalah lebih tinggi daripada yang bisa diperdapat dari investasi di AS sendiri. Menurut angka-angka tahun 1959 misalnya, laba dari investasi di AS hanya berjumlah 10%, sedangkan yang didapat dari Eropa Barat adalah 13%.

Kepentingan monopoli-monopoli AS itu memang sesuai dengan kedudukannya yang cukup kokoh di dalam ekonomi Eropa Barat, sesuai dengan kegiatannya yang terus-menerus untuk merebut dominasi atas ekonomi Eropa Barat yang didukung oleh ekspor modalnya ke dalam daerah PBE. Seperti dapat diketahui dari laporan-laporan kongsi-kongsi besar AS pengokohan usahanya itu dilaksanakan melalui penanaman modal langsung maupun dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian lisensi atau penyerahan penggunaan patent-patent AS dengan kongsi-kongsi Eropa Barat. Melalui jalan-jalan inilah ekspor modal AS ke negeri-negeri PBE telah meningkat antara 1950-1959 dengan lebih dari 2,5 kali, di antaranya di Perancis meningkat 2 kali lipat, Jerman Barat 2,5 kali lipat, Italia 3,5 kali lipat, Belgia dan Nederland 2,5 kali lipat.

Melalui kongsi-kongsi gabungannya dengan kongsi-kongsi daerah PBE itu maka monopoli-monopoli AS dapat ikut “menikmati” segala hak-hak dan kedudukan-kedudukan istimewa yang disediakan oleh PBE kepada para anggotanya. Ini berarti sekaligus daya bersaing yang lebih besar bagi monopoli-monopoli AS bukan saja di pasaran Eropa Barat, melainkan juga dengan sendirinya di semua daerah “tergabung” dalam PBE, seperti di Afrika, dan di dalam menghadapi negeri-negeri ketiga. Sangatlah menarik, bahwa tidak kurang dari 800 perusahaan-perusahaan afiliasi yang terdapat di Eropa Barat dari trust-trust dan monopoli-monopoli AS.

Dari sini dapatlah dipahami aspek-aspek paksaan yang dilakukan oleh AS terhadap Inggris. Imperialisme AS yang sudah berhasil mendobrak pintu-pintu daerah-daerah monopoli dan kegiatan imperialisme Inggris, terutama di Kanada dan beberapa negeri-negeri Commonwealth lainnya, belum berhasil menyingkirkan dominasi Inggris. Dan yang terutama mengganggu AS untuk mencapai tujuannya itu adalah sistem preferensi yang berlaku dalam hubungan ekonomi di antara negeri-negeri anggota Commonwealth. Ini menempatkan imperialisme AS dalam kedudukan yang tidak menguntungkan di dalam persaingan yang makin sengit dengan imperialisme Inggris.

Ikut sertanya Inggris dalam PBE akan berarti dicapainya keseimbangan bagi imperialisme AS dalam persaingan dengan imperialisme Inggris. Ini dapat berarti hapusnya sistem preferensi tersebut atau pun keharusan bagi Inggris untuk melangsungkan persaingan dengan AS di bawah kondisi-kondisi yang sama. Pada akhirnya, ini dapat berarti tamatnya riwayat dominasi Inggris di daerah ekonomi yang biasa disebut daerah sterling. Lebih jauh lagi, kepentingan langsung monopoli AS di Inggris pun sudah sangat besar, yaitu investasi modal AS di Inggris sudah mencapai angka US $ 3.200 juta pada tahun 1960. Ini juga menuntut adanya hak-hak dan kedudukan-kedudukan istimewa yang dapat diperolehnya dari PBE jika Inggris menggabung pada PBE.

Dilihat dari sudut strategi maka “integrasi ekonomi” Eropa Barat itu juga mempunyai arti penting militer yang besar. Sebagaimana telah diketahui, pembentukan PBE disertai dengan pendirian Masyarakat Tenaga Atom Eropa (Euratom). Dan semuanya ini tidak lain daripada dicapainya taraf baru dalam usaha pemusatan dan penghimpunan tenaga-tenaga imperialis secara politik, ekonomi, dan militer, yang sudah jauh-jauh sebelumnya didahului oleh tindakan-tindakan seperti pembentukan Benelux (Gabungan Belgia, Nederland, dan Luxemburg), Masyarakat Baja dan Batubara Eropa, Organisasi Kerjasama Ekonomi Eropa, Dewan Eropa, Perjanjian Militer Brussel, Uni Eropa Barat, dan blok militer Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO).

PBE dengan badan-badan yang jadi pautannya, yaitu Masyarakat Baja dan Batubara Eropa dan Masyarakat Tenaga Atom Eropa, dimaksudkan untuk dijadikan basis ekonomi dari blok Atlantik Utara dengan Jerman Barat sebagai tulang punggungnya. Dengan demikian imperialisme berharap akan dapat menyingkirkan kontradiksi-kontradiksi di kalangannya sendiri untuk dapat meratakan jalan bagi penyatuan diri dalam usaha mereka untuk membendung kemajuan perkasa Sosialisme untuk mempersiapkan agresi terhadap kubu Sosialis. Alasan lain untuk menjadikan basis ekonomi ini efektif ialah bahwa melalui PBE ditambah dengan tekanan pada “Tujuh Luar” dan keanggotaan AS dan Kanada di dalam Organisasi Kerjasama dan Pembangungan Ekonomi yang dibentuk pada permulaan 1960, maka AS bermaksud memindahkan sebagian beban dari pengeluaran-pengeluaran militer dari NATO ke atas bahu sekutu-sekutunya. Dengan kata-kata semboyannya ialah: “Untuk mengkoordinasi usaha-usaha negeri-negeri Barat dalam membela ‘dunia mereka’.” Dalam hal ini tekanan-tekanan kesulitan ekonomi AS sendiri merupakan faktor yang menentukan pula. Sejak beberapa lama AS mengalami situasi yang gawat dalam neraca pembayaran luar negerinya. Dollar AS makin merosot nilainya. Dalam masa 12 bulan sejak permulaan tahun 1961 hingga permulaan tahun 1962 cadangan emas AS telah merosot sampai tinggal US $ 16.900 juta, sedangkan empat tahun yang lalu ia berjumlah US $ 22.900 juta.

II

Tetapi, perkembangan PBE ternyata tidaklah sepenuhnya sesuai dengan keinginan atau harapan-harapan imperialisme AS. Situasi yang dihadapi imperialisme AS pada tahun 1960 misalnya memang cukup menggelisahkan. Ini dapat dilihat dari tabel-tabel di bawah ini:

BAGIAN (%) DALAM HASIL INDUSTRI DUNIA KAPITALIS (1)

Negeri

Tahun 1948

Tahun 1960

Amerika Serikat

53,4

44,8

Republik Federal Jerman

3,6

8,8

Inggris

11,2

9,4

Perancis

3,9

5,0

Italia

2,56

3,9

BAGIAN (%) DALAM PERDAGANGAN DUNIA (2)

Negeri

Ekspor

Impor

1948

1960

1948

1960

Amerika Serikat

23,7

18,1

12,2

13,5

Eropa Barat

31,0

46,6

40,8

48,2

Darimana angka-angka untuk negeri-negeri PBE adalah

12,1

26,4

17,5

25,0

Pada tahun 1950-1951 negeri-negeri Eropa Barat telah berhasil memulihkan kembali industrinya dan dengan demikian segera pula menceburkan diri di dalam perjuangan untuk pasaran-pasaran. Pada tahun 1950-1951 itu mereka telah mencapai taraf sebelum perang dalam hasil industrinya, sedangkan tingkat perkembangan industri negeri-negeri itu rata-rata adalah 2 kali lipat lebih tinggi daripada tingkat perkembangan di AS. Demikianlah misalnya, menurut tabel yang disusun oleh majalah Newsweek tanggal 25 Juni 1962, perbandingan dalam “produktifitas kerja” dan “gross national product” jika diambil dalam persentase peningkatan tahunan dari 1950 hingga 1960 adalah antara lain sebagai berikut:

PERBANDINGAN PENINGKATAN (%) TAHUNAN 1950 – 1960

Negeri

“Prod. Kerja”

“Gross Nat. Prod.”

%

%

Amerika Serikat

1,9

2,9

Kerajaan Inggris

2,1

2,6

Perancis

3,9

4,4

Italia

4,0

5,7

Rep. Federal Jerman

5,0

7,4

Jika tadinya Eropa Barat membungkuk-bungkuk di hadapan AS karena kesukaran-kesukaran moneternya, sehingga menjadi tergantung pada AS sepenuhnya, maka lambat-laun kedudukan itu telah menjadi mendekati pembalikan total. Jika tadinya imperialisme AS menjadi supplier barang-barang bagi Eropa maupun dalam pemeliharaan pasukan-pasukan pendudukan dan pasukan-pasukan yang ditempatkan di Eropa (US $ 3.000 juta setahunnya) lambat-laun “bantuan” dan pengeluaran itu tidak mengalir kembali ke AS dan tidak dapat membiayai ekspor AS.

Situasi inilah yang menyebabkan bukan saja merosotnya persediaan cadangan emas AS, melainkan juga tergambar pada defisit pada neraca pembayaran (dalam tahun 1961 jumlah defisit itu melebihi US $ 2.000 juta) dan stagnasi dalam mencapai keseimbangan dalam neraca perdagangannya. Sebaliknya, negeri-negeri Eropa, terutama yang tergabung dalam PBE, kian berbicara dalam penentuan pembelian dan dari situ berhasil mengumpulkan cadangan-cadangan yang besar. Terutama demikian halnya dengan Republik Federal Jerman. Jika cadangan emas AS yang pada tahun 1953 berjumlah US $ 22.000 juta, pada tahun 1960 telah merosot menjadi US $ 17.800 juta (kemerosotan dengan kira-kira 20%), maka cadangan emas Jerman Barat dalam masa yang sama telah menaik dari US $ 325 juta menjadi US $ 2.971 juta, atau berarti naik dengan lebih sembilan kali lipat. Italia mengalami kenaikan untuk masa yang sama dari US $ 346 juta menjadi US $ 2.203 juta (enam kali lipat), sedangkan Perancis dari US $ 617 juta menjadi US $ 1.641 juta atau berarti lebih dari 2,5 kali lipat.

Sebagaimana juga dikatakan oleh majalah Newsweek (30 Juli 1962) perasaan-perasaan menjadilah kisruh. Tadinya imperialis Amerika Serikat dapat dengan puas berkata: “Ah, nikmatnya perasaan sebagai orang kaya di saat orang-orang lain semuanya miskin!” Tapi, ……… “kemudian, tibalah Hari Rabu Muram ketika Perancis membayar kembali US $ 293.400.000 hutangnya. Tidakkah mereka memahami, bahwa kita bukannya menghendaki uang mereka itu, bahwa kita lebih menghendaki agar mereka berada dalam hutang ………”

Memang, tidak sesuai dengan rencana imperialisme AS, PBE dan kekuatan ekonomi yang dibawanya telah berkembang menjadi saingan serius bagi AS sendiri.

Dan ini memang tidak bisa lain. Betapa pun AS melalui kongsi-kongsi gabungannya atau pun penanaman langsung berupa perusahaan-perusahaan sendiri di Eropa Barat, namun negeri-negeri PBE adalah negeri-negeri tujuan dari tidak kurang dari sepertiga dari seluruh ekspor AS. Dan tidak kurang pula dari 32% dari ekspor AS ke PBE itu secara langsung terkena juga oleh dinding-dinding pabean yang dipasang terhadap negeri-negeri ketiga. Selanjutnya, lebih dari 27% ekspor AS ke negeri-negeri PBE adalah hasil pertanian dan ini pun terkena oleh tarif-tarif PBE. Apa artinya ini bagi AS yang sepuluh tahun lebih merintih di bawah kelebihan hasil pertanian yang bertumpuk-tumpuk, dapatlah dibayangkan.

Tetapi keadaan menjadi berubah dengan adanya persetujuan yang ditandatangani antara Howard Petersen, penasehat istimewa Kennedy untuk urusan perdagangan AS, dengan Jean Rev, kepala Komisi Hubungan Luar dari Masyarakat Ekonomi Eropa, pada tanggal 16 Januari 1962 yang lalu. Dengan perjanjian ini maka negeri-negeri PBE akan menurunkan cukai-cukai atas hampir semua barang-barang yang diimpor PBE dari AS dengan 20%, dan sebaliknya AS akan berbuat yang sama pula terhadap barang-barang yang diimpor dari negeri-negeri PBE. Dengan demikian jelaslah, bahwa imperialisme AS dalam menghadapi saingannya yang makin kuat dari PBE harus mengambil tindakan “membayar fasilitas di PBE dengan fasilitas bagi PBE di AS”.

III

Perjanjian  Roma yang menghasilkan pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa menetapkan, bahwa secara berangsur-angsur – melalui suatu periode peralihan yang lamanya 12 tahun dan yang dibagi dalam tiga taraf-taraf empat tahunan – menghapuskan semua bea cukai dan pembatasan-pembatasan kuantitatif atas impor dan ekspor barang-barang antara negeri-negeri pesertanya, negeri-negeri anggota PBE. Bersamaan dengan itu, ditetapkan pula bahwa akan diadakan tarif bea masuk umum bagi negeri-negeri anggota yang akan diberlakukan terhadap barang-barang yang diimpor dari negeri-negeri ketiga.

Secara lebih jelas: penurunan bea cukai di antara anggota PBE dilaksanakan secara serentak atas semua tarif bea masuk dari negeri-negeri anggota. Hingga permulaan tahun 1962 telah dilaksanakan empat kali penurunan tarif di kalangan PBE, yaitu berturut-turut pada tanggal 1 Januari 1959, 1 Juli 1960, 1 Januari 1961, dan 1 Januari 1962. Penurunan-penurunan itu adalah 10% secara serempak atas semua tarif-tarif negeri-negeri anggota. Pada tahun 1962 ini, sebagai hasil dari empat kali penurunan itu, jumlah bea cukai di dalam kalangan PBE telah turun dengan 40% untuk barang-barang industri dibanding dengan tingkat bea cukai tahun 1957, dan untuk barang-barang hasil pertanian – dalam hal mana masih berlaku pembatasan-pembatasan kuantitatif dalam hal impor – penurunan itu adalah 35%, sedang hasil pertanian lainnya turun dengan 30%. Menurut perjanjian Roma penuruna berikutnya akan dilaksanakan sebanyak 3 kali lagi, berturut-turut pada tanggal 1 Juli 1963, 1 Januari 1965 dan 1 Januari 1966. Penetapan waktu untuk penurunan-penurunan selanjutnya akan diatur pada tahun 1967 sehingga mencapai penghapusan sama sekali bea cukai-bea cukai di kalangan PBE pada akhir 1969.

Mengenai diadakannya tarif bea-masuk umum yang diberlakukan terhadap negeri-negeri ketiga, hal ini akan dilaksanakan dengan mempertemukan tarif-tarif dari negeri-negeri anggota. Tindakan pendekatan tarif-tarif hingga mencapai perataan itu akan dilakukan pada pencapaian taraf dalam masa peralihan. Pada taraf-taraf pertama dan kedua, maka perbedaan antara bea-masuk-bea- masuk negeri-negeri anggota masing-masing dengan tarif umumnya harus dikurangi dengan 30% dan pada taraf terakhir maka perbedaan itu haruslah sudah hapus sama sekali. Untuk jelasnya: seandainya atas beberapa barang tertentu bea-masuk di Perancis adalah 30% pada 1957, maka seandainya dalam tarif umum untuk barang-barang itu ditetapkan bea-masuk 15%, maka pada taraf pertama pendekatan perbedaan antara yang berlaku di Perancis dan tarif umum yang telah ditetapkan itu, yaitu perbedaan sebesar 15% (30 – 15) diturunkan dengan 30%, berarti diturunkan dengan 4,5% sehingga bea-masuk itu adalah 25,5%. Pada tindakan pendekatan kedua terjadi penurunan lagi sebanyak 4,5% sehingga bea-masuk menjadilah 21%. Pada taraf ketiga dan terakhir, maka jumlah 21% itu akan diturunkan lagi sehingga bea-masuk itu tinggallah sebesar 15%.

Di lain pihak, seandainya bea-masuk atas barang-barang yang sama pada tahun 1957 di Jerman Barat adalah NOL (dapat dimasukkan tanpa membayar bea-masuk), maka jelaslah perbedaan antara bea-masuk yang berlaku di Jerman dengan yang ditentukan oleh tarif umum, adalah juga 15%. Sebaliknya daripada apa yang terjadi di Perancis tadi, maka pada taraf pertama Jerman Barat harus mengadakan pendekatan itu dengan melahirkan bea-masuk sebesar 4,5%, kemudian pada taraf kedua jumlah itu naik lagi menjadi 9% dan pada taraf ketiga di Jerman Barat berlakulah bea-masuk sebesar 15%. Artinya dari tidak ada menjadi ada, yaitu sebesar 15%.

Sebagai pelengkap pada keterangan di atas dan untuk mendapatkan gambaran yang kongkrit apa arti dua macam ketentuan di atas, yaitu penurunan bea-cukai di kalangan anggota PBE dan bersamaan dengan itu diadakannya tarif bea-masuk umum terhadap negeri-negeri ketiga, bukan anggota PBE, marilah kita ambil bea-masuk atas mobil sebagai contoh.

Perancis: bea-masuk atas mobil di tahun 1957 adalah 30%. Pada tahun 1962, tanggal 1 Januari, maka berlakulah bea-masuk sebesar 18% untuk negeri-negeri sesama anggota PBE, sedangkan bagi negeri ketiga bea-masuknya adalah 29%. Menurut ketentuan perjanjian PBE maka pada tahun 1970 bea-masuk untuk sesama anggota PBE adalah 0% sedangkan untuk negeri-negeri ketiga yang bukan anggota PBE bea-masuk tetap 29%.

Republik Federal Jerman: bea-masuk atas mobil seperti dimaksudkan pada contoh Perancis di atas pada tahun 1957 adalah 16%. Pada tahun 1957 ia menjadi 12,5% bagi sesama anggota PBE dan 23,2% bagi negeri-negeri ketiga. Pada tahun 1970 akan dicapai persamaan umum, yaitu 0% bagi sesama anggota dan 29% bagi negeri ketiga.

Demikian pula bea-masuk untuk mobil-mobil yang sama yang pada tahun 1957 di Italia adalah 40% dan di negeri-negeri Benelux (Belgia, Nederland, dan Luxemburg) adalah 24%, pada tahun 1970 akan menjadi 0% bagi negeri-negeri sesama anggota dan 29% bagi negeri-negeri ketiga.

Kongkritnya, jika pada tahun 1957 Italia mengimpor mobil dari jenis yang sama dengan harga sama (misalnya US $ 2.500) dari Jerman Barat dan AS, maka pada permulaan tahun 1962 untuk mobil yang diimpor dari AS importir Italia itu haruslah membayar bea-masuk sebanyak US $ 872,50  di atas harga tersebut (US $ 2.500 + US $ 872,50 = 3.372,50), sedangkan untuk mobil yang sama jenisnya yang diimpor dari Jerman Barat dia hanya harus membayar US $ 3.100 atau US $ 600 di atas harga tersebut. Dengan demikian untuk barang yang sama terdapat perbedaan sebanyak US $ 272,50, yang menyebabkan mobil dari Amerika itu lebih mahal, yang jauh lebih menguntungkan eksportir Jerman Barat di dalam bersaing dengan eksportir AS. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, kalau pada tahun yang lalu ekspor mobil di antara negeri-negeri anggota PBE telah meluncur naik 153%, sedangkan di Amerika Serikat sejak bertahun-tahun belakangan ini bertumpuk-tumpuk stok mobil yang tidak terjual, bahkan sampai mengakibatkan ditutupnya berbagai industri mobil. Ini juga tergambar pada kenyataan betapa dalam masa yang sama, produksi total dari industri mobil PBE meningkat dari 1.674.000 buah menjadi 2.890.000 buah, atau hampir dua kali lipat.

Menghadapi keadaan di atas ini, yaitu keadaan yang bukan saja terdapat di sektor mobil yang memang adalah salah satu mata rantai terpenting dalam industri AS, melainkan juga yang berlangsung di seluruh front produksi AS, maka Sidang Kongres AS ke-87 bulan yang lalu telah menyetujui apa yang oleh banyak pemuka AS dianggap undang-undang yang begitu pentingnya hingga setaraf artinya bagi ekonomi Amerika seperti halnya dengan Plan Marshall yang “menyelamatkan” ekonomi Eropa di tahun-tahun akhir 40-an dan permulaan 50-an. Dengan suara 78 lawan 8 senat AS telah menyetujui pemberian kekuasaan yang lebih luas lagi kepada Kennedy untuk meneruskan tindakan-tindakan penurunan tarif-tarif bea dalam hubungan dengan PBE. Dengan Undang-Undang Perluasan Perdagangan baru itu, penurunan yang diberikan haknya untuk dilakukan oleh Kennedy bisa sejauh 50% dan bahkan bisa sampai 100%, bukan saja pada barang-barang tertentu, melainkan juga dapat sampai sejauh seluruh barang-barang impor dari PBE. Semua ini adalah untuk memperoleh konsesi-konsesi yang sama dari negeri-negeri PBE bagi barang-barang Amerika Serikat.

*

Dari perkembangan PBE seperti diuraikan di atas, dengan terutama memperhatikan bahwa di dalam kenyataan PBE itu bukanlah “integrasi” yang berdiri sendiri dan tidak pula mengenai kepentingan-kepentingan terbatas, terutama dibuktikan dari justru makin menajamnya kontradiksi-kontradiksi antara kekuasaan-kekuasaan imperialis Inggris, AS, dan imperialisme Eropa Barat, khususnya di bawah keunggulan Jerman Barat dan Perancis, maka makin menjadi jelas pula watak sebenarnya daripada PBE ini.

PBE sejak semula dibentuk dengan kedok “perdagangan bebas”, “integrasi”, dan sebagainya. Yang telah lahir dan berkembang adalah suatu blok imperialis Eropa Barat dan terbentuknya blok-blok imperialis secara lebih tajam, masing-masing dengan kekuatan-kekuatan yang menunjukkan sentralisasi dan konsentrasi yang lebih besar.

Yang sangat penting sekali adalah kenyataan, bahwa PBE dihasilkan oleh persetujuan antar-pemerintah. Dengan lain perkataan, PBE adalah gabungan monopoli-monopoli antar-negara. Dia adalah badan yang bersifat supranasional, berdiri mengatasi negara dan kekuasaan negara-negara anggota.

Penggabungan monopoli-monopoli antar-negara yang berbentuk PBE itu adalah syarat bagi kelangsungan hidup monopoli-monopoli itu, yang sudah begitu jauh berkembang hingga pasaran dalam negerinya masing-masing sudah terlampau sempit dan karenanya harus dengan satu atau lain cara mencari, mendobrak, atau menyerbu pasaran-pasaran baru. Dinding-dinding pabean dan perbatasan-perbatasan negeri, yang lazimnya adalah alat proteksi bagi pengusaha-pengusaha sesuatu negeri terhadap serbuan kekuatan ekonomi dari luar, telah menjadi penjerat bagi pengusaha-pengusaha yang sudah bertumbuh menjadi monopol-monopol itu.

Seperti sudah diuraikan di depan, tujuan dari gabungan monopoli-monopoli itu tidak hanya terbatas pada dirobohkannya dinding-dinding perbatasan nasional (negeri-negeri yang kini anggota PBE) dan dijadikannya pasaran-pasaran “nasional” itu menjadi suatu pasaran bersama dari raksasa-raksasa monopoli Eropa. Mereka mempunyai tujuan-tujuan yang lebih jauh dan motif-motif yang sebenarnya tidak terlampau sulit untuk dipahami.

Sudah sejak lama terutama monopol-monopol Jerman Barat selalu mendorong-dorong daerah-daerah ekonomi negeri-negeri Eropa itu juga dijadikan pasaran bersama. Daerah-daerah itu ialah daerah-daerah koloni, semi-koloni, atau daerah-daerah yang mempunyai ikatan ekonomi tergantung pada salah satu negeri Eropa yang kini menjadi anggota PBE. Misalnya saja, daerah koloni dan bekas koloni Perancis, Belgia, dan Nederland, dan sebagainya.

Pada mulanya maksud-maksud imperialis Jerman Barat itu bukannya tanpa tantangan. Perancis terutama sangat berkeberatan untuk terselenggaranya apa yang disebut Eurafrika, yaitu yang meliputi 16 negeri Afrika yang “berasosiasi” pada PBE. Tetapi akhirnya Perancis, Belgia, dan Nederland terpaksa mengikuti jalan yang didorong-dorongkan oleh Jerman Barat. Mereka pada akhirnya terpaksa menyetujui dibukanya daerah-daerah “istimewa haknya sendiri” itu bagi eksploitasi bersama oleh PBE. Sebabnya ialah karena mereka kelabakan menghadapi gelombang pasang perjuangan kemerdekaan dari negeri-negeri koloni dan tidak lagi mampu menghadapinya secara langsung, dan selanjutnya tidak mungkin melaksanakan eksploitasi terhadap negeri-negeri itu dengan bentuk independen, sendiri, dan secara model lama.

Oleh karena itu mereka mempraktekkan cara-cara baru, yaitu neo-imperialisme atau neo-kolonialisme. Tidak lagi menjalankan eksploitasi secara lama dengan penguasaan penuh dan mutlak atas negeri-negeri tersebut sebagai koloni-koloni, melainkan dalam menghadapi kenyataan negeri tersebut sebagai negeri merdeka, menempuh jalan yang lebih sesuai tapi dengan tujuan – tentu saja – yang tetap sama.

Yang utama bagi negeri-negeri imperialis dan monopoli-monopolinya itu ialah bahwa sesuatu koloni itu, sekalipun secara politik telah menjadi negeri “merdeka”, secara ekonomi tetap merupakan dan menjalankan kebijaksanaan sebagai embel-embel kepentingan ekonomi imperialis.

Dari sini sangatlah terang apa yang terjadi dengan Irian Barat, yang oleh Nederland dijadikan juga semacam “pasaran bersama” dan “medan usaha bersama” dengan negeri-negeri PBE. Juga karenanya mudah dipahami mengapa Jerman Barat antara lain begitu sengitnya melawan politik Republik Indonesia yang memperjuangkan kembalinya daerah Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan RI terlepas sama sekali dari Nederland.

Kepentingan gabungan monopoli-monopoli Eropa Barat itu sederhana, yaitu agar daerah-daerah bekas koloni itu tetap menjadi sumber bahan mentah bersama yang murah bagi negeri-negeri pemakai, negeri-negeri industri Eropa Barat, dan sebaliknya agar daerah-daerah itu tetap membuka pintunya bagi penanaman modal monopoli-monopoli Eropa Barat serta tetap menjadi pasaran barang-barang jadi dengan merobohkan pula dinding-dinding proteksi yang berlaku di daerah-daerah itu bagi monopoli-monopoli Eropa Barat.

Keuntungan bagi negeri-negeri imperialis memang segera dapat dilihat. Bagi negeri-negeri Afrika yang 16 buah itu, nampaknya juga “menguntungkan”.

Eksport dari bekas koloni-koloni Perancis yang kini menjadi anggota “berasosiasi” telah meningkat dari 210.000 juta menjadi 279.000 juta (Franc lama) dalam waktu 3 tahun sesudah Perjanjian Roma. Memang negeri-negeri Eropa sudah sejak lama merupakan pasaran utama bagi hasil ekspor Afrika. Pada tahun 1960 negeri-negeri PBE adalah merupakan 80% dari arah tujuan ekspor bekas koloni-koloni Perancis itu.

Tetapi bersamaan dengan terikatnya negeri-negeri Afrika itu pada PBE, ada aspek lain yang sangat menarik, yaitu bahwa kenaikan ekspor itu sekaligus disertai oleh turunnya harga bagi hasil ekspor tersebut. Sebaliknya harga barang-barang yang diimpor ke Afrika dari negeri-negeri PBE justru menaik. Hal ini dapat misalnya dilihat dari tabel sebagai berikut:

INDEKS HARGA BARANG-BARANG EKSPORT AFRIKA KE NEGERI-NEGERI PBE

1958

1959

1960

1961

100

94

94

90

INDEKS HARGA BARANG-BARANG IMPORT AFRIKA DARI NEGERI PBE

1958

1959

1960

1961

100

96

97

98

 

Jadi, untuk barang-barang ekspornya Afrika memperoleh harga – antara 1958-1961 – yang turun indeksnya dengan 10 titik, sedangkan untuk barang-barang impornya Afrika harus membayar – antara 1958-1961 – lebih banyak, yaitu dengan turunnya harga-harga itu hanya dengan 2 titik. Bahwa imbangan yang pincang itu sama sekali tidak menguntungkan tetapi sebaliknya merugikan Afrika dapatlah dipahami dengan jelas.

 

*

Aspek lain dari PBE adalah bahwa secara intern ia tidaklah bebas pula dari kontradiksi-kontradiksi yang tajam. Sejak semula Pasaran Bersama Eropa telah disertai oleh pergulatan dan perebutan yang sengit akan dominasi utama di antara negeri-negeri dan monopol-monopol negeri-negeri anggotanya. Perancis – De Gaulle misalnya saja menghasratkan kepemimpinan Eropa di tangannya, tetapi pertumbuhan ekonomi lebih dikuasai oleh pulihnya kembali kekuasaan monopol-monopol Jerman Barat.

Pertumbuhan yang sangat cepat dari ekonomi monopoli Jerman Barat dapat terlihat dari angka-angka perkembangannya sebagai berikut: bagian Jerman Barat dalam produksi industri total PBE adalah sampai 40% pada 1957, sedang bagian Perancis adalah 29%, Italia 17%, Nederland 7%, dan Belgia serta Luxemburg 7%.

Sangat menarik sekali adalah perimbangan di antara negeri-negeri PBE di dalam neraca perdagangannya masing-masing secara antar-anggota. Neraca perdagangan Jerman Barat ke negeri-negeri PBE pada tahun 1952 menunjukkan kelebihan ekspor atas impor sebesar DM 2.025 juta, tahun 1953 sebesar DM 2.667 juta, tahun 1954 sebesar DM 3.506 juta, tahun 1955 sebesar DM 3.072 juta, tahun 1956 sebesar DM 5.163 juta, dan pada tahun 1957 tidak kurang dari DM 6.962 juta. Jumlah seluruhnya dalam neraca yang menguntungkan dari Jerman Barat di dalam Masyarakat Pembayaran Eropa (perdagangan dan pembayaran-pembayaran) telah mencapai angka raksasa DM 17.711 juta dalam masa 8 tahun, dan ini telah menghasilkan penumpukan cadangan emas dan valuta asing dari Bank Federal Jerman Barat dari jumlah DM 3.000 juta pada tahun 1952 menjadi DM 28.300 juta pada tahun 1960. Cadangan dolar saja telah mencapai hampir DM 15.000 juta. Sebagai perbandingan baiklah dikemukakan bahwa, jika Jerman Barat pada tahun 1958 menunjukkan neraca yang menguntungkan sebesar US $ 4.601 juta di dalam Masyarakat Pembayaran Eropa, maka sebaliknya Perancis menderita defisit sebesar US $ 2.320, Inggris US $ 1.259 juta, dan Italia US $ 592 juta.

Dalam waktu singkat saja Jerman Barat memang telah menjadi kekuatan imperialis Eropa yang terbesar. Sejak tahun 1948 investasi modal dalam ekonomi Jerman Barat mencapai angka fantastik sebesar DM 300.000 juta. Dalam masa-masa belakangan ini investasi Jerman Barat diambil secara persentase dari pendapatan nasionalnya adalah 25%, sedangkan Inggris dan AS hanya 15%, Perancis 18%, dan Italia 19%.

Pada perkembangan yang tidak seimbang seperti terlihat dari angka-angka di atas, perhatian terutama haruslah dipusatkan pada bidang ekonomi yang pula menjadi pusat kontradiksi di antara negeri-negeri imperialis di dalam Masyarakat Bersama Eropa itu.

Kontradiksi yang sangat sengit dan yang sampai kini belum terselesaikan sesuai dengan rencana-rencana PBE ialah masalah pertanian. Kontradiksi dalam bidang pertanian ini memecah PBE pada pokoknya dalam dua belahan utama: Perancis dan Jerman Barat.

Sekalipun produksi pertanian bukan merupakan sektor pokok dalam ekonomi negeri-negeri Eropa, yaitu merupakan hanya 12% dalam produksi total, namun ia menyangkut jumlah pekerja yang cukup besar, yaitu hampir 25% dari rakyat pekerja negeri-negeri itu. Di Italia bagian penduduk yang lapangan kerjanya di pertanian dan kehutanan adalah 30%, di Jerman Barat dan di negeri-negeri Benelux masing-masing 12% dan 15%, sedangkan di Perancis angkanya adalah 25%. Segi lain yang penting sekali ialah bahwa yang bergerak di sektor pertanian itu bukan hanya modal dan kepentingan tuan tanah-tuan tanah besar, melainkan juga bank-bank monopoli. Ini menjadikannya menjadi bentrokan kepentingan yang sengit.

Perkembangan pertanian di negeri-negeri yang bersangkutan sangat berbeda-beda, misalnya saja Jerman Barat di dalam produksi harus dikatakan jauh terbelakang, dalam arti efisiensi dan produktifitasnya. Dalam ujud harga-harga segera terlihatlah perbedaan-perbedaan yang menjadi sumber pertentangan itu antara lain dari tabel sbb:

HARGA RATA-RATA DALAM DEUTSCHE MARK (BARAT)
MENURUT TINGKAT HARGA DESEMBER 1961

  Satuan timb. Jerman Barat Perancis Italia Belgia Nederland
Gandum
100 Kg.
43.30
33.20
43.10
37.70
34.45
Djelai?
‘’
38.00
23.80
26.20
34.00
30.00
Kentang
‘’
14.20
10.55
-
8.45
11.40
Sapi utk Pembantaian
100 Kg. Timb.hidup
198.20
192.60
153.20
160.70
165.30
Babi utk. Pembantaian
‘’
254.20
224.40
222.70
209.30
167.20
Telur
(55 - 60 gr)
100 butir
15.10
20.81
25.15
13.35
11.45
Mentega
1 Kg
6.35
6.43
5.79
6.67
4.06

“Integrasi” ekonomi di bidang pertanian berarti penyamaan harga untuk semua jenis produksi bagi semua negeri-negeri anggota PBE. Dan dari situ bisa dipahami keogahan dan di bagian-bagian mana kepentingan masing-masing negeri itu akan mengalami kerugian.

Demikianlah bisa terjadi bahwa harga barang-barang makanan di Jerman Barat sangat tinggi, sedangkan persediaan hasil pertanian hanya merupakan 50% dari kebutuhan, namun pemerintah Jerman Barat memasang larangan-larangan dan pembatasan-pembatasan yang sangat keras terhadap impor barang-barang itu dari Perancis yang sangat murah harganya. Bersamaan dengan itu Perancis menghasilkan begitu banyak hingga berlebih-lebihan untuk konsumsi dalam negerinya, sehingga pemerintah harus memikul beban ongkos surplus sebesar US $ 400 juta di tahun 1962 ini saja, dan sangat mungkin sekali beban itu akan meningkat menjadi US $ 1.000 juta di tahun 1963.

Dengan kecemasan yang sangat pembesar-pembesar Perancis mengecam, bahwa PBE menganakemaskan Jerman Barat dan merugikan Perancis. Ditunjukkannya, bahwa 10% dari semua mobil yang ada di Perancis dewasa ini adalah buatan Jerman Barat atau Italia, sedangkan Jerman Barat tidak membeli daging 1 ons pun lebih banyak dari Perancis dibanding dengan di tahun yang lewat.

Keadaan yang akut yang disebabkan oleh kontradiksi di bidang hasil pertanian itu betapa pun telah menimbullkan pula dibahayakannya “integrasi” sebagaimana direncanakan. Dan lebih-lebih hal ini mendesak bagi penguasa-penguasa PBE untuk diselesaikan karena tahun inilah merupakan tahun dimana taraf kedua dari “integrasi” harus dimulai. Untuk itu dengan susah payah diusahakan adanya kompromi-kompromi kurang lebih sebagai berikut: 1) pembatasan-pembatasan atas impor barang makanan akan diakhiri, 2) sebagai ganti tarif-tarif, maka pemerintah-pemerintah akan mengenakan suatu pajak (iuran) yang fleksibel atas impor-impor itu, dan 3) iuran itu akan digunakan untuk membantu kaum petani. Selanjutnya telah diusahakan pula untuk mengadakan pengekangan-pengekangan atas kartel-kartel dan untuk meratakan upah pekerja pertanian.

Di satu pihak Perancis menggantungkan persetujuannya untuk pelaksanaan “integrasi” tingkat kedua dari PBE pada penyelesaian masalah pertanian tersebut, dan berhasil untuk memasang dinding terhadap cara yang selama ini dilakukan Jerman Barat dalam mengelakkan tekanan-tekanan harga rendah Perancis, yaitu syarat, bahwa impor barang-barang pertanian dari negeri-negeri ketiga hanya dibolehkan dalam hal barang-barang itu tidak terdapat/tidak cukup pada negeri-negeri anggota PBE lainnya. Dan di lain pihak Jerman Barat tetap berusaha dan ternyata berhasil pula memasang apa yang disebut “pasal pelarian” (escape clause) dalam kompromi terakhir yang dicapai. Lebih dari itu, Jerman Barat yang sangat berkepentingan untuk mengundur-undur penyelesaian di bidang pertanian tersebut, telah berhasil untuk memperoleh perpanjangan dari masa peralihan bagi penetapan-penetapan PBE di bidang hasil-hasil pertanian tersebut menjadi tujuh setengah tahun, dimulai dari tanggal 1 Juli 1962 ini.

Jadi jelaslah, bahwa proteksionisme di berbagai negeri PBE melalui penetapan-penetapan dalam PBE – apakah ia bersifat kompromi atau pun persetujuan yang dicapai secara bulat – telah menjadi semacam supper-proteksionisme.

IV

Soal hubungan antara imperialisme Inggris dengan imperialisme Eropa Barat, yang sebagaimana diketahui sudah lama seperti api dalam sekam, kini sedang mencapai momentum.

Sudah sejak semula Inggris berusaha menggagalkan pembentukan PBE. Dengan pendirian bahwa ia haruslah tetap dan bertahan sebagai peran utama di dalam perkembangan dan kepemimpinan di Eropa Barat, serta untuk melindungi monopolinya dalam hubungan ekonomi dengan negeri-negeri Commonwealth, maka Inggris pada bulan Juni 1956 telah berusaha dan menyerahkan kepada organisasi Kerjasama Ekonomi Eropa sebuah rencana untuk mendirikan sebuah daerah perdagangan bebas terdiri dari 17 negara. Tetapi rencana ini ditentang oleh Perancis dan karenanya Inggris kemudian memusatkan perhatian pada pembentukan daerah perdagangannya sendiri. Daerah Perdagangan Bebas yang dimaksud sebagai saingan dan imbangan terhadap PBE.

Perlawanan Inggris terhadap PBE bukanlah sekedar disebabkan oleh kedudukannya di Eropa. Dilihat dari sudut ini, masuknya Inggris ke dalam PBE memang akan berarti merosotnya kedudukan Inggris menjadi hanya salah satu anggota gabungan imperialis dalam situasi dimana imperialisme Jerman Barat yang ditulangpunggungi oleh imperialisme AS memainkan peranan utama. Masuknya Inggris memang akan berarti pelemahan kedudukan bebas Inggris di dalam industri dan ekspor.

Tetapi yang paling menentukan sikap Inggris itu ialah bahwa, meskipun ia telah menderita pukulan-pukulan dan kian terpecah-belah, ia masih memainkan peranan yang sangat besar di dalam ekonomi dunia. Inggris masih memainkan peranan ekonomi, politik, finansial, dan strategi di daerah-daerah bekas jajahannya yang merupakan tidak kurang dari seperempat daerah dunia.

Sekalipun imperialisme AS telah banyak mendesak Inggris di pasaran dunia, namun untuk daerah yang disebut “daerah sterling” Inggris masih tetap berdominasi, kecuali Kanada yang sudah menjadi semacam koloni AS secara ekonomi.

Dalam angka-angka, Inggris menguasai sepertiga, sedangkan AS baru sepersepuluh dari impor daerah Sterling. Barang-barang Inggris yang dikirim ke Afrika Barat (Nigeria dan Ghana) adalah 12 kali lebih banyak dari yang dikirim oleh Amerika. Ke Malaya ekspor Inggris adalah 4 kali lipat dari ekspor AS. Ke Sailan 8 kali, ke India dan Pakistan 2 kali dari ekspor AS. Sedangkan Selandia Baru tidak kurang dari 50% mengimpor dari Inggris dan hanya 8% dari AS, Australia 36% dari Inggris dan hanya 16% dari AS.

Juga perdagangan dari negeri-negeri koloni itu, termasuk yang sudah merdeka dan anggota-anggota Persemakmuran, mempunyai arti yang sangat besar bagi Inggris. Dalam angka-angka total bagian Inggris dalam impor ke negeri-negeri itu adalah 25%, sedangkan bagian AS hanya kurang lebih 7% pada tahun 1961.

Pada tahun 1960 ekspor Inggris ke negeri-negeri Persemakmuran berjumlah tidak kurang dari £ 1.515 – juta, sedangkan ekspor Inggris ke negeri-negeri PBE adalah £ 562. – juta. Import Inggris dari negeri-negeri Persemakmuran berjumlah £ 1.754. – juta dan dari PBE adalah £ 662. – juta.

Dihitung dalam persentase seluruh ekspor Inggris, maka ekspor ke negeri-negeri Persemakmuran adalah 37,8% untuk tahun 1960 dan 35,5% untuk tahun 1961, sedangkan dari negeri-negeri PBE adalah 14,6% untuk 1960 dan 15,4% untuk 1961.

Secara lebih terperinci lagi – karena ini penting untuk mengukur komposisi riil dalam hubungan-hubungan kepentingan – maka patut diperhatikan, bahwa pola perdagangan Inggris dengan negeri-negeri Persemakmuran memang masih bersifat atau adalah mencerminkan sisa-sisa hubungan kolonial. Inggris mengimpor barang-barang makanan dan bahan mentah dari negeri Persemakmuran dan mengekspor barang-barang jadi ke sana. Separuh (50%) dari bahan gandum Inggris datang dari negeri-negeri Persemakmuran dan hanya 7% dari PBE, dan berturut-turut angkanya adalah: gula 69% dari Persemakmuran dan 2% dari PBE, hasil-hasil susu dan telur: 56% terhadap 7%, daging: 33% terhadap 8%, buah-buahan dan sayur-mayur: 38% terhadap 20%,  logam non ferros: 62% terhadap 2%, kayu: 25% terhadap 6%, dan kertas serta pulp: 25% terhadap 4%. Selanjutnya adalah pula menarik perhatian, bahwa selama 10-12 tahun akhir-akhir ini dari seluruh modal asing yang diinvestasi di negeri-negeri Persemakmuran, tidak kurang dari 70% adalah modal Inggris dan hanya 10 hingga 15% adalah modal AS atau secara lebih terperinci: modal baru yang diinvestasi di Australia tidak kurang dari 50% adalah dari Inggris dan dari AS hanya 25%, di Afrika Selatan persentasenya berturut-turut adalah 63% terhadap 19%, dan untuk koloni-koloni dan negeri-negeri yang baru merdeka angka-angka itu adalah 85% terhadap 9%. Hanya di India pinjaman-pinjaman Amerika membanting timbangan, sekalipun di bidang partikelir tetaplah Inggris yang mempunyai peranan utama.

Dari yang di atas ini dapat dilihat betapa besar kepentingan Inggris untuk tetap mempertahankan “daerah Sterling” sebagai daerah monopolinya sendiri.

Sampai tahun-tahun terakhir ini Inggris telah selalu berhasil mengatasi defisit pada neraca perdagangannya dengan menggunakan surplus dollar yang dipunyainya pada negeri-negeri Persemakmuran dan daerah-daerah protektoratnya. Misalnya saja, pada tahun 1960-1961 surplus Inggris dalam neraca perdagangannya dengan Australia tidak kurang dari £ 145 juta, dan jika pada angka ini ditambahkan pembayaran-pembayaran “invisibles” untuk pengangkutan, pembayaran keuntungan, bunga, dan sebagainya, maka jumlah tadi adalah £ 205 juta. Dalam pada itu defisit Inggris dalam neraca perdagangannya dengan AS berjumlah £ 236 juta pada tahun 1960-1961, dan dengan demikian sebagian terbesar dari defisit itu telah dapat dilunasi oleh Inggris dengan surplusnya dalam hubungannya dengan Australia.

Pertahanan Inggris selama ini adalah berlakunya apa yang dinamakan sistem prefensi imperial. Melalui atau dengan sistem itu, maka barang-barang negeri-negeri Persemakmuran memperoleh keistimewaan-keistimewaan dalam tarif-tarif pabean di Inggris, sedangkan sebaliknya barang-barang Inggris juga memperoleh keistimewaan-keistimewaan dalam tarif-tarif pabean di negeri-negeri Persemakmuran. Dengan tarif-tarif preferensial itu, maka negeri-negeri lain, terutama negeri-negeri seperti AS dan imperialis Eropa lainnya tidak dapat menyaingi Inggris di pasaran negeri-negeri Persemakmuran. Tanpa sistem tarif preferensial itu saingan yang dihadapi Inggris adalah kuat sekali, karena ini akan berarti bahwa barang-barang Inggris yang diekspor ke negeri-negeri Persemakmuran harus menghadapi dan dengan agak pasti akan digantikan oleh barang-barang ekspor negeri-negeri lain, terutama Eropa, Amerika, dan Jepang yang posisinya makin menjadi lebih baik di pasaran dunia.

*

Keputusan pemerintah Inggris untuk mengusahakan keanggotaan Inggris pada PBE telah menimbulkan perbincangan yang sangat ramai dan disebut-sebut dalam superlatif-superlatif. Majalah “Newsweek” bahkan sampai menamakan keputusan pemerintah Inggris itu sebagai “keputusan yang mengubah jalannya sejarah” (7 Agustus 1961, No. 6) dan “pembicaraan perdagangan yang paling luar biasa menentukan dari abad ini, bahkan mungkin dari semua abad”, (27 November 1961, No. 22).

Tetapi seperti juga disebutkan dalam tulisan-tulisan tersebut, perdana menteri Harold MacMillan dari Inggris sampai pada keputusan tersebut setelah “perenungan rohaniah yang lama” dan hanyalah karena dia “dipaksa”.

Memang keputusan pemerintah Inggris itu bukan keputusan yang mudah. Bagi imperialisme Inggris cukup jelas apa konsekuensi-konsekuensi dari keputusannya untuk masuk ke dalam PBE. Yang terang ialah, bahwa ini akan berarti dibongkarnya dinding-dinding perlindungan berupa tarif-tarif pertahanan yang selama ini berlaku dan dipasang terhadap persaingan dari kekuatan-kekuatan ekonomi imperialis-imperialis lain.

Keputusan pemerintah Inggris tersebut secara pasti menunjukkan makin terdesaknya posisi imperialisme Inggris dalam perlombaan kekuasaan dan dalam menajamnya kontradiksi-kontradiksi intern imperialisme.

Pembentukan “Daerah Perdagangan Bebas” atau “Tujuh Luar” ternyata tidak seefektif yang diharapkan oleh Inggris dalam menghadapi tantangan PBE.

Selain dari itu, yang merupakan faktor ekonomi yang lebih mendesak lagi pemerintah Inggris untuk mengubah haluannya adalah posisi keuangannya yang mengalami krisis akut. Tiga hari sebelum keputusan pemerintah Inggris mengenai maksud penggabungannya ke dalam PBE, Menteri Keuangan Inggris Selwyn Lloyd telah memproklamasikan apa yang disebut “masa penghematan”. Gambaran tentang makin merosotnya posisi keuangan Inggris, krisis pembayaran luar negeri dan neraca perdagangannya, dapat dilihat pada kenyataan, bahwa defisit neraca perdagangannya yang pada tahun 1959 sudah berjumlah US $ 1,4 miliar telah meningkat menjadi sebesar US $ 2,4 miliar di tahun 1960 dan tidak kurang dari US $ 915 juta pada setengah tahun pertama 1961.

Juga perdagangan Inggris dengan negeri-negeri Persemakmuran mengalami kemerosotan-kemerosotan, dan ikatan-ikatan apa yang dikenal dengan nama “daerah Sterling” makin lepas. Sejak pertengahan tahun-tahun 1950-an, bagian Inggris dalam pasaran daerah Sterling telah terus-menerus menurun dengan sebanyak 2,5% rata-rata setahunnya. Pada tahun 1955 misalnya, impor India dari Inggris berjumlah 1.602 juta Rupee, yang berarti hampir dua kali lipat impor dari AS yang sebesar 887 juta Rupee dan tiga kali lipat impor India dari Jerman Barat. Tetapi pada tahun 1960 angka-angka tersebut telah berubah. Import India dari Inggris macet pada jumlah 1.685 juta Rupee, sedangkan yang dari Amerika Serikat telah meningkat menjadi 1.614 juta Rupee dan dari Jerman Barat bahkan sudah mencapai lebih dari separuh impor dari Inggris, yaitu berjumlah 939 juta Rupee.

Jika sebelumnya dan sampai akhir tahun 1950-an Inggris dapat menutup defisit-defisitnya dari surplus dollar yang diperolehnya dari daerah Sterling, maka negeri-negeri Persemakmuran makin keras menuntut surplus-surplus sterling dan dollarnya untuk keperluannya sendiri.

Itulah sebabnya mengapa Inggris harus lari pada pinjaman-pinjaman, terutama dari AS yang berarti makin menjadi tergantungnya Inggris padanya. Keadaan itulah yang menimpa Inggris dengan beban-beban finansial yang berat, sehingga Selwyn Lloyd terpaksa mengumumkan keharusan Inggris untuk menarik lebih banyak lagi dari kreditnya dengan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund).

Tindakan-tindakan lain yang diambil oleh menteri keuangan Inggris itu ialah menaikkan bunga bank (yang harus dibayar oleh bank-bank yang menerima pinjaman dari Bank of England) dari 5% menjadi 7% serta menaikkan pajak-pajak atas barang-barang konsumsi dengan 10%. Usaha-usaha Selwyn Lloyd terutama pula bermaksud untuk mengurangi pengeluaran-pengeluaran Inggris di luar negeri. Antara lain ia menyatakan bahwa pengeluaran-pengeluaran bantuan luar negeri serta tanggungan-tanggungan Inggris dalam NATO haruslah dikurangi.

Yang terpenting ialah, bahwa pemerintah Inggris atas dasar alasan-alasan yang bermacam-macam itu dan sesuai dengan politik “drastis di dalam negeri” telah mengadakan tindakan-tindakan untuk menyetop kenaikan upah kaum buruh, yaitu apa yang dinamakan “pause dalam tuntutan kenaikan upah”.

*

Karikaturis F. Behrendt dalam majalah Weltwoche menggambarkan MacMillan sebagai seorang yang dirinya terpecah antara pilihan pada Persemakmuran atau PBE. Sebagai uraian dicantumkan pada karikatur itu sebait sajak:

“Dua roh bersemayam dalam dadaku.

Dan masing-masing menjauhi dan menolak saudaranya”.

Karikatur ini memang secara kena sekali menggambarkan kontradiksi yang sangat mendalam yang diakibatkan oleh ikutsertanya Inggris dalam PBE.

Edward Heath, utusan Inggris yang bertanggung jawab dalam perundingan-perundingan antara Inggris dengan PBE, menekankan bahwa ikut sertanya Inggris dalam PBE betapapun akan disejalankan dengan keinginan keras Inggris untuk merundingkan perjanjian-perjanjian perdagangan dengan tidak menyingkirkan negeri-negeri Persemakmuran.

Usaha Inggris adalah untuk menyelamatkan diri dari krisis yang dihadapinya dengan ikut “menikmati” makin luasnya pasaran di Eropa, tetapi sekaligus mempertahankan sejauh mungkin posisi yang menguntungkan dalam hubungan-hubungan kolonialnya dengan negeri-negeri Persemakmuran. Itulah sebabnya Inggris di dalam perundingan-perundingan itu bertahan untuk tidak melepaskan hubungannya dengan negeri-negeri Persemakmuran dan menuntut agar “kedudukan istimewa” negeri-negeri Persemakmuran diakui oleh PBE.

Perlawanan negeri-negeri Persemakmuran terhadap masuknya Inggris dalam PBE telah memuncak dan menempatkan Inggris dalam posisi “tertodong”.

Dengan melarikan diri ke dalam dinding-dinding tarif bersama dari PBE maka Inggris akan memberikan pukulan yang keras sekali pada partner-partner dagangnya yang tradisional, yang selama ini dapat melemparkan barang-barangnya ke pasaran Inggris bebas dari bea berdasarkan Sistem Preferensi Imperial.

Permusuhan yang dikandung oleh negeri-negeri Persemakmuran bukan sekedar sentimen, tetapi didukung oleh kepentingan-kepentingan ekonomi yang mendesak dan kongkrit. Seperti diketahui, lebih dari 25% ekspor Kanada adalah ke pasaran Kerajaan Inggris dan hanya seperduabelas ke negeri-negeri PBE. Pada tahun 1960 hampir 97% dari ekspor Kanada masuk ke Inggris dengan bebas bea. Dengan masuknya Inggris ke dalam PBE maka tidak kurang dari 66% dari ekspor tersebut akan terkena bea sedangkan 30% eksport Kanada ke Inggris yang memperoleh preferensi sebesar 10% atau lebih akan kehilangan kedudukan istimewa itu. Dalam angka-angka yang lebih kongkrit, Donald Fleming, menteri keuangan Kanada, menyatakan bahwa tidak kurang dari 76% dari ekspor tahunan Kanada ke Inggris sebesar US $ 915 juta akan kehilangan kedudukan istimewanya. Bukan saja itu, tetapi bahkan barang-barang Eropa akan lebih diunggulkan.

Selanjutnya, Australia, yang ekspornya lebih dari 25% adalah ke Inggris, akan mengalami bahwa lebih dari sepertiga akan kehilangan hak bebas-bea (dan ini meliputi bahan-bahan penting dari produksinya, seperti gandum dan padi-padian, daging, gula, dan hasil-hasil susu) sedangkan sepertiga lagi akan kehilangan kedudukan istimewa yang didahulukan.

Juga Selandia Baru akan mengalami pukulan keras dengan masuknya Inggris ke dalam PBE, sebab seluruh ekonomi Selandia Baru praktis didasarkan pada pasaran Inggris. Seperempat dari produksi Selandia Baru adalah produksi ekspor, dan 53% adalah tergantung pada pasaran Inggris. Untuk 93% dari ekspornya adalah barang-barang pertanian, termasuk wol, 93% dari ekspor keju, 92% dari ekspor mentega, dan 89% dari ekspor daging kambing dan sapi adalah bertujuan pasaran Inggris.

India dan Pakistan, disamping menjadi pengeskport bahan-bahan makanan dan bahan-bahan mentah yang tergantung pada pasaran Inggris, juga merupakan pengekspor barang-barang manufaktur, terutama tekstil. Dan semua itu akan terkena oleh masuknya Inggris ke dalam PBE. Negeri-negeri ini akan kehilangan preferensi tarif maupun pengistimewaan dalam jumlah (kuota) yang selama ini ada.

Keadaan di atas ini akan makin menjadi jelas jika diketahui, bahwa dalam tahun 1960 misalnya, impor barang-barang tekstil dari negeri-negeri Asia ke Inggris merupakan tidak kurang dari 30% dari produksi dalam negeri Inggris, sedangkan impor dari AS hanya berjumlah 2,6%, dari Jerman Barat 1,2% dan dari Italia 0,2% sedangkan dari Perancis 0%. Dengan masuknya Inggris ke PBE tentu saja keadaan di atas ini akan mengalami perubahan yang radikal yang merugikan negeri-negeri Asia tadi.

Dalam keadaan terjepit antara dua kepentingan seperti tergambar di atas, imperialisme Inggris dengan gigih berusaha menarik keuntungan – mempertahankan diri – dari kedua belah pihak. Untuk itu Inggris sampai-sampai mengirimkan menteri-menterinya untuk meyakinkan negeri-negeri Persemakmuran, antara lain Sandys (Menteri Negara Urusan Hubungan-Hubungan Persemakmuran) ke Selandia Baru, Australia, dan Kanada, Therneycreft (Menteri Penerbangan) ke India, Sailan, Pakistan, dan Malaya, dan Hare (Menteri Perburuhan) ke Ghana, Nigeria, dan Sierra Leone.

Di lain pihak, salah satu jalan kompromi yang mungkin dapat menangguhkan terputusnya sama sekali ikatan-ikatan Inggris dengan negeri-negeri Persemakmuran ialah kemungkinan diadakannya pengecualian-pengecualian untuk suatu masa tertentu berupa tetap dipertahankannya hubungan-hubungan ekonomi preferensi antara Inggris dengan negeri-negeri Persemakmuran dengan ketentuan bahwa barang-barang yang berasal dari negeri-negeri Persemakmuran dilarang dire-ekspor dari Inggris ke negeri-negeri anggota PBE.

Sejauh mana tarik dan daya tolak PBE dan Persemakmuran itu memainkan tekanan-tekanan pada imperialisme Inggris dalam melaksanakan keputusan menggabung pada PBE hingga kini pun masih dapat dilihat keseimbangannya pada tetap rumitnya situasi hubungan dan ekonomi Inggris dewasa ini.

Tetapi, yang terang ialah adanya tekanan dan politik pemerasan yang dilakukan imperialisme AS yang sangat berkepentingan untuk menggeser kekuasaan Inggris yang mendekati monopoli atas negeri-negeri Persemakmuran serta daya saing dari imperialisme Inggris. Ini dapat dilihat dari tindakan Dana Moneter Internasional (yang dikuasai AS) untuk memberikan kredit sebesar US $2.000 juta atau £ 714 juta kepada Inggris sehari sesudah pengumuman mengenai maksud Inggris untuk mencari jalan masuk jadi anggota PBE.

V

Sebagaimana sudah disinggung depan tulisan ini, PBE adalah gabungan monopoli antar negara, suatu gabungan dari imperialisme dalam situasi perimbangan kekuatan dunia sekarang.

Salah satu sasaran atau tujuan utama dari integrasi itu adalah untuk mengatasi keruntuhan kekuasaan imperialisme atas bagian terbesar daerah-daerah yang tadinya merupakan tanah jajahan, setengah jajahan atau daerah operasi ekonominya yang sangat menguntungkan.

Dengan lain perkataan, bangunan dan politik yang dijalankan oleh PBE ini adalah untuk mencari jalan-jalan guna mempertahankan daerah-daerah yang sedang ber-revolusi melepaskan diri dari genggaman langsung dan mutlak dari imperialisme, yaitu daerah-daerah dan negeri-negeri yang ekonominya kurang maju maupun negeri-negeri yang baru bangkit (new emerging countries).

Seperti diketahui, tanpa sedikit pun konsultasi, Perjanjiann Roma yang melahirkan PBE telah menetapkan ketentuan-ketentuan bagi “berasosiasinya” bekas koloni-koloni Perancis, Belgia, dan Italia di Afrika ke dalam PBE, seolah-olah negeri-negeri tersebut merupakan “wilayah lingkungan di bagian Selatan” yang ekonominya ditundukkan pada keperluan-keperluan negeri-negeri yang industrinya maju di Eropa Barat.

Hasil ekonomi yang segera dapat dilihat dari hubungan pincang yang dipaksakan oleh negeri-negeri imperialis atas negeri-negeri Afrika ialah sebagai berikut ini. Pada tahun 1957 misalnya, Jerman Barat telah mengimpor kakao seharga 305 juta Mark. Penghasilan dari bea saja berjumlah lebih dari 41 juta Mark yang berarti 13,5%. Dalam tahun itu juga Jerman Barat mengimpor kopi seharga 944 juta Mark dengan bea yang mencapai angka 239 juta Mark, atau 25,4%. Pada angka-angka ini harus ditambahkan cukai yang dipungut sampai 239 juta Mark sehingga seluruhnya berjumlah 47,5% yang semestinya dapat merupakan tambahan ekspor negeri-negeri Afrika ke Jerman Barat saja.

Catatan-catatan harga-harga memperlihatkan bahwa indeks harga barang-barang konsumsi massal yang mengenai negeri-negeri asal seperti Afrika itu, antara tahun 1954 hingga 1960 telah merosot dengan lebih dari 24%. Harga-harga kakao dari Accra telah turun untuk masa yang sama dengan 66%, harga kopi mentah dari Kamerun turun dengan 29%, harga beli di Jerman untuk pisang segar turun dengan 30%, sedangkan antara tahun 1950 hingga 1960 harga biji kelapa dari Afrika Barat telah turun dengan 28%, kacang Nigeria 17%, dan kopra merosot sampai hampir dengan 44%. Harga biji kacang telah turun dengan 25% pula.

Sebaliknya, harga barang-barang yang sangat diperlukan dan harus diimpor oleh negeri-negeri yang ekonominya kurang maju telah sangat menaik. Harga bahan-bahan bangunan dari baja dalam masa 1950-1960 telah naik dengan 85%, harga mesin-mesin 58%, perlengkapan pertambangan 85%, mesin-mesin pertanian naik 76%, garam potasium 35% dan Thomas Phosphate dengan 51%.

Diambil dari angka-angka tahun-tahun terakhir terlihat pula kian membesarnya disparitas  antara harga-harga barang-barang industri dan bahan-bahan mentah. Dasar pertukaran (terms of trade) menunjukkan, bahwa antara tahun 1958 dan 1961 saja harga barang-barang yang diekspor oleh negeri-negeri yang kurang maju ekonominya telah turun dengan 5%. Dengan dasar penukaran yang pincang ini saja negeri-negeri yang ekonominya kurang maju telah dirugikan dengan US $ 14.000 juta hingga US $ 16.000 juta setiap tahunnya.

Keadaan yang sama juga tampak pada perkembangan ekonomi di negeri-negeri Amerika Latin. Bagian ekspor negeri-negeri itu ke Eropa telah meningkat cepat dalam masa akhir-akhir ini. Jika antara 1946-1950 ekspor ke Amerika Serikat dari negeri-negeri Amerika Latin adalah 55-65% dari seluruh ekspornya dan ke Eropa Barat 20%, maka pada akhir 1950-an perimbangannya ialah 45-46% ke AS dan 30% ke Eropa Barat, terutama Jerman Barat. Italia dan Nederland yang mengambil tempat penting dalam hubungan dagang tersebut.

Juga Amerika Latin mengalami tekanan-tekanan dan politik perdagangan yang bersifat memeras. Jatuhnya harga-harga barang ekspor Amerika Latin telah berlangsung bertahun-tahun lamanya sedangkan harga barang-barang yang harus diimpornya terus menaik. Dari 1954 hingga 1960 harga kapas Meksiko telah jatuh 25%, kopi Brazilia jatuh 53%, kopi Kolombia 44%, dan wol Uruguay dan Argentina 10,5%.

Turunnya harga-harga itu dan naiknya harga-harga barang yang harus diimpor dengan sendirinya mengharuskan negeri-negeri Amerika Latin membayar dengan lebih banyak barang ekspornya untuk dapat mengimpor keperluan-keperluannya dalam jumlah yang sama. Dan inilah sumber neraca perdagangan yang sangat merugikan bagi negeri-negeri Amerika Latin. Antara tahun 1950 hingga 1960 defisit neraca perdagangan yang dialami oleh Meksiko telah mencapai jumlah US $ 2.492 juta, bagi Argentina US $ 1.974 juta, bagi Brazil US $ 1.414 juta, bagi Uruguay US $ 470 juta, dan bagi Peru US $ 366 juta.

PBE berarti terancamnya negeri-negeri Amerika Latin secara kongkrit dalam memperoleh pasaran yang layak bagi barang-barang ekspornya, terutama hasil-hasil pertanian seperti gula, gandum, daging, dan sebagainya, yang juga dihasilkan di negeri-negeri Eropa Barat dan yang di dalam rangka PBE terkena di bawah sistem preferensi. Selama ini enam anggota PBE merupakan pembeli hampir dari 50% ekspor Amerika Latin ke Eropa Barat, dan terutama menjadi pembeli penting dari kira-kira 2 juta ton gula, kira-kira 1 hingga 1,7 juta ton gandum dan sampai 450.000 ton daging. Berlakunya dinding-dinding tarif dan sistem preferensi (sistem tidak diperbolehkannya anggota PBE membeli barang-barang dari negeri-negeri ketiga selama negeri sesama anggota mempunyai persediaan untuk dijual), berarti dipasangnya barikade terhadap barang-barang ekspor Amerika Latin.

Tabel di bawah ini memberikan gambaran yang menyangkut beberapa negeri penting di Asia:

PERUBAHAN-PERUBAHAN PADA DASAR PENUKARAN
(% THD 1955)

  1950 1955 1956 1957 1958 1959 1960 1% = Juml. US$ (dalam ribuan)
Sailan
-7
±0
-10
-19
-13
-8
-8
4000
India
+1
±0
-1
-9
-5
-5
+6
12.700
Malaya
±0
-14
-20
-26
-5
+6
7.700
Indonesia
+11
±0
-8
-6
-19
+5
-11
9.400
Filipina
±23
±0
+2
±0
+1
+7
+5
3.900
Negeri-negeri yang ekonominya kurang berkembang dari jumlah total dunia
+5
±0
-3
-7
-7
-9
-9
280.000
Jumlah total negeri-negeri kapitalis
-2
±0
±0
+1
+5
+6
+6
540.000

Apakah yang dapat disimpulkan dari tabel di atas ini? Ialah bahwa jika berjalan terus suatu volume ekspor dan impor secara tetap, maka negeri-negeri yang ekonominya kurang maju pada tahun 1950 memperoleh kelebihan valuta sebesar (5 X US $ 280.000.000) US $ 1.400.000.000, sedangkan sejak perhitungan tahun 1956 ternyata hal ini berbalik dan pada tahun 1960 saja telah memerlukan tambahan valuta sebesar (9 X US $ 280.000.000) US $ 2.520.000.000 jika dibandingkan dengan tahun 1955. Sebaliknya, negeri-negeri kapitalis yang pada tahun 1950 memerlukan tambahan valuta sebesar US $ 1.080.000.000 dibanding tahun 1955 maka pada tahun 1960 memperoleh posisi keuntungan sebesar US $ 3.240.000.000 dibanding tahun 1955.

Dengan lain perkataan: Indonesia misalnya, pada tahun 1950 berdasarkan perkembangan dasar penukaran di atas memperoleh (11 X US $ 9.400.000) US $ 103.400.000 lebih banyak valuta asing dibanding dengan pendapatan tahun 1955, tetapi pada tahun 1956 sudah berbalik memerlukan suatu jumlah tambahan sebanyak (8 X US $ 9.400.000) US $ 75.200.000 valuta asing dibanding dengan tahun 1955. Dan selanjutnya angka kekurangan itu meningkat terus untuk tahun 1957 sebesar US $ 56,2 juta, tahun 1958 US $ 179 juta, tahun 1960 US $ 113 juta dibanding dengan tahun 1955.

Dengan demikian maka bagi negeri-negeri yang ekonominya kurang maju, atau diambil sebagai contoh khusus Indonesia misalnya, yang bagian terbesar perdagangannya adalah dengan negeri-negeri kapitalis, setiap tahunnya memerlukan penambahan/peningkatan ekspornya untuk bisa mempertahankan jumlah impor yang sama.

*

Apakah arti semua itu bagi negeri-negeri yang sedang berjuang mengembangkan ekonominya dari keterbelakangan masa penjajahan? Dengan menggunakan angka-angka di atas tadi yang menggambarkan pincangnya hubungan ekonomi antara negeri-negeri yang menyandarkan diri pada ekspor bahan-bahan mentah dan negeri-negeri industri kapitalis, dan dengan memberikan contoh kongkrit, artinya tidak hanya dalam angka-angka indeksnya saja, maka akan segera dapat dilihat betapa tak mungkinnya dilakukan pembangunan ekonomi yang sungguh-sungguh bebas. Ambillah Indonesia sebagai contoh sebagai berikut:

Prognose penerimaan dan pengeluaran devisa tahun 1961 dalam jutaan rupiah dev.

Penerimaan
1. Eksport
Rp 23.500 juta
 
2. Maskapai minyak dll
Rp 4.000 juta
 
Jumlah
Rp 27.500 juta
Pengeluaran
1. Import Pemerintah
Rp 6.048 juta
 
2. Import Beras
Rp 3.700 juta
3. Import Umum
Rp 22.600 juta
4. Golongan Free List
Rp 4.500 juta
5. Jasa-jasa
Rp 2.900 juta
6. Pembayaran modal
Rp 10.300 juta
Jumlah (dibulatkan)
Rp 50.000 juta
DEFISIT
Rp 22.500 juta

Ada defisit yang hampir menyamai jumlah penerimaan berarti kepincangan yang membikin macet perkembangan ekonomi Indonesia. Dari angka-angka di atas Indonesia harus bekerja menghasilkan bahan-bahan ekspornya dua kali lipat untuk dapat menutup impor yang sebagian besar konsumtif itu. Atau Indonesia harus mengurangi impornya dengan separuh yang berarti bukan saja tidak adanya pembangunan, melainkan juga pengurangan impor barang-barang konsumtif yang diperlukan.

Jadi jelaslah, betapa hubungan ekonomi yang pincang itu telah membuat negeri-negeri yang baru menempuh jalan pembangunan tergantung pada negeri-negeri imperialis. Ini sudah tentu, selama negeri-negeri itu mengikatkan diri pada hubungan yang membelenggu mereka dengan negeri-negeri kapitalis tersebut.

Bagi negeri-negeri yang baru berkembang pada umumnya situasi ini seperti terlihat dalam banyak hal bahkan akan membikin mereka tergantung demikian rupa, sehingga untuk mempertahankan produksi yang sama mereka harus mengusahakan bantuan-bantuan bukan dari sumber-sumber intern, melainkan lari pada pemasukan modal asing, jika tidak ditempuh atau diperolehnya kredit luar negeri.

Pada saat seperti itulah imperialisme datang menyergap, mendobrak pintu-pintu negeri-negeri yang bersangkutan dan menyerbu masuk dengan berbagai bentuk “bantuan ekonomi” berupa pemasukan-pemasukan modal, terutama investasi partikelir modal imperialis, dan dimana hal ini tidak dapat dilakukan secara langsung diberilah kepadanya kedok-kedok “bantuan”, “kerjasama”, dan segala macam “sharing” yang pada hakekatnya adalah investasi. Dalam hubungan ini yang penting sekali diperhatikan ialah bahwa “bantuan” dan terutama investasi selalu memiliki ciri-ciri tertentu.

Jika ia memang bantuan atau kredit, maka proyek-proyek untuk mana bantuan itu diperbolehkan selalu adalah proyek-proyek yang merupakan pelengkap-pelengkap dan fasilitas-fasilitas untuk memudahkan supply, penyediaan bahan-bahan mentah yang diperlukan oleh negeri-negeri imperialis tersebut, dan tidak pernah proyek-proyek pembangunan yang dikemudian hari akan memberikan tulang punggung kebebasan ekonomi pada negeri yang menerima bantuan tersebut. Sedangkan jika mengenai investasi, maka cirinya ialah bahwa yang diincar oleh modal imperialis itu selalu bidang-bidang produksi yang melayani kepentingannya pula, yaitu bidang-bidang produksi bahan-bahan mentah, seperti pertambangan minyak, nikkel, dan sebagainya, bahan-bahan strategis atau pertanian industrial.

Selanjutnya, ketergantungan negeri-negeri itu merupakan pula senjata di tangan imperialisme untuk melakukan tekanan-tekanan politik dan militer, untuk melakukan kegiatan-kegiatan internasionalnya guna memerangi kubu sosialis dan sekaligus juga untuk membantu pemerintah-pemerintah reaksioner dari negeri-negeri yang tergantung itu atau untuk menaikkan ke panggung kekuasaan elemen-elemen reaksioner yang sepenuhnya mengabdi kepentingan-kepentingan imperialisme.

PBE memang adalah alat pelengkap bagi imperialisme dalam penindasannya terhadap negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan demikian PBE adalah alat pelaksana daripada neo-kolonialisme. Dimana penguasaan kolonial secara langsung, fisik, dan dalam bentuk lama tidak mungkin lagi dijalankan maka dijalankanlah cara baru yang pada hakekatnya sama. Jadi, PBE adalah pula kolonialisme kolektif oleh gabungan negeri-negeri imperialis terhadap negeri-negeri yang baru merdeka dan baru berkembang.

Seperti telah berkali-kali dikatakan di atas, “integrasi” Eropa yang merupakan gabungan monopoli-monopoli imperialis antar-negara itu sangat berkepentingan untuk mempertahankan kedudukan ekonomi mereka dengan menjadikan negeri-negeri bekas koloni/semi koloni yang formal merdeka sekarang tetap dalam ikatan ekonomi kolonial, tetap menjadi daerah persediaan bahan mentah, daerah pasaran bagi barang-barang jadi, dan daerah penanaman modal serta tenaga murah. Negeri-negeri ini adalah negeri-negeri penghasil bahan-bahan mentah untuk produksi negeri-negeri imperialis, sebab bahan-bahan ini tidak dihasilkan oleh negeri-negeri industri sendiri. Dengan politik PBE, politik penghapusan bea-bea dan sebagainya, masuknya bahan-bahan mentah menjadi diperlancar setelah negeri-negeri ini “digabung” ke dalam perangkap PBE, seperti misalnya yang sudah terjadi dengan sejumlah negeri-negeri Afrika. Sebaliknya, “penggabungan” itu yang memangnya dilakukan secara paksa, berarti membuka pintu negeri-negeri bersangkutan bagi membanjirnya barang-barang jadi dari negeri-negeri imperialis tanpa dinding-dinding tarif (karena inilah konsekuensi dari penghapusan dinding-dinding tarif di PBE terhadap bahan-bahan mentah negeri-negeri “tergabung” dari Afrika dan lain-lain), yang berarti persaingan keras dan tidak seimbang bagi ekonomi dan produksi negeri-negeri tersebut. Industri nasional negeri-negeri yang baru berkembang itu tentu tidak akan dapat menyaingi barang-barang jadi buatan negeri-negeri industri yang telah maju.

Di lain pihak dengan terbentuknya PBE dan digabungkannya dengan paksa negeri-negeri seperti Afrika, yang merupakan negeri penghasil bahan-bahan mentah, maka terdapatlah dua macam negeri-negeri penghasil bahan mentah, yaitu negeri-negeri penghasil bahan mentah yang terikat pada PBE dan yang tidak. Yang belakangan ini ialah negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Imperialisme berusaha keras memecah-belah persatuan negeri-negeri yang baru merdeka itu bukan saja secara ekonomi, melainkan melalui kepentingan-kepentingan ekonomi itu juga secara politik. Apa arti “masuknya” sebagian negeri-negeri penghasil bahan mentah ke dalam PBE, sedangkan sebagian lagi tidak atau belum? Negeri-negeri yang tidak masuk ditempatkan di dalam kedudukan harus bersaing dengan negeri-negeri yang masuk untuk mendapatkan pasaran bagi bahan-bahan/barang-barang eskpornya berupa bahan-bahan mentah pertanian maupun pertambangan.

Dengan demikian, maka PBE bagi negeri-negeri imperialis merupakan pula sebagai pisau pemerasan yang bermata dua. Kecuali sebagai pisau pemecah-belah, ia juga merupakan pisau pemerasan ekonomi. Melalui senjata ini negeri-negeri imperialis memaksa negeri-negeri penghasil bahan-bahan mentah Asia, Afrika, Amerika Latin yang tidak tergabung pada PBE untuk memilih salah satu: atau menurunkan harga-harga agar bisa bersaing di pasaran yang berdinding tarif bersama PBE itu, atau menyerahkan diri untuk dilipat dalam PBE, yang kedua-duanya berarti kehancuran kemerdekaan dan kebebasan politik dan ekonomi negeri-negeri tersebut.

Atau – dan inilah jalan yang makin kuat menjadi tekad negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin, bahkan sampai batas tertentu ditempuh oleh negeri-negeri Persemakmuran – menempuh jalan perlawanan kolektif terhadap rencana-rencana dan tindakan-tindakan imperialisme itu.

VI

Pada masa akhir-akhir ini di negeri kita kalangan-kalangan pemerintah juga mulai berbicara secara langsung tentang arti, pengaruh, dan bahaya yang ditimbulkan oleh PBE bagi perekonomian Indonesia. Demikian juga kalangan-kalangan pengusaha partikelir.

Sudah tentu penilaian-penilaian masih berbeda-beda dalamm gradasinya. Ada yang sudah tandas menyatakan bahaya langsung yang ditimbulkan oleh PBE tersebut, ada pula yang masih setengah-setengah berpolitik burung unta atau berilusi, bahwa bahaya itu adalah bahaya yang belum langsung bagi perekonomian Indonesia. Namun, apapun gradasinya, satu hal sudah terang, yaitu bahwa perekonomian Indonesia tidak bisa tidak terkena oleh PBE yang bersifat diskriminatif dan berlatar belakang politik imperialis dan neo-kolonialis.

Jeritan Wampa Distribusi Dr. Leimena beberapa waktu yang lalu: “Ekspor atau Mati”, sekalipun bernada ekstrim namun ia menunjukkan kegelisahan resmi bukan saja atas situasi ekonomi, produksi, ekspor, dan keuangan Indonesia, tetapi juga secara langsung adalah dalam sangkut-paut bahaya PBE itu.

Hal ini sebenarnya mudah dimengerti jika kita perhatikan, bahwa hubungan ekonomi Indonesia secara “tradisional” yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan adalah dengan negeri-negeri imperialis, terutama Amerika dan Eropa Barat. Jadi justru negeri-negeri yang jadi biang keladi PBE dengan politik ekonomi pemerasan dan diskriminasi yang melawan pembangunan bebas negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Tak jauh beda dengan keadaan sebelum perang, jadi pada zaman kekuasaan kolonialisme Belanda, hubungan ekonomi Indonesia untuk 96% terikat pada negeri-negeri imperialis Amerika dan Eropa dan negeri-negeri kapitalis lainnya. Dari angka-angka resmi dapat dilihat, bahwa rata-rata setiap tahunnya ekspor Indonesia ke Amerika adalah sekitar 40%, ke Eropa Barat 35%, ke negeri-negeri kapitalis lainnya termasuk negeri-negeri Asia-Afrika kecuali RRT adalah 20%. Sedangkan impor Indonesia menunjukkan gambaran yang sama, yaitu terutama berasal dari Amerika, Eropa Barat dan negeri-negeri kapitalis lainnya untuk lebih dari 90% dengan pengecualian negeri-negeri Asia-Afrika, yang terutama merupakan negeri-negeri pengekspor Indonesia. Begitulah Eropa Barat bahan-bahan mentah yang sama dengan saja meliputi tidak kurang dari sekitar 47% dan Amerika Serikat dan Jepang masing-masing sekitar 20%.

Jika di sini diperhitungkan tersangkutnya ekspor Indonesia karena politik PBE dari sudut barang-barang ekspornya, maka baik dikemukakan, bahwa di antaranya yang terkena adalah tembakau, yang rata-rata setahunnya diekspor oleh Indonesia sebanyak kurang lebih 200.000 bal, dari mana 175.000 bal adalah bertujuan negeri-negeri PBE dan sisanya negeri-negeri luar PBE. Sementara orang di Indonesia berpendapat, bahwa di bidang ini Indonesia mungkin tidak akan segera terkena pengaruh politik PBE. Pertama karena, demikian alasan orang-orang itu, saingan dari negeri-negeri penghasil tembakau lainnya yang masuk “tergabung” dalam PBE tidak kuat, dan kedua karena adanya “pelunakan” atas cukai berdasarkan dinding tarif luar PBE. Ada pula orang yang mengatakan, bahwa masuknya Inggris ke dalam PBE bahkan akan menambah permintaan akan tembakau, karena dengan masuknya Inggris itu akan harus juga dinding tarif yang tinggi terhadap tembakau yang hingga kini berlaku di Inggris.

Dilihat secara sepihak harapan di atas ini mungkin dapat ditoleransi, tetapi pengalaman mengenai pasaran tembakau, yang memaksa ekspor Indonesia selama ini menyesuaikan diri pada pasaran Barat, sudah mengandung peringatan seperti yang berlaku di bidang-bidang lain, yaitu bahwa pada pokoknya yang berlaku adalah kekuasaan monopoli yang juga menjalankan politik harga monopoli yang tentu saja tidak ditujukan untuk menguntungkan negeri-negeri penghasil, tetapi untuk menambah laba negeri-negeri imperialis yang membeli tembakau itu. Bagi eskpor Indonesia, ini berarti kl. Rp 500 juta (harga f.o.b.) ditambah tembakau rakyat juga sebanyak kl. Rp 500 juta lagi, jadi kl. Rp 1 miliar.

Barang ekspor Indonesia yang juga pasti akan terkena adalah teh yang setahun diekspor di sekitar 35.000 ton, dengan nilai kl. Rp 900 juta. Juga pasaran teh Indonesia ini terutama adalah Eropa Barat (dan Inggris), yang berdasarkan politik PBE menentukan bea sebanyak 18% sebagai target-duty. Padahal yang sekarang berlaku hanyalah antara 0% (Benelux) dan kl. 5% di Inggris (di Inggris setiap pond dikenakan 2 penny).

Juga kopi Indonesia akan terkena, karena untuk bahan ini dinding tarif luar PBE ditetapkan 16%, sedangkan tadinya ekspor kopi yang terbesar, yaitu Benelux, adalah bebas tarif. Kepentingan ekspor Indonesia yang tersangkut di sini meliputi jumlah nilai sekitar Rp 600 juta setahunnya, untuk ekspor sebanyak kl. 35.000 ton. Dalam hal ini, seperti juga halnya dengan teh, secara pasti saingan Indonesia ada.

Sailan dan India, anggota Persemakmuran Inggris, adalah produsen-produsen utama dari teh, dan seandainya Inggris masuk PBE maka terhadap teh Indonesia akan dikenakan dua halangan: a) tarif luar sebanyak 16%, dan b) saingan dari negeri-negeri penghasil teh lainnya yang masuk PBE berdasar sistem preferensi impor PBE. Di lain pihak harus diingat kemungkinan diperpanjangnya hubungan istimewa antara Inggris dengan negeri-negeri Persemakmuran (dengan segala sistem Preferensi imperialnya). Dalam hal kopi Indonesia terang harus menghadapi saingan dari negeri-negeri Afrika penghasil kopi yang “tergabung” pada PBE, disamping kenaikan tarif di Inggris (jika Inggris masuk PBE) dari 10% menjadi 16% seperti ditentukan oleh target-duty yang berlaku di PBE.

Beberapa barang ekspor Indonesia lainnya seperti Manioc (tepung gaplek) dan minyak sawit, kayu, dan lain-lain tidak pula lepas dari ancaman politik diskriminasi PBE itu. Jika sampai akhir tahun yang lalu, 1961, masuknya Manioc di pasaran Eropa tidak dikenakan bea, maka sekarang beanya adalah 15%. Juga untuk minyak sawit, yang mengenai sekitar Rp 800 juta dari nilai ekspor Indonesia setahunnya mengalami hal yang sama, yaitu dikenakannya bea 9% untuk negeri-negeri ketiga (tarif luar) sedangkan 0% untuk anggota-anggota tergabung PBE. Negeri-negeri Afrika yang “tergabung” adalah penghasil minyak sawit pula. Terhadap kayu dikenakan bea sebesar 5-10% yang akan menyulitkan ekspor Indonesia ke negeri-negeri Eropa. Masih bisa disebutkan lagi bahan-bahan lain yang terkena seperti kopra, pala, kacang tanah, kapuk, coklat, dan beberapa lagi jenis barang ekspor Indonesia.

Jadi jelaslah betapa PBE itu merupakan ancaman bagi sesuatu negeri yang menggabung yang berarti menyerahkan kedaulatannya pada gabungan imperialis tersebut.

*

Lazimnya orang hanya membatasi diri pada pandangan mengenai bahan-bahan ekspor di atas ini jika berbicara mengenai bahaya-bahaya PBE. Hal ini sudah tentu tidak demikian halnya. Barang-barang di atas ini kurang lebih hanya merupakan 15% dari seluruh nilai ekspor Indonesia, yaitu kurang lebih Rp 5.000 juta dari jumlah nilai seluruhnya sebanyak Rp 32.500 juta jika diambil tahun 1961. Dari yang 15% itu, yang langsung tersangkut dengan pasaran Eropa adalah kl. 75% atau Rp 3.600 juta.

Bagi Indonesia ekspor bahan-bahan di atas mempunyai arti yang penting, tapi bukan yang terpenting jika diingat, bahwa selama ini ekspor Indonesia lebih tergantung pada ekspor dua-tiga macam bahan mentah lainnya, yaitu seperti minyak bumi, karet, dan timah. Ekspor minyak bumi meliputi penghasilan di sekitar Rp 10.000 juta untuk tahun 1961, timah kurang lebih Rp 1.500 juta dan karet bahkan sekitar Rp 14.000 juta.

Ciri yang terpenting ialah bahwa, sekalipun tidak tersangkut secara langsung, ketentuan harga bagi bahan-bahan ekspor kita senantiasa adalah sejalan dengan politik umum imperialisme di bidang ekonomi dan keuangan.

Kalau diambil harga karet misalnya, maka akan terlihatlah bahwa jika pada bulan Juli 1959 harga karet alam di pasaran Barat ditentukan 44 $-sen per pond, maka pada bulan Juni 1962 harga itu telah merosot menjadi 26 $-sen per pond.

Mengenai timah dapat dilihat bahwa pada tahun 1961 harga timah di pasaran dunia dari £ 980 per ton telah jatuh menjadi £ 860 per ton dan pada waktu sekarang dikhawatirkan akan jatuh lagi sampai di bawah £ 800 per ton. Sumber daripada kemerosotan harga timah ini ialah manipulasi harga yang dilakukan oleh AS dengan melemparkan jatah-jatah yang berjumlah besar dari persediaannya (stock piling) ke pasaran pada saat-saat yang dianggapnya tepat. Dengan demikian harga menjadi jatuh dan ia mulai memainkan peranan tengkulakan dan pemerasan terhadap negeri-negeri penghasil timah lainnya. Jika diperhitungkan bahwa ekspor timah Indonesia pada setiap tahunnya adalah sekitar 25-30 ribu ton (tahun 1960 = 34.775 ton dan tahun 1961 = 23.788 ton) maka dapatlah dibayangkan berapa kerugian yang diakibatkan oleh manipulasi harga oleh monopoli-monopoli imperialis itu. Yaitu tidak kurang dari kurang lebih £ 2,5 juta dengan kejatuhan sebanyak £ 100 per tonnya.

Mengenai harga karet, salah satu faktor yang digunakan oleh negeri-negeri Barat untuk memaksa penurunan harga pasaran dunia adalah produksi karet sintetis. Kalau selama ini AS merupakan negeri satu-satunya yang menjadi produsen besar dari karet sintetis, maka pada tahun 1960 negeri-negeri PBE juga menghasilkan karet sintetis sebanyak 150 ribu ton dan untuk tahun 1963 direncanakan produksi sebanyak 370.000 ton.

Diambil secara negeri demi negeri, maka Perancis misalnya pada tahun 1957 menggunakan 185.000 ton karet. Dari jumlah ini kurang lebih 28%, yaitu 50.000 ton, adalah karet sintetis. Pada tahun 1960 penggunaan seluruhnya adalah sebanyak 218.000 ton dan dari jumlah ini 90.000 ton adalah karet sintetis, atau 40% dari konsumsi totalnya.

Situasi yang demikian itu sudah tentu menimbulkan banyak akibat bagi Indonesia sebagai salah satu penghasil besar dari karet alam, yaitu dengan ekspor yang berjumlah kurang lebih 700.000 ton setahun (tahun 1961 = 677.213 ton).

Dalam hubungan dengan PBE, maka pengaruhnya akan lebih terasa jika diingat bahwa negeri-negeri seperti Malaya dan Sailan (anggota-anggota Persemakmuran) adalah penghasil besar pula dari karet alam.

*

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PBE dan seluruh kerangka politik, ekonomi, dan keuangan serta motif-motif politiknya tak lain tak bukan ialah suatu alat strategis dan politik dari imperialisme terhadap negeri-negeri yang baru merdeka dan sedang membangun ekonomi serta kehidupan sosialnya yang bebas. Dengan bantuan politik “integrasi” itu, imperialisme menyatukan diri bukan saja dalam usaha untuk mempertahankan hak-hak istimewanya yang lama sebagai negeri-negeri kolonisator, melainkan juga untuk memperoleh hak-hak istimewa baru dengan cara-cara yang diberi baju baru, melalui suatu komplotan dan eksploitasi bersama terhadap negeri-negeri yang baru merdeka. Itulah sebabnya PBE ini tidak lain daripada hanya bentuk baru saja dari kolonialisme kolektif, neo-kolonialisme sebagaimana sudah dicanangkan oleh kekuatan-kekuatan progresif sedunia.

Karena itu pula, hakekatnya tetap sama, yaitu tidak beda dari motif-motif dan tujuan-tujuan kolonialisme dan imperialisme “bentuk lama”: menjadikan negeri-negeri lain daerah sumber bahan mentah, daerah pasaran barang jadi, daerah tenaga murah, dan daerah penanaman modal imperialis.

Sampai sejauh mana imperialisme akan berhasil dalam melakukan usahanya ini, sudah tentu tidak tergantung pada keinginan imperialisme itu saja. Waktunya sudah lewat dimana imperialisme bisa berbuat sesuka hatinya. Adanya kubu sosialis, adanya sistem sosialis dunia yang mengungguli sistem kapitalis, adanya negeri-negeri yang baru merdeka, pendeknya adanya “the new emerging forces” adalah kekuatan raksasa yang dewasa ini turut menentukan perkembangan dan nasib dunia.

Dari pembicaraan di dalam sidang lengkap GATY di Jenewa pada permulaan bulan November misalnya saja, dapat dilihat perlawanan dan tuntutan yang tegas dari negeri-negeri di luar PBE terhadap segala macam diskriminasi dan perbentengan-perbentengan buatan yang menghalang-halangi lalu lintas ekonomi secara wajar, yang bersifat pemerasan dan merugikan negeri-negeri lain sebagaimana diakibatkan dan dikerjakan terus oleh PBE. Program yang diajukan oleh negeri-negeri yang sedang membangun seperti Indonesia, Argentina, Sailan, Birma, Kuba, dan beberapa negeri lainnya agar dihapuskan segala pembatasan perdagangan baik dalam ujud dinding-dinding tarif maupun kuota, adalah mewakili kepentingan-kepentingan daripada “the new emerging forces”.

Juga kesimpulan-kesimpulan seminar ekonomi Asia-Afrika di Kolombo, yang dilangsungkan dari 25 Oktober hingga 4 November 1962 telah lebih menegaskan lagi posisi yang diambil oleh negeri-negeri “the new emerging forces” terhadap usaha-usaha imperialisme yang hendak menggerowoti dan kemudian menaklukkan negeri-negeri yang baru merdeka. Seminar menyimpulkan bahwa cara menghadapi bahaya PBE dan politik ekonomi imperialis pada umumnya bukanlah dengan mencari jalan-jalan kompromi, seperti mencari-cari fasilitas-fasilitas tertentu, memperdagangkan prioritas-prioritas tertentu, atau mencari belas kasihan, atau memanggil-manggil pada “hubungan tradisional” yang ada dengan negeri-negeri imperialis, melainkan dengan jalan menghabisi sisa-sisa kekuasaan imperialisme dalam ekonomi negeri-negeri yang baru merdeka, menyatukan diri lebih erat lagi dalam persatuan “the new emerging forces” melawan masuknya kekuasaan imperialisme dalam bentuknya yang lama maupun yang baru, yang terang-terangan dalam bentuk penguasaan fisik dan investasi modal maupun yang diselubungi dalam bentuk “bantuan”, “kerjasama”, dan sebagainya, pendeknya: menolak eskpor modal imperialis.

Selanjutnya ditempuhnya jalan kerjasama ekonomi antara negeri-negeri yang baru merdeka dan sedang berkembang merupakan pula jawaban yang tepat untuk menghadapi politik pemerasan dari negeri-negeri imperialisme dan untuk menghapuskan ketergantungan pada dunia imperialis. Kerjasama ini bukan saja berarti diperlancarnya dan diperhebatnya lalu lintas ekonomi antara negeri-negeri yang bersangkutan untuk saling bantu dalam usaha-usaha pembangunan, untuk membangun persediaan bahan-bahan ekspor dalam suatu pool hingga dapat menghadapi pasaran yang dimonopoli imperialis, tetapi juga untuk bersamaan dengan itu mengubah orientasi, hubungan ekonomi dari dunia kapitalis ke negeri-negeri sosialis.

Hanya dengan mengambil posisi langsung dalam suatu persatuan yang kokoh dari “the new emerging forces” melawan imperialisme, barulah dapat dipatahkan kekuasaan imperialisme itu, baik ia merupakan suatu gabungan monopoli-monopoli imperialis antar-negara maupun merupakan neo-kolonialisme dengan segala selubungnya.