Komunisme “Sayap Kiri” – Penyakit Kekanak-kanakan

Lenin (1920)


IV. PERJUANGAN MELAWAN MUSUH-MUSUH DI DALAM GERAKAN KELAS BURUH MEMBANTU BOLSHEVISME TUMBUH, MENJADI KUAT DAN TERTEMPA

Pertama dan terutama, perjuangan melawan oportunisme, yang pada 1914 berkembang menjadi sosial-sauvinisme dan jelas berpihak pada borjuasi untuk melawan proletariat. Tentu saja ini adalah musuh utama Bolshevisme di dalam gerakan kelas buruh. Oportunisme masih merupakan musuh utama dalam skala internasional. Kaum Bolshevik telah mencurahkan perhatian terbesarnya untuk melawan musuh ini. Aspek kegiatan Bolshevik dalam melawan oportunisme ini sekarang cukup diketahui di luar negeri juga.

Namun, berbeda halnya dengan musuh Bolshevisme yang lainnya di dalam gerakan kelas buruh. Di negara-negara lain banyak yang tidak tahu bahwa Bolshevisme terbentuk, berkembang, dan tertempa dalam perjuangan yang bertahun-tahun lamanya melawan revolusionisme borjuis-kecil, yang berbau anarkisme, atau yang meminjam sesuatu dari anarkisme, dan dalam semua hal yang esensial, tidak cocok dengan kondisi dan persyaratan perjuangan kelas proletar yang konsisten. Teori Marxis telah menetapkan – dan pengalaman semua revolusi dan gerakan revolusioner di Eropa telah mengkonfirmasi sepenuhnya – bahwa pemilik kecil, majikan kecil (sebuah lapisan sosial yang masih ada dalam skala luas dan bahkan dalam skala massa di banyak negara Eropa), yang, di bawah kapitalisme, selalu tertindas dan sering kali kondisi kehidupannya mengalami pembusukan yang sangat akut dan sangat cepat, dan bahkan kehancuran, mudah sekali berayun ke titik ekstrem revolusioner, tetapi tidak mampu bertahan, tidak terorganisir, tidak memiliki kedisiplinan dan keteguhan. Seorang borjuis kecil yang menjadi ekstrem dan tak-terkontrol karena dihadapkan dengan horor kapitalisme adalah fenomena sosial yang, seperti anarkisme, merupakan karakteristik semua negara kapitalis. Ketidakstabilan revolusionisme semacam itu, impotensinya, dan kecenderungannya untuk berubah dengan cepat menjadi ketertundukan, apati, fantasi, dan bahkan terseret ke dalam obsesi gila dengan tren borjuis ini atau itu – ini diketahui baik oleh semua orang. Akan tetapi, pengakuan teoritis atau abstrak akan kebenaran-kebenaran ini sama sekali tidak membuat partai revolusioner imun dari kesalahan-kesalahan lama, yang selalu muncul pada momen-momen tak terduga, dalam bentuk yang agak baru, dalam selubung atau di bawah keadaan yang hingga kini tidak dikenal, dalam situasi yang tidak biasa – atau yang kurang lebih tidak biasa.

Anarkisme kerap kali menjadi semacam hukuman atas dosa oportunis gerakan kelas buruh. Kedua cacat ini saling melengkapi satu sama lain. Dan bila di Rusia – meskipun komposisi penduduknya lebih borjuis-kecil dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya – pengaruh anarkisme sangatlah kecil selama dua revolusi Rusia (1905 dan 1917) dan selama periode persiapan untuk kedua revolusi tersebut, ini sudah barang tentu sebagian karena Bolshevisme, yang senantiasa mengobarkan perjuangan yang paling tidak-kenal-ampun dan tanpa-kompromi melawan oportunisme. Saya katakan “sebagian”, karena satu faktor lainnya yang lebih penting dalam melemahkan pengaruh anarkisme adalah pengalaman di masa lalu (tahun tujuh puluhan pada abad ke-19), di mana anarkisme dapat berkembang dengan pesat dan mengekspos dirinya sebagai gagasan yang sepenuhnya keliru, yang tidak mampu menjadi teori untuk memandu kelas revolusioner.

Ketika Bolshevisme muncul pada 1903, ia meneruskan tradisi perjuangan yang tegas melawan revolusionisme borjuis-kecil, semi-anarkis (atau anarkis-diletan), sebuah tradisi yang selalu ada dalam Sosial-Demokrasi revolusioner dan telah menjadi sangat kuat di negara kita selama tahun-tahun 1900-03, ketika fondasi untuk partai massa proletariat revolusioner tengah dibangun di Rusia. Bolshevisme mengambil alih dan meneruskan perjuangan melawan sebuah partai yang, lebih dari partai-partai lainnya, mengekspresikan kecenderungan revolusionisme borjuis-kecil, yakni Partai “Sosialis-Revolusioner”, dan mengobarkan perjuangan ini dalam tiga isu utama. Pertama, partai ini, yang menyangkal Marxisme, dengan keras kepala menolak (atau, mungkin lebih tepatnya, tidak mampu) memahami perlunya analisis yang sepenuhnya objektif mengenai kekuatan-kekuatan kelas dan pemetaan mereka, sebelum mengambil tindakan politik apa pun. Kedua, partai ini menganggap dirinya “revolusioner”, atau “Kiri”, karena ia mendukung terorisme individual atau pembunuhan – sesuatu yang dengan tegas ditolak oleh kaum Marxis. Tentu saja, kami menolak terorisme individual hanya karena taktik ini tidak bermanfaat sama sekali; sedangkan orang-orang yang mengutuk “secara prinsipil” teror Revolusi Besar Prancis, atau, secara umum, teror yang digunakan oleh partai revolusioner yang telah menang, yang dikepung oleh borjuasi seluruh dunia, diejek dan ditertawakan oleh Plekhanov pada 1900-03, ketika dia masihlah Marxis dan revolusioner. Ketiga, kaum “Sosialis-Revolusioner” mengira diri mereka sangat “Kiri” ketika mereka mencemooh dosa-dosa oportunisme Partai Sosial-Demokrat Jerman yang tidak seberapa itu, sementara mereka sendiri meniru kaum oportunis ekstrem partai tersebut, misalnya, dalam masalah agraria, atau dalam masalah kediktatoran proletariat.

Sejarah sekarang telah mengkonfirmasi dalam skala luas dan di seluruh dunia pendapat yang selalu kami pertahankan, bahwa Sosial-Demokrasi revolusioner Jerman (perhatikan bahwa sejak tahun 1900-03 Plekhanov telah menuntut dipecatnya Bernstein dari Partai, dan pada 1913 kaum Bolshevik, yang selalu meneruskan tradisi ini, menelanjangi kebobrokan, kebusukan, dan pengkhianatan Legien[13]) adalah yang paling dekat dengan partai yang dibutuhkan oleh proletariat revolusioner untuk mencapai kemenangan. Hari ini, pada 1920, setelah semua kegagalan yang memalukan dan krisis masa perang dan tahun-tahun awal pasca-perang, kita dapat melihat dengan jelas bahwa, dari semua partai di Eropa Barat, kaum Sosial-Demokrat revolusioner Jerman telah melahirkan pemimpin-pemimpin terbaik, dan pulih serta membangun kekuatan baru dengan lebih cepat dibandingkan partai-partai lainnya. Ini ditunjukkan dengan jelas oleh kaum Spartakus[14] dan sayap Kiri (sayap proletar) Partai Sosial-Demokrat Independen Jerman (USPD), yang mengobarkan perjuangan yang tak henti-hentinya untuk melawan oportunisme dan kepengecutan orang-orang seperti Kautsky, Hilferding, Ledebour, dan Crispien. Bila kita sekarang meninjau secara umum keseluruhan periode sejarah, terutama dari Komune Paris hingga Republik Soviet Sosialis yang pertama, kita dapat melihat sikap Marxisme yang jelas dan tegas terhadap anarkisme. Pada analisa terakhir, Marxisme terbukti benar. Meskipun kaum anarkis dengan tepat mengkritik gagasan oportunis mengenai negara yang mendominasi kebanyakan partai-partai sosialis, pertama-tama harus dikatakan bahwa oportunisme ini berhubungan dengan pemelintiran, dan bahkan penyembunyian dengan sengaja, gagasan Marx mengenai negara (dalam buku saya, Negara dan Revolusi, saya menunjukkan bahwa selama tiga puluh enam tahun, dari 1875 hingga 1911, Bebel menyembunyikan sepucuk surat dari Engels[15], yang dengan sangat jelas, gamblang, dan definitif mengekspos oportunisme pandangan Sosial-Demokrat saat ini mengenai negara); kedua, tendensi-tendensi yang paling Marxis di dalam partai-partai sosialis Eropa dan Amerika mampu dengan cepat dan secara luas memperbaiki pandangan oportunis ini, dan segera mengakui kekuasaan Soviet dan superioritasnya atas demokrasi parlementer borjuis.

Perjuangan yang dikobarkan Bolshevisme untuk melawan penyimpangan “Kiri” di dalam Partainya sendiri mengambil porsi yang sangat besar dalam dua kesempatan: pada 1908, mengenai masalah berpartisipasi atau tidak dalam “parlemen” yang reaksioner dan dalam organisasi-organisasi buruh yang legal, yang dibatasi oleh hukum yang paling reaksioner; dan sekali lagi pada 1918 (Perjanjian Brest-Litovsk)[16], mengenai apakah diperbolehkan untuk “berkompromi”.

Pada 1908, kaum Bolshevik “Kiri” dikeluarkan dari Partai kami karena mereka dengan keras kepala menolak memahami pentingnya berpartisipasi dalam “parlemen” yang paling reaksioner.[17] Kaum “Kiri” ini – di antara mereka ada banyak kaum revolusioner hebat yang kemudian menjadi (dan masih menjadi) anggota Partai Komunis yang terpuji – mendasarkan diri mereka terutama pada pengalaman sukses boikot pada 1905. Ketika, pada bulan Agustus 1905, tsar memproklamirkan pembentukan “parlemen” konsultatif, kaum Bolshevik menyerukan boikot, di hadapan semua partai oposisi dan kaum Menshevik, dan “parlemen” tersebut pada kenyataannya disapu bersih oleh revolusi Oktober 1905.[18] Boikot tersebut terbukti benar pada saat itu, bukan karena memboikot parlemen reaksioner adalah benar secara umum, tetapi karena kami secara akurat menilai situasi objektif yang ada, yang saat itu mengarah pada perkembangan cepat pemogokan massa menjadi pemogokan politik, kemudian menjadi pemogokan revolusioner, dan akhirnya menjadi pemberontakan. Selain itu, polemik pada waktu itu berpusat pada soal apakah kita membiarkan tsar menyelenggarakan majelis perwakilan yang pertama itu, atau kita perlu merebut penyelenggaraan majelis tersebut dari tangan rejim yang lama. Ketika tidak ada, dan tidak mungkin ada, kepastian bahwa situasi obyektifnya serupa, dan ketika tidak ada kepastian adanya kecenderungan yang serupa dan laju perkembangan gerakan yang sama, maka taktik boikot sudah tidak lagi tepat.

Pemboikotan “parlemen” pada 1905 oleh kaum Bolshevik memperkaya kaum proletar revolusioner dengan pengalaman politik yang sangat berharga dan menunjukkan bahwa, ketika bentuk-bentuk perjuangan parlementer dan non-parlementer yang legal dan ilegal digabungkan, terkadang berguna dan bahkan penting untuk menolak bentuk-bentuk parlementer. Namun, akan menjadi kekeliruan besar bila kita menerapkan dengan buta pengalaman ini ke kondisi-kondisi lain dan situasi-situasi lain, dengan menjiplaknya begitu saja tanpa berpikir secara kritis. Pemboikotan Duma pada 1906 oleh kaum Bolshevik merupakan kesalahan, meskipun ini adalah kesalahan kecil dan mudah diperbaiki.[19] Pemboikotan Duma pada 1907, 1908, dan tahun-tahun berikutnya adalah kesalahan yang paling serius dan sulit untuk diperbaiki, karena, di satu sisi pada saat itu kita tidak bisa mengharapkan adanya kebangkitan revolusioner yang pesat, yang dapat berubah menjadi pemberontakan, dan, di sisi lain, kita dituntut memadukan kerja legal dan ilegal di tengah situasi historis yang diciptakan oleh reforma monarki borjuis. Hari ini, ketika kita melihat kembali ke periode sejarah yang telah selesai ini, yang hubungannya dengan periode-periode berikutnya telah menjadi begitu nyata, maka menjadi sangat jelas bahwa pada 1908-14 kaum Bolshevik tidak mungkin dapat menyelamatkan (apalagi memperkuat dan mengembangkan) lapisan inti partai proletar revolusioner, seandainya mereka tidak meluncurkan perjuangan yang teramat sengit untuk mempertahankan gagasan bahwa kita wajib mengkombinasikan bentuk-bentuk perjuangan legal dan ilegal, dan bahwa kita wajib berpartisipasi bahkan di dalam parlemen yang paling reaksioner sekali pun dan di dalam sejumlah lembaga lainnya yang dibatasi oleh undang-undang yang reaksioner (asosiasi tunjangan kesehatan, dsb.)

Pada 1918, ini tidak berujung pada perpecahan. Pada saat itu kaum Komunis “Kiri” hanya membentuk sebuah kelompok atau “faksi” yang terpisah di dalam Partai kita, dan itu pun tidak lama. Pada tahun yang sama, 1918, para perwakilan “Komunisme Kiri” yang paling terkemuka, misalnya, Kamerad Radek dan Bukharin, secara terbuka mengakui kesalahan mereka. Bagi mereka pada saat itu, Perjanjian Brest-Litovsk adalah sebuah kompromi dengan kaum imperialis, yang secara prinsipil tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi partai kaum proletar revolusioner. Ini memang sebuah kompromi dengan kaum imperialis, tetapi ini adalah kompromi yang, di bawah situasi yang ada, terpaksa diambil.

Hari ini, ketika saya mendengar taktik kami dalam menandatangani Perjanjian Brest-Litovsk diserang oleh kaum Sosialis-Revolusioner, misalnya, atau ketika saya mendengar Kamerad Lansbury mengatakan, dalam sebuah percakapan dengan saya, “Para pemimpin serikat buruh Inggris kami mengatakan, jika kaum Bolshevik diperbolehkan berkompromi maka mereka pun boleh berkompromi”, saya biasanya menjawab dengan memberikan contoh yang sederhana dan “populer”:

Bayangkan mobil kamu dirampok oleh bandit-bandit bersenjata. Kamu menyerahkan uang, paspor, pistol, dan mobilmu kepada mereka. Sebagai balasannya, kamu terbebas dari para bandit itu. Ini jelas kompromi. “Do ut des” (Saya “memberi” kalian uang, senjata api dan mobil “agar kalian memberi” saya kesempatan untuk melarikan diri dengan selamat). Akan tetapi, akan sulit untuk menemukan orang waras yang akan menyatakan bahwa kompromi semacam itu “tidak diperbolehkan secara prinsipil”, atau yang akan menyebut pihak yang berkompromi sebagai kaki tangan para bandit (meskipun para bandit itu mungkin akan menggunakan mobil dan senjata api saudara untuk perampokan lebih lanjut). Kompromi kami dengan bandit-bandit imperialisme Jerman hanyalah kompromi semacam itu.

Tetapi ketika, pada 1914-18 dan kemudian pada 1918-20, kaum Menshevik dan kaum Sosialis-Revolusioner di Rusia, kaum Scheidemann (dan pada tingkatan tertentu kaum Kautskyis) di Jerman, Otto Bauer dan Friedrich Adler (apalagi Renner dkk.) di Austria, Renaudel, Longuet dkk. di Prancis, kaum Fabian, para pemimpin Partai Buruh Independen dan para pemimpin Partai Buruh di Inggris mengadakan kompromi dengan para bandit borjuis mereka sendiri, dan kadang-kadang dengan borjuasi “Sekutu”, dan melawan kaum proletar revolusioner di negeri mereka sendiri, semua orang ini sebenarnya bertindak sebagai kaki tangan dalam perampokan.

Kesimpulannya jelas: menolak kompromi “secara prinsipil”, menolak diperbolehkannya kompromi secara umum, apapun jenisnya, adalah sikap kekanak-kanakan, yang bahkan sulit untuk dipertimbangkan secara serius. Seorang pemimpin politik yang ingin berguna bagi kaum proletar revolusioner harus dapat membedakan secara konkret kompromi-kompromi yang tidak dapat dibenarkan dan merupakan ekspresi oportunisme dan pengkhianatan. Ia harus mengarahkan semua kekuatan kritiknya terhadap kompromi-kompromi yang konkret semacam ini, mengutuknya dengan tegas, dan menyatakan perang tanpa-kompromi terhadapnya, dan tidak mengizinkan kaum sosialis “praktis” dan kaum Jesuit parlementer ini untuk menghindar dan mengelak dari tanggung jawab mereka dengan argumen “kompromi secara umum”. Dengan cara inilah para “pemimpin” serikat buruh Inggris, organisasi Fabian dan Partai Buruh “Independen” mengelak dari tanggung jawab atas pengkhianatan yang telah mereka lakukan, karena mereka telah mengadakan kompromi yang sesungguhnya merupakan oportunisme dan pengkhianatan yang paling buruk.

Ada berbagai jenis kompromi. Kita harus mampu menganalisis situasi dan kondisi konkret dari setiap kompromi, atau setiap jenis kompromi. Kita harus belajar membedakan antara seseorang yang telah menyerahkan uang dan senjata apinya kepada para bandit untuk menyelamatkan dirinya dari kekerasan para bandit dan untuk memfasilitasi penangkapan dan eksekusi mereka, dan seseorang yang memberikan uang dan senjata apinya kepada para perampok untuk berbagi hasil jarahan. Dalam politik, perkaranya tidak selalu sesimpel seperti contoh sederhana di atas.  Namun, siapapun yang mencoba merumuskan semacam resep yang akan menjadi solusi siap-jadi yang cocok untuk semua situasi, atau menjanjikan bahwa kebijakan proletariat revolusioner tidak akan pernah berhadapan dengan situasi-situasi yang sulit atau rumit, hanyalah seorang penipu.

Agar tidak ada ruang untuk salah tafsir, saya akan mencoba menguraikan, meskipun hanya secara singkat, beberapa aturan dasar untuk menganalisis kompromi secara konkret.

Partai yang berkompromi dengan kaum imperialis Jerman dengan menandatangani Perjanjian Brest-Litovsk ini telah mengembangkan internasionalismenya dalam praktik sejak akhir 1914. Partai ini tidak takut menyerukan kekalahan monarki tsar dalam perang dan mengutuk kebijakan “membela tanah air” dalam perang antara dua perampok imperialis. Para perwakilan parlemen partai ini lebih memilih pengasingan di Siberia daripada mengambil jabatan menteri dalam pemerintahan borjuis. Revolusi yang menggulingkan tsarisme dan mendirikan republik demokratik menghadapkan partai ini dengan ujian baru yang sangat besar – partai ini tidak membuat kesepakatan apapun dengan kaum imperialis “mereka sendiri”, tetapi mempersiapkan diri untuk menggulingkan mereka. Ketika partai ini telah meraih kekuasaan politik, ia mengekspropriasi seluruh kepemilikan kaum tuan tanah dan kapitalis. Setelah membeberkan ke publik semua isi perjanjian imperialis yang rahasia dan membatalkannya, partai ini mengusulkan perdamaian kepada semua bangsa, dan terpaksa menyerah pada para perampok Brest-Litovsk hanya setelah kaum imperialis Inggris-Perancis menggagalkan usaha perdamaian, dan hanya setelah kaum Bolshevik telah melakukan segalanya dengan segenap kekuatannya untuk mempercepat revolusi di Jerman dan negara-negara lainnya. Kebenaran mutlak dari kompromi ini, yang dibuat oleh partai seperti ini dalam situasi seperti ini, menjadi semakin jelas dan semakin nyata setiap harinya.

Kaum Menshevik dan kaum Sosialis-Revolusioner di Rusia (seperti semua pemimpin Internasional Kedua di seluruh dunia, pada 1914-20) memulai dengan pengkhianatan – dengan secara langsung atau tidak langsung menjustifikasi kebijakan “membela tanah air”, yakni membela borjuasi predator mereka sendiri. Mereka melanjutkan pengkhianatan mereka dengan berkoalisi dengan borjuasi negara mereka sendiri, dan bersama-sama dengan borjuasi mereka sendiri berjuang melawan proletariat revolusioner negara mereka sendiri. Koalisi mereka, mula-mula dengan Kerensky dan kaum Kadet, dan kemudian dengan Kolchak dan Denikin di Rusia – seperti koalisi rekan-rekan mereka di luar negeri dengan borjuasi mereka masing-masing – pada kenyataannya adalah pembelotan ke sisi borjuasi, untuk melawan kaum proletar. Dari awal sampai  akhir, kompromi mereka dengan para bandit imperialisme berarti mereka menjadi kaki tangan bandit imperialis.


Keterangan:

[13] Lenin merujuk pada artikelnya “What Should Not Be Copied from the German Labour Movement”, yang diterbitkan di majalah Bolshevik Prosveshcheniye pada April 1914. Di sini Lenin membongkar pengkhianatan Carl Legien, seorang Sosial-Demokrat Jerman yang pada 1912 memberikan pidato di Kongres Amerika Serikat dan memuji para pejabat AS dan partai-partai borjuis AS.

[14] Kaum Spartakus – anggota Liga Spartakus yang didirikan pada Januari 1916 di bawah kepemimpinan Karl Liebknecht, Rosa Luxemburg, Franz Mehring, dan Clara Zetkin. Kaum Spartakus melakukan propaganda anti-perang revolusioner di antara massa, dan membongkar kebijakan ekspansionis imperialisme Jerman dan pengkhianatan para pemimpin Sosial Demokrat. Pada April 1917, Liga Spartakus bergabung dengan Partai Sosial-Demokratik Independen Jerman (USPD), sembari mempertahankan kemandirian organisasi mereka. Setelah revolusi November 1918 di Jerman, Liga Spartakus pecah dari USPD, dan pada bulan Desember tahun yang sama mendirikan Partai Komunis Jerman.

[15] Ini merujuk pada surat Frederick Engels kepada August Bebel, tertanggal 18-28 Maret, 1875.

[16] Perjanjian Brest-Litovsk – perjanjian damai antara Soviet Rusia dan Blok Sentral yang ditandatangani pada 3 Maret 1918. Lewat perjanjian yang dipaksakan pada Soviet ini, Blok Sentral mencaplok sejumlah besar wilayah Rusia, yang mencakup Ukraina, Polandia, Belarus, Lituania, Latvia, dan Estonia, dan mencakup 34% populasi Rusia, 54% wilayah industrinya, 89% tambang batu baranya, dan 26% rel kereta apinya.

Setelah kemenangan Revolusi Oktober, seturut dengan program anti-perang mereka, Soviet segera menghentikan keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia dan mengumumkan ke seluruh dunia program perdamaian tanpa aneksasi dan tanpa ganti-rugi. Dengan Dekrit Perdamaian yang diproklamirkannya dan teladan kemenangan Soviet, Partai Bolshevik berupaya memenangkan rakyat pekerja di negara-negara yang bertikai untuk menghentikan perang imperialis ini dan mengarahkan senapan mereka ke kelas penguasa mereka sendiri, mengubah perang imperialis ini menjadi perang kelas demi revolusi sosialis sedunia.

Namun, kemenangan Oktober tidak langsung memicu revolusi di Eropa Barat. Pemerintahan Soviet terpaksa masih harus melakukan perundingan damai dengan Blok Sentral. Pada 22 Desember perundingan dimulai di benteng Brest-Litovsk. Soviet yang baru saja didirikan tidak ada dalam posisi menguntungkan karena angkatan bersenjatanya secara efektif sudah bubar, tidak ada satupun tentara yang ingin kembali ke parit-parit perang, dan Tentara Merah masih belum terbentuk. Blok Sentral memaksakan kesepakatan yang sangat predatoris.

Polemik tajam berlangsung dalam Partai Bolshevik, dengan tiga faksi utama yang terbentuk. Faksinya Lenin menginginkan segera ditandatanganinya perjanjian ini dan memenuhi semua permintaan Blok Sentral, karena pemerintahan Soviet membutuhkan ruang bernafas sembari menunggu pecahnya revolusi di Barat. Faksi “Komunis Kiri” yang dipimpin oleh Nikolai Bukharin menolak menandatangani kesepakatan ini dan menganjurkan peluncuran perang revolusioner. Mereka adalah faksi non-kompromi.

Ada faksi ketiga yang dipimpin oleh Leon Trotsky selaku Komisar Luar Negeri dan kepala delegasi perundingan Brest-Litovsk. Argumen Trotsky adalah menolak perjanjian yang predatoris itu, tetapi akan segera menandatanganinya bila pasukan Jerman meluncurkan serangan dan memaksa Soviet Rusia. Tujuannya adalah menggunakan perundingan ini sebagai platform untuk menjelaskan kepada rakyat pekerja seluruh dunia kalau Soviet Rusia sungguh berjuang demi perdamaian tanpa-aneksasi dan mengulur perundingan ini selama mungkin untuk menunggu meletusnya revolusi di Barat. Ketika pasukan Jerman akhirnya menunjukkan tanda-tanda akan menyerang, Trotsky lalu beralih ke posisi Lenin dan memberi Lenin mayoritas dalam Komite Pusat untuk menandatangani Perjanjian Brest-Litovsk.

Di kemudian hari, kaum Stalinis mengungkit kembali episode Brest-Litovsk ini untuk mempertentangkan Trotsky dengan Lenin. Pada kenyataannya, posisi Lenin dan Trotsky sangat dekat, dan faksi “Komunis Kiri” Bukharin-lah yang dikritik keras oleh Lenin. Selain itu, kondisi demokrasi internal dalam partai Bolshevik masihlah sehat ketika Lenin masih hidup, sehingga ada kebebasan berdebat dan bersilang pendapat bahkan dengan Lenin. Di bawah Stalin, semua orang yang berbeda pendapat dengan sang pemimpin langsung dicap “anti-partai” dan “perusak partai”.

[17] Pada 1908 ada perpecahan di dalam faksi Bolshevik, antara kubu Lenin yang menganjurkan partisipasi di dalam Duma Ketiga dan kubu Bogdanov (kaum otzovis) yang menganjurkan memboikot tidak hanya Duma tetapi juga kerja di organisasi-organisasi legal. Setelah perdebatan tajam, kecenderungan ultra-kiri ini akhirnya dikalahkan dalam pertemuan dewan editorial Proletary di Paris pada Juni 1909. Tetapi Bogdanov tidak menerima keputusan mayoritas ini dan oleh karenanya dikeluarkan dari faksi Bolshevik.

[18] Pada 6 Agustus, 1905, di bawah ancaman gelombang pemogokan dan demonstrasi yang terus menyebar ke seluruh penjuru Rusia dan menjadi semakin militan, rejim tsar memberikan konsesi dengan menjanjikan pembentukan sebuah parlemen atau Duma. Kaum Bolshevik menyerukan boikot aktif terhadap Duma ini, yang merupakan posisi yang tepat karena Revolusi 1905 sudah mencapai titik insureksi bersenjata revolusioner untuk menumbangkan keseluruhan monarki tsar. Rakyat pekerja melihat Duma ini tidak lain sebagai jebakan untuk meredam laju revolusi. Pemilu Duma ini akhirnya tidak terselenggara dan tersapu oleh gelombang revolusi.

[19] Apa yang berlaku bagi individu juga berlaku – dengan perubahan tertentu – bagi politik dan partai. Orang yang cerdas bukanlah orang yang tidak membuat kesalahan. Tidak ada orang seperti itu, dan tidak mungkin ada. Orang yang cerdas adalah orang yang kesalahannya tidak terlalu serius dan mampu memperbaikinya dengan mudah dan cepat. [Keterangan Lenin]