Sosialisme Hari Ini

dan Hari Esok Bangsa-bangsa

Depagitprop CC PKI


Sumber: Sosialisme Hari Ini dan Hari Esok Bangsa-Bangsa

Penerbit: Pustaka Marxis 1 , Depagitprop CCPKI, Jakarta 1963.


Krisis Umum Kapitalisme dan Garis-garis Pokok Pembangunan Ekonomi Nasional Indonesia

Suhardjo

Krisis demi krisis telah memberikan pukulan-pukulan yang menghancurkan kepada sistem kapitalis dunia. Dan terutama sekali dalam periode terakhir ini, di bawah gelombang pasang Sosialisme yang terus menaik, di bawah kebangkitan gerakan-gerakan nasional yang tiada bandingannya dalam sejarah dan perkembangan yang terus-menerus dari gerakan kelas buruh di dalam batas-batas benteng dunia kapitalis itu sendiri, sistem kapitalis dunia benar-benar telah terjerumus ke dalam kekacauan dari suatu tingkat baru krisis umumnya.

Tidak kurang daripada Presiden Kennedy sendiri yang terpaksa mengakui goyahnya kedudukan ekonomi AS, benteng dunia kapitalis itu, dengan mengatakan dalam tahun 1961: “Keadaan ekonomi kita dewasa ini adalah menggelisahkan. Kita memangku jabatan di belakang jejak-jejak daripada 7 bulan resesi, 3½ tahun kekendoran ekonomi, 7 tahun pertumbuhan ekonomi yang susut dan 9 tahun kemerosotan penghasilan pertanian. Singkatnya, ekonomi Amerika Serikat sedang dalam kesukaran”.

Untuk memperoleh gambaran lebih lanjut tentang pengakuan ini, di sini dapat dikemukakan bahwa di AS terdapat barisan penganggur yang terus bertambah hingga jumlah rata-rata 5 juta orang dalam bulan pertama tahun yang lalu, sedangkan menurut majalah “US News and World Report” bulan Januari 1962 ada 7½ juta orang yang hidup dari bantuan. Dewasa ini hanya 76% saja dari kapasitas produksi AS yang dapat dipergunakan, dan selama 3 tahun yang lewat ini defisit-defisit AS dalam pembayaran internasional berjumlah sampai 10.000 juta dolar.

Sangat ketakutan dan bingung setengah mati terbenam di dalam pusaran krisis-krisis yang tak teratasi, kaum monopoli mencari jalan-jalan dan cara-cara dalam usaha mereka untuk menjamin laba-laba besar mereka dan untuk mencoba menunda keruntuhan mereka.

Demikianlah, kalau sebelum krisis umum kapitalisme, kaum monopolis, yang pada waktu itu masih memiliki kestabilan yang cukup, dapat berkuasa sedikit-banyak tanpa ikut sertanya negara, tetapi dengan timbulnya krisis umum maka menjadi perlulah bagi mereka untuk mempertautkan kekuasaan mereka erat-erat dengan kekuasaan negara, yang pada hakekatnya berarti pengawasan dan penguasaan aparat negara secara langsung oleh kaum monolis untuk menjamin kekuasaan mereka.

Sudah dengan sendirinya bahwa untuk menegakkan dan menjamin bekerjanya aparat serupa itu perlulah bagi kaum monopolis untuk menduduki jabatan-jabatan yang paling vital, jika tidak semua jabatan dari kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga negara lainnya. Demikianlah, Charles Wilson misalnya, yang menjadi Menteri Penerangan selama 1952-1957 adalah juga Presiden General Motors dan salah seorang jutawan dari grup monopoli Dupont. Tak lama sesudah memangku jabatan, ia berhasil mengusahakan supaya negara memesan tank-tank dan alat-alat perang lainnya sampai seharga 4000 juta dolar kepada General Motors. Penggantian Charles Wilson oleh Mac Elroy hanyalah berarti penggeseran keuntungan untuk monopoli yang lain, yakni Morgan. Dalam bulan Januari 1958 saja, sebuah kontrak telah dicapai mengenai pengiriman peluru-peluru kendali Jupiter dan Redstone, masing-masing seharga 80 dan 22 juta dolar, oleh Kongsi Chrysler milik Morgan, yang direkrutnya adalah tuan Mac Elroy sendiri. Dan sudah barang tentu kita tidak boleh lupa pula untuk menyebut di sini mendiang Menteri Luar Negeri John Foster Dulles, kesayangan Rockefeller dan Morgan, yang terkenal dengan politik “brink of war”-nya (“tepi jurang perang”) yang jahat itu yang dijalankannya untuk kepentingan-kepentingan majikannya.

Bagaimana kekuasaan kapitalisme monopoli semacam itu mempengaruhi kehidupan dan perjuangan rakyat pekerja, cukuplah di sini disebut antara lain Undang-Undang Taft-Hartley, yang mengebiri hak-hak kaum buruh untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka, Undang-Undang McCarren, dan apa yang dinamakan Komisi “Kegiatan-kegiatan anti-Amerika” yang menempatkan Partai Komunis AS di luar hukum sampai kepada pelarangan setiap pemberitaan mengenai hari lahir Paul Robeson.

Perserikatan monopoli-monopoli negara seperti Pasaran Bersama Eropa, Daerah Dagang Bebas Eropa, dan sebangsanya dipropagandakan oleh kaum monopoli sebagai sesuatu yang melayani kesejahteraan masyarakat. Tetapi dalam kenyataannya ia hanya melayani kesejahteraan monopoli-monopoli itu sendiri dan mengakibatkan kerugian-kerugian besar bagi rakyat pekerja serta memukul ekonomi-ekonomi negeri-negeri yang belum maju, disamping merupakan gelanggang percekcokan di antara kaum imperialis itu sendiri yang timbul dari kontradiksi-kontradiksi intern kubu kapitalis.

Seperti diketahui, salah satu aspek daripada bea masuk dan keluar yang diadakan oleh Pasaran Bersama Eropa ialah bahwa ia mempunyai fungsi sebagai tongkat untuk memukul jatuh harga-harga bahan mentah. Karena kegiatan-kegiatan ekonomi Indonesia pada pokoknya masih didasarkan pada ekspor bahan mentah, maka setiap penurunan dalam volume atau nilai ekspor bahan mentah Indonesia membawa akibat yang buruk pada semua sektor vital dan penting dari ekonomi Indonesia.

Disebabkan antara lain oleh turunnya ekspor, maka impor bahan bakar dan bahan-bahan yang sangat diperlukan untuk keperluan produksi dalam negeri mengalami kemerosotan yang serius. Menurut angka-angka statistik, Indonesia dalam tahun 1959 mempunyai 3,2 juta ton bahan bakar dan bahan-bahan, tetapi dalam tahun 1961 sampai bulan Mei saja jumlah tersebut telah turun sampai 1,2 juta ton. Dalam tahun 1962 ini diperkirakan bahwa impor bahan bakar dan bahan-bahan hanya akan dapat mencapai 30% dari kebutuhan mutlak bagi keperluan produksi dalam negeri. Jadi, kapasitas produksi akan lebih rendah daripada 40%, sehingga menyebabkan ditutupnya lebih banyak perusahaan-perusahaan nasional, yang pada gilirannya menyebabkan bertambah banyaknya pengangguran dalam negeri.

Ciri lainnya daripada politik imperialisme dewasa ini ialah manipulasi mereka mengenai harga-harga internasional daripada bahan-bahan mentah. Sebagai diketahui, AS mempunyai tumpukan persediaan segala macam barang dagangan yang sangat besar dengan nilai hampir seharga 100.000 juta dolar pada permulaan tahun 1962. Tujuh puluh persen daripada bahan strategis yang ditumpuk itu, yang terdiri dari karet, timah, nikel, tembaga, aluminium, dan lain-lain tidak diperlukan untuk produksi apapun dalam masa datang yang dekat ini. Tetapi ia hanya dipergunakan oleh spekulan-spekulan monopoli besar untuk memukul ekonomi yang masih lemah dari negeri-negeri yang belum maju penghasil bahan mentah dengan “melepaskan” sebagian barang-barang mereka yang ditumpuk itu ke dalam pasaran bebas. Demikianlah, suatu “pelepasan” semacam itu oleh AS mengenai karet sebanyak 470.000 ton dan oleh Inggris sebanyak 100.000 ton telah menyebabkan jatuhnya harga karet sebanyak 16 sen dolar selama periode antara Juli 1960 dan Juli 1961. Dan kejatuhan sebanyak 1 sen dolar dalam harga karet berarti suatu kerugian sebanyak 15 juta dolar bagi Indonesia, menurut perkiraan Menteri Luar Negeri Indonesia. Jadi teranglah bahwa manipulasi yang tak kenal malu dari kaum monopolis besar itu telah menyebabkan Indonesia menderita kerugian sebanyak 16 X 15 juta dolar atau 240 juta dolar dalam masa satu tahun saja – suatu jumlah uang yang cukup untuk pembiayaan selama 4 tahun dari Plan Pembangunan 8 Tahun Indonesia.

Akal bulus lainnya lagi dari imperialisme dewasa ini untuk mempertahankan dominasi mereka ialah gembar-gembor mereka tentang apa yang dinamakan program “makanan untuk perdamaian”, program “bantuan ekonomi”, program “persekutuan untuk kemajuan” dan lain-lain sebagainya.

Kaum monopolis boleh memuji-mujinya setinggi langit sebagai salah satu jasa terbesar dari kapitalisme dalam memberikan bantuan kepada umat manusia yang menderita, tetapi sebenarnya ia tidak lebih daripada suatu tipe daripada neo-kolonialisme.

AS misalnya, disebabkan oleh krisis kelebihan produksi dalam sektor pertanian, mempunyai surplus hasil-hasil pertanian seharga 10.000 juta dolar dalam tahun 1961. Di bawah kedok program “makanan untuk perdamaian” dan sebangsanya, AS membagi-bagikan pinjaman-pinjaman dan “bantuan-bantuan” kepada negeri-negeri yang belum maju dalam bentuk surplus-surplus ini, guna mengatasi krisis kelebihan produksi pertaniannya dan bersamaan dengan itu juga untuk memperkuat penetrasinya ke dalam negeri-negeri ini secara ekonomi dan politik.

Neo-kolonialisme telah menjadi salah satu ciri daripada politik imperialisme dewasa ini sesudah Perang Dunia II, dimana kruntuhan kolonialisme sedang menjadi lebih dahsyat dan dimana perimbangan kekuatan antara kapitalisme dan Sosialisme secara internasional sedang berubah ke arah yang lebih menguntungkan Sosialisme.

Itulah sebabnya mengapa “suatu hubungan kerjasama baru”, sebagai dikemukakan oleh Presiden Kennedy, harus dibentuk antara negeri-negeri Barat dengan negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Akan tetapi sampai di mana batasnya “kerjasama” tuan Kennedy ini, orang akan dapat menilainya, misalnya dari “bantuan ekonomi” sejumlah 7,25 juta dolar kepada Haiti di Amerika Latin, yang sebenarnya tidak lain daripada suatu usaha untuk membantu rezim diktatorial dari Duvalier yang sudah goyah itu untuk terus menindas gerakan-gerakan Rakyat Haiti, untuk melapangkan jalan bagi pengambilalihan industri, impor dan ekspor, transport kapal dan udara Haiti oleh kapital AS, dan untuk memperoleh persetujuan diktator Duvalier bagi pembangunan landasan-landasan peluncuran roket AS di wilayah Haiti yang terutama ditujukan terhadap Uni Soviet dan negeri-negeri Sosialis lainnya, – semuanya ini bukan untuk kebaikan nasion-nasion Amerika Latin, tetapi sepenuhnya untuk keuntungan suatu grup kaum imperialis.

Oleh karena itu bukannya tidak beralasan, jika Politbiro Partai kita dalam statamentnya baru-baru ini, ketika membicarakan perkembangan terakhir daripada perjuangan pembebasan Irian Barat, telah sekali lagi memperingatkan Rakyat Indonesia untuk waspada sekali terhadap neo-kolonialisme.

Menurut “The Delhi Times” terbitan bulan September 1959, Amerika Serikat telah memberikan persetujuannya kepada Nederland untuk memberikan sejumlah kurang lebih 4 juta dolar guna menyelesaikan beberapa proyek strategis di Irian Barat. Di samping itu, kapital Amerika juga telah melakukan infiltrasi ke Irian Barat, misalnya dengan mendirikan sebuah maskapai besar yang berserikat dengan trust Amerika “United Steel”, “Nederlandse Handels Maatschappij” dan lain-lain untuk merampok kekayaan pelikan Irian Barat yang tidak terkirakan itu, seperti uranium, batubara, nikel, minyak, krom, tembaga, emas, timah, dan lain-lain.

Dalam pada itu tidak boleh kita lupakan bahwa antara lain bumi Irian Barat pernah dalam tahun 1958 digunakan oleh elemen-elemen imperialis asing dan kaum reaksi dalam negeri untuk mengatur petunjuk-petunjuk mereka dan supply bagi pemberontakan reaksioner terhadap Republik dan juga dapat digunakan sebagai pangkalan untuk intrik-intrik kegiatan-kegiatan subversif SEATO. Tidak kurang daripada tuan Baldwin, komentator militer dari “The New York Times”, yang sekali pernah berkata bahwa setiap keputusan politik untuk mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia akan memperlemah kedudukan militer AS di Pasifik.

Dari fakta-fakta ini saja, orang dapat mengerti bahwa AS dan Nederland masih berharap untuk tetap mempertahankan dengan sekuat tenaga kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, dan militer mereka di Irian Barat, bahkan juga sesudah penandatanganan persetujuan pada tanggal 15 Agustus tahun ini melalui segala macam tipu muslihat dan komplotan.

Oleh karena itu masalah melawan neo-kolonialisme, yang merupakan ciri lain daripada politik imperialisme dewasa ini, sekarang ini merupakan salah satu daripada tugas-tugas penting yang sedang dihadapi Rakyat Indonesia.

Di samping ciri di bidang ekonomi dan politik tersebut di atas, dalam periode akhir-akhir ini suatu ciri baru di bidang militer dari politik imperialisme juga sedang dijalankan. Yang dimaksudkan di sini bukanlah perang dalam arti yang umum, karena ini adalah setua kapitalisme itu sendiri dan yang ancamannya tetap ada selama imperialisme itu ada, terhadap mana kita harus tak boleh mengurangi kewaspadaan kita. Tetapi yang dimaksudkan di sini ialah “perang terbatas”, “perang lokal”, “perang khusus”, yang dilaksanakan oleh imperialisme sekarang di mana-mana, di Kuba, di Laos, di Vietnam Selatan, di Konggo, dan akhir-akhir ini diduga juga di Kamboja. Juga di Indonesia ketika pemberontakan reaksioner dalam tahun 1958, pernah ada usaha Amerika Serikat untuk mengganggu Indonesia di bawah dalih “melindungi warga negara dan kepentingan-kepentingan Amerika” dengan tujuan untuk menciptakan syarat-syarat bagi suatu “perang terbatas”. Akan tetapi, berkat perlawanan yang gigih dan bersatu dari Rakyat Indonesia dan berkat peringatan keras dari Uni Soviet dan kubu Sosialis serta seluruh nasion yang cinta damai, imperialisme AS mundur secara memalukan dan komplotan mereka menemui kegagalan.

Sekarang marilah kita meninjau secara singkat garis-garis pokok yang penting bagi Indonesia untuk melenyapkan watak kolonial daripada ekonominya yang dikuasai oleh imperialisme dan feodalisme.

Pertama-tama di atas segala-galanya ialah menghapuskan kekuasaan kapital monopoli asing, yang investasinya di bumi Indonesia seluruhnya diperkirakan berjumlah 1.040 juta dolar, terutama kapital Amerika Serikat dan Belanda. Bersamaan dengan itu, membebaskan ekonomi Indonesia dari cengkeraman krisis sistem kapitalis dunia dengan krisis-krisis dan ketidakstabilannya yang terus-menerus, antara lain dengan mengubah politik yang berat sebelah sekarang dari perdagangan internasional, yang lebih banyak cenderung ke Amerika Serikat dan Eropa Barat dengan nilai ekspornya yang berjumlah sampai 45% dalam tahun 1960 dibandingkan dengan hanya 8% saja dari nilai ekspor ke negeri-negeri Sosialis.

Di samping itu, sisa-sisa feodalisme harus dilikuidasi sepenuhnya. Dengan melaksanakan perubahan tanah secara tegas, maka tenaga-tenaga produktif di desa-desa akan menjadi bebas, produksi pertanian akan meningkat, daya beli kaum tani akan bertambah dan hal itu dapat merupakan dasar yang kuat bagi industrialisasi negeri secara besar-besaran untuk kesejahteraan seluruh nasion.

Pelaksanaan perubahan tanah secara tegas berarti menyita tanah-tanah tuan tanah serta membagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada kaum tani sebagai milik perseorangan mereka, disamping tidak menyita tanah-tanah dan milik-milik lainnya dari kaum tani kaya, dan berarti perlindungan negara terhadap tanah-tanah dan milik-milik lainnya dari kaum tani sedang.

Segi lain daripada perjuangan tersebut ialah memperkuat sektor ekonomi negara. Dewasa ini sektor negara meliputi praktis semua bank, perdagangan ekspor-impor, hampir semua tenaga listrik, hampir semua alat-alat transport, perkebunan sampai sejumlah 400 buah, perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang-barang dagangan yang vital bagi konsumsi dalam negeri, serta ekspor bahan-bahan seperti karet, timah, batubara, semen, tembakau, bauxiet, dan lain-lain.

Dengan memperhatikan semua ini, sebenarnya terdapat syarat-syarat yang menguntungkan bagi sektor negara untuk menempati posisi komando guna turut ambil bagian dalam perjuangan melenyapkan watak kolonial daripada ekonomi dewasa ini dan membangun suatu ekonomi nasional. Tetapi sunggupun demikian, ia ternyata belum mampu untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, memperkuat sektor negara harus berarti menempatkan orang-orang yang patriotik, cakap, jujur, dan berjiwa demokratis dalam pengurusan (management); berarti pendemokrasian pengurusan dan pengawasan yang menjamin kontrol yang efektif dari bawah dan dari atas; berarti perjuangan melawan birokrasi, pemborosan uang negara, dan korupsi; berarti penghapusan politik keuangan yang memikulkan beban yang terlalu berat bagi perusahaan-perusahaan negara, seperti mengenai impor bahan bakar dan bahan-bahan, untuk dapat menurunkan biaya produksi.

Segi lainnya ialah memobilisasi semua potensi ekonomi yang berasal dari dana-dana dan tenaga-tenaga (funds and forces) yang progresif. Ini berarti memberikan kesempatan kepada kapital perseorangan nasional untuk bergerak, terutama dan pertama-tama sekali dalam lapangan-lapangan produksi, semua cabang industri, kecuali yang vital-vital yang harus tetap berada dalam tangan negara. Bersamaan dengan itu, jutaan kaum produsen kecil yang dewasa ini memproduksi secara individual dan atas dasar-dasar yang sangat lemah, juga dapat menjadi potensi ekonomi yang perkasa jika dipersatukan dalam koperasi-koperasi.

Itulah garis-garis pokok yang terutama bagi Indonesia untuk membangun suatu ekonomi nasional yang bebas dari kekuasaan imperialis dan feodal. Sudah barang tentu, untuk dapat melaksanakan semuanya ini dengan sukses harus ada syarat-syarat politik terlebih dahulu. Syarat-syarat tersebut ialah:

  1. Adanya suatu Pemerintahan Sentral yang demokratis, anti-imperialis dan anti-feodal serta yang bercita-cita Sosialisme.
  2. Adanya persatuan nasional dari NASAKOM sebagai dasar bagi susunan semua lembaga-lembaga dan aparat negara dari atas sampai ke bawah.
  3. Adanya suatu front nasional anti-imperialis dan anti-feodal yang luas yang bertujuan Sosialisme.
  4. Adanya kebebasan-kebebasan demokratis bagi rakyat dan bukan bagi musuh-musuh rakyat.

Bersamaan dengan itu, penguatan persatuan kelas buruh internasional dan pengonsolidasian lebih lanjut dari kubu Sosialis juga adalah syarat politik yang sangat penting bagi suksesnya perjuangan melikuidasi ekonomi kolonial dan membangun ekonomi nasional yang bebas.