Krisis Ekonomi Indonesia yang Semakin Akut dan Serius

Sakirman


Sumber: Bintang Merah Nomor Spesial, "Maju Terus" Jilid I. Kongres Nasional Ke-VII (Luar Biasa) Partai Komunis Indonesia. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1963.


Kawan-kawan yang tercinta!

Pertama-tama saya menyatakan persetujuan saya atas seluruh Laporan Umum yang telah disampaikan oleh Kawan Aidit kepada Kongres yang mulia ini, termasuk persetujuan saya atas garis kebijaksanaan pimpinan Partai yang ulet, fleksibel dan berprinsip. (Tepuk tangan).

Juga saya menyetujui sepenuhnya penjelasan tentang penyesuaian Konstitusi dan Program Partai dengan Penpres No. 7/1959 dan Penpres No. 13/1960 yang masing-masing telah diberikan oleh Kawan Lukman dan Kawan Njoto.

Sekarang saya akan mencoba memberikan uraian mengenai beberapa soal ekonomi yang penting dan sangat aktual, sekadar sebagai tambahan Laporan Umum itu.

I

PENGARUH KRISIS UMUM KAPITALISME TERHADAP PASARAN BEBERAPA BAHAN EKSPOR INDONESIA

Dalam Laporan Umum yang disampaikan oleh Kawan Ketua D.N. Aidit kepada Kongres Nasional ke-6 Partai lebih kurang 2½ tahun yang lalu antara lain telah diterangkan, bahwa “jika kita sekarang berbicara tentang krisis umum ekonomi dunia kapitalis, maka ini berarti berbicara tentang krisis kelebihan produksi (over produksi), tentang pengangguran dan tentang kontradiksi-kontradiksi sosial yang semakin sulit diatasi. Dan berbicara tentang krisis umum ekonomi dunia kapitalis, berarti berbicara tentang krisis ekonomi kapitalisme di AS, karena ekonomi AS sesudah Perang Dunia II telah berusaha keras untuk menguasai seluruh ekonomi dunia kapitalis”. Dari sini kemudian ditarik kesimpulan dalam Laporan Umum itu bahwa “krisis di AS yang paling belakangan yang dimulai dalam tahun 1957 dan yang kemudian disusul oleh krisis-krisis di negeri-negeri kapitalis lainnya sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi di negeri-negeri yang kurang maju”.

Krisis Kelebihan Produksi Ekonomi Amerika Serikat

Ramalan para ahli ekonomi borjuis, bahwa krisis ekonomi AS tahun 1957-1958 akan segera dapat diatasi dan disusul dengan suatu zaman “keemasan”, ternyata meleset sama sekali. Sebab baru saja AS belum sembuh sama sekali dari akibat-akibat yang mendalam daripada krisis tahun 1957-1958, maka dalam tahun 1960, yaitu tidak lebih dari 2 tahun sesudah krisis tahun 1957-1958 itu, topan dan prahara krisis ekonomi telah mengancam lagi kehidupan ekonomi AS. Sehingga bukannya zaman “keemasan” yang datang menurut ramalan dan perhitungan “ilmiah” para ahli ekonomi borjuis itu, akan tetapi sebaliknya, malahan zaman mengalirnya banyak persediaan emas AS ke luar negeri.

Sejak meletusnya krisis tahun 1957-1958, sebetulnya di AS selalu nampak gejala-gejala kuat mengalirnya emas ke luar negeri. Jumlah emas yang mengalir ke luar negeri sampai akhir tahun 1960 ditaksir tidak kurang dari $ 5 miliar, di antaranya selama bulan Januari-November 1960 saja tidak kurang dari $ 1,6 miliar. Dan yang sangat mencolok ialah bahwa pada tanggal 3 November 1960 saja yaitu dalam 1 hari, harga emas AS yang mengalir ke luar negeri mencapai suatu rekor yang belum pernah terjadi sejak krisis besar dunia tahun 1929, yaitu sebanyak $ 175 juta.

Krisis dolar yang banyak “menerbangkan” emas AS ke luar negeri itu sudah tentu sangat menggoncangkan cadangan emas dalam kas negara AS. Pada permulaan tahun 1961 telah dikonstatasi, bahwa jumlah cadangan emas AS sudah berada di bawah titik “berbahaya” yaitu di bawah angka 18 miliar. Jika jumlah ini dikurangi lagi dengan 500 juta, yaitu jumlah yang dipinjamkan oleh Dana Moneter Internasional kepada AS, maka sisanya hanya tinggal $ 17,4 miliar, suatu jumlah yang lebih kurang meliputi 70% dari angka tertinggi persediaan emas yang pernah dicapai sesudah Perang Dunia II.

Adapun krisis dolar itu sebetulnya adalah suatu manifestasi daripada krisis kelebihan produksi yang di AS meletus mulai bulan Februari 1960, jadi kurang dari dua tahun setelah krisis 1957-1958 dalam lingkungan keuangan dan finansial AS. Krisis dolar itu kali ini juga bergabung dengan krisis di lapangan industri dan pertanian.

Kelebihan hasil pertanian yang berada di tangan Pemerintah AS naik dari $ 8,3 milar dalam tahun 1959 menjadi lebih kurang $ 9 miliar dalam tahun 1960 dan ditaksir akan mencapai angka 10 miliar dalam tahun 1961. Untuk menyimpan dan memelihara dengan sebaik-baiknya kelebihan produksi pertanian itu dibutuhkan ongkos setiap hari tidak kurang dari $ 1.400.000 atau setiap tahun $ 504.000.000. Menurut keterangan Styles Bridges, seorang senator AS, maka apabila setiap warga negara AS dapat memperoleh hak-haknya yang layak dalam soal jaminan mendapatkan makan, tidak perlu terjadi krisis kelebihan produksi pertanian yang begitu hebat. Tetapi pembesar-pembesar Partai Demokrat AS rupanya lebih suka membiarkan sebagian dari warga negara AS setengah kelaparan daripada menggunakan kelebihan produksi pertanian itu untuk kepentingan hidup mereka. Dan untuk meringankan beban krisis kelebihan produksi pertanian ini, maka di bawah kedok “bahan makanan untuk perdamaian” AS telah melakukan “pinjaman-pinjaman” kepada negeri-negeri terbelakang berupa hasil pertanian itu (SAC) dengan maksud untuk memperhebat penetrasi dan kontrol AS terhadap negeri-negeri tersebut.

Akan tetapi pengeluaran-pengeluaran militer yang sangat besar dengan disertai usaha penggabungan kekuasaan negara dengan kekuasaan kapitalisme-monopoli tidak berdaya sama sekali untuk mengatasi krisis ekonomi dari kelebihan produksi, disebabkan karena dengan bertambahnya kegiatan di bidang persiapan perang modern, membawa akibat semakin merosotnya daya beli rakyat. Sehingga dalam keadaan kapasitas produksi sangat besar di AS telah timbul kelebihan produksi barang-barang dagangan dan jumlah barang-barang simpanan ini pada permulaan tahun 1962 nilainya, menurut taksiran kasar, tidak kurang dari $ 93.000.000.000 (sembilan puluh tiga miliar dolar AS), termasuk barang-barang dagangan hasil-hasil industri pertanian, bahan-bahan strategis dan setengah strategis dan alat-alat perlengkapan perang modern, seperti roket-roket antar-benua, meriam-meriam atom, dan sebagainya.

Dari banyak barang-barang kelebihan produksi itu yang dapat diketahui nilainya ialah nilai barang-barang hasil kelebihan produksi pertanian sebanyak $ 10 miliar, sedangkan 77% dari seluruh simpanan barang-barang strategis mempunyai harga $ 2.345 miliar lebih besar daripada apa yang dibutuhkan untuk waktu-waktu yang dekat. Adapun 77% dari seluruh simpanan bahan-bahan strategis itu terdiri dari aluminium, chroom, perunggu, mangan, cobalt, nekel, karet, timah, wolfram, dan zink. Dan dalam simpanan kelebihan itu, timah meliputi harga $ 442 juta, aluminium $ 350 juta, zink $ 336 juta, chroom $ 220 juta dan karet $ 214 juta.

Permainan Spekulasi dan Manipulasi Harga yang Tidak Kenal Malu

Seperti diterangkan lebih dulu, jalan utama yang selalu ditempuh oleh AS ialah dengan memperhebat persiapan-persiapan perang, terutama apa yang dinamakan “perang terbatas”, dengan tujuan jangka pendek membasmi gerakan rakyat dan membentuk pemerintah-pemerintah boneka di negeri-negeri di mana dilakukan perang terbatas itu, dan terus memperhebat persenjataan daripada persekutuan-persekutuan militer seperti NATO, SEATO, dan CENTO. Akan tetapi jalan ini saja tidak cukup, karena resiko dan konsekuensinya adalah sangat berat. Di samping selalu menghadapi kemungkinan perang yang luas atau perang yang “tidak terbatas”, dengan akibat-akibat yang sangat ditakuti oleh kaum imperialis, maka AS menghadapi juga perlawanan yang heroik dari rakyat-rakyat yang menolak penjajahan AS. “Jalan militer” itu juga membawa akibat langsung di bidang keuangan dan finansial, yaitu antara lain krisis dolar disebabkan karena timbulnya defisit dalam neraca pembayaran luar negeri AS. Dan memang, pengeluaran militer untuk luar negeri yang dalam tahun 1961 jumlahnya tidak kurang dari $ 3,5 miliar, itulah yang pertama-tama menjadi sebab timbulnya krisis dolar dan mengalirnya emas AS ke luar negeri.

Jalan lain yang biasa ditempuh oleh AS ialah dengan memperluas penanaman modal AS di luar negeri untuk jangka panjang yang sebetulnya lebih banyak bersifat merampok dan merampas kekayaan alam dan rakyat negeri-negeri lain, dan dengan jalan memberikan apa yang dinamakan “bantuan” atau “kerja sama” ekonomi dan teknik.

Jalan ketiga yang selalu ditempuh oleh AS, yang belakangan ini lebih diintensifkan lagi ialah dengan mempermainkan harga internasional bahan-bahan mentah. Pada umumnya ekspor bahan-bahan mentah ini masih dijadikan landasan oleh negara-negara yang sedang berkembang bagi kehidupan dan kegiatan ekonomi nasionalnya.

Watak yang rakus dan serakah dari politik penimbunan bahan-bahan mentah strategis dari tukang-tukang catut dan tengkulak besar kaum monopolis AS pada waktu belakangan ini telah menimbulkan kegelisahan yang sangat meluas di negeri-negeri yang terbelakang, penghasil bahan-bahan mentah.

Belakangan ini nampak adanya tanda-tanda, bahwa kalangan-kalangan yang berkuasa di AS dan negeri-negeri imperialis lainnya mulai mengadakan perhitungan dan persiapan yang lain dalam menghadapi kemungkinan timbulnya perang nuklir yang maha dahsyat yang mungkin hanya memakan tempo beberapa jam atau hari saja. Mereka telah sampai kepada kesimpulan, tidak banyak gunanya lagi melakukan penimbunan barang-barang dari semua jenis, dari bulu ayam sampai kepada roket-roket atom, secara besar-besaran, dan oleh karenanya sebanyak mungkin dari bahan-bahan yang ditimbun itu terutama karet, timah, aluminium dan chroom, harus segera “dilepaskan” ke dalam pasaran bebas.

Karena keputusan AS dan Inggris untuk menjual persediaan karet alamnya masing-masing sebanyak 470.000 ton dan 100.000 ton, maka dalam tempo satu tahun saja harga karet telah turun dengan tidak kurang 16 sen $ AS yaitu dari 45,75 sen $ AS dalam bulan Juli 1960 menjadi 29,28 sen $ AS dalam bulan Juli 1961, setiap lb, suatu harga yang sama rendahnya dengan harga karet dalam tahun 1958, sesudahnya menghebat krisis ekonomi AS 1957-1958.

Kalau kita berpegang kepada keterangan Menteri Luar Negeri Subandrio beberapa waktu yang lalu, bahwa merosotnya harga karet dengan 1 sen setiap lb berakibat kerugian bagi Indonesia setahun tidak kurang dari $ 15.000.000, maka dapat dibayangkan berapa besar kerugian yang telah diderita oleh Indonesia dalam satu tahun terakhir ini, yaitu tahun 1961, ialah 16 x $ 15.000.000 = $ 240.000.000 atau sama dengan Rp. 10.800.000.000, jika dihitung menurut kurs resmi atau sama dengan 120.000.000.000 menurut kurs SIVA yang paling rendah, yaitu 1 $ = Rp. 500,-. Suatu jumlah yang persis mencukupi kebutuhan biaya pembangunan selama 4 tahun berdasarkan Plan 8 Tahun Pembangunan Semesta Berencana. Inilah suatu pelajaran yang berguna bagi mereka yang begitu naif untuk mengira bahwa Plan Pembangunan Semesta Berencana 8 Tahun hanya dan hanya akan dapat terjamin mencapai sukses-sukses besar apabila dapat dilaksanakan Proyek B. Bagian Perminyakan Bumi lewat “kerja sama ekonomi dan teknik” dengan kaum monopolis besar minyak AS. Ya, sebelum pelaksanaan Plan Pembangunan Semesta Berencana kita mulai, kaum monopolis besar internasional, terutama kaum monopolis AS, sudah lebih dulu menyerobot dan merampas dalam satu tahun saja kekayaan Indonesia seharga tidak kurang dari $ 240.000.000.

Dan di tengah-tengah lautan tragedi yang menimpa Indonesia di bidang ekspor karet itu, masih ada juga sementara orang yang mencoba apa yang dinamakan “van den nood een deugd maken”, (tawa) dengan mengatakan bahwa kerugian akibat turunnya harga karet itu masih bisa buat sebagian ditutup dengan kenaikan harga timah. Memang harus diakui, bahwa harga timah dalam bulan Juli 1961 adalah yang paling tinggi sesudah tahun 1952, akan tetapi volume ekspor timah tahun 1961 sangat merosot dibandingkan dengan volume tahun 1960. Dalam 6 bulan pertama tahun 1960 telah diekspor timah sebanyak 17.221 ton, akan tetapi dalam tempo yang sama dalam tahun 1961 volume ekspor itu telah merosot menjadi hanya 11.971 ton atau selama 6 bulan dalam tempo satu tahun telah merosot dengan lebih kurang 30%. (Tawa). Lagi pula, janganlah buru-buru ketawa, sebab oleh AS sekarang sudah direncanakan suatu tindakan untuk “melepaskan” tidak kurang dari 50.000 ton timah ke dalam pasaran bebas, dan menurut perhitungan ahli-ahli pasar timah, maka jika pasaran dunia timah yang sekarang meliputi suatu kuantum timah sebanyak lebih kurang 130.000 ton dibanjiri dengan 50.000 ton lagi, harga timah dari £ 916 dalam bulan Juli 1961 akan bisa merosot sampai di bawah £ 750, jadi merosot dengan £ 150 sampai £ 170 setiap tonnya. Ini adalah suatu hal yang sewaktu-waktu bisa terjadi sebab dalam tahun 1958 kita telah mengalami harga timah merosot sampai £ 734, 625 akibat krisis ekonomi AS 1957-1958, dan dalam tahun 1954 malahan harga timah mencapai tingkat terendah yaitu £ 713 setiap ton. Ini terjadi sesudah krisis ekonomi AS tahun 1953-1954.

Kecuali dengan jalan membanjiri pasaran dunia kapitalis dengan bahan strategis hasil penimbunannya, maka kaum imperialis juga mencoba menekan dan memerosotkan harga bahan-bahan mentah dengan jalan membentuk blok-blok ekonomi atau pasaran bersama imperialis dengan tujuan agar dapat memonopoli harga serendah-rendahnya barang-barang itu, antara lain dengan membentuk apa yang dinamakan Pasaran Bersama Eropa, di mana AS dan juga Jerman Barat memainkan peranannya yang menentukan. Dalam konferensi negara-negara ECAFE di Tokyo baru-baru ini, wakil Pemerintah Indonesia telah menyatakn kekecewaannya yang sangat mendalam atas terbentuknya Pasaran Bersama Eropa itu yang sudah pasti akan membawa akibat lebih merosotnya lagi harga bahan-bahan ekspor negeri yang baru berkembang, termasuk Indonesia.

II

KRISIS EKONOMI-KEUANGAN INDONESIA

Tentang krisis ekonomi Indonesia, Kongres ke-6 mengatakan, “bahwa krisis ekonomi kita berpangkal kepada sifatnya yang kolonial, ekonomi yang masih sangat tergantung pada pasaran dunia ekonomi kapitalis”.

Selanjutnya dalam Laporan Umum kepada Kongres ke-7 ini, oleh Kawan Aidit dikatakan, bahwa: “Perkembangan selama ini semenjak Kongres ke-6 dapat dikatakan, bahwa akibat-akibat buruk ekonomi kapitalis atas Indonesia bertambah luas”.

Betapa tepatnya keterangan ini dapat dibuktikan antara lain dari uraian di atas tentang pengaruh krisis ekonomi dunia kapitalis terhadap pasaran bahan-bahan ekspor kita. Dan karena perkembangan ekspor bahan-bahan mentah Indonesia sampai sekarang pada pokoknya masih menjadi dasar kehidupan dan kegiatan ekonomi kita, maka mudahlah dimengerti, bahwa merosotnya harga bahan-bahan mentah kita itu telah mempengaruhi semua sektor ekonomi dan keuangan yang penting dan vital. Dan belum pernah terjadi setelah pembatalan persetujuan KMB yang terkutuk itu suatu situasi krisis ekonomi yang kompleks dan sangat serius seperti sekarang ini, yang ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut: (a) sangat merosotnya penghasilan devisa dan cepatnya pengurasan persediaan devisa untuk keperluan-keperluan yang kurang produktif; (b) semakin bertambah banyaknya uang yang beredar, semakin besarnya defisit anggaran belanja negara, dengan akibat-akibat membumbungnya harga barang-barang kebutuhan pokok dengan lompatan-lompatan yang sangat mengkhawatirkan; (c) krisis moneter yang bergabung dengan krisis kemerosotan produksi, kemacetan distribusi, sehingga sangat mendorong timbulnya bahaya inflasi secara terbuka dalam bentuk-bentuk yang sangat membahayakan situasi keuangan negara dan ekonomi nasional kita; (d) merajalelanya korupsi, pencolengan-pencolengan dan kapitalisme birokrasi, sebagai “hama” negara dan masyarakat yang menyusup ke dalam tubuh-tubuh dan otot-otot negara yang terpenting, dan (e) semakin meluas dan meratanya kemelaratan dan kemiskinan golongan rakyat yang terbanyak, yaitu kaum buruh, kaum tani dan penduduk miskin lainnya di desa-desa dan di kota-kota, akibat merosotnya daya beli mereka.

Yang sangat mencolok ialah bahwa nilai ekspor tahun 1961 sebagai akibat daripada turunnya harga karet dengan suatu kecepatan yang belum pernah kita alami yaitu turun dengan 16 sen $ AS setiap lb dalam tempo satu tahun, telah memberikan gambaran yang sangat suram (Lihat Bag. Harga Internasional Statistik Konjungtur September-Oktober 1961). Dan yang sangat “aneh” ialah bahwa di samping volume dan nilai ekspor beberapa barang penting seperti kopra, teh, tembakau, minyak kelapa sawit boleh dikatakan dalam 1961 konstan dibandingkan dengan angka-angka tahun 1960, maka volume dan nilai ekspor karet turun, nilai ekspor timah demikian juga, sedang volume dan nilai ekspor minyak bumi dan hasil-hasilnya naik dalam tahun 1961 dibandingkan dengan tahun 1960 sebagaimana dapat dilihat dari angka-angka sebagai berikut:

Nilai ekspor selama 11 bulan Januari-November (dalam jutaan rupiah)

 

Karet

Minyak bumi dan hasil-hasilnya

Timah

1960

15.442

8.235

1.979

1961

12.369

10.385

1.309

Buat sekian kalinya nampak sekali permainan kotor dari kaum spekulan, tukang-tukang catut besar internasional yang selalu berhasil untuk menaikkan harga-harga bahan-bahan strategis yang pada umumnya tidak dihasilkan oleh negara-negara yang terbelakang, terutama minyak bumi dan hasil-hasilnya, dan menurunkan sesuka-sukanya harga bahan-bahan strategis yang terutama dihasilkan oleh negara-negara tersebut seperti antara lain karet dan timah.

Jika kita mengeluarkan hasil-hasil ekspor minyak bumi yang devisanya sepenuhnya masih tetap dikuasai oleh kaum monopolis minyak asing, nilai ekspor tahun 1961 telah turun dengan Rp. 3,9 miliar yaitu dari Rp. 25,1 miliar selama 11 bulan dalam tahun 1960 menjadi Rp. 21,2 miliar untuk waktu yang sama dalam tahun 1961. Menurut taksiran kasar, ekspor dalam tahun 1961 paling tinggi hanya mencapai jumlah lebih kurang Rp. 22,5 miliar atau $ 500 juta. Dan jika gejala-gejala merosotnya harga bahan-bahan mentah masih tetap kuat dan malahan akan bertambah kuat, maka dapat dipastikan bahwa nilai seluruh ekspor dalam tahun 1962 tidak akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1961.

Menurut kalkulasi borjuis, sebetulnya keadaan sedemikian itu sudah tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi, karena katanya jumlah cicilan tahunan untuk menutup hutang luar negeri dalam tahun 1961 sudah melebihi dari $ 160.000.000, atau $ 35.000.000 lebih banyak daripada batas yang masih diperbolehkan untuk mencicil hutang yaitu 25% dari $ 500.000.000 = $ 125.000.000. Di samping keperluan untuk membayar hutang sebanyak lebih kurang $ 160.000.000 harus disediakan juga untuk keperluan pembelian beras luar negeri yang menurut pendapat dan perhitungan obyektif akan tetap meliputi jumlah tidak kurang dari $ 100.000.000, meskipun Pemerintah sudah merencanakan bukan impor akan tetapi ekspor beras (sic!) dalam tahun 1962. Patut juga diketahui bahwa neraca pembayaran luar negeri dalam tahun 1961 menunjukkan suatu defisit yang lumayan juga, sedangkan persediaan devisa di Indonesia sudah habis sama sekali.

Sebagaimana telah diterangkan dalam Laporan Umum kepada Kongres ke-7 ini, tindakan Pemerintah untuk mengatasi keadaan yang sangat sulit dan kompleks ini, pada pokoknya tidak berbeda dengan tindakan-tindakan yang selalu diambil oleh Pemerintah-pemerintah RI yang dulu. Yaitu tindakan tambal sulam, tindakan-tindakan yang tidak bersifat fundamental ke arah perbaikan-perbaikan ekonomi dan keuangan, tindakan-tindakan yang semata-mata ditujukan untuk lebih banyak mengisi kas negara dengan cara yang mudah dan murah, seperti menaikkan tarif-tarif pengangkutan, menambah jenis pajak langsung atau tidak langsung, mengejar harga pasar bebas dengan harga resmi, mengadakan berbagai-bagai peraturan impor-ekspor untuk mendorong ekspor dan memperbaiki impor secara insidental.

Belakangan ini oleh Pemerintah telah mulai dijalankan apa yang terkenal dengan Peraturan SIVA (Surat Izin Valuta Asing). Peraturan SIVA ini dimaksudkan untuk mendorong kegiatan ekspor dengan mengusahakan penghasilan tambahan bagi para eksportir, agar dengan begitu dapat dihapuskan atau dikurangi disparitas harga, yang sampai sekarang ini dianggap sebagai faktor penghalang terbesar bagi meluasnya volume dan meningkatnya nilai ekspor Indonesia. Jadi sistem SIVA itu pada hakekatnya tidak berbeda secara prinsipiil dengan sistem-sistem indusmen ekspor lainnya yang pernah kita kenal dulu, seperti misalnya sistem BED-nya Wilopo dan sistem BE-nya Sutikno Slamet. Bahwa sistem SIVA itu tidak merupakan suatu cara yang fundamental untuk dapat mengubah keadaan sekarang telah diakui juga oleh Menteri Urusan Bank Sentral Mr. Sumarno sendiri, bahwa peraturan tersebut memang tidak akan segera dapat mengatasi kesulitan-kesulitan moneter sekarang ini, akan tetapi dengan tindakan tersebut diharapkan lapangan ekspor, impor dan industri akan dapat tertolong. Selanjutnya dikatakan oleh Mr. Sumarno, bahwa kurs dasar 1 $ AS = Rp. 45,– tidak realistis lagi. (Tawa).

Dari keterangan Mr. Sumarno itu yang dimuat antara lain dalam “Warta Bakti” tanggal 4 April yang lalu sudahlah jelas, bahwa (1) Peraturan SIVA itu bersifat tambal sulam, dan (2) pada hakikatnya Peraturan tersebut dimaksudkan juga untuk melegalisasi kurs dolar di pasar bebas terhadap rupiah kita, atau lebih jelaslah lagi: untuk meresmikan kurs pasar bebas. Dan memang begitulah kenyataannya. Dengan melalui perhitungan sederhana dapat dibuktikan bahwa untuk menghapuskan disparitas harga ekspor karet misalnya sebagai bahan ekspor yang terpenting, maka 1 $ AS oleh para importir harus dibayar Rp. 787,50 dalam keadaan harga fob Sheets (Tanjung Priok) 1 KG lebih kurang Rp. 80, – dan harga wesel ekspor satu KG lebih kurang Rp. 23, –.

Dari keterangan ini jelaslah juga, bahwa SIVA tidaklah mungkin terbeli oleh importir-importir yang tidak kuat kedudukan keuangannya, bahwa SIVA membuka kemungkinan yang baik untuk perdagangan spekulasi, dan bahwa barang-barang impor seperti misalnya dari golongan A, B, dan C harga resminya bisa sangat tinggi, yaitu dibulatkan sama dengan Rp. 800, –.

Dan SIVA yang dihasilkan sebelum diumumkannya Peraturan SIVA harus dijual dengan kurs 1 $ AS sama dengan lebih kurang Rp. 570, –. Dengan begitu, maka kurs $ AS menurut kedua perhitungan ini menjadi lebih tinggi daripada kurs gelap yang berlaku sebelum pengumuman Peraturan SIVA itu.

Mudahlah dimengerti, bahwa dalam keadaan harga bahan-bahan ekspor kita di pasaran dunia kapitalis terus merosot dan bersamaan dengan itu harga akan bertambah besar dengan akibat bahwa nilai rupiah kita terhadap dolar AS akan terus merosot juga. Dan dengan begitu, maka jelaslah pula, bahwa usaha mendorong ekspor yang berakibat semakin naiknya harga barang-barang impor dan semakin merosotnya nilai rupiah kita secara “resmi” terhadap dolar AS, sudah tidak menguntungkan sama sekali, dan malahan akan menambah buruknya keadaan moneter Indonesia. Jadi SIVA sebagai bentuk usaha tambal sulam lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, sehingga akan lebih memperdalam lagi krisis moneter yang sekarang ini sedang mengamuk dengan hebatnya.

Anggaran Belanja Negara tahun 1962 dengan pengeluaran-pengeluaran yang sangat besar di bidang-bidang yang tidak produktif juga tidak akan dapat menolong Indonesia keluar dari lumpur krisis ekonomi, malahan sebaliknya akan menambah banyaknya uang yang beredar yang jumlahnya sekarang ini tidak kurang dari Rp. 65 – Rp. 70 miliar, dengan akibat-akibat selanjutnya bahwa, jika kita tidak ambil tindakan-tindakan yang prinsipiil dan fundamental, inflasi akan terus menghebat dan keadaan moneter akan semakin parah.

III

TENTANG PERUSAHAAN NEGARA

Pemerintah sekarang menguasai perusahaan-perusahaan negara yang meliputi hampir seluruh sektor ekonomi yang vital, yaitu sektor pertambangan, perindustrian besar dan kecil, pengangkutan laut-darat-udara, perkebunan-pertanian, perdagangan luar negeri dan dalam negeri, berbagai jenis bank untuk kredit-kredit jangka panjang dan kredit-kredit jangka pendek. Perusahaan-perusahaan negara itu terdiri dari perusahaan-perusahaan negara yang sebelum ambil-alih perusahaan-perusahaan Belanda memang sudah dikuasai oleh Pemerintah (IBW-ICW-Yayasan-PT) ditambah dengan perusahaan-perusahaan negara hasil nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda. Perusahaan-perusahaan negara yang akan dikuasai oleh Pemerintah akan bertambah luas dengan terlaksananya Plan 8 Tahun karena sebagian besar dari proyek-proyek Plan 8 Tahun itu adalah proyek-proyek negara. Dengan begitu dilihat dari sudut jumlah dan jenis perusahaan-perusahaan negara, terdapat dasar-dasar yang kuat untuk merealisasi rencana menempatkan sektor negara pada posisi komando di bidang ekonomi-keuangan untuk sekarang dan waktu-waktu yang akan datang.

Tetapi kini timbul pertanyaan: Mengapa perusahaan-perusahaan negara itu bukannya tidak bisa memegang posisi komando dalam perkembangan ekonomi-keuangan Indonesia sekarang tetapi malahan belum bekerja dengan kapasitas yang normal yang menguntungkan ekonomi-keuangan negara? Jumlah cukup representatif tetapi kehidupan ekonomi dalam masyarakat tidak terkendalikan oleh sektor negara. Malahan perusahaan-perusahaan negara nampak diombang-ambingkan oleh permainan spekulasi dalam pasar dan jatuh bangun dengan krisis ekonomi sekarang.

Mismanagement perusahaan-perusahaan negara terjadi di mana-mana, dengan mempertebal birokrasi telah dilakukan pemborosan dan pencolengan oleh kaum kapitalis birokrat. Kaum kapitalis birokrat yang memegang posisi di pusat maupun di daerah-daerah memupuk perusahaan-perusahaan bayangan atas kerugian perusahaan-perusahaan negara. Hal ini terjadi terutama sekali di sektor perdagangan dalam dan luar negeri dan di sektor perkebunan/perindustrian.

Akibat daripada mismanagement ini adalah tidak masuknya keuntungan-keuntungan secara wajar ke dalam kas negara. Misalnya pengalaman tahun 1961. Telah dikeluarkan kredit kepada perusahaan-perusahaan negara sebesar Rp. 14 miliar. Dari jumlah ini Rp. 11 miliar untuk perusahaan-perusahaan Dagang Negara (PDN). Kalau kita ambil sebagai kelaziman perputaran modal selama setahun 3 kali, paling sedikit berarti terdapat satu omzet sebesar Rp. 33 miliar setahun dari jumlah kredit tersebut. Ini belum terhitung modal yang memang sudah ada pada perusahaan-perusahaan negara itu sendiri. Dengan PDN-PDN yang efisien yang tidak dikacau oleh kapitalis-kapitalis birokrat maka dengan winstmarge yang normal saja dari penyaluran barang-barang ke tangan ketiga sudah bisa diambil keuntungan bersih rata-rata 10% dari omzet atau Rp. 3,3 miliar dari PDN-PDN saja. Pada umumnya keuntungan-keuntungan yang dipungut dari sektor perdagangan ini jauh lebih besar.

Rencana Pemerintah yang mewajibkan semua perusahaan negara dalam tahun 1961 sekurang-kurangnya menyetorkan Rp. 4 miliar untuk keperluan pembangunan semesta, ternyata gagal.

Dalam prakteknya perusahaan-perusahaan tersebut hanya dapat memenuhi seperdelapan dari rencana yang telah ditetapkan yaitu Rp. 532 juta.

Karena mismanagement maka prijsvorming menjadi kacau atau konkretnya sangat tinggi. Dari Perusahaan-perusahaan Dagang Negara mestinya dapat diperoleh barang-barang dengan harga yang tidak berlomba-lomba dengan pasar bebas yang spekulatif. Tetapi terbukti bahwa barang-barang yang diimpor oleh PDN-PDN bisa didapat di luar PDN-PDN dengan harga yang sudah meningkat sampai 5 kali dari harga resmi. Banyak biaya dikeluarkan untuk keperluan personalia Direksi-direksi – BPU-BPU dan pengeluaran-pengeluaran yang bersifat kemewahan yang tidak seharusnya bagi perusahaan-perusahaan negara. Susunan organisasi PDN-PDN lebih banyak ditujukan kepada maksud untuk menampung pejabat-pejabat tinggi tertentu sipil atau militer daripada maksud untuk mencapai efisiensi. Ambillah hierarchi yang ada sekarang, yaitu dari atas ke bawah: Bagian Departemen – BPU – Direksi – Bagian Perdagangan dalam dan luar negeri – ke unit-unit perusahaan-perusahaan negara. Terasa di sini masih terdapat susunan organisasi yang birokratis yang semuanya hanya menambah besarnya prijsvorming dan memberatkan para konsumen terakhir, yaitu rakyat. Kalau barang-barang itu disalurkan secara normal saja sudah berat, apalagi sekarang di mana semuanya serba abnormal. (Tawa).

Garis politik perdagangan luar negeri yang dalam waktu yang akan datang menuntut agar perdagangan Indonesia dengan negeri-negeri kubu sosialis sekurang-kurangnya merupakan 35% dari seluruh volume perdagangan, hanya dapat direalisasi apabila di samping adanya kekuasaan politik yang demokratis, impor-ekspor bahan-bahan penting dapat dikuasai sepenuhnya oleh negara. Uni Soviet sendiri berpendirian bahwa perdagangan dengan Indonesia dalam tahun 1963 akan meliputi jumlah-jumlah yang lebih besar dari 3 kali lipat dibandingkan dengan perdagangan tahun 1959. (Tepuk tangan). (Lihat brosur “Perdagangan URSS dengan negara-negara Asia-Afrika” halaman 42). Sekarang volume perdagangan dengan Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya sudah meliputi lebih kurang 10-13% dari seluruh volume perdagangan Indonesia. Jika dilihat dari sudut kemampuan Uni Soviet saja untuk mengimpor tidak kurang dari 242.000 ton karet dalam tahun 1959 dari negara-negara penghasil karet, maka tidaklah mustahil apabila dalam tahun 1963 ekspor karet Indonesia ke Uni Soviet akan meliputi antara 30% dan 40% dari seluruh ekspor karet Indonesia. Ini semuanya banyak tergantung pada kemauan keras di bidang politik dan di bidang organisasi impor-ekspor pihak Indonesia yaitu terutama apabila bisa dibentuk satu Badan Ekspor Negara yang menguasai seluruh ekspor bahan-bahan penting sebagai suatu aparat pelaksana yang dapat dipercaya dari politik perdagangan luar negeri Indonesia yang berorientasi pada kepentingan rakyat.

Dan hanya apabila Indonesia berhasil dengan sukses melaksanakan politik perdagangan luar negeri yang tidak berat sebelah, yang dalam prakteknya dapat merealisasi paling kurang sepertiga dari seluruh volume ekspor Indonesia dalam peredaran dagang dengan Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya, maka baru ada harapan akan terbuka kemungkinan untuk mengatasi akibat-akibat buruk krisis ekonomi dunia kapitalis atas harga-harga bahan-bahan ekspor kita terutama karet, timah, dan kopra dan dengan begitu juga mengatasi krisis-krisis ekonomi Indonesia yang selalu mengancam keselamatan ekonomi negara dan rakyat Indonesia. (Tepuk tangan).

Berbicara tentang perusahaan negara, perlulah mendapat perhatian kita, konsep atau pikiran sementara orang tentang “bentuk formal” dari perusahaan negara akan tetapi yang dalam kenyataannya bekerja dengan modal yang sepenuhnya dimiliki swasta cq swasta monopoli asing. Yaitu terutama perusahaan pertambangan minyak bumi, perusahaan perikanan laut dan perusahaan kehutanan.

Menurut konsep itu pemilik modal besar asing bertindak sebagai “kontraktor”, sedangkan hasil produksi perusahaan, sesudah dipotong dengan ongkos-ongkos produksi, penyusutan, dan lain-lain dibagi antara kontraktor itu dengan pemerintah RI menurut cara apa yang disebut dalam bahasa asing “fifty-fifty deal”, (tawa) “Argentine type”, “Argentine pattern of terms”, “production-sharing”, atau istilah lainnya lagi. Pada hakikatnya bentuk atau cara penanaman modal asing dengan baju baru itu adalah tidak lain daripada investasi klasik tipe lama.

Dengan perhitungan yang sangat mudah dapat dibuktikan bahwa suatu investasi besar-besaran di bidang minyak bumi menurut sistem “kontraktor” itu, misalnya suatu investasi yang telah direncanakan dalam Plan Pembangunan 8 Tahun dan kemudian dikoreksi oleh MPRS sebanyak $ 1,5 miliar dalam tempo 5-7 tahun saja sudah memberikan keuntungan yang sama banyaknya dengan modal yang ditanam. Atau dengan perkataan lain, dalam tempo 5-7 tahun modal sebanyak $ 1,5 miliar itu sudah bisa “kembali” lagi ke dalam sakunya kaum monopolis besar asing. Dan dalam prakteknya modal itu tidak ditanam sekaligus akan tetapi secara berangsur-angsur, sehingga dengan begitu keuntungan akan bertambah melimpah-limpah. Ini dapat dibuktikan dari keterangan seorang senator AS, T. Merton belum lama berselang, (dimuat antara lain dalam “ANTARA”, tanggal 3 April yang lalu) bahwa investasi langsung modal AS di luar negeri dalam bidang-bidang ekonomi tertentu selama tahun 1950-1960 berjumlah tidak lebih dari $ 8,5 miliar akan tetapi keuntungan yang telah mereka angkut ke Amerika tidak kurang dari $ 20,5 miliar, jadi dalam tempo 10 tahun saja keuntungannya sudah berlipat menjadi 2,5 kali dari modal yang ditanamnya. Dan ini bukanlah seluruh keuntungan, sebab sebagian yang tidak kecil dari keuntungan itu digunakan di luar negeri untuk memperluas investasi. Sebagai contoh investasi di bidang perminyakan dikemukakan oleh senator Merton itu, bahwa Standard Oil Company of New Jersey misalnya dalam waktu antara tahun 1956 dan tahun 1960 saja sudah dapat menguras keuntungan dari luar negeri sebanyak tidak kurang dari $ 2,5 miliar.

Dari keterangan di atas jelaslah, bahwa kita akan tetap mendorong dan menyokong sepenuhnya setiap tindakan Pemerintah untuk memperkuat, dan memperluas perusahaan negara akan tetapi rakyat harus tetap awas dan waspada terhadap pikiran sementara orang yang berusaha menggunakan “bentuk-bentuk formal” perusahaan negara sebagai kedok untuk dengan mudah dan licin memasukkan modal monopoli asing di Indonesia. (Tepuk tangan).

Oleh karena itu, rakyat harus tetap memberi perlawanan yang gigih dan ulet terhadap usaha-usaha dari siapa pun juga yang dilakukan di bawah semboyan “untuk memperkuat perusahaan-perusahaan negara”, akan tetapi yang sesungguhnya dimaksudkan untuk menggerowoti dan kemudian melikuidasi perusahaan negara dengan memasukkan modal monopoli asing ke dalam bidang-bidang kehidupan ekonomi dan keuangan Indonesia yang vital secara besar-besaran. (Tepuk tangan).

Hidup Demokrasi bagi rakyat! (“Hidup!”).

Hidup Persatuan Nasional yang berporoskan Nasakom! (“Hidup!”)

Hidup mobilisasi segenap potensi Nasional! (“Hidup!”).

Bebaskan Irian Barat dan atasi krisis sandang pangan!

Hidup PKI! (“Hidup!” Tepuk tangan riuh dan lama).