Jadikan Kebudayaan Senjata Perjuangan di Tangan Rakyat

Anantaguna


Sumber: Bintang Merah Nomor Spesial, "Maju Terus" Jilid I. Kongres Nasional Ke-VII (Luar Biasa) Partai Komunis Indonesia. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1963.


Kawan-kawan pimpinan dan Kongres yang tercinta!

Telah kita dengar dengan penuh perhatian, tiga dokumen Kongres yang terpenting. Yaitu, Laporan Umum yang berjudul “Untuk Demokrasi, Persatuan, dan Mobilisasi”, Pengantar tentang Perubahan Konstitusi Partai, dan Pengantar tentang Perubahan Program Partai, yang masing-masing disampaikan oleh Kawan D.N. Aidit, Kawan M.H. Lukman, dan Kawan Njoto, para pimpinan tercinta Partai kita yang besar.

Ketiga dokumen itu laksana segugusan puisi perjuangan rakyat, mengungkap kebenaran-kebenaran, aspirasi, perasaan dan pikiran rakyat, dan garis-garis aksi yang diperlukan Partai, rakyat, dan revolusi nasional-demokratis. Para seniman dan pekerja kebudayaan yang maju biasa juga menyebutkan kebenaran-kebenaran itu “asas keindahan”.

Kongres yang mulia!

Adalah jelas dan benar, Laporan Umum Kawan Aidit yang menyimpulkan bahwa “Berkat pimpinan Partai, rakyat pekerja telah dan sedang terus menggunakan kebudayaan sebagai senjata perjuangannya”, bahwa “sejak beberapa tahun belakangan ini seniman-seniman Komunis dan pekerja-pekerja kebudayaan Partai telah menciptakan banyak karya baik yang berbentuk kesusastraan, seni bentuk, musik, drama, film, dan tari”, dan bahwa “pekerja-pekerja kebudayaan Partai telah bekerja sama baik dengan seniman-seniman dan sastrawan-sastrawan demokratis lainnya, sehingga tergalanglah suatu front kebudayaan anti-imperialis dan anti-feodal, yang jika dipelihara dan dikembangkan terus akan merupakan salah satu kekuatan revolusi yang penting”.

Lebih lanjut ditunjukkan oleh Laporan Umum Kawan Ketua itu bahwa “di lapangan kebudayaan imperialis, terutama kaum imperialis Amerika Serikat, masih terus mengagresi negeri kita dengan terutama menggunakan lektur, film, dan musik” dan bahwa “dominasi kebudayaan kolonial Belanda dengan jelas nampak di perguruan, terutama perguruan tinggi di kota-kota besar”.

Kawan-kawan!

Dengan menggunakan kebudayaan sebagai senjata perjuangan rakyat, gerakan revolusioner diperkaya dan diperkokoh bentuk-bentuk perjuangannya. Kita tidak lagi bersikap acuh tak acuh terhadap kebudayaan, tidak lagi menyamakan kebudayaan sebagai sekadar hiburan, yang kalau ada syukur, kalau tidak ada, ya, tidak apa-apa. Adalah Vladimir Ilyich Lenin yang menyatakan dalam tulisannya “Organisasi Partai dan Literatur Partai” yang secara perbandingan mengemukakan bahwa “Pekerjaan literer haruslah merupakan sebagian dari perjuangan proletariat, sebuah roda dan sekrup di dalam suatu mekanisme sosial-demokrasi yang besar yang digerakkan oleh seluruh pelopor kelas buruh yang sadar”. Sedang Mau Ce-tung merumuskan dalam “Pidato dalam Simposium Seni dan Sastra di Jenan”, yang menuntut “supaya seni dan sastra sungguh-sungguh menjadi komponen dari mesin revolusi seluruhnya, menjadi senjata yang ampuh dalam mempersatukan rakyat, mendidik rakyat, menggempur dan membasmi musuh dengan satu hati dan tekad”.

Partai kita sekarang sudah mempunyai sikap yang tepat, sikap yang Marxis-Leninis terhadap pekerjaan-pekerjaan kebudayaan, seperti terlihat dalam hasil-hasil pekerjaannya. Masa sikap kekanak-kanakan terhadap kebudayaan melenyap bersama makin dewasanya Partai kita. Jalan yang terbentang di hadapan kita sekarang ialah, “supaya Comite-Comite Partai, ya, mulai dari CR hingga ke tingkatan CDB dan CC, terus memimpin seniman-seniman Komunis dan pekerja-pekerja kebudayaan Partai untuk mempertinggi ideologi mereka dan membantu seniman-seniman demokratis dan patriotik lainnya dalam pengabdiannya kepada rakyat dan revolusi”, sebagaimana diharapkan oleh Kawan Ketua dalam Laporan Umumnya. Ada kalanya, memang, dalam pekerjaan ini dijumpai sejumlah kesukaran tertentu. Tetapi, kesukaran-kesukaran bukanlah barang asing bagi Partai kita. Partai kita besar dan semakin terbajakan, justru karena ia dengan tepat dan pandai menaklukkan kesukaran demi kesukaran. Jalan sejarah Partai kita, seperti dikatakan oleh penyair kita Hr. Bandaharo “bukan jalan bertabur bunga”.

Kawan-kawan!

Dari Laporan Umum Kawan Ketua dapat juga ditarik kesimpulan bahwa telah ada sejumlah kekuatan, baik yang berupa politik, organisasi, maupun ideologi, untuk menangkis agresi kebudayaan imperialis dan menyikat terus sisa-sisa kebudayaan kolonial dan feodal. Kekuatan kebudayaan nasional-demokratis dari hari ke hari semakin kokoh dan rindang. Pengalaman dan kenyataan menunjukkan bahwa kebudayaan baru itu hanya dapat hadir dan tumbuh selama ia berwatak pejuang. Berjuang melawan dominasi dan pengaruh-pengaruh bejat dari “kebudayaan” imperialisme dan feodalisme, terutama “kebudayaan” imperialisme Amerika Serikat yang biasanya menyediakan “kebudayaan buaya” bagi kaum kapitalis birokrat dan kaum reaksi lainnya.

Maka itu, aksi-aksi untuk melawan agresi kebudayaan imperialis harus diperhebat dan aksi-aksi harus didukung oleh gerakan massa rakyat umumnya di bawah pimpinan Partai, karena tujuan agresi kebudayaan imperialis itu sebagaimana ditunjukkan oleh Kawan Ketua ialah untuk merusak ideologi kelas buruh dan rakyat.

Kritik-kritik terhadap buku-buku pelajaran sekolah, dari sekolah rendah hingga sekolah tinggi, yang masih mengeloni sisa-sisa “kebudayaan” kolonial Belanda dan “kebudayaan” imperialis, terutama imperialis Amerika Serikat, hendaklah dibangkitkan. Dan berbareng dengan itu tentulah daya cipta untuk mengubah dan menciptakan buku-buku pelajaran baru yang sesuai dengan kondisi dan perspektif revolusi akan bangkit dan harus diorganisasi. Dalam hal ini saja misalnya, jelas, bahwa perjuangan melawan dan mengalahkan agresi kebudayaan imperialis dan sisa-sisa kebudayaan kolonial Belanda itu adalah juga bersifat kreatif. Para pengarang dan guru-guru tentu akan ambil bagian penting dalam aksi menjebol kebudayaan imperialis (dalam hal ini di dalam buku-buku pelajaran sekolahan) dan membangun kebudayaan nasional-demokratis).

Di lapangan film arah aksi juga sejalan dengan masalah lektur, walaupun bentuk pekerjaan dan soal-soalnya ada perbedaannya. Bioskop-bioskop dalam negeri harus bersifat membantu revolusi dan rakyat, harus membantu mengonsolidasi industri film nasional dan seni film nasional. Oleh karena itu perbioskopan nasional (yang jumlahnya lebih kurang 700) harus diselamatkan dari cengkeraman AMPAI (agen film Amerika Serikat di Indonesia). Selama perbioskopan negeri kita masih dikuasai AMPAI, selama itu produksi film nasional kita tidak mendapatkan pasar dalam negeri yang cukup terlindungi, sehingga selama demikian halnya berlangsunglah penindasan terhadap industri dan seni film nasional kita. Oleh karena itu perjuangan di bidang film ini juga bersegi dua pada pokoknya. Di satu pihak menyelamatkan bioskop-bioskop dalam negeri dari cengkeraman Amerika Serikat dan di lain pihak mendorong produksi film nasional yang cocok dengan situasi nasional kita.

Demikian pula kiranya di lapangan musik. Rombongan-rombongan paduan suara yang akan menyampaikan lagu-lagu revolusioner ke hati massa dan hati perjuangan, tentu harus kita perbesar dan sebar ke seluruh negeri kita. Jika tergalang beribu, atau berpuluh ribu penyanyi-penyanyi yang diorganisasi dalam paduan-paduan suara pemuda, mahasiswa, pelajar, buruh, wanita dan bahkan juga kaum tani, hal itu akan membantu memperkokoh semangat dan jiwa perjuangan. Dan secara kesenian, secara musik hal itu akan berarti sangat dalam. Lagu-lagu revolusioner sudah tentu diperlukan lebih banyak, dan lagu-lagu itu akan berkembang menuruti “garis massa”, dan pelaksanaan “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik” akan menemukan syarat-syaratnya yang lebih baik.

Perlawanan terhadap “musik lutut”, musik yang histeris seperti yang pernah diinstruksikan Bung Karno, harus diperhebat. Karena “musik” imperialisme yang histeris itu juga ikut memupuk penyakit histeris yang kaum kapitalis birokrat demikian menyayanginya. Impor piringan hitam tidak bisa lain harus dikendalikan secara politik kebudayaan yang sesuai dengan Manipol. Dengan demikian, agresi kebudayaan imperialis via bunyi-bunyian (yang hanya bikin bising) kita lumpuhkan dan ini menjadi syarat penting bagi perkembangan seni musik nasional kita selanjutnya. Juga di lapangan musik ini menjadi jelas bahwa pekerjaan kita di samping berlawan juga mencipta, mencipta untuk berlawan.

Pendek kata, kawan-kawan, juga di lapangan kebudayaan tekad “satu tangan pegang bedil dan satu tangan lagi pegang pacul” pun kena sekali.

Kawan-kawan yang tercinta!

Bukanlah maksud saya untuk memaparkan situasi, sukses-sukses atau kesukaran-kesukaran yang kita hadapi di lapangan kesusastraan, seni rupa, tari, musik, drama, termasuk ludruk, ketoprak, opera Bali, reog, randai, abdulmuluk, dan lain-lainnya lagi, tetapi perlulah ditekankan pentingnya perhatian kita semua terhadap Program dan Resolusi Kebudayaan yang telah diputuskan dalam Kongres Nasional ke-6 Partai kita, teristimewa mengenai perlawanan kita terhadap kebudayaan imperialis, yang adalah kebudayaan kaum kapitalis birokrat dan kaum reaksioner di dalam negeri juga.

Berbicara tentang kebudayaan dewasa ini adalah salah jika tidak menghubungkannya dengan gerakan dan aksi-aksi kaum tani yang vital itu. Telah disimpulkan oleh Laporan Umum Kawan Ketua bahwa “di desa-desa kebudayaan feodal yang mengabdi tuan-tuan tanah masih merupakan benalu bagi perjuangan kaum tani”. Karena itu, perhatian kita terhadap kesenian yang tumbuh dan yang bisa tumbuh di desa-desa seperti ketoprak, ludruk, lenong, randai, dan bermacam-macam permainan rakyat haruslah lebih besar, sehingga garis “jadikan kebudayaan sebagai senjata perjuangan di tangan rakyat” bisa membantu perjuangan kaum tani. Dan menghubungkan kesenian rakyat kita dengan perjuangan kaum tani yang revolusioner itu pada waktunya akan merevolusionerkan seniman-seniman rakyat dan kesenian rakyat itu sendiri, karena bersatunya dengan gerakan revolusioner akan menghayati kesenian dan senimannya. Usaha ini hanya mungkin berhasil jika kita tekun dan teguh dalam melaksanakan garis Partai di lapangan kebudayaan ini.

Kawan-kawan!

Masalah lain yang berpadu erat dengan soal-soal yang telah dibicarakan, ialah, masalah syarat-syarat materiil dan syarat politik bagi perkembangan kebudayaan. Seperti kawan-kawan maklum, perkembangan kebudayaan juga bergantung pada tersedianya syarat-syarat materiilnya. Percetakan, kertas, radio, teater, art-gallery, taman-taman dan gedung-gedung kebudayaan dan sebagainya sangat penting bagi perkembangan kebudayaan.

Hal-hal ini sungguh sangat bergantung pada struktur dan situasi umum perekonomian nasional kita. Makin merosot ekonomi negeri makin terancam pulalah syarat-syarat materiil kebudayaan, termasuk sandang pangannya para seniman dan pekerja kebudayaan. Oleh karena itulah, umumnya seniman dan pekerja-pekerja kebudayaan yang maju, bekerja dan berjuang bahu-membahu di tengah-tengah massa rakyat untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan feodal, dan dapat dikatakan, bahwa pada umumnya para seniman dan pekerja kebudayaan yang jujur, mengutuk “pencoleng-pencoleng dan kapitalis birokrat”.

Karena itu, perjuangan kita untuk menuntut didirikannya taman-taman kebudayaan di ibukota Daswati I dan II dengan membangun juga art-art gallery dan lain sebagainya, serta penurunan pajak tontonan dan pajak seniman, haruslah terus kita lakukan. Ketetapan MPRS mengenai pembangunan syarat-syarat materiil kebudayaan ini harus terus kita tuntut pelaksanaannya sampai berhasil, dan kebudayaan nasional kita diuntungkan perkembangannya.

Juga pemberantasan buta huruf, kawan-kawan, banyak dipengaruhi oleh situasi umum perekonomian. Seperti kawan-kawan maklum, masalah terpelik dalam pekerjaan pemberantasan buta huruf adalah masalah pemeliharaan dan pengembangan melek huruf, sehingga rakyat kita tidak hanya kenal leter ABC, tetapi sampai tahu ABC-nya revolusi, antara lain dengan membaca “ABC Politik”. Partai telah bekerja dengan segala kemampuan yang ada padanya untuk menyapu habis sisa-sisa kebudayaan kolonial Belanda, yaitu buta huruf. Dan sudah tentu pemerintah juga bekerja. Kita gembira mendengar bahwa daearh ini atau daerah itu mendapat diploma “bebas buta huruf”. Tetapi rakyat akan kecewa bila pemberian diploma itu digunakan semata-mata untuk menghalang-halangi usaha Partai dan gerakan massa di lapangan pemberantasan buta huruf, sebab cara demikian menipu rakyat dan diri sendiri.

Tentang syarat-syarat politik perkembangan kebudayaan yang dimaksudkan terutama ialah demokrasi. Laporan Umum Kawan Ketua dengan jelas mengupas masalah Demokrasi Terpimpin, yang pada suatu waktu jadi liar karena tak ada pimpinannya, tetapi pada lain waktu demokrasinya suka dicoleng. Seperti juga rakyat, para pekerja kebudayaan dari dulu sampai sekarang dan masa datang pun, tetap merasa bahwa demokrasi itu milik mereka. Bagi revolusi, bagi rakyat, dan juga bagi kebudayaan, soal demokrasi ini sungguh soal “esa hilang dua terbilang”.

Hal terakhir yang perlu kita perhatikan ialah harapan Partai dan Kawan Ketua terhadap para seniman dan pekerja kebudayaan Partai, “supaya selalu menjadi teladan tidak hanya di lapangan pekerjaannya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari” dan “supaya mengingat selalu, bahwa semua karya bukanlah untuk kalangan tertentu yang terbatas, tetapi untuk seluruh rakyat, terutama rakyat pekerja”. Untuk itu, tentulah, pendidikan ideologi terhadap seniman-seniman Komunis dan pekerja-pekerja kebudayaan Partai harus terus diintensifkan. Gerakan turun ke bawah hendaklah benar-benar kita lakukan, karena yang terpenting dari GTB ini ialah tujuannya, pendidikan dan pengubahan ideologi, bukannya perdebatan tentang GTB itu. Jika ia dilaksanakan dengan baik, ia pasti akan membantu seniman dan pekerja-pekerja kebudayaan untuk bersikap tepat terhadap massa, berguru kepadanya, bersikap rendah hati dan tidak takut menghadang musuh. Untuk “selalu menjadi teladan” seniman-seniman dan pekerja-pekerja kebudayaan Partai hendaklah dengan terus berpedoman “politik adalah panglima”, meluluhkan dirinya ke dalam massa rakyat dan perjuangannya, satu hati dengan Partai dan mengabdi kepadanya tanpa pamrih dan tanpa reserve. Seniman Komunis dan pekerja-pekerja kebudayaan Partai, pertama-tama tentulah harus menjadi Komunis yang baik, sehingga karya-karyanya menjadi “anak ideologi Partai”, sebagai dikatakan oleh Kawan Aidit.

Kita yakin, bahwa seniman-seniman Komunis dan pekerja-pekerja kebudayaan Partai akan menjadikan harapan Partai dan Kawan Ketua pedoman hidup dan perjuangannya untuk Partai, rakyat, seni, dan tanah air yang sedang mengandung revolusi ini. (Tepuk tangan lama).