Kemiskinan Filsafat

Karl Marx (1847)


BAB II

METAFISIKA EKONOMI-POLITIK

1. Metode

 

Nah, di sinilah kita, tepatnya di Jerman! Sekarang kita harus berbicara metafisika selagi berbicara ekonomi politik. Dan juga di sini, kembali, kita cuma mengikuti “kontradiksi-kontradiksi” M. Proudhon. Baru saja ia memaksa kita untuk berbicara Inggris, untuk boleh dikatakan kita sendiri menjadi orang Inggris. Kini pentasnya telah berubah. M. Proudhon telah mengangkut diri kita ke tanah-air kita tercinta dan memaksa kita, suka atau tidak suka, menjadi orang Jerman kembali.

 

Jika orang Inggris mengubah orang menjadi topi, maka orang Jerman mengubash topi menjadi gagasan-gagasan. Orang Inggris itu adalah Ricardo, bankir kaya dan ahli ekonomi terhormat; orang Jerman itu adalah Hegel, profesor filsafat yang sederhana pada Universitas Berlin.

 

Louis XV, raja mutlak terakhir dan wakil dekadensi bangsawan kerajaan Perancis, telah mengikatkan pada dirinya seorang tabib yuang juga adalah ahli ekonomi pertama Perancis. Doktor ini, ahli ekonomi ini, mewakili kejayaan yang bakal datang dan pasti dari borjuasi Perancis. Doktor Quesnay telah menjadikan ekonomi politik suatu ilmu pengetahuan, ia telah meringkaskannyta dalam Tableau economique-nya yang termashur. Di samping seribu satu komentar atas tabel yang telah muncul, kita memiliki sebuah dari doktor itu sendiri,. Yaitu “analisis mengenai tabel ekonomik,” disusul dengan “tujuh pengamatan penting.”[27]

 

M. Proudhon adalah seorang Dr. Quesnay yang lain. Ia adalah Quesnaynya metafika ekonomi politik.

 

Nah, metafisika itu –yah, semua filsafat– dapat diringkaskan, menurut Hegel, dalam metode. Karenanya, kita mesti berusaha menerangkan metode M. Poudhon, yang setidak-tidaknya adalah sama berkabutnya seperti Economic Table itu. Karena itulah kita membuat tujuh buah pengamatan yang kurang-lebih penting. Jika Dr. Proudhon tidak senang dengan pengamatan-pengamatan kita, yah, sebaiknya ia menjadi saja seorang Abbe Baudeau dan sendiri “memberikan penjelasan mengenai metode ekonomiko-metafisikal” itu.[28]

 

 

 

 

Pengamatan Pertama

 

“Kita tidak memberikan suatu sejarah menurut urutannya dalam waktu, tetapi menurut urutan gagasan-gagasan. Tahapan-tahapan atau karegori-kategori ekonomi dalam manifestasi-nya kadang-kadang bersifat masa-kini, kadang-kadang bergulung ke dalam ... Teori-teori ekonomi paling tidak memiliki urutan logis mereka dan hubungan serial mereka di dalam pemahaman: adalah tatanan ini yang kita banggakan sendiri telah kita temukan.” (Proudhon, Vol.I, hal.146)

 

M. Proudhon jelas-jelas mau menakut-nakuti orang Perancis dengan menyambitkan ungkapan-ungkapan sok-Hegelian pada mereka. Maka, jadinya, kita berhadapan dengan dua orang: pertama dengan M. Proudhon, dan kemudian dengan Hegel. Bagaimana M. Proudhon membedakan dirinya sendiri dari para ahli ekonomi lainnya? Dan bagian apakah yang diperankan Hegel dalam ekonomi politik M. Proudhon? Para ahli ekonomi menjelaskan bagaimana berlangsungnya produksi dalam hubungan-hubungan tersebut di atas, tetapi yang tidak mereka jelaskan adalah bagaimana hubungan-hubungan itu sendiri telah diproduksi, yaitu, gerak historis yang melahirkan mereka itu. M. Proudhon, dengan menjadikan hubungan-hubungan itu azas-azas, kategori-kategori, pikiran-pikiran abstrak, cuma mesti menata pikiran-pikiran itu, yang dapat dijumlah secara diatur menurut abjad di bagian akhir setiap karya mengenai ekonomi politik. Bahan para ahli ekonomi itu adalah kehidupan bersemangat dan aktif manusia; material M. Proudhon adalah dogma-dogma para ahli ekonomi.Tetapi pada saat kita berhenti mengikuti gerakan historis dari hubungan-hubungan produksi itu, yang darinya kategori-kategori itu hanya ungkapan teoretikalnya, pada saat kita hendak merlihat pada kategori-kategori itu tidak lebih hanya ide-ide/gagasan-gagasan, pikiran spontan, bebas dari hubunganhubungan nyata, maka kita dipaksa untuk menjulukkan asal-usul pikiran-pikiran ini pada gerak nalar murni. Bagaimanakah nalar impersonal, abadi, murni melahirkan pikiran-pikiran ini? Bagaimana ia berproses untuk memproduksi pikiran-pikiran itu?

 

Apabila kita memiliki keberanian M. Proudhon dalam urusan Hegelianisme kita akan mengatakan: ia dibedakan pada dirinya sendiri dari dirinya sendiri. Apakah artinya ini? Nalar impersonal, yang di luar dirinya sendiri tidak mempunyai suatu landasan di atas mana ia dapat menampilkan diri, maupun bukjan sebuah obyek dengan mana ia dapat mengoposisikan dirinya, juga bukan satu subjek dengan mana ia dapat menggubah dirinya, dipaksa untuk berpaling dengan berjungkir-balik, dalam menampilkan diri sendiri, melawan diri sendiri dan menggubah diri sendiri – posisi, posisi, komposisi. Atau, berbicara Yunani – kita mempunyai tesis, antitesis dan sintesis. Bagi siapa saja yang tidak mengenal bahasa Hegelian, kita akan memberikan rumusan pentahbisan: -afirmasi/penegasan, negasi dan negasi dari negasi. Itulah artinya bahasa itu. Ini jelas bukan Hebrew (dengan permaafan semesti pada M. Proudhon); tetapi itulah bahasa dari nalar murni ini, terpisah dari yang individual. Gantinya individu biasa dengan cara bicara dan berpikirnya yang biasa pula, kita cuma ada cara biasa pada dirinya sendiri itu saja – tanpa yang individual itu.

 

Adakah mengejutkan bahwa segala sesuatu, pada abstraksi akhirnya – karena di sini kita menghadapi sebuah abstraksi, dan bukan sebuah analisis – menyajikan diri sendiri sebagai sebuah kategori logis? Adakah mengejutkan, bahwa, apabila anda meneteskan sedikit-demi-sedikit semua yang merupakan individualitas sebuah rumah, terlebih dulu dengan mengecualikan semua bahan yang menggubahnya, kemudian bentuk yang membedakannya, anda akan –pada akhirnya– hanya mempunyai sebuah tubuh; bahwa, apabila anda tidak ikut memperhitungkan batas-batas tubuh ini, anda segera akan tidak mempunyai apa-apa kecuali suatu ruang – yang apabila, akhirnya, anda tidak ikut memperhitungkan dimensi-dimensi ruang ini, maka sama sekali tidak ada yang tersisa kecuali kuantitas semurninya, kategori logis

 

itu? Jadi, kalau secara demikian kita mengabstraksi dari setiap subjek semua aksiden yang didalihkan, baik yang hidup ataupun yang tidak hidup, manusia ataupun barang, kita benar jika mengatakan bahwa pada abstraksi finalnya, satu-satunya substansi yang tertingga; adalah kategori-kategori logis itu. Demikianlah, para ahli metafisika itu, yang, dalam membuat abstraksi-abstraksi ini, berpikir bahwa mereka sedang membuat analisa, dan yang, semakin mereka menlepaskan diri mereka dari benda-benda, membayangkan diri mereka semakin mendekati titip menyusup ke dalam hakekat mereka – para ahli metafisika ini pada gilirannya benar dengan mengatakan bahwa segala sesuatu di bawah (langit) sini adalah bordiran-bordiran yang darinya kategori-kategori logis itu merupakan kanvasnya. Inilah yang membedakan sang filsuf dari yang Kristiani. Yang Kristiani, walaupun logika, cuma mempunyai satu inkarnasi dari Logos; sang filsuf tidak pernah selesai dengan inkarnasi-inkarnasi. Apabila segala yang berada, semua yuang hidup di atas tanah dan di bawah air dapat direduksi lewat abstraksi menjadi satu kategori logis – jika seluruh dunia nyata dapat dengan demikian ditenggelamkan dalam suatu dunia abstraksi-abstraksi, dalam dunia kategori-kategori logis—siapa yang perlu tercengang-cengang?

 

Segala yang berada, segala yang hidup di atass tanah dan di bawah air, berada dan hidup hanya oleh karena sejenis gerak. Demikianlah gerak sejarah menghasilkan hubungan-hubungan sosial; gerak industrial memberikan pada kita produk-produk industrial, dsb.

 

Tepat sebagaimana berkat abstraksi telah kita transformasikan segala sesuatu menjadi satu kategori logis, demikian pula orang Cuma harus membuat sebuah abstraksi dari setiap karakteristik yang berbeda dari berbagai gerak untuk mencapai gerak dalam kondisi abstraknya – gerak yang semurni-murninya formal, perumusan yang semurni-murninya logis dari gerak. Apabila seseorang menemukan pada kategori-kategori logis itu substansi dari segala sesuatu, maka orang itu membayangkan bahwa dirinya telah menemukan perumusan logis dari gerak itu metode mutlak, yang tidak hanya menjelaskan segala sesuatu, melainkan juga berarti gerak segala sesuatu.

 

Adalah tentang metode mutlak ini Hegel berkata dalam pengertian pengertian berikut: Metode adalah kekuatan yang mutlak, tiada duanya (unik), tertinggi, tak-terhingga, yang tidak dapat dilawan oleh obyek apapun juga; adalah kecenderungan nalar untuk mendapatkan dirinya kembali, mengenal dirinya sendiri dalam setiap obyek. (Logic, Vol.III.)[29] Segala sesuatu dikembalikan pada sebuah kategori logis, dan setiap gerak, setiap tindcakan produksi, pada metode, maka sudah wajarlah bahwa setiap kumpulan/jumlah produk dan produksi, setiap kumpulan/jumlah obyek dan gerak, dapat direduksi pada suatu bentuk metafisika tetapan. Yang telah dilakukan Hegel bagi agama, hukum dsb., coba diusahakan M. Proudhon bagi ekonomi politik.

 

Jadi, apakah metode mutlak ini? Yalah abstraksinya gerak. Apakah abstaksinya gerak itu? Yalah gerak dalam kondisi abstrak. Apakah gerak dalam kondisi abstrak itu? Ialah perumusan logis semurninya dari gerak atau gerak nalar semurninya. Terdiri atas apakah gerak nalar semurninya itu? Dalam memajukan diri sendiri, dalam melawan diri sendiri, dalam menggubah diri sendiri; dalam merumuskan dirinya sendiri sebagai tesis, antitesis, sintesis; atau lagi-lagi, dalam mengafirmasi/menegaskan diri sendiri, menegasi diri sendiri dan menegasi negasinya.

 

Bagaimana nalar bisa berhasil menegaskan diri sendiri, memajukan diri sendiri dalam suatu kategori tertentu? Itu adalah surusannya nalar sendiri dan urusan para apologisnya.

 

Tetapi sekali ia berhasil memajukan diri sendiri sebagai sebuahg tesis, tesis ini, pikiran ini, berlawanan dengan dirinya sendiri, pecah menjadi dua pikiran kontradiktori – yang positif dan yang negatif, yang ya dan yang tidak. Perjuangan antara kedua unsur antagonistik yang tercakup di dalam antitesis ini merupakan gerak dialektikal itu. Yang ya menjadi tidak, yang tidak menjadi ya, yang ya menjadi ya dan tidak sekaligus, yang tidak menjadi tidak dan ya sekaligus, yang berlawanan itu imbang, menetralisasi, melumpuhkan satu sama lainnya. Menyatunya kedua pikiran kontradiktori ini membentuk suatu pikiran baru, yang adalah sintesis mereka. Pikiran ini kembali pecah menjadi dua pikiran kontradiktori, yang pada gilirannya menyatu dalam sebuah sintesis baru. Dari proses ini lahirlah sekelompok pikiran. Kelompok pikiran ini mengikuti gerak dialektikal yang sama sebagai kategori sederhana dan mempunyai suatu kelompok kontradiktori sebagai aantitesis. Dari kedua keloimpok pikiran ini lahirlah sekelompok pikiran baru, yang adalah sintesis mereka.

 

Tepat sebagaimana dari gerak dialektif kategori-kategori sederhana lahir kelompok itu, begitu pula dari gerak dialektik kelompok-kelompok itu lahirnya rangkaian (series), dan dari gerak dialektik rangkaian-rangkaian itu lahirlah keseluruhan sistem itu.

 

Terapkan metode ini pada kategori-kategori ekonomi politik, dan anda mendapatkan logika dan metafisika ekonomi politik, atau, dalam katakata lain, anda mendapatkan kategori-kategori ekonomi yang diketahui setiap orang, diterjemahkan ke dalam bahasa yang dikenal terbatas yang menjadikannya tampak seakan-akan mereka telah baru saja merekah dalam suatu intelekt nalar semurninya; begitu rupa kategori-kategori ini sepertinya saling melahirkan satu sama lainnya, untuk dikaitkan dan dijalinkan satu sama lainnya, oleh kerja gerak dialektik itu sendiri. Para pembaca jangan terkejut pada metafisika itu, dengan segala penopang kategori-kategori, kelompok-kelompok, rangkaian-rangkaian dan sistem-sistem mereka itu. M. Proudhon, dengan segala kerepotan yang mesti dilaluinya dengan mengskalakan ketinggian-ketinggian “sistem kontradiksi-kontradiksi” itu, tidak pernah mampu mengangkat dirinya sendiri di atas dua anak tangga pertama dari tesis dan antitesis sederhana itu; dan bahkan ini (kedua anak tangga) hanya dinaikinya dua kali, dan pada satu dari kedua peristiwa itu ia telah jatuh terjengkang kebelakang.

 

Hingga kini, yang telah kita uraikan hanyalah dialektika Hegel. Kita akan melihat kemudian bagaimana M. Proudhon telah berhasil dalam mereduksinya hingga proporsi-proporsi yang paling kerdil. Demikianlah, bagi Hegel, segala yang telah terjadi dan masih terjadi hanyalah yang sedang terjadi di dalam pikirannya sendiri. Demikianlah filsafat sejarah tidak bukan dan lain hanyalah sejarah dari filsafat, sejarah dari filsafatnya sendiri. Tidak ada lagi suatu “sejarah menurut urutan dalam waktu,” yang ada hanyalah “urutan ide-ide di dalam pemahaman.” Ia mengira sedang membangun dunia dengan gerak pikiran, sedangkan ia (sebenarnya) Cuma merekonstruksi secara sistematikal dan mengklasifikasikan dengan metode mutlak pikiran-pikiran yang ada dalam pikiran semua (orang).

 

Pengamatan Kedua

 

Kategori-kategori ekonomi hanyalah ungkapan-ungkapan teoretikal, abstraksi-abstraksi dari hubungan-hubungan sosial dari produksi. M. Proudhon yang menjungkir-balikkan segala sesuatu bagaikan seorang filsuf sejati, tidak melihat apapun dalam hubungan-hubungan actual itu kecuali inkarnasi azas-azas ini, dari kategori-kategori ini, yang sedang ternyenyak –demikianlah M. Proudhon sang filsuf memberitahukan pada kita– dalam lubuk “nalar umat-manusia yang impersonal.”

 

M. Proudhon, sang ahli ekonomi, sangat mengerti dengan baik bahwa orang membuat kain, bahan lenan atau sutera dalam hubungan-hubungan produksi tertentu. Tetapi yang tidak dipahaminya adalah, bahwa hubungan-hubungan sosial tertentu ini adalah sepenuhnya sama diproduksi oleh manusia seperti halnya lenan, rami,dsb. Hubungan-hubungan sosial sangat erat hubungannya dengan tenaga-tenaga produktif. Dalam memperoleh tenaga-tenaga produktif baru manusia mengubah cara produksi mereka; dan dalam mengubah cara produksi mereka, dalam mengubah cara mereka memperoleh pendapatan untuk kehidupan mereka, mereka mengubah semua hubungan-hubungan sosial mereka. Penggilingan-tangan memberikan masyarakat dengan tuan tanah feodal; penggilingan-uap memberikan kapitalis industrial.

 

Orang-orang yang sama yang menegakkan hubungan-hubungan sosial mereka sesuai dengan produktivitas material mereka, juga memproduksi azas-azas, ide-ide dan kategori-kategori, yang bersesuaian dengan hubungan-hubungan sosial mereka.

 

Demikianlah ide-ide ini, kategori-kategori ini, sama tidak kekalnya seperti hubungan-hubungan yang mereka cerminkan. Mereka adalah “produk-produk historis dan transitori.” Terdapat gerak pertumbuhan yang terus-menerus dalam tenaga-tenaga produktif, dalam kehancuran hubungan-hubungan sosial, dalam pembentukan ide-ide; satu-satunya hal yang tidak-berubah adalah abstraksi gerak – mors immortalis.[30]

 

Pengamatan Ketiga

 

Hubungan-hubunan produksi setiap masyarakat merupakan suatu keseluruhan. M. Proudhon memandang hubungan-hubungan ekonomi bagaikan jumlah yang sama dari tahapan-tahapan sosial, yang saling melahirkan, dihasilkan satu dari yang lainnya seperti antitesis dari tesis, dan melaksanakan dalam urutan logis mereka nalar umat-manusia yang impersonal.

 

Satu-satunya kemunduran metode ini yalah, bahwa ketika ia mesti memeriksa salah satu dari tahapan-tahapan ini, M. Proudhon tidak dapat menerangkannya tanpa lari pada semua hubungan masyarakat lainnya; hubungan-hubungan yang, namun, belum dilahirkannya oleh gerak dialektik-nya Ketika, setelah itu, M. Proudhon lewat nalar semurninya, lebih lanjut melahirkan tahapan-tahapan lainnya ini, ia memperlakukan mereka seakan-akan itu bayi-bayi yang baru lahir. Ia lupa bahwa mereka itu adalah sama usianya seperti yang paling dulu lahir.

 

Demikianlah, untuk sampai pada pembentukan nilai, yang baginya merupakan basis dari semua evolusi ekonomi, ia tidak dapat ktanpa pembagian kerja, persaingan dsb. Namun, di dalam “rangkaian-rangkaian” ( series), di dalam “pemahaman” M Proudhon , di dalam “urutan logis,” hubungan-hubungan ini masih belum ada.

 

Di dalam pembangunan bangunan suatu sistem ideologis lewat kategori-kategori ekonomi politik, anggota-anggota tubuh sistem sosial itu terdislokasi. Berbagai anggota tubuh masyarakat itu dikonversi menjadi sekian banyak masyarakat terpisah, bersusulan satu sama lainnya. Sesungguhnya, bagaimanakah perumusan tunggal yang logis dari gerak, dari urutan, dari waktu, dapat menjelaskan struktur masyarakat itu, masyarajkat di mana semua hubungan serempak hidup bersama dan saling mendukung satu sama lainnya?

 

Pengamatan Keempat

 

Mari kita sekarang melihat modifikasi-modifikasi apakah yang dikenakan pada dialektika Hegel, ketika M. Proudhon menerapkannya pada ekonomi politik.Bagi M. Proudhon, setiap kategori ekonomi mempunyai dua sisi – satu yang baik, yang lainnya buruk. Ia memandang pada kategori-kategori ini sebagaimana seorang burjuis kecil memandang orang-orang besar dalam sejarah: “Napoleon” adalah seorang besar; ia telah melakukan banyak hal yang baik; ia juga telah melakukan banyak keburukan. “Sisi yang baik” dan “sisi yang buruk,” “kebaikan-kebaikan” dan “keburukan-keburukan,” secara bersama-sama bagi M. Proudhon merupakan “kontradiksi” dalam setiap kategori ekonomi.

 

Masalah yang mesti dipceahkan: mempertahankan sisi yang baik, sambil melenyapkan yang buruk.

 

“Perbudakan” adalah suatu kategori ekonomi seperti semua kategori lainnya. Dengan demikian ia juga mempunyai dua sisinya. Kita biarkan saja sisi yang buruk dan kita bicarakan sisi baik dari perbudakan itu. Tak usah kita katakan lagi, bahwa kita hanya mempersoalkan perbudakan langsung, dengan perbudakan Negro di Suriname, di Brazil, di Negara-negara (bagian) Selatan dari Amerika Utara. Perbudakan langsung adalah juga sepenuhnya merupakan poros industri burjuis seperti halnya mesin, kredit dsb. Tanpa perbudakan tak ada kapas; tanpa kapas tidak ada industri modern. Adalah perbudakan yang memberikan pada koloni-koloni nilai mereka; adalah koloni-koloni yang menciptakan perdagangan dunia, dan adalah perdagangan dunia yang merupakan prakondisi industri raksasa. Jadi, perbudakan adalah suatu kategori ekonomi yang luar biasa pentingnya.

 

Tanpa perbudakan, Amerika Utara, sebuah negeri yang paling progresif, akan bertransformasi menjadi sebuah negeri patriarkal. Hapuskan Amerika Utara dari peta dunia, dan akan anda dapatkan anarki – kerusakan lengkap dari perdagangan dan peradaban modern. Bikin perbudakan itu lenyap, dan anda akan menghapus pula Amerika dari peta bangsa-bangsa.

 

Apakah yang akan dilakukan M. Proudhon untuk menyelamatkan perbudakan? Ia akan merumuskan “permasalahannya” sebagai berikut: Lestarikan sisi baik dari kategori ekonomi ini, hapuskan yang buruk.

 

Mari untuk sesaat kita pandang M. Proudhon sendiri sebagai suatu kategori. Mari kita periksa sisi baik dan sisi buruknya, kelebihan dan kekurangannya.

 

Jika ia memiliki kelebihan atas Hegel dengan menetapkan masalah-masalah yang dicadangkan hak pemecahannya demi kebaikan lebih besar bagi kemanusiaan, maka ia mempunyai kekurangan karena kejangkitan kemandulan ketika soalnya yalah melahirkan suatu kategori baru lewat royan-kelahiran dialektikal. Yang membentuk gerak dialektikal adalah koeksistensi dua sisi yang kontradiktif, konflik mereka dan penyatuan mereka menjadi satu kategori baru. Justru penetapan masalah penghapusan sisi buruk tiba-tiba menghentikan gerak dialektik itu. Bukannya kategori yang dikedepankan dan berlawanan dengan dirinya sendiri, dengan sifat kontradiktifnya, tetapi adalah M. Proudhon yang menjadi gempar, terkesima, mengomel dan marah-marah di antara kedua sisi kategori itu.

 

Terperangkap di sebuah jalan buntu, dari mana sukar untuk lolos lewat jalan-jalan legal, M. Proudhon sungguh-sungguh melakukan suatu lompatan-terbang, yang mengangkutnya dengan satu gebrakan ke dalam sebuah kategori baru. Ketika itulah terpapar pada pandangannya yang terkesima: “hubungan serial di dalam pemahaman.”

 

Ia mengambil kategori pertama yang muncul tepat berkebetulan dan menjulukkan secara sewenang-wenang kualitas pemberi suatu penyembuhan bagi kelemahan-kelemahan kategori yang mesti dimurnikan. Demikianlah jika kita mesti mempercayai M. Proudhon, pajak-pajak menyembuhkan kelemahan-kelemahan monopoli; neraca perdagangan, kelemahan-kelemahan perpajakan; pemilikan tanah, kelemahan-kelemahan perkreditan.

 

Dengan mengambil kategori-kategori ekonomi secara berturut-turut seperti itu, satu demi satu, dan menjadikan yang satu antidote bagi yang lainnya , M. Proudhon berhasil membuat campuran kontradiksi-kontradiksi dan antidot-antidot bagi kontradiksi-kontradiksi itu, menjadi dua volume kontradiksi-kontradiksi, yang secara tepat diberinya judul: Sistem Kontradiksi-kontradiksi Ekonomi.

 

 

Pengamatan Kelima

 

“Di dalam nalar mutlak semua ide ini ... adalah sama sederhananya, dan umum ... Sesungguhnya, kita mencapai pengetahuan hanya lewat semacam penopangan ide-ide kita.” (Proudhon, Vol.II, hal.97.)

 

Di sini, secara tiba-tiba, dengan semacam lompatan-beralih yang kita sekarang tahu rahasianya, metafisika ekonomi politik telah menjadi sebuah ilusi! Tidak pernah M. Proudhon berbicara lebih bersungguh-sungguh. Sebenarnyalah, dari saat proses gerak dialektik itu direduksi menjadi proses sederhana yang mempertentangkan kebaikan dengan keburukan, mengedepankan masalah-masalah yang cenderung meniadakan keburukan, dan memberikan satu kategori sebagai suatu antidot pada yang lainnya, maka kategori-kategori itu dilucuti semua spontanitasnya; ide “itu berhenti berfungsi”; tidak tertinggal kehidupan pada dirinya. Ia tidak lagi dikedepankan atau didekomposisi menjadi kategori-kategori. Urutan kategori-kategori telah menjadi “semacam penopangan.” Dialektika telah berhenti menjadi gerak dari nalar mutlak.Tidak ada lagi dialektika apapun, melainkan cuma, paling-paling, kemurnian moralitas secara mutlak.

 

Ketika M. Proudhon berbicara tentang “rangkaian-rangkaian di dalam pemahaman,” tetang “urutan logis dari kategori-kategori,” ia menyatakan secara positif bahwa ia tidak mau memberikan “sejarah menurut tatanan dalam waktu,” yaitu, dalam pandangan M. Proudhon, urutan sejarah di mana kategori-kategori telah “memanifestasikan” diri mereka. Demikianlah segala sesuatu terjadi di dalam “ ether murninya penalaran.” Segala sesuatu mesti diderivasi dari ether ini lewat dialektika. Kini, setelah ia mesti menjalankan dialektika ini dalam praktek, penalarannya tidak berjalan. Dialektika M. Proudhon bertubrukan dengan dialektika Hegel, dan kini kita dapati M. Proudhon terpaksa mengatakan bahwa tatanan dengan mana ia memberikan kategori-kategori ekonomi itu tidak lagi merupakan tatanan dalam mana mereka saling melahirkan satu sama lain. Evolusi-evolusi ekonomi tidak lagi merupakan evolusi-evolusi penalaran itu sendiri.

 

Jadi, apakah yang diberikan M. Proudhon kepada kita? Sejarah real, yang menurut pemahaman M. Proudhon, adalah urutan di mana kategori-kategori “telah memanifestasikan” diri mereka sendiri menurut tatanan waktu? Tidak! Sejarah sebagai itu terjadi dalam ide itu sendiri? Lebih jauh lagi! Yaitu, bukan sejarah duniawi dari kategori-kategori, juga bukan sejarah suci mereka! Jadi, sejarah apakah yang diberikannya kepada kita? Sejarah dari kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Mari kita melihat bagaimana jalannya cerita dan bagaimana mereka menyeret M. Proudhon di dalamnya.

 

Sebelum memasuki pemeriksaan ini, yang melahirkan pengamatan keenam yang penting sekali, kita masih ada suatu pengamatan lagi yang kurang penting.

 

Mari kita mengatakan bersama M. Proudhon bahwa sejarah real, sejarah menurut urutan waktu, adalah urutan sejarah di mana ide-ide, kategorikategori dan azas-azas telah memanifestasikan diri mereka.

 

Setiap azas telah mempunyai abadnya sendiri untuk memanifestikan dirinya. Azas otoritas, misalnya, mempunyai abad ke XI, presis sebagaimana azas individualisme mempunyai abad ke XVIII. Dalam urutan logis, adalah abad yang termasuk pada azas itu, dan bukan azas yang termasuk pada abad itu. Dengan kata-kata lain, adalah azas itu yang membuat sejarah itu, dan bukaqn sejarah itu yang membuat azas itu. Ketika, secara konsekuen, untuk menyelamatkan azas-azas seperti juga untuk menyelamatkan sejarah, kita bertanya pada diri sendiri mengapa suatu azas tertentu telah dimanifestasikan di abad ke XI atau diabad ke XVIII dan bukannya di abad lainnya, maka kita mau tidak mau dipaksa untuk memeriksa secara cermat sekali seperti apakah orang-orang pada abad ke XI, seperti apa mereka itu pada abad ke XVIII, apakah kebutuhan-kebutuhan masing-masingnya, tenaga-tenaga produktif mereka, cara produksi mereka, bahan-bahan mentah produksi mereka – singkatnya, bagaimana hubungan-hubungan antara manusia dan manusia yang dihasilkan dari semua kondisi kehidupan ini. Agar sampai pada dasar semua pertanyaan ini – tidakkah ini berarti menyusun sejarah duniawi yang nyata dqari manusia di setiap abad dan menyajikan manusia ini sebagai baik pencipta maupun sebagai pelaku dari drama mereka sendiri? Tetapi, pada saat anda menyajikan manusia sebagai pelaku dan pencipta sejarah mereka sendiri, anda sampai –lewat suatu jalan memutar – pada titik berangkat yang sebenarnya, karena anda telah meninggalkan azas-azas abadi yang anda bicarakan pada awalnya.

 

M. Proudehon ternyata bahkan tidak melangkah cukup jauh di sepanjang persimpangan jalan yang dilalui seorang ideolog untuk mencapai jalan utama sejarah.

 

Pengamatan Keenam

 

Mari kita ambil persimpangan jalan itu bersama M. Proudhon.

 

Katakanlah kita mengakui bahwa hubungan-hubungan ekonomi,dipandang sebagai “hukum-hukum yang tak-bisa-berubah, azas-azas abadi, katepori-kategori ideal,” telah ada sebelum adanya orang-orang aktif dan energetik; katakanlah kita mengakui lebih lanjut bahwa hukum-hukum itu, azas-azas dan kategori-kategori itu telah – sejak awalnya waktu/zaman, ternyenyak “dalam penalaran impersonal dari umat-manusia.” Kita sudah melihat bahwa, dengan semua keabadian-keabadian yang tak-berubah dan tak-bergerak ini, tidak ada tersisa sejarah; paling-paling yang ada yalah sejarah di dalam ide, yaitu, sejarah yang tercermin di dalam gerak dialektik penalaran murni. M. Proudhon, dengan mengatakan bahwa, di dalam gerak dialektik itu, ide-ide tidak lagi di-“diferensiasikan,” telah menyingkirkan baik “bayangan gerak” dan “gerak dari bayangan-bayangan,” padahal dengannya orang mestinya masih dapat menciptakan –sekurang-kurangnya– sesuatu kemiripan sejarah. Gantinya itu, pada sejarah dipersalahkannya impotensinya sendiri. Ia melemparkan kesalahan pada segala sesuatu, bahkan pada bahasa Perancis. “Maka tidaklah benar,” demikian M. Proudhon, sang filsuf mengatakan, “jika dikatakan bahwa sesuatu muncul, bahwa sesuatu telah diproduksi; dalam peradaban seperti halnya dalam alam semesta, segala sesuatu itu telah ada, telah berlaku, sejak keabadian. Ini berlaku pada keseluruhan ekonomi sosial.” (Vol.II, hal.102.)

 

Sedemikian besarnya tenaga produktif dari kontradiksi-kontgradiksi yang “berfungsi” dan yang membuat M. Proudhon berfungsi, sehingga, dalam mencoba menerangkan sejarah, ia terpaksa mengingkari itu; dalam mencoba menjelaskan permunculan secara bersusul-susulan hubungan-hubungan sosial, ia menyangkal bahwa “sesuatu (apapun) dapat muncul”; dalam mencoba menjelaskan produksi, dengan semua tahapan-tahapannya, ia mempertanyakan apakah “sesuatu (apapun) dapat diproduksi!”

 

Jadi, bagi M. Proudhon, tidak ada lagi sejarah apapun: tidak ada lagti urutan apapun dari ide-ide. Namun begitu bukunya tetap ada; dan justru buku itu yang adalah, menggunakan ungkapannya sendiri, “sejarah menurut urutan ide-ide.” Bagaimana kita bisa mendapatkan suatu perumusan, karena M.; Proudhon adalah jagonya perumusan-perumusan, untuk membantunya membersihkan semua kontradiksi ini dengan “satu lompatan?”

 

Untuk maksud itu ia telah membuat penemuan sebuah penalaran baru yang kbukan penmalaran mutlak yang murni dan perawan, juga bukan penalaran dari manusia yang hidup dan bertindak dalam berbagai periode, melainkan suatu penalaran yang sangat khusus – penalaran dari

 

sang person, Masyarakat – dari subjek, “Kemanusiaan” – yang melalui pena M. Proudhon ada kalanya berperan sebagai “jenius sosial,” “penalaran umum,” atau akhirnya sebagai “penalaran manusia.” Penalaran ini, berdandan dengan banyak nama, betapapun pada setiap saat tetap membuka jati-dirinya, sebagai penalaran individual M. Proudhon, dengan sisi baiknya dan sisi buruknya, dengan antidot-antidot dan problem-problemnya.

 

“Penalaran manusia tidak menciptakan kebenaran,” bersembunyi di kedalaman penalaran mutlak yang abadi. Ia cuma dapat mengungkapkannya. Tetapi kebenaran-kebenaran sebagaimana yang telah diungkapkan hingga kini tidaklah lengkap, tidak mencukupi dan konsekuensinya yalah kontradiktif. Karenanya, kategori-kategori ekonomi, yang sendiri adalah kebenaran-kebenaran yang ditemukan, yang diungkapkan oleh penalaran manusia, oleh jenius sosial, sama-sama tidak lengkapnya dan mengandung dalam diri mereka benih dari kontradiksi. Sebelum M. Proudhon, jenius sosial hanya melihat “unsur-unsur antagonistik,” “dan bukan” perumusan sintetiknya, kedua-duanya secara serempak tersembunyi di dalam “penalaran mutlak.” Hubungan-hubungan ekonomi, yang cma merealisasi di atas bumi ini kebenaran-kebenaran yang tidak mencukupi, kategori-kategori yang tidak lengkap ini, ide-ide yang kontradiktif ini, oleh karenanya dalam diri mereka adalah kontradiktif, dan menyajikan dua sisi, satu yang baik, yang lainnya buruk.

 

Menemukan kebenaran lengkap itu, ide itu, di dalam seluruh kepenuhannya, perumusan sintetik yang mesti melenyapkan kontradiksi itu, itulah permasalahannya genius sosial itu. Ini pula sebabnya mengapa, dalam ilusi M Proudhon, jenisu sosial yang sama itu telah dikejar-kejar gangguan dari satu kategori ke kategori lainnya tanpa pernah berkemampuan, dengan segala dan semua bateri kategori-kategorinya, merebut dari Tuhan atau dari penalaran mutlak, suatu perumusan sintetik.

 

Pada permulaannya, masyarakat (jenius sosial) menyatakan suatu faktum primer, mengedepankan suatu hipotesis ... sebuah antinomi sungguh-sungguh, yang hasil-hasil antagonistiknya berkembang di dalam ekonomi sosial dengan cara yang sama karena konsekuensi-konsekuensi\nya mestinya dapat dideduksikan dalam pikiran; sehingga gerak industrial, yang dalam segala hal mengikuti deduksi ide-ide, pecah menjadi dua arus, satu dengan efek-efek yang berguna, yang lainnya dengan hasil-hasil subversif. Untuk mendatang keserasian ke dalam pembentukan azas yang bersisi-rangkap ini, edan untuk memecahkan antinomi ini, masyarakat melahirkan suatu (azas) kedua, yang segera akan disusul oleh yang ketiga; dan kemajuan jenius sosial akan terjadi dengan cara ini, hingga, setelah menghabiskan semua kontradiksinya –kukira, tetapi memang belum dibuktikan bahwa terdapat suatu batas bagi kontradiksi-kontradiksi manusia– ia kembali dengan satu lompatan pada semua kedudukan sebelumnya dandengan satu perumusan tunggal memecahkan semua problem-problemnya. (Vol.I, hal. 133.)

 

Tepat sebagaimana “antitesis sebelumnya telah berubah menjadi suatu antidot,” maka kini “tesis” itu menjadi suatu “hipotesis.” Perubahan peristilahan-peristilahan ini, yang kdatangnya dari M. Proudhon, tidak lagi sesuatu yang mencengangkan kita! Penalaran manusia, yang jauh daripada kemurnian, yang cuma mempunyai visi yang tidak lengkap, di setiap tikungan berhadapan dengan masalah-masalah baru yang menuntut pemecahannya. Setiap tesis baru yang ditemukannya dalam penalaran mutlak dan yang adalah negasi dari tesis pertama, menjadilah baginya suatu sintesis yang ia terima secara agak naif sebagai pemecahan permasalahan bersangkutan. Adalah demikian itu penalaran itu bersungut-sungut dan marah-marah dalam selalu diperbaruinya kembali kontradiksi-kontradiksi hingga, menjelang akhir kontradiksi-kontradiksi itu, ia memahami bahwa semua tesis dan sintesisnya adalah Cuma hipotesis-hipotesis yang kontradiktif. “Dalam kebingungannya, penalaran manusia, jenius sosial, kembali dengan satu lompatan pada semua kedudukannya semula dan dengan suatu perumusan tunggal, memecahklan semua problem-problemnya.”

 

Formula yang unik ini, sambil lalu, merupakan penemuan sejati M. Proudhon. Yaitu “nilai bentukan.”

 

Hipotesa hanya dibuat untuk sesuatu tujuan tertentu. Tujuan yang – dengan melalui mulut M. Proudhon, 6terutama diarah oleh jenius sosial itu adalah, melenyapkan yang buruk dalam setiap kategori ekonomi, agar supaya tidak ada yang tertinggal kecuali yang baik. Untuk itu, yaitu yang baik itu, kesejahteraan tertinggi, tujuan praktikal yang sebenarnya adalah “persamaan/keadilan.” Dan mengapa jenius sosial itu lebih mengarah pada keadilan daripada ketidak-adilan, persaudaraan, katolisisme (ke-umum-an), atau sesuaqtu azas lainnya? Karena “umat manusia secara bersusul-susulan merealisasi begitu banyak hipotesa berlain-lainan karena terarah pada suatu hipotesis unggulan,” yang justru adalah keadilan. Dengan kata-kata lain: karena keadilan adalah ideal M. Proudhon. Ia membayangkan bahwa pembagian kerja, perkreditan, pabrik, –semuanya hubungan-hubungan ekonomi– semata-mata menjadi penemuan-baru demi untuk keadilan, namun selalu mereka berakhir dengan bersikap melawannya. Karena sejarah dan kisah (fiksi) M. Proudhon di setiap langkah berkontradiksi satu sama lain, yang tersebut belakangan itu menyimpulkan bahwa ada kontradiksi itu. Jika kontradiksi itu ada, maka ia hanya ada di antara ide-pancangannya dan gerak sesungguhnya.

 

Selanjutnya, sisi baik suatu hubungan ekonomi yalah yang menegaskan keadilan; sisi yang buruk, yalah yang menegasinya dan yang menegaskan ketidak-adilan.Setiap kategori baru adalah suatu hipotesis dari jenius sosial untuk melenyapkan ketidak-adilan yang ditimbulkan oleh hipotesis yang mendahuluinya. Singkatnya, keadilan adalah “niat primordial, kecenderungan mistis, tujuan providensial” yang selalu menjadi arahan jenius sosial itu, sementara ia berpusingan dalam lingkaran kontradiksi-kontradiksi ekonomi. Demikianlah “Takdir” merupakan penggerak (lokomotif) yang membuatr ke-seluruhan bagasi ekonomi M. Proudhon bergerak lebih baik daripadea penalarannya yang murni dan mudah-menguap itu. Pada Takdir itu telah ia abadikan sebuah bab lengkap, yaitu yang menyusul bab mengenai perpajakan.

 

Takdir, tujuan providensial, inilah kata besar yang dipakai dewasa ini untuk menjelaskan gerak sejarah. Sesungguhnya, kata ini tidak menjelaskan apa-apa. Paling-paling ia adalah suatu bentuk retorikal, salah-satu dari berbagai cara menafsirkan fakta.

 

Adalah sebuah kenyataan bahwa pemilikan atas tanah di Skotlandia telah memperoleh suatu nilai baru dengan perkembangan industri Inggris.Industri ini telah membukakan jalur-jalur keluar baru bagi wol (bulu domba). Untuk memproduksi wol secara besar-besaran, tanah garapan mesti diubah menjadi ladang-rerumputan. Untuk menjadikan transformasi ini, estat-estat mesti dikonsentrasikan. Untuk mengonsentrasikan estat-estat, pemilikan bidang-bidang tanah kecil mesti dihapuskan, beribu petani pesewa mesti digusur dari tanah kelahiran mereka dan beberapa penggembala yang bertugas atas jutaan domba mesti dilantik sebagai pengganti para petani tadi. Demikianlah, lewat transformasi-transformasi berturut-turut, pemilikan tanah di Skotlandia telah mengakibatkan penggusuran manusia oleh domba. Nah sekarang katakanlah bahwa tujuan providensial dari pelembagaan pemilikan tanah di Skotlandia adalah untuk digusurnya manusia oleh domba, dan anda akan membuat sejarah providensial (sejarah yang ditakdirkan).

 

Sudah tentu, kecenderungan ke arah keadilan termasuklah pada abad kita. Dengan mengatakan –kini– bahwa semua abad sebelumnya, dengan berbagai kebutuhan-kebutuhannya yang berbeda, dengan alat-alat produksinya, etc. telah bekerja secara providensial (menurut takdirnya) bagi realisasi keadilan adalah, pertama-tama, menggantikan cara dan manusia abad kita untuk manmusia dan cara-cara abad-abad sebelumnya dan salah-mengartikan gerak historis yang dengannya generasi-generasi yang bersusulan/bergantian mengubah hasil-hasil yang diperoleh oleh generasi-generasi yang mendahului mereka. Para ahli ekonomi sasngat mengetahui bahwa sesuatu yang bagi seseroang adalah produk jadi, bagi seorang lain adalah cuma bahan mentah bagi produksi baru.

 

Tetapi, karena M. Proudhon menaruh minat yang begitu penuh sayang pada takdir, kita merujukkannya pada Histoire de l’economie politique karya M. De Villeneuve-Bargemont,[31] yang juga mengejar suatu tujuan providensial. Namun, tujuan ini bukanlah keadilan, melainkan adalah katolisisme.

 

Pengamatan Ketujuh dan Terakhir

 

Para ahli ekonomi mempunyai suatu metode prosedur yang khusus. Hanya terdapat dua jenis kelembagaan untuk nya, yang artifisial dan yang alamiah. Kelembagaan-kelembagaan feodalisme adalah lembaga-lembaga artifisial, yang dari borjuasi adalah lembaga-lembaga alamiah/wajar. Dalam hal ini mereka menyerupai kaum teologi, yang juga menegakkan dua jenis religi. Setiap religi yang bukan mereka punya adalah suatu ciptaan manusia , sedangkan yang mereka punya adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan. Manakala para ahli ekonomi mengatakan bahwa hubungan-hubungan dewasa ini – hubungan-hubungan produksi borjuis – adalah alamiah, mereka memaksudkan bahwa ini adalah hubungan-hubungan dalam mana kekayaan diciptakan dan tenaga-tenaga produksi dikembangkan sesuai dengan hukum-hukum alam. Karenanya hubungan-hubungan itu sendiri adalah hukum-hukum alam yang bebas dari pengaruh waktu. Mereka adalah hukum-hukum abadi yang mesti selalu memerintah masyarakat. Jadi, telah ada sejarah, tetapi (kini) sudah tidak ada lagi. Telah pernah ada sejarah, karena telah ada lembaga-lembaga feodalisme, dan pada lembaga-lembaga feodalisme ini kita menjumpai hubungan-hubungan produksi yang sangat berbeda dengan yang dari masyarakat borjuis, yang para ahli ekonomi itu coba berlakukan sebagai yang alamiah dan karenanya, kekal/abadi.

 

Feodalisme juga telah mempunyai kaum proletarnya – kesahayaan, yang mengandung semua benih borjuasi. Produksi feodal juga mengandung dua unsur antagonistik yang juga ditunjuk lewat nama “sisi yang baik” dan “sisi yang buruk” dari feodalisme, tanpa mempedulikan kenyataan bahwa selalu adalah sisi yang buruk yang pada akhirnya berjaya atas sisi yang baik. Adalah sisi yang buruk itu yang menghasilkan gerak yang membuat sejarah, dengan membekali suatu perjuangan. Apabila, selama kurun-zaman dominasinya feodalisme, para ahli ekonomi, sangat antusias katas kebajikan-kebajikan keksatriaan, keserasian yang indah antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kehidupan patriakal kota-kota, kondisi kemakmuran industri domestik di pedesaan, perkembangan industri yang diorganisasi menjadi korporasi-korporasi, gilde-gilde dan persaudaraan-persaudaraan, seingkat, segala sesuatu yang merupakan sisi baik feodalisme, telah membebankan pada diri mereka permasalahan penghapusan segala sesuatu yang melemparkan bayang-bayang (suram) atas gambaran ini – persahayaan, hak-hak istimewa, anarki– apakah yang bisa terjadi? Semua unsur yang melahirkan perjuangan itu akan dihancurkan, dan perkembangan borjuasi digencet selagi masih berupa kuncup. Orang akan menghadapkan dirinya pada problem sia-sia untuk menghapus sejarah.

 

Setelah kemenangan borjuasi tidak ada lagi persoalan mengenai sisi baik atau sisi buruk feodalisme. Borjuasi telah mengambil pemilikan atas tenaga-tenaga produktif yang telah dikembangkannya di bawa feodalisme. Semua bentuk perekonomian lama, hubungan-hubungan sipil yang bersesuaian dengannya, negara politik yang adalah ungkapan resmi dari masyarakat madani lama, telah dihancurkan.Demikianlah, produksi feopdal, untuk menilainya selayaknya, mesti dipandang sebagai suatu cara produksi yang didasarkan pada antagonisme. Harus ditunjukkan bagaimana kekayaan diproduksi di dalam antagonisme ini, bagaimana kekuatan-kekuatan produktif dikembangkan sekaligus bersama antagonisme-antagonisme klas, bagaimana salah satu klas itu, sisi buruknya, kemundurannya masyarakat, terus bertumbuh sampai kondisi-kondisi material bagi emansipasinya (pembebasannya) telah mencapai kedewasaan sepenuhnya. Tidakkah ini sama baiknya dengan mengatakan bahwa cara produksi itu, hubungan-hubungan dalam mana tenaga-tenaga produktif itu dikembangkan, sama sekali bukanlah hukum-hukum abadi, melainkan semuanya itu bersesuaian dengan suatu perkembangan tertentu dari manusia dan dari tenaga-tenaga produktif manusia, dan bahwa suatuperubahan dalam tenaga-tenaga produktif manusia mau tidak mau melahirkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan produksi mereka?

 

Borjuasi berawal dengan suatu proletariat yang sendirinya adalah sebuah relik dari proletariat[32] zaman feodal. Dalam proses perkembangan historisnya, borjuasi mau-tidak-mau mengem-bangkan watak antagonistiknya, yang mula-mula sedikit-banyak disamarkan, hanya ada dalam keadaan latennya. Dengan berkembangnya borjuasi, berkembang pula dalam lubuknya suatu proletariat baru, suatu proletariat modern; berkembang pula suatu perjuangan antara klas proletariat dan klas borjuis, sebuah perjuangan yang, sebelumnya dirasakan, dipahami, dinilai, dimengerti, diakui dan diproklamasikan dengan lantang oleh kedua belah pihak, menyatakan dirinya –sebagai awal– hanya sekedar dalam konflik-konflik parsial dan sesaat, dalam perbuatan-perbuatan suversif. Di lain pihak, jika semua anggota borjuasi modern mempunyai kepentingan yang sama yang sedemikian besar hingga mereka membentuk suatu kelas untuk menghadapi klas lain, di antara mereka sendiri mereka

mempunyai pula kepentingan-kepentingan berlawanan, yang antagonistik hingga mereka berhadap-hadapan satu sama lainnya. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini disebabkan oleh kondisi-kondisi ekonomi kehidupan borjuis mereka. Dari hari ke hari dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa hubungan-hubungan produksi dalam mana borjuasi itu bergerak tidak mempunyai satu watak yang seragam, yang sederhana, melainkan mempunyai suatu watak rangkap; yang dalam hubungan-hubungan yang sama di mana kekayaan dihasilkan, juga dihasilkan kemiskinan; bahwa dalam hubungan-hubungan yang sama itu, di mana terdapat suatu perkembangan tenaga-tenaga produktif, terdapat juga suatu kekuatan yang menghasilkan represi; bahwa hubungan-hubungan ini menghasilkan “kekayaan borjuis,” yaitu, kekayaan dari klas borjuis, hanyalah dengan terus-menerus memusnahkan kekayaan anggota-anggota individual dari klas ini dan dengan menghasilkan suatu proletariat yang terus bertambah jumlahnya.

 

Semakin watak antagonistik itu menampak jelas, semakin pula para ahli ekonomi, para wakil ilmiah produksi borjuis, mendapatkan dir mereka dalam perselisihan dengan teori mereka sendiri; dan lahirlah berbagai aliran (teori).

 

Ada juga para ahli ekonomi “fatalis” itu, yang dalam teori mereka sama tak-acuhnya pada yang mereka sebut kekurangan-kekuranan produksi borjuis, seperti kaum borjuis itu sendiri tak-acuhnya terhadap penderitaan kaum proletariat yang membantu mereka memperoleh kekayaan.Dalam aliran fatalis ini terdapatlah kaum/golongan Klasik dan Romantik. Kaum Klasik, seperti Adam Smith dan Ricardo, mewakili suatu borjuasi yang, sementara masih berjuang dengan relik-relik masyarakat feodal, hanya bekerja untuk membersihkan hubungan-hubungan ekonomi dari cacat-cacat feodal, menintka6tkan tenaga-tenaga produktif dan memberikan dorongan baru pada industri dan perdagangan. Proletariat yang mengambil bagian dalam perjuangan ini dan terserap di dalam demam kerja ini cuma meng-alami penderitaan sepintas dan kebetulan, dan sendiri memandang itu sebagaimana adanya. Para ahli ekonomi seperti Adam Smith dan Ricardo, yang adalah ahli-ahli sejarah dari kurun zaman ini, tidak mempunyai missi lain kecuali menunjukkan bagaimana kekayaan itu diperoleh dalam hubungan-hubungan produksi borjuis, merumuskan hubungan-hubungan ini ke dalam kategori-kategori, menjadi hukum-hukum dan kategori-kategori masyarakat feodal. Kemiskinan di mata mereka cuma sekedar kesakitan yang menyertai setiap kelahiran bayi, di dalam alam maupun dalam industri.

 

Golongan Romantik termasuk pada sezaman kita, di mana borjuasi berada dalam oposisi langsung dengan proletariat; di mana kemiskinan ditimbulkan secara berlimpah sebagaimana halnya dengan kekayaan. Para ahli ekonomi kini berperan sebagai kaum fatalis yang tidak menarik, yang, dari kedudukan mereka yang tinggi, melempar sekilas pandang yang angkuh dan meremehkan pada mesin-mesin manusia yang menghasilkan kekayaan. Mereka menyalin semua perkembangan yang diberikan para pendajhulu mereka, dan ketak-acuhan yang pada yang tersebut belakangan itu cuma sekedar kepandiran yang pada mereka telah menjadi kegenitan.

 

Yang berikutnya adalah aliran “humanitarian,” yang bersimpati pada sisi buruk hubungan-hubungan produksi masa kini. Ia mencari, dengan cara melonggarkan hati nurani, permaafan yang seringan apapun bagi perbedaan-perbedaan yang sesungguhnya; ia dengan sungguh-sungguh mencela keterpurukan proletariat, persaingan yang kejam di antara kaum borjuasi sendiri; ia menganjurkan kaum pekerja agar sadar, agar bekerja keras dan jangan punya anak banyak; ia menasehati kaum borjuasi agar bernalar sehat dalam berproduksi. Seluruh teori aliran/ajaran ini terletak pada pembedaan yang ketak-berkesudahan antara teori dan praktek, antara azas-azas dan hasil-hasil, antara hakekat dan terapan, antara hak dan faktum, antara sisi baik dan sisi buruk.

 

Aliran “filantropik” adalah aliran humanitarian yang dilaksanakan hingga kesempurnaan. Ia menolak keharusanb antagonisme; ia ingin mengubah semua orang menjadi borjuis; ia hendak melaksanakan teori sejauh itu dibedakan dari praktek dan tidak mengandung antagornisme. Sudah barang tentu bahwa, dalam teori, adalah mudah sekali membuat suatu abstraksi dari kontradiksi-kontradiksi yang setiap saat dihadapi dalam realitas aktual. Kaum filantropis, maka itu, hendak mempertahankan kategori-kategori yang mencerminkan hubungan-hubungan borjuis, tanpa antagonisme yang membentuk hubungan-hubungan itu dan yang tidak bisa dipisahkan darinya. Mereka berpikir bahwa mereka dengan sungguh-sungguh menentang praktek borjuis, dan mereka lebih borjuis daripada yang lain-lainnya.

 

Tepat sebagaimana para “ekonomis” itu adalah wakil-wakil ilmiah dari kelas borjuis, demikian pula kaum “Sosialis” dan kaum “Komunis” adalah para teoretikus kelas proletar. Selama proletariat itu belum cukup berkembang untuk merupakan sendiri suatu kelas, dan dengan konsekuensi bahwa selama perjuangan prolertariat itu sendiri melawan borjuasi belum mencapai watak politis, dan tenaga-tenaga produktif masih belum cukup berkembang di lubuk burjuasi sendiri sehingga memungkinkan kita menangkap sekilas kondisi-kondisi material yang diperlukan bagi emansipasi proletariat dan bagi pembentukan suatu masyarakat baru, maka para teoretisi itu hanyalah utopian-utopian yang, untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelas-kelas tertindas, mengimprovisasi sistem-sistem dan mencari-cari suatu ilmu pengetahuan yang meregenerasi. Tetapi, selama sejarah itu bergerak maju, dan bersama itu perjuangan proletariat menjadi semakin jelas, mereka tidak perlu mencari-cari ilmu dalam pikiran-pikiran mereka, mereka melihat pada kemiskinan itu tidak lain daripada kemiskinan, tanpa melihat padanya sisi revolusioner yang subversif, yang akan menumbangkan masyarakat lama. Dari saat ini, ilmu pengetahuan, yang adalah suatu produk dari gerak historis, telah dengan sadar berserikat dengannya, telah berhenti menjadi doktriner dan telah menjadi revolusioner.

 

Mari kita kembali pada M. Proudhon.

 

Setiap hubungan ekonomi mempunyai sisi baik dan sisi buruk; inilah hal yang mengenainya M. Proudhon tidak berbasa-basi. Ia melihat sisi baik diuraikan oleh kaum ekonomis; sisi buruk telah dilihatnya dikecam oleh kaum Sosialis. Dari kaum ekonomis ie meminjam keharusan akan hubungan-hubungan eksternal; dari kaum Sosialis ia meminjam ilusi melihat pada kemiskinan sebagai kemiskinan semata-mata. Ia setuju dengan kedua-duanya dalam kehendak untuk bersandar pada otoritas ilmu. Ilmu pengetahuan baginya mreduksi diri sendiri menjadi proporsi-proporsi samping dari sebuah perumusan ilmiah; ia adalah orang yang mencari-cari perumusan-perumusan. Demikian itulah M. Proudhon memuji dirinya sendiri karena telah memberikan kritik atas ekonomi politik maupun komunisme: ia berada di bawah kedua-duanya. Berada di bawah kaum ekonomis, karena, sebagai seorang filsuf yang memiliki perumusan ajaib yang siap-pakai, ia pikir dirinya bisa tanpa harus memasuki rincian-rincian ekonomi semurninya; berada di bawah kaum Sosialis, karena ia tidak mempunyai cukup keberanian maupun wawasan cukup untuk bangkit, sekalipun cuma spekulatif, di atas kaki-langit borjuis.

 

Ia hendak menjadi sintesisnya – ia adalah suatu kesalahan terpadu.

 

 Ia hendak meluncur sebagai manusia ilmu di atas burjuasi dan kaum proletar; ia cuma si borjuis kecil, yang terus-menerus diombangambingkan antara modal dan kerja, antara ekonomi politik dan komunisme.

 


[27] Rujukan itu pada dua karya ekonomi utama Quesnay: Tableau economique (1758) dan Analyse du Tableau economique (1766).

[28] Marx mengisyaratkan pada karya sejaman Quesnay: N. Baudeau, Explicastion dui Tableau economique, diterbitkan pada tahun 1770.

[29] G.W.F. Hegel, Wissenschaft der Logik, Bd.III; Werke, 2-te Aufl., Bd.V, Berlin 1841, S. 320.

[30] Di sini Marx mengutib kata-kata ini dari pasase berikut ini dari sajak Lucretius: On the Nature of Things (Buku III, baris 869); mortalem vitam mors immortalis ademit (‘immortal ldeath hath taken away moral life’).

[31] A. de Villeneuve-Bargemont, Histoire de l’economie politique, edisi pertamanya muncul di Brussel di tahun 1839, hal.115.

[32] Dalam copy yang dipersembahkan Marx pada N. Utina, tertulis kata-kata kelas pekerja.

**** Ini ini sepenuhnya benar bagi tahun 1847. Pada waktu itu perdagangan dunia Amerika Serikat terutama terbatas pada import para imigran dan produk-produk industrial, dan eksportnya kapas dan tembakau, yaitu, dari produk-produk kerja budak bagian selatan Amerika. Negara-negara (bagian) utara terutama memproduksi gandum dan daging bagi negara-negara (bagian) perbudakan. Hanya setelah bagian Utara memproduksi gandum dan daging untuk eksport dan juga menjadi sebuah negeri industrial, dan ketika monopoli kapas Amerika harus menghadapi persaingan yang kuat di India, Mesir, Brazil dsb., barulah penghapusan perbudakan itu menjadi mungkin. Dan bahkan pada waktu itu, ini menyebabkan kehancuran bagian Selatan, yang tidak berhasil menggantikan perbudakan Negro secara terbuka dengan perbudakan tersamar terhadap kaum kulo Indian dan Cina. [Catatan oleh F. Engels pada edisi Jerman, 1885.]