Komunisme “Sayap Kiri” – Penyakit Kekanak-kanakan

Lenin (1920)


VII. HARUSKAH KITA BERPARTISIPASI DALAM PARLEMEN BORJUIS?

Kaum Komunis “Kiri”, dengan nada yang sangat mencibir – dan dengan sangat sembrono – menjawab pertanyaan ini dengan jawaban negatif. Argumen mereka? Dalam kutipan di atas kita membaca:

“...Kita harus dengan tegas menolak semua kompromi dengan partai-partai lain, semua upaya untuk kembali ke bentuk-bentuk perjuangan parlementer, yang secara historis dan politik sudah usang, dan semua kebijakan manuver dan kompromi....”

Ini dikatakan dengan pretensi yang menggelikan, dan jelas-jelas salah. “Kembali” ke parlementarisme, yang benar saja! Barang kali sudah ada republik Soviet di Jerman? Sepertinya tidak! Lalu, bagaimana seseorang dapat berbicara tentang “kembali”? Bukankah ini frasa kosong belaka?

Parlementarisme telah menjadi “usang secara historis”. Ini benar dalam pengertian propaganda. Namun, semua orang tahu bahwa kita masih jauh dari melampaui parlementarisme dalam praktik. Kapitalisme bisa saja dinyatakan “usang secara historis” berpuluh-puluh tahun yang lalu, dan kita sepenuhnya dibenarkan untuk menyatakan itu. Tetapi ini sama sekali bukan berarti kita tidak perlu berjuang secara gigih dan untuk waktu yang lama di bawah kapitalisme Parlementarisme sudah “usang secara historis” dari sudut pandang sejarah dunia, yakni, era parlementarisme borjuis sudah berakhir, dan era kediktatoran proletar sudah dimulai. Hal itu tidak dapat dibantah. Tetapi sejarah dunia diukur dalam hitungan dekade. Sepuluh atau dua puluh tahun lebih awal atau lebih lambat tidak ada bedanya bila diukur dengan tolok ukur sejarah dunia; dari sudut pandang sejarah dunia, rentang sepuluh dua puluh tahun tidaklah berarti, yang mustahil dipertimbangkan bahkan dalam aproksimasi. Tetapi inilah mengapa, dalam menerapkan tolok ukur sejarah dunia pada masalah politik praktis, seorang melakukan kesalahan teoritis yang paling mencolok.

Apakah parlementarisme sudah “usang secara politik”? Itu masalah yang sangat berbeda. Jika itu benar, kaum “Kiri” akan memiliki posisi yang kuat. Tetapi itu harus dibuktikan dengan analisis yang sangat cermat, dan kaum “Kiri” bahkan tidak tahu bagaimana mendekati masalah ini. Dalam “Tesis tentang Parlementarisme”, yang diterbitkan dalam Buletin Biro Provisional Komunis Internasional di Amsterdam No. 1, Februari 1920, dan jelas mengekspresikan gagasan kaum Kiri-Belanda atau Belanda-Kiri, analisisnya, seperti yang akan kita lihat, juga sangat buruk.

Pertama-tama, bertentangan dengan pendapat para pemimpin politik terkemuka seperti Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht, kaum “Kiri” Jerman, seperti yang kita ketahui, menganggap parlementarisme sudah “usang secara politik” bahkan pada Januari 1919.[33] Kita tahu kaum “Kiri” ini keliru. Fakta ini saja sudah menghancurkan, dengan satu pukulan, proposisi bahwa parlementarisme sudah “usang secara politik”. Adalah kewajiban kaum “Kiri” untuk membuktikan mengapa kesalahan mereka, yang tak terbantahkan pada waktu itu, sekarang sudah bukan lagi kesalahan. Mereka tidak, dan tidak dapat, memberikan sedikit pun bukti. Sikap sebuah partai politik terhadap kesalahannya sendiri adalah salah satu cara yang paling penting dan paling pasti untuk menilai seberapa besar kesungguhan partai tersebut dan bagaimana partai tersebut memenuhi dalam praktik kewajibannya terhadap kelasnya dan rakyat pekerja. Mengakui kesalahan dengan jujur, mengupas sebab-sebabnya, menganalisis kondisi-kondisi yang menyebabkan kesalahan tersebut, dan membahas cara untuk memperbaikinya – itulah ciri khas partai yang serius; begitulah seharusnya partai tersebut menjalankan tugasnya, dan bagaimana ia mendidik dan melatih kelasnya, dan lalu massa. Dengan tidak memenuhi tugas ini dan tidak memberikan perhatian dan pertimbangan penuh untuk mempelajari kesalahan paten mereka, kaum “Kiri” di Jerman (dan di Belanda) telah membuktikan bahwa mereka bukanlah partai kelas, melainkan lingkaran kecil, bukanlah partai massa, melainkan sekelompok kaum intelektual dan beberapa buruh yang meniru fitur-fitur terburuk intelektualisme.

Kedua, dalam pamflet yang sama dari kelompok “Kiri” Frankfurt, yang telah kami kutip secara rinci, kita membaca:

“... Jutaan buruh yang masih mengikuti kebijakan Partai Tengah Katolik[34] adalah kontra-revolusioner. Kaum proletar pedesaan menjadi legiun-legiun yang mengisi pasukan kontra-revolusioner.” (Halaman 3 dari pamflet)

Semuanya menunjukkan bahwa pernyataan ini terlalu luas dan berlebihan. Tetapi fakta dasar yang dikemukakan di sini tidak dapat disangkal, dan pengakuannya oleh kaum “Kiri” adalah bukti yang sangat jelas akan kesalahan mereka. Bagaimana mungkin kita dapat mengatakan “parlementarisme sudah usang secara politik”, ketika “jutaan” dan “berlegiun-legiun” kaum proletar tidak hanya masih mendukung parlementarisme secara umum, tetapi juga “kontra-revolusioner”!? Jelaslah bahwa parlementarisme di Jerman belum usang secara politik. Jelaslah bahwa kaum “Kiri” di Jerman telah menyalahartikan keinginan mereka, sikap politik-ideologis mereka, sebagai realitas objektif. Ini adalah kesalahan yang paling berbahaya bagi kaum revolusioner. Di Rusia – di mana, dalam periode yang sangat panjang dan dalam bentuk yang sangat beragam, penindasan tsarisme yang paling brutal dan biadab telah menghasilkan kaum revolusioner dengan berbagai corak, kaum revolusioner yang menunjukkan pengabdian, antusiasme, kepahlawanan, dan tekad yang luar biasa – di Rusia kami telah mengamati kesalahan kaum revolusioner ini dari jarak yang sangat dekat, kami telah mempelajarinya dengan sangat seksama dan memiliki pengetahuan langsung mengenainya, dan itulah sebabnya kami juga dapat melihatnya dengan sangat jelas di tempat lain. Parlementarisme tentu saja “usang secara politik” bagi kaum Komunis di Jerman; tetapi – di sinilah pokok permasalahannya – kita tidak boleh menganggap apa yang usang bagi kita sebagai sesuatu yang usang bagi suatu kelas, bagi massa. Di sini sekali lagi kita menemukan kaum “Kiri” tidak tahu bagaimana bernalar, tidak tahu bagaimana bertindak sebagai partai kelas, sebagai partai massa. Kita tidak boleh tenggelam ke level massa, ke level lapisan terbelakang kelas. Itu tidak dapat dibantah. Kita harus mengatakan kepada mereka kebenaran yang pahit. Kita wajib mengkritik prasangka-prasangka borjuis-demokratik dan parlementer mereka sebagaimana adanya – yaitu sebagai prasangka. Tetapi pada saat yang sama kita harus dengan kepala dingin mengikuti kondisi aktual kesadaran kelas dan kesiapan seluruh kelas (bukan hanya barisan pelopor komunisnya), dan semua rakyat pekerja (bukan hanya elemen-elemen maju mereka).

Bahkan jika hanya sebagian kecil buruh industri, dan bukan “jutaan” dan “berlegiun-legiun”, mengikuti pimpinan para pendeta Katolik [Partai Tengah Katolik]  – dan sebagian kecil buruh pedesaan mengikuti para tuan tanah dan kulak (Grossbauern)[35] – ini jelas-jelas menandakan bahwa parlementarisme di Jerman masih belum usang secara politik, bahwa partisipasi dalam pemilu legislatif dan perjuangan di mimbar parlemen adalah wajib bagi partai proletariat revolusioner, khususnya untuk tujuan mendidik lapisan terbelakang kelasnya sendiri, dan untuk tujuan membangkitkan dan mencerahkan massa pedesaan yang terbelakang, tertindas, dan bodoh. Selama kita masih belum memiliki kekuatan untuk membubarkan parlemen borjuis dan semua lembaga reaksioner lainnya, kita harus bekerja di dalamnya, karena di sanalah kita masih akan menemukan buruh-buruh yang diperdaya oleh para pendeta dan dibodohkan oleh kondisi-kondisi kehidupan pedesaan; jika tidak, kita berisiko menjadi pembual belaka.

Ketiga, kaum Komunis “Kiri” sering sekali memuji kami kaum Bolshevik. Kadang-kadang kami ingin menegur mereka: kurangi pujian kalian dan cobalah pelajari lebih baik taktik-taktik kaum Bolshevik. Kami ikut serta dalam pemilihan Majelis Konstituante, parlemen borjuis Rusia pada September-November 1917. Apakah taktik kami benar atau tidak? Bila tidak, maka ini harus dinyatakan dan dibuktikan dengan jelas, karena ini diperlukan untuk mengembangkan taktik yang tepat untuk komunisme internasional. Bila benar, maka kesimpulan tertentu harus ditarik. Tentu saja, kita sama sekali tidak boleh menyamakan kondisi di Rusia dengan kondisi di Eropa Barat. Tetapi mengenai konsep “parlementarisme telah menjadi usang secara politik”, pengalaman kami harus dipertimbangkan. Bila kita tidak mempertimbangkan pengalaman yang konkret, maka konsep semacam itu akan dengan mudah berubah menjadi frase hampa. Pada September-November 1917, bukankah kami, kaum Bolshevik Rusia, lebih berhak daripada kaum Komunis Barat untuk menganggap bahwa parlementarisme telah menjadi usang secara politik di Rusia? Tentu saja kami lebih berhak, karena intinya bukanlah apakah parlemen borjuis telah ada untuk waktu yang lama atau sebentar saja, tetapi seberapa jauh massa rakyat pekerja siap (secara ideologis, politik, dan praktik) untuk menerima sistem Soviet dan membubarkan parlemen borjuis-demokratik (atau membiarkannya dibubarkan). Pada September-November 1917, kelas buruh perkotaan, tentara serta kaum tani di Rusia, berkat sejumlah kondisi yang khusus, sangat siap menerima sistem Soviet dan membubarkan parlemen borjuis yang paling demokratik; ini adalah fakta sejarah yang sama sekali tidak dapat dibantah dan telah terbukti sepenuhnya. Kendati demikian, kaum Bolshevik tidak memboikot Majelis Konstituante, tetapi ikut serta dalam pemilu sebelum dan sesudah kaum proletar menaklukkan kekuasaan politik. Pemilu ini memberikan hasil politik yang teramat berharga (dan sangatlah berguna bagi kaum proletar); saya berharap ini telah saya buktikan di artikel yang saya sebut di atas (“Pemilihan Majelis Konstituante dan Kediktatoran Proletariat”), yang menganalisis secara detail hasil pemilihan Majelis Konstituante di Rusia.

Kesimpulan yang mengalir dari sini benar-benar tak terbantahkan: telah terbukti bahwa partisipasi dalam parlemen borjuis-demokratik, bahkan beberapa minggu sebelum kemenangan republik Soviet dan bahkan setelah kemenangan tersebut, sama sekali tidak merugikan kaum proletar revolusioner. Ini justru membantu kaum proletar untuk membuktikan kepada massa yang terbelakang mengapa parlemen semacam itu pantas dibubarkan; ini memfasilitasi keberhasilan pembubarannya, dan membantu membuat parlementarisme borjuis menjadi “usang secara politik”. Mengabaikan pengalaman ini, sementara pada saat yang sama mengklaim afiliasi dengan Komunis Internasional, yang harus menyusun taktiknya secara internasional (bukan taktik nasional yang sempit dan eksklusif, tetapi taktik internasional), berarti melakukan sebuah kesalahan besar, dan sesungguhnya mencampakkan internasionalisme dalam perbuatan sementara mengakuinya hanya dalam ucapan.

Sekarang mari kita periksa argumen-argumen kaum “Kiri-Belanda” yang mendukung non-partisipasi dalam parlemen. Berikut ini adalah teks Tesis No. 4, yang paling penting dari tesis-tesis “Belanda” yang disebutkan di atas:

“Ketika sistem produksi kapitalis telah runtuh, dan masyarakat berada dalam kondisi revolusi, aksi parlementer perlahan-lahan kehilangan signifikansinya dibandingkan dengan aksi massa itu sendiri. Ketika, dalam kondisi seperti ini, parlemen menjadi pusat dan organ kontra-revolusi, sementara, di sisi lain, kelas buruh membangun instrumen kekuasaannya di Soviet, maka akan menjadi sangat penting untuk abstain dari semua partisipasi dalam aksi parlementer.”

Kalimat pertama jelas salah, karena aksi massa, misalnya pemogokan besar, lebih penting daripada aktivitas parlementer di setiap saat, dan tidak hanya selama revolusi atau dalam situasi revolusioner. Argumen yang jelas-jelas rapuh dan keliru secara historis dan politik ini hanya menunjukkan dengan sangat jelas bahwa penulis tesis ini sepenuhnya mengabaikan pengalaman Eropa secara umum (pengalaman Prancis sebelum revolusi 1848 dan 1870; pengalaman Jerman 1878-90, dsb.) dan pengalaman Rusia (lihat di atas) mengenai pentingnya mengkombinasikan perjuangan legal dan ilegal. Masalah ini sangat penting baik secara umum maupun secara khusus, karena di semua negara maju dan beradab waktunya semakin dekat ketika kombinasi semacam ini akan semakin menjadi – dan sebagian sudah menjadi – keharusan bagi partai proletariat revolusioner, karena perang sipil antara proletariat dan borjuasi sudah semakin matang dan semakin dekat, dan karena persekusi kejam terhadap kaum Komunis yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah republik dan pemerintah-pemerintah borjuis pada umumnya, yang menggunakan segala pelanggaran legalitas (contoh dari Amerika sudah cukup untuk mendidik), dsb. Kaum “Kiri” Belanda, dan kaum “Kiri” pada umumnya, sama sekali gagal memahami masalah yang sangat penting ini.

Kalimat kedua, pertama-tama, secara historis salah. Kami kaum Bolshevik berpartisipasi di dalam parlemen-parlemen yang paling kontra-revolusioner, dan pengalaman menunjukkan bahwa partisipasi ini tidak hanya berguna tetapi juga sangat diperlukan oleh partai proletariat revolusioner, setelah revolusi borjuis pertama di Rusia (1905), untuk membuka jalan menuju revolusi borjuis kedua (Februari 1917), dan kemudian membuka jalan menuju revolusi sosialis (Oktober 1917). Pertama-tama, kalimat ini sangat tidak logis. Bila parlemen menjadi organ dan “pusat” (pada kenyataannya parlemen tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menjadi “pusat”, tetapi begitulah adanya) kontra-revolusi, sementara kaum buruh sedang membangun instrumen kekuasaan mereka dalam bentuk Soviet, maka ini berarti kaum buruh harus mempersiapkan diri – secara ideologis, politik, dan teknik – untuk perjuangan Soviet melawan parlemen, untuk pembubaran parlemen oleh Soviet. Tetapi ini sama sekali tidak berarti bahwa pembubaran ini dihalangi, atau tidak difasilitasi, oleh kehadiran oposisi Soviet di dalam parlemen kontra-revolusioner. Dalam perjuangan kami yang jaya dalam melawan Denikin dan Kolchak, kita tidak pernah menemukan bahwa keberadaan oposisi Soviet dan proletar di dalam kubu mereka tidak penting bagi kemenangan kami. Kami tahu betul bahwa pembubaran Majelis Konstituante pada 5 Januari 1918 tidak dihalangi, tetapi justru difasilitasi oleh fakta bahwa, di dalam Majelis Konstituante yang kontra-revolusioner yang sedang akan dibubarkan itu, terdapat oposisi Soviet Bolshevik yang konsisten dan juga oposisi Soviet Sosialis-Revolusioner Kiri yang tidak konsisten. Para penulis tesis ini kacau pikirannya; mereka telah melupakan pengalaman dari banyak revolusi, bila bukan semua revolusi, yang menunjukkan betapa bermanfaatnya, selama revolusi, kombinasi aksi massa di luar parlemen reaksioner dengan oposisi yang bersimpati pada (atau, lebih baik lagi, secara langsung mendukung) revolusi di dalam parlemen. Kaum “Kiri” Belanda, dan kaum “Kiri” pada umumnya, berdebat layaknya kaum doktriner revolusi, yang tidak pernah ambil bagian dalam revolusi yang sesungguhnya, tidak pernah mempertimbangkan sejarah revolusi-revolusi, atau secara naif mengira bahwa “penolakan” subyektif terhadap institusi reaksioner sama saja dengan penghancurannya yang sesungguhnya lewat perpaduan sejumlah faktor objektif. Cara yang paling pasti untuk mendiskreditkan dan merusak sebuah ide politik yang baru (dan bukan hanya ide politik saja) adalah dengan mereduksinya menjadi absurditas dengan dalih ingin membelanya. Karena kebenaran apa pun, jika dilakukan “berlebihan” (seperti yang dikatakan Dietzgen Senior), jika dibesar-besarkan, atau jika dibawa melampaui batas penerapannya yang sebenarnya, dapat tereduksi menjadi absurditas, dan bahkan pasti menjadi absurditas dalam kondisi seperti ini. Inilah yang persis dilakukan oleh kaum Kiri Belanda dan Jerman, yang mendiskreditkan kebenaran baru mengenai bentuk pemerintahan Soviet sebagai bentuk yang lebih superior daripada parlemen borjuis-demokratik. Tentu saja, siapapun akan keliru jika mereka menyuarakan sudut pandang yang sudah ketinggalan jaman ini atau secara umum menganggap tidak diperbolehkan, dalam segala situasi, memboikot parlemen borjuis. Di sini saya tidak akan mencoba merumuskan kondisi-kondisi di mana boikot itu berguna, karena tujuan pamflet ini jauh lebih sederhana, yaitu untuk mempelajari pengalaman Rusia sehubungan dengan masalah penting tertentu mengenai taktik komunis internasional. Pengalaman Rusia telah memberi kita satu contoh boikot yang berhasil dan benar (1905), dan satu contoh boikot yang keliru (1906) oleh kaum Bolshevik. Dengan menganalisis kasus pertama, kita melihat bahwa kita berhasil mencegah pemerintah reaksioner untuk menggelar parlemen reaksioner di dalam situasi di mana aksi massa revolusioner ekstra-parlementer (khususnya aksi mogok) tengah berkembang dengan sangat cepat, ketika tidak ada satupun lapisan kaum proletar dan kaum tani yang mendukung pemerintahan reaksioner, dan ketika kaum proletar revolusioner tengah memenangkan pengaruh atas massa terbelakang lewat perjuangan pemogokan dan lewat gerakan agraria. Jelas sekali pengalaman ini tidak berlaku untuk kondisi Eropa saat ini. Juga jelas sekali – berdasarkan alasan-alasan yang telah dijelaskan sebelumnya – bahwa kebijakan kaum “Kiri” Belanda dan kaum “Kiri” lainnya yang menolak berpartisipasi di parlemen, sekalipun dengan syarat-syarat tertentu, pada dasarnya salah dan merugikan perjuangan kaum proletar revolusioner.

Di Eropa Barat dan Amerika, parlemen telah menjadi institusi yang paling menjijikkan bagi lapisan pelopor revolusioner kelas buruh. Ini tidak dapat disangkal. Ini dapat dengan mudah dimengerti, karena sulit untuk membayangkan sesuatu yang lebih hina, keji, dan khianat daripada perilaku mayoritas besar anggota parlemen sosialis dan Sosial-Demokrat selama dan setelah perang. Akan tetapi, tidak hanya tak masuk akal tetapi juga merupakan tindakan kriminal jika kita membiarkan diri kita terseret oleh sentimen seperti ini ketika memutuskan bagaimana memerangi parlemen yang keji ini. Di banyak negara di Eropa Barat, sentimen revolusioner, bisa dikatakan, saat ini merupakan “hal baru”, atau “langka”, yang sudah terlalu lama dinanti-nantikan dengan sia-sia dan tidak sabar; mungkin itulah sebabnya mengapa orang begitu mudah terseret oleh sentimen ini. Tentu saja, tanpa sentimen revolusioner di antara massa, dan tanpa kondisi-kondisi yang memfasilitasi pertumbuhan sentimen ini, taktik-taktik revolusioner tidak akan pernah berkembang menjadi aksi. Akan tetapi, di Rusia, pengalaman perjuangan yang panjang, pahit, dan berdarah-darah telah mengajarkan kita kebenaran bahwa taktik revolusioner tidak dapat dibangun di atas sentimen revolusioner saja. Taktik harus didasarkan pada penilaian yang bijaksana dan objektif terhadap semua kekuatan kelas di suatu negara tertentu (dan negara-negara di sekitarnya, dan semua negara di seluruh dunia) dan juga terhadap pengalaman gerakan revolusioner. Sangatlah mudah untuk menunjukkan temperamen “revolusioner” kita hanya dengan mencaci maki oportunisme parlementer, atau mengutuk partisipasi dalam parlemen; namun kemudahan ini tidak dapat mengubahnya menjadi solusi untuk problem yang sangat sulit. Jauh lebih sulit untuk menciptakan fraksi parlementer yang benar-benar revolusioner di parlemen Eropa daripada di Rusia. Itu masuk akal. Namun, ini hanyalah ekspresi partikular dari kebenaran umum bahwa mudah bagi Rusia, dalam situasi yang spesifik dan unik secara historis pada 1917, untuk memulai revolusi sosialis, tetapi akan lebih sulit bagi Rusia dibandingkan dengan negara-negara Eropa untuk melanjutkan revolusi ini dan membawanya sampai ke garis akhir. Saya telah mengemukakan ini pada awal tahun 1918, dan pengalaman kami selama dua tahun terakhir telah sepenuhnya mengkonfirmasi kebenaran pandangan ini. Kondisi-kondisi unik dan spesifik tertentu yang ada di Rusia adalah sebagai berikut:

(1) Kemungkinan untuk menghubungkan revolusi Soviet dengan berakhirnya, sebagai konsekuensi dari revolusi ini, perang imperialis, yang telah begitu menguras tenaga kaum buruh dan tani.

(2) Kemungkinan untuk mengambil keuntungan sementara dari konflik besar antara dua kelompok perampok imperialis yang paling kuat di dunia, yang tidak mampu bersatu untuk melawan musuh Soviet mereka.

(3) Kemungkinan untuk bertahan dalam perang saudara yang berkobar relatif lama, sebagian karena wilayah Rusia yang sangat luas dan buruknya sarana komunikasi.

(4) Adanya gerakan revolusioner borjuis-demokratik yang begitu mendalam di antara kaum tani sehingga partai proletariat dapat mengadopsi tuntutan-tuntutan revolusioner partai tani (Partai Sosialis-Revolusioner, yang mayoritas anggotanya jelas-jelas memusuhi Bolshevisme) dan mewujudkannya sekaligus, berkat penaklukan kekuasaan politik oleh kaum proletar.

Semua kondisi yang unik dan spesifik ini tidak ditemukan di Eropa Barat saat ini, dan kondisi-kondisi semacam ini atau yang serupa tidak akan terulang dengan begitu mudahnya. Maka dari itu, terlepas dari sejumlah penyebab lainnya, itulah mengapa lebih sulit bagi Eropa Barat untuk memulai revolusi sosialis dibandingkan dengan kami. Mencoba untuk “mengatasi” kesulitan ini dengan “melompati” pekerjaan sulit dalam menggunakan parlemen reaksioner untuk tujuan revolusioner adalah tindakan yang teramat kekanak-kanakan. Kalian ingin menciptakan masyarakat baru, tetapi kalian takut pada kesulitan yang ada dalam membentuk fraksi parlementer yang baik, yang terdiri dari kaum Komunis yang teguh, berbakti, dan heroik, di dalam sebuah parlemen yang reaksioner! Bukankah itu kekanak-kanakan? Bila Karl Liebknecht di Jerman dan Z. Höglund di Swedia mampu, bahkan tanpa dukungan massa dari bawah, memberikan contoh bagaimana secara revolusioner memanfaatkan parlemen reaksioner, mengapa partai massa revolusioner yang tengah tumbuh pesat, di tengah-tengah kekecewaan massa pasca-perang, tidak mampu membentuk fraksi komunis di dalam parlemen yang paling buruk sekalipun? Ini karena, di Eropa Barat, massa buruh yang terbelakang dan – pada tingkatan yang lebih besar – kaum tani kecil jauh lebih diliputi oleh prasangka-prasangka borjuis-demokratik dan parlementer daripada di Rusia; oleh karena itu, hanya dari dalam lembaga-lembaga seperti parlemen borjuislah kaum Komunis dapat (dan harus) mengobarkan perjuangan yang panjang dan gigih, dengan tanpa gentar menghadapi segala kesulitan, untuk membongkar, menyingkirkan, dan mengatasi prasangka-prasangka ini.

Kaum “Kiri” Jerman mengeluh mengenai “pemimpin” buruk di dalam partai mereka, dan mereka lalu jadi putus ada, dan bahkan menarik kesimpulan konyol untuk “menegasi” “pemimpin”. Tetapi dalam kondisi di mana kita sering kali harus menyembunyikan “pemimpin” kami di bawah tanah, perkembangan “pemimpin” yang baik, yang dapat diandalkan, teruji dan berwibawa, adalah perkara yang sangat sulit; kesulitan-kesulitan ini tidak dapat diatasi dengan baik tanpa memadukan kerja legal dan ilegal, dan tanpa menguji “pemimpin” ini, di antara cara-cara lain, di parlemen. Kritik yang paling tajam, tanpa-ampun dan tanpa-kompromi harus diarahkan, bukan pada parlementarisme atau aktivitas parlementer, tetapi pada para pemimpin yang tidak mampu – dan lebih-lebih lagi pada mereka yang tidak mau – menggunakan pemilu dan mimbar parlemen secara revolusioner dan komunis. Hanya kritik semacam ini – tentu saja dikombinasikan dengan memecat pemimpin yang tidak cakap dan menggantinya dengan pemimpin yang cakap – yang akan menjadi kerja revolusioner yang berguna dan bermanfaat, yang secara bersamaan akan melatih para “pemimpin” ini untuk menjadi pemimpin yang layak bagi kelas buruh dan seluruh rakyat pekerja, dan melatih massa untuk dapat memahami situasi politik dan tugas-tugas yang sering kali sangat rumit dan pelik yang muncul dari situasi tersebut.[36]


Keterangan:

[33] Ini merujuk pada kebijakan memboikot pemilu Majelis Nasional (Reichstag) yang diambil oleh Partai Komunis Jerman (KPD) pada Januari 1919. Pada November 1918, revolusi meletus di Jerman yang menumbangkan Kekaisaran Jerman. Republik Jerman didirikan, dan pada saat yang sama dewan-dewan buruh dan tentara juga terbentuk. Para pemimpin reformis Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) mengumumkan pemilu untuk Majelis Nasional (Reichstag) pada Januari 1919. Namun, KPD mengambil kebijakan memboikot pemilu ini, yang Lenin kritik keras sebagai kebijakan ultra-kiri. Rosa Luxemburg mencoba meyakinkan kamerad-kameradnya untuk tidak memboikot, tetapi pada kongres pendirian KPD pada 29 Desember 1918 nasihatnya ditolak dan partai memutuskan dengan suara 62 lawan 23 untuk memboikot Majelis Nasional. Kongres juga mengambil sejumlah kebijakan ultra-kiri lainnya, misalnya menyatakan bahwa keanggotaan serikat buruh tidaklah kompatibel dengan keanggotaan partai komunis. Kendati boikot oleh KPD, 83 persen populasi berpartisipasi dalam pemilu Majelis Nasional. SPD meraih 11,5 juta suara, sementara USPD (Partai Sosial Demokrat Independen) meraih 2,5 juta suara. Ini menunjukkan bahwa rakyat pekerja masih memiliki ilusi pada parlementarisme, dan boikot oleh KPD terlalu prematur.

[34] Partai Tengah Katolik (Deutsche Zentrumspartei) adalah partai politik Jerman yang berpengaruh selama masa Kekaisaran Jerman (1871-1918) dan Republik Weimar (1918-1933). Selama masa Republik Weimar, partai ini biasanya memperoleh suara ketiga terbesar di Reichstag. Partai ini adalah salah satu partai borjuis yang mendukung Enabling Act pada 1933, yang memberi kekuasaan absolut pada pemerintahan Hitler. Partai ini bubar pada 1933 setelah Partai Nazi menjadi satu-satunya partai yang diperbolehkan.

[35] Kulak atau Grossbauern – petani kaya.

[36] Saya hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengenal komunisme “Sayap Kiri” di Italia. Kamerad Bordiga dan faksinya Komunis Abstensionisnya (Comunista astensionista) jelas keliru dalam menganjurkan non-partisipasi di parlemen. Tetapi dalam satu hal, menurut saya, Kamerad Bordiga benar – sejauh yang dapat dinilai dari dua edisi korannya, Il Soviet (No. 3 dan 4, 18 Januari dan 1 Februari, 1920), dari empat edisi terbitan berkala yang sangat bagus dari Kamerad Serrati, Comunismo (No. 1-4, 1 Oktober - 30 November 1919), dan dari beberapa koran borjuis Italia yang telah saya lihat. Kamerad Bordiga dan kelompoknya benar dalam menyerang Turati dkk., yang masih ada di dalam sebuah partai yang telah mengakui kekuasaan Soviet dan kediktatoran proletariat, tetapi tetap melanjutkan kebijakan oportunis mereka yang sebelumnya sebagai anggota parlemen. Tentu saja, dengan menoleransi hal ini, Kamerad Serrati dan seluruh Partai Sosialis Italia tengah melakukan kesalahan yang mengancam merusak dan menimbulkan banyak bahaya seperti di Hungaria, di mana kaum Turati Hungaria menyabotase partai dan pemerintahan Soviet dari dalam. Sikap yang keliru, tidak konsisten, atau tidak-bernyali terhadap para anggota parlemen oportunis ini memunculkan komunisme “Sayap Kiri” di satu sisi, dan sampai batas tertentu membenarkan keberadaannya di sisi lain. Kamerad Serrati jelas salah ketika ia menuduh Deputi Turati sebagai “tidak konsisten” (Comunismo No. 3), karena Partai Sosialis Italia sendirilah yang tidak konsisten dalam menoleransi anggota-anggota parlemen oportunis seperti Turati dkk.