Laksanakan Politik Luar Negeri yang Konsekuen Manipolis! Cegah Politik Luar Negeri Dualistis dan Lawan Neokolonialisme!

Karel Supit


Sumber: Bintang Merah Nomor Spesial, "Maju Terus" Jilid I. Kongres Nasional Ke-VII (Luar Biasa) Partai Komunis Indonesia. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1963.


Kawan-kawan yang tercinta!

Pertama-tama ingin saya nyatakan persetujuan saya sepenuhnya atas Laporan Umum CC yang disampaikan oleh Kawan Ketua D.N. Aidit. Demikian juga saya menyetujui sepenuhnya Laporan dari Kawan Wakil Ketua M.H. Lukman tentang perubahan Konstitusi PKI dan laporan Kawan Wakil Ketua Njoto tentang perubahan Program PKI.

Dengan Laporan-Laporan itu sebagai pedoman aktivitas-aktivitas seluruh barisan Partai kita akan lebih antusias, tekun dan berani mengibarkan tinggi-tinggi Tripanji Partai dan Tripanji Bangsa, berdiri di garis depan dari perjuangan rakyat Indonesia menggempur imperialisme sisa-sisa feodalisme dan kaki tangan-kaki tangannya, mengatasi 1001 kesulitan dengan 1001 macam jalan, merebut kemenangan satu demi satu untuk merealisasi slogan Kongres Nasional ke-6 Partai yang jaya “Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong-Royong”.

Dalam kesempatan ini perkenankan saya mengemukakan satu-dua aspek lagi dari politik luar negeri RI.

Seperti diketahui, tahun yang lalu ketika Sdr. Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio memutuskan untuk mengikutsertakan wakil-wakil Nasakom dalam delegasi RI ke Sidang ke-16 PBB, saya telah mendapat kepercayaan besar dari Partai untuk mewakili PKI dalam delegasi RI itu. Tugas ini tentu saja terasa amat berat bagi saya. Tapi berkat garis Partai yang telah mempersenjatai dan menjiwai tiap kader dan anggota Partai dalam melaksanakan tugas apa saja, saya hadapi tugas yang telah dipercayakan oleh Partai kepada saya dengan kebulatan hati dan jiwa.

Delegasi RI ke Sidang ke-16 PBB diketuai oleh Menteri Luar Negeri sendiri dan terdiri dari 21 anggota, antaranya 10 orang utusan dan utusan pengganti serta 11 orang penasihat. Untuk mengikuti seluruh pekerjaan di PBB semua anggota delegasi dibagi-bagi dalam 7 Komite.

Acara yang harus diselesaikan dalam Sidang ke-16 itu ada 92 pokok, antaranya 27 acara yang langsung dibicarakan dalam Pleno, sedangkan selebihnya dibagi-bagi dalam ketujuh Komite untuk dibahas lebih dulu sebelum diajukan ke Pleno.

Di samping beberapa acara penting, ada 2 acara yang sangat penting bagi Indonesia khususnya dan bagi negeri-negeri Asia-Afrika pada umumnya ialah, pertama, acara tentang “Pelaksanaan Deklarasi Dekolonisasi negeri-negeri dan rakyat-rakyat yang terjajah”, kedua, acara tentang “Pemulihan hak-hak sah RRT di PBB”.

Seperti diketahui, acara tentang Pelaksanaan Deklarasi anti-kolonialisme itu telah digunakan oleh Belanda untuk memajukan usulnya tentang internasionalisasi dan self-determination bagi Irian Barat.

Dari proses pembicaraan tentang masalah penghapusan kolonialisme pada umumnya dan masalah Irian Barat pada khususnya kita dapat menarik beberapa pelajaran.

Pertama, bahwa juga di PBB kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh atau the new emerging forces makin bertambah besar, sedangkan kekuatan imperialis-kolonial makin merosot di bawah pukulan-pukulan dari perjuangan kemerdekaan di Asia-Afrika dan Amerika Latin. Dalam hal ini jasa Konferensi AA di Bandung mempunyai arti yang penting sekali.

Kedua, benarnya ucapan Presiden Sukarno, bahwa imperialisme memang imperialis. Ketika pada Sidang ke-15 PBB, atas inisiatif Uni Soviet, diajukan usul resolusi “Deklarasi” tentang pemberian kemerdekaan kepada negeri-negeri dan rakyat-rakyat yang terjajah, usul itu diterima secara bulat oleh Sidang. Negeri-negeri imperialis terpaksa tidak berani menolak dan memberikan suara abstain meskipun sebenarnya mereka tidak setuju dengan resolusi itu. Tapi sekarang dalam menghadapi usul Belanda mendadak-sontak kelihatan seolah-olah merekalah yang paling setia kepada resolusi anti-kolonialisme itu, karena, katanya, pelaksanaan usul Belanda itu adalah justru untuk melaksanakan resolusi tersebut sesuai dengan operative-paragraf 5 dari resolusi itu. Tapi setiap orang yang mengetahui sejarah Irian Barat dan sejarah penjajahan Belanda akan mengakui bahwa usul Belanda itu adalah penyalahgunaan resolusi itu, adalah kolonialisme model baru di bawah bendera PBB.

Ketiga, bagi dunia menjadi jelas bagaimana sikap Amerika yang sebenarnya terhadap Indonesia khususnya dan terhadap perjuangan kemerdekaan nasional pada umumnya. Ketika Luns, Menteri Luar Negeri Belanda, ditanya tentang hasil perjuangannya di PBB, ia menjawab bahwa hasil itu memuaskan, ialah, karena Amerika Serikat terang-terangan memihak Belanda.

Keempat, sikap beberapa negeri Afrika menunjukkan bahwa neo-kolonialisme adalah sangat berbahaya bagi solidaritas Asia-Afrika-Amerika Latin. Ketika membicarakan resolusi-resolusi tentang “Deklarasi” anti-kolonialisme dan tentang pelaksanaan “Deklarasi” anti-kolonialisme seluruh barisan Asia-Afrika dan Amerika Latin dapat dikatakan kompak bersatu. Tapi ketika membicarakan sesuatu masalah kolonialisme secara konkret, seperti Irian Barat, ternyata pengaruh dan intrik neo-kolonialisme yang dijalankan oleh negeri-negeri imperialis, terutama Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Belgia, dan Belanda, berhasil membawa keretakan dalam barisan Asia-Afrika-Amerika Latin dan dengan demikian bisa menjadikan PBB alat kaum imperialis, terutama imperialis Amerika Serikat.

Kelima, bahwa keselamatan politik luar negeri RI terletak dalam penggalangan kekuatan front internasional yang konsekuen anti-imperialis, anti-kolonial untuk kemerdekaan nasional dan perdamaian dan bahwa Indonesia harus menjadi partisipan yang aktif dalam front itu. Dalam hal ini adalah menentukan sekali kerja sama yang erat dan bersahabat dengan Uni Soviet dan seluruh kubu sosialis.

Keenam, bahwa kekuasaan Republik Indonesia bukan saja terletak dalam kebenaran dan keobyektifan politik luar negerinya tapi juga pada alat pelaksana politik luar negeri RI yang benar-benar bersemangat Manipol, yang mencerminkan kegotongroyongan nasional yang berporoskan Nasakom.

Mengenai acara pemulihan hak RRT di PBB di sini pun Amerika Serikat masih berhasil menjalankan peranannya untuk mengintimidasi sekutu-sekutunya dan memecah-belah barisan Asia-Afrika dan Amerika Latin dengan politik yang dinamakan 2 Tiongkok. Yang dimaksudkan dengan politik ini ialah supaya Taiwan dipertahankan sebagai negara dan anggota PBB di samping memberikan kesempatan kepada RRT untuk meminta kepada PBB supaya diterima sebagai anggota baru. Padahal semua orang tahu bahwa Tiongkok hanya satu dan Pemerintahnya yang sah ialah Pemerintah RRT. Tiongkok adalah negara pendiri PBB, jadi sudah menjadi anggota sejak berdirinya PBB dan Tiongkok duduk dalam Dewan Keamanan sebagai salah satu dari 5 anggota tetap. Soalnya sekarang ialah bagaimana mendudukkan wakil-wakil yang sah dari RRT di PBB dan semua Badannya. Jalan yang wajar dan sesuai dengan prosedur PBB ialah mengusir wakil-wakil dari klik Ciang Kai-sek, yang di dalam PBB tidak mewakili siapa-siapa dan secara tidak sah masih nongkrong di PBB atas perlindungan majikannya Amerika Serikat, dan diganti oleh wakil-wakil yang sah dari Tiongkok ialah wakil-wakil dari Pemerintah RRT, Pemerintah yang sah dari 650 juta rakyat Tiongkok. Dengan demikian barulah PBB ini bisa dianggap sebagai badan internasional yang representatif mewakili bangsa-bangsa seluruh dunia. Usaha ini adalah sangat penting untuk memperkuat PBB, memperkuat perjuangan untuk pembebasan nasional dan perdamaian. Jika ini berhasil imbangan kekuatan di PBB akan mengalami perubahan penting untuk kemenangan the new emerging forces. Oleh karena itu RI harus terus dengan aktif menyokong pemulihan hak-hak RRT di PBB, terus menjadi partisipan yang aktif dalam perjuangan rakyat Asia-Afrika dan Amerika Latin dan dalam perjuangan front internasional anti-imperialis untuk Kemerdekaan nasional, Demokrasi, dan Perdamaian dunia.

Kawan-kawan!

Kawan Aidit dengan tepat sekali menyimpulkan bahwa politik luar negeri resmi Pemerintah RI sudah cukup jelas dan obyektif dirumuskan oleh Presiden, antara lain dan terutama, dalam pidato Presiden di PBB “Membangun Dunia Kembali” dan pidato dalam Konferensi Non-Blok dan bahwa “achievement” atau prestasi yang sangat penting dalam pengembangan politik luar negeri yang dilahirkan oleh RI sesudah Kongres Nasional ke-6 Partai kita, ialah konsepsi tentang “kekuatan-kekuatan baru yang tumbuh” melawan “kekuatan-kekuatan lama yang bercokol”.

Berkat hasil konsepsi inilah Indonesia sekarang dapat berada dalam situasi internasional yang menguntungkan perjuangan nasionalnya. Kawan Aidit adalah sepenuhnya benar ketika ia menegaskan bahwa “Kalau Indonesia sekarang disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain, maka hal ini adalah karena politiknya yang anti-imperialis dan cinta damai, yang non-blok tapi tidak non-commited, yang tidak anti kubu sosialis, tapi bersama-sama negara-negara sosialis melawan imperialis dan kolonialis”.

Tercapainya persamaan pendirian antara RI dengan negara-negara sosialis mengenai berbagai masalah internasional yang terpenting, posisi yang cukup berpengaruh yang ditempati RI di antara negara-negara non-blok, semuanya ini menunjukkan bahwa politik luar negeri RI berada di jalan yang benar. Semuanya ini lebih meyakinkan kita tentang benarnya garis Kongres Nasional ke-6 di lapangan politik internasional yang telah menegaskan bahwa “Kerja sama dengan negara-negara sosialis dalam front internasional untuk perdamaian dan anti-kolonialisme memberikan jaminan bagi keselamatan, kemajuan, dan hari depan yang lebih baik bagi RI”, dan bahwa “Indonesia sudah semestinya menempatkan diri sebagai partisipan yang aktif dalam front ini”.

Soalnya sekarang ialah bagaimana mengkonsekuenkan pelaksanaan garis politik yang sudah benar, bagaimana mencegah timbulnya dualisme antara konsepsi dan pelaksanaannya, seperti yang disinyalir oleh Kawan Aidit.

“Membangun Dunia Kembali” yang telah ditetapkan sebagai pedoman pelaksanaan Manipol di lapangan politik luar negeri RI, dalam perinciannya tentang garis-garis besar politik luar negeri memuat bahwa “Dasar, sifat, dan tujuan politik luar negeri RI adalah berdasarkan UUD ’45, bersifat bebas dan aktif anti-imperialisme dan anti-kolonialisme, bertujuan:

Selanjutnya kesimpulan dari perincian tentang  “Membangun Dunia Kembali” itu memuat antara lain sebagai berikut:

Adakah perumusan yang lebih tegas dan jelas daripada perumusan-perumusan ini? Toch, kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan politik luar negeri RI belum sepenuhnya sesuai dan sejalan dengan garis Presiden seperti terdapat dalam perumusan tersebut di atas.

Adalah suatu kenyataan bahwa dalam hal Presiden sendiri langsung memimpin kegiatan-kegiatan RI di dalam politik internasional, dalam hal ini pula garis bebas aktif, anti-imperialisme dan anti-kolonialisme serta mengikutsertakan rakyat, ternyata dipegang teguh dan tidak terdapat dualisme antara konsepsi dan pelaksanaan.

Diikutsertakannya tokoh-tokoh Nasakom terpenting dalam misi Presiden ke Sidang PBB ke-15 dan Konferensi Negara-Negara Non-Blok mempunyai arti yang sangat menentukan dalam pembangunan konsepsi politik luar negeri RI yang benar-benar Manipolis, yaitu suatu politik luar negeri RI yang nasional-demokratis anti-imperialis dan anti-kolonial, yang ke dalam bersandar kepada kekuatan persatuan nasional yang berporoskan Nasakom, ke luar bersatu dengan kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh.

Dijiwai oleh contoh yang baik dari Presiden itu, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio dalam menjalankan kebijaksanaan politiknya di PBB juga telah mengikutsertakan wakil-wakil Nasakom dalam delegasi RI pada sidang-sidang PBB ke-15 dan 16.

Tapi meskipun demikian masih terasa adanya dualisme antara konsepsi politik luar negeri dan pelaksanaannya sehingga sering orang bertanya tentang siapa sesungguhnya memimpin pelaksanaan politik luar negeri RI. Betapa tidak? Manipol mengharuskan pejabat-pejabat politik luar negeri RI mengikutsertakan rakyat dalam pelaksanaan politik luar negeri RI. Tapi bagaimana bisa mengikutsertakan rakyat, jika soal-soal yang dirundingkan dengan Belanda dirahasiakan bagi rakyat?

Bagaimana rumus rakyat harus diikutsertakan dalam menggalang front persatuan anti-imperialis, jika organisasi-organisasi rakyat untuk memupuk persahabatan di antara bangsa-bangsa, yang giat memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke luar negeri malah dibatasi gerak-geriknya serta lapangan kegiatannya?

Presiden Sukarno berkata bahwa rakyat Indonesia bukan rakyat yang bodoh, tetapi mempunyai kesadaran politik yang tinggi. Ini memang tepat sekali, maka dari itu tidak mengherankan jika rakyat Indonesia bertanya-tanya bagaimana mungkin AS yang bersama SEATO-nya telah mendalangi pemberontakan PRRI/Permesta dan terus mengancam keselamatan RI dengan aksi-aksi subversifnya, bagaimana AS yang menjadi sekutu Belanda dalam Nato, yang dengan segala jalan membantu Belanda dalam masalah Irian Barat, bagaimana AS yang sudah mempunyai vested interest di Irian Barat, bagaimana AS ini akan bisa menjadi perantara atau bersedia membantu RI dalam merebut kembali Irian Barat?

Rakyat Indonesia selalu dididik oleh Bung Karno dalam semangat anti-imperialisme yang menyala-nyala, selalu diajar oleh beliau supaya jangan percaya pada imperialis, bahwa imperialis memang imperialis. Rakyat Indonesia sudah mempunyai pengalaman yang cukup pahit tentang perantaraan dan “jasa baik” kaum kompromis KMB. Rakyat Indonesia menyaksikan sendiri bagaimana peranan imperialis Amerika Serikat mencelakakan rakyat Konggo. Bagaimana rakyat itu bisa dibikin percaya bahwa dalam hal Irian Barat imperialis bisa mengubah wataknya dan akan membantu perjuangan anti-imperialis di Indonesia?

Perhatikanlah, misalnya, peranan Amerika Serikat tahun yang lalu di PBB ketika soal Irian Barat dibicarakan. Mula-mula ada orang mengira bahwa Amerika Serikat sudah berubah sikapnya, dari netral-condong ke Belanda menjadi netral-condong ke Indonesia, sehingga ada harapan yang optimis tentang penyelesaian masalah Irian Barat. Tapi dalam seluruh proses pembicaraan ternyata bahwa AS bukan saja tidak netral, tapi giat membantu Belanda. Waktu itu bagi setiap orang yang masih menaruh kepercayaan kepada si “sahabat AS” itu, terlihatlah muka sebenarnya dari politik imperialis Amerika yang jahat terhadap Indonesia.

Sekarang pun AS mengulangi lagi kata-katanya bahwa Belanda adalah sekutunya dan Indonesia adalah sahabatnya, malahan ada kesimpulan dari sementara orang bahwa dengan usul Bunker itu AS sudah lebih condong ke Indonesia daripada ke Belanda. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa baru-baru ini kapal Zuiderkruis yang memuat pasukan-pasukan Belanda menuju Irian Barat akan melalui Hawaii, daerah Amerika.

Adalah tidak kebetulan bahwa baru-baru ini telah diadakan latihan raksasa oleh Seato di Laut Tiongkok Selatan yang diberi nama “Hantu Laut”. Terang sekali bahwa intimidasi imperialis ini ditujukan kepada seluruh perjuangan kemerdekaan, kepada seluruh new emerging forces di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Adalah tepat sekali pendirian kaum revolusioner bahwa terhadap imperialisme, terutama imperialis AS, kita sama sekali jangan menaruh ilusi, terhadapnya kita harus berjuang keras lawan keras. Ini adalah pengalaman dari revolusi-revolusi di negeri-negeri Asia-Afrika dan Amerika Latin. Sukses yang kita peroleh bukannya hasil mengemis kepada imperialisme serta kolonialisme baru dan lama, lebih-lebih bukan merupakan karunia dari imperialisme atau kolonialisme baru dan lama yang dengan mendadak-sontak menjadi sangat bermurah hati. Amerika Serikat di satu pihak melakukan gertakan-gertakan dengan perang untuk merintangi gerakan pembebasan nasional, tetapi di pihak lain ia pura-pura menunjukkan sikap sahabat dengan maksud menimbulkan ilusi rakyat terhadap AS. Tetapi caranya yang di luar sebagai madu, di dalam sebagai empedu itu tidak bisa mengelabui orang. Kolonialisme baru AS adalah musuh yang paling jahat dari rakyat berbagai negeri. Berhubung dengan itu Indonesia harus sangat waspada terhadap kegiatan AS yang mau menggunakan PBB sebagai alat mengkoreakan atau mengkongokan Irian Barat.

Bagaimana rumus bahwa politik luar negeri Indonesia memihak, memihak kepada kemerdekaan dan perdamaian, melawan imperialisme dan perang agresif? Dapatkah ini disesuaikan dengan sikap tak acuh Pemerintah Indonesia terhadap konsep neo-kolonialis Inggris tentang pembentukan “Malaysia”, suatu konsep yang dianggap “bagus” oleh tuan Hatta, tapi yang dengan lebih tepat dicap oleh Sekjen Front Sosialis Malaya sebagai konsep kolonial Inggris dan sebagai ancaman terhadap Indonesia?

Politik luar negeri RI, sebagaimana dikatakan Bung Karno berulang kali, tidak netral, ia tegas-tegas memihak perjuangan anti-imperialis dan anti-kolonial. Bagaimana Pemerintah bisa mengambil sikap “netral” dalam pertarungan hebat antara kekuatan baru dan kekuatan lama yang bercokol yang sedang berlangsung di Laos dan Vietnam Selatan?

Sungguh masih banyak contoh lagi yang dapat diajukan betapa lebar kadang-kadang jurang antara rumus yang tepat dengan pelaksanaannya.

Dualisme ini, yakni perbedaan-perbedaan yang terdapat antara rumus-rumus politik luar negeri yang jelas serta penafsiran-penafsiran rumus-rumus tersebut dalam praktik tidak hanya membingungkan rakyat kita sendiri akan tetapi membingungkan pula sekutu-sekutu kita.

Jika kita mau menyelesaikan perjuangan pembebasan Irian Barat yang sekarang menjadi tugas nasional yang sangat urgen dan vital dengan sukses, dalam babak selanjutnya dari perjuangan pembebasan itu kita harus mencegah timbulnya dualisme antara konsepsi politik luar negeri dengan pelaksanaannya di front internasional.

Usul Bunker yang oleh AS mau dijadikan dasar penyelesaian secara damai, seperti diketahui, terdiri dari tiga pasal yang terang sekali mengandung bahaya neo-kolonialisme dan bermaksud menyabot Trikora.

Konsepsi rakyat mengenai pembebasan Irian Barat di lapangan internasional yang benar-benar sesuai dengan Trikora seharusnya:

Hanya dengan jalan demikian barulah kita bisa memobilisasi kekuatan sebesar-besarnya, baik internasional maupun nasional yang mampu memberi pukulan mati kepada kolonialisme Belanda di Irian Barat.

Hidup Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke! Lawan neo-kolonialisme!

Hidup Front Internasional anti-imperialis, anti-kolonial untuk Kemerdekaan Nasional, Demokrasi dan Perdamaian Dunia!

Hidup Partai-Partai Marxis-Leninis Sedunia!

Hidup Kongres ke-7 PKI yang jaya!